Anda di halaman 1dari 17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Meningioma


Istilah meningioma pertama kali dipopulerkan oleh Harvey Cushing pada
tahun 1922. Meningioma merupakan tumor jinak ekstra-aksial atau tumor yang
terjadi di luar jaringan parenkim otak yaitu berasal dari meninges otak.
Meningioma tumbuh dari sel-sel arachnoid cap dengan pertumbuhan yang
lambat (Al-Hadidy, 2007).
2.2 Epidemiologi Meningioma
Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering
dijumpai. Meningioma diperkirakan sekitar 15-30% dari seluruh tumor primer
intrakranial pada orang dewasa. Prevalensi meningioma berdasarkan konfirmasi
pemeriksaan histopatologi diperkirakan sekitar 97,5 penderita per 100.000 jiwa
di Amerika Serikat. Prevalensi ini diperkirakan lebih rendah dari yang sebenarnya
karena tidak semua meningioma ditangani secara pembedahan (Wiemels, 2010;
Claus, 2005).
Beberapa hal yang memengaruhi insiden adalah usia, jenis kelamin dan
ras. Insiden terjadinya meningioma meningkat dengan pertambahan usia dan
mencapai puncak pada usia di atas 60 tahun. Insiden meningioma pada anakanak sekitar 4% dari seluruh kejadian tumor intrakranial. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa insiden meningioma pada ras hitam Non-hispanics sedikit
lebih tinggi dibandingkan dengan ras putih Non-Hispanics dan Hispanics. Jenis
kelamin juga memengaruhi prevalensi dari meningioma, yaitu dua kali lebih
tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria (Wiemels, 2010; Rockhill, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Grafik 1. Insiden Meningioma Pada pria dan wanita berdasarkan usia (Wiemels,
2010)
2.3 Klasifikasi Meningioma
Meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi tumor, pola
pertumbuhan dan histopatologi. Berdasarkan lokasi tumor dan urutan paling
sering adalah konveksitas, parasagital, tuberkulum sella, falks, sphenoid rigde,
cerebellopontine angle, frontal base, petroclival, fosa posterior, tentorium,
middle fossa, intraventricular dan foramen magnum. Meningioma juga dapat
timbul secara ekstrakranial walaupun sangat jarang, yaitu pada medula spinalis,
orbita , cavum nasi, glandula parotis, mediastinum dan paru-paru (Al-Mefty,
2005; Chou, 1991).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2,1. Variasi lokasi timbulnya meningioma (Al-Mefty, 2005)


Pola pertumbuhan meningioma terbagi dalam bentuk massa (en masse)
dan pertumbuhan memanjang seperti karpet (en plaque). Bentuk en masse
adalah meningioma globular klasik sedangkan bentuk en plaque adalah tumor
dengan adanya abnormalitas tulang dan perlekatan dura yang luas (Talacchi,
2011). Pembagian meningioma secara histopatologi berdasarkan WHO 2007
terdiri dari 3 grading dengan resiko rekuren yang meningkat seiring dengan
pertambahan grading (Fischer & Bronkikel, 2012).
Beberapa subtipe meningioma antara lain:
Grade I:
Meningothelial meningioma
Fibrous (fibroblastic) meningioma
Transitional (mixed) meningioma
Psammomatous meningioma
Angiomatous meningioma

Universitas Sumatera Utara

Mycrocystic meningioma
Lymphoplasmacyte-rich meningioma
Metaplastic meningioma
Secretory meningioma
Grade II:
Atypical meningioma
Clear cell meningioma
Chordoid meningioma
Grade III:
Rhabdoid meningioma
Papillary meningioma
Anaplastic (malignant) meningioma
2.4 Faktor-Faktor Risiko
2.4.1 Radiasi Ionisasi
Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah terbukti
menyebabkan tumor otak. Penelitian-penelitian yang mendukung hubungan
antara paparan radiasi dan meningioma sejak bertahun-tahun telah banyak
jumlahnya. Proses neoplastik dan perkembangan tumor akibat paparan radiasi
disebabkan oleh perubahan produksi base-pair dan kerusakan DNA yang belum
diperbaiki sebelum replikasi DNA. Penelitian pada orang yang selamat dari bom
atom di Hiroshima dan Nagasaki menemukan bahwa terjadi peningkatan insiden
meningioma yang signifikan (Calvocoressi & Claus, 2010).
Pengobatan dengan menggunakan paparan radiasi juga meningkatkan
resiko terjadinya meningioma. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi
radiasi untuk leukemia limfoblastik dan tinea kapitis memperlihatkan adanya
peningkatan resiko terjadinya meningioma terutama dosis radiasi melebihi 30
Gy. Selain itu, paparan radiasi untuk kepentingan diagnosis juga meningkatkan
resiko terjadinya meningioma. Salah satunya adalah penelitian Claus et al (2012)
yang membuktikan adanya peningkatan resiko yang signifikan terjadinya

Universitas Sumatera Utara

meningioma setelah mendapatkan dental X-ray lebih dari enam kali antara usia
15 hingga 40 tahun (Calvocoressi & Claus, 2010; Claus, 2012).
Beberapa ciri-ciri untuk membedakan meningioma spontan dengan
akibat paparan radiasi adalah usia muda saat didiagnosis, periode latensi yang
pendek, lesi multipel, rekurensi yang relatif tinggi, dan kecenderungan
meningioma jenis atipikal dan anaplastik (Calvocoressi & Claus, 2010).
2.4.2 Radiasi Telepon Genggam
Radiasi

yang

dihasilkan

oleh

telepon

genggam

adalah

energi

radiofrequency (RF) yang tidak menyebabkan ionisasi molekul dan atom. Energi
RF berpotensi menimbulkan panas dan menyebabkan kerusakan jaringan, namun
pengaruhnya terhadap kesehatan masih belum diketahui secara pasti. Penelitian
metaanalisis yang dilakukan oleh Lahkola et al (2005) menemukan bahwa tidak
terdapat

hubungan

antara

penggunaan

insiden

meningioma.Penelitian

metaanalisis lain yang lebih besar yaitu penelitian INTERPHONE yang dilakukan
pada 13 negara juga memberikan laporan bahwa tidak dijumpai hubungan
antara penggunaan telepon genggam dan insiden meningioma (Wiemels, 2010;
Barnholtz-Sloan, 2007; Calvocoressi & Claus, 2010).
2.4.3 Cedera Kepala
Sejak masa Harvey Cushing, Cedera kepala merupakan salah satu resiko
terjadinya meningioma, meskipun hasil peneltian-penelitian tidak konsisten.
Penelitian kohort pada penderita cedera kepala dan fraktur tulang kepala
menunjukkan adanya hubungan dengan terjadinya meningioma secara
signifikan. Penelitian ole Phillips et al (2002) juga menemukan hasil bahwa
adanya hubungan antara cedera kepala dengan resiko terjadinya meningioma,
terutam riwayat cedera pada usia 10 hingga 19 tahun. Resiko meningioma
berdasarkan banyaknya kejadian cedera kepala dan bukan dari tingkat
keparahannya (Wiemels, 2010; Phillips, 2002).

Universitas Sumatera Utara

2.4.4 Genetik
Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang
timbul pada pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita tumor
otak jenis apapun. Sindroma genetik turunan yang memicu perkembangan
meningioma hanya beberapa dan jarang. Meningioma sering dijumpai pada
penderita dengan Neurofibromatosis type 2 (NF2), yaitu Kelainan gen autosomal
dominan yang jarang dan disebabkan oleh mutasi germline pada kromosom
22q12 (insiden di US: 1 per 30.000-40.000 jiwa). Selain itu, pada meningioma
sporadik dijumpai hilangnya kromosom, seperti 1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau
tambahan kromosom seperti 1q, 9q, 12q, 15q, 17q dan 20q (Evans, 2005; Smith,
2011).
Penelitian lain mengenai hubungan antara kelainan genetik spesifik
dengan resiko terjadinya meningioma termasuk pada perbaikkan DNA, regulasi
siklus sel, detoksifikasi dan jalur metabolisme hormon. Penelitian terbaru fokus
pada variasi gen CYP450 dan GST, yaitu gen yang terlibat dalam metabolisme dan
detoksifikasi karsinogen endogen dan eksogen. Namun belum dijumpai
hubungan yang signifikan antara resiko terjadinya meningioma dan variasi gen
GST atau CYP450. Penelitian lain yang berfokus pada gen supresor tumor TP53
juga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (Lai, 2005; Malmer, 2005;
Choy, 2011).
2.4.5 Hormon
Predominan meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-laki
memberi dugaan adanya pengaruh ekspresi hormon seks.Terdapat laporan
adanya pengaruh ukuran tumor dengan kehamilan, siklus menstruasi, dan
menopause. Penelitian-penelitian pada pengguna hormon eksogen seperti
kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti dengan resiko timbulnya
meningioma memberikan hasil yang kontroversial. Penelitian-penelitian pada
paparan hormon endogen memperlihatkan bahwa resiko meningioma
berhubungan dengan status menopause, paritas, dan usia pertama saat

Universitas Sumatera Utara

menstruasi, tetapi masih menjadi kontroversi (Wiemels, 2010; Barnholtz-Sloan,


2007; Taghipour, 2007).
2.5 Mitosis pada meningioma
Mitosis pada meningioma diperkirakan distimulus oleh beberapa jenis
protein growth factors. Beberapa jenis growth factors yang berpengaruh
reseptor Epidermal Growth Factor (EGF), Granulin, Platelet Derived Growth
Factor (PDGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Insulin Growth Factor
(IGF), Fibroblast Growth factor (FGF), hormon progesteron dan estrogen.
Hormon EGF adalah hormon polipeptida yang bekerja melalui aktivasi reseptor
EGF dan stimulus proliferasi yang bervariasi baik secara in vivo dan in vitro.
Reseptor EGF merupakan glikoprotein yang terletak ekstraselular. Reseptor ini
diperkirakan memiliki peranan dalam regulasi pembelahan sel dan pertumbuhan
tumor. Ekspresi berlebihan dari reseptor EGF telah terbukti menstimulasi
angiogenesis, proliferasi metastase, dan kelangsungan hidup sel (Ragel, 2003;
Wernicke, 2010).
Peptida lain yang diperkirakan berperan dalam perbaikan jaringan dan
tumorigenesis adalah granulin. Granulin merupakan suatu peptida dari leukosit
yang berfungsi dalam mediasi siklus progresi dan kematian sel epitel dan
mesenkim. Pada penelitian Choong ditemukan bahwa kadar granulin
berhubungan dengan ukuran tumor dan perkembagan edema peritumoral dari
meningioma

intrakranial.

Penemuan

ini

menunjukkan

bahwa

adanya

kemungkinan granulin mempengaruhi pertumbuhan meningioma seperti pada


glioma (Choong, 2010).
Peptida lain yang mempengaruhi pertumbuhan sel adalah FGF yaitu
berperan dalam proliferasi sel, apoptosis dan angiogenesis. Mekanisme pemicu
mitosis dari FGF adalah aktivasi dari beberapa kaskade cytoplasmic serine/
threonine kinase termasuk kaskade p44/42 MAPK/ERK dan jaras PI3K-AktPRAS40-mTOR dan STAT3.. Mekanisme ini mempengaruhi proliferasi sel dan
apoptosis dari banyak tumor ganas solid termasuk meningioma. Namun ini masih

Universitas Sumatera Utara

memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kegunaan kemoterapi


terhadap reseptor ini dan regulasinya dalam pertumbuhan meningioma
(Johnson, 2010).
Telah diketahui bahwa IGF-II berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan normal fetus. Pada penelitian ditemukan adanya hubungan
antara ekspresi IGF-II dengan agresivitas dari pertumbuhan meningioma, namun
masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Nordqvist, 1997). Protein dan mRNA
dari PDGF-B diekspresikan secara luas oleh jaringan meningioma secara luas,
namun peranan fungsionalnya belum dapat dijelaskan secara mendetail
(Shamah, 1997). VEGF berfungsi memediasi angiogenesis pada tumor otak.
Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara ekspresi VEGF dan
neovaskularisasi pada meningioma. Pada prinsipnya VEGF diatur oleh faktor
transkripsi hypoxia inducible factor-1 (HIF-1). Tampak bahwa HIF-1 dan VEGF
meningkat pada emboli meningioma.56 Data memberi kesan bahwa VEGF
memiliki fungsi lain selain angiogenesis pada meningioma, seperti merangsang
pertumbuhan tumor. PDGF-B dihipotesakan memicu produksi VEGF dalama
meningkatkan proliferasi pembuluh darah dan pertumbuhan tumor (fister,
2012).
2.6 Gambaran Radiologi
Pemeriksaan penunjang radiologi pada meningioma dapat berupa foto xray, CT-scan kepala baik dengan maupun tanpa kontras dan MRI. Pada foto x-ray
dapat ditemukan gambaran khas, yaitu hiperostosis, peningkatan vaskularisasi
dan kalsifikasi. Pada CT-scan tanpa kontras, meningioma akan memberikan
gambaran isodense hingga sedikit hyperdense dan kalsifikasi. Sedangkan CT-scan
dengan kontras akan memberikan gambaran massa yang menyangat kontras
dengan kuat dan homogen. Gambaran hiperostosis, edema peritumoral dan
nekrosis sentral dapat dijumpai pada pencitraan CT-scan kepala. Gambaran khas
pada CT-scan kepala adalah adanya dural tail yaitu duramater yang melekat pada
tulang (Osborn, 2004; Mary, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Pada MRI dengan T1W1 umumnya memberikan gambaran isointense


sedangkan beberapa lainnya memberikan gambaran hypointense dibandingkan
dengan gray matter. Pada T2W1, meningioma juga umumnya menunjukkan
gambaran isointense dengan beberapa yang hyperintense karena kandungan
airnya yang tinggi terutama pada jenis meningothelial, yang hipervaskular, dan
yang agresif (Osborn, 2004; Mary, 2013).
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan

pada

meningioma

dapat

berupa

embolisasi,

pembedahan, radiosurgery, dan radiasi. Terdapat dua tujuan utama dari


pembedahan yaitu paliatif dan reseksi tumor. Pembedahan merupakan terapi
utama pada penatalaksanaan semua jenis meningioma. Tujuan dari reseksi
meningioma adalah menentukan diagnosis definitif, mengurangi efek massa, dan
meringankan gejala-gejala. Reseksi harus dilakukan sebersih mungkin agar
memberikan hasil yang lebih baik. Sebaiknya reseksi yang dilakukan meliputi
jaringan tumor, batas duramater sekitar tumor, dan tulang kranium apabila
terlibat. Reseksi tumor pada skull base sering kali subtotal karena lokasi dan
perlekatan dengan pembuluh darah (Modha & Gutin, 2005).
Angiografi preoperatif dapat menggambarkan suplai pembuluh darah
terhadap tumor dan memperlihatkan pembungkusan pembuluh darah. Selain
itu, angiografi dapat memfasilitasi embolisasi preoperatif. Beberapa jenis
meningioma terutama malignan umumnya memiliki vaskularisasi yang tinggi,
sehingga embolisasi preoperatif mempermudah tindakan reseksi tumor. Hal ini
disebabkan oleh berkurangnya darah yang hilang secara signifikan saat reseksi.
Embolisasi preoperatif dilakukan pada tumor yang berukuran kurang dari 6 cm
dan dengan pertimbangan keuntungan dibandingkan dengan resiko dari
embolisasi (Dowd, 2003; Levacic et al; 2012).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Tingkat rekurensi Setelah reseksi berdasarkan kriteria Simpson


(Modha & Gutin, 2005)
Simpson
Grade

10-year
Recurrence

Completeness of Resection

Grade I

complete removal including resection of


underlying bone and associated dura

9%

Grade II

complete removal + coagulation of dural


attachment

19%

Grade III

complete removal w/o resection of dura or


coagulation

29%

Grade IV

subtotal resection

40%

Berdasarkan tabel di atas diperlihakan bahwa reseksi meningioma total


hingga Simpson grade 1 juga menunjukkan resiko terjadinya rekurensi hingga
9%. Faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh pada rekurensi meliputi
reseksi inkomplit, jenis histologis atipikal dan malignan berdasarkan klasifikasi
WHO, adanya penonjolan nukleolar, adanya mitosis lebih dari dua per 10 highpower fields dan gambaran menyangat kontras yang heterogen pada Ct-scan
kepala (Al-Hadidy, 2007).
Walaupun meningioma merupakan tumor yang tumbuh lambat dan
memiliki tingkat mitosis yang rendah, radioterapi memberikan manfaat secara
klinis yang telah dilaporkan pada banyak serial kasus yaitu baik regresi ataupun
berhentinya

pertumbuhan

tumor.

Manfaat

radioterapi

masih

menjadi

perdebatan, Radioterapi disarankan sebagai terapi adjuvan pada reseksi


inkomplit, tumor rekuren dan atau grade tinggi, serta sebagai terapi utama pada
beberapa kasus seperti meningioma saraf optik dan beberapa tumor yang tidak
dapat direseksi (Al-Hadidy, 2007; Minniti, 2009).
Modalitas lain pada terapi meningioma adalah stereostatic radiosurgery.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stereostatic radiosurgery memberikan
hasil yang efektif dalam mengontrol pertumbuhan tumor secara lokal dengan
resiko komplikasi yang kecil. Stereostatic radiosurgery umumnya dilakukan pada
tumor jinak berukuran kecil atau yang tidak dapat dioperasi dan pada tumor

Universitas Sumatera Utara

residual atau rekuren setelah operasi. Terapi ini disarankan pada meningioma
berukuran dibawah 3 cm yang melibatkan skull base dan sinus kavernosus
dengan tujuan mencegah progresi tumor (Al-Hadidy, 2007; Minniti, 2009).
2.8 Hormon Progesteron
Progesteron adalah hormon steroid turunan dari kolestrol yang utamanya
disintesis oleh ovarium, kelenjar adrenal dan plasenta. Kadar progesteron lebih
tinggi kadarnya pada wanita dibandingkan laki-laki. Kadar hormon progesteron
berubah berdasarkan siklus hidup terutama perkembangan embrionik, siklus
reproduksi (siklus menstruasi dan estrous), kehamilan dan menopause
(Camacho-Arroyo, 2009).
Hormon progesteron memainkan peran penting dalam regulasi sejumlah
fungsi seperti ovulasi, implantasi, mempertahankan kehamilan, regulasi siklus
sel, respon imunitas, ventilasi, perilaku seksual, tidur, belajar dan memori pada
beberapa jaringan seperti uterus, ovarium, kelenjar mamae, pankreas, tulang,
paru dan otak. Hormon progesteron bekerja melalui mediasi oleh reseptor
intraselular spesifik yang terdiri dari dua isoform yaitu PR-A dan PR-B dengan
fungsi yang berbeda. Pola ekspresi isoform PR sangat kritis untuk regulasi kerja
progesteron pada sel-sel (Camacho-Arroyo, 2009).
Hormon progesteron memiliki kerja yang beragam pada jaringan yang
baik berhubungan maupun tidak berhubungan dengan reproduksi. Hormon
progesteron diproduksi dan bertahan dengan periode waktu yang berbeda-beda
(menit, jam, hari dan bulan). Selain itu, progesteron dapat juga memiliki lebih
dari satu efek pada sel yang sama oleh karena beberapa mekanisme yang
melibatkan molekul berbeda pada kompartemen sel yang berbeda. Progersteron
bekerja dengan melalui dua mekanisme utama, yaitu genomik (klasik) dan nongenomik (non-klasik). Mekanisme kerja melalui jalur genomik (klasik) yaitu
dengan mengubah ekspresi dari gen target yang dimediasi oleh reseptor
progesteron dan memiliki efek jangka panjang. Sedangkan pada jalur nongenomik (non-klasik) melibatkan modifikasi pada tingkat membran sel dan

Universitas Sumatera Utara

memiliki efek yang cepat. Hubungan silang antara mekanisme genomik dan nongenomik dapat timbul, dan pada kondisi ini hormon progesteron mampu bekerja
dengan regulasi yang baik untuk fungsi yang bervariasi (Camacho-Arroyo, 2009;
Bernauer, 2001).

Gambar 2.2. Mekanisme kerja hormon progesteron secara genomik dan nongenomik (Camacho-Arroyo, 2009)
Secara umum, efek non-genomik dari progesteron berlangsung cepat.
Hormon ini bekerja pada tingkat membran dan sitoplasma dan tidak masuk ke
dalam sel. Pada kondisi ini, progesteron tidak sensitif terhadap inhibitor
transkripsi dan sintesis protein. Variasi mekanisme non-genomik dari interaksi
progesteron telah diketahui dengan baik, yaitu (1). Reseptor-reseptor
progesteron yang terletak pada membran sel memiliki profil struktur dan
farmakologis yang berbeda-beda, (2). Kanal ion seperti kanal Ca2+ dan K+, (3).
Lokasi modulator yang terletak pada reseptor neurotransmiter seperti reseptor
GABA A , dan (4). Reseptor neurotransmiter dan faktor-faktor pertumbuhan yang

Universitas Sumatera Utara

berpasangan dengan protein G. Interaksi ini menghasilkan perubahan pada


konduksi ionik, kaskade second messenger, produksi cAMP, perubahan
phosphoionisitide, dan protein kinase C dan aktivasi MAP kinase (CamachoArroyo, 2009; Bernauer, 2001).
2.9 Reseptor Progesteron
Reseptor progesteron merupakan keluarga dari ligand-activated zincfinger transcription factors. Keluarga dari protein nuklear termasuk reseptor dari
steroid dan hormon tiroid, asam retinoid, vitamin D, ecdysonedan lainnya
dengan ikatan endogen yang belum teridentifikasi (Scarpin, 2009).
N-terminal A/B domain memiliki sekuensi dan panjang yang sangat
bervariasi pada semua anggota dari keluarga reseptor ini. Hal ini termasuk
aktivasi fungsi yang meregulasi transkripsi gen. Domain yang paling dikonservasi
adalah C yang mengandung regio ikatan DNA dan memiliki dua Zinc finger tipe II
yang berhubungan dengan pengenalan DNA. Domain D adalah regio yang
mengandung nuklear penentu lokasi sinyal dan sisi ikatan untuk protein
chaperone yang mempertahankan reseptor dalam keadaan inaktif. Domain E
bersifat multifungsi dan mengandung regio ikatan dengan AF yaitu nuklear
penentu lokasi lainnya yang berfungsi sebagai protein heat-shock dan asosiasi
kofaktor. Dan terakhir adalah domain F yang terletak di C-terminal dan memiliki
ligant-depent AF (Camacho-Arroyo, 2009; Scarpin, 2009; Leonhardt, 2003).

Gambar 2.3. Struktur domain reseptor progesteron (Camacho-Arroyo, 2009)

Universitas Sumatera Utara

Regulasi transkripsi yang dimediasi oleh reseptor progesteron didahului


dengan interaksi hormon progesteron dengan reseptor progesteron. Setelah
berikatan, reseptor progesteron berdisosiasi dari protein chaperone dan
dimerisasi dengan molekul reseptor progesteron lainnya. Selanjutnya, reseptor
progesteron mengalami fosforilasi dalam bentuk ikatan dan merekruit kofaktor
remodelling chromation seperti koaktivator SRC-1 atau corepressor SMRT yang
acetylate atau deacetylate histone. Reseptor progesteron berinteraksi dengan
sekuens DNA spesifik yang pendek dan dikenal sebagai hormone responsive
elements (HRE). Interaksi ini juga menginduksi fosforilasi reseptor progesteron
dan reseptor progesteron berinteraksi dengan basal machinery of transcription
yang terlibat dalam ekspresi gen. Setelah pemisahan fosforilasi reseptor
progesteron dari kompleks transkripsi, reseptor progesteron ini akan menjadi
sasaran degradasi melalui jalur ubiquitin-proteasome (Camacho-Arroyo, 2009;
Scarpin, 2009; Leonhardt, 2003).
2.10 Hubungan Reseptor Progesteron dengan Meningioma
Meningen orang dewasa normal mengekspresikan reseptor progesteron
dalam kadar rendah, yang mana mayoritas meningioma mengekspresikan
reseptor progesteron. Penurunan ekspresi reseptor progesteron dari grade
rendah hingga grade tinggi telah dilaporkan dan meningioma dengan ekspresi
reseptor progesteron yang negatif lebih agresif dibandingkan yang positif.
Walaupun sel tumor mengekspresikan reseptor progesteron dalam jumlah
sedikit memiliki faktor prognostik yang baik pada meningioma. Meningioma yang
mengalami transformasi dari jinak ke atipikal menunjukkan penurunan ekspresi
reseptor progesteron dibandingkan meningioma atipikal yang de novo (Fakhrjou,
2012; Shayanfar, 2010).
Meningioma

subtipe

meningothelial

memiliki

ekspresi

reseptor

progesteron yang lebih banyak dibandingkan subtipe transisional dan fibrous.


Walaupun

begitu,

beberapa

penelitian

melaporkan

ekspresi

reseptor

Universitas Sumatera Utara

progesteron yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki. Penelitian


terbaru mengenai pemeriksaan ekspresi gen untuk meningioma menemukan
bukti bahwa ekpresi berlebihan sejumlah gen yang terletak pada lengan panjang
kromosom 22 untuk kasus reseptor progesteron positif dibandingkan dengan
kasus reseptor progesteron yang negatif. Hubungan antara status reseptor
progesteron dan regulasi kromosom 22q memperlihatkan adanya peran homon
dalam tumorigenesis meningioma (Fakhrjou, 2012; Shayanfar, 2010).
Usia dan jenis kelamin tidak memengaruhi status reseptor progesteron.
Ekspresi reseptor progesteron terlihat lebih tinggi pada meningioma jinak
dibandingkan yang atipikal dan malignan walaupun tidak dijumpai perbedaan
yang signifikan. Penelitian Omulecka (2006) mengenai hubungan ekspresi
reseptor progesteron dengan beberapa tipe meningioma menunjukkan bahwa
reseptor progesteron ditemukan 100% pada meningothelial, 95,2% pada
transitional, 77,8% pada atypical dan 42,2% pada fibrous. Jika meningioma
kehilangan ekspresi reseptor progesteron selama transformasi menjadi derajat
yang lebih tinggi, maka hal ini menyebabkan kurang bergunanya pemakaian
antiprogesteron sebagai pengobatan meningioma atipikal dan malignan
(Fakhrjou, 2012; Shayanfar, 2010).

Tabel 2.2 Hubungan hormon progesteron dengan meningioma


No

Pengarang

Judul penelitian

Hasil

Fakhrjou,

Status of Ki-67, estrogen Reseptor progesteron Pakistan

2012

and

progesterone sering

diekspresikan Journal

receptors

in

meningioma, Biological

various oleh

subtypes of intracranial Peran


meningiomas
2

Jurnal
of

prognosisnya Sciences

sangat bervariasi.

15(11)

Taghipour,

The role of estrogen and Reseptor progesteron Iranian

2007

progesterone receptors in diekspresikan

Red

Crescent

grading of the malignancy terutama pada wanita Society 9(1)


of meningioma

dan jenis jinak.

Universitas Sumatera Utara

Shayanfar,

Expression of progestrone Terdapat

hubungan Acta Medica

2009

receptor and proliferative terbalik antara rata- Iranica 2010;


marker ki 67 in various rata LI Ki67 dan status 48(3):
grades of meningioma

142-

dengan 147.

PR

grade

peningkatan
tumor.
4

Omulecka,

Immunohistochemical

2006

expression
receptors

of

I 2006;44(2):

in dibandingkan

pada 111-115

grade II.

El-Badawy,

Role

2013

receptor expression and lebih


proliferative

grade

and pada

meningiomas
5

reaksi Folia

of imunitas lebih kuat Neuropathol

progesterone
estrogen

Intensitas

progesterone Meningioma
activity

jinak Egypt J Pathol


33:76-81

in mengekspresikan

predicting the recurrence reseptor progesteron


of meningioma

dibandingkan
grade

II

pada

dan

Meningioma

III.
jinak

tanpa

adanya

ekspressi

reseptor

progesteron memiliki
risiko

lebih

tinggi

terjadinya rekurensi.

2.11 Indeks Proliferasi


Indeks proliferasi biasanya diukur dengan MIB-1 antibodi yang akan
mengikat antigen Ki-67. Ki-67 diekspresikan pada sel yang sedang berproliferasi
melalui siklus sel. Labeling index (LI) adalah persentase dari nukleus sel tumor
yang imunoreaktif. Pengambilan sampel tumor merupakan sumber kesalahan
dalam menentukan LI karena tumor memiliki heterogenitas histologi dengan
perbedaan regional dari proliferasi sel. Daerah tumor yang paling ganas secara

Universitas Sumatera Utara

histologis merupakan pilihan yang biasanya digunakan untuk analisis LI


(Korhonen, 2012; Akyildiz, 2010).
Peningkatan Ki-67 berhubungan dengan grade histologi yang lebih tinggi
dan peningkatan resiko rekuren pada meningioma. LI rata-rata pada meningioma
jinak sebesar 3%, untuk meningioma atipikal sebesar 8% dan untuk meningioma
malignan sebesar 17%. Kebanyakan penelitian melaporkan indeks proliferasi
yang lebih tinggi pada meningioma rekuren dibandingkan dengan yang nonrekuren. Meningioma dengan indeks MIB-1 sebesar 4% atau lebih secara
signifikan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk rekuren. KI-67 juga telah
dilaporkan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita dan pada
meningioma dengan edema di MRI. KI-67 lebih rendah pada meningioma dengan
kalsifikasi. Meningioma yang berhubungan dengan NF-2 memiliki LI yang lebih
tinggi dibandingkan yang sporadik dan hal ini mencerminkan sifat yang lebih
agresif dari meningima ini (Korhonen, 2012; Akyildiz, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai