Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jawa merupakan pulau yang berbatasan dengan laut Jawa di sebelah utara,
samudera hindia di sebelah selatan, selat sunda di sebelah barat, dan sebelah timur
berbatasan dengan selat Bali. Jawa merupakan bagian dari lempeng tektonik Pasifik.
Di Indonesia lempeng pasifik disebut lempeng benua, dimana Jawa merupakan jalur
pertemuan 2 lempeng yaitu lempeng Indo-Australia dengan lempeng Pasifik. Ada 3
gerakan lempeng yaitu : saling bertemu, menjauh, dan bergeser. Gerakan lempeng di
Indonesia adalah saling bertemu.
Lempeng benua dan samudera saling bertumbukan ditandai dengan
penunjaman ke bawah, dimana lempeng samudera dengan massa berat yang lebih
besar menunjam lempeng benua, yang ditunjam adalah massa penyusun material
daratan. Akibat penunjaman tersebut menyebabkan terbentuknya palung dan terjadi
formasi batuan yang tidak selaras sehingga terjadi pergerakan yang mempengaruhi
magma dalam bumi.
Pada saat penunjaman, semakin ke bawah suhu semakin tinggi, sehingga
tekanan tinggi. Pada kedalaman tertentu penunjaman tersebut dapat menghancurkan
litosfer dan menguraikan asthenosfer sehingga menyebabkan jalur dalam bersifat
vulkanik. Sumatera, Jawa, dan Bali hampir sama/ sejajar garis penunjamannya. Dari
uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pergerakan lempeng tektonik yang
terjadi sangat mempengaruhi kepulauan di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah pada makalah ini yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana tatanan tektonik pulau Jawa ?
2. Bagaimana stratigrafi pulau Jawa ?
3. Bagaimana struktur geologi pulau Jawa ?
4. Apa saja sumber daya geologi pulau Jawa ?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai pada penyusunan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui tatanan tektonik pulau Jawa
2. Dapat mengetahui stratigrafi pulau Jawa
3. Dapat mengetahui struktur geologi pulau Jawa
4. Dapat mengetahui sumber daya geologi pulau Jawa
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan makalah ini yaitu
untuk memenuhi tugas mata kuliah Geologi Indonesia yang dibebankan kepada saya
dan sebagai tambahan ilmu pengetahuan mengenai kondisi geologi regional pulau
Jawa yang meliputi tektonik, stratigrafi dan struktur geologi pulau Jawa yang tidak
lain bertujuan untuk mengetahui potensi-potensi geologi yang ada pada pulau Jawa
itu sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tektonik Pulau Jawa

Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola struktur


geologi dari waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa memiliki polapola yang teratur. Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah
penurunan basin, pensesaran, perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress
regime yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Secara umum, ada tiga arah pola
umum struktur yaitu arah Timur Laut-Barat Daya (NE-SW) yang disebut pola
Meratus, arah Utara- Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur-Barat (E-W).
Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut-Barat Daya
(NE-SW) menjadi relatif Timur-Barat (E-W) sejak kala Oligosen sampai sekarang
telah menghasilkan tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa yang sangat rumit
disamping mengundang pertanyaan bagaimanakah mekanisme perubahan tersebut.
Kerumitan tersebut dapat terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan daerah
sekitarnya.

Gambar 2.1 Tektonik Pulau Jawa

Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di bagian


tengah terekspresikan dari pola penyebarab singkapan batuan pra-Tersier di daerah
Karang Sambung. Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas
Cekungan Pati, Florence timur, Central Deep. Cekungan Tuban dan juga

tercermin dari pola konfigurasi Tinggian Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan
Tinggian Masalembo. Pola Meratus tampak lebih dominan terekspresikan di bagian
timur.
Pola Sunda berarah Utara-Selatan, di bagian barat tampak lebih dominan
sementara perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan. Ekspresi yang
mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar pembatas Cekungan Asri, Cekungan
Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda pada Umumnya berupa struktur regangan.
Pola Jawa di bagian barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti sesar
Beribis dan sear-sear dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah tampak pola dari
sesar-sesar yang terdapat pada zona Serayu Utara dan Serayu Selatan. Di bagian
Timur ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan Kendeng yang berupa sesar naik.
Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus merupakan
pola yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur Kapur
sampai Paleosen dan tersebar dalam jalur Tinggian Karimun Jawa menerus melalui
Karang Sambung hingga di daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar ini teraktifkan
kembali oleh aktivitas tektonik yang lebih muda. Pola Sunda lebih muda dari pola
Meratus. Data seismik menunjukkan Pola Sunda telah mengaktifkan kembali sesarsesar yang berpola Meratus pada Eosen Akhir hingga Oligosen Akhir.
Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali seluruh pola
yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismik menunjukkan bahwa
pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif hingga sekarang.
Fakta lain yang harus dipahami ialah bahwa akibat dari pola struktur dan
persebaran tersebut dihasilkan cekungan-cekungan dengan pola yang tertentu pula.
Penampang stratigrafi yang diberikan oleh Kusumadinata, 1975 dalam Pulunggono,
1994 menunjukkan bahwa ada dua kelompok cekungan yaitu Cekungan Jawa Utara
bagian barat dan Cekungan Jawa Utara bagian timur yang terpisahkan oleh tinggian
Karimun Jawa.
Kelompok cekungan Jawa Utara bagian barat mempunyai bentuk geometri
memanjang relatif utara-selatan dengan batas cekungan berupa sesarsesar dengan

arah utara selatan dan timur-barat. Sedangkan cekungan yang terdapat di kelompok
cekungan Jawa Utara Bagian Timur umumnya mempunyai geometri memanjang
timur-barat dengan peran struktur yang berarah timur-barat lebih dominan.
Pada Akhir Cretasius terbentuk zona penunjaman yang terbentuk di daerah
Karangsambung menerus hingga Pegunungan Meratus di Kalimantan. Zona ini
membentuk struktur kerangka struktur geologi yang berarah timurlaut-baratdaya.
Kemudian selama tersier pola ini bergeser sehingga zona penunjaman ini berada di
sebelah selatan Pulau Jawa. Pada pola ini struktur yang terbentuk berarah timur-barat.
Tumbukkan antara lempeng Asia dengan lempeng Australia menghasilkan
gaya utama kompresi utara-selatan. Gaya ini membentuk pola sesar geser (oblique
wrench fault) dengan arah baratlaut-tenggara, yang kurang lebih searah dengan pola
pegunungan akhir Cretasisus.
Pada periode Pliosen-Pleistosen arah tegasan utama masih sama, utaraselatan.
Aktifitas tektonik periode ini menghasillkan pola struktur naik dan lipatan dengan
arah timur-barat yang dapat dikenali di Zona Kendeng. Meskipun secara regional
seluruh pulau Jawa mempunyai perkembangan tektonik yang sama, tetapi karena
pengaruh dari jejak-jejak tektonik yang lebih tua yang mengontrol struktur batuan
dasar, khususnya pada perkembangan tektonik yang lebih muda, terdapat perbedaan
antara Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Secara regional di pulau Jawa dapat dibedakan adanya 3 satuan tektonik,
yaitu:
a. Cekungan Jawa Utara, yang terdiri dari cekungan Jawa Baratlaut (NW Java
Basin) dan cekungan Jawa Timurlaut (NE Java Basin)
b. Daerah cekungan Bogor-Kendeng
c. Daerah cekungan Pegunungan Selatan

Gambar 2.2 Pola struktur Pulau Jawa

2.1.1

Tatanan Tektonik Jawa Barat


Van Bammelen beranggapan bahwa secara fisiografis daerah Banten sangat

mendekati sifat-sifat pulau Sumatera, apabila dibandungkan dengan bagian sebelah


timurnya. Kecuali beberapa kemiripan bentuk-bentuk morfologinya, juga adanya
produk vulkanisme yang banyak tufa asam, seperti halnya tufa lempung yang asam.
a. Pola Struktur
Berdasarkan data gayaberat,seismic, citra Landsat/foto udara pengamatan di
lapangan, di Jawa Barat ini dapat dibedakan menjadi 3,
yaitu:

Arah baratlaut-tenggara
Tmur-barat
Utara-selatan (dominan)
Namun berdasarkan citra Landsat dan sebaran episentrum gempa, ada satu

lagi yaitu arah timurlaut-baratdaya yang menonjol di sudut baratdaya Pulau Jawa
(Cimandiri/Sukabumi).
Pola baratlaut-tenggara hanya dapat direkam dengan gayaberat, yang berarti
letaknya dalam dan mungkin hingga batuan dasar. Pola sesar ditafsirkan sebagai
kelanjuttan tektonik tua Sumatra. Pola berarah barat-timur umumnya berupa sesar

naik ke arah utara dan melibatkan sedimen Tersier. Sedangkan yang berarah utaraselatan di bagian Utara Jawa , dari data seismic Nampak memotong batuan Tersier,
ternyata juga mengontrol bedrock. Memisahkan segmen Banten dari bogor dan
pegunungan selatan.
b. Satuan-satuan Tektonik
Batuan tertua tersingkap di Jawa Barat adalah batuan berumur eosen awal di
Ciletuh yang berupa olisostrom. Satuan ini berhubungan secara tektonis dengan
batuan ofiolit yang mengalami breksiasi dan serpentinisasi pada jalur-jalur
kontaknya. Batuan ofiolit tersebut ditafsirkan merupakan bagian dari melange yang
mendasari olisostrom yang berumur eosen awal. Dengan demikian maka satuan
tektonik tertua di Jawa Barat adalah jalur subduksi Pra eosen.
Satuan tektonik lainnya adalah jalur magma tersier. Sepanjang jalur pantai
selatan pulau Jawa, terdapat kumpulan batuan vulkanik yang dinamakan formasi
Andesit tua old andesite formation yang berumur oligosen-miosen awal. Di Jabar,
bagian dari formasi ini disebut formasi Jampang. Ciri-ciri batuannya merupakan
endapan aliran gravitasi seperti lava dan kadang-kadang memperlihatkan struktur
bantal.
Penelitia terhadap sebaran dan umur batuan vulkanik Tersier lainnya di Jawa
Barat, ternyata Jalur Magma Tersier jauh lebih luas lagi, yaitu hampir meliputi
seluruh bagian tenggara Jawa Barat. Dengan demikian terdapat kemungkinan bahwa
kegiatan vulkanik selama Tersier ini bermula di Selatan Jawa (miosen awal) dan
kemudian secara berangsur bergeser ke utara.
Satuan tektonik lainnya adalah jalur magma atau vulkanik kwarter, menempati
bagian tengah Jawa Barat atau dapat juga dikatakan berlawanan dengan Jalur
Magmatik Tersier muda.

c. Mandala Sedimentasi

Didasarkan pada mayoritas cirri sedimen, Soedjono (1984) membagi daerah


Jabar menjadi 3 mandala sedimentasi, yaitu mandala paparan kontinen yang terletak
di utara, diikuti oleh Mandala Cekungan Bogor di bagian tengah, dan ke arah barat
terdapat mandala Banten.
Mandala paparan kontinen bertepatan dengan zona stratigrafi dataran pantai
utaranya Van Bemmelem. Dicirikan oleh pola pengendapan paparan, umumnya terdiri
dari endapan gamping, lempung dan pasir kwarsa serta lingkungan pengendapannya
dangkal. Kedalamannya mencapai lebih dari 5000m.Mandala Cekungan Bogor
meliputi beberapa zona fisiografi Van Bemmelem (1949), yakni Zona Bogor, Zona
Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Mandala sedimentasi ini dicirikan oleh
endapan aliran gravitasi yang sebagian besar terdiri dari fragmen batuan beku dan
sedimen, seperti andesit,tufa dan gamping. Ketebalannya mencapai 7000m. Mandala
sedimentasi Banten mempunyai cirri-ciri yang serupa dengan Mandala Bogor dan
Paparan Kontinen.
2.1.2

Tatanan Tektonik Jawa Tengah


Secara fisiografi, jawa tengah dibagi menjadi 4 bagian:

Dataran pantai selatan


Pegunungan serayu selatan
pegunungan serayu utara, dan
Dataran pantai utara
Salah satu batuan tertua di pulau jawa tersingkap di jawa tengah tepatnya

didaerah sungai LOH-ULO.


a. Pola struktur
Pola struktur di jawa tengah memperlihatkan adanya 3 arah utama yaitu
baratlaut-tenggara, timurlaut-barat daya, timur-barat.
Di daerah loh ulo dimana batuan pra-terser dan tersier tersingkap dapat
dibedakan menjadi 2 pola struktur utama yaitu arah timurlautbaratdaya, dan barat-

timur.hubungan antar satubatuan dengan yang lainnya mempunyai lingkungan dan


ganesa pembentukan yang berbeda yang terdapat didalam mlange.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa pola yang arah timurlautbaratdaya yang sangat dominan didaerah ini. Data gaya berat dari untung dan sato
1979, sepanjang penampang utara-selatan melalui bagian tengah jawa tengah dan
dilengkapi dengan data geologi permukaan memperlihatkan perbedaan yang sangat
mencolok pada urut-urutan lapisan miosen antara bagian utara dan bagian selatan
jawa tengah.
Bagian utara jawa tengah urut-urytan lapisan miosen sebagian besar terdiri
dari endapan laut dalam yang berupa kipas-kipas turbidit. Jenis endapan tersebut
menyebarsampai hamper dekat cilacap. Tetapi keselatannya stratigrafinya berubah
dan didominasi oleh endapan laut dangkal dengan lingkungan yang tenang seperti
batupasit dan batugamping.
b. Satuan-satuan tektonik
Batuan tertua dijawa tengah tersingkap di dua tempat yaitu di loh-ulo dan di
Bayat (pegunungan jiwo, selatan kota klaten).batuan yang berumur kapur itu
bercampur aduk, terdiri dari ofiolit,sedimen laut dalam, batuan malihan berderajat
fasies sekis hijau yang tercampur secara tektonik dalam masadasar serpih sampai batu
sabak dengan bongkah-bongkah batupasir greywackey yang termalihkan, masa
dasarnya memperlihatkan bidang-bidang belah gerus dengan arah sama.
2.1.3

Tatanan Tektonik Jawa Timur


Indentasi Jawa Timur, seperti halnya indentasi Jawa Tengah, dicirikan oleh

hilangnya Pegunungan Selatan Jawa dan hadirnya depresi. Depresi ini kini diduduki
kota Lumajang (kita sebut saja Depresi Lumajang) dan merupakan wilayah
pengaliran sungai-sungai yang berasal dari kedua dataran tinggi di sebelah barat dan
timur depresi. Kehadiran Pulau Nusa Barung tepat di tengah indentasi selatan ini
sangat menarik, posisinya sama dengan Tinggian Karangbolong pada sistem indentasi

Jawa Tengah, lebih-lebih lagi pulau ini pun disusun oleh batugamping Miosen yang
ekivalen dengan batugamping di Karangbolong.
Batuan pra-tersier tidak tersingkap di daerah Jawa Timur. Bagian tengahnya
ditempati oleh jalur volkanik kwarter. Satuan-satuan fisografi yang dapat dibedakan
terdiri dari (selatan ke utara)
a.
b.
c.
d.
e.

Pegunungan Selatan
Jalur Depresi Tengah
Jalur Kendang
Depresi Randublatung
Zona Rembang yang dapat diteruskan ke pulau Madura
Pegunugnan Selatan di Jawa Timur berkembang sebagai fasies volkanik dan

karbonatan yang berumur Miosen. Di sebelah utara dari jalur volkanik kwarter adalah
jalur Kendeng yang terdiri dari endapan Tersier yang agak tebal. Menurut Genevraye
dan Samuel (1972), tebalnya lapisan Tersier di sini mencapai beberapa ribu meter.
Dekat kota Cepu daerah ini terlipat dan tersesarkan dengan kuat. Di beberapa tempat
lapisan-lapisan itu bahkan terpotong-potong oleh sesar naik dengan sudut kemiringan
yang kecil.
Apakah indentasi Jawa Timur merupakan miniatur indentasi Jawa Tengah?
Sebagian ya, tetapi sebagian lagi tidak. Beberapa pola indentasi Jawa Tengah dapat
diterapkan di sini. Pegunungan Selatan di wilayah ini tenggelam. Depresi Lumajang
diapit dua sesar besar di sebelah barat dan timurnya. Dua sesar besar ini telah
memutuskan dan mengubah kelurusan jalur gunungapi Kuarter di Jawa Timur.
Ini masih butuh penelitian lebih lanjut, tetapi beberapa pemikiran dapat
dikemukakan. Dua sistem sesar besar pembatas Depresi Lumajang merupakan
penyebab terjadinya indentasi dan depresi tersebut. Apakah sistem sesar besar itu
merupakan pasangan sesar besar sinistral (BD-TL) dan dextral (BL-Tenggara) seperti
halnya indentasi Jawa Tengah ? Ini akan memuaskan untuk menjawab munculnya
Pulau Nusa Barung di tengah Pegunungan Selatan yang tenggelam, dan
tenggelamnya Selat Madura di sebelah utara indentasi Pasuruan-Situbondo. Tetapi,
ini sulit untuk menerangkan terjadinya kelurusan gunungapi Semeru-Bromo-

Penanjakan yang utara-selatan di Kompleks Semeru-Tengger di sebelah barat Depresi


Lumajang dan kelurusan utara-selatan gunungapi Argopuro-Kukusan di Kompleks
Iyang (Yang, Ijang) di sebelah timur Depresi Jawa Timur.
Keberadaan sesar besar utara-selatan sedikit melengkung menghadap depresi
Lumajang adalah penyebab indentasi dan depresi Lumajang. Sesar besar ini dapat
menjelaskan kelurusan gunungapi Semeru-Bromo-Penanjakan. Puncak-puncak
gunung ini tersebar utaraselatan. Bila kita berdiri di puncak Penanjakan (2775 m)
sebelah utara Bromo (2329 m), maka melihat ke utara akan nampak laut Selat
Madura, melihat ke selatan akan nampak gunung Bromo dan Semeru. Kelurusan ini
membuat masyarakat Tengger menyucikan ketiga gunung yang dianggapnya sebagai
atap dunia itu. Sebenarnya, di bawah ketiga gunung ini terdapat sesar besar yang juga
konon bertanggung jawab telah menenggelamkan Pegunungan Selatan Jawa di
wilayah ini. Sesar besar ini telah diterobos magma sejak Plistosen atas sampai
Holosen menghasilkan gunung-gunung di kawasan Kompleks Tengger. Semacam
erupsi linier dalam skala besar telah terjadi dari selatan ke utara di sepanjang sesar ini
berganti-ganti selama Plistosen sampai Kuarter. Dari selatan ke utara ditemukan
pusat-pusat erupsi sbb. : Semeru, Jembangan, Kepolo, Ayek-Ayek, Kursi, Bromo,
Batok, dan Penanjakan. Yang masih suka meletus sampai kini adalah Semeru dan
Bromo. Danau kawah Ranu Kembolo, Ranu Pani, dan Ranu Regulo merupakan maar
sisa erupsi gunung Ayek2 yang terletak di antara Kaldera Tengger dan Semeru. Yang
pernah mendaki Semeru pasti pernah melalui pos-pos Ranu Pani dan Ranu Kembolo
ini.
Di sebelah barat Depresi Lumajang, yaitu di Kompleks Iyang, terdapat juga
sesar besar utara-selatan walaupun tak sepanjang sesar besar di bawah Tengger dan
sedikit melengkung menghadap depresi Lumajang. Gunung tua Iyang (Plistosen atas)
terbelah mengikuti rekahan utaraselatan. Rekahan ini juga menjadi pusat-pusat erupsi
gunung di Kompleks Iyang, yaitu: gunung Malang (2008 m), Kukusan (2200 m) dan
Cemorokandang (2223 m). Di tengah sesar rekahan ini kini gunungapi Kuarter
Argopuro (3088 m) berlokasi.

Tentang kejadian kaldera pasir Tengger, van Bemmelen (1937 : The volcanotectonic structure of the Residency of Malang, De Ingenieur in Ned. Indie, 4,9,IV,p.
159-172) punya teori menarik. Kompleks Tengger telah terobek mengikuti rekahan
berbentuk sabit yang melengkung cekung ke utara. Oleh retakan ini sayap utara
kompleks Tengger tenggelam dan runtuh ke utara. Runtuhnya atap dapur magma
menyebabkan aliran lava basaltik dalam jumlah besar yang menyebar seperti delta di
kedua ujung robekan. Peristiwa ini telah menelan bagian atas puncak Tengger,
sehingga membentuk kaldera Tengger yang diisi pasir volkanik. Runtuhnya Tengger
ini akibat berat materi volkaniknya sendiri yang membebani batuandasarnya yang
berupa sediment marin Tersier yang plastis. Bagian utara kompleks Tengger runtuh
dan lengser ke utara menuju depresi Selat Madura yang sedang tenggelam. Kompresi
ke utara akibat runtuhan ini telah menekan bagian utara pantai Jawa Timur yang kini
berupa perbukitan di Grati dan Semongkrong di sekitar Pasuruan. Bukit2 ini anomali
sebab terjadi di sekitar pantai utara yang ditutupi sediment alluvial pantai.
Model volkano-tektonik runtuhan seperti ini juga dipakai van Bemmelen
untuk menerangkan kejadian bukit-bukit Gendol di dekat Menoreh yang berasal dari
runtuhan sayap Merapi ke sebelah baratdaya.
2.2 Stratigrafi Pulau Jawa
Menurut penelitian Kastowo (1975), formasi tertua yang tersingkap pada
regional daerah Jawa Tengah adalah Formasi Pemali yang berumur Miosen Awal. Di
atas Formasi Pemali ini diendapkan secara selaras Formasi Rambatan, Formasi
Lawak dan Formasi Halang yang berumur Miosen Tengah-Akhir.
Setelah itu terdapat ketidakselarasan dan aktivitas vulkanisme yang
menghasilkan intrusi dangkal retas lempeng dan retas yang berumur Miosen AkhirPliosen Awal. Setelah itu terendapkan Formasi Kumbang secara tidak selaras di atas
Formasi Halang. Setelah masa pengendapan Formasi Kumbang, pada kala Pliosen
Awal hingga Pliosen Tengah, diendapkan Formasi Tapak dan Formasi Kalibiuk
dengan selaras di atasnya. Korelasi satuan-satuan Peta Geologi lembar Majenang
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Korelasi satuan-satuan Peta Geologi Regional (Modifikasi dari Kastowo, 1975)

Formasi Pemali (Tmp)


Lapisan-lapisan napal Globigerina berwarna biru keabu-abuan dan hijau
keabu-abuan. Jarang sekali berlapis baik, kadang-kadang terdapat sisipan
batugamping pasiran berwarna biru keabu-abuan; tebalnya kira-kira 900 meter.
Formasi Rambatan (Tmr)
Di bagian bawah adalah batupasir gampingan dan konglomerat berselangseling dengan lapisan tipis napal dan serpih; sedang bagian atas terdiri dari batupasir
gampungan berwarna abu-abu muda sampai biru keabu-abuan. Tebalnya lebih dari
300 meter.

Formasi Lawak (Tml)


Di bagian bawah adalah napal kehijauan dengan beberapa sisipan
batugamping foraminifera dan batupasir gampingan, sedangkan di bagian atas terdiri
dari napal Globigerina dengan beberapa sisipan batupasir. Tebal seluruhnya kira-kira
150 meter.
Formasi Halang (Tmh)
Batuan sedimen jenis turbidit dengan struktur-struktur sedimen yang jelas,
antara lain: perlapisan bersusun, laminasi konvolut, cetak suling, dll. Di bagian utara

peta lebih banyak terdapat pula lensa-lensa breksi gunungapi (br). Dibeberapa tempat,
pada bagian atas dari formasi ini terdapat batugamping karang (Tmhl). Ketebalan
seluruhnya lebih dari 3400 meter.
Formasi Kumbang (Tpk)
Breksi gunungapi andesit, pejal dan tidak berlapis, termasuk beberapa aliran
lava dan retas yang bersusunan sama; tuf berwarna abu-abu dan batupasir tufan
mengandung konglomerat dan sisipan lapisan tipis magnetit. Breksi yang mengalami
propilitasi (Tpkp) terdapat di daerah yang sempit. Ketebalan maksimum mencapai
2000 meter.
Formasi Tapak (Tpt)
Bagian bawah terdiri dari batupasir kasar kehijauan yang ke arah atas
berangsur-angsur berubah menjadi batupasir kehijauan dengan beberapa sisipan napal
pasiran berwarna abu-abu sampai kekuningan. Batugamping karang terdapat di
bagian atas. Ketebalan maksimum 500 meter.
Formasi Kalibiuk (Tph)
Bagian bawah terdiri dari batulempung dan napal biru berfosil, bagian atas
mengandung lebih banyak sisipan batupasir. Bagian tengah merupakan daerah yang
mengandung lensa-lensa batupasir moluska terdapat pada bagian atas (Tpbl).
Ketebalan maksimum 500 meter.
Retas Lempung dan Retas (a, b)
Retas lempung (sill) dan retas (dyke) andesit hornblende (a) dan basal
piroksen (b).
2.3 Struktur Geologi Pulau Jawa

Kontrol struktur di Pulau Jawa sangat dipengaruhi aktivitas tektonik lempeng


yang aktif, yaitu Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia. Akibat dari aktivitas
lempeng tektonik tersebut di Pulau Jawa berkembang tiga pola struktur geologi
dominan (gambar 2.4), yaitu Pola Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya, Pola
Sunda yang berarah utara-selatan, dan Pola Jawa yang berarah timur-barat
(Pulonggono dan Martodjojo, 1994).

Gambar 2.4 Pola struktur regional Pulau Jawa (Pulonggono dan Martodjojo, 1994)

Pola Meratus memiliki arah timurlaut-baratdaya dan berumur Kapur Akhir


hingga Paleosen (80-52 juta tahun yang lalu). Renzim tektonik kompresi lempeng
Indo-Australia yang tersubduksi ke bawah Lempeng Eurasia menyebabkan
terbentuknya pola Meratus ini. Salah satu sesar yang mencerminkan pola Meratus di
Pulau Jawa adalah Sesar Cimandiri yang terbentang mulai dari Teluk Pelabuhan Ratu
hingga ke Subang. Sesar tersebut tergolong sesar mendatar dengan arah timurlautbaratdaya. Di jawa Tengah, singkapan batuan Pra-Tersier di Lok Ulo juga
menunjukan arah ini.
Pola struktur yang berkembang setelah pola Meratus adalah pola Sunda. Pola
struktur ini berarah utara-selatan dan berumur Eosen Awal hingga Oligosen AKhir
(53-32 juta tahun yang lalu). Setelah rezim kompresi pada pola Meratus terjadi rezim
tektonik regangan pada masa ini yang membentuk struktur dengan pola sunda.
Purnomo dan Purwoko (1994) menyebut periode ini sebagai Paleogene extensional
Rifting. Struktur sesar yang termasuk ke dalam Pola Sunda umumnya berkembang di
utara Jawa (Laut Jawa).

Pola Jawa merupakan pola struktur dengan arah timur-barat yang berumur
Oligosen Akhir hingga Miosen Awal (32 juta tahun yang lalu). Pola struktur ini
terbentuk akibat rezim kompresi yang subduksi Lempeng Indo-Australia yang berada
di Selatan Jawa hingga kea rah Sumatera. Purnomo dan Purwoko (1994) menyebut
periode ini sebagai Neogene compressional wrenching hingga Plio-Pleistocene
compressional thrust folding. Di Jawa Tengah hamper semua sesar di jalur Serayu
Utara dan Selatan mempunyai arah yang sama, yaitu barat-timur. Salah satu sesar
yang mencerminkan ola Jawa adalah Sesar Baribis yang membentang mulai dari
Purwakarta hingga ke Jawa Tengah di daerah Baribis Kabupaten Majalengka dengan
arah barat-timur.
2.4 Potensi Sumber Daya Geologi Pulau Jawa
Pengertian sumber daya geologi di sini adalah semua fenomena geologi yang
dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain
sumber daya geologi adalah sumber daya yang mampu mendukung kehidupan
manusia secara berkelanjutan. Di bawah ini diuraikan secara singkat masing-masing
sumber daya geologi tersebut.

2.4.1

Sumber Daya Energi


Sumber daya energi yang bersumber dari fenomena geologi adalah air, panas

bumi, dan bahan asal fosil. Di kawasan Bandung, energi air yang sudah dimanfaatkan
sebagai pusat listrik tenaga air adalah seluruh aliran air dari daerah aliran Sungai
Citarum, yang ditampung di dalam Waduk Saguling, sehingga pusat listrik tenaga air
itu disebut PLTA Saguling. Namun, di bagian hulu sungai dimana banyak dijumpai
air terjun dan aliran sungai sepanjang tahun yang kemung-kinan dapat digunakan
sebagai pembangkit tenaga listrik mikro hidro masih belum dimanfaatkan secara
optimum (Gambar 2.5).

Dengan banyaknya gunung api di wilayah Bandung, maka secara kualitatif


sumber daya energi panas bumi dapat dikatakan sangat melimpah. Pusat listrik tenaga
panas bumi yang sudah mulai dikembangkan antara lain di lapangan panas bumi
Darajat, Kamojang, dan Wayang-Windu di kawasan Bandung Selatan. Berdasarkan
informasi dari Geotermal Pertamina, masing-masing lapangan panas bumi tersebut
sudah menghasilkan energi sebesar 150 megawat, 140 megawat, dan 110 megawat,
dengan masa operasi paling tidak selama 30 tahun.
Pada saat ini, lapangan panas bumi Darajat dikelola oleh PT Amoseas (PT
Chevron Texmaco), lapangan panas bumi Kamojang dikelola oleh Pertamina dan
PLN, sedangkan lapangan panas bumi Wayang-Windu diakuisi oleh PT Star Energy.
Sementara itu lapangan panas bumi Patuha sedang dalam proses pemboran
eksplorasi, yang ditangani oleh PT Geodipa Energy.

Gambar 2.5 Foto air terjun cileat di hulu sungai cipunagara, Perbatasan kawasan bandung utara
subang, sebagai salah Satu contoh sumber daya air yang dapat dimanfaatkan untuk Energi listrik,
pariwisata, irigasi pertanian serta perikanan Air tawar.

Berdasarkan peta lokasi sebaran panas bumi Indonesia, lapangan panas bumi
lainnya di sekitar Bandung yang baru pada tahap penyelidikan awal adalah Kawah
Ciwidey, Maribaya, Gunung Tangkubanparahu, Sagalaherang, Ciarinem, Gunung
Guntur-Masigit, Gunung Tampomas, dan Cipacing.
Secara stratigrafi, yang mengalasi batuan gunung api Kuarter di daerah
Bandung ini adalah batuan sedimen berumur Tersier yang di permukaan terwakili
oleh Formasi Rajamandala (Sudjatmiko, 1972). Formasi itu tersusun oleh
batugamping, napal, batulempung, dan batupasir kuarsa. Data geologi ini
memberikan indikasi bahwa keterdapatan energi asal fosil, apakah berbentuk minyak
bumi, gas bumi atau batubara, perlu diperhatikan. Pernyataan ini lebih diperkuat oleh
Sardjono (2004) yang memperkirakan bahwa berdasarkan data gaya berat, batuan
sedimen di bawah Cekungan Bandung mempunyai ketebalan lebih dari 2000 m.
Sumber daya energi tersebut boleh jadi lebih dimatangkan oleh kegiatan magmatisme
dan vulkanisme di daerah Bandung ini. Namun kemungkinan lain adalah bahwa
batuan gunung api sendiri dapat menjadi batuan reservoar minyak bumi. Hal itu
sudah dibuktikan dengan adanya minyak bumi di dalam batuan gunung api pada
Formasi Jatibarang di utara Cirebon yang berumur Paleosen-Eosen Awal (Gresko drr.,
1995), dan juga di dalam Formasi Wunut di Mojokerto, Jawa Timur yang berumur
sangat muda Potensi sumber daya geologi di daerah Cekungan Bandung dan
sekitarnya (S. Bronto dan U. Hartono)

yakni Plistosen (Darmoyo drr., 2001).

Pendapat itu perlu didukung oleh pemahaman terhadap genesis dan penyusun batuan
dasar dari Cekungan Bandung.
2.4.2

Sumber Daya Lingkungan


Sumber daya lingkungan di sini antara lain air, tanah, lahan, dan panorama

atau keindahan alam. Selain dipergunakan untuk sumber daya energi, air juga sangat

vital bagi kehidupan manusia sehari-hari, industri, dan pertanian, baik yang
menyangkut air di permukaan maupun air tanah atau air bawah permukaan.
Banyaknya mata air dan jeram di lereng pegunungan di sekeliling Cekungan
Bandung, serta banyaknya aliran sungai sepanjang tahun di Cekungan Bandung itu
sendiri menunjukkan betapa tinggi potensi sumber daya air di kawasan ini. Persoalan
yang timbul biasanya terletak pada penataan ruang yang kurang tepat, pengambilan
air tanah yang melebihi batas optimum, serta terjadinya pencemaran air permukaan
akibat ulah manusia itu sendiri.
Seluruh tanah sebagai hasil pelapukan batuan gunung api di daerah tropis
yang banyak turun hujan, seperti di wilayah Bandung ini, dapat dikatakan selalu
subur. Tanaman pertanian, perkebunan, dan hutan selalu tumbuh dengan subur. Di
Bandung Utara, tepatnya di daerah Lembang, tanah yang subur itu dikenal dengan
nama Tanah Lembang yang sudah lama diperjualbelikan untuk menambah kesuburan
tanah pertanian rakyat maupun wirausaha tanaman hias. Tanah Lembang ini
sebenarnya berasal dari pelapukan endapan piroklastika Gunung Tangkubanparahu.
Pada bagian atas lapisan tefra itu terdapat tumbuh-tumbuhan yang telah mati dan
menjadi humus atau karbon akibat tertimbun oleh endapan piroklastika yang lebih
muda dari gunung api aktif di Bandung Utara itu sendiri. Secara ilmiah, Tanah
Lembang ini merupakan paleosol yang terbentuk di lingkungan darat kering ketika
Gunung Tangkubanparahu sedang pada masa istirahat atau tidak meletus.
Sumber daya lahan di Cekungan Bandung dan sekitarnya sudah kita nikmati
bersama selama ini, antara lain dalam bentuk pemukiman, prasarana transportasi,
kota,

industri,

pertanian,

perkebunan,

dan

pariwisata.

Dengan

semakin

berkembangnya kegiatan manusia di daerah Cekungan Bandung dan sekitarnya, maka


kebutuhan sumber daya lahan juga terus bertambah. Untuk itu, karena seluas apapun
lahan tetap terbatas, maka pengaturan lahan dalam bentuk tata ruang sangat
disarankan

agar

berkesinambungan.

lingkungan

hidup

di

kawasan

ini

tetap

nyaman

dan

Potensi sumber daya lingkungan berupa keindahan alam daerah Bandung juga
sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Itulah sebabnya pada masa penjajahan Belanda
dahulu kota Bandung lebih dikenal sebagai Paris van Java dan sekarang sering
disebut Kota Kembang. Keindahan alam Gunung Tangkubanparahu beserta kawah di
puncaknya, pemandian mata air panas Ciater dan Air Terjun (Curug) Cisarua di
Bandung Utara sudah menjadi kawasan pariwisata yang terkenal selama ini. Kawah
Putih dari Gunung Patuha beserta pemandian air panas dan Situ Patenggang, daerah
lapangan panas bumi Wayang Windu di Pangalengan dengan Situ Cileunca, keduanya
di kawasan Bandung Selatan, juga merupakan aset sumber daya geologi yang sangat
penting. Bahkan data dan informasi yang dipaparkan di Museum Geologi juga dapat
dipandang sebagai sumber daya geologi lingkungan yang sangat menarik.
Untuk lebih meningkatkan pemanfaatan sumber daya keindahan alam daerah
Bandung, maka potensi geologi lainnya masih banyak yang harus ditangani, sebagai
contoh ditemukannya manusia Gua Pawon di daerah Padalarang dan candi terkubur
di daerah Rancaekek. Sumber daya geologi yang murni bentukan alam seperti gunung
api purba Cupunagara (Gambar 2.5), Situ Lembang, Sesar Lembang, Air terjun
Cileat, Kubah Nagreg, Gunung Malabar dan lain-lain juga masih menunggu untuk
dipercantik oleh tangantangan terampil sehingga menarik bagi para wisatawan.

Gambar 3. Foto bentang alam gunung api purba cupunagara sebagai sumber daya panorama yang
dapat menambah obyek wisata keindahan alam di kawasan bandung utara-subang.

2.4.3

Sumber Daya Mineral


Sumber daya mineral dibagi menjadi dua golongan, yaitu sumber daya mineral

logam dan non logam. Sumber daya mineral non logam sering disebut sebagai bahan
galian golongan C atau bahan galian industri. Kelompok sumber daya mineral ini
antara lain pasir, batu kali, batu gunung, tras, kaolin, belerang,sinabar dan lain-lain
yang kesemuanya itu sangat erat hubungannya dengan kegiatan gunung api pada
masa lalu.
Bahan bangunan yang dikenal dengan nama pasir Cimalaka berasal dari
batuan klastika Gunung Tampomas. Batu kali dan batu gunung yang berkomposisi
basal dan andesit juga dihasilkan oleh erupsi atau letusan gunung api, baik dari
Bandung Utara, Bandung Timur maupun Bandung Selatan. Tanah tras Lembang
merupakan endapan piroklastika hasil letusan Gunung Sunda yang sebarannya sangat
luas hampir ke segala arah. Tras atau kaolin di Nagreg merupakan hasil proses
ubahan hidrotermal pada gunung api purba di daerah itu. Belerang, selain di Kawah
Tangkubanparahu, juga dijumpai di Kawah Putih dari Gunung Patuha dan
diperkirakan juga masih banyak tersimpan di dalam kawah-kawah gunung api
lainnya. Sinabar sebagai bahan oker atau pewarna pada industri cat, banyak dijumpai
di dalam batuan gunung api yang sudah teroksidasi kuat, antara lain dijumpai di
sekitar

pemandian

mata

air

panas

Ciater,

sebelah

timur

laut

Gunung

Tangkubanparahu.
Satu-satunya sumber daya mineral non logam yang tidak secara langsung
terkait dengan kegiatan vulkanisme adalah batugamping atau batukapur yang pada
saat ini penambangannya masih terus berlangsung di daerah Padalarang. Banyaknya
kegiatan gunung api pada masa lalu telah memberikan potensi sumber daya mineral
non logam yang sangat tinggi di kawasan Cekungan Bandung dan sekitarnya. Tidak

dapat dibantah bahwa pembangunan lingkungan hidup di daerah Bandung selama ini
sangat didukung oleh melimpahnya sumber daya mineral non logam asal gunung api.
Sumber daya mineral logam, khususnya emas, sudah mulai dieksplorasi oleh
beberapa Kuasa Pertambangan di Kawasan Bandung Selatan, antara lain oleh PT
Aneka Tambang Tbk dan PT Pancaraksa Abadi. Daerah mineralisasi ini antara lain
terdapat di Soreang, Ciwidey dan Gunung Kuda, sebelah barat Pangalengan. Agak
lebih ke barat laut, beberapa Kuasa Pertambangan juga melakukan kegiatan di daerah
Purwakarta dan Waduk Jatiluhur. Daerah ini juga merupakan bekas gunung api purba
yang dinamakan Gunung Sanggabuana dan Gunung Jatiluhur (Bronto, 2003) yang
masing-masing berumur 5,35 juta tahun yang lalu (Pertamina, 1988) dan 2 juta tahun
yang lalu (Soeria-Atmadja drr., 1994).
Dalam Rencana Strategis tahun 2003 2006, Puslitbang Geologi (sekarang
Pusat Survei Geologi) juga mencanangkan pencarian sumber-sumber baru mineral
logam sulfida di busur magma yang salah satu programnya berada di daerah
Cekungan Bandung dan sekitarnya. Pada tahap pertama dilakukan penelitian di
daerah Cupunagara, Kabupaten Subang, yang merupakan bagian tepi utara timur
laut Cekungan Bandung. Berdasarkan pemikiran lama (van Bemmelen, 1949;
Silitonga, 1973), gawir-gawir berbentuk tapal kuda yang membuka ke utara di daerah
ini terbentuk akibat sesar normal yang melengser ke utara pada saat terjadi letusan
besar Gunung Sunda. Gerak turun melengser ke utara dari batuan tersebut mendesak
batuan sedimen di sebelah utaranya sehingga terbentuk struktur antiklin Tambakan.
Pendapat ini mengisyaratkan bahwa di daerah antara Gunung Tangkubanparahu
dengan Gunung Tampomas tersebut tidak ada mineralisasi. Itulah sebabnya selama
ini belum ada penyelidikan, apalagi Kuasa Pertambangan yang melakukan eksplorasi
di daerah Cupunagara.
Dari penelitian awal mineralisasi, Bronto drr. (2004a) melaporkan bahwa
gawir berbentuk tapal kuda yang membuka ke utara tersebut adalah bekas kaldera
gunung api yang di dalamnya terdapat batuan gunung api berumur 59 dan 37 juta
tahun yang lalu. Pendapat ini dan dilandasi dengan Konsep Pusat Gunung api untuk

Strategi Pencarian Emas (Bronto & Hartono, 2003) dijadikan dasar untuk
menemukan sumber baru mineralisasi di daerah Cupunagara (Bronto drr., 2004b).
Data lapangan (Gambar 4) menunjukkan bahwa batuan gunung api di dalam kaldera
gunung api tua Cupunagara mengalami ubahan hidrotermal yang zonasinya dapat
dibagi menjadi argilit-silika, argilit, propilit pirit dan propilit (Gambar 5). Analisis
awal terhadap konsentrat dulang memberikan nilai tertinggi masing-masing untuk Au:
0,521,4 ppm, Ag: 10-19 ppm, Cu: 10-36 ppm, Pb: 70-90 ppm, dan Zn: 300-400
ppm. Daerah penemuan sumber baru mineralisasi pada tingkat penelitian awal
Potensi sumber daya geologi di daerah Cekungan Bandung dan sekitarnya (S. Bronto
dan U. Hartono) di Cupunagara ini diusulkan sebagai Laboratorium Alam untuk
kepentingan penelitian dan pendidikan geologi, terutama bagi institusi geologi yang
berada di Bandung (Bronto drr., 2004b).

Gambar 5. Foto singkapan urat kuarsa sebagai indikasi Mineralisasi di daerah cupunagara kecamatan
cisalak, Kabupaten subang.

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu
sebagai berikut:
1. Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah penurunan basin,
pensesaran, perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang
berbeda-beda dari waktu ke waktu. Secara umum, ada tiga arah pola umum

struktur yaitu arah Timur Laut-Barat Daya (NE-SW) yang disebut pola Meratus,
arah Utara- Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur-Barat (E-W).
2. Menurut penelitian Kastowo (1975), formasi tertua yang tersingkap pada regional
daerah Jawa Tengah adalah Formasi Pemali yang berumur Miosen Awal. Di atas
Formasi Pemali ini diendapkan secara selaras Formasi Rambatan, Formasi Lawak
dan Formasi Halang yang berumur Miosen Tengah-Akhir.
3. Kontrol struktur di Pulau Jawa sangat dipengaruhi aktivitas tektonik lempeng
yang aktif, yaitu Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia. Akibat dari
aktivitas lempeng tektonik tersebut di Pulau Jawa berkembang tiga pola struktur
geologi dominan (gambar 2.2), yaitu Pola Meratus yang berarah timurlautbaratdaya, Pola Sunda yang berarah utara-selatan, dan Pola Jawa yang berarah
timur-barat (Pulonggono dan Martodjojo, 1994).
4. Sumber daya geologi adalah semua fenomena geologi yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber daya bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain sumber daya
geologi adalah sumber daya yang mampu mendukung kehidupan manusia secara
berkelanjutan. Sumber daya geologi tersebut meliputi: sumberdaya energi,
sumber daya lingkungan dan sumberdaya mineral.

Anda mungkin juga menyukai