Hadist-Hadist Keutamaan Sholat Subuh & Isya Berjamaah
Hadist-Hadist Keutamaan Sholat Subuh & Isya Berjamaah
Barometer Kemunafiqan
dewandakwahjakarta.or.id
ATURAN ISLAM PERIHAL MENIKAH DENGAN ORANG BERAGAMA LAIN
Mengenai perkawinan dengan orang beragama lain, Islam membedakan menjadi 3 hal:
Pria Muslim menikahi wanita musyrik. Pria Muslim menikahi wanita ahlul kitab (Yahudi
dan Nasrani). Wanita Muslim menikah dengan Pria non muslim (baik musyrik maupun
ahlulkitab).
Pria Muslim menikahi wanita musyrikah
Pernikahan ini dilarang oleh Islam, maka hukumnya jelas dan tegas : Haram.
Dalilnya adalah langsung kepada Al-Quran pada surat Al-Baqarah ayat 221
Pria Muslim menikahi wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) Pernikahan ini menurut
kesepakatan Jumhur Ulama hukumnya dibolehkan oleh Islam. Bersandar pada firman
Allah SWT pada Surat Al-Maidah ayat 5.
Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanitawanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi kitab suci sebelum kamu (Q.S Al-Maidah ayat 5)
Selain itu juga bersandar pada sunnah Nabi SAW bahwa beliau pernah menikahi wanita
kristen yakni Mariah Al-Qibtiyah meskipun sesudahnya masuk Islam.
Adapun pendapat yang melarang mutlak (mengharamkan) menikah dengan wanita
ahlulkitab dengan alasan bahwa umat nasrani dan umat yahudi adalah musyrik sangat
lemah dan tidak bisa dijadikan sandaran hukum karena tidak memiliki dalil-dalil
(rujukan) yang kuat.
Wanita Muslim menikah dengan Pria non muslim (baik musyrik maupun ahlulkitab)
Pernikahan ini seluruh ulama sepakat bahwa Islam melarang atau haram.
Sandaran hukum ini adalah pada Surat Al-Baqarah ayat 221.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin
sebelum mereka benar-benar beriman. Sesungguhnya pria budak lebih baik bagimu
daripada pria musyrik meskipun ia menarik bagi hatimu.
(QS AlBaqarah 221)
Demikian,
Wallahu Alam bisshowaab.
Andy.
Diringkas dari Tulisan DR. Masyfuk Zuhdi Guru Besar Bidang Fiqh IAIN
Shelly Husein tentang pernikahan yang dilakukan seorang wanita yang terlanjur hamil sebelum
menikah yang pada umumnya dikarenakan perzinahan yang dilakukannya.
Pergaulan yang serba bebas tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahramnya yang jauh dari rambu-rambu syariah terlebih lagi didukung oleh berbagai sarana
yang mudah diakses dan digunakan dalam kemaksiatan maka menjadikan perzinahan sering
terjadi dan tidak jarang menghiasi berita-berita di kota-kota besar.
Perzinahan merupakan perbuatan yang sangat buruk dan pelakunya diancam dosa besar oleh
Allah swt, firman-Nya,Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al Israa : 32) Hal itu dikarenakan terlalu
banyaknya efek yang ditimbulkan dari perzinahan, baik efek psikologi, sosial maupun moral.
Dilain sisi islam memuliakan pernikahan dan menjadikannya halal dilakukan oleh manusia.
Pernikahan adalah sarana bagi seseorang untuk mendapat ketenangan dan ketentraman hidup
yang dibutuhkan oleh setiap orang, sebagaimana firman Allah swt :
Artinya : dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar Ruum : 21)
Para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah sah tidaknya prnikahan seorang wanita yang
sedang hamil dikarenakan zina :
1. Para ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf dari madzhab Hanafi mengatakan tidak
diperbolehkan pernikahannya sebelum dia melahirkan, tidak dengan lelaki yang menzinahinya
atau dengan lelaki yang lainnya. Hal ini dikarenakan keumuman sabda Rasulullah saw,Seorang
wanita yang sedang hamil tidak boleh digauli sehingga dia melahirkan.. (HR. Abu Daud) dan
sebagaimana riwayat dari Said al Musayyib bahwa seorang laki-laki telah menikahi seorang
wanita dan ketika diketahui bahwa wanita itu sedang hamil dan diberitahukanlah hal ini kepada
Nabi saw maka beliau saw pun memisahkan mereka berdua. (HR. Baihaqi)
2. Para ulama Syafii, Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa dibolehkan pernikahan
seorang wanita yang sedang hamil karena perzinahan dikarenakan belum terkukuhkannya nasab,
sebagaimana sabda Nabi saw, Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur sedang bagi yang
berzina tidak memiliki apa-apa. (HR. Jamaah kecuali Abu Daud). Tidak disyaratkan taubat untuk
kesahan pernikahan seorang wanita pezina menurut jumhur ulama, sebagaimana yang
diriwayatkan dari Umar yang pernah memukul seorang laki-laki dan perempuan pezina dan dia
menganjurkan untuk mengumpulkan keduanya.
Para ulama Hambali mensyaratkan kesahan akad seorang wanita zina dengan adanya
pertaubatan dari wanita itu atas zina yang dilakukannya, sebagimana firman Allah swt :
Artinya : atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oranorang yang mukmin. (QS. An Nuur : 3)
Seorang wanita yang belum bertaubat dari perbuatan itu maka ia masih terdeskreditkan oleh
perzinahan dan apabila ia telah bertaubat maka hilanglah pendeskreditan itu, sebagaimana
sabda Rasulullah saw,Seorang yang bertaubat bagai orang yang tidak ada baginya dosa. (HR.
Ibnu majah, Baihaqi)
Didalam fiqih Syafii hanya ada satu pendapat bahwa tidak ada mahram pada mani hasil dari
zina, hal itu dibuktikan dengan tidak adanya hukum nasab didalam warisan maupun yang
lainnya. Maka dari itu akad nikah dari seorang wanita hamil dari berzina adalah sah baik dengan
orang yang menzinahinya atau yang lainnya namun dimakruhkan untuk menggaulinya demi
menghindari perselisihan dalam hal keharamannya. Ini juga pendapat yang masyhur dari Imam
Malik dan salah satu dari dua riwayat Imam Abu Hanifah dan pendapat dari Imam Muhammad
bin al Hasan.
Dengan demikian maka akad seorang wanita hamil karena zina adalah sah namun dimakruhkan
untuk menggaulinya hingga dia melahirkan apa yang dikandungnya dari hasil perzinahan
tersebut, menurut para ulama Syafii. Diharamkan menggaulinya, menurut Abu Hanifah dan
Muhammad. Sedangkan didalam madzhab Maliki terdapat beberapa pendapat , ada yang
mengatakan : diharamkan, ada yang mengatakan : makruh, ada yang mengatakan : boleh dan
ada juga yang mengatakan : dianjurkan. Kemudian bayi yang dilahirkan dari hasil zina ini hanya
dinasabkan kepada ibunya saja dikarenakan dialah yang mengandungnya dari zina itu dan tidak
kepada suaminya. (Buhuts wa Fatawa Islamiyah juz II hal 220 221)
Dengan demikian pernikahan seorang wanita yang sedang hamil karena zina ketika seluruh
persyaratannya terpenuhi maka ia dianggap sah dan tidak perlu lagi diulangi setelah anak yang
dikandung dari hasil perzinahan tersebut terlahir.
Wallahu Alam