TINJAUAN PUSTAKA
1.1 DEFINISI
Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue,
yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemuka n di daerah tropis dan subtropis, dan menjangkit luas di banyak negara di Asia Tenggara. Terdapat empat
jenis virus dengue, masing-masing dapat menyebabkan demam berdarah, baik
ringan maupun fatal. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi
darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma.
Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS).1
1.2 EPIDEMIOLOGI
Demam dengue banyak terjangkit di daerah tropis dan subtropis. Demam
berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia.Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita demam dengue
tiap tahun. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena curah hujan di Asia yang
sangat tinggi terutama di Asia timur dan selatan ditambah dengan sanitasi
lingkungan yang tidak bagus. WHO memperkirakan lebih dari 500.000 dari 50
juta kasus demam dengue memerlukan perawatan di rumah sakit. Lebih dari 40%
penduduk dunia hidup di daerah endemis demam dengue. Indonesia sebagai
negara tropis dengan angka kejadian Dengue yang tinggi, memang memiliki
potensi tinggi untuk terjadinya penyebaran wabah Dengue di masyarakat. Jutaan
orang mengalami Dengue dan sebagian besar didominasi oleh anak-anak.2
Pada tahun 2010, jumlah kasus masih tetap tinggi dengan rata-rata 10-25 per
100.000 penduduk terinfeksi oleh virus dengue namun angka kematian telah
menurun <2%. Umur terbanyak yang terkena DBD adalah kelompok umur 4-10
tahun.3
1.3 ETIOLOGI
Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus genus Flavivirus,
mempunyai 4 jenis serotype yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4, ditularkan
melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotype
dengue terdapat di Indonesia, den-3 merupakan serotype dominan dan banyak
1
berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotype den-2. Infeksi oleh salah satu
serotype tersenut dapat menimbulkan antibody terhadap serotype yang
bersangkutan tapi tidak untuk serotype yang lainnya.4
1.4 PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS DBD
Sistim vaskuler
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas
vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume
plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung
penemuan
post
hipoproteinemi.
mortem
Tidak
meliputi
terjadinya
efusi
lesi
pleura,
destruktif
hemokonsentrasi
nyata
pada
dan
vaskuler,
penderita menjadi parah; hal ini terjadi apabila epitop virus yang masuk tidak
sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospes.
Pada infeksi kedua yang dipicu oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda
terjadilah proses berikut : Virus dengue tersebut berperan sebagai super antigen
setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan Antigen
Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari Mayor Histocompatibility Complex (MHC II).6
Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+
(TH-1 dan TH-2) dengan perantaraan TCR ( T Cell Receptor ) sebagai usaha
tubuh untuk bereaksi terhadap infeksi tersebut, maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari TH-1 yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu
INF gama, Il-2 dan CSF (Colony Stimulating Factor). (8,9) Dimana IFN gama akan
merangsang makrofag untuk mengeluarkan IL-1 dan TNF alpha. IL-1 sebagai
mayor imunomodulator yang juga mempunyai efek pada endothelial sel termasuk
didalamnya pembentukan prostaglandin dan merangsang ekspresi intercellular
adhesion molecule 1 (ICAM 1).6
imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada cross protektif
terhadap serotip virus yang lain.6
Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis:
netralisasi virus; sitolisis komplemen; Antibody Dependent Cell-mediated
Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement.8
Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri atas protein C (capsid), M
(membran) dan E (envelope), sedang virus intraseluler mempunyai protein premembran atau pre-M. Glikoprotein E merupakan epitop penting karena : mampu
membangkitkan antibodi spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas
hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan sel, (reseptor
binding), mempunyai fungsi biologis antara lain untuk fusi membran dan
perakitan virion. Antibodi memiliki aktifitas netralisasi dan mengenali protein E
yang berperan sebagai epitop yang memiliki serotip spesifik, serotipe-cross reaktif
atau flavivirus-cross reaktif. Antibodi netralisasi ini memberikan proteksi terhadap
infeksi virus DEN. Antibodi monoclonal terhadap NS1 dari komplemen virus
DEN dan antibodi poliklonal yang ditimbulkan dari imunisasi dengan NS1
mengakibatkan lisis sel yang terinfeksi virus DEN.6
Imunopatogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan
patogenesis pada DBD dan SSD yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dan hypothesis antibody dependent enhancement ( ADE ).
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan
infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap
infeksi terhadap jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Pengertian ini
akan lebih jelas bila dikemukakan sebagai berikut:
Seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue, akan mempunyai
antibody yang dapat menetralisasi yang sama (homologous).
Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis
serotipe virus yang lain, maka terjadi infeksi yang berat. Hal ini dapat dijelaskan
dengan uraian berikut:
Pada infeksi selanjutnya, antibody heterologous yang telah terbentuk dari infeksi
primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue baru dari serotipe
berbeda; namun tidak dapat dinetralisasi virus baru bahkan membentuk kompleks
yang infeksius.
Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan
serotipe lain atau virus lain) karena adanya non neutralising antibodi maka
partikel virus DEN dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virusantibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel
melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi
virus DEN. Kompleks virus antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan
antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga makrofag
mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan memproduksi IL-1, IL-6
dan TNF alpha dan juga Platelet Activating Faktor (PAF). Karena antibodi
bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di neutralisasi tetapi bebas bereplikasi
di dalam makrofag; informasi ini akan lebih jelas bila diuraikan dalam betuk
gambar berikut:
Klasifikasi
Manifestasi Klinis
Demam Dengue
Demam akut selama 2-7 hari, disertai dua atau lebih manifestasi
berikut: nyeri kepala, nyeri retroorbita,
mialgia, manifestasi
Dengue Hemorrhagic - Demam tinggi mendadak selama 2-7 hari disertai nyeri kepala, nyeri
Fever
mukosa/saluran
cerna/saluran
kemih:
epistaksis,
Shock
Gejala syok :
Anak gelisah, hingga terjadi penurunan kesadaran, sianosis.
Nafas cepat, nadi teraba lembut hingga tidak teraba.
Tekanan darah turun, tekanan nadi < 10 mmHg.
Akral dingin, capillary refill turun.
- Diuresis turun, hingga anuria.
10
Keterangan:
Manifestasi klinis nyeri perut, hepatomegali, dan perdarahan terutama
Kulit pucat, dingin dan lembab, terutama pada ujung jari kaki, tangan dan
hidung.
1.6 DIAGNOSIS3
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila
semua hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya
bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji
bending positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan
mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
11
Peningkatan
hematokrit
>20%
dibandingkan
standar
Tanda
kebocoran
plasma
seperti:
efusi
pleura,
asites,
hipoproteinemia, hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit
dan perdaran lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau
hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab,
tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
12
13
Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi: (1) dalam keadaan klinis
yang ragu-ragu. Namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada
perembesan plasma 20-40%, (2) pemantauan klinis, sebagai pedoman
pemberian cairan.
Kelainan radiologi, dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus
kanan, hemithorax kanan lebih radio opak dibandingkan yang kiri, kubah
Penatalaksanaan
ditujukan
untuk
mengganti
plasma
dan
terjadinya
trombositopenia
pada
Terapi
cairan
pada
kondisi
tersebut
secara
cairan
sudah
kemungkinan
cukup
atau
terjadinya
kurang,
kelebihan
pemantauan
cairan
serta
kandung-an
gizi
yang
cukup,
lunak
dan
tidak
Pemberian
aspirin
nonsteroid
sebaiknya
dihindari
perdarahan
pada
(lambung/duodenum).
saluran
Protokol
ataupun
karena
obat
antiinflamasi
berisiko
terjadinya
cerna
bagaian
pemberian
cairan
atas
sebagai
15
16
awal penyakit DBD ialah demam tinggi 2-7 hari mendadak tanpa sebab yang
jelas, terus menerus, badan terasa lemah/anak tampak lesu.
Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu
(1) Adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok (gelisah, nafas cepat, bibir biru,
tangan dankaki dingin, kulit lembab), muntah terus menerus, kejang, kesadaran
menurun, muntah darah, berak darah, maka pasien perlu dirawat (tatalaksana
disesuaikan dengan bagan 3,4,5)
(2) Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet/uji Rumple
Leede/uji bendung dan hitung trombosit;
a. Bila uji tourniquet positif dan/ atau trombosit <_ 100.000/pl, pasien di observasi
(tatalaksana kasus tersangka DBD ) Bagan 3
b. Bila uji tourniquet negatif dengan trombosit >_ 100.000/pl atau normal , pasien
boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun.
Pasien dianjurkan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dll
serta diberikan obat antipiretik golongan parasetamol jangan golongan salisilat.
Apabila selama di rumah demam tidak turun pada hari sakit ketiga, evaluasi tanda
klinis adakah tanda-tanda syok yaitu anakmenjadi gelisah, ujung kaki/tangan
dingin, sakit perut, berak hitam, kencing berkurang; bila perlu periksa Hb, Ht, dan
trombosit. Apabila terdapat tanda syok atau terdapat peningkatan Hb/Ht dan atau
penurunan trombosit, segera kembali ke rumah sakit
17
18
(parasetamol) diberikan bila suhu > 38.5C. Pada anak dengan riwayat kejang
dapat diberikan obat anti konvulsif.
Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya
diberikan infus NaCL 0,45% : dekstrosa 5% dipasang dengan tetesan rumatan
sesuai berat badan. Disamping itu perlu dilakukan pemeriksaaan Ht, Hb 6 jam dan
trombosit setiap 2 jam.
Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratorium
anak dapat dipulangkan; tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit
menurun, maka infus cairan diganti dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan
seperti pada Gambar 1.8.
19
20
(tersering perdarahan kulit dan mukosa yaitu petekie atau mimisan) disertai
penurunan jumlah trombosit !_100.000/pl, dan peningkatan kadar hematokrit.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/NaCI 0,9 %
atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCl 0,9 % 6-7 ml/kg BB/jam. Monitor
tanda vital dankadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi
12-24 jam
1. Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak tenang,
tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht cenderung
turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan dikurangi
menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap
stabil, tetesan dikurangi menjadi 3ml/kgBB/jam danakhirnya cairan dihentikan
setelah 24-48 jam.
2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke dalam syok. Maka apabila
keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas cepat
(distres pernafasan), frekuensi, nadi meningkat, diuresis kurang, tekanan nadi < 20
mmHg memburuk, disertai peningkatan Ht, maka tetesan dinaikkan menjadi 10
ml/kgBB/jam, setelah 1 jam tidak ada perbaikan tetesan dinaikkan menjadi 15
ml/kgBB/jam. Apabila terjadi distres pernafasan danHt naik maka berikan cairan
koloid 20-30 ml/kgBB/jam; tetapi apabila Ht turun berarti terdapat perdarahan,
berikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam.
21
diberikan ringer laktat 20 ml/kgBB bersama koloid (lihat butir 2).Observasi tensi
dannadi tiap 15 menit, hematokrit dantrombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit
dan gula darah.
(2) Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap
dilanjutkan 15-20 ml/kg BB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid
(dekstran 40) sebanyak 10-20 ml/kg BB, maksimal 30 ml/kg BB (koloid diberikan
pada lajur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi
keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, danperiksa hematokrit
tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit, dan gula darah.
a. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/ hematokrit,
tekanan nadi > 20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10
mm/kg BB/jam. Volume 10 ml/kg BB/jam dapat dipertahankan sampai 24 jam
atau sampai klinis stabil danhematokrit menurun < 40%. Selanjutnya cairan
diturunkan menjadi 7 ml/kg/BB sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil
kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5 ml dan seterusnya 3ml/kg BB/jam.
Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi.
Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin dikerjakan tiapjam (usahakan
urin >_ 1 ml/kg BB/jam, BD urin < 1.020) dan pemeriksaan hematokrit &
trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik.
b. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tetapi
masih > 40 vol % berikan darah dalam volume kecil 10ml/kgBB. Apabila tampak
perdarahan masif, berikan darah segar 20ml/kgBB dan lanjutkan cairan kristaloid
10ml/kg BB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5-8 cm H20) pada syok berat
kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak
dianjurkan.
c. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan
cairan danpasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP normal
(>_ 10 mmH20), maka diberikan dopamin.
1.10 KOMPLIKASI
1) Shock
2) Encephalopathy dengue
3) Convulsi
23
4) Oedema paru
5) Kerusakan hepar
6) Acute renal failure
1.11
PROGNOSIS
24
BAB 2
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama
: Puti Raysa
No. MR
: 198048
Umur
: 6 tahun 4 bulan
Alamat
25
: kompos mentis
Tekanan Darah
: 90/60 mmHg
Nadi
: 100x/menit
Suhu
: 35,60C
Pernafasan
: 36x/menit
Berat badan
: 17 kg
Tinggi badan
: 119 cm
Ikterik
: tidak ada
Edema
: tidak ada
Kulit
Kulit tampak pucat, dingin dan lembab, terutama pada ujung jari kaki,
tangan dan hidung. Turgor baik, pigmentasi tidak ada , efloresensi tidak ada.
Kelenjar Getah Bening
Kepala
Submandibula
Leher
Supraklavikula
Aksila
Inguinal
: Tidak membesar
: Tidak membesar
: Tidak membesar
: Tidak membesar
: Tidak membesar
: Normochepal,
27
Muka
Rambut
Mata :
Exophthalmus
Konjungtiva
Sclera
Reflex cahaya
: tidak ada
: tidak anemis
: tidak ikterik
: +/+
Telinga:
Nyeri
Sekret
Gangguan pendengaran
Tinitus
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
Deviasi septum
Nyeri
Trauma
Epistaksis
Gangguan penciuman
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
Hidung:
Tenggorokan
Nyeri tenggorokan
Perubahan suara
Tonsil
Faring
: tidak ada
: tidak ada
: tidak hiperemis
: tidak hiperemis
Trismus
Karies
Stomatitis
Faring
Lidah
: Tidak ada
: ada
: tidak ada
: tidak hiperemis
: tidak kotor
: 5 2 cmH2O
: tidak membesar
: tidak membesar
Leher:
Dada:
Inspeksi
: normothoraks
Paru:
28
Pemeriksaan
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Kiri
Depan
Belakang
Simetris saat statis dan Simetris saat statis dan
Kanan
dinamis
dinamis
Simetris saat statis dan Simetris saat statis dan
Kiri
dinamis
dinamis
Sela iga normal, benjolan Sela iga normal, benjolan
Kanan
(-),
Kiri
normal
Sonor
di
Kanan
lapangan paru
Sonor
di
Kiri
lapangan paru
Suara
nafas
Kanan
fremitus benjolan
normal
seluruh Sonor
(-),
di
lapangan paru
seluruh Sonor
di
lapangan paru
: Suara
nafas
bronkovesikuler
bronkovesikuler
Wheezing : (-/-)
Wheezing : (-/-)
Ronchi : (-/-)
Suara
nafas
fremitus
Ronchi : (-/-)
: Suara
nafas
bronkovesikuler
bronkovesikuler
Wheezing : (-/-)
Wheezing : (-/-)
Ronchi : (-/-)
Ronchi : (-/-)
seluruh
seluruh
:
Jantung:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen:
Inspeksi
Palpasi
29
- Dinding perut
- Hati
- Limpa
Perkusi
Auskultasi
Tidak tegang
Teraba 1/3
S Tidak teraba
Timpani
Bising usus (+) normal
Punggung
Alat kelamin
Anus
Anggota Gerak
Laboratorium
Pemeriksaan
- Hb
- Leukosit
- Hematokrit
- Eritrosit
- Trombosit
- Hitung Jenis
Hasil
13 g/dl
7260/mm3
37,6%
4.770.000
129.000/uL
0/ 0,6/ 79,3/ 16,4/ 3,7
Diagnosis Kerja
Suspek DHF derajat III
Pemeriksaan Anjuran
IgG dan IgM
Pemeriksaan serial trombosit dan hematokrit
Rencana Terapi:
1. Istirahat (Tirah baring)
2. Banyak minum
3. Paracetamol (BB= 17kg)
Dosis
= 10 15 mg/kgBB/x
= 170 255 mg/x
30
= 250 mg/x
Diberikan saat anak demam, maksimal 4x sehari
4. Infus Ringer Laktat
Kebutuhan cairan BB 17kg
= 65 cc/kgBB/hari
= 1105 cc/hari
Tetesan mikro per menit
= (60 tpm:60menit) x (1105:60menit)
= 18 tetes per menit
5. Observasi tanda tanda vital, awasi syok dan dehidrasi.
31
FOLLOW UP
Selasa, 9 Desember 2014
S/ Demam ada
Mual ada
Muntah ada
Batuk tidak ada
Sakit perut ada
Nafsu makan menurun
O/ Keadaan Fisik Umum
Kesadaran
: kompos mentis
Tekanan Darah
: 90/60 mmHg
Nadi
: 96x/menit
Suhu
: 37,60C
Pernafasan
: 34x/menit
Berat badan
: 17 kg
Tinggi badan
: 119 cm
Ikterik
: tidak ada
Edema
: tidak ada
Mata
Konjungtiva anemis
: -/-
Sclera ikterik
: -/-
Reflex cahaya
: -/-
KGB
Thoraks
: bentuk normochest
Paru
Jantung
Abdomen
Hepar
: teraba 1/3
Lien
: S tidak teraba
Extremitas
A/ Syok teratasi
32
Kesadaran
: kompos mentis
Tekanan Darah
: 90/60 mmHg
Nadi
: 102x/menit
Suhu
: 35,60C
Pernafasan
: 30x/menit
Berat badan
: 17 kg
Tinggi badan
: 119 cm
Ikterik
: tidak ada
Edema
: tidak ada
Mata
Konjungtiva anemis
: -/-
Sclera ikterik
: -/-
Reflex cahaya
: -/-
KGB
Paru
Jantung
Abdomen
Hepar
: teraba 1/3
Lien
: S tidak teraba
Extremitas
33
34
BAB 3
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang anak perempuan umur tahun 6 tahun 4 bulan
dirawat di bangsal anak RSAM Bukittinggi pada tanggal 9 Desember 2014
dengan diagnosis DHF derajat III. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan pasien demam tinggi mendadak sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit, demam tinggi, terus menerus, menggigil, tidak
disertai kejang, dan nyeri perut.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran kompos mentis, tekanan
darah 90/60 mmHg, nadi 100x/menit, suhu 35,60C, pernafasan 36x/menit, berat
badan 17 kg, tinggi badan 119 cm, ikterik tidak ada, edema tidak ada. Kulit
tampak pucat, dingin dan lembab, terutama pada ujung jari kaki, tangan dan
hidung. Cor dan Pulmo dalam batas normal. Pada abdomen ditemukan
hepatomegali 1/3. Pada pemeriksaan ditemukan uji torniquet positif. Dari gejala
diatas diagnose pada pasien ini adalah DHF derajat 3, karena pada pasien ini
didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun
(20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan kulit dingin dan lembab.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Pusat Perlindungan Kesehatan, 2014. Demam berdarah. Diakses tanggal 9
Desember 2014 dari
http://www.chp.gov.hk/files/pdf/ol_dengue_fever_indonesian_version.pdf.
2. Nainggolan dan Chen K. 2000. Demam Berdarah Dengue Pelatihan bagi
pelatih, dokter spesialis anak, dan dokter spesialis penyakit dalam, dalam
tatalaksana kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
3. Pudjiaji AH, dkk. 2010. Pedoman pelayanan medis IDAI jilid 1. Jakarta:
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
4. Soedarmo SSP, Carna H, Hadinegoro SRS, DAN Satari HI (eds). 2008.
Buku ajar infeksi dan pediatri tropis edisi kedua IDAI. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
5. Gubler D.J, (1998). The Global pandemic of Dengue/Dengue
Haemorrhagic Fever current status andprospects for the future. Dengue in
Singapore. Technical Monograph Series no:2 WHO dalam (Soegijanto S.
Patogenesa dan perubahan patofisiologi infeksi virus dengue). Diakses
pada
tanggal
9
Desember
2014
dari
http://old.pediatrik.com/buletin/20060220-8ma2gi-buletin.pdf.
6. Soegijanto S. Patogenesa dan perubahan patofisiologi infeksi virus
dengue).
Diakses
pada tanggal 9 Desember
2014 dari
http://old.pediatrik.com/buletin/20060220-8ma2gi-buletin.pdf
7. Gubler DJ et al, (1994): Infect Agents Dis. 2: 383, dalam (Soegijanto S.
Patogenesa dan perubahan patofisiologi infeksi virus dengue). Diakses
pada
tanggal
9
Desember
2014
dari
http://old.pediatrik.com/buletin/20060220-8ma2gi-buletin.pdf.
8. DarwisD, ( 1999 ). Kegawatan Demam Berdarah Dengue pada anak,
Dalam (Soegijanto S. Patogenesa dan perubahan patofisiologi infeksi virus
dengue).
Diakses
pada tanggal 9 Desember
2014 dari
http://old.pediatrik.com/buletin/20060220-8ma2gi-buletin.pdf.
9. Yosephvera. 2012. Dengue shock syndrome. Diakses pada tangga; 9
Desember
2014
dari
http://redboxmedicalplus.wordpress.com/2012/11/12/dengue-shocksyndrome/
10. Garna H, Rahayuningsih SE (ed). 2005. Pedoman diagnosis dan terapi
ilmu kesehatan anak edisi ke 3. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
11. Chen K, Pohan HT, Sinto R. 2009. Diagnosis dan terapi cairan pada
demam berdarah dengue. Diakses pada tanggal 9 Desember 2014 dari
http://www.dexamedica.com/sites/default/files/publication_upload09032415295500123786
3562medicinus_maret-mei_2009.pdf
36