Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KEGIATAN

MINI PROJECT
ANALISIS FAKTOR RISIKO GIZI KURANG
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKARAME

Pendamping:
dr. H. Dhama Widya P

Disusun oleh:
dr. Fajrul Munawar Sodik

PUSKESMAS SUKARAME
KABUPATEN TASIKMALAYA
2015

I.

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Malnutrisi yaitu gizi buruk atau Kurang Energi Protein (KEP)
dan defisiensi mikronutrien
perhatian

khusus

terutama

merupakan masalah yang membutuhkan


di negara-negara

berkembang,

yang

merupakan faktor risiko penting terjadinya kesakitan dan kematian


pada ibu hamil dan balita. Di Indonesia

KEP dan defisiensi

mikronutrien juga menjadi masalah kesehatan penting dan darurat di


masyarakat terutama anak balita. Kasus kematian balita akibat gizi
buruk kembali berulang, terjadi secara masif dengan wilayah sebaran
yang hampir merata di seluruh tanah air. Sejauh pemantauan yang telah
dilakukan temuan kasus tersebut terjadi setelah anak-anak mengalami
fase kritis. Sementara itu, perawatan intensif baru dilakukan setelah
anak-anak itu benar-benar tidak berdaya. Berarti sebelum anak-anak
itu

memasuki

fase

kritis,

perhatian terhadap

hak

hidup

dan

kepentingan terbaiknya terabaikan. Kejadian gizi buruk perlu dideteksi


secara

dini

melalui

intensifikasi

pemantauan pertumbuhan dan

identifikasi faktor risiko yang erat dengan kejadian luar biasa gizi
seperti campak dan diare melalui kegiatan surveilans (Krisnansari,
2010).
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih
tinggi. Hasil Susenas menunjukkan adanya penurunan prevalensi balita
gizi buruk yaitu dari 10,1% pada tahun 1998 menjadi 8,1% pada
tahun 1999 dan menjadi 6,3% pada tahun 2001. Namun pada tahun
2002 terjadi peningkatan kembali prevalensi gizi buruk dari 8,0%
menjadi 8,3% pada tahun 2003 dan kembali meningkat menjadi 8,8%
pada tahun 2005. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan seluruh
Indonesia terjadi penurunan kasus gizi buruk yaitu pada tahun 2005
terdata 76.178 kasus kemudian turun menjadi 50.106 kasus pada tahun
2006 dan 39.080 kasus pada tahun 2007. Penurunan kasus gizi buruk ini

belum

dapat

dipastikan

kemungkinan juga disebabkan

karena penurunan kasus yang terjadi


oleh

adanya

kasus

yang

tidak

terlaporkan (under reported). Mencuatnya kembali pemberitaan di media


massa akhir-akhir ini mengenai balita gizi buruk yang ditemukan dan
meninggal menunjukkan sistem surveilans dan penanggulangan dari
berbagai instansi terkait belum optimal (Krisnansari, 2010).
Pasienpasien yang masuk ke rumah sakit dalam kondisi
status gizi buruk juga semakin meningkat. Umumnya pasienpasien
tersebut adalah balita. Salah satu tanda gizi buruk balita adalah berat
badan balita di bawah garis merah dalam Kartu Menuju Sehat (KMS)
balita. Masalah gizi buruk balita merupakan masalah yang sangat
serius, apabila tidak ditangani secara cepat dan cermat dapat berakhir
pada

kematian.

Gizi

buruk

lebih

rentan

pada penyakit

akibat

menurunnya daya tahan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan yang


tidak optimal, sampai pada kematian yang akan menurunkan kualitas
generasi muda mendatang (Krisnansari, 2010).
Status gizi buruk pada balita dapat menimbulkan pengaruh yang
sangat menghambat pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan
berpikir yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja. Balita
hidup penderita gizi buruk dapat mengalami penurunan kecerdasan (IQ)
hingga 10 persen. Keadaan ini memberikan petunjuk bahwa pada
hakikatnya giziyang buruk atau kurang akan berdampak pada menurunnya
kualitas sumber daya manusia. Selain itu, penyakit rawan yang dapat
diderita balita gizi buruk adalah diabetes (kencing manis) dan penyakit
jantung koroner. Dampak paling buruk yang diterima adalah kematian
pada umur yang sangat dini (Krisnansari, 2010).
B. Tujuan
Melakukan analisis faktor risiko dan intervensi terhadap balita gizi
buruk di Posyandu wilayah kerja Puskesmas Sukarame.
II.
Tinjauan Pustaka
A. Definisi Gizi Buruk

Gizi buruk merupakan istilah teknis yang biasanya digunakan oleh


kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah kondisi
seseorang yang nutrisinya di bawah rata-rata. Hal ini merupakansuatu
bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Balita
disebut gizi buruk apabila indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) < -3
SD. Keadaan balita dengan gizi buruk sering digambarkan dengan adanya
busung lapar (Pudjiadi, 2005).
B. Klasifikasi Gizi Buruk
Gizi buruk dapat

ditentukan

secara

klinis

atau

secara

antropometrik. Penentuan gizi buruk secara klinis dilakukan dengan


mengidentifikasi tanda dan gejala, sedangkan dengan antropometri
menggunakan pengukuran usia, berat badan, tinggi badan dan lingkar
lengan atas, baik berupa indikator tunggal atapun kombinasi (Staf IKA
FKUI, 2007).
1. Gizi Buruk Secara Klinis
Berdasarkan tanda, gejala klinis dan patofisiologi gizi buruk
diklasifikasikan menjadi marasmus, kwashiorkor dan marasmuskwashiorkor.
a. Marsmus
Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang
paling sering ditemukan pada balita. Hal ini merupakan hasil akhir
dari tingkat keparahan gizi buruk. Gejala marasmus antara lain
anak tampak kurus, rambut tipis dan jarang,kulit keriput yang
disebabkan karena lemak di bawah kulit berkurang, muka seperti
orang tua (berkerut), balita cengeng dan rewel meskipun setelah
makan, bokong baggy pant, dan iga gambang (Staf IKA FKUI,
2007).
Pada patologi marasmus awalnya pertumbuhan yang
kurang dan atrofi otot serta menghilangnya lemak di bawah kulit
merupakan proses fisiologis. Tubuh membutuhkan energi yang
dapat dipenuhi oleh asupan makanan untuk kelangsungan hidup
jaringan. Untuk memenuhi kebutuhan energi cadangan protein

juga digunakan.Penghancuran jaringan pada defisiensi kalori tidak


hanya untuk memenuhi kebutuhan energi tetapi juga untuk sistesis
glukosa (Staf IKA FKUI, 2007).
b. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang
berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi
dan asupan protein yang inadekuat. Hal ini seperti marasmus,
kwashiorkor juga merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan
gizi buruk. Tanda khas kwashiorkor antara lain pertumbuhan
terganggu, perubahan mental, pada sebagian besar penderita
ditemukan

oedema

baik

ringan

maupun

berat,

gejala

gastrointestinal, rambut kepala mudah dicabut, kulit penderita


biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih
mendalam dan lebar, sering ditemukan hiperpigmentasi dan
persikan kulit, pembesaran hati, anemia ringan dan pada biopsi hati
ditemukan perlemakan ringan (Staf IKA FKUI, 2007).
Gangguan metabolik dan perubahan sel

dapat

menyebabkan perlemakan hati dan oedema. Pada penderita


defisiensi protein tidak terjadi proses katabolisme jaringan yang
sangat berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi dengan
jumlah kalori yang cukup dalam asupan makanan. Kekurangan
protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan asam amino
esensial yang dibutuhkan untuk sintesis. Asupan makanan yang
terdapat cukup karbohidrat menyebabkan produksi insulin
meningkat dan sebagian asam amino dari dalam serum yang
jumlahnya sudah kurang akan disalurkan ke otot. Kurangnya
pembentukan albumin oleh hepar disebabkan oleh berkurangnya
asam amino dalam serum yang kemudian menimbulkan oedema
(Staf IKA FKUI, 2007).
c. Marasmus-Kwashiorkor
Marasmic-kwashiorkor

gejala

klinisnya

merupakan

campuran dari beberapa gejala klinis antara kwashiorkor dan

marasmus dengan Berat Badan (BB) menurut umur (U) < 60%
baku median WHO-NCHS yang disertai oedema yang tidak
mencolok (Staf IKA FKUI, 2007).
2. Gizi Buruk Secara Antropometri
Penilaian gizi buruk secara antropometri di Indonesia
menganut pada growth chart z-score dari WHO. Terdapat tiga
pengukuran antropometri yang banyak dipakai di Indonesia yaitu berat
badan berdasarkan umur, berat berdasarkan tinggi/panjang, tinggi
berdasarkan umur dan lingkar lengan atas (WHO, 2009).
Buku bagan tatalaksana gizi buruk yang diterbitkan oleh
Kementrian Kesehatan menggunakan pengukuran berat berdasarkan
tinggi/panjang <-3 SD dan lingkar lengan atas < 11,5 cm (anak usia 659 bulan) sebagai diagnosis gizi buruk. Buku KMS yang digunakan di
Indonesia menggunakan pengukuran berat berdasarkan umur, dimana
garis merah adalah batas -3 SD. Dalam hal ini pengukuran paling baik
adalah menggunakan berat badan berdasarkan tinggi, namun
penggunaan pada KMS lebih diutamakan berat berdasarkan umur
karena faktor kemudahan dalam pemakaian (Kemenkes RI dan
Direktorat Bina Gizi, 2011).
Klasifikasi antropometri
a. Berdasarkan Berat Badan menurut Umur diperoleh kategori
(Kemenkes RI dan Direktorat Bina Gizi, 2011).
Tergolong gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD.
Tergolong gizi kurang jika hasil ukur -3 SD sampai dengan < -2

b.

SD.
Tergolong gizi baik jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD.
Tergolong gizi lebih jika hasil ukur > 2 SD.
Berdasarkan pengukuran Tinggi Badan (24 bulan-60 bulan) atau
panjang badan (0 bulan-24 bulan) menurut Umur diperoleh
kategori:
Sangat pendek jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD.
Pendek jika hasil ukur 3 SD sampai dengan < -2 SD.
Normal jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD.

c.

Tinggi jika hasil ukur > 2 SD.


Berdasarkan pengukuran Berat Badan menurut Tinggi badan atau
Panjang Badan:
Sangat kurus jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD.
Kurus jika hasil ukur 3 SD sampai dengan < -2 SD.
Normal jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD.
Gemuk jika hasil ukur > 2 SD.
Kriteria anak gizi buruk berdasarkan bagan tatalaksana gizi

buruk yang diterbitkan oleh kementrian kesehatan didasarkan pada


pengukuran antropometri dan klinis yaitu (Kemenkes RI dan
Direktorat Bina Gizi, 2011):
Gizi Buruk Tanpa Komplikasi
a. BB/TB: < -3 SD dan atau;
b. Terlihat sangat kurus dan atau;
c. Adanya Edema dan atau;
d. LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan
Gizi Buruk dengan Komplikasi
Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut di atas disertai salah
satu atau lebih dari tanda komplikasi medis berikut:
a. Anoreksia
b. Pneumonia berat
c. Anemia berat
d. Dehidrasi berat
e. Demam sangat tinggi
f. Penurunan kesadaran
C. Faktor Risiko Gizi Buruk
Gizi buruk dapat disebabkan oleh berbagai hal, dapat berupa faktor
tunggal ataupun multifaktor. Beberapa faktor risiko gizi buruk antara lain:
1. Asupan makanan
Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak
cukup atau salah mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola
makan yang salah. Kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan balita adalah
air, energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.Setiap
gram protein menghasilkan 4 kalori, lemak 9 kalori, dan karbohidrat 4
kalori.Distribusi kalori dalam makanan balita dalam keseimbangan
diet adalah 15% dari protein, 35% dari lemak, dan 50% dari

karbohidrat. Kelebihan kalori yang menetap setiap hari sekitar 500


kalori menyebabkan kenaikan berat badan 500 gram dalam seminggu
(Staf IKA FKUI, 2007).
Setiap golongan umur terdapat perbedaan asupan makanan
misalnya pada golongan umur 1-2 tahun masih diperlukan pemberian
nasi tim walaupun tidak perlu disaring.Hal ini dikarenakan
pertumbuhan gigi susu telah lengkap apabila sudah berumur 2-2,5
tahun.Lalu pada umur 3-5 tahun balita sudah dapat memilih makanan
sendiri sehingga asupan makanan harus diatur dengan sebaik
mungkin.Memilih makanan yang tepat untuk balita harus menentukan
jumlah kebutuhan dari setiap nutrien,menentukan jenis bahan makanan
yang dipilih, dan menentukan jenis makanan yang akan diolah sesuai
dengan hidangan yang dikehendaki.Sebagian besar balita dengaan gizi
buruk memiliki pola makan yang kurang beragam. Pola makanan yang
kurang beragam memiliki arti bahwa balita tersebut mengkonsumsi
hidangan dengan komposisi yang tidak memenuhi gizi seimbang.
Berdasarkan dari keseragaman susunan hidangan pangan, pola
makanan yang meliputi gizi seimbang adalah jika mengandung unsur
zat tenaga yaitu makanan pokok, zat pembangun dan pemelihara
jaringan yaitu lauk pauk dan zat pengatur yaitu sayur dan buah.
Menurut penelitian yang dilaksanakan di Kabupaten Magelang,
konsumsi protein dan energi balita merupakan faktor risiko status gizi
balita (Rumiasih, 2003).
2. Status sosial ekonomi
Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat
sedangkan ekonomi adalah segala usaha manusia untuk memenuhi
kebutuhan untuk mencapai kemakmuran hidup. Sosial ekonomi
merupakan suatu konsep dan untuk mengukur status sosial ekonomi
keluarga dilihat dari variabel tingkat pekerjaan. Rendahnya ekonomi
keluarga, akan berdampak dengan rendahnya daya beli pada keluarga
tersebut. Selain itu rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan,

merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita.


Keadaan sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan masalah
kesehatan yang dihadapi karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan
untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. Balita dengan gizi buruk
pada umumnya hidup dengan makanan yang kurang bergizi
(Rumiasih, 2003).
Bekerja bagi ibu mempunyai pengaruh terhadap kehidupan
keluarga. Ibu yang bekerja mempunyai batasan yaitu ibu yang
melakukan aktivitas ekonomi yang mencari penghasilan baik dari
sektor formal atau informal yang dilakukan secara reguler di luar
rumah yang akan berpengaruh terhadap waktu yang dimiliki oleh ibu
untuk memberikan pelayanan terhadap anaknya.Pekerjaan tetap ibu
yang mengharuskan ibu meninggalkan anaknya dari pagi sampai sore
menyebabkan pemberian ASI tidak dilakukan dengan sebagaimana
mestinya (Depkes RI, 2002.
Masyarakat tumbuh dengan kecenderungan bahwa orang yang
bekerja

akan

lebih

dihargai

secara

sosial

ekonomi

di

masyarakat.Pekerjaan dapat dibagi menjadi pekerjaan yang berstatus


tinggi yaitu antara laintenaga administrasi tata usaha,tenaga ahli teknik
dan ahli jenis, pemimpin,dan ketatalaksanaan dalam suatu instansi
baik pemerintah maupun swasta dan pekerjaan yang berstatus rendah
antara lain petani dan operator alat angkut.33 Menurut penelitian yang
dilakukan di Kabupaten Kampar Kepulauan Riau terdapat hubungan
bermakna status ekonomi dengan kejadian gizi buruk p=0,0001
(Taruna, 2002)
3. Pendidikan ibu
Kurangnya pendidikan dan pengertian yang salah tentang
kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap
negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang
bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Salah
satu faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan adalah

pendidikan yang rendah. Adanya pendidikan yang rendah tersebut


menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu
yang diperlukan dalam kehidupan. Rendahnya pendidikan dapat
mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, yang selanjutnya
mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang
merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita
(Rumiasih, 2003).
Tingkat pendidikan terutama tingkat pendidikan ibu dapat
mempengaruhi derajat kesehatan karena pendidikan ibu berpengaruh
terhadap kualitas pengasuhan anak.Tingkat pendidikan yang tinggi
membuat

seseorang

mudah

untuk

menyerap

informasi

dan

mengamalkan dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan adalah usaha


yang terencana dan sadar untuk mewujudkan suasana dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
diri dan ketrampilan yang diperlukan oleh diri sendiri, masyarakat,
bangsa,dan negara.Jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal dan
non formal yang bisa saling melengkapi. Tingkat pendidikan formal
merupakan pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
tinggi. Pendidikan dasar merupakan tingkat pendidikan yang
melandasi tingkat pendidikan menengah. Tingkat pendidikan dasar
adalah Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama atau bentuk lain
yang sederajat, sedangkan pendidikan menengah adalah lanjutan dari
pendidikan dasar yaitu Sekolah Menengah Atas atau bentuk lain yang
sederajat. Pendidikan tinggi merupakan tingkat pendidikan setelah
pendidikan menengah yang terdiri dari program diploma, sarjana,
magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi. Tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi balita
karena pendidikan yang meningkat kemungkinan akan meningkatkan
pendapatan dan dapat meningkatkan daya beli makanan. Pendidikan

diperlukan untuk memperoleh informasi yang dapat meningkatkan


kualitas hidup seseorang (Rumiasih, 2003).

4. Penyakit penyerta
Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat
rentan terhadap penyakit.Seperti lingkaran setan, penyakit-penyakit
tersebut justru menambah rendahnya status gizi anak. Penyakitpenyakit tersebut adalah (Rumiasih, 2003):
a. Diare persisten : sebagai berlanjutnya episode diare selama
14 hari atau lebih yang dimulai dari suatu diare cair akut
atau berdarah (disentri).Kejadian ini sering dihubungkan
dengan kehilangan berat badan dan infeksi non intestinal.
Diare persisten tidak termasuk diare kronik atau diare
berulang

seperti

penyakit

sprue,

enteropathi dan penyakit Blind loop.


b. Tuberkulosis : Tuberkulosis adalah

gluten

sensitive

penyakit

yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman


aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai
organ tubuh hidup lainnya yang mempunyai tekanan parsial
oksigen yang tinggi. Bakteri ini tidak tahan terhadap
ultraviolet, karena itu penularannya terjadipada malam hari.
Tuberkulosis ini dapat terjadi pada semua kelompok umur,
baik di paru maupun di luar paru.
c. HIV AIDS : HIV merupakan singkatan dari human
immunodeficiency virus. HIV merupakan retrovirus yang
menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia
terutama CD4 positif T-sel dan makrofag (komponen utama
sistem

kekebalan

sel),

dan

menghancurkan

atau

mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan


terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus,

yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh.


Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut
tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi
dan penyakit-penyakit. Penyakit tersebut di atas dapat
memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan
makanan dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial
tubuh. Terdapat hubungan timbal balik antara kejadian
penyakit dan gizi kurang maupun gizi buruk.Anak yang
menderita gizi kurang dan gizi buruk akan mengalami
penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap penyakit.
Di sisi lain anak yang menderita sakit akan cenderung
menderita gizi buruk.26 Menurut penelitian yang dilakukan
di Jogjakarta terdapat perbedaan penyakit yang bermakna
antara balita KEP dengan balita yang tidak KEP(p=0,034)
CI 95% (Razak et al, 2009).
5. Pengetahuan ibu
Ibu merupakan orang yang berperan penting dalam penentuan
konsumsi

makanan

dalam

keluaga

khususnya

pada

anak

balita.Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola


konsumsi makanan keluarga.Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi
menyebabkan keanekaragaman makanan yang berkurang. Keluarga
akan lebih banyak membeli barang karena pengaruh kebiasaan, iklan,
dan lingkungan. Selain itu, gangguan gizi juga disebabkan karena
kurangnya kemampuan ibu menerapkan informasi tentang gizi dalam
kehidupan sehari-hari (Rumiasih, 2003).
6. Berat Badan Lahir Rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir
kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi sedangkan
berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah
lahir.15 Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran
prematur. Bayi yang lahir pada umur kehamilan kurang dari 37

minggu ini pada umumnya disebabkan oleh tidak mempunyai uterus


yang dapat menahan janin, gangguan selama kehamilan,dan lepasnya
plasenta yang lebih cepat dari waktunya. Bayi prematur mempunyai
organ dan alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan
hidup di luar rahim sehingga semakin muda umur kehamilan, fungsi
organ menjadi semakin kurang berfungsi dan prognosanya juga
semakin

kurang

baik.Kelompok

BBLR

sering

mendapatkan

komplikasi akibat kurang matangnya organ karena premature


(Rumiasih, 2003).
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) juga dapat disebabkan oleh
bayi lahir kecil untuk masa kehamilan yaitu bayi yang mengalami
hambatan pertumbuhan saat berada di dalam kandungan.Hal ini
disebabkan oleh keadaan ibu atau gizi ibu yang kurang baik. Kondisi
bayi lahir kecil ini sangat tergantung pada usia kehamilan saat
dilahirkan. Peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas
neonatus, bayi,dan anak merupakan faktor utama yang disebabkan
oleh BBLR.37 Gizi buruk dapat terjadi apabila BBLR jangka
panjang.Pada BBLR zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga
lebih mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi. Penyakit ini
menyebabkan balita kurang nafsu makan sehingga asupan makanan
yang

masuk

kedalam

tubuh

menjadi

berkurang

dan

dapat

menyebabkan gizi buruk. Menurut penelitian yang dilakukan di


KabupatenLombok Timur BBLR terdapat hubungan yang bermakna
dengan kejadian gizi buruk (95%CI) p=0.02 (Anwar et al, 2005)
7. Kelengkapan imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun yaitu resisten atau kebal.
Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya dapat memberi kekebalan
terhadap penyakit tersebut sehingga bila balita kelak terpajan antigen
yang sama, balita tersebut tidak akan sakit dan untuk menghindari
penyakit lain diperlukan imunisasi yang lain. Infeksi pada balita
penting untuk dicegah dengan imunisasi. Imunisasi merupakan suatu

cara untuk meningkatkan kekebalan terhadap suatu antigen yang dapat


dibagi menjadi imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Imunisasi aktif
adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan
atau dimatikan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri
sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi
sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat (Staf IKA FKUI,
2007)
Imunisasi juga dapat mencegah penderitaan yang disebabkan
oleh penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian, menghilangkan
kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit, memperbaiki
tingkat kesehatan,dan menciptakan bangsa yang kuat dan berakal
untuk melanjutkan pembangunan negara.Kelompok yang paling
penting untuk mendapatkan imunisasi adalah bayi dan balita karena
meraka yang paling peka terhadap penyakit dan sistem kekebalan
tubuh balita masih belum sebaik dengan orang dewasa.Sistem
kekebalan tersebut yang menyebabkan balita menjadi tidak terjangkit
sakit. Apabila balita tidak melakukan imunisasi, maka kekebalan tubuh
balita akan berkurang dan akan rentan terkena penyakit. Hal ini
mempunyai

dampak

yang

tidak

langsung

dengan

kejadian

gizi.Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali tetapi dilakukan


secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit untuk
mempertahankan agar kekebalan dapat tetap melindungi terhadap
paparan bibit penyakit (Staf IKA FKUI, 2007).
8. ASI
Hanya 14% ibu di Indonesia yang memberikan air susu ibu
(ASI) eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di
Indonesia hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua bulan.Hasil
yang dikeluarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia periode
1997-2003 yang cukup memprihatinkan yaitu bayi yang mendapatkan
ASI eksklusif sangat rendah. Sebanyak 86% bayi mendapatkan

makanan berupa susu formula, makanan padat, atau campuran antara


ASI dan susu formula (Staf IKA FKUI, 2007).
Berdasarkan riset yang sudah dibuktikan di seluruh dunia, ASI
merupakan makanan terbaik bagi bayi sampai enam bulan, dan
disempurnakan sampai umur dua tahun.29 Memberi ASI kepada bayi
merupakan hal yang sangat bermanfaat antara lain oleh karena praktis,
mudah, murah, sedikit kemungkinan untuk terjadi kontaminasi dan
menjalin hubungan psikologis yang erat antara bayi dan ibu yang
penting dalam perkembangan psikologi anak tersebut. Beberapa sifat
pada ASI yaitu merupakan makanan alam atau natural, ideal,
fisiologis, nutrien yang diberikan selalu dalam keadaan segar dengan
suhu yang optimal dan mengandung nutrien yang lengkap dengan
komposisi yang sesuai kebutuhan pertumbuhan bayi (Staf IKA FKUI,
2007).
Selain ASI mengandung gizi yang cukup lengkap, ASI juga
mengandung antibodi atau zat kekebalan yang akan melindungi balita
terhadap infeksi. Hal ini yang menyebabkan balita yang diberi ASI,
tidak rentan terhadap penyakit dan dapat berperan langsung terhadap
status gizi balita.Selain itu, ASI disesuaikan dengan sistem pencernaan
bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula
atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi. Susu
formula sangat susah diserap usus bayi. Pada akhirnya, bayi sulit
buang air besar. Apabila pembuatan susu formula tidak steril, bayi
akan rawan diare (Staf IKA FKUI, 2007).
D. Dampak Gizi Buruk
Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini
tentu saja terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga
maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu
sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem,
karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi
(kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan

bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan


tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga
mudah sekali terkena infeksi. Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi
buruk bisa mengancam jiwa karena berberbagai disfungsi yang di alami,
ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah kedinginan) karena
jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang
dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika
fase akut tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya
anak tidak dapat catch up dan mengejar ketinggalannya maka dalam
jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan
maupun perkembangannya (Staf IKA FKUI, 2007).
Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan
performance anak, akibat kondisi stunting (postur tubuh kecil pendek)
yang diakibatkannya dan perkembangan anak pun terganggu. Efek
malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan
derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri.
Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah
salah satu aset yang vital bagi anak. Beberapa penelitian menjelaskan,
dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah
anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan
perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah
penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan
integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan
rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak (Staf IKA FKUI,
2007).

E. Tatalaksana Balita Gizi Buruk


Dalam proses pengobatan anak balita gizi buruk terdapat tiga fase
dan 1 fase lanjutan yaitu fase stabilisasi, transisi, rehabilitasi dan tindak

lanjut. Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit ada 10 langkah


penting yaitu (Kemenkes RI dan Direktorat Bina Gizi, 2011):
1. Atasi/cegah hipoglikemi
2. Atasi/cegah hiportemia
3. Atasi/cegah dehidrasi
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
5. Obati/cegah infeksi
6. Mulai pemberian makanan
7. Fasilitas tumbuh-kejar (catch up growth)
8. Koreksi defisiensi nutrient mikro
9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental
10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh
Fase stabilisasi dilakukan pada hari ke 1-2 perawatan, fase transisi
hari ke3-7, fase rehabilitasi minggu ke 2-6 dan fase tindak lanjut minggu
7-26 (Kemenkes RI dan Direktorat Bina Gizi, 2011).
Sepuluh langkah tersebut dapat dilakukan di rumah ataupun di
fasilitas pelayanan kesehatan, maka untuk dapat melakukan tatalaksana
gizi buruk dengan tepat maka perlu ditentukan apakah anak tersebut bisa
dirawat di rumah atau perlu dirawat di fasilitas kesehatan.Berdasarkan
pedoman Depkes maka, anak yang perlu dirawat adalah anak gizi buruk
dengan komplikasi dapat berupa infeksi, dehidrasi atau penurunan
kesadaran (Kemenkes RI dan Direktorat Bina Gizi, 2011).

Gambar 1 Bagan Penanganan Gizi Buruk(Kemenkes RI dan Direktorat Bina


Gizi, 2011)
1. Formula Cairan Dalam Tatalaksana Gizi Buruk
Cairan dalam tatalaksana gizi buruk yang telah diformulasikan
oleh WHO ada tiga cairan utama. Cairan ReSoMal (Rehidration
Solution for Malnutrition), cairan F-75 dan cairan F-100. Cairan
ReSoMal diberikan pada anak gizi buruk dengan diare atau dehidrasi.
Cairan F-75 digunakan pada fase stabilisasi, sedangkan cairan F-100
digunakan pada fase transisi dan rehabilitasi. Cairan F-75 lebih banyak
mengandung glukosa, sedangkan protein dan lemak cenderung rendah,
sedangkan F-100 kadar glukosa lebih rendah dan protein dan lemak
cenderung tinggi (Kemenkes RI dan Direktorat Bina Gizi, 2011).

Tabel 1 Cara Membuat Formula WHO(Kemenkes RI dan


Direktorat Bina Gizi, 2011)
Cara Membuat Formula WHO
Cairan
F-75
F-100
ReSoMal
Susu skim (g)
25
85
Gula pasir (g)
100
50
25
Minyak sayur (g)
30
60
Oralit (sachet)
20
20
20
Mineral mix (ml)
20
20
20
Air
Sampai dengan 1 liter (1.000 cc)
Gibur +
Fase
Stabilisasi
Transisi
diare/dehidrasi
2. Gizi Buruk Dengan Renjatan
Balita gizi buruk dengan renjatan harus dirawat di fasilitas
kesehatan yang memadai.Rehidrasi harus segera dilakukan (Kemenkes
RI dan Direktorat Bina Gizi, 2011):
a. Dipasang oksigen 1-2 L/m, infus RL + D 10% 1:1 15cc/kgBB
selama 1 jam, bolus D10% iv 5cc/kgBb dan ReSoMal
5cc/kgBBmelalui NGT. Hal ini dilakukan pada 1 jam pertama.
Observasi dilakukan terhadap tanda-tanda vitasl setiap 10 menit.
b. Apabila respon baik (dilihat melalui tanda vital dan kesadaran),
maka rehidrasi diteruskan pada 1 jam berikutnya. Apabila anak
minta minum beri ReSoMal sesuai kemampuan anak.
Apabila respon buruk, maka harus segera dirujuk ke Rumah Sakit
untuk diberikan transfuse PRC (bila terdapat tanda gagal jantung)
c.

atau darah segar (bila tidak terdapat tanda gagal jantung).


10 jam berikutnya anak diberikan ReSoMal dan F-75 setiap jam

selang-seling.
d. Bila anak tidak diare, hentikan pemberian ReSoMal dan diberikan
F-75 setiap 2 jam dan bertahap frekuensi diturunkan dan volume
dinaikan setiap pemberian hingga pemberian setiap 4 jam.
Bila anak diare maka berikan ReSoMal 50 100 cc/diare (anak < 2
tahun), 100 200 cc/diare (anak > 2 tahun).Setelah diare

berkurang maka ReSoMal dihentikan dan diberikan F-75 setiap 34 jam.


3. Gizi Buruk Dengan Letargis/Diare/Muntah/Dehidrasi
Adanya letargis mengindikasikan adanya kondisi hipoglikemi
pada bayi gizi buruk.Kondisi diare dan muntah dapat menyebabkan
dehidrasi.Kedua kondisi ini dapat dialami hanya salah satu atau
keduanya (Kemenkes RI dan Direktorat Bina Gizi, 2011).
a. Bila terdapat kondisi letargis maka segera berikan D10% IV
5cc/kgBB bolus dilanjutkan dengan D10% oral (NGT) sebanyak
50cc. Bila terdapat dehidrasi/muntah/diare maka diberikan
ReSoMal secara oral 5cc/kgBB setiap 30 menit selama 2 jam. Bila
tidak terdapat diare/muntah/dehidrasi pada 2 jam pertama dapat
langsung diberikan F-75 setiap 30 menit.
b. 10 jam berikutnya diberikan ReSoMal 5-10 cc/kgBB dan F-75
selang-seling

setiap

jam.

Bila

tidak

terdapat

diare/muntah/dehidrasi maka tidak perlu diberikan ReSoMal,


diberikan F-75 setiap 30 menit selama 2 jam dilanjutkan F-75
setiap 2 jam selama 10 jam.
c. Setelah 10 jam, maka pemberian F-75 diberikan semakin jarang
(setiap 3-4 jam) dengan volume disesuaikan. Apabila masih
terdapat diare/muntah maka diberikan ReSoMal 50-100 cc setiap
BAB pada anak < 2 tahun dan 100-200 cc setiap BAB pada anak
>2 tahun.
4. Gizi Buruk Tanpa Letargis/Dehidrasi/Diare/Muntah
Pada anak dengan gizi buruk tanpa ditemukan adanya
letargis/dehidrasi/diare/muntah dapat diberikan 50cc D10% secara
oral.Setelah itu diberikan F-75 setiap 30 menit selama 2 jam.Setelah
itu diberikan F-75 setiap 2 jam selama 10 jam.Apabila respon baik
maka pemberian F-75 dapat semakin jarang (setiap 3-4 jam) dengan
volume disesuaikan (Kemenkes RI dan Direktorat Bina Gizi, 2011).
5. Fase Transisi Dan Rehabilitasi
Tanda bahwa anak dapat memulai fase transisi adalah
diberikan F-75 setiap 4 jam dan dihabiskan. Pada 2 hari awal fase

transisi diberikan F-100 setiap 4 jam dengan dosis F-75. Hari ketiga
fase transisi mulai diberikan dengan dosis F-100 dan dinaikkan 10 cc
setiap 4 jam sampai anak tidak mampu menghabiskan jumlah yang
diberikan, namun tidak boleh melebihi dosis maksimal dosis F-100
(Kemenkes RI dan Direktorat Bina Gizi, 2011).
Fase rehabilitasi dilanjutkan dengan perawatan di rumah.Harus
dipastikan anak memenuhi kriteria pemulangan dan ibu siap untuk
merawat anak di rumah. Kriteria pemulangan (Kemenkes RI dan
Direktorat Bina Gizi, 2011):
a. Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif
b. BB/TB > -3 SD
c. Komplikasi teratasi
d. Ibu mendapatkan konseling gizi
e. Ada kenaikan 50g/kgBB selama 2 minggu berturut-turut
f. Selera makan baik, makanan dapat dihabiskan.

III.

Metode Mini Project

A. Rancangan Mini Project


Mini project ini dilakukan dengan metode visite dan interfensi
kepada balita dengan berat badan rendah. Data anak berat badan rendah
didapat dari koordinator gizi Puskesmas Sukarame (Hadi, AMG). Setelah
didapat maka dokter internship mengunjungi rumah yang terdapat balita
dengan berat berat badan rendah tersebut.
Dalam kegiatan kunjungan tersebut dokter internship melakukan
anamnesis dan pemeriksaan guna menganalisis risiko, penyebab dan
intervensi yang dapat dilakukan pada balita tersebut.
B. Waktu danTempat Mini Project
Kegiatan mini project dilaksanakn selama bulan Januari sampai
Februari 2015 di wilayah kerja Puskesmas Sukarame.
C. Subjek Mini Project

Subjek mini project adalah anak balita dengan berat badan rendah
di wialayah kerja Puskesmas Sukarame pada bulan Januari 2015.

IV.

Hasil Mini Project

A. Data Demografi
Kecamatan Sukarame merupakan salah satu dari 39 Kecamatan di
Wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Kecamatan Sukarame terbentuk melalui
Peraturan Daerah Nomor : 6 tahun 2001 yang merupakan pemekaran dari
Kecamatan Singaparna.
Kecamatan Sukarame terletak di ketinggian 475 meter dari
permukaan laut. Letaknya yang strategis karena berbatasan langsung
dengan Wilayah Kota Tasikmalaya dan Ibukota Kabupaten Tasikmalaya.
Kecamatan Sukarame terdiri dari 6 Desa diantaranya: Sukarame,
Sukamenak, Sukarapih, Wargakerta, Padasuka, Sukakarsa
B. Karakteristik Responden
Berdasarkan data yang didapat dari Koordinator Bagian Gizi
Puskesmas Sukarame pada bulan Januari 2015 didapatkan 6 anak yang
memiliki berat badan rendah.

Tabel 2 Karakteristik Responden Mini Project


Nama

Anak/

kelamin
An. Rama / laki-laki

Jenis Desa
Cihaur
Sukamenak

Usia

Z-Score

30 bln

BB 9,1 kg, Gizi


TB 77 cm
WAZ: -2,9

Gizi

Kurang

An. Dita / perempuan

Cihaur
Sukamenak

21 bln

An. Fani / perempuan

Sirung

22 bln

An. Azura / perempuan

Sirung

31 bln

An. Tasya / perempuan

Sirung

35 bln

An. Noval / laki-laki

Lembur
Desa

36 bln

WHZ: -0,8
BB 7,3 kg
TB 72 cm
WAZ: -2,5
WHZ: -11
BB10,35kg
TB 86 cm
WAZ: -0,8
WHZ:-1,31
BB 11,3 kg
TB 87 cm
WAZ: -1,1
WHZ: -0,3
BB 10,5 kg
TB 90,5 cm
WAZ: -2,2
WHZ:-1,75
BB 9,35 kg
TB 73
WAZ:-2,74
WHZ:-0,18

Gizi
Kurang
Normal

Normal

Gizi
Kurang
Gizi
Kurang

Berdasarkan hasil penghitungan dapat dilihat bahwa dari 6 anak


terdapat 4 orang anak dinyatakan gizi kurang dilihat dari nilai Z score
BB/U (-3SD sampai -2SD). Dari 4 orang anak tersebut setelah dihitung
kembali menggunakan Z score BB/TB (BB/TB) dinyatakan Normal. Hal
ini dikarenakan perbedaan cara penghitungan Z-score berat berdasarkan
umur dan berat berdasarkan panjang/tinggi. Berat berdasarkan umur WAZ
dipakai di KMS untuk memudahkan kader dan bidan desa untuk
mengidentifikasi secara cepat, sedangkan untuk diagnosis gizi WHZ
menggunakan Z-score berat berdasarkan panjang/tinggi.

1. An. Rama
a. Asupan Makanan
Saat lahir langsung menetek, asi lancar sejak lahir, saat
umur 6 bulan mulai diberi air putih, setelah itu bayi jadi jarang

mau minum susu. MPASI tidak diberikan anak langsung diberikan


makan keluarga tapi tidak pernah dimakan. Setelah itu bayi jadi
tidak mau makan dan minum susu.
b. Sosial Ekonomi dan Pendidikan
Pendidikan

Ayah(meninggal)
-

Ibu
SD

Penghasilan -

Tidak tentu

Usia

26 thn

Pekerjaan

Serabutan

c. Penyakit Penyerta dan Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak terdapat penyakit serius ataupun riwayat penyakit
keluarga yang mungkin diturunkan.
d. Riwayat Persalinan
Saat hamil trimester awal pernah mual dan muntah, lahir
normal di bidan, langsung menangis, BBL 2700 gr, ibu tidak ada
riwayat penyakit apapun saat hamil.
e. Kelengkapan Imunisasi
Lengkap sesuai umur.
2. An. Dita
a. Asupan Makanan
Sampai usia 6 bulan pasien masih mendapatkan asi tetapi
juga sering diberikan air putih dan bubur. Tidak diberikan MPASI,
anak sering diberikan makanan seadanya sehingga nafsu makan
menjadi berkurang.
b. Sosial Ekonomi dan Pendidikan
Pasien tinggal dirumah berukuran 3x5 meter yang dihuni
oleh 4 orang yaitu Kakak perempuannya, keponakan dan anaknya,
Sedangkan suaminya jarang ada di rumah. Rumah terdiri dari
ruang tamu, dua kamar tidur. Berlantaikan semen dan tanah,
dinding tembok dan sebagian masih pakai bambu, atap genting,
tidak ada jamban di dalam rumah dan sumber air berasal dari

sumur tetangga. Ayah pasien sering memarahi istrinya tanpa sebab


sedangkan ibu pasien tidak bekerja dan sering sakit-sakitan.
c. Penyakit Penyerta dan Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat penyakit serius ataupun riwayat penyakit
keluarga yang mungkin diturunkan.
d. Riwayat Persalinan
Pasien merupakan anak ke dua dari pernikahannya yang
kedua. Selama hamil Ibu sering menderita penyakit dan sering
dimarahi oleh Suaminya, Indek Masa Tubuh ibu hanya mencapai
15, 78 kg/m2 yang termasuk kategori kurus sampai usia kehamilan
trimester kedua. Selama kehamilan ibu sering periksa dibidan
tetapi tidak rutin yaitu hanya pada usia kehamilan 10 minggu dan
38 minggu.
Proses persalinan ditolong oleh bidan. Lahir secara normal
spontan dalam usia kehamilan 38 minggu. Ketika lahir bayi
langsung menangis dengan berat badan lahir 1900 gr dan panjang
badan 49 cm.
Setelah proses persalinan ibu dan bayi sehat tidak
mengalami suatu kelainan apapun.
e. Kelengkapan Imunisasi
Vaksinasi dasar lengkap pasien sesuai usia dan selalu
ditimbang diposyandu setiap bulan.
3. An. Fani
a. Asupan Makanan
Dari lahir hingga usia 6 bulan pasien mendapat asi
eksklusif, tetapi jumlahnya sangat sedikit, yaitu hanya 5-7 kali
pemberian ASI setiap hari dengan jumlah kurang dari 200 cc ASI
setiap kali pemberian dikarenakan Ibunya yang sibuk bekerja.
Mulai usia 6 bulan pasien mendapat makanan tambahan sehari 3
kali, tetapi dari segi gizi dan jumlah pemberian masih kurang.
Jenis makanan tambahan yang diberikan setiap hari seperti nasi tim
dengan jumlah pemberian kurang dari 300 gram setiap pemberian.
b. Sosial Ekonomi dan Pendidikan

Pendidikan

Ayah
SD

Ibu
SD

Penghasilan Rp. 500.000/bulan

Rp. 500.000/bulan

Usia

45 tahun

30 tahun

Pekerjaan

Buruh

Buruh

c. Penyakit Penyerta dan Riwayat Penyakit Keluarga


Dalam perkembangannya pasien jarang sakit.
d. Riwayat Persalinan
Pasien merupakan anak ke 3 dari 3 bersaudara, lahir aterm/
cukup bulan , pada saat usia kehamilan ibu 37 minggu. Pada saat
hamil ibu rajin melakukan pemeriksaan ke bidan. Selama hamil
ibu juga jarang ada keluhan, keluhan masih dalam batas normal
seperti pusing dan mual.Tekanan darah juga dalam batas normal.
Berat badan ketika lahir 3100 gram, dengan panjang badan
lahir 47 cm. Lahir di rumah bidan, dengan persalinan normal dan
langsung menangis.
e. Kelengkapan Imunisasi
Vaksinasi dasar lengkap pasien sesuai usia dan selalu
ditimbang diposyandu setiap bulan.
4. An. Azura
a. Asupan Makanan
Anak mempunyai nafsu makan yang kurang, dikarenakan
Ibu nya sering memberikan jajanan dari warung. Dari mulai umur
anak Azura berumur 6 bulan sudah dikenalkan dengan jajanan
warung sehingga ia tidak suka makan makanan dirumah. Begitu
juga Ibunya sering sibuk mengurusi pekerjaan rumah dan
membiarkan anaknya jajan supaya tidak rewel.
b. Sosial Ekonomi dan Pendidikan
Pendidikan

Ayah
SMP

Ibu
SD

Penghasilan Rp. 1.500.000 / bulan

Usia

33 tahun

40 tahun

Pekerjaan

Buruh

IRT

c. Penyakit Penyerta dan Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga tidak memiliki penyakit yang dapat diturunkan
maupun dapat menular.
d. Riwayat Persalinan
Anak lahir spontan di bidan dengan BBL 3000gr.
e. Kelengkapan Imunisasi
Vaksinasi dasar lengkap pasien sesuai usia dan selalu
ditimbang diposyandu setiap bulan.
5. An. Tasya
a. Asupan Makanan
Asupan makan anak cukup baik, diberi ASI Eksklusif
hingga 4 bulan. Sejak usia 3 bulan nafsu makan berkurang dan
Ibunya selalu memberikan jajan warung kepada anaknya.
b. Sosial Ekonomi dan Pendidikan
Ayah dan ibu anak seorang pedagang di pasar Singaparna.
Orangtua anak enggan memberitahu penghasilan setiap bulan.
c. Penyakit Penyerta dan Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam perkembangannya pasien jarang sakit.
d. Riwayat Persalinan
Riwayat kehamilan dan persalinan baik. Saat hamil tidak
mengalami penyakit serius. Persalinan dilakukan di bidan, BBL
3000 gram, anak langsung menangis dan dilakukan IMD
e. Kelengkapan Imunisasi
Imunisasi dasar lengkap dilakukan di Posyandu
6. An. Noval
a. Asupan Makanan
Sampai usia 4 bulan pasien masih mendapatkan ASI tetapi
juga sering diberikan air putih dan buah pisang. Sejak usia 12
bulan sampai 15 bulan nafsu makan cukup baik akan tetapi
menginjak 16 bulan nafsu makan kurang dan cenderung pilih-pilih
makanan. Dengan demikian kualitas dan kuantitas nutrisis pasien
tergolong kurang baik.
b. Sosial Ekonomi dan Pendidikan

Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan adiknya.


Rumah terdiri dari ruang tamu, dua kamar tidur dan dapur.
Berlantaikan semen dan tanah, dinding tembok yang belum selesai
di cat, atap genting, tidak ada jamban di dalam rumah dan sumber
air berasal dari sungai. Ayah pasien bekerja sebagai buruh
serabutan dengan pendapatan yang tidak tetap setiap bulannya.
Pendapatan ayah pasien perbulan jika dijumlahkan Rp
700.000,00. Sedangkan ibu pasien menjadi ibu rumah tangga.
c. Penyakit Penyerta dan Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat penyakit serius ataupun riwayat penyakit
keluarga yang mungkin diturunkan.Perkembangan motorik kasar,
halus, bahasa dan sosial tidak mengalami keterlambatan.
d. Riwayat Persalinan
Pasien merupakan anak pertama. Selama hamil Ibu tidak
menderita penyakit dan mengalami trauma apapun. Selama
kehamilan ibu sering periksa dibidan tetapi tidak rutin yaitu hanya
pada usia kehamilan 12 minggu, 22 minggu, 30 minggu dan 41
minggu.
Proses persalinan ditolong oleh bidan di puskesmas dengan
BBL 2900 gram
e. Kelengkapan Imunisasi
Imunisasi dasar lengkap.
C. Analisis Faktor Risiko Responden dan Intervensi
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapati
beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab kurangnya berat badan
balita dengan berat BGM di Kecamatan Sukarame, dengan begitu dapat
dilakukan intervensi yang sesuai.
1. An. Rama
Berdasarkan Z-score didapati bahwa anak Rama termasuk gizi
kurang (Z-score -2,9). Penyebab utama gizi kurang tersebut
diperkirakan karena pengetahuan ibu yang kurang dalam cara
mengasuh dan memberi makan anak. Berdasarkan anamnesis anak
sering diberi air putih, sehingga merasa kenyang sedangkan air putih

sendiri tidak memiliki gizi yang cukup. Faktor sosial ekonomi


keluarga anak Rama sangat mempengaruhi terhadap status gizinya,
Ayah yang sudah meninggal dan Ibu yang tidak memiliki pekerjaan
mengakibatkan asupan nutrisinya kurang baik untuk Ibu yang
mepangaruhi ASI yang diberikan kepada anak tersebut.
Berdasarkan analisis tersebut ditengarai penyebab utama
kurangnya gizi adalah faktor pengetahuan Ibu dan sosial ekonomi. Ibu
anak Rama diberi tahu mengenai bahaya gizi buruk, cara mencegah
dan bagaimana sebaiknya dalam hal memberi makan anak. Anak
Rama juga diberikan bantuan berupa susu skim sebagai motivasi dan
makanan tambahan.
2. An. Dita
Berdasarkan hasil penghitungan Z-score didapatkan bahwa
anak Dita memiliki gizi kurang. Hal ini dikarenakan asupan makan
dari sejak lahir hanya tergantung dari ASI dan tidak diberikan makan
tambahan. Ibu yang tidak bekerja dan Ayahnya yang kerja serabutan
mempengaruhi

faktor ekonomi

keluarga sehingga tidak

bisa

mencukupi untuk memberikan makanan tambahan. Ibu diberikan


konseling mengenai cara membuat makanan balita yang murah dan
beraneka ragam. Selain konseling anak Dita juga diberikan bantuan
susu skim sebagai makanan tambahan.
3. An. Fani
Berdasarkan penghitungn Z-score anak Fani termasuk dalam
gizi normal. Namun keterangan dari kader posyandu anak Fani
dulunya berstatus gizi kurang, hal ini disebakan karena kedua sibuk
bekerja dan jarang memperhatikan asupan makan untuk anaknya.
Dengan arahan dari puskesmas dan bantuan berupa susu skim perlahan
berat badn Fani naik. Tetapi kunjungan terakhir berat badan anak Fani
turun 250 gram, keadaan ini terjadi karena Ibu anak Fani hanya
tergantung dari bantuan susu skim yang diberikan dari puskesmas jika
bantuan susu skim dari puskesmas habis maka berat badan anak Fani
akan turun.

Dari kunjungan tersebut kurangnya pengetahuan Ibu dan


ketidakpedulian Ibu menjadi faktor utama yang mempengaruhi status
Gizi. Diberikan penyuluhan mengenai pentingnya asupan makanan di
usia tersebut, Ibu diajari cara membuat makan yang mudah, murah
sekaligus menarik untuk anaknya supaya tidak selalu tergantung dari
susu skim pemberian puskesmas
4. An. Azura
Berdadarkan perhitungan Z score anak Azuran termasuk gizi
normal. Akan tetapi kualitas makan yang didapatkan tidak baik yang
seringnya anak diberi jajan dari warung. Faktor utama kualitas asupan
makan yang tidak baik adalah pengetahuan Ibu yang kurang mengenai
makanan-makan

yang

bernilai

gizi

baik,

sehingga

diberikan

penyuluhan berupa konseling cara membuat makan yan menarik


sekaligus bernilai gizi baik.
5. An. Tasya
Berdasarkan perhitungan Z-score anak Tasya termasuk ke
dalam gizi kurang. Faktor utama gizi kurang anak tersebut adalah
pengetahuan dan kepedulian Ibu untuk menjaga asupan makanan
anaknya, Hal ini dapat dilihat dengan senanya anak Tasya jajan
diwarung berupa permen dan makanan ringan, Tasya selalu tertarik
untuk jajan karena kemasan jajanan yang beraneka macam baik dari
segi warna dan rasa. Ditambah lagi dengan kesibukan Ibu dan
Ayahnya yang seorang pedagang dipasar.
Ibu anak Tasya diberikan konseling bagaimana cara membuat
makanan yang menarik dan mudah supaya anaknya tertarik makan
dirmah daripada jajan di warung. Selain itu diberikan pemahaman
pentingnya asupan makanan yang bergizi untuk menunjang tumbuh
kembang anaknya.
6. An. Noval
Berdasarkan penghitungan Z-score, anak Noval berstatus gizi
kurang, hal ini dikarenakan sejak usia 6 bulan anak Noval sering
memilih-milih makanan dan Ibu yang sibuk bekerja mengurus

pekerjaan rumah sehingga tidak terlalu memperhatikan asupan makan


untuk anaknya.
Tabel 3 Analisis Faktor Risiko
Sosial Ekonomi,

Penyakit

Riwayat

Pendidikan
Pendidikan baik,

Penyerta

Persalinan

baik

Lengkap

Baik

Lengkap

Pendapatan rendah
Pendidikan rendah
Kepedulian kurang

Baik

Lengkap

Pendapatan rendah
Pendidikan rendah

Baik

Lengkap

Baik

Lengkap

Baik

Lengkap

Anak

Asupan Makanan

An.

Hanya diberi ASI dan

pengetahuan ibu

Rama

Sering diberi air putih

kurang, Pendapatan

An.

Hanya diberi ASI dan

Dita

sering diberi air putih

An.
Fani
An.
Azura

Makanan tambahan
kurang bergizi, sering
jajan
Makanan tambahan
kurang bergizi, sering

Imunisasi

rendah
Pengetahuan Ibu,
Pendidikan Ibu,
Pendapatan rendah

An.

jajan
Sulit makan karena

Tasya
An.

sering jajan
Cenderung pilih-pilih

Pendapatan rendah
Pendidikan rendah
Kepedulian kurang
Pengetahuan Ibu,

Noval

makanan

Pendidikan Ibu rendah

Tabel 4 Faktor Risiko dan Intervensi


Anak
An.

Faktor Risiko Utama


Soial Ekonomi dan kurangnya

Intervensi
Konseling gizi buruk,

Rama

pengetahuan dan kepedulian.

imunisasi pemberian susu

skim sebagai motivasi dan


vitamin, cara pembuatan
makanan balita yang mudah
dan murah
Konseling gizi buruk,
imunisasi pemberian susu
An.

Soial Ekonomi dan kurangnya

skim sebagai motivasi dan

Dita

pengetahuan dan kepedulian.

vitamin, cara pembuatan


makanan balita yang mudah
dan murah
Konseling cara membuat

An.

Rendahnya pendidikan orangtua,

Fani

ketidak pedulian orang tua

An.

Rendahnya pendidikan orangtua,

vitamin
Pemberian susu skim
Konseling cara pembuatan

Azura

ketidak pedulian orang tua

makanan balita yang murah

makanan, pemberian susu dan

dan mudah.
Konseling cara membuat

An.

Rendahnya pendidikan orangtua,

Tasya

ketidak pedulian orang tua

An.

Rendahnya pendidikan orangtua,

balita yang murah dan

Noval

ketidak pedulian orang tua

bervariasi, pemberian

makanan, pemberian susu dan


vitamin
Konseling membuat makanan

makanan tambahan
D. Pengukuran Z-score Setelah Intervensi
Pengukuran Z-score dilakukan 1 bulan setelah intervensi. Dari 6
anak yang dilakukan intervensi 2 anak tidak ada dirumah sehingga tidak
dapat dilakukan pengukuran Z-score.
Tabel 5 Antropometri Setelah Intervensi
Nama Anak/ Jenis kelamin
An. Rama / perempuan

Kenaikan BB
200 gram

Z-Score 1
Z-score 2
BB 9,1 kg, BB 9,3 kg

An. Dita / perempuan


An. Fani / perempuan
An. Azura/ perempuan
An. Tasya / perempuan
An. Noval / laki-laki

TB 77 cm
WHZ: -2,83
450 gram
BB 7,3 kg
TB 72 cm
WHZ: -1,3
-250 gram
BB 10,35 kg
TB 86 cm
WHZ: -4,5
Lost to Follow BB 11,3 kg
TB 87 cm
up
WHZ: -3,8
250
BB 10,5 kg
TB 90,5 cm
WHZ: -2,4
Lost to Follow BB 9,3 kg
TB 74 cm
up
WAZ: -2,4
WHZ: -1,6
V. Diskusi

WHZ: -2
BB 7,75 kg
WHZ: -1
BB 10,1 kg
WHZ-4,1
Lost
to
Follow up
BB10,75 Kg
TB 90,5 cm
WHZ: -0,8
Lost
to
Follow up

Beberapa hal perlu diperhatikan pada mini project ini, baik dari awal
penegakan diagnosis gizi kurang hingga konseling dan pengukuran z-score
setelah intervensi.
Penegakkan diagnosis pada buku tatalaksana gizi buruk berdasarkan
Depkes menggunakan standar Z-score berat berdasarkan tinggi/panjang
badan, sedangkan pada KMS menggunakan kurva Z-score berat berdasarkan
umur, hal ini dapat menyebabkan overdiagnosis atau underdiagnosis bayi
dengan gizi buruk.
Instrumen penelusuran faktor risiko sendiri perlu diperhatikan. Dalam
mini project ini peneliti cukup banyak memakai subjektifitas dalam menilai
faktor risiko, sehingga sangat mungkin terjadi bias saat analisis faktor risiko.
Sebagai contoh pada penelususran asupan makanan, hal ini sangat sulit
dilakukan karena seringkali orangtua anak tidak begitu memperhatikan
takaran dan lupa jumlah makanan yang telah diberikan kepada anak. Beberapa
faktor risiko bahkan tidak mungkin kita intervensi, meskipun hal itu menjadi
penyebab utama, sebagai contoh tingkat pendidikan dan pendapatan. Hal ini

membuktikan bahwa masalah kesehatan khususnya masalah gizi bukan hanya


masalah kesehatan semata, tetapi lebih pada masalah multidisipliner.
Bias pada analisis faktor risiko tentu dapat menyebabkan intervensi
yang tidak tepat, karena target dari mini project ini adalah intervensi pada
faktor risiko yang ada pada anak dengan berat rendah. Meskipun begitu hasil
pengukuran setelah intervensi cukup baik rata-rata anak mengalami kenaikan
berat badan 200-500 gram dalam 1 bulan. Hal yang harus menjadi perhatian
selanjutnya adalah konsistensi orangtua dalam mengasuh anak tersebut.

VI. Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan
1. Di wilayah kerja kecamatan Sukarame pada bulan Januari 2015
terdapat 6 balita dengan berat badan rendah.
2. Analisis faktor risiko pada mini project ini kurang objektif sehingga
sangat mungkin terjadi bias.
3. Faktor risiko gizi kurang seringkali multifaktor dan permasalahannya
merupakan masalah multidisipliner, sehingga penanganannya pun
bersifat multidisipliner.
4. Dari 6 anak yang menjadi responden 3 anak mengalami kenaikan
berat badan 200-500 gram setelah intervensi, 1 anak yang mengalami
penurunan dan 2 anak tidak bisa di follow up pada bulan kedua
sehingga tidak dapat diukur Z-score setelah intervensi.
B. Saran
1. Gap antara diagnosis KMS dan pedoman Depkes perlu dikaji ulang,
karena dapat menjadikan program pemerintah tidak tepat dan kurang
efektif.
2. Analisis faktor risiko perlu dibuat instrument yang lebih baik dan
objektif sehingga analisis lebih tepat dan manajemen lebih baik.

3. Perlu adanya koordinasi lintas disiplin untuk mengurangi kejadian gizi


buruk.
4. Intervensi dan pengukuran dalam mini project hanya dilakukan dalam
waktu 1 bulan, sehingga kontinuitas konseling dan intervensi tidak
terjamin.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar K,Juffrie M,Julia M. 2005. Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk di Kabupaten
Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat.Jurnal Gizi Klinik Indonesia
[Internet].[cited 2014 Oktober 14]:2(3):81-85.Available
from:http://ijcn.or.id/v2/content/view/33/40/
Departemen Kesehatan RI. 2002. Program Gizi Makro.Jakarta:Depkes RI
Kemenkes RI dan Direktorat Bina Gizi. 2011. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
Jakarta:Direktoran Bina Gizi
Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health:61-8.
Purwokerto
Pudjiadi S. 2005. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Gaya Baru
Razak AA,Gunawan IMA,Budiningsari RD. 2009. Pola Asuh Ibu Sebagai Faktor
Risiko Kejadian Kurang Energi Protein (KEP) Pada Anak Balita.Jurnal Gizi
Klinik Indonesia[Internet].[cited 2014 Oktober 14]:6(2):95-103.Available
from: http://www.i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=10761
Rumiasih. 2003. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Buruk pada
Anak Balita di Kabupaten Magelang[karya tulis ilmiah].Semarang:
Universitas Diponegoro
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia. 2007. Buku Kuliah
Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:Infomedika
Taruna J. 2002. Hubungan Status Ekonomi Keluarga dengan Terjadinya Kasus Gizi
Buruk pada Anak Balita di Kabupaten Kampar Provinsi Riau Tahun
2002[karya tulis ilmiah].Jakarta:Universitas Indonesia

World Health Organisation. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah


Sakit.Jakarta: WHO Indonesia

Anda mungkin juga menyukai