TINJAUAN PUSTAKA
Grafik 1. Insiden Meningioma Pada pria dan wanita berdasarkan usia (Wiemels,
2010)
2.3 Klasifikasi Meningioma
Meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi tumor, pola
pertumbuhan dan histopatologi. Berdasarkan lokasi tumor dan urutan paling
sering adalah konveksitas, parasagital, tuberkulum sella, falks, sphenoid rigde,
cerebellopontine angle, frontal base, petroclival, fosa posterior, tentorium,
middle fossa, intraventricular dan foramen magnum. Meningioma juga dapat
timbul secara ekstrakranial walaupun sangat jarang, yaitu pada medula spinalis,
orbita , cavum nasi, glandula parotis, mediastinum dan paru-paru (Al-Mefty,
2005; Chou, 1991).
Mycrocystic meningioma
Lymphoplasmacyte-rich meningioma
Metaplastic meningioma
Secretory meningioma
Grade II:
Atypical meningioma
Clear cell meningioma
Chordoid meningioma
Grade III:
Rhabdoid meningioma
Papillary meningioma
Anaplastic (malignant) meningioma
2.4 Faktor-Faktor Risiko
2.4.1 Radiasi Ionisasi
Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah terbukti
menyebabkan tumor otak. Penelitian-penelitian yang mendukung hubungan
antara paparan radiasi dan meningioma sejak bertahun-tahun telah banyak
jumlahnya. Proses neoplastik dan perkembangan tumor akibat paparan radiasi
disebabkan oleh perubahan produksi base-pair dan kerusakan DNA yang belum
diperbaiki sebelum replikasi DNA. Penelitian pada orang yang selamat dari bom
atom di Hiroshima dan Nagasaki menemukan bahwa terjadi peningkatan insiden
meningioma yang signifikan (Calvocoressi & Claus, 2010).
Pengobatan dengan menggunakan paparan radiasi juga meningkatkan
resiko terjadinya meningioma. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi
radiasi untuk leukemia limfoblastik dan tinea kapitis memperlihatkan adanya
peningkatan resiko terjadinya meningioma terutama dosis radiasi melebihi 30
Gy. Selain itu, paparan radiasi untuk kepentingan diagnosis juga meningkatkan
resiko terjadinya meningioma. Salah satunya adalah penelitian Claus et al (2012)
yang membuktikan adanya peningkatan resiko yang signifikan terjadinya
meningioma setelah mendapatkan dental X-ray lebih dari enam kali antara usia
15 hingga 40 tahun (Calvocoressi & Claus, 2010; Claus, 2012).
Beberapa ciri-ciri untuk membedakan meningioma spontan dengan
akibat paparan radiasi adalah usia muda saat didiagnosis, periode latensi yang
pendek, lesi multipel, rekurensi yang relatif tinggi, dan kecenderungan
meningioma jenis atipikal dan anaplastik (Calvocoressi & Claus, 2010).
2.4.2 Radiasi Telepon Genggam
Radiasi
yang
dihasilkan
oleh
telepon
genggam
adalah
energi
radiofrequency (RF) yang tidak menyebabkan ionisasi molekul dan atom. Energi
RF berpotensi menimbulkan panas dan menyebabkan kerusakan jaringan, namun
pengaruhnya terhadap kesehatan masih belum diketahui secara pasti. Penelitian
metaanalisis yang dilakukan oleh Lahkola et al (2005) menemukan bahwa tidak
terdapat
hubungan
antara
penggunaan
insiden
meningioma.Penelitian
metaanalisis lain yang lebih besar yaitu penelitian INTERPHONE yang dilakukan
pada 13 negara juga memberikan laporan bahwa tidak dijumpai hubungan
antara penggunaan telepon genggam dan insiden meningioma (Wiemels, 2010;
Barnholtz-Sloan, 2007; Calvocoressi & Claus, 2010).
2.4.3 Cedera Kepala
Sejak masa Harvey Cushing, Cedera kepala merupakan salah satu resiko
terjadinya meningioma, meskipun hasil peneltian-penelitian tidak konsisten.
Penelitian kohort pada penderita cedera kepala dan fraktur tulang kepala
menunjukkan adanya hubungan dengan terjadinya meningioma secara
signifikan. Penelitian ole Phillips et al (2002) juga menemukan hasil bahwa
adanya hubungan antara cedera kepala dengan resiko terjadinya meningioma,
terutam riwayat cedera pada usia 10 hingga 19 tahun. Resiko meningioma
berdasarkan banyaknya kejadian cedera kepala dan bukan dari tingkat
keparahannya (Wiemels, 2010; Phillips, 2002).
2.4.4 Genetik
Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang
timbul pada pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita tumor
otak jenis apapun. Sindroma genetik turunan yang memicu perkembangan
meningioma hanya beberapa dan jarang. Meningioma sering dijumpai pada
penderita dengan Neurofibromatosis type 2 (NF2), yaitu Kelainan gen autosomal
dominan yang jarang dan disebabkan oleh mutasi germline pada kromosom
22q12 (insiden di US: 1 per 30.000-40.000 jiwa). Selain itu, pada meningioma
sporadik dijumpai hilangnya kromosom, seperti 1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau
tambahan kromosom seperti 1q, 9q, 12q, 15q, 17q dan 20q (Evans, 2005; Smith,
2011).
Penelitian lain mengenai hubungan antara kelainan genetik spesifik
dengan resiko terjadinya meningioma termasuk pada perbaikkan DNA, regulasi
siklus sel, detoksifikasi dan jalur metabolisme hormon. Penelitian terbaru fokus
pada variasi gen CYP450 dan GST, yaitu gen yang terlibat dalam metabolisme dan
detoksifikasi karsinogen endogen dan eksogen. Namun belum dijumpai
hubungan yang signifikan antara resiko terjadinya meningioma dan variasi gen
GST atau CYP450. Penelitian lain yang berfokus pada gen supresor tumor TP53
juga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (Lai, 2005; Malmer, 2005;
Choy, 2011).
2.4.5 Hormon
Predominan meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-laki
memberi dugaan adanya pengaruh ekspresi hormon seks.Terdapat laporan
adanya pengaruh ukuran tumor dengan kehamilan, siklus menstruasi, dan
menopause. Penelitian-penelitian pada pengguna hormon eksogen seperti
kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti dengan resiko timbulnya
meningioma memberikan hasil yang kontroversial. Penelitian-penelitian pada
paparan hormon endogen memperlihatkan bahwa resiko meningioma
berhubungan dengan status menopause, paritas, dan usia pertama saat
intrakranial.
Penemuan
ini
menunjukkan
bahwa
adanya
pada
meningioma
dapat
berupa
embolisasi,
10-year
Recurrence
Completeness of Resection
Grade I
9%
Grade II
19%
Grade III
29%
Grade IV
subtotal resection
40%
pertumbuhan
tumor.
Manfaat
radioterapi
masih
menjadi
residual atau rekuren setelah operasi. Terapi ini disarankan pada meningioma
berukuran dibawah 3 cm yang melibatkan skull base dan sinus kavernosus
dengan tujuan mencegah progresi tumor (Al-Hadidy, 2007; Minniti, 2009).
2.8 Hormon Progesteron
Progesteron adalah hormon steroid turunan dari kolestrol yang utamanya
disintesis oleh ovarium, kelenjar adrenal dan plasenta. Kadar progesteron lebih
tinggi kadarnya pada wanita dibandingkan laki-laki. Kadar hormon progesteron
berubah berdasarkan siklus hidup terutama perkembangan embrionik, siklus
reproduksi (siklus menstruasi dan estrous), kehamilan dan menopause
(Camacho-Arroyo, 2009).
Hormon progesteron memainkan peran penting dalam regulasi sejumlah
fungsi seperti ovulasi, implantasi, mempertahankan kehamilan, regulasi siklus
sel, respon imunitas, ventilasi, perilaku seksual, tidur, belajar dan memori pada
beberapa jaringan seperti uterus, ovarium, kelenjar mamae, pankreas, tulang,
paru dan otak. Hormon progesteron bekerja melalui mediasi oleh reseptor
intraselular spesifik yang terdiri dari dua isoform yaitu PR-A dan PR-B dengan
fungsi yang berbeda. Pola ekspresi isoform PR sangat kritis untuk regulasi kerja
progesteron pada sel-sel (Camacho-Arroyo, 2009).
Hormon progesteron memiliki kerja yang beragam pada jaringan yang
baik berhubungan maupun tidak berhubungan dengan reproduksi. Hormon
progesteron diproduksi dan bertahan dengan periode waktu yang berbeda-beda
(menit, jam, hari dan bulan). Selain itu, progesteron dapat juga memiliki lebih
dari satu efek pada sel yang sama oleh karena beberapa mekanisme yang
melibatkan molekul berbeda pada kompartemen sel yang berbeda. Progersteron
bekerja dengan melalui dua mekanisme utama, yaitu genomik (klasik) dan nongenomik (non-klasik). Mekanisme kerja melalui jalur genomik (klasik) yaitu
dengan mengubah ekspresi dari gen target yang dimediasi oleh reseptor
progesteron dan memiliki efek jangka panjang. Sedangkan pada jalur nongenomik (non-klasik) melibatkan modifikasi pada tingkat membran sel dan
memiliki efek yang cepat. Hubungan silang antara mekanisme genomik dan nongenomik dapat timbul, dan pada kondisi ini hormon progesteron mampu bekerja
dengan regulasi yang baik untuk fungsi yang bervariasi (Camacho-Arroyo, 2009;
Bernauer, 2001).
Gambar 2.2. Mekanisme kerja hormon progesteron secara genomik dan nongenomik (Camacho-Arroyo, 2009)
Secara umum, efek non-genomik dari progesteron berlangsung cepat.
Hormon ini bekerja pada tingkat membran dan sitoplasma dan tidak masuk ke
dalam sel. Pada kondisi ini, progesteron tidak sensitif terhadap inhibitor
transkripsi dan sintesis protein. Variasi mekanisme non-genomik dari interaksi
progesteron telah diketahui dengan baik, yaitu (1). Reseptor-reseptor
progesteron yang terletak pada membran sel memiliki profil struktur dan
farmakologis yang berbeda-beda, (2). Kanal ion seperti kanal Ca2+ dan K+, (3).
Lokasi modulator yang terletak pada reseptor neurotransmiter seperti reseptor
GABA A , dan (4). Reseptor neurotransmiter dan faktor-faktor pertumbuhan yang
subtipe
meningothelial
memiliki
ekspresi
reseptor
begitu,
beberapa
penelitian
melaporkan
ekspresi
reseptor
Pengarang
Judul penelitian
Hasil
Fakhrjou,
2012
and
progesterone sering
diekspresikan Journal
receptors
in
meningioma, Biological
various oleh
Jurnal
of
prognosisnya Sciences
sangat bervariasi.
15(11)
Taghipour,
2007
Red
Crescent
Shayanfar,
2009
142-
dengan 147.
PR
grade
peningkatan
tumor.
4
Omulecka,
Immunohistochemical
2006
expression
receptors
of
I 2006;44(2):
in dibandingkan
pada 111-115
grade II.
El-Badawy,
Role
2013
grade
and pada
meningiomas
5
reaksi Folia
progesterone
estrogen
Intensitas
progesterone Meningioma
activity
in mengekspresikan
dibandingkan
grade
II
pada
dan
Meningioma
III.
jinak
tanpa
adanya
ekspressi
reseptor
progesteron memiliki
risiko
lebih
tinggi
terjadinya rekurensi.