Anda di halaman 1dari 14

PERENCANAAN SISTEM PENGENDALIAN

SUMBER DAYA KELAUTAN


Direktorat Kelautan dan Perikanan
Abstrak:
Tujuan kajian ini adalah menyusun rencana integrasi sistem pengendalian pengelolaan
sumberdaya kelautan, dalam bentuk matrikulasi aktivitas kelautan terhadap tugas pokok dan
fungsi institusi di pemerintah pusat dan daerah secara terpadu.
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah: (1) pengumpulan data primer dan
sekunder dengan didukung analisis kualitatif dan deskriptif; (2) diskusi panel dan seminar
dengan para pemangku kepentingan; (3) analisis pengambilan keputusan dengan metode
Strengh, Weaknesses, Opportunities, dan Threats (SWOT).
Dari kajian ini ditarik kesimpulan sebagai berikut, pertama, pengendalian sumber daya
kelautan di Indonesia masih terfokus pada aspek keamanan, sementara aspek ekonomi dan
lingkungan belum mendapat perhatian memadai. Dan aspek keamanan yang parsial itupun
belum dilakukan secara optimal. Kedua, peraturan perundangan yang ada belum bisa
menciptakan situasi kondusif untuk terlaksananya sistem pengendalian sumber daya kelautan
secara menyeluruh dan terkoordinasi.
Menghadapi masalah di atas, disampaikan rekomendasi berupa dijalankannya sistem
pengendalian pengelolaan sumberdaya kelautan Satu Komando Satu Organisasi, yang
merupakan sistem pengendalian paling ideal. Tetapi penerapan sistem ini perlu kesabaran,
ketekunan, dan keuletan, karena akan membutuhkan waktu cukup lama untuk merancang dan
menyusun undang-undang baru, serta membentuk satu organisasi baru, sampai organisasi
tersebut benar-benar mampu menjalankan fungsinya;
Di samping itu dalam rangka penerapan sistem Satu Komando ini mesti
memperhatikan ancaman-ancaman dari dalam, baik yang berkaitan dengan aspek ekonomi,
lingkungan, maupun keamanan yang bisa mengganggu diberlakukannya sistem ini.
1. LATAR BELAKANG

Keinginan melindungi potensi sumber daya kelautan bukanlah hal baru. Jika kita
cermati pernyataan Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957, maupun dasar pertimbangannya,
jelaslah aspek perlindungan sumber daya kelautan, di samping pertahanan dan keamanan
merupakan dasar pertimbangan utama.
Melalui Deklarasi Juanda, cara pandang bangsa Indonesia terhadap wilayah laut
ditekankan pada kesatuan teritorial wilayah tanah air yang berdaulat. Selanjutnya konsepsi
kesatuan wilayah Indonesia diperkuat dengan kesepakatan dalam Konvesi Hukum Laut tahun
1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea - UNCLOS). Dalam Konvensi
tersebut setiap negara wajib untuk mengelola dan melestarikan sumber daya kelautan di
wilayahnya.
Tetapi di Indonesia upaya pengendalian dan pengelolaan sumber daya kelautan
cenderung bersifat sektoral dan terkesan eksklusif. Masalah ini terjadi karena pelaksanaan
pengendalian sumber daya kelautan, selama ini dilakukan secara terpisah oleh instansiinstansi yang berwenang. Tidak ada koordinasi serta sinkronisasi, bahkan sering tidak
terkomunikasikan antara satu instansi dengan instansi lainnya. Itu sebabnya konsepsi
perencanaan mengenai sistem pengendalian sumber daya kelautan secara terpadu, yang
berbasis pengorganisasian, prosedur, dan mekanisme kerja, mutlak segera diwujudkan.

Sesungguhnya sejak jaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, bangsa Indonesia


merupakan bangsa berjiwa bahari yang memiliki filosofi hidup dengan dan dari laut. Pada
jaman kedua kerajaan tersebut, kebudayaan maritim dan arus perdagangan di laut mengalami
perkembangan yang pesat.
Hal ini dilaksanakan pula oleh Belanda yang menjajah dan menguasai bumi nusantara.
Pada dasarnya Belanda mengambil kekayaan sumber daya hayati, waktu itu adalah rempahrempah, untuk dijual ke Eropa. Pengiriman rempah-rempah tersebut dilakukan melalui jalur
laut. Pengiriman ini hanya dapat dilaksanakan Belanda bila perairan atau wilayah pesisir di
seluruh Nusantara dapat dikuasi.
Melalui strategi tersebut, Belanda berhasil menguasai wilayah-wilayah pesisir dan
menggusur sejumlah kerajaan, seperti kerajaan Mataram di Jawa. Langkah-langkah yang
ditempuh Belanda, yaitu menghilangkan jiwa kebaharian (melalui pendekatan kultural),
ternyata berhasil melumpuhkan bangsa Indonesia agar tidak menjadi besar sebagai bangsa
bahari.
Di jaman Orde Baru, ada usaha untuk mengembalikan jiwa kebaharian dalam
pembangunan kelautan di Indonesia, melalui pembentukan Dewan Kelautan Nasional
berdasarkan Kepres No. 77 tahun 1996 yang berfungsi:
1. Merumuskan kebijaksanaan pemanfaatan, pelestarian, perlindungan serta keamanan laut.
2. Memberikan pertimbangan, pendapat, maupun saran kepada presiden mengenai
pengaturan, pengelolaan, pemanfaatan, pelestaran, perlindungan, dan keamanan kawasan
laut, serta penentuan batas wilayah Indonesia.
3. Melakukan koordinasi dengan departemen dan badan-badan yang terkait, dalam rangka
keterpaduan perumusan dan penetapan kebijakan mengenai masalah kelautan.
Melalui Dewan Kelautan Nasional, kemudian ditetapkan Konsepsi Benua Maritim
Indonesia (BMI). BMI adalah bagian dari sistem planet bumi yang merupakan satu kesatuan
alamiah antara darat, laut dan udara di atasnya, yang telah tertata secara unik. BMI
menampilkan ciri-ciri benua dengan karakteristik yang khas dari sudut pandang iklim dan
cuaca (klimataologi dan metereologi), keadaan air (oceonografi), tatanan kerak bumi (geologi
dan geofisika), keragaman biota (biologi) serta tatanan sosial budaya (antropologi), yang
menjadi wilayah jurisdiksi negara kesatuan Republik Indonesia.
Karakteristik BMI seperti tersebut di atas, memiliki potensi demikian besar dan unik
di dunia dan dapat dibagi menjadi tiga kutub, yaitu; (1) kutub pemerintah/administrasi; (2)
kutub ilmu dan teknologi kelautan; (3) kutub industri barang dan jasa.
Konsekwensi logis dari pemahaman potensi di atas, adalah bagaimana menetapkan
model strategis yang tepat untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi tersebut dalam
praktik keseharian. Penetapan model strategi yang tepat mempunyai arti penting dengan
berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (UU No.22/1999) yang memberi
kewenangan kepada daerah untuk membangun daerahnya, berdasarkan prakarsa sendiri
setelah memperhatikan aspirasi masyarakat.
Salah satu persoalan utama yang dihadapi dalam pembangunan kelautan adalah
menyangkut perbedaan cara pandang antara kepentingan pusat dan daerah. Persoalan ini harus
dicari jalan keluarnya, berupa kesamaan cara pandang dan tindakan antara aparat di tingkat
pusat maupun daerah. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan sumber daya manusia (SDM)
yang terlibat dalam aktivitas kelautan di wilayah masing-masing.
Dengan diberlakukannya UU No.22/1999, kewenangan Pemerintah Daerah di wilayah
laut meliputi:
1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di kawasan wilayah
laut.
2. Pengaturan kepentingan administrasi.
3. Pengaturan tata ruang.

4. Penegakakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh pusat.
5. Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
Dalam kaitan dengan pengendalian wilayah pesisir dan laut, tiga bidang utama perlu
mendapat perhatian serius yaitu:
1. Bidang kewilayahan, diperlukan suatu penataan ruang pesisir laut terpadu.
2. Bidang ekosistem, diperlukan suatu keseimbangan ekosistem di laut.
3. Bidang fisik (geologi/geografi/geomorfologi laut), dan dinamik (interaksi obyek di laut)
pesisir dan laut.
Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan sistem pengendalian sumber
daya kelautan adalah:
1. Ekonomi (perikanan, pariwisata, sumber daya mineral, perhubungan, kehutanan).
2. Keamanan (TNI-AL, Polisi, Bea Cukai, Imigrasi).
3. Lingkungan (Lingkungan Hidup, DKP/perikanan yang berkelanjutan, Dephut/mangrove
yang berkelanjutan, ESDM/pasir laut)
Ketiga bidang utama tersebut dijadikan dasar melaksanakan pengendalian wilayah
pesisir dan laut berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya diperlukan keterpaduan dalam
melaksanakan pengendalian pengelolaan sumber daya kelautan. Aspek keterpaduan yang
perlu dipertimbangkan adalah:
1. Keterpaduan antar sektor pembangunan terkait.
2. Keterpaduan antar Pemerintah Pusat dan Daerah.
3. Keterpaduan wilayah garapan.
4. Keterpaduan multi-disiplin ilmu.
5. Keterpaduan produk dan teknologi.
6. Keterpaduan hukum dan penegakkannya.
7. Keterpaduan pelaksanaan dan kewenangan.
2. TUJUAN
Perencanaan sistem pengendalian pengelolaan sumberdaya kelautan ditujukan untuk
menyusun rencana integrasi sistem pengendalian pengelolaan sumberdaya kelautan, dalam
bentuk matrikulasi aktivitas kelautan, terhadap tugas pokok dan fungsi institusi pada
pemerintah pusat dan daerah secara terpadu.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan beberapa kegiatan, yaitu:
1. Identifikasi dan pemetaan aktivitas kelautan yang telah dan sedang dilakukan Pemerintah
Pusat dan Daerah, serta masalah yang dihadapi tatkala mengendalikan dan mengelola
sumber daya kelautan.
2. Identifikasi tugas pokok, fungsi, serta program kerja masing-masing institusi, sehubungan
dengan pengendalian dan pengelolaan sumber daya kelautan.
3. Analisis keterkaitan aktivitas pokok, fungsi, serta program kerja masing-masing institusi
sehubungan dengan pengendalian dan pengelolaan sumber daya kelautan.
4. Pemetaan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, serta analisis kebutuhan
perundangan yang dibutuhkan untuk pengembangannya.
5. Perencanaan rekomendasi dan diseminasi atas pelaksanaan konsepsi pengendalian dan
pengelolaan sumber daya kelautan.
3. METODOLOGI
3.1 KERANGKA ANALISIS
Mengapa perlu perencanaan sistem pengendalian sumber daya kelautan?
Perencanaan adalah kegiatan yang bersifat konseptual dan memerlukan banyak pemikiran.

Fungsi ini melibatkan pemilihan dan pengembangan tindakan untuk waktu yang akan datang.
Perencanaan merupakan suatu masalah bagaimana mengubah posisi pada saat ini ke posisi
yang diinginkan pada waktu yang ditentukan.
Perencanaan menentukan bagaimana posisi/prestasi sekarang, bagaimana yang
seharusnya dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai posisi yang diinginkan.
Perencanaan akan memberikan manfaat sebagai berikut: (1) mengurangi resiko ketidakpastian; (2) memusatkan perhatian pada sasaran; (3) menjadi dasar bagi fungsi-fungsi
manajemen lainnya.
Dengan demikian, perencanaan sistem pengendalian sumber daya kelautan diharap
membantu dua tujuan utama yang saling berkaitan, yaitu: (1) memastikan alokasi sumber
daya agar tersedia, demi mencapai sasaran yang diinginkan; (2) memastikan bahwa program
dan kegiatan dapat dilaksanakan untuk mencapai sasaran yang diinginkan.
3.2 METODE PELAKSANAAN KAJIAN
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah: (1) pengumpulan data primer dan
sekunder dengan didukung analisis kualitatif dan deskriptif; (2) diskusi panel dan seminar
dengan para pemangku kepentingan; (3) analisis pengambilan keputusan dengan metode
Strengh, Weaknesses, Opportunities, dan Threats (SWOT).
3.3 DATA
Data yang digunakan dalam kajian ini berupa rencana strategis departemen yang
memiliki tugas pokok dan fungsi pengendalian di bidang kelautan, peraturan perundangundangan yang terkait dengan pengendalian sumber daya kelatan dan model pengendalian
sumber daya kelautan yang telah diterapkan di beberapa negara.
3.3.1 Instansi yang Memiliki Tugas Pokok Pengendalian Di Bidang Kelautan
Di Indonesia, tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) pengendalian sumber daya kelautan
terbagi-bagi di banyak instansi. Instansi yang memiliki tupoksi dan program/kegiatan terkait
sumber daya kelautan. dapat dilihat di bawah. Mereka memiliki rencana strategis masingmasing.
1. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
2. Badan Pertanahan Nasional (BPN).
3. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
4. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
5. Departemen Keuangan (Depkeu).
- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
- Direktorat Jenderal Imigrasi.
6. Departemen Perhubungan.
7. Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
8. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
9. Polisi Air
3.3.2 Peraturan Perundangan Terkait dengan Pengendalian Sumber Daya Laut
Di Indonesia paling tidak terdapat 10 undang-undang yang mengatur atau berkaitan
dengan pengendalian dan pengelolaan sumber daya kelautan. Kesepuluh undang-undang
tersebut adalah:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa Tahun 1982 tentang Hukum Laut.

4.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam


Hayati dan Ekosistemnya.
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
9. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
10. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan.
3.3.3 Model Sistem Pengendalian Sumber Daya Kelautan
Dalam rangka mengembangkan sistem pengendalian sumber daya laut yang paling
sesuai dengan kebutuhan Indonesia, perlu dilakukan telaah pembanding antara model-model
yang sudah diterapkan dan berjalan dengan baik di negara lain. Studi ini membandingkan
model-model sistem pengendalian sumber daya laut di Selandia Baru, Inggris, Amerika
Serikat, Portugal, dan Indonesia.
Tabel 1
Model Sistem Pengendalian Sumber Daya Laut di Sejumlah Negara

Negara

Sistem

Selandia Baru

Dibentuk Maritime Coordination Centre (MCC) di bawah Department of Prime


Minister and Cabinet.
Pemberian tugas pengendalian kepada institusi terkait dilakukan oleh MCC.
MCC bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan infrastruktur yang
terkait dengan pengendalian SDL.
Institusi terkait meliputi: Prime Minister and Cabinet, Customs, Defence ministry,
fisheries, foreign affairs and trade, maritime safety authority, Finance, Agriculture
and Forestry, Conservation, Fisheries Operation Control Centre, Immigration,
Research Science and Technology, Land Information, Commisioner for the
Environment, Police, Air Force, Navy and Local Government.

Inggris

Pelaksanaan Sistem Pengendalian SDL di bawah koordinasi pemerintah level


district/borough oleh coast guard district/borough.
Permasalahan diselesaikan pemerintah district/borough berkoordinasi dengan
institusi pemerintah pusat yang terkait.
Permasalahan nasional lintas district/borough diselesaikan oleh institusi
pemerintah pusat yang terkait.
Sistem pengendalian dilakukan dengan dukungan sistem basisdata skala nasional
dan terintegrasi satu sama lain, pusat dengan daerah ataupun sesama institusi pusat.

Amerika Serikat

Sistem perlindungan dilaksanakan oleh US Coast Guard berkoordinasi dengan


institusi terkait.
US Coast Guard memiliki karakteristik: militeristik, multi-misi, kewenangan luas,
sbg anggota komunitas intelijen, command & control, koordinatif, peran penting
dan kompleks..
US Coast Guard biasanya dipimpin oleh seorang Admiral dan bertanggungjawab
langsung kepada presiden.
Tujuan US Coast Guard:
1) mencegah terorisme;
2) mengurangi kerentanan di wilayah maritim;

3) melindungi pusat kependudukan, prasarana vital, batas


maritim, pelabuhan, kegiatan dan batas wilayah pesisir;
4) melindungi sistem transportasi maritim;
5) meminimalkan dan memulihkan kerusakan.

Negara
Portugal

Jepang

Indonesia

Sistem
System of Maritime Authority (SAM), dipimpin oleh Dirjen Laut, Departemen
Pertahanan.
Fungsi pengendalian tersebar di institusi pusat dan daerah: Pertahanan, LH,
Pertanian dan Perikanan, PU, Perencanaan, Ekonomi, Dalam Negeri, Luar
Negeri, Kesehatan.
Sistem pengendalian tidak berjalan dgn baik: banyak institusi, perhatian
institusi minim, kompetensi dan informasi tersebar, kurang koordinasi,
dukungan teknologi/fasilitas kurang, prosedur operasional lemah.
Efisiensi rendah: sistem basis data tidak akurat, pendanaan tidak terintegrasi.
Sistem maritime dilakukan oleh Japan Coast Guard
Fungsi Japan Coast Guard adalah mencegah dan mengawasi kriminal di laut,
penegakan hukum di laut, penyelamatan, mencegah polusi laut dan menjaga
lingkungan laut, pengaturan lalu lintas kapal, pelayanan lain yang terkait
dengan hidrografi dan oceanografi, serta bantuan untuk navigasi.
Kewenangan petugas coast guard: bertindak sebagai agen administrasi
khusus, berhak melakukan inspeksi, melakukan tindakan yang dianggap
perlu, membawa dan menggunakan senjata, dan sebagai petugas penegak
hukum (menahan, investigasi dan mengirim tersangka ke jaksa.
Organisasi ada dua, yaitu organisasi pusat dan organisasi regional. Organisasi pusat
dipimpin oleh vice commandant dan vice commandant for operation
BAKORKAMLA (SKB Menhankam-Panglima ABRI-Menhub-MenkeuKehakiman-Jaksa Agung, 19-12-1972), diketuai Menhankam/PANGAB.
Permasalahan: SKB bukan dasar penganggaran anggaran kurang; POLRI
dan TNI berpisah POLRI sebagai aparat keamanan berkopetensi sebagai
penyidik.
Fokus pada aspek keamanan.
BAKORKAMLA sedang direvitalisasi.

4. HASIL KAJIAN
4.1 ANALISIS ATAS INSTANSI YANG MEMILIKI TUGAS POKOK DAN FUNGSI
PENGENDALIAN DI BIDANG KELAUTAN
Mencermati Tupoksi instansi yang berkait dengan sumber daya kelautan, tampak
beberapa masalah mencolok yang perlu diperhatikan. Pertama, tampak jelas bahwa fungsi
pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan terbagi dan terpencar di banyak instansi di
bawah departemen yang berbeda-beda secara sektoral. Sebagai contoh, masalah kepabeanan
dan imigrasi menjadi wewenang Departemen Keuangan; masalah perikanan menjadi bagian
dari fungsi Departemen Kelautan dan Perikanan; masalahan hutan (termasuk hutan mangrove
dan taman nasional laut) berada di bawah Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dan
seterusnya.
Dengan terpencarnya fungsi di banyak instansi di bawah departemen sektoral, sulit
dihindarkan terjadinya tumpang tindih program dan kewenangan antar departemen sektoral.
Sebagai contoh, penyidikan di perairan dapat dilakukan aparat penegak hukum dari TNI,
Polisi Air, Kejaksaan, dan PPNS dari departemen teknis (DKP, Dephutbun , Depkeu).
Terbagi dan terpencarnya fungsi di banyak instansi di bawah departemen sektoral, juga
mengakibatkan kesulitan besar mengkoordinasi perencanaan dan pelaksanaan program
pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan. Ada kecenderungan aparat pada masingmasing departemen teknis memprioritaskan kepentingan departemennya.
Terakhir, selama ini tidak ada instansi yang melakukan pengendalian dan pengawasan
sumber daya kelautan dan perikanan secara menyeluruh. Badan Koordinasi Keamanan Laut
(BAKORKAMLA) yang dibentuk lebih cenderung untuk melakukan pengendalian pada

aspek keamanan, sementara aspek ekonomi dan lingkungan kurang mendapat perhatian
memadai.
Tabel 2
Tupoksi dan Program Instansi-instransi Terkait dengan
Pengendalian Sumber Daya Kelautan
Instansi

Tupoksi

Program/Kegiatan 2000-2004

DKP

Membantu mempercepat proses pemulihan ekonomi


dengan upaya mengatasi masalah kemiskinan masyarakat
pesisir, khususnya nelayan dan petani ikan, melalui
delapan (8) program pembangunan kelautan dan
perikanan, yaitu:
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Nelayan,
Pembudidaya Ikan dan Masyarakat Pesisir Lainnya;
Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Sektor Kelautan
dan Perikanan Sesuai Kemampuan Lestari Sumber
Daya Ikan (SDI) dan Daya Dukung Lingkungan;
Peningkatan Daya Dukung dan Kualitas Lingkungan
Kawasan Laut, Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, dan
Perairan Tawar;
Pengembangan Teknologi dan Sistem Informasi
Sumber Daya Kelautan dan Perikananan;
Pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur, dan
Penguatan Kelembagaan;
Penyerasian Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan sehubungan dengan Otonomi Daerah;
Pengembangan Kerjasama Internasional;
Peningkatan Peran Laut sebagai Pemersatu Bangsa
(Perekat Antar Nusa) dan Budaya Bahari.

KLH

Tupoksi: (1) Menyusun kebijakan dalam bidang


pelestarian serta mengkoordinasi penerapannya; (2)
Mengendalikan secara langsung dengan menggunakan
mekanisme pengawasan sesuai peraturan yang ada; dan
(3) Merubah sikap hidup masayarakat dan mendukung
konsep pembangunan berkelanjutan dan Earth Charter.
Strategi pelestarian yang ditempuh:
Menyusun kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan
dan mengkoordinasikan pelaksanaannya pada tingkat
nasional.
Memberdayakan individu dan kelompok untuk
berperan serta dalam pengambilan keputusan di
bidang pembangunan berkelanjutan.
Meningkatkan kemampuan daerah dalam
penyelenggaraan good environmental governance.
Mendorong peningkatan penaatan terhadap
kebijaksanaan dan perangkat hukum pembangunan
berkelanjutan.
Meningkatkan langkah preventive kerusakan
lingkungan yang didukung oleh tiga pilar kegitan
yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan.
Memperjuangkan pembangunan berkelanjutan global
dan regional.
Tupoksi DEPHUB meliputi:
(1) Penetapan rencana umum jaringan fasilitas
kenavigasian, pemanduan dan penundaan kapal,
sarana dan prasarana penjagaan dan penyelamatan
serta penyediaan sarana dan prasarana di wilayah
laut di luar 12 mil;
(2) Pelaksanaan pemberian pedoman keselamatan
kapal, auditing manajemen keselamatan kapal,
patroli laut, penyidikan, penanggulangan
kecelakaan dan bencana kapal, pemberian ijin kerja
keruk dan reklamasi di wilayah yang berada di
wilayah laut di luar 12 mil di bidangnya;
(3) Penetapan pedoman lokasi pelabuhan
penyeberangan lintas propinsi dan antar negara,

Pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat


pesisir lain.
Pembangunan dan pengembangan sistem perbenihan
Pembangunan dan pengembangan budidaya
Pengendalian mutu produk, pengelolaan kesehatan ikan,
pengembangan prasarana dan sarana
Pengembangan sistem, sarana dan prasarana pengawasan
dan pengendalian, peningkatan pengawasan dan
pengendalian sumber daya ikan, peningkatan pengawasan
dan pengendalian jasa kelautan, peningkatan pengawasan
dan pengendalian ekosistem laut
Pengelolaan pembangunan pulau-pulau kecil, pengelolaan
dan pengembangan kawasan konservasi laut, rehabilitasi
dan perlindungan sumber daya kelautan dan perikanan serta
ekosistem lingkungan perairan, pengendalian pencemaran,
mitigasi bencana alam
Peningkatan pentaatan, penataan dan penegakan hukum
dalam pemanfataan sumber daya kelautan
Peningkatan kapasitas dan kelembagaan pemerintah dan
dunia usaha, penataan dan pemantapan organisasi,
pengawasan pembangunan
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu, penataan ruang pesisir
dan laut
Pengembangan perencanaan, pengendalian dan kerjasama
luar negeri
Pengembangan pengelolaan kerjasama internasional
Peningkatan kapasitas Pemda untuk menyelenggarakan
Tata-Praja Lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat, melalui kegiatan: peningkatan
kesadaran berlingkungan, peningkatan kesadaran
masyarakat akan perlunya berperan serta dalam
pengambilan keputusan, khusunya dalam pembangunan
berkelanjutan.
Penataan sumber-sumber institusi.
Penataan sumber-sumber non-institusi.
Pelestarian lingkungan alam. Tujuan program ini adalah
melaksanakan perlindungan lingkungan alam. Prioritas
diberikan kepada antara lain: terumbu karang, wilayah
pesisir dan pantai.
Pengembangan kelembagaan.
Pengembangan Sistem Komunikasi dan Informasi.

DEPHUB,
Ditjen
HUPLA

Meningkatkan efektifitas dan efisiensi kegiatan rehabilitasi


dan pengoperasian sarana dan prasarana transportasi laut.
Mengadopsi peraturan perundangan konvensi internasional,
merumuskan ketentuan dan peraturan yang merangsang
terciptanya iklim yang kondusif dan saling menguntungkan
dalam kerjasama angkutan laut regional dan sub-regional,
menyusun dan menetapkan pedoman, standar teknis dan
prosedur operasional sarana dan prasarana serta jasa
angkutan laut, melakukan pemantauan dan evaluasi
terhadap operasional sarana dan prasarana serta jasa
angkutan laut.
Menerapkan teknologi maju bidang perkapalan dalam
pembangunan dan pengoperasian kapal.
Kebijakan pemanfaatan teknologi, penghematan energi dan

Instansi

Tupoksi

(4)
(5)

Program/Kegiatan 2000-2004

penetapan standar penentuan daerah lingkungan


kerja perairan atau daerah lingkungan kerja bagi
pelabuhan antar propinsi dan internasional,
penetapan lintas penyeberangan dan alur pelayaran
internasional serta penetapan standar pengelolaan
dermaga untuk kepentingan sendiri di pelabuhan
antar propinsi/internasional;
Penetapan pemberian ijin oleh Daerah di
bidangnya;
Penetapan standar teknis peralatan serta pelayanan
maritim. Strategi dan Kebijakan Pembangunan
Sektor Perhubungan dalam sub-sektor transportasi
laut:

DEPKEU,
Direktorat
Jenderal
(Ditjen)
Bea Cukai
(DJBC)

Tupoksi utama adalah melaksanakan fungsi pemerintahan


yang berhubungan dengan trade facilitator, community
protector dan revenue collector. Di bidang trade
facilitator, DJBC berusaha untuk mampu menekan biaya
ekonomi tinggi yang berhubungan dengan pengeluaran
barang di pelabuhan dan menciptakan iklim perdagangan
yang kondusif melalui pencegahan terjadinya illegal
trade.

Dept
Energi
dan
Sumber
Daua
Mineral
(ESDM)

Kebijakan ESDM adalah meningkatkan kinerka untuk


mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik
dan bersih (good governance), yang meliputi: (1)
Mendukung upaya pemulihan ekonomi dengan
memaksimalkan penerimaan negara; (2) Mengembangkan
kebijakan dan restrukturisasi sektor untuk pengembangan
dan efisiensi usaha energi dan sumber daya mineral; (3)
Mendayagunakan dan meningkatkan pemanfaatan potensi
energi dan sumber daya mineral secara berkelanjutan; dan
(4) Mendorong perwujudan otonomi daerah. Ditempuh
beberapa strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran yang
ditetapkan
Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya
dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam
dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi,
rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan
menerapkan teknologi ramah lingkungan.
Mendelegasikan secara bertahap wewenang
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara
selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga
kualitas ekosistem tepap terjaga, yang diatur dengan
undang-undang.
Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan
kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan
hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan
ekonomi dan budaya masyarakat local, serta penataan
ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undangundang.
Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan
pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam
pengelolaan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak
dapat balik.
Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di
bidang pertanahan.
Perumusan dan penetapan kebijakan pengendalian
pertanahan serta pembuatan peta dasar pendaftaran
tanah.

DEPHUT
BUN

BPN

pengelolaan lingkungan hidup melalui pengkajian


pemanfaatan sumber-sumber daya yang ada untuk
operasional kenavigasian, pengembangan teknologi maju
daur ulang limbah minyak.
Kebijakan peningkatan sharing armada nasional terhadap
armada asing: menciptakan iklim usaha angkutan laut yang
kondusif, mencakup pemberian keringanan pajak, dan
mewujudkan pola kemitraan dalam rangka pengembangan
armada nasional.
Mengembangkan jumlah, kapasitas dan kualitas kapal,
membersihkan alur pelayaran dan ruang olah gerak kapal
dari gangguan bawah air, menyebarluaskan informasi
mengenai ketersediaan kapal dan jadualnya, meningkatkan
keselamatan dan kualitas pelayanan transportasi laut.
Menyusun rencana Induk Pembangunan Pelabuhan
Indonesia, dan sosialisasi pelabuhan Indonesia di forum
Internasional
Penanggulangan penyeludupan langsung. (rehabilitasi dan
reposisi kapal patroli, pengawasan penyeludupan modus
antar pulau.
Penanggulangan pelanggaran kepabeaan, dengan kegiatan
meliputi: register importir secara online, risk management
and selectivity, Pemeriksaan barang selektif sesuai resiko
importir, pengembangan database harga, kampanye anti
penyelundupan, peningkatan fungsi analisis intelijen,
optimalisasi Post Clearance Audit, optimalisasi
penggunaan Hi-co Scan X-ray, untuk barang pindah lokasi
yang diimpor oleh high risk importer, pelaksanaan Spot
Check, yaitu pemeriksaan mendadak untuk mengevaluasi
kinerja petugas DJBC di lapangan.

Penyusunan RUU penyempurnaan UU berkaitan dengan


pertambangan, minyak dan gas bumi dan ketenagalistrikan
Perumusan kebijakan perencanaan pengusahaan minyak
dan gas bumi dan ketenagalistrikan nasional
Pelaksanaan berbagai kegiatan yang terkait dengan masalah
perminyakan dan gas bumi dan kelistrikan.
Perencanaan dan pelaksnaan berbagai kegiatan yang terkait
dengan pembangunan sumber daya alam dan lingkungan
hidup.
Program rehabilitasi hutan, lahan dan kebun memulihkan
kondisi dan meningkatkan produktivitas hutan, kebun dan
lahan agar kembali berfungsi sebagai factor produksi dan
mampu menjadi sistem penyangga kehidupan secara
maksimal.
Program perlindungan hutanm kebun dan konservasi alam
melestarikan fungsi dan memulihkan kemampuan sumber
daya alam dan lingkungan hidup serta pemanfaatannya bagi
kesejahteraan masyarakat.
Program optimalisasi fungsi dan pemanfaatan hutan dan
kebun meningkatkan fungsi dan manfaat sumber daya
hutan dan kebun melalui pemanfaatan ragam produk dan
jasa sumber daya hutan dan kebun bagi kesejahteraan
masyarakat.
Program pemantapan prakondisi pengelolaan hutan dan
kebun merumuskan kebijakan kehutanan dan perkebunan
Program pengembangan kelembagaan, SDM dan IPTEK
Kehutanan menata perangkat peraturan perundangan,
organisasi dan kewenangan dalam kebijakan system alokasi
dan pengelolaan sumber daya hutan dan kebun.
Program peningkatan pelayanan kepada masyarakat
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Program pengelolaan pertanahan


- Peningkatan pelayanan pertanahan di Daerah yang
didukung sistem informasi pertanahan yan handal.
- Penegakan hukum pertanahan secara konsisten
- Penataan penguasaan tanah agar sesuai dengan rasa

Instansi

Tupoksi

Program/Kegiatan 2000-2004

Fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan di bidang


pertanahan dan pengembangan sistem informasi
pertanahan.
Pembuatan kebijakan dan pengembangan sumber
daya pertanahan yang meliputi pendidikan dan
pelatihan tenaga pertanahan dan mitra kerja serta
penyediaan sarana dan prasarana kerja teknis
pertanahan.
Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan
tugas Badan Pertanahan Nasional.
Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan
terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang
administrasi pertanahan.
Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan
administasi umum di bidang perencanaan umum,
ketata-usahaan, organisasi dan tata-laksana,
kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum,
persandian, perlengkapan, dan rumah tangga.

keadilan
- Pengendalian penggunaan tanah sesuai dengan rencana
tata-ruang wilayah termasuk pemantapan sistem perizinan
yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang atau penggunaan
tahah di Daerah.
- Pengembangan kapasitas kelembagaan pertanahan di Pusat
dan Daerah.
Program pembentukan peraturan perundang-undangan
- Tersusunnya peraturan perundangan yang menyangkut
hukum pertahahan nasional (UU dan peraturan pemerintah)
- Tersusunnya sistem dokumentasi hukum pertanahan
Program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan
budaya hokum dengan meningkatkan kegiatan penyuluhan
hukum pertanahan.

4.2 ANALISIS ATAS PERATURAN PERUNDANGAN TERKAIT DENGAN


PENGENDALIAN SUMBER DAYA LAUT
Mencermati peraturan perundangan yang berkaitan dengan sumber daya kelautan,
tampak bahwa ada beberapa masalah mencolok yang perlu mendapat perhatian. Beberapa di
antara permasalahan pokok tersebut diuraikan di bawah. Pertama, terdapat ketidakserasian
atau ketimpangan ancaman sanksi pidana terhadap pelanggaran hukum di antara peraturan
perundangan, terutama UU No. 5/1983 tentang ZEEI, UU No. 9/1985 tentang Perikanan, UU
No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 21/1992
tentang Pelayaran, UU No. 23/1997 tentang Lingkungan Hidup, serta UU No. 41/1999
tentang Kehutanan.
Sebagai contoh, pelanggaran terhadap UU Perikanan diancam sanksi terberat 10 tahun
penjara dan/atau denda paling tinggi sebesar Rp 100 juta; dan sanksi teringan hanya denda
sebesar Rp 5 juta.
Pelanggaran terhadap UU Konservasi diancam sanksi terberat 10 tahun penjara dan
denda paling tinggi Rp 200 juta; sanksi teringan satu tahun penjara dan denda paling tinggi
sebesar Rp 50 juta.
Pelanggaran terhadap UU Lingkungan Hidup diancam dengan sanksi pidana terberat
10 tahun penjara dan denda paling tinggi Rp 500 juta; sementara sanksi pidana teringan lima
tahun penjara dan denda paling tinggi Rp 150 juta.
Pelanggaran terberat terhadap UU Kehutanan diancam sanksi pidana selama-lamanya
sepuluh tahun penjara dan denda Rp 5 miliar; dan sanksi teringan paling lama satu tahun
penjara dan denda Rp 50 juta.
Jelaslah ancaman sanksi pidana terhadap pelanggaran peraturan perundangan yang
berkaitan dengan sumber daya kelautan, mendesak disinkronisasikan dengan jalan menyusun
UU yang baru atau merevisi UU yang sudah ada.
Lebih jauh terdapat ketidak-serasian antara UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang
dengan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Di satu pihak, UU No. 24/1992
tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa penataan ruang adalah kewenangan Pemerintah
Pusat, di lain pihak UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan
pengelolaan, termasuk penataan ruang, wilayah perairan sejauh 12 mil kepada Pemerintah
Daerah. Saat ini sedang diupayakan revisi terhadap UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah, yang mendapat banyak resistensi dari Pemerintah Daerah.
Undang-undang No. 9/1985 tentang Perikanan sudah berusia hampir 20 tahun dan saat
ini sudah kurang memadai, lantaran terjadi perubahan-perubahan di sektor perikanan. Karena

itu tepatlah usaha Pemerintah dan DPR merevisi UU ini, agar menjadi UU yang dapat
menciptakan situasi kondusif untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan dengan
memperhatikan kelestariannya, sekaligus memberdayakan nelayan dan para pembudidaya
ikan.
Selain itu, revisi UU Perikanan hendaknya mengatur hal-hal seperti sistem
pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan, sistem informasi dan data statistik
perikanan, sistem pengawasan, sistem penegakan hukum, dan hal lainnya.
Di samping revisi UU Perikanan, penyusunan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu yang diprakarsai Departemen Kelautan dan Perikanan dan telah memperoleh Ijin
Prakarsa dari Sekretariat Negara hendaknya dilanjutkan. Undang-undang ini sangat
diperlukan untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan pembangunan sektoral yang berlokasi
di pesisir.
Pesisir merupakan wilayah pertemuan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, yang
sangat rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik di darat maupun di laut. Karena
itu diperlukan pengaturan secara khusus. Wilayah ini juga tempat konsentrasi penduduk dan
banyak kegiatan pembangunan sektoral bertumpuk di situ. Pengelolaan wilayah pesisir sangat
erat hubungannya dengan kelestarian stok perikanan di laut, karena hutan mangrove dan
terumbu karang di pesisir merupakan tempat hidup jenis ikan.
Undang-undang No. 24/1992 tentang Penataan Ruang mendefinisikan ruang sebagai
wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta
memelihara kelangsungan hidupnya. Setelah UU ini dilaksanakan lebih dari 10 tahun,
ternyata belum muncul peraturan perundangan yang mengatur penataan ruang (zonasi)
perairan laut secara khusus.
Sementara itu kegiatan-kegiatan ekonomi di perairan laut saat ini berkembang sangat
pesat, seperti kegiatan budidaya ikan (termasuk rumput laut dan mutiara), penambangan lepas
pantai, kegiatan wisata bahari, dan lain-lain. Karena itu sudah mendesak menyusun peraturan
perundangan baru atau merevisi peraturan perundangan yang sudah ada, guna mengatur
penataan ruang (zonasi) di perairan laut.
Selain hal-hal menonjol di atas, tampaknya pengaturan sumber daya kelautan dengan
berbagai peraturan perundangan terkait masih belum dipahami khalayak secara memadai.
Akhir-akhir ini ada usaha Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan sosialisasi
peraturan perundangan yang berhubungan dengan sumber daya kelautan. Namun usaha ini
belum optimal. Dengan demikian sosialisasi peraturan perundangan, baik nasional maupun
internasional, perlu ditingkatkan lebih intensif dan ekstensif.
4.3 ANALISIS MODEL SISTEM PENGENDALIAN SUMBER DAYA KELAUTAN
Dewasa ini model pengendalian sumber daya laut di Indonesia mirip dengan sistem
pengendalian sumber daya laut di Portugal. Fungsi pengendalian terdapat pada banyak
instansi, sementara koordinasi dan dukungan sistem informasi kurang memadai. Ke depan,
sistem pengendalian sumber daya laut di Indonesia hendaknya dikembangkan agar mendekati
sistem yang sudah mapan seperti sistem Coast Guard di Amerika.
Di bawah ini disajikan matriks analisis SWOT atas alternatif-alternatif sistem
pengendalian sumber daya kelautan yang mungkin diterapkan di Indonesia.

10

Tabel 3
Matriks Analisis SWOT atas Alternatif Sistem Pengendalian Sumber Daya
Kelautan yang Mungkin Diterapkan di Indonesia
Kekuatan (Strengths)

Kelemahan (Weaknesses)

Peluang (Opportuniities)

Ancaman (Threats)

Kekuatan terletak pada


masing-masing sektor
Back-up Daerah kuat,
karena ada UU
22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah
Beberapa UU
mendukung usaha
pengendalian: UU
41/1999 tentang
Pokok-Pokok
Kehutanan, UU 5/1994
tentang Konservasi
Flora dan Fauna, UU
23/1997 tentang
Pengelolaan
Lingkungan Hidup,
UU 9/1985 tentang
Perikanan, UU 5/83
tentang ZEE, UU
17/1985 tentang
Ratifikasi Konvensi
PBB Tahun 1982
tentang Hukum Laut.
Dukungan kejelasan
batas-batas negara di
sebagian besar wilayah
perbatasan negara.

Koordinasi tidak
berfungsi karena berbagai
alasan.
Pengendalian SDKP
dilakukan secara parsial,
tidak meliputi semua
aspek.
Upaya koordinasi hanya
pada aspek keamanan.
Aspek ekonomi dan
lingkungan tidak
tertangani
SDM terpecah sesuai
dengan keahlian atau
kekhususan masingmasing instansi terkait.
Pendanaan tergantung
tingkat prioritas masing-2
instansi.
Sebagai kepulauan,
Pemerintah wajib
memberi alur laut
kepulauan untuk lintas
damai.
Lemahnya sanksi-sanksi
hukum dari UU yang
telah ada.

Instansi-instansi terkait
bisa mengembangkan
kreatifitasnya untuk
merencanakan dan
melakukan kegiatan
pengendalian sesuai
dengan tugas pokok
dan fungsinya,
termasuk:
(a) penyediaan
pendanaan,
(b) pengembangan
sumber daya
manusia,
(c) pengembangan
kelembagaan,
(d) kerjasama
bilateral dan
mulitilateral.

Tumpang tindih
pengawasan antar
sektor.
Konflik antar daerah
atas sumber daya
kelautan.
Rawan terhadap
pencurian karena
mudah ditembus oleh
negara-negara nelayan.
Secara geografis,
rawan terhadap
penyelundupan.
Dengan sangat
terbatasnya kegiatan
pengendalian dan
dengan cepatnya laju
eksploitasi sumber
daya kelautan,
dikhawatirkan akan
terjadi deplesi dan
kerusakan sumber daya
kelautan dalam
magnitude yang sangat
besar hingga sulit
untuk diatasinya di
masa yang akan
datang.

Tidak terlalu sulit


untuk merevisi
Bakorkamla yang
sudah ada menjadi
badan organisasi yang
berfungsi

Dasar hukum Keppres


lebih lemah daripada UU
sektor.
Badan koordinasi bersifat
ad. hoc.
Pengendalian pada aspek
keamanan, aspek
ekonomi dan lingkungan
tidak mendapat perhatian
yang memadai.

Dapat mengkoordinasi
sektor dan daerah.
Mudah membuat
kebijakan dan action
plan secara bersama.
Ada focal point
Republik Indonesia
untuk keamanan laut.
Dapat mengkaji
kebijakan nasional
untuk sistem
pengendalian.
Lebih cepat
melaksanakan tindakan

Alternatif 3

Sistem
SATGAS
Sumber
Daya
Kelautan

Cukup mudah untuk


membentuk Satgas
Lebih fleksibel karena
bersifat ad. hoc.
Lebih cepat tanggap.
Biaya lebih murah.

Lebih
berpeluang
untuk didukung oleh
Daerah dan masyarakat
setempat.
Cepat terbentuk dan
mudah dikembangkan
sesuai keperluan
Lebih
mudah
koordinasi di tingkat
lapangan

Alternatif 4

Sistem Satu
Komando
Satu

Dasar hukum Keppres


lebih lemah daripada UU
sektor.
SATGAS bersifat ad.
Hoc.
Pengendalian aspek
keamanan, aspek
ekonomi dan lingkungan
tidak mendapat perhatian
Kesulitan koordinasi di
tingkat Pusat dan
Propinsi.
Daerah operasi terbatas.
Lingkup kebijakan
terbatas.
Tidak dapat menangani
kasus-kasus besar.
Perlu waktu lama dan
daya serta dana banyak
untuk menyusun undangundang baru.
Perlu waktu lama untuk

Apabila kekuatan dan


sumber daya antar
sektor tidak
seimbang, maka akan
menonjol sektor
tertentu.
Keppres akan lebih
mudah diganti
daripada UU.
Negara nelayan asing
tidak menginginkan
sistem ini.
Dengan adanya UU
22/1999 daerah sukar
untuk diatur.
Dapat diintervensi oleh
kebijakan pusat dan
sektoral maupun oleh
negara lain.
Lebih mudah bubar,
kurang sustainable.
Keppres lebih mudah
diganti.

Alternatif 1

Sistem yang
ada
sekarang
(Status
Quo)

Alternatif 2
Sistem
Badan
Koordinasi
Sumber
Daya
Kelautan

Seluruh urusan
pengendalian sumber
daya kelautan berada
dalam satu komando.
Seluruh urusan

11

Lebih mudah
kerjasama antar
negara.
Lebih berpeluang
terjadinya alih

Nelayan asing tidak


menyukai sistem ini.
Internal unsur-unsur
keamanan, ekonomi,
dan lingkungan.

Organisasi

Alternatif 5

Sistem Satu
Komando
Banyak
Organisasi

Kekuatan (Strengths)

Kelemahan (Weaknesses)

Peluang (Opportuniities)

Ancaman (Threats)

pengendalian sumber
daya kelautan
ditangani oleh satu
instansi.
Pengendalian sumber
daya kelautan bisa
bersifat menyeluruh,
tidak terfokus pada
satu aspek tertentu.

membentuk dan
mengfungsikan satu
organisasi baru.
Sulit menyatukan visi,
misi, dan kultur apabila
lembaga ini merupakan
penggabungan dari
berbagai unit dari
beberapa instansi terkait.

teknologi.
Melindungi dan
meningkatkan sumber
daya kelautan
Pendanaan terjamin.

UU sektoral, apabila
tidak direvisi.

Tantangan tidak terlalu


besar karena yang
diperlukan hanyalah
membentuk satu badan
organisasi yang kecil.
Telah tersedia unit-unit
pendukung yang
tersebar pada instansi
lain yang bisa
diberdayakan
Pengendalian SDKP
bisa bersifat
menyeluruh, tidak
terfokus pada satu
aspek.

Unit-unit pendukung
terpencar pada instansiinstansi terkait, sedikit
menyulitkan koordinasi
Hubungan dengan unitunit di bawah hanya
bersifat fungsional.
Apabila hanya dilandasi
oleh Kepres, maka
kekuatan lembaga ini
akan lebih lemah daripada
UU sektoral.

Banyak organisasi,
termasuk LSM dan
organisasi-organisasi
lain, dapat berperan
serta.
Banyak peluang untuk
bekreasi
Banyak peluang bagi
Daerah untuk
mengembangkan
kelembagaan di
Daerah.

Dukungan pendanaan
tidak terjamin,
apabilah lembaga ini
hanya dilandasi dengan
Kepres.
Dapat terjadi
penolakan oleh unit di
bawah.
Dapat terjadi lag time
pelaksanaan komando
dari atas.
Pencapaian dapat tidak
sesuai dengan target.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


5.1 KESIMPULAN
Dari uraian-uraian bab terdahulu, dapat ditarik kesimpulan, antara lain sebagai berikut.
Pertama, pengendalian sumber daya kelautan masih terfokus pada aspek keamanan (aspek
ekonomi dan lingkungan belum mendapat perhatian memadai) dan yang parsial inipun belum
dilakukan secara optimal. Di antara penyebabnya adalah: (1) fungsi-fungsi pengendalian
sumber daya kelautan terbagi-bagi dan terpencar di banyak institusi; (2) karena fungsi-fungsi
terpencar di banyak institusi, sulit menghindari tumpang-tindih kewenangan dan melakukan
koordinasi antar instansi secara efektif.
Kedua, peraturan perundangan yang ada belum bisa menciptakan situasi kondusif
untuk terlaksananya sistem pengendalian sumber daya kelautan secara menyeluruh dan
terkoordinasi. Penyebab terjadinya kondisi ini adalah: (1) peraturan perundangan yang
berhubungan dengan sumber daya kelautan belum memadai untuk mengatur segala aspek
terkait, sehingga perlu direvisi dan/atau menyusun undang-undang baru; (2) terdapat
ketidakserasian di antara beberapa undang-undang, termasuk tentang penataan ruang laut dan
ancaman sanksi pidana; (3) peraturan perundangan terkait dengan sumber daya kelautan,
nasional maupun internasional, belum cukup disosialisasikan kepada pihak-pihak yang
terkait.
5.2 REKOMENDASI
Mencermati kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dari kelima alternatif sistem
pengendalian sumber daya kelautan untuk Indonesia, tampak bahwa alternatif Satu Komando
Satu Organisasi (sistem US Coast Guards) merupakan sistem pengendalian paling ideal.
Sistem ini memiliki kekuatan tangguh karena: (1) seluruh urusan pengendalian sumber daya
kelautan berada dalam satu instansi dan satu komando; (2) pengendalian sumber daya
kelautan akan bersifat menyeluruh, tidak terfokus pada satu aspek tertentu.
Selain itu sistem ini memiliki peluang sangat lebar untuk membuka kerjasama dengan
negara-negara lain dan terjadinya alih teknologi. Dengan landasan hukum undang-undang,
pendanaan program pengendalian sumber daya kelautan akan terjamin keberlanjutannya.
Akhirnya sistem ini paling berpeluang melindungi dan meningkatkan sumber daya kelautan.

12

Jika sistem ini dipilih dikembangkan di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian, diantaranya adalah: (1) perlu kesabaran, ketekunan, dan keuletan untuk
mengembangkannya, karena memerlukan waktu lama untuk merancang dan menyusun
undang-undang baru, serta membentuk satu organisasi baru, sampai organisasi tersebut benarbenar mampu menjalankan fungsinya; (2) perlu memperhatikan ancaman-ancaman dari dalam
(internal) - baik yang berkaitan dengan aspek ekonomi, lingkungan, maupun keamanan - yang
bisa mengganggu penerapan sistem ini.
Kiranya perlu segera memilih alternatif terbaik sistem pengendalian sumber daya
kelautan Indonesia untuk masa yang akan datang, agar perencanaan jangka pendek jangka
menengah, dan jangka panjang, segera dapat dilakukan.

13

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pertanahan Nasional. (2001). Rencana Strategis (Renstra) Badan Pertanahan Nasional
Tahun 2001-2004. Jakarta.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2001). Rencana Strategis Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral Tahun 2001-2004. Jakarta.
Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Reformasi Kepabean. Jakarta.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan (2000). Rencana Strategis (Renstra) Tahun 20012005. Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan (2002). Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan
Perikanan 2001-2004. Jakarta.
Departemen Pertahanan RI (2003). Buku Putih Pertahanan Negara Republik Indonesia,
Indonesia: Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21. Jakarta.
Departemen Perhubungan. (2001). Konsep Awal Rencana Strategis Departemen
Perhubungan 2000-2004. Jakarta.
Joao Joanaz de Melo, Pedro Santana. A New Model for EEZ Surveillance and Management in
Portugal. Department of Environmental Science, New University of Lisbon, Portugal.
Kementrian Lingkungan Hidup. (2002). Rencana Kerja Kementrian Lingkungan Hidup
Tahun 2001-2004. Jakarta.
Laode Kamaludin. (2002). Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia. Jakarta.
Lokakarya I BMI. (1996). Konsep Benua Maritim Indonesia Untuk Mengaktualisasikan
Wawasan Nusantara, Sekretariat Jenderal Wanhankamnas dan BPPT. Jakarta.
Mahkamah Agung RI. (2001). Strategic Action Plan (SAP) Mahkamah Agung RI 2001-2005.
Jakarta.
Maritime Safety Authority of New Zealand (2001). Maritime Patrol Review: Marine
Environment and Safety.
Rancangan Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Badan Koordinasi Keamanan
Laut.
Swedish Coast Guard Flight Division
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Tahun 1982 tentang Hukum Laut)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
U.S. Coast Guard (2002). Maritime Strategy for Homeland Security, U.S. Coast Guard
Headquarters, Washington, D.C.

14

Anda mungkin juga menyukai