Anda di halaman 1dari 2

BAB I

PENDAHULUAN
Dengue merupakan infeksi virus yang diperantarai nyamuk yang disebabkan satu dari
empat serotype virus dengue dan paling banyak terjadi di dunia. Penyakit ini mempunyai
karakteristik demam dan gejala konstitusional yang ringan hingga manifestasi perdarahan dan
syok, atau demam berdarah dengue (DBD) atau sindrom syok dengue (SSD). Sekitar 100 juta
kasus setiap tahunnya, merupakan demam dengue (DD) dan setengah juta kasus merupakan
DBD (siripen). Di Palembang, Sumatera Selatan, berdasarkan data Dinas Kesehatan
Palembang didapatkan pada tahun 2012 penderita positif DBD sebanyak 700 kasus dan tahun
2013 sebanyak 438 kasus (Dinkes Palembang, 2014).
DBD merupakan manifestasi infeksi dengue yang paling serius yang memiliki dua
tanda utama yang membuatnya berbeda dari DD yaitu kebocoran plasma dan hemostasis yang
abnormal. Kebanyakan pada kasus DBD dapat ditemukan manifestasi perdarahan seperti
perdarahan pada kulit, epistaksis, perdarahan gusi, muntah seperti kopi, hematemesis, dan
melena (siripen). Kebocoran plasma pada DBD ditandai dengan gangguan sirkulasi berupa
hipotensi, takikardi, sempitnya tekanan nadi dan tertundanya pengisian kembali kapiler. Dapat
terjadi pula efusi pleura dan asites (soroy lardo). Kebocoran plasma merupakan masalah
utama pada DBD dan cairan intravena dapat diberikan pada pasien yang tidak mendapatkan
masukan oral dengan adekuat. (siripen)
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi
substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan
dalam terapi cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue, yang pertama
adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.
Karena tujuan terapi cairan adalah mengganti kehilangan cairan di ruang intravascular, pada
dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat
diberikan. Pada pasien dengan kebocoran plasma yang masif, larutan koloid tambahan
dibutuhkan untuk mempertahankan volume plasma menjadi lebih baik (siripen Cuma dari
pada ). Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya
kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih
akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan

untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan


akibat kebocoran plasma. (Khie Chen, Herdiman T. Pohan, Robert Sinto)
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD adalah aman dan efektif.
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema,
asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu
bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Dibandingkan cairan kristaloid,
cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume
yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang
lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular.
Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan
lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin
didapatkan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek
samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch). Sebuah
penelitian yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa
dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia menunjukkan bahwa koloid adalah pilihan cairan
yang aman dan dapat digunakan sebagai cairan rumatan pada penderita dewasa dengan DBD
derajat 1 dan 2. Cairan koloid digunakan pada resusitasi kedua pada sindrom syok dengue
apabila dengan cairan kristaloid tidak membaik. Saat ini, terdapat tiga golongan cairan koloid,
yaitu dextran, gelatin, dan hydroxyethyl starch (HES). (Soroy lardo, Khie Chen, Herdiman T.
Pohan, Robert Sinto)

Anda mungkin juga menyukai