Anda di halaman 1dari 6

Memahami Kompleksitas Masalah Anak

13 Oktober 2012 09:31


Pembaca, bayangkan Anda adalah orangtua dari seorang anak, Budi, usia 9 tahun,
kelas 3 SD, dan anak Anda bermasalah di sekolah dan di rumah. Di sekolah,
menurut laporan dari guru kelasnya, Budi tidak bisa konsentrasi. Kalau di kelas Budi
suka bermain, bisa mainan pensil, penghapus, penggaris, tidak fokus mengikuti
pelajaran, dan sering remedi. Saat maksud mengerjakan soal ujian Budi sering tidak
mengerti maksud pertanyaan. Dan kalau menjawab biasanya lama sekali sehingga
seringkali waktunya habis dan Budi baru mengerjakan sebagian dari keseluruhan
pertanyaan.
Di rumah, Budi senangnya main game dan tidak mau belajar, tidak mandiri, tidak
disiplin, dan tidak bisa mengatur waktu. Kalau main game, Budi bisa fokus lama.
Kalau belajar, sebentar saja sudah bosan.
Sebagai orangtua Budi apa yang akan Anda lakukan untuk membantunya?
Tentu jawabannya bisa sangat beragam. Ada orangtua yang akan langsung
bertindak keras pada Budi. Ada yang memberi Budi les pelajaran dengan guru
privat. Ada yang konsultasi ke psikolog atau konselor.
Kisah yang saya ceritakan di artikel ini adalah kasus nyata yang saya tangani
beberapa waktu lalu. Apa yang saya ceritakan dalam artikel ini adalah ringkasan
dari sesi konsultasi orangtua Budi dengan saya selama hampir 2 jam.
Besar harapan saya Anda sebagai orangtua dapat memahami kondisi anak secara
utuh, menyeluruh, dan dengan demikian dapat memberikan bimbingan dan solusi
terbaik bagi putra-putri Anda yang mungkin mengalami masalah seperti Budi.
Sekarang mari kita bahas kemungkinan penyebab masalah Budi. Kita mulai dengan
perilakunya di rumah.
Bila orangtua berharap Budi bisa disiplin, mandiri, pintar mengatur waktu maka kita
perlu mencermati apa yang dilakukan di rumah. Orangtua seringkali berharap anak
bisa disiplin dan mandiri dengan sendirinya. Yang benar adalah kedisiplinan dan
kemandirian adalah hasil dari latihan dan pembiasaan. Tidak bisa bisa tumbuh
dengan sendirinya. Anak yang tidak dibiasakan dan atau dilatih sudah tentu akan
bertumbuh menjadi anak yang tidak disiplin dan mandiri.
Disiplin adalah perilaku berulang dan konsisten yang muncul sebagai hasil atau
akibat dari pembiasaan atau pembiaran, yang berawal dari atau dengan melakukan
hal-hal kecil. Ada dua jenis disiplin. Disiplin yang positif dan negatif. Disiplin positif
misalnya disiplin meletakkan buku atau sepatu di tempatnya sepulang sekolah.
Disiplin belajar dan mengerjakan tugas sekolah setiap hari. Disiplin bagun pagi dan

ke sekolah tepat waktu. Disiplin menyiapkan buku sendiri. Disiplin menggosok gigi.
Disiplin tidur tepat waktu. Disiplin mematikan lampu setelah keluar dari kamar
mandi. Dan masih banyak disiplin positif lainnya. Sedangkan disiplin negatif adalah
kebalikan dari semua disiplin positif. Saat anak dibiasakan hidup dengan pola
konsisten maka ia akan disiplin. Kita mau anak bisa disiplin untuk disiplin dan bukan
disiplin untuk tidak disiplin.
Konsistensi ini mutlak dibutuhkan anak karena ia membutuhkan peta untuk
mengenali lingkungannya. Peta ini adalah gambaran mental dan pemahaman
anak mengenai apa yang baik, apa yang buruk, apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, dan bagaimana bersikap dan berinteraksi dengan lingkungan sosial.
Dengan demikian disiplin positif adalah melakukan hal-hal yang baik secara
konsisten. Disiplin negatif adalah melakukan hal-hal yang tidak baik secara
konsisten. Kuncinya di sini adalah konsistensi. Kedisiplinan selanjutnya akan
membangun kemandirian. Di sini peran orangtua sangat menentukan. Sudah tentu,
baik atau tidak baik dalam hal ini sangat bergantung pada nilai-nilai hidup
seseorang. Untuk anak, yang menentukan baik atau tidak baik adalah nilai hidup
yang dipegang orangtua atau pengasuh utamanya.
Budi, dari hasil wawancara saya dengan orangtuanya, ternyata tidak dilatih dan
terlatih untuk disiplin. Saya menyarankan orangtua membuat check list hal apa saja
yang perlu diterapkan di rumah untuk membantu Budi membangun dan
mengembangkan kebiasaan positif. Demikian pula penetapan jam belajar di rumah.
Saya menyarankan agar orangtua Budi membuat kebijakan mulai jam 19.00 21.00
sebagai waktu belajar. Pada saat ini tidak boleh ada televisi atau game. Dan
orangtua harus aktif mendampingi proses belajar Budi. Baru bila setelah semua
tugasnya selesai dikerjakan Budi boleh nonton televisi atau main game. Interaksi ini
sangat penting dalam proses membangun kedekatan emosi antara anak dan
orangtua.
Kebijakan atau apa yang keluar dari mulut orangtua adalah aturan atau hukum
yang berlaku di rumah. Hukum ini harus dihormati dan dijalankan dengan konsisten,
berlaku bagi siapa saja. Selain hukumnya harus jelas, penegakkannya juga sangat
penting.
Seringkali orangtua melarang anak main game tapi tidak memberikan solusi apa
yang harus dilakukan anak kalau tidak main game. Apakah boleh anak main game?
Tentu sangat boleh. Gunakan game sebagai hadiah atau reward. Saat anak sudah
selesai mengerjakan tugasnya, ijinkan anak main game. Orangtua perlu tahu game
yang dimain oleh anak. Pastikan game ini bukan game yang ada unsur kekerasan
seperti menembak, memukul, menusuk, menendang, membunuh, dan sejenisnya.
Hal lain yang sangat penting adalah kedua orangtua Budi perlu aktif mengisi tangki
cinta Budi melalui interaksi bermakna. Hal ini sangat penting dilakukan karena dari

pengalaman saya selama ini masalah anak, khususnya yang berhubungan dengan
disiplin dan motivasi, seringkali bersumber dari tangki cinta anak kosong.
Cara paling baik untuk menumbuhkembangkan kedisiplinan dalam diri anak adalah
dengan orangtua memberi contoh atau teladan. Orangtua lead by example. Saya
sering mendengar orangtua mengeluh anak mereka tidak suka membaca. Setelah
saya cek ternyata kedua orangtua ini juga tidak suka membaca.

Lalu bagaimana dengan masalah Budi di sekolah?


Saya sangat sedih dan prihatin karena guru dengan mudahnya memberi anak label
tidak bisa atau sulit konsentrasi, ADD, ADHD, atau bahkan yang lebih parah lagi
autis. Guru tidak dididik, dilatih, dan tidak boleh melakukan diagnosa. Yang bisa
melakukan diagnosa adalah psikiater atau psikolog.
Saat seorang guru, yang adalah figur otoritas, memberi anak label tidak bisa
konsentrasi maka label ini langsung masuk dan menancap kuat di pikiran bawah
sadar anak. Dan yang berlaku adalah self fulfilling prophecy atau ramalan yang
menjadi kenyataan. Label ini menjadi semakin kuat saat orangtua, yang juga adalah
figur otoritas, mempercayai omongan guru dan juga melabel anak tidak bisa
konsentrasi.
Apakah benar anak tidak bisa konsentrasi?
Belum tentu. Pertama, sebagai pengajar kita perlu jujur pada diri sendiri. Coba
ajukan pertanyaan berikut ini, Apakah cara mengajar saya menarik dan
menyenangkan? Kalau lebih berani lagi coba buat angket dan ajukan pertanyaan
berikut pada murid sekelas, Anak-anak, apakah kalian suka mengikuti pelajaran
Bu/Pak Guru?.
Kalau memang guru sudah merasa mengajar dengan baik, menarik, dan
menyenangkan, dan ini diperkuat dengan umpan balik dari murid yang menyatakan
hal yang sama maka yang bermasalah memang si murid, bukan guru.
Kalau memang cara guru mengajar tidak menarik dan menyenangkan maka yang
perlu berubah adalah gurunya.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai gaya belajar anak. Ada
tiga gaya belajar dominan yaitu visual, auditori, dan kinestetik. Anak yang biasanya
bermasalah dalam belajar adalah anak kinestetik. Anak visual dan auditori bisa
duduk nyaman mendengar guru mengajar. Anak kinestetik tidak bisa. Mereka punya
kebutuhan gerak yang tinggi. Mereka belajar atau memasukakn informasi ke otak
dengan bergerak, melakukan eksplorasi, manipulasi objek nyata. Kalau diminta
duduk diam mereka akan sangat tersiksa dan sudah tentu tidak bisa konsentrasi

pada pelajaran karena energi mental mereka habis hanya untuk menahan diri agar
tidak bergerak.
Anak yang tidak bisa konsentrasi, bila hanya terjadi pada mata pelajaran tertentu,
besar kemungkinan pernah mengalami pengalaman traumatik yang berhubungan
dengan mata pelajaran itu. Untuk mengatasi hal ini maka perlu mendapat bantuan
terapis. Dan dari pengalaman saya selama ini adalah mudah untuk membantu anak
mengatasi hal ini. Syaratnya adalah dukungan penuh dari kedua orangtuanya.
Namun bila anak tidak suka pada semua mata pelajaran maka ini masalahnya
berbeda. Yang perlu dicek adalah konsep diri anak. Juga kecakapan dasar yaitu
calistung atau membaca, menulis, dan menghitung.

Anak yang tidak suka belajar biasanya karena mengalami kesulitan di aspek
kecakapan dasar. Ini banyak saya jumpai pada klien anak yang mengalami rancu
bahasa. Anak ini saat masih di PG/TK masuk sekolah berbasis bahasa asing,
terutama Inggris dan Mandarin. Namun saat di SD anak masuk sekolah nasional.
Bisa anda bayangkan kesulitan dan penderitaan anak saat ia harus belajar 12 mata
pelajaran dengan bahasa Indonesia yang ia tidak / kurang mengerti.
Dan ini sungguh tidak masuk di akal sehat saya. Bagaimana mungkin anak orang
Indonesia yang kondisi fisik dan mentalnya sehat, tinggal di Indonesia, tapi
kesulitan berbahasa Indonesia? Ini adalah contoh anak yang menjadi korban ambisi
orangtua yang tidak merencanakan pendidikan anak dengan baik. Bahkan ada
seorang rekan yang dengan bangga berkata, Pak Adi, anak saya ini kurang bisa
bahasa Indonesia. Ini lagi saya leskan supaya nanti masuk SD bisa lancar bahasa
Indonesia. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengurut dada
mendengar cerita ini.
Saran yang selalu saya berikan kepada para orangtua adalah untuk benar-benar
membantu dan mengembangkan kemampuan berbahasa anak hanya dalam satu
bahasa. Dalam hal ini adalah bahasa Indonesia. Bahasa asing (Inggris) dan aseng
(Mandarin) hanya diberikan dalam bentuk stimulasi. Kalau bisa ya bagus tidak
bisa juga tidak apa-apa. Yang benar-benar penting dan harus dikuasai anak adalah
bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia.
Orangtua perlu berkomunikasi dengan anak menggunakan satu bahasa secara
konsisten. Anak perlu sering-sering diajak bicara, bernyanyi, diskusi, dan dibacakan
cerita sebelum tidur.
Aktivitas membacakan anak cerita pengantar tidur selain mempererat hubungan
orangtua dan anak juga untuk menanamkan nilai-nilai positif dan menambah
kosakata anak. Sudah tentu orangtua perlu hati-hati dan cermat memilih buku
bacaan untuk anak. Tahukah anda, para orangtua, bahwa saat seseorang mau tidur

ia masuk ke kondisi pikiran yang rileks dan sangat reseptif. Apa yang Anda
sampaikan pada anak saat mau tidur ini, apalagi saat ia sudah sangat mengantuk,
akan masuk dan langsung terekam dengan sangat kuat di pikiran bawah sadar
anak.
Bagaimana dengan kecakapan berhitung?
Ini sangat penting untuk dikuasai. Anak SD kelas 1 dan 2 harus benar-benar cakap
melakukan penjumlahan dan pengurangan maksimal hingga 9 + 9. Tidak perlu
sampai ratusan atau ribuan. Dan ingat, untuk mengajar anak penjumlahan harus
menggunakan benda konkrit.
Mengapa harus kuat di penjumlahan? Karena penjumlahan adalah dasar untuk
perkalian. Perkalian adalah penjumlahan berulang.
Anak harus benar-benar menguasai tabel perkalian. Anak biasanya mengalami
kesulitan menguasai perkalian karena hanya diminta menghapal tanpa bisa
mendapat feeling dari setiap fakta yang ia hapal. Ada cara lebih mudah dan
menyenangkan untuk membantu anak menguasai tabel perkalian. Sejauh ini ada
dua buku yang saya rekomendasikan yaitu Cara Genius Menguasai Tabel Perkalian
(AWG) dan Perkalian itu Asyik & Menyenangkan (Soesilowati).

Saat anak tidak menguasai dasar matematika dengan baik maka ia akan
mengalami masalah besar saat naik kelas 4 SD dan seterusnya. Mengapa? Karena
di kelas 4 SD terjadi lompatan kurikulum yang sangat drastis jika dibandingkan
dengan kelas 3 SD. Apalagi kalau sampai kelas 5 dan 6 SD.
Orangtua yang konsultasi dan konseling ke saya sering berkata, Jujur Pak Adi kami
tidak tahu bahwa apa yang kami lakukan selama ini salah dan telah membentuk
anak kami seperti sekarang ini. Apa yang harus kami lakukan agar tidak salah terus
dalam mendidik anak kami?
Banyak orangtua yang bermaksud baik namun tidak menyadari bahwa apa yang
mereka pikir benar dalam mendidik anak, menurut persepsi mereka, ternyata salah.
Saya menyarankan orangtua untuk belajar dan banyak membaca buku, menghadiri
seminar, menjelejah internet untuk mencari informasi tentang pendidikan anak.
Orangtua perlu terus bertumbuh agar dapat menumbuhkembangkan anak
mencapai perkembangan optimal mereka.
Bagaimana kalau ternyata kesulitan anak, dalam belajar, disebabkan oleh faktor
hardware atau otaknya?
Kalau ini kondisinya maka solusinya berbeda. Saya menyarankan anak untuk
menjalani neurofeedback. Dalam hal ini yang langsung dilatih adalah otak anak
dengan menggunakan peralatan EEG khusus. Anak yang sulit konsentrasi biasanya

gelombang theta-nya terlalu aktif. Ada sangat banyak gambar mental yang muncul
di pikiran anak sehingga ia sulit konsentrasi. Untuk itu, aktifitas gelombang theta
perlu dikurangi. Dan untuk meningkatkan kemampuan kontrol dan fokus maka
gelombang beta lebih diaktifkan lagi.
Setelah intens konseling dan diskusi dengan orangtua Budi selama hampir dua jam
saya mengakhiri dengan memberi satu kalimat renungan, Anak lebih
membutuhkan orangtua daripada ayah dan ibu. Banyak orangtua punya anak
namun kehilangan anak-anaknya karena mereka tidak memberikan pendidikan
terbaik bagi anak-anak ini tapi hanya memberikan pengajaran terbaik dengan
menyekolahkan di sekolah favorit. Untuk bisa memberi pendidikan terbaik maka
orangtua perlu terus belajar dan berkembang, saling mencintai, mendukung, dan
sehati dalam mendidik anak.

Anda mungkin juga menyukai