Genetika Wayang Purwa Dahului Teori Gregor Mendel
Genetika Wayang Purwa Dahului Teori Gregor Mendel
Arimbi ini. Gatutkaca menunjukkan wajahnya sebagai putra seorang raksasa. "Dewi
Arimbi adalah putri Prabu Tremboko, raja raksasa," katanya.
Pada diri Gatutkaca, jelasnya, menunjukkan sifat fisik Arimbi yang lebih dominan,
meski pada hidung, mata dan mulut serta suara yang menurun dari Bima.
Dari isteri ketiga, Dewi Urangayu, Bima berputera Raden Antasena. "Antasena
meski kulit bersisik seperti ikan, kuat dalam air namun juga mirip dengan ayahnya,
Bima," katanya.
Kasus lain yang menunjukan ilmu orang Jawa telah mendahului Teori Mendel adalah
dalam kasus Keluarga Bagawan Wisrawa. Bagawan Wisrawa, ujarnya, memiliki sifat
gagah berani, ganteng dan bermental baja. "Dari isterinya Dewi Sukesi adalah
puteri raja raksasa, Prabu Sumali," ujarnya.
Dari perkawinannya dengan Dewi Sukesi itu, imbuhnya, Bagawan Wisrawa
berputera tiga, Rahwana, Kumbakarna, dan Gunawan Wibisono dan seorang puteri
Sarpakenaka.
Anak pertamanya, Rahwana badan dan karakteristiknya adalah raksasa. "Ini berarti
dominant gene carrier dari Dewi Sukesi dan dari kakeknya Prabu Sumali," ujarnya.
Anak kedua, Kumbakarna. Kumbakarna, lanjutnya, badan fisiknya raksasa tetapi
karakteristiknya adalah ksatria. "Ini menunjukkan incomplete dominant genes dari
orang tuanya atau mixture dominant," katanya.
Badan fisik yang besar raksasa menunjukkan keturunan ibunya Dewi Sukesi dan
kakeknya Prabu Sumali sedangkan sifat kstatria dari ayahnya Bagawan Wisrawa.
Sementara Sarpakenaka berwajah rsksasa tetapi tubuhnya mirip ibunya dan sifat
dan tabiatnya adalah raksasa.
Anak keempat Guwawan Wibisono, badan dan perilakunya seperti ksatria.
Dari dua keluarga pewayangan itu, jelasnya menunjukkan betapa masyarakat Jawa
sudah memiliki pengetahuan tentang genetika yang sangat mendalam. "Jauh
sebelum Gregor Mendel menyampaikan teorinya," ujarnya.
bahwa wayang kulit purwa telah ada di Nusantara sejak tahun 872 /903 Masehi
bahkan sumber lain menyebutkan wayang sudah ada sejak 1500 SM yang
digunakan untuk kegiatan upacara-upacara keagaamaan. Ini berarti orang Jawa
telah cukup lama mengenal wayang.
Apabila kita lihat dengan seksama, maka wayang terbagi menjadi beberapa
golongan dengan bentuk tubuh serta busana yang berbeda-beda satu sama
lainnya. Dr. Hartono Moedjisoenoe dari Universitas Kediri (1985) menggambarkan
adanya perbedaan lahiriah dan batiniah dari masing-masing tokohnya, misalnya
bentuk dan warna roman muka, mata, hidung, mulut, suara serta watak atau
perilaku serta sifat para tokohnya. Ini tercermin baik dalam wujud/bentuk maupun
lakonnya. Karena itu orang Jawa seringkali mengatakan bahwa kacang mangsa
ninggala lanjarane.
Berikut ini akan diuraikan salah satu contoh ilustrasi yang menunjukkan
terdapatnya aspek genetika dalam wayang yaitu dari kisah Mahabharata akan
diambil genetik keluarga Bima (Werkudara), sedangkan dari epos Ramayana akan
diambil genetik keluarga Resi Wisrawa.
Genetika Keluarga Bima
Menurut Kitab Mahabharata, Bima adalah putera Batara Bayu dengan Dewi Kunthi,
karena itu Bima seringkali disebut dengan Bayusuta, yang berarti anak Batara Bayu.
Wujud dan bentuk tubuh Bima banyak menunjukkan sifat-sifat warisan Batara Bayu
(ayah), demikian juga nada dan ritem suara serta perilakunya. Dalam genetika, gen
pembawa sifat Batara Bayu yang menonjol disebut dominan terhadap gen Dewi
Kunthi.
Dalam kehidupannya, Bima diceritakan mempunyai anak dari 3 istri yang berbeda.
Dari istri pertama, Dewi Nagagini, putri Sang Hyang Anantaboga yang berujud naga
yang bersemayam di Kahyangan Saptapertala (di dalam bumi), lahir seorang putera
bernama Antareja/Anantareja. Antareja memiliki sifatr seperti nama yaitu seluruh
badannya bersisik seperti naga dan memiliki upas (bisa) ular yang sangat dhasyat
(mandhi, bahasa Jawa) dan dapat disemburkan dari mulutnya. Selain itu, Antareja
dapat masuk ke dalam bumi (ambles bumi, bahasa Jawa) serta berjalan didalamnya
seperti layaknya seekor ular. Gen pembawa sifat dominan ini bukan berasal dari
Bima (ayah) tetapi berasal dari Batara Anantaboga (kakek dari ibu) yang tidak
muncul pada Nagagini (ibu). Peristiwa sepereti ini dalam teori genetika disebut
Epistasis. Tetapi apabila kita perhatikan raut muka Antareja seperti pada bentuk
wajah, mata, hidung, mulut dan ritme suaranya, jelas gen dominannya berasal dari
Bima (ayah).
Selanjutnya dari istri kedua, Dewi Arimbi yang semula berwajah raseksi (raksasa
wanita), adalah putri dari Prabu Tremboko (raja raksasa dari Pringgodani). Dari
arimbi inilah lahir seorang putera bernama Gathutkaca. Pada Gathutkaca gen
pembawa sifat ibu (Arimbi) sangat dominan. Hal ini dapat dilihat bahwa ketika lahir
Jabang Tutuka (Gathutkaca) berujud bayi telah memiliki gigi taring (siung) seperti
layaknya seorang raksasa, tetapi raut muka (mata, hidung, dan mulut), nada dan
ritme suara, perilaku, serta sikap gen dominannya berasal dari Bima (ayah).
Dari istri ketiga Dewi Urangayu, seorang putri keturunan dewa ikan, Batara Baruna,
lahir seorang putera bernama Antasena yang memiliki sifat seperti ikan, yaitu
kulitnya bersisik, tahan hidup di dalam air, memiliki sepasang sungut (semacam
misai/kumis) di tengah batang hidungnya. Gen pembawa sifat dominan ini berasal
dari Dewi Urangayu (ibu), sedangkan gen pembawa sifat dominan dari Bima (ayah)
sama seperti kedua putera Bima lainnya, yaitu raut muka (hidung, mulut dan mata),
nada dan ritme suara, perilaku dan sikapnya seperti ayahnya.
Genetika Keluarga Alengka
Silsilah atau alur keluarga Rahwana atau dalam pedalangan lebih populer dengan
sebutan Dasamuka, dimulai dari Resi Wisrawa yang kawin dengan Dewi Sukesi,
puteri Prabu Sumali ( raja Alengka yang berujud raksasa). Resi Wisrawa adalah
seorang satriya pinandhita yang rupawan serta memiliki kesaktiuan jasmaniah dan
rohaniah (bathin) yang hebat. Dalam kehidupannya, Resi Wisrawa yang beristri
Dewi Sukesi membuahkan 3 orang putera dan seorang putrei, yaitu Rahwana
(berujud raksasa), Kumbakarna (berujud raksasa), Dewi Sarpakenaka (berujud
raseksi) Gunawan Wibisana (berujud satriya bagus). Keempat puteranya tersebut
memiliki perbedaan wujud badan maupun perilakju seperti raksasa. Rahwana
(Ravana, yang berarti tukang teriak) sebagai anak pertama memiliki wujud badan
seperti manusia tetapi berwajah raksasa (manungsa kagok butha) dan sikap
perilakunya seperti raksasa. Ini berarti gen dominan pembawa sifat tersebut berasal
dari Dewi Sukesi (pembawa sifat resesif) dan dari Prabu Sumali (kakek bersifat
dominan).
Anak kedua Kumbakarna keseluruhan wujud badanya seperti raksasa tetapi sifat
perilakunya seperti seorang kesatria. Ini menunjukkan adanya percampuran antara
gen dominan dari kedua orang tuanya. Wujud raksasa berasal dari pewarisan Dewi
Sukesi (ibu) dan Prabu Sumali (kakek), sedangkan sikap perilaku kesatrianya berasal
dari pewarisan Resi Wisrawa (ayahnya).
Pada anak ketiga, Dewi Sarpakenaka, wajahnya berujud raksasa sedangkan bangun
(postur) tubuhnya seperti seorang putri cantik jelita atau bahkan sering disamakan
dengan postur seorang bidadari, tetapi memiliki sikap perilaku seperti seorang
raksasa. Sifat ibunya, Dewi Sukesi dan kakenya, Sumali, menurun dominan pada
wajah dan perilakunya, sedangkan gen dominan dari ayahnya (Wisrawa) terdapat
pada bagian tubuh lainnya di luar wajah.
Pada anak keempat Kunta Wibisana (Gunawan) seluruh tubuh dan sikap perilaku
dan tutur katanya seperti seorang satriya pinandhita. Ini menunjukkan bahwa gen