Anda di halaman 1dari 26

Definisi

Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk
heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang
penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan
postprandial, arterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati dan neuropati. Manifestasi
klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari
penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa
dan gangguan toleransi glukosa dapat tetap berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes.
Anamnesis
Dilakukan anamnesis yang berkaitan dengan DM, menanyakan pertanyaan umum :
1. Menanyakan keluhan utama pasien
2. Menanyakan banyak makan, minum dan banyak kencing
3. Menanyakan adanya keluarga yang terkena Diabetes Melitus
4. Menanyakan apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena lupa makan
setelah minum obat
5. Menanyakan apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena diare berlebihan
6. Menanyakan apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena suatu keadaan
stress (infeksi, mci)
7. Menanyakan apakah adanya buram, katarak, buta, retinopati, glaucoma
8. Menanyakan apakah ada kesemutan, sakit maag dan impotensi
9. Menanyakan ada riwayat sakit jantung (sakit dada kiri)
10. Menanyakan adanya hipertensi
11. Menanyakan adanya luka yang sukar sembuh, jaringan parut pada kulit dan luka yang
bau
12. Menanyakan apakah ada batuk > 3 minggu
Pemeriksaan Fisik

Pengukuran tinggi dan berat badan pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran
tekanan darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi

ortostatik.

Pemeriksaan funduskopi

Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid

Pemeriksaan jantung

Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop

Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari

Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan
pemeriksaan neurologis

Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.

Inspeksi

Warna kulit dan kondisi kulit (kering, normal, lembab)

Atrofi / hipotrofi otot

Lesi kulit ( infiltrate, ulkus, abses, gangren)

Gerakan yang terbatas dan kontraktur

Palpasi

Pemeriksaan suhu raba

Pemeriksaan pulsasi a dorsalis pedis dan tibialis posterior

Pemeriksaan sensibilitas dengan monofilament

Pemeriksaan Penunjang

Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial

A1C

Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida)

Kreatinin serum

Albuminuria

Keton, sedimen dan protein dalam urin

Elektrokardiogram

Foto rontgen dada

Berikut ini adalah evaluasi medis yang dilakukan secara berkala :

Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan sesuai
dengan kebutuhan

Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan

Setiap 1 tahun dilakukan pemeriksaan :

Jasmani lengkap

Mikroalbuminuria

Kreatinin

Albumin / globulin dan ALT

Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida

EKG

Foto Rontgen dada

Funduskopi

Tabel 1. Nilai Rujukan Kadar Glukosa Darah.


Working Diagnosis
Diabetes Melitus tipe-2
Differential Diagnosis
Diabetes Melitus tipe-tipe yang lain.
Etiologi dan Patofisiologi
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam. Meskipun
berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufusiensi insulin, tetapi
determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes
melitus. Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan
gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang
memproduksi insulin. Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan respons
terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi
autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan men
gakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Manifestasi klinis
diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak. Pada diabetes melitus
dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta telah dirusak semuanya, sehingga terjadi
insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin. Bukti

untuk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah kaitan dengan tipe-tipe histokompabilitas
(human leukocyte antigen [HLA]) spesifik. Tipe dari gen histokompabilitas yang berkaitan
dengan diabetes tipe 1 (DW3 dan DW4) adalah yang memberi kode kepada protein-protein yang
berperanan penting dalam interaksi monosit-limfosit. Protein-protein ini mengatur respons sel T
yang merupakan bagian normal dari respons imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang
terganggu akan berperan penting dalam patogenesis perusakan sel-sel pulau Langerhans. Jika
terdapat bukti adanya peningkatan antibodi-antibodu terhadap komponen antigenik tertentu dari
sel beta. Kejadian pemicu yang menentukan proses autoimun pada individu yang peka secara
genetik dapat berupa infeksi virus coxsackie B4 atau gondongan atau virus lain. Epidemi
diabetes tipe 1 awitan baru telah diamati pada saat-saat tertentu dalam setahun pada anggotaanggota dari kelompok sosial yang sama.
Obat-obat tertentu yang diketahui dapat memicu penyakit autoimun lain juga dapat memulai
proses autoiimun pada pasien-pasien diabetes tipe 1. Antibodi sel-sel pulau Langerhans memiliki
presentasi yang tinggi pada pasien dengan diabetes tipe 1 awitan baru dan memberikan bukti
yang kuat adanya mekanisme autoimun pada patogenesis penyakit. Penapisan imiunologik dan
pemeriksaan sekresi insulin pada orang-orang dengan risiko tinggi terhadap diabetes tipe 1 akan
memberi jalan untuk pengobatan imunosupresif dini yang dapat menunda awitan manifestasi
klinis defisiensi insulin.
Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang
kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya
diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi
genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda
(MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika
orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1;1, dan
sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan
sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran
terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan
tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4
glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan
diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat

disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif
terhadap insulin atau akibat ketidak normalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi
penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa.
Ketidak normalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan
sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk
mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena
obesitas berkaitan dengan resistensi insulin maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi
glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2.
Epidemiologi
Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta kasus diabetes
di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru. Diabetes merupakan
penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada
orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit
2,5 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita
diabetes.
Tujuh puluh lima persen menderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskular.
Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangren adalah komplikasi yang paling utama. Selain
itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabeties tidak terkontrol juga
meningkat.
Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan dan hilangnya
pendapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan
penyakit vaskular.
Klasifikasi Diabetes Melitus
Beberapa klasifikasi diabetes melitus telah diperkenalkan, berdasarkan metode presentasi klinis,
umur awitan, dan riwayat penyakit. Presentasi klinis, umur awitan, dan riwayat penyakit.
Klasifikasi yang diperkenalkan oleh American Diabetes Association (ADA) berdasarkan
pengetahuan muktahir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa.
Klasifikasi ini telah disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan telah dipakai

diseluruh dunia, empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa :


1. Diabetes melitus tipe 1 dan 2
2. Diabetes gestasional (diabetes kehamilan)
3. Tipe khusus lain.
Dua kategori lain dari toleransi glukosa abnormal adalah gangguan toleransi glukosa dan
gangguan glukosa puasa.
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile onset dan tipe dependent insulin, namun kedua
tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru
setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe :
1. Autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta
2. Idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya. Subtipe ini lebih
sering timbul pada etnik keturunan Afrika-Amerika dan Asia.
Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe nondependent
insulin. Insidens diabetes tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering
dikaitkan dengan penyakit ini.
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan memengaruhi 4% dari
semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah :
1. Usia tua
2. Etnik
3. Obesitas
4. Multiparitas
5. Riwayat keluarga
6. Riwayat diabetes gestasional terdahulu
Karena mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu
keadaan diabetogenik. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara genetik
mungkin akana memerlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada
kehamilan. Kriteria diagnosis biokimia diabetes kehamilan yang dianjurkan adlaah kriteria yang

diusulkan oleh OSullivan dan Mahan (1973). Menurut kriteria ini, GDM terjadi apabila dua atau
lebih dari nilai berikut ini ditemukan atau dilampaui sesudah pemberian 75g glukosa oral : puasa,
105 mg/dl; 1 jam, 190 mg/dl; 2 jam, 165 mg/dl; 3 jam, 145 mg/dl. Pengenalan diabetes seperti
ini penting karena penderita berisiko tinggi terhadap morbiditas damortalitas perinatal dan
mempunyai frekuensi kematian janin viabel yang lebih tinggi. Kebanyakan perempuan hamil
harus menjalani penapisan untuk diabetes selama usia kehamilan 24 hingga 28 minggu.
Tipe khusus lain adalah :
a. Kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali pada MODY. Diabetes subtipe ini
memiliki prevalensi familial yang tinggi dan bermanifestasi sebelum usia 14 tahun.
Pasien sering kali obesitas dan resisten terhadap insulin. Kelainan genetik telah dikenali
dengan baik dalam empat bentuk mutasi dan fenotif yang berbeda (MODY 1, MODY 2,
MODY 3, MODY 4).
b. Kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan sindrom resistensi insulin berat dan
akantosis negrikans.
c. Penyakit pada eksokrin pankreas menyebabkan pankreatitis kronik.
d. Penyakit endokrin seperti sindroma Cushing dan Akromegali.
e. Obat-obat yang bersifat toksik terhadap sel-sel beta.
f. Infeksi.

Tabel 2. Klasifikasi Etiologis DM.


Diagnosis
Sesuai dengan kriteria ADA untuk orang dewasa yang tidak hamil, diagnosis diabetes melitus
ditegakkan berdasarkan penemuan :
1. Gejala-gejala klasik diabetes dan hiperglikemia yang jelas.
2. Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7 mmol/L) pada sekurang-kurangnya dua
kesempatan.
3. Kadar glukosa oral (OGTT) 200 mg/dl pada 2 jam dan paling sedikit satu kali antara 0
sampai 2 jam sesudah pasien makan glukosa.
Kadar glukosa puasa yang ditentukan adalah 126 mg/dl karena kadar tersebut merupakan indeks
terbaik dengan nilai setelah 2 jam pemberian glukosa adalah 200 mg/dl dan pada kadar tersebut
retinopati diabetik, yaitu suatu komplikasi diabetes muncul untuk pertama kalinya.

Glukosa darah puasa merupakan metode yang dianjurkan untuk penapisan diabetes.
Diagnosis diabetes melitus pada anak-anak juga didasarkan pada penemuan gejala-gejala klasik
diabetes dan gluksoa plasma secara acak adalah >200 mg/dl.
Pasien dengan gangguan toleransi glukosa (IGT) tidak dapat memenuhi kriteria diabetes melitus
yang telah dijelaskan diatas; tetapi, tes toleransi glukosanya memeprlihatkan kelainan. Pasienpasien ini asimptomatis. Dipandang dari sudut biokimia pasien dengan IGT menunjukkan kadar
glukosa plasma puasa (110 dan <126 mg/dl/ 100ml) namun nilai-nilai selama diadakan OGTT
adalah 200 mg/dl pada menit ke-30, 60, atau 90, dan mencapai 140 sampai 200 mg/dl setelah 2
jam. Beberapa pasien dengan IGT mungkin menderita keadaan lain yang mungkin bertanggung
jawab atas diabetes tipe sekunder. Pada individu lain, IGT mungkin menunjukkan adanya
diabetes dalam stadium dini. Mereka ini tidak digolongkan sebagai penderita diabetes, tetapi
dianggap berisiko lebih tinggi terhadap diabetes dibandingkan dengan masyarakat umum.
Beberapa diantaranya mungkin tetap dalam golongan ini sampai bertahun-tahun lamanya.
Banyak yang akan kembali spontan pada toleransi glukosa normal, tetapi setiap tahun 1% hingga
5% dari mereka dengan IGT dapat berlanjut menjadi diabetes. Mesikupun pasien-pasien dengan
IGT secara klinis tidak menderita komplikasi mikroangiopati retina dan ginjal yang nyata, tetapi
dari hasil penyelidikan ternyata mereka memperlihatkan kecenderungan yang meningkat
terhadap penyakit arteria, kelainan elektrokardiografi dan kematian akibat penyakit jantung atau
peningkatan kepekaan terhadap penyakit arterosklerosis. Intervensi yang tepat antara lain dengan
restriksi kalori dan mengurangi berat badan pada penderita yang obesitas, dapat memperbaiki
toleransi glukosa dan mungkin mengurangi terjadinya komplikasi. Gangguan glukosa puasa
ditetapkan dengan nilai antara 110 (diatas batas normal) dan 126 mg/ 100ml. Pasien-pasien
dengan gangguan glukosa puasa juga meningkat resikonya terhadpa diabetes dan komplikasi
metabolik akibat IGT.

Bagan 1. Algoritme Diagnosis


Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis diabetes melitus diaktikan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin.
Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa
yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan
melebihi ambang ginjal untuk zat ini maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan
diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus

(polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori
negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia)mungkin akan
timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan
polidipsia, poliuri, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama
beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosism
serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya
diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin.
Sebaliknya, pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala
apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin
menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami
ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya secara relatif.
Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup uintuk menghambat ketoasidosis. Kalau
hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat
hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya.
Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin. Kadar
insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak
memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap
insulin eksogen.
Penilaian Pengontrolan Glukosa
Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada semua tipe diabetes
adalah pengukuran glikat hemoglobin. Hemoglobin pada keadaan normal tidak mengandung
glukosa ketika pertama kali keluar dari sumsum tulang. Selama 120 hari masa hidup hemoglobin
dalam eritrosit, normalnya hemoglobin sudah mengandung glukosa. Bila kadar glukosa
meningkat diatas normal, maka jumlah glikat hemoglobin juga akan meningkat. Karena
pergantian hemoglobin yang lambat, nilai normal glikat hemoglobin bergantung pada metode
pengukuran yang dipakai, namun berkisar antara 3,5% hingga 5,5%. Diasarankan untuk
menentukan referensi nilai untuk setiap laboratorium. Meringkas nilai glikat hemoglobin yang
dipantau pada pasien-pasien diabetes. Tes tersebut dapat dilakukan di klinik rawat jalan dalam

waktu beberapa menit dan merupakan indikator pengontrolan kadar glukosa yang cepat dan
dapat dipercaya untuk 4 hingga 8 minggu sebelumnya.
Pilar Penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Penatalaksanaan pada DM tipe 2
Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa pemberian
edukasi, perencanaan makan atau terapi nutrisi medic, kegiatan jasmani dan penurunan berat
badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non
farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM belum tercapai, maka
dilanjutkan dengan penggunaan perlu penambahan terapi medikamentosa atau intervensi
farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktifitas fisik yang sesuai. Dalam
melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan
macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia.
Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin sangat meningkat akibat adanya infeksi, stress akut
(gagal jantung, iskemi jantung akut), tanda-tanda defisiensi insulin yang berat (penurunan berat
badan yang cepat, ketosis, ketoasidosis) atau pada kehamilan yang kendali glikemiknya tidak
terkontrol dengan perencanaan makan, maka pengelolaan farmakolgis umumnya memerlukan
terapi insulin. Keadaan seperti ini memerlukan perawatan di rumah sakit.
Penatalaksanaan diabetes mellitus didasarkan pada :
1. rencana diet
2. latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik
3. agen- agen hipoglikemik oral
4. terapi insulin
5. pengawasan glukosa di rumah

6. pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri.


Diabetes adalah penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar bagaimana
menyesuaikan agar tercapai control metabolik yang optimal. Pasien dengan diabetes tipe 1
adalah defisiensi insulin dan selalu membutuhkan terapi insulin. Pada pasien diabetes tipe 2
terdapat resistensi insulin dan defisiensi insulin relative dan dapat ditangani tanpa insulin.
Rencana diet pada pasien diabetes dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan karbohidrat
yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi, bergantung pad
akebutuhan apakah untuk mempertahankan, menurunkan atua menignkatkan berat tubuh.
Sebagai contoh, pada pasien obesitasm dapat ditentukan diet dengan kaloi yang dibatasi hingga
berat badan psaien turun hingga kekisaran optimal untuk pasien tersebut sebaliknya pada pasien
muda dengan diabetes tipe 1, berat badannya dapat menurun selama keadaan dekompensasi.
Pasien ini harus menerima kalori yang cukup untuk mengembalikan berat badan mereka ke
keadaan semula dan untuk pertumbuhan. Rencana diet harus di dapat dengan berkonsultasi
dahulu dengan ahli gizi yang terdaftar dan berdasarkan pada riwayat diet pasien, makanan yang
lebih disukai, gaya hidup, latar belakang budaya, dan aktivitas fisik.
Untuk mencegah hiperglikemia postprandial dan glukosuria, pasien-pasien diabetic tidak boleh
makan karbohidrat berlebihan. Umumnya karbohidrat merupakan 50% dari jumlah total kalri
perhari yag diizinkan. Karbohidrat ini harus dibagi rata sedemikian rupa sehingga apa yang
dimakan oleh pasien sesuai dengan kebutuhannya sepanjang hari. Contohnya, jumlah yang lebih
besar arus dimakan pada waktu melakukan kegiatan fisik yang lebih berat. Lemak yang di makan
harus dibatasi sampai 30% dari total kalori perhari yang diizinkan, dan sekurang-kurangnya
setengah dari lemak itu harus dari jenis polyunsaturated. System makanan penukar telah
dikembangkan untuk membantu pasien menangani dietnya sendiri. System ini mengelompokkan
makanan-makanan dengan kadar karbohidrat, protein dan lemak yang hamper sama, sehingga
kalorinyapun sama. Cara ini akan memungkinkan pasien menukar makanannya dengan
makanan lain dalam kelompok yang sesuai. Pendekatan lain dalam merencanakan diet untuk
menghitung karbhidrat dan disesuaikan dengan dosis insulin kerja pendek yang sesuai. Pasien
dapat menghitung jumlah karbohidrat yang disajikan maupun gram karbohidrat total. Insulin
dapat digunakan dengan rasio 1 unit per 15 gram karbohidrat total. Rasio ini dapat ditingkatkan
bergantung pada respons pasien. Pasien dengan diabetes tipe 2 yang resisten terhadap insulin

mungkin membutuhkan 2 hingga 5 unit untuk setiap kabrohidrat yang disajikan atau untuk setiap
15 gram karbohidrat total.
Lathan fisik kelihatannya mempermudah transport glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan
kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurun selama latihan fisik
sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun, pasien yang mendapat suntikan insulin, tidak
mampu untuk memakai cara ini, dan peningkatan ambilan glukosa selama latihan fisik dapat
menimbulkan hipoglikemia. Factor ini penting khususnya ketika pasien melakukan latihan fisik
saat insulin telah mencapai kadar maksimal atau puncaknya. Dengan menyesuaikan waktu pasien
dalam melakukan latihan fisik, pasie mungkin dapat meningkatkan pengontrolan kadar glukosa
mereka. Contohnya, bila pasien melakukan latihan fisik saat kadar glukosa darahnya itnggi,
mereka mungkin dapat menurunkan kadar glukosa hanya dengan latihan fisik itu sendiri.
Sebaliknya, bila pasien merasa perlu melakukan latihan fisik ketika kadar glukosa rendah,
mereka mungkin harus mendapat karbohidrat tambahan untuk mencegah hipoglikemia.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :

Karbohidrat

Lemak

Protein

Natrium

Serat

Pemanis alternatif

Karbohidrat

Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.

Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan

Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi

Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain

Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi

Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted Dialy Intake)

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan karbohidrat dalam sehari. Kalau
diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.

Lemak

Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori.Tidak diperkenankan


melebihi 30% total asupan energi.

Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori

Lemak tidak jenuh ganda < 10% , selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal

Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk)

Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari

Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.

Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa
lemak,ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe

Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari
atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.

Natrium

Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh)
garam dapur.

Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.


Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti
natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat

Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup


serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat,
karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan

Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/1000 kkal/hari

PemanisAlternatif

Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi. Termasuk
pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa.

Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.

Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya


sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping
pada lemak darah.

Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose,


neotame.

Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake /
ADI )

Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Di
antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori /
kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin,

umur, aktivitas, berat badan, dll.


Pasien-pasien dengan gejala diabetes mellitus tipe 2 dini dapat mempertahankan kadar glukosa
darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan latihan fisik saja. Tetapi, sebagai
penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik juga dianjurkan. Obat-obatan yang
digunakan adalah pensensitif insulin dan sulfoniurea. Dua tipe pensensitif yang tersedia adalah
metformin dan tilidinedion. Metformin yang merupakan suatu biguanid, dapat memberikan
sebagai terapi tunggal pertama dengan dosis 500 hingga 1700 mg/hari. Metformin menurunkan
prouksi glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan meningkatkan kepekaan
insulin, khususnya di hati. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga
biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas. Asidosis laktat jarang terjadi namun
merupakan komplikasi yang serius, khususnya pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung
kongestif. Tiazolidinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan menurunkan produksi
glukosa hepatik. Efek obat-obatan ini kelihatannya menjadi perantara interaksi dengan
proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktifkan reseptor gamma (PPAR-gamma). Dua
analog tiazolidinedion, yaitu rosiglitazon dan dengan dua dosis 4 hingga 8 mg/hari dan
pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg/hari dapat diberikan sebagai terpai tunggal atau
dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea, atau insulin. Obat-obatan ini dapat
menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan gagal jantung
kongestif.
Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan cara-cara yang
sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2 dengan sisa sel-sel pulau Langerhans yang masih
berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk menggunakan sulfonilurea. Obat-obat ini
merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien dengan
diabetes tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insulin, pengobatan
dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek potensial yang merugikan akibat penggunaan
agen-agen hipoglikemik oral. Namun, sulfonil urea generasi kedua menyebabkan sedikit retensi
air atau tidak ada sama sekali, yang merupakan masalah potensial dengan beberapa agen generasi
pertama. Dua bahan sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah glipizid 2,5 hingga 40
mg/hari, dan gliburid 2,5 hingga 25 mg/hari. Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih lama dari
pada glipizid, dan dosis total hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonil urea

dengan pensensitif insulin adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien ini,
absorbsi karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa
preprandial, yaitu penghambat alfa glukosida yang bekerja pada usus halus dengan menyekat
pencernaan kompleks karbohidrat.

Tabel 3. Mekanisme Kerja, Efek Samping Utama dan Pengaruh Terhadap A1C.

Bagan 2. Algoritme Penatalaksanaan DM Tanpa Dekompensasi

Bagan 3. Algoritme OHO + Insulin.


Komplikasi
Penyulit Akut :
1. Ketoasidosis diabetik
2. Hiperosmolar non ketotik
3. Hipoglikemia
Dalam buku konsensus ini hanya dibahas mengenai hipoglikemia, sedangkan mengenai
ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar non ketotik dapat dilihat pada buku Petunjuk Praktis
Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 (PERKENI 2002).
Hipoglikemia dan cara mengatasinya :

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL.

Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar,

rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai
koma)

Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Diberikan makanan


yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau
glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15
menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia
berat.

Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab
menurunnya kesadaran.

PenyulitMenahun:
1. Makroangiopati :
1. Pembuluh darah jantung
2. Pembuluh darah tepi
3. Pembuluh darah otak
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan
gejala tipikal intermittent claudicatio, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus
iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
2. Mikroangiopati :
4. Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati.

5. Nefropati diabetik

Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
nefropati.

Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kg BB) juga akan mengurangi
risiko terjadinya nefropati.

3. Neuropati
6. Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,berupa hilangnya
sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
7. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih
terasa sakit di malam hari.
2. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram. Dilakukan sedikitnya setiap tahun.
1. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai
akan menurunkan risiko amputasi.
Pencegahan
Pencegahan terdiri dari :
1. Pencegahan primer
2. Pencegahan sekunder
3. Pencegahan tersier
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko,

yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok
intoleransi glukosa.
Pencegahan sekunder upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang
telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi
dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder program
penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani
program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat.
Penyuluhan untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru. Penyuluhan
dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada setiap kesempatan pertemuan
berikutnya.
Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular, yang merupakan
penyebab utama kematian pada penyandang diabetes. Selain pengobatan terhadap tingginya
kadar glukosa darah, pengendalian berat badan, tekanan darah, profil lipid dalam darah serta
pemberian antiplatelet dapat menurunkan risiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada
penyandang diabetes.
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Pada pencegahan tersier ini
upayanya adalah dengan melakukan penyuluhan.
Prognosis
Prognosisnya baik apabila diabetes melitus dapat di kontrol dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai