Pendahuluan
Dalam bidang pendidikan inteligensi dimanfaatkan untuk mengetahui sejauh
mana prestasi belajar yang dapat dicapai oleh individu, untuk penyesuaian dalam
sekolah, jurusan, dan perlakuan kepada subjek didik. Dalam penerimaan tes untuk
masuk atau melanjutkan pendidikan serta masuk di suatu bidang kerja pun saat ini
salah satunya melalui tes inteligensi. Individu dalam menyelesaikan masalah,
apakah cepat atau lambat, faktor yang turut menentukan adalah faktor inteligensi
dari individu yang bersangkutan. (Walgito, 2010:210)
Inteligensi dan keberhasilan dalam pendidikan adalah dua hal yang saling
berkaitan. Di mana biasanya anak yang memiliki inteligensi yang tinggi dia akan
memiliki prestasi yang membanggakan di kelasnya, dan dengan prestasi yang
dimilikinya ia akan lebih mudah meraih keberhasilan.
Ada ragam pendapat mengenai inteligensi. Bagi kaum awam, inteligensi
dianggap unsur mutlak dalam menentukan kecerdasan seseorang.
Inteligensi
sering juga disamakan dengan IQ. Beberapa pertanyaan umum yang sering muncul
berkaitan dengan inteligensi misalnya: apakah inteligensi itu dan dapatkah
inteligensi ditingkatkan, serta apakah tes inteligensi menjadi patokan kecerdasan
seseorang?
Melihat betapa pentingnya manfaat inteligensi sebagaimana disebutkan, dan
adanya ragam pendapat, anggapan serta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
umum mengenai inteligensi di atas, pada artikel ini akan diuraikan hakikat
inteligensi, pengukuran, faktor-faktor yang mempengaruhi, teori, pengaruh
inteligensi pada belajar, dan implikasinya dalam pendidikan atau pembelajaran.
A. Hakikat Inteligensi
Perkataan
inteligensi
dari
kata
latin
intelligere
yang
berarti
ability yang berkaitan dengan hal-hal yang kongkrit dan ability yang berkaitan
dengan hal-hal yang abstrak. Individu itu inteligen apabila dapat berpikir secara
abstrak secara baik. Ini berarti bahwa apabila individu kurang mampu berpikir
abstrak, individu bersangkutan inteligensinya kurang baik.
C.P. Chaplin (Yusuf, 2006:106) mengartikan inteligensi itu sebagai
kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat
dan efektif.
Anita E. Woolfolk (Yusuf, 2006:106) mengemukakan bahwa menurut teoriteori lama, inteligensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu (1) kemampuan untuk
belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk
B. Pengukuran Inteligensi
Masing-masing individu berbeda-beda dalam segi inteligensinya. Untuk
dapat mengetahui taraf inteligensi seseorang, orang menggunakan tes inteligensi.
Dengan tes inteligensi diharapkan dapat mengungkap inteligensi seseorang, akan
dapat diketahui tentang keadaan tarafnya.
Ahli yang dipandang pertama menciptakan tes inteligensi adalah Binet. Tes
inteligensi Binet disusun pertama kali di tahun 1905 yang kemudian mendapatkan
revisi baik dari Binet sendiri maupun dari para ahli. Tahun 1949 diciptakan
Wechsler Intelligence Scale for Children atau tes WISC, yang khusus
diperuntukkan anak-anak. Selanjutnya di tahun 1955 Wechsler menciptakan tes
inteligensi untuk orang dewasa yang dikenal dengan Wechsler Adult Intelligence
Scale yang dikenal dengan tes WAIS.
Tes inteligensi terus mengalami perkembangan. Beberapa jenis alat tes yang
digunakan untuk mengukur inteligensi yang dikenal sebagai berikut.
Klasifikasi
140- ke atas
Jenius
130 139
Sangat cerdas
120 129
Cerdas
110 119
Di atas normal
90 109
Normal
80 89
Di bawah normal
70 79
Bodoh
50 69
Terbelakang (Moron/Debil)
49 ke bawah
sekolah semata. Kedua orang tua harus berusaha sebaik mungkin untuk
menentukan dan mengembangkan sebanyak mungkin kecerdasan yang dimiliki
oleh masing-masing anak. Sebaliknya, lingkungan yang buruk dapat saja
mengubah inteligensi seseorang yang semata-mata karena ia berada dalam didikan
lingkungan tersebut (Komorita dalam Azwar, 2004:87).
Dari penelitian di atas menunjukkan bahwa inteligensi seseorang dapat
mengalami perubahan, baik meningkat maupun menurun karena faktor
lingkungan.
D. Teori Inteligensi
1. Teori Two Factors
Teori ini dikemukakan oleh Charles Spearmen (Yusuf, 2006:107). Dia
berpendapat bahwa inteligensi itu meliputi kemampuan umum yang diberi
kode G (general factors), dan kemampuan khusus yang diberi kode S
(specific factors). Setiap individu memiliki kedua kemampuan ini yang
keduanya menentukan penampilan atau perilaku mentalnya.
a. Faktor umum (G), general factor
Faktor G, mencakup semua kegiatan intelektual yang dimiliki oleh setiap
orang dalam berbagai derajat tertentu. Contohnya penyanyi, orang yang
mempunyai suara yang merdu dengan musikalitas yang tinggi tanpa
latihan. General factor mempunyai beberapa karakteristik, antara lain
sebagai berikut:
1) Merupakan kemampuan umum yang dibawa sejak lahir
2) Bersifat konstan
3) Dipergunakan dalam setiap kegiatan individu
4) Jumlah faktor G setiap individu berbeda
5) Semakin besar jumlah G yang ada dalam diri seseorang, maka makin
besar kemungkinan kesuksesan hidupnya
b.
dapat bermain piano dengan baik. Atau seorang ahli matematika, dengan
terus menerus berlatih mengerjakan soal-soal matematika seseorang akan
dapat mengerjakan soal dengan baik. Specific factor mempunyai beberapa
karakteristik, antara lain sebagai berikut:
1) Dipelajari dan diperoleh dari lingkungan
2) Bervariasi dari kegiatan yang satu dengan lainnya dari individu yang
sama
3) Jumlah muatan S pada tiap-tiap individu berbeda
Kedua faktor di atas terkadang tumpang tindih dan terkadang pula
terlihat berbeda. Menurut Spearman, faktor G lebih banyak mewakili segi
genetis dan faktor S lebih banyak diperoleh melalui latihan dan
pendidikan. Kedua faktor diatas sangat penting untuk melihat kemampuan
individu saat berpindah dari situasi satu ke situasi yang lainnya.
2. Teori Primary Mental Abilities
Teori ini dikemukakan oleh Thurstone (Yusuf, 2006:107). Thurstone
berpendapat bahwa inteligensi merupakan penjelmaan dari kemampuan
primer, yaitu (a) kemampuan berbahasa: verbal comprehension; (b)
kemampuan mengingat: memory; (c) kemampuan nalar atau berpikir logis:
reasoning; (d) kemampuan tilikan ruang; spatial factor; (e) kemampuan
bilangan: numerical abilty; (f) kemampuan menggunakan kata-kata: word
fluency; dan (g) kemampuan mengamati dengan cepat dan cermat: perceptual
speed.
3. Teori Multiple Intelligence
Teori ini dikemukakan oleh J.P. Guilford dan Howard Gardner (Yusuf,
2006:107). Guilford berpendapat bahwa inteligensi itu dapat dilihat dari tiga
kategori dasar atau faces of intellect, yaitu sebagai berikut.
a. Operasi Mental (Proses Berpikir)
b. Content (Isi yang Dipikirkan)
c. Product (Hasil Berpikir)
Tokoh berikutnya dari teori multiple intelligence ini adalah Howard Gardner
(Yusuf, 2006:108). Gardner membagi inteligensi itu dalam 7 jenis, yaitu:
a. Logical-Mathematical (Kepekaan dan kemampuan untuk mengamati polapola logis dan bilangan serta kemampuan untuk berpikir rasional/logis)
b. Linguistic (Kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kaata, dan
keragaman fungsi-fungsi bahasa)
c. Musical (Kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan ritme.
Nada, dan bentuk-bentuk ekspresi musik)
d. Spatial (Kemampuan mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan
melakukan transformasi persepsi tersebut)
e. Bodily Kinesthetic (Kemampuan untuk mengontrol gerakan tubuh dan
menangani objek-objek secara terampil)
f. Interpersonal (Kemampuan untuk mengamati dan merespon suasana hati,
temperamen, dan motivasi orang lain)
g. Intrapersonal (Kemampuan untuk memahami perasaan, kekuatan dan
kelemahan, serta inteligensi sendiri).
Dalam buku terbarunya, Intelligence Reframed : Multiple Intelligence for
The 21st Century (1999), Howard Gardner (Badruddin, 2009) menjelaskan 8
kecerdasan yang tersimpan dalam otak manusia. Ada penambahan satu dari
tujuh jenis kecerdasan/keahlian sebelumnya, yaitu keahlian naturalis (Cerdas
Alam/Nature Smart): kemampuan mengamati pola-pola alam, memahami
sistem alam, dan sistem-sistem buatan manusia.
Mengembangkan kecerdasan majemuk anak merupakan kunci utama
untuk kesuksesan masa depan anak. Peran orang tua dalam memberikan
latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh lebih penting dalam
menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak. Jadi jelaslah bahwa
kecerdasan, yang biasanya diukur dengan skala IQ, memang bukan elemen
tunggal atau tiket menuju sukses (John Wareham dalam Badruddin, 2009).
4. Teori Triachic of intelligence
Teori ini dikemukakan oleh oleh Robert Stenberg (Yusuf, 2006:109).
Teori ini merupakan pendekatan proses kognitif untuk memahami inteligensi.
Stenberg mengartikannya sebagai suatu deskripsi tiga bagian kemampuan
mental (proses berpikir, mengatasi pengalaman atau masalah baru, dan
mereka
memiliki
kecerdasan
emosional
meskipun
kecerdasan
emosional
10
bahwa inteligensi merupakan salah satu faktor penting yang ikut menentukan
berhasil atau gagalnya belajar seseorang.
Menurut teori Binet dalam Sumadi Suryabrata (2004:133), sifat hakikat
inteligensi ada tiga macam, yaitu:
1.
2.
3.
11
12
2.
3.
4.
hasil tes inteligensi, baik itu hasil belajar seorang pelajar maupun dalam
penyaringan siswa baru. Selain itu tes inteligensi dalam dunia pendidikan dapat
digunakan jauh lebih luas lagi, tes inteligensi dapat digunakan dalam penggolongan pelajar, dan pemilihan/penentuan jurusan.
Anak yang memiliki inteligensi abnormal, baik sangat tinggi (superior)
maupun yang sangat rendah (inferior) sama-sama menimbulkan masalah bila
ditinjau dari dunia pendidikan. Pentingnya makna perbedaan individual,
khususnya dalam hal inteligensi, membawa kesadaran dalam dunia pendidikan
akan perlunya perlakuan khusus terhadap anak didik yang tergolong memiliki
tingkat inteligensi tidak biasa. Anak yang memiliki inteligensi begitu rendah
sehingga kemampuan belajarnya sangat terbatas memerlukan program khusus
yang memungkinkan mereka belajar dengan beban kecepatan yang sesuai dengan
keterbatasan mereka. Pada sisi lain, anak yang memiliki kemampuan superior pun
memerlukan program khusus yang memungkinkan mereka mengembangkan
segenap potensi lebih yang mereka punyai sehingga dapat mencapai prestasi yang
optimal dan tidak menimbulkan problem psikologis lain (Azwar, 2004:170).
Konsep kecerdasan ganda, bila dipahami dengan baik, akan membuat semua
guru memandang potensi anak lebih positif. Terlebih lagi, para guru pun dapat
13
pembelajaran. Jadi, bukan masalah seberapa tinggi tingkat inteligensi seorang anak
tetapi seberapa besar usaha kita dalam memberdayakan inteligensi yang ada pada
diri pelajar seoptimal mungkin. Bagi masyarakat awam, agar dapat memahami apa
sebenarnya inteligensi dan manfaatnya.
14
SUMBER REFERENSI
15