Anda di halaman 1dari 8

Sindrom encephalitis terdiri dari demam akut disertai beberapa gejala lainnya,

seperti kejang, penurunan kesadaran, bingung, stupor maupun koma. Afasia,


hemiparesis dan refleks babinsky, gerakan involunter, ataksia, nistagmus, ocular
palsy, serta kelemahan otot wajah dapat dijumpai. Gejala meningitis dapat
dijumpai dalam keadaan berat, menengah, maupun tidak ada gejala sama sekali.
Cairan spinal dapat menunjukkan reaksi melalui peningkatan kadar protein.
Pencitraan otak seringkali tidak menunjukkan kelainan, namun dapat
menunjukkan tanda edema difus dari cortex, dan dalam beberapa kasus, subcortex
dan nucleus dapat terkena. Dalam beberapa kasus encephalitis HSV, dapat terjadi
kerusakan dari lobus inframedial temporal dan frontal cerebri. Beberapa temuan
ini menunjukkan arah dari infeksi spesifik, tetapi tanda umum diagnosis
encephalitis tetap menunjukkan adanya gangguan dari fungsi cerebrum, pons dan
cerebellum.
Sindrom encephalitis akut dapat dibagi menjadi dua, yaitu infeksi langsung ke
otak dan meninges, dan post infeksi encephalomyelitis yang diasumsikan berasal
dari reaksi autoimun terhadap infeksi sistemik, dimana virus tidak terdapat di
jaringan saraf, yang disebut juga Acute Disseminated Encephalomyelitis., yang
terjadi beberapa hari setelah gejala infeksi berkurang.

Etiologi

Virus, bakteri, dan fungi, serta agen parasit lainnya dikategorikan sebagai
penyebab tersering dari sindrom encephalitis. Namun dalam bab ini hanya infeksi
viral yang akan dibahas, dikarenakan infeksi viral merupakan penyebab tersering
dari encephalitis.
Berdasarkan Center for Disease Control and Prevention, sekitar 20.000 kasus
encephalitis viral dilaporkan di USA. Kematian mencapai 5-20% dari total pasien
dan gejala sisa, seperti kejang maupun hemiparesis didapatkan dalam 20% kasus.
Namun, hal ini tidak dapat menunjukkan gejala residual berupa kelainan
neurologis pasca infeksi oleh virus yang berbeda jenisnya.
Untuk meningitis aseptik, virus yang dapat menyebabkan encephalitis memiliki
banyak variasi, dan umumnya memiliki gejala klinis yang cukup kompleks.
Namun, encephalitis viral yang memiliki gejala klinis yang cukup jelas jumlahnya
tidak banyak. HSV merupakan penyebab tersering dan tidak memiliki predileksi
geografis maupun waktu musiman. Distribusi umurnya cukup luas dan bersifat

bifasik, dapat mengenai orang dengan usia 5-30 tahun, juga orang dengan usia di
atas 50 tahun.
Virus lainnya memiliki karakteristik geografis dan waktu musiman. Virus yang
paling berpengaruh antara lain ialah golongan Flavivirus, dimana di dalamnya
termasuk jenis West Nile Virus. Dalam outbreak akhir-akhir ini di USA, kasus
yang disebabkan oleh West Nile Virus dilaporkan lebih sering terjadi dari
golongan arbovirus lainnya.
Infeksi yang disebabkan oleh rabies terjadi di seluruh dunia, namun di USA
dilaporkan lebih sering terjadi di Midwest dan sepanjang West Coast. Japanese B.
Encephalitis, Russian spring-summer encephalitis, Murray Valley Encephalitis,
dan beberapa jenis encephalitis lainnya jarang ditemui di USA dan hanya
dilaporkan terjadi baru-baru ini. Hal ini dapat disebabkan adanya perkembangan
transportasi dan menyebabkan peningkatan angka kejadian penyakit di Amerika
Utara dan Eropa.
Mononukleosis infeksius, yang sebabnya merupakan infeksi primer dari EBV,
dapat menjadi akibat komplikasi dari meningitis, ensefalitis, facial palsy, maupun
polyneuritis dari Guillain-Barre dalam beberapa kasus. Berbagai gejala neurologi
dapat terjadi tanpa disertai adanya demam, faringitis, maupun limfadenopati dari
mononucleosis infeksius. Hal ini juga didapatkan pada M. pneumonia. Dalam hal
ini, kedua penyakit tersebut belum dapat dipastikan apakah merupakan infeksi
ensefalitides murni atau merupakan komplikasi post infeksi. Teknologi dari PCR
terkini menunjukkan adanya kemungkinan infeksi langsung dalam beberapa
kasus.
Frekuensi relative dari berbagai infeksi viral yang mengenai sistem saraf pusat
dapat dilihat dari beberapa studi. Walter Reed Academy Institute menyebutkan
dari1.282 pasien yang didiagnosis postitif dan dibuktikan melalui laboratorium
menunjukkan agen infeksius dari kasus meningitis viral aseptik maupun
encephalitis adalah B. Coxsackievirus, echovirus, mumps virus, lymphoctic
choriomeningitis virus, arbovirus, HSV, dan Leptospira. Dalam studi yang
dilakukan di Mayo Clinic tahun 1974-76, diagnosis dari aseptik meningitis,
meningoencephalitis, mauoun encephalitis didapatkan sebanyak 42 kasus dan
agen infeksius diidentifikasi dari 30 pasien. Dalam outbreak terakhir di USA,
hamper 3.000 kasus dilaporkan per tahunnya. Sedangkan Japanese Encephalitis
Virus dilaporkan lebih banyak prevalensinya di seluruh dunia, mendekati 10.000
kematian di Asia per tahunnya.
Di UK, hampir 2.000 pasien dilaporkan tiap tahunnya, yang diidentifikasi melalui
CSF menggunakan PCR dengan hasil positif hanya mendekati 7%, dan

setengahnya merupakan enterovirus. Sisanya merupakan HSV-1, VZV, EBV dan


herpesvirus.

Arboviral Encephalitis
Arbovirus yang menyebabkan ensefalitis di USA dan geografisnya telah dibahas
sebelumnya. Agen infeksi tersebut umunya dikategorikan dalam golongan
Flavivirus. Terdapat siklus yang berbeda dari nyamuk dan manusia. Nyamuk
terinfeksi melalui host (kuda maupun burung) dan kemudian menginfeksi host
lainnya, termasuk manusia. Insidensi musiman terjadi saat musim panas dan
musim gugur, saat dimana nyamuk paling aktif.
Manifestasi klinis dari arbovirus hamper sulit dibedakan dari infeksi lainnya.
Masa inkubasinya 5-15 hari pasca gigitan nyamuk. Pada periode ini terdapat
athralgia dan kemerahan. Pada anak-anak, bisa didapatkan gejala demam dan
kejang. Sedangkan pada orang dewasa dapat ditemukan nyeri kepala, mual,
muntah , pusing, maupun demam selama beberapa hari. Asimetri dari refleks
tendon maupun hemiparesis juga dapat ditemukan.
Beberapa gejala khusus seperti febril, flaksid, maupun poliomyelitis sebagai
akibat infeksi dari West Nile Virus juga sudah diketahui. Gejalanya berubah-ubah
dalam beberapa hari dan dalam beberapa kasus dapat ditemui paralisis otot wajah.
Dalam beberapa kasus juga dapat ditemui gejala EPS.
Demam dan gejala neurologis lain dari infeksi arbovirus meredadalam 4-14 hari,
kecuali bila terjadi kematian maupun kerusakan SSP. Tidak ada agen antiviral
yang terbukti efektif, sehingga terapi utama tetap merupakan terapi suportif.
Diagnosis
Pemeriksaan CSF hampir sama dengan yang ditemui pada aseptik meningitis,
yaitu pleositosis limfatik, peningkatan kadar protein sedang, dan kadar glukosa
normal. Virus tidak bisa beregenerasi dalam darah maupun CSF, sehingga PCR
hanya dilakukan saat terjadi epidemi lokal. Namun, kadar IgM dapat meningkat
dalam beberapa hari ertama setelah serangan dan dapat dideteksi melalui ELISA.
Patologi
Umumnya ditemui degenerasi luas dari sel saraf, dengan neurofagia dan nekrosis
inflamatorikyang melibatkan substansia grisea dan alba. Batang otak umumnya
tidak terkena. Dalam beberapa kasus, eastern equine encephalitis dapat
menyebabkan kerusakan luas hemisfer dan dapat dideteksi melalui MRI. West

Nile Virus dapat menyebabkan kerusakan terutama pada sel kornu anterior dari
medulla spinalis, seperti poliomyelitis.

Herpes Simplex Encephalitis

Dari kasus yang sering ditemui, HSV merupakan penyebab tersering dari
ensefalitis. Hampir 2.000 kasus terjadi tiap tahunnya di USA, mencapai 10% dari
semua kasus. 30-70% bersifat fatal dan pasien yang selamat umumnya mengalami
defisit neurologis. Ensefalitis HSV terjadi secara sporadis sepanjang tahun, tidak
memandang usia maupun geografis. Kasus infeksi umumnya disebabkan HSV-1,
dimana umum terjadi pada mukosa oral. HSV-2 jufa dapat menyebabkan
ensefalitis, umumnya pada neonates. Pada orang dewasa HSV-2 terjadi pada
aseptik meningitis dan kadang terjadi pada poliradicultis maupun myelitis.
Klinis
Gejala dapat berubah dalam beberapa hari, berupa demam, sakit kepala,
bangkitan, stupor, maupun koma. Walaupun dalam beberapa bangkitan merupakan
onset umum, status epileptikus jarang didapatkan. Gangguan fungsi memori bisa
didapatkan, tapi umumnya hanya terjadi pasca stupor maupun koma. Herniasi
dapat terjadi dan umumnya memiliki prognosis buruk.
CSF dapat menunjukkan pleiositosis (>500 sel/mm 3). Sel tersebut umumnya
berupa limfosit. Dalam beberapa kasus, 3-5% pasien memiliki kadar CSF normal
dalam hari pertama pasca serangan. Kadar protein umumnya dapat meningkat.
Patologi
Lesi dapat terjadi berupa nekrosis hemoragik dari lobus inferior dan
mediotemporal, dan bagian medioorbital lobusfrontal. Bagian yang mengalami
nekrosis dapat menyebar sepanjang girus singulata dan kadang mencapai insula
atau bagian lateral lobus temporal maupun bagian csudal dari mesencephalon,
namun selalu diikuti nekrosis dari lobus mediotemporal. Distribusi lesi ini sangat
khas, sehingga dapat dideteksi melalui penampakannya di pencitraan. Dalam fase
akut, eosinofil intranuklear sering ditemukan di sel neuron dan glia, mengiringi
gambaran mikroskopis abnormal dari encephalitis akut dan nekrosis hemoragik.
Karakteristik dari letak lesi dapat dijelaskan melalui rute masuknya ke SSP.
Terdapat dua mekanisme yang memungkinkan, yaitu melalui ganglia trigeminal,

dimana terjadi proses reaktivasi virus yang akhirnya menginfeksi nasal dan traktus
olfaktori, dan melalui leptomeninges anterior serta fossa media.

Diagnosis

Encephalitis akut akibat HSV harus dibedakan dari encephalitis viral lainnya,
yaitu leukoensefalitis hemoragik akut, subdural empiema, abses cerebri, cerebral
venous thrombosis,ndan emboli septik. Ketika terjadi afasia, penyakit ini dapat
disangka sebagai stroke. Gambaran CSF dapat menyerupai meningoensefalitis
lainnya. Cairan spinal mengandung sel darah merah dalam jumlah besar, yang
dapat menyerupai ruptur aneurisme sakular.
Gambaran CT scan dapat menunjukkan lesi hipodens dalam 50-60% kasus, dan
pada MRI menunjukkan perubahan sinyal secara keseluruhan.
Peningkatan titer antibodi dapat ditunjukkan pada tahap konvalesen, namun tidak
dapat dijadikan pembantu diagnosis pada fase akut, serta tidak terlalu signifikan
pada pasien dengan infeksi rekuren HSV pada mukosa oral. Tes deteksi antigen
HSV pada CSF melalui PCR dan efektif terutama pada beberapa hari pertama
sejak onset terjadi. Nested PCR juga sudah dikembangkan dan memiliki
sensitivitas 95% dan tidak menunjukkan adanya positif palsu pada 3 minggu
pertama. Terapi antiviral tidak menunjukkan pengaruh saat tes dilakukan.
Sedangkan negatif palsu terutama terjadi 48 jam pasca infeksi febril.

Terapi

Hingga tahun 1970, terapi spesifik untuk ensefalitis HSV belum ada. Melalui studi
dari National Institute of Health dan studi dari Swedia menunjukkan acyclovir
secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit. Oleh karena itu,
terapi ini dilakukan sebagai terapi awal sembari menunggu hasil pemeriksaan
keluar. Acyclovir diberikan secara IV dalam dosis 30 mg/kg/hari dan diberikan
selama 10-14 hari untuk mencegah relaps. Acyclovir memiliki resiko yang relatif
kecil, sehingga dapat dihentikan ketika hasil pemeriksaan menunjukkan diagnosis
yang lain. Problem utama dari obat ini antara lain adalah iritasi vena lokal tempat
infus, peningkatan enzim hepar, dan gangguan fungsi ginjal ringan.

Relaps pasca terapi dilaporkan terjadi pada penggunaan acyclovir, terutama pada
anak-anak. Menurut Tiege dan koleganya, mekanisme yang memungkinkan
meliputi respon inflamasi imun, namun penggunaan dosis yang terlalu kecil
terbukti secara klinis merupakan penyebab utama relaps pada orang dewasa. Pada
anak-anak, penggunaan acyclovir tahap dua seringkali berhasil.
Ketika jaringan otak yang terkena cukup luas, nekrosis hemoragik dan edema
dapat menyebabkan pembesaran massa otak dan memerlukan perhatian khusus.
Koma dan perubahan pupil dapat disebabkan penekanan pada batang otak,
disebabkan virus dapat menyebar ke mesencephalon dan lobus temporal bagian
dalam, dan menyebabkan koma apsebagai akibat kerusakan langsung pada otak.
Penanganannya hampir sama dengan penanganan edema otak, namun
efektivitasnya belum teruji secara luas di klinis.

Prognosis

Prognosis dari penyakit ini tergantung pada usia pasien dan tingkat kesadarannya
saat dilakukan terapi acyclovir. Jika pasien tidak sadar, prognosisnya cenderung
buruk. Namun, jika terapi dilakukan dalam 4 hari pertama setelah onset,
survivabilitas pasien dapat mencapai 90% (Whitley, 1990). Evaluasi pada pasien 2
tahun setelah serangan menunjukkan 38% hampir mendekati normal, sedangkan
53% meninggal atau terjadi kecacatan menetap. Sekuele neurologis dapat berupa
korsakoff amnesia, demensia, kejang, dan afasia sebelum terapi acyclovir dikenal.
Jika terjadi kejang, pemberian anti konvulsan dapat dipertimbangkan.

HHV-6 Encephalitis dalam transplantasi sel stem

Umumnya disebabkan oleh roseola (exanthema subitum), dan dapat


mengakibatkan kejang demam pada anak-anak dan usia muda, epilepsi berulang
lobus temporal, palsy saraf kranial, dan kondisi lainnya. Namun, umumnya
kelainan erupa ensefalitis terjadi di lobus temporomedial, setelah dilakukan
transplantasi stem sel di sumsum tulang belakang. Prognosisnya lebih baik
dibanding encephalitis HSV.

Rabies

Penyakit ini dibedakan dari infeksi viral lainnya dikarenakan periodenya yang
laten dan gejala klinis dan patologis yang khas. Kasus ini jarang ditemui di USA
dan pada tahun 1980-97 hanya 34 kasus yang ditemui, dan sejak 1960, hanya ada
5 kasus per tahunnya. Setiap tahun 20.000-30.000 orang mendapat vaksin rabies
dan digigit oleh hewan yang dimungkinkan terinfeksi. Walaupun vaksin rabies
menyebabkan komplikasi lebih rendah dari sebelumnya, reaksi serius tetap dapat
terjadi.
Etiologi
Hampir semua kasus rabies merupakan kasus infeksi transdermal akibat dari
gigitan hewan. Di negara berkembang, kasus rabies umumnya disebabkan oleh
gigitan anjing. Sedangkan di Eropa Barat dan USA, penyebabnya antara lain
adalah rakun, sigung, rubah, dan kelelawar untuk hewan liar. Sedangkan kucing
dan anjing merupakan hewan rumahan yang sering menyebabkan infeksi rabies.
Gejala Klinis
Masa inkubasi umumnya sekitar 20-60 hari, namun dapat juga lebih cepat, sekitar
14 hari, terutama apabila gigitan terjadi di wajah dan leher. Rasa kebas dan
kesemutan dapat dirasakan walaupun luka telah sembuh. Hal ini disebabkan reaksi
inflamasi ketika virus mencapai ganglia basal
Gejala neurologis umum dapat menyertai pada 2-4 hari pada fase prodromal,
seperti demam, nyeri kepala, dan malaise. Juga bisa didapatkan disartria,
overaktivitas psikomotor, disfagia, hydrophobia, kesemutan wajah, diplopia
maupun spasme otot wajah. Kejang, gejala psikosis, dan agitasi dapat terjadi.
Koma terjadi umumnya setelah terjadi gejala encephalitis, dan kematian dapat
terjadi 4-10 hari setelah terjadinya koma.
Patologi
Penyakit ini dapat dibedakan melalui kadar eosinofil, yaitu Negri bodies.
Umumnya ditemukan di sel piramidal dan sel purkinje, namun bisa juga
didapatkan di seluruh bagian otak dan medulla spinalis. Terdapat juga infiltrasi
meningeal oleh sel limfosit dan sel mononuclear dengan nekrosis jaringan, seperti
yang biasa didapatkan pada infeksi viral. Reaksi inflamasi umumnya paling parah
terjadi di batang otak, dengan kumpulan sel mikroglia yang disebut sebagai Babes
nodules.

Terapi
Gigitan dan cakaran hewan dapat dibersihkanndengan sabun dan air mengalir,
kemudian dibersihkan dengakpn benzyl ammonium chlorida. Luka yang
menyebabkan diskontinuitas jaringan memerlukan suntikan anti tetanus untuk
profilaksis.
Pasca gigitan hewan yang terlihat sehat, pengawasan selama 10 hari perlu
dilakukan. Ketika gejala munculm hewan tersebut perlu dibunuh dan bagian
otaknya di periksa di laboratorium. Sedangkan untuk hewan liar, jika tetangkap,
prosedur untuk pemeriksaan juga dilakukan dengan cara yang sama.
Jika pasien digigit oleh hewan dengan antibodi rabies postitif, atau hewan liar
yang kabur, maka suntikan profilaksis perlu diberikan. Human Rabies
Immunoglobulin disuntikkan dengan dosisi 20 U/kgbb (setengah infiltrasi di
sekitar luka, setengahnya secara IM). Suntikan ini menyediakan imunitas pasif 1020 hari, hingga imunitas aktif terbentuk. Duck Embryo Vaccine sebelumnya juga
digunakan dan terbukti efektif secara klinis dan mssih digunakan hingga kini di
seluruh dunia. Vaksin terbaru, yaitu Human Diploid Cell Vaccine juga telah
dikembangkan. Pemberiannya sebanyak 1 ml injeksi pada hari pertama saat
gigitan, kemudian hari 3, 7, 14, dan 28 pasca pemberian pertama. HDCV juga
mengurangi reaksi alergi akibat protein asing.
Dengan teknik perawatan intensif dan modern, pasien dengan riwayat encephalitis
dapat diselamatkan, terutama setelah menjalani imunisasi pasca insiden. Beberapa
kelainan yang mungkin didapatkan antara lain peningkatan tekanan TIK,
pelepasan hormon ADH dalam jumlah besar, diabetes insipidus, dan disfunsi
autonom, seperti hiper mauoun hipotensi. Willoughby dan kolega berhasil
merawat seorang gadis berusia 15 tahun yang belum pernah mendapat vaksin
melalui pendekatan empiris pada saat koma menggunakan ketamin dan
midazolam beserta ribavirib dan amantadine. Tujuan dari terapi tersebut adalah
menyediakan imunitas pasif hingga terbentuknya antibodi. Dua kasus lainnya
memiliki gejala klinis yang sama, namun tidak dapat diselamatkan.

Anda mungkin juga menyukai