Anda di halaman 1dari 6

Genetika Wayang Purwa Dahului Teori Gregor Mendel

Metrotvnews.com, Yogyakarta: Ilmu Genetika akan selalu mengunggulkan teori


Gregor Mendel. Bahkan Mendel dianggap sebagai Bapak Ilmu Genetika.
Namun sebenarnya, teori Mendel tentang genetika, bukan temuan baru. Ratusan
tahun sebelum Mendel mendeklarasikan temuannya, orang Jawa telah mendahului
dengan menyuguhkan hal itu.
Peneliti pada Laboratorium Genetika Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Dr
Budi Setiadi Daryono, Kamis (22/8), menjelaskan, Ilmu Genetika orang Jawa itu
terlihat pada sosok pewayangan.
Pada Kongres Pewayangan II di UGM, Setiadi menjelaskan teori genetika itu salah
satunya tecermin keluarga Bima (Wrekudara) pada alur Mahabharata dan pada
keluarga Begawan Wisrawa pada alur Ramayana.
Bima, imbuhnya, adalah keturunan Batara Bayu dan Dewi Kunti. "Badan Bima yang
besar, suara yang berat dan kebiasaannya menunjukkan sifat Dewa Bayu yang lebih
dominan," katanya.
Dalam kehidupannya, Bima beristerikan tiga orang. Isteri Bima yang pertama Dewi
Nagagini, anak Sang Hyang Anta Boga yang bertubuh ular. "Dari perkawinannya
dengan Nagagini ini, Bima berputera satu, Antareja," katanya.
Antareja sendiri, menunjukkan seperti kakeknya, Anta Boga, kulit bersisik, beracun
dan dapat menyemburkan racun melalui mulutnya.
"Ini sifat dari kakeknya, Anta Boga, bukan dari ayahnya, Bima atau ibunya,
Nagagini," jelasnya. Ia menambahkan dalam genetika fenomena ini disebut
Atavisme.
Antareja jelasnya, juga memiliki sifat ayahnya, bersuara berat, serta memiliki
bentuk mata dan hidung yang mirip Bima.
Nagagini adalah perempuan normal, meski anak Dewa Naga tetapi Nagagini tidak
memiliki taring.
Bima, jelasnya juga tidak memiliki taring. Namun demikian ternyata Antareja
memiliki taring.
Berbeda lagi dengan Gatutkaca, ujarnya. Menurut dia, anak Bima dari isteri Dewi

Arimbi ini. Gatutkaca menunjukkan wajahnya sebagai putra seorang raksasa. "Dewi
Arimbi adalah putri Prabu Tremboko, raja raksasa," katanya.
Pada diri Gatutkaca, jelasnya, menunjukkan sifat fisik Arimbi yang lebih dominan,
meski pada hidung, mata dan mulut serta suara yang menurun dari Bima.
Dari isteri ketiga, Dewi Urangayu, Bima berputera Raden Antasena. "Antasena
meski kulit bersisik seperti ikan, kuat dalam air namun juga mirip dengan ayahnya,
Bima," katanya.
Kasus lain yang menunjukan ilmu orang Jawa telah mendahului Teori Mendel adalah
dalam kasus Keluarga Bagawan Wisrawa. Bagawan Wisrawa, ujarnya, memiliki sifat
gagah berani, ganteng dan bermental baja. "Dari isterinya Dewi Sukesi adalah
puteri raja raksasa, Prabu Sumali," ujarnya.
Dari perkawinannya dengan Dewi Sukesi itu, imbuhnya, Bagawan Wisrawa
berputera tiga, Rahwana, Kumbakarna, dan Gunawan Wibisono dan seorang puteri
Sarpakenaka.
Anak pertamanya, Rahwana badan dan karakteristiknya adalah raksasa. "Ini berarti
dominant gene carrier dari Dewi Sukesi dan dari kakeknya Prabu Sumali," ujarnya.
Anak kedua, Kumbakarna. Kumbakarna, lanjutnya, badan fisiknya raksasa tetapi
karakteristiknya adalah ksatria. "Ini menunjukkan incomplete dominant genes dari
orang tuanya atau mixture dominant," katanya.
Badan fisik yang besar raksasa menunjukkan keturunan ibunya Dewi Sukesi dan
kakeknya Prabu Sumali sedangkan sifat kstatria dari ayahnya Bagawan Wisrawa.
Sementara Sarpakenaka berwajah rsksasa tetapi tubuhnya mirip ibunya dan sifat
dan tabiatnya adalah raksasa.
Anak keempat Guwawan Wibisono, badan dan perilakunya seperti ksatria.
Dari dua keluarga pewayangan itu, jelasnya menunjukkan betapa masyarakat Jawa
sudah memiliki pengetahuan tentang genetika yang sangat mendalam. "Jauh
sebelum Gregor Mendel menyampaikan teorinya," ujarnya.

MENGUAK PRINSIP-PRINSIP GENETIKA DALAM PEWAYANGAN

... open house...


(sebuah catatan untuk memperingati perjalanan di Jogja)

... SURADIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI ...


Maraknya pemberitaan mengenai bioteknologi, khususnya teknologi rekayasa
genetika di media massa akhir-akhir ini, telah membuat kita terkagum-kagum pada
kecanggihan teknologi kutak-kutik gen (materi genetik pembawa sifat tertentu)
yang dilakukan oleh para peneliti di sejumlah negara maju. Lebih dari satu abad
yang lalu, Bapak Genetika, Gregor Mandel telah merumuskan aturan-aturan untuk
menerangkan cara-cara pewarisan keturunan dan sifat-sifat biologi dari satu
generasi kepada generasi berikutnya. Peristiwa tersebut sekaligus menandai
lahirnya ilmu genetika. Namun jauh sebelum Mandel memperkenalkan teori
keturunannya tersebut, orang Jawa sebenarnya telah mengenal pengetahuanh
tentang keturunan (genetika). Lantas pertanyaannya adalah, Kapankah orang Jawa
mengenal dan memahami prinsip-prinsip genetika ? Bukankah teori genetika baru
dikenal seabad yang lalu oleh bangsa Barat, kemudian melalui media apakah orang
Jawa dapat mengenal genetika ?
Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita perlu
menentukan salah satu hasil karya adiluhung orang jawa dalam bidang seni, sastra,
ilmu pengetahuan dan teknologi beserta ciri-ciri aslinya yang sampai sekarang
masih melekat dalam kehidupan serta penghidupan sehari-hari dari orang Jawa.
Menurut Dr.Budi Setiadi Daryono (1997), dosen Genetika pada Fakultas Biologi UGM,
wayang kulit purwa baik dalam wujud bentuk dan lakon (penampilan dalam cerita)
pagelarannya yang bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana
mencerminkan hasil-hasil karya nyata pujangga Jawa dengan ciri-ciri keasliannya.
Dengan demikian kita dapat melihat adanya pemahaman dan pengertian orang
Jawa terhadap genetika melalui bentuk dan lakon wayang kulit purwa yang
merupakan hasil karya asli pujangga Jawa.
Kaitan Genetika dengan Wayang
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa orang Jawa mengenal dan memahami
genetika melalui bentuk serta lakon wayang kulit purwa, maka sejak kapankah
wayang tersebut dikenal orang Jawa ?. Ir. Haryono H Guritno (1984) menyatakan

bahwa wayang kulit purwa telah ada di Nusantara sejak tahun 872 /903 Masehi
bahkan sumber lain menyebutkan wayang sudah ada sejak 1500 SM yang
digunakan untuk kegiatan upacara-upacara keagaamaan. Ini berarti orang Jawa
telah cukup lama mengenal wayang.
Apabila kita lihat dengan seksama, maka wayang terbagi menjadi beberapa
golongan dengan bentuk tubuh serta busana yang berbeda-beda satu sama
lainnya. Dr. Hartono Moedjisoenoe dari Universitas Kediri (1985) menggambarkan
adanya perbedaan lahiriah dan batiniah dari masing-masing tokohnya, misalnya
bentuk dan warna roman muka, mata, hidung, mulut, suara serta watak atau
perilaku serta sifat para tokohnya. Ini tercermin baik dalam wujud/bentuk maupun
lakonnya. Karena itu orang Jawa seringkali mengatakan bahwa kacang mangsa
ninggala lanjarane.
Berikut ini akan diuraikan salah satu contoh ilustrasi yang menunjukkan
terdapatnya aspek genetika dalam wayang yaitu dari kisah Mahabharata akan
diambil genetik keluarga Bima (Werkudara), sedangkan dari epos Ramayana akan
diambil genetik keluarga Resi Wisrawa.
Genetika Keluarga Bima
Menurut Kitab Mahabharata, Bima adalah putera Batara Bayu dengan Dewi Kunthi,
karena itu Bima seringkali disebut dengan Bayusuta, yang berarti anak Batara Bayu.
Wujud dan bentuk tubuh Bima banyak menunjukkan sifat-sifat warisan Batara Bayu
(ayah), demikian juga nada dan ritem suara serta perilakunya. Dalam genetika, gen
pembawa sifat Batara Bayu yang menonjol disebut dominan terhadap gen Dewi
Kunthi.
Dalam kehidupannya, Bima diceritakan mempunyai anak dari 3 istri yang berbeda.
Dari istri pertama, Dewi Nagagini, putri Sang Hyang Anantaboga yang berujud naga
yang bersemayam di Kahyangan Saptapertala (di dalam bumi), lahir seorang putera
bernama Antareja/Anantareja. Antareja memiliki sifatr seperti nama yaitu seluruh
badannya bersisik seperti naga dan memiliki upas (bisa) ular yang sangat dhasyat
(mandhi, bahasa Jawa) dan dapat disemburkan dari mulutnya. Selain itu, Antareja
dapat masuk ke dalam bumi (ambles bumi, bahasa Jawa) serta berjalan didalamnya
seperti layaknya seekor ular. Gen pembawa sifat dominan ini bukan berasal dari
Bima (ayah) tetapi berasal dari Batara Anantaboga (kakek dari ibu) yang tidak
muncul pada Nagagini (ibu). Peristiwa sepereti ini dalam teori genetika disebut
Epistasis. Tetapi apabila kita perhatikan raut muka Antareja seperti pada bentuk
wajah, mata, hidung, mulut dan ritme suaranya, jelas gen dominannya berasal dari
Bima (ayah).
Selanjutnya dari istri kedua, Dewi Arimbi yang semula berwajah raseksi (raksasa
wanita), adalah putri dari Prabu Tremboko (raja raksasa dari Pringgodani). Dari
arimbi inilah lahir seorang putera bernama Gathutkaca. Pada Gathutkaca gen

pembawa sifat ibu (Arimbi) sangat dominan. Hal ini dapat dilihat bahwa ketika lahir
Jabang Tutuka (Gathutkaca) berujud bayi telah memiliki gigi taring (siung) seperti
layaknya seorang raksasa, tetapi raut muka (mata, hidung, dan mulut), nada dan
ritme suara, perilaku, serta sikap gen dominannya berasal dari Bima (ayah).
Dari istri ketiga Dewi Urangayu, seorang putri keturunan dewa ikan, Batara Baruna,
lahir seorang putera bernama Antasena yang memiliki sifat seperti ikan, yaitu
kulitnya bersisik, tahan hidup di dalam air, memiliki sepasang sungut (semacam
misai/kumis) di tengah batang hidungnya. Gen pembawa sifat dominan ini berasal
dari Dewi Urangayu (ibu), sedangkan gen pembawa sifat dominan dari Bima (ayah)
sama seperti kedua putera Bima lainnya, yaitu raut muka (hidung, mulut dan mata),
nada dan ritme suara, perilaku dan sikapnya seperti ayahnya.
Genetika Keluarga Alengka
Silsilah atau alur keluarga Rahwana atau dalam pedalangan lebih populer dengan
sebutan Dasamuka, dimulai dari Resi Wisrawa yang kawin dengan Dewi Sukesi,
puteri Prabu Sumali ( raja Alengka yang berujud raksasa). Resi Wisrawa adalah
seorang satriya pinandhita yang rupawan serta memiliki kesaktiuan jasmaniah dan
rohaniah (bathin) yang hebat. Dalam kehidupannya, Resi Wisrawa yang beristri
Dewi Sukesi membuahkan 3 orang putera dan seorang putrei, yaitu Rahwana
(berujud raksasa), Kumbakarna (berujud raksasa), Dewi Sarpakenaka (berujud
raseksi) Gunawan Wibisana (berujud satriya bagus). Keempat puteranya tersebut
memiliki perbedaan wujud badan maupun perilakju seperti raksasa. Rahwana
(Ravana, yang berarti tukang teriak) sebagai anak pertama memiliki wujud badan
seperti manusia tetapi berwajah raksasa (manungsa kagok butha) dan sikap
perilakunya seperti raksasa. Ini berarti gen dominan pembawa sifat tersebut berasal
dari Dewi Sukesi (pembawa sifat resesif) dan dari Prabu Sumali (kakek bersifat
dominan).
Anak kedua Kumbakarna keseluruhan wujud badanya seperti raksasa tetapi sifat
perilakunya seperti seorang kesatria. Ini menunjukkan adanya percampuran antara
gen dominan dari kedua orang tuanya. Wujud raksasa berasal dari pewarisan Dewi
Sukesi (ibu) dan Prabu Sumali (kakek), sedangkan sikap perilaku kesatrianya berasal
dari pewarisan Resi Wisrawa (ayahnya).
Pada anak ketiga, Dewi Sarpakenaka, wajahnya berujud raksasa sedangkan bangun
(postur) tubuhnya seperti seorang putri cantik jelita atau bahkan sering disamakan
dengan postur seorang bidadari, tetapi memiliki sikap perilaku seperti seorang
raksasa. Sifat ibunya, Dewi Sukesi dan kakenya, Sumali, menurun dominan pada
wajah dan perilakunya, sedangkan gen dominan dari ayahnya (Wisrawa) terdapat
pada bagian tubuh lainnya di luar wajah.
Pada anak keempat Kunta Wibisana (Gunawan) seluruh tubuh dan sikap perilaku
dan tutur katanya seperti seorang satriya pinandhita. Ini menunjukkan bahwa gen

dominan ayahnya (Resi Wisrawa) menurun seluruhnya ke putera bungsunya ini.


Kita masih dapat menjumpai adanya pewarisan genetika dalam keluarga Prabu Sri
Batara Kresna yang menikah dengan Dewi Jembawati, putri Resi Jembawan yang
berujud kera. Dari perkawinan ini lahirlah, Samba Wisnubrata yang seluruh tubuh,
roman muka serta perilakunya mirip Prabu Kresna (ayah) , tetapi dalam tubuhnya
yang banyak ditumbuhi bulu-bulu halus adalah warisan dari ResiJembawan (kakek).
Begitu pula dengan Begawan Palasara yang menikah dengan Dewi Durgandini serta
pada keturunannya.
Penutup
Berdasarkan bentuk dan lakon pada wayang kulit purwa tersebut, kini dapat
diketahui bahwa orang Jawa telah cukup lama mengenal dan memahami prinsipprinsip genetika (meskipun pada waktu itu ilmu genetika belum lahir secara formal
dalam bentuk teks-teks ilmiah). Dengan demikian kita tidak perlu merasa rendah
diri dan berupaya keras untuk mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain yang
telah lama mengenal dan memahami pengetahuan genetika. Dengan kerja keras,
kesungguhan, semangat nasionalisme dan gotong royong dalam menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa adalah modal dasar untuk menjadi bangsa yang
maju dan modern di era globalisasi ini.
- See more at: http://fanfren.com/index.php?
option=com_blog&view=comments&pid=2071&go=6&ft&fnm=Itemid
%3D0#sthash.r76Me9IZ.dpuf

Anda mungkin juga menyukai