Anda di halaman 1dari 31

Ibnu Sina

Materi Kuliah Filsafat Islam


Prof. Fauzan Saleh, Ph.D.
PAI – Tarbiyah, STAIN Kediri © 2009

02/22/10 1
Latar belakang
 Ibn Sina mengakui banyak berhutang budi pada
al-Farabi, sehingga dia mampu kembangkan
tema-tema dasar Neoplatonik seperti telah
diupayakan oleh al-Farabi sebelumnya, kecuali
dalam bidang politik.
 Tulisan-tulisannya miliki pengaruh lebih luas,
sehingga nama Ibn Sina lebih populer dalam
kajian tentang Neoplatonisme, meskipun yang
pertama kali memperkenalkan adalah al-Farabi.

02/22/10 2
Belajar filsafat dan kedokteran
 Ibn Sina lahir di Afshanah, dekat dengan Kota
Bukhara. Di Bukhara dia belajar kepada banyak
guru, antara lain al-Natili, seorang Sufi penganut
faham Isma’ili, dan seorang pemilik toko
keturunan India yang mengajari aritmatika.
 Selanjutnya Ibn Sina belajar filsafat dan
kedokteran secara autodidak. Pada usia 16 tahun
dia telah menguasai ilmu kedokteran dengan baik,
sehingga banyak dokter ternama yang menimba
ilmu padanya.

02/22/10 3
Metafisika
 Satu-satunya ilmu yang dianggap sulit bagi
Ibn Sina ialah metafisika. Dia mengaku
telah baca buku metafisika Aristotle
sebanyak 40 kali namun tidak faham,
sampai akhirnya dia temukan buku al-
Farabi On the Intention of the Metaphysics.
Dengan buku ini barulah Ibn Sina merasa
mengerti tentang metafisika seperti
diuraikan dalam karya Aristotle tersebut.
02/22/10 4
Karya Ibn Sina
 Ibn Sina mulai menuliskan karya-karya
filsafatnya sejak usia 21 tahun. Hasil kayanya
tidak kurang dari 276 judul.
 Di antara karyanya ialah: al-Syifa’, al-Najat, al-
Isyarat, Epistle of the Bird, Epistle of Love dan
Hayy ibn Yaqdhan.
 Al-Syifa’ adalah karya Ibn Sina terpenting, dan
merupakan summa philosophica-nya, berisi
segala bidang kajian filsafat di masanya.
02/22/10 5
Metafisika dan logika
 Berbeda dengan al-Farabi, Ibn Sina kurang
tertarik pada bidang politik atau etika. Perhatian
utama filsafat Ibn Sina tertuju pada bidang
metafisika dan logika.
 Corak pemikiran metafisikanya mengikuti faham
Neoplatonisme, seperti tercermin pada teori
emanasinya. Namun Ibn Sina merasa tidak puas
dengan corak pemikiran Neoplatonisme
konvensional ini. Dia ingin mengembangkan
model pemikirannya sendiri.

02/22/10 6
Oriental wisdom
 Karena itulah Ibn Sina kemudian menulis
Oriental Wisdom yang diklaim memuat
‘kebenaran tak tercemar.’
 Buku ini bertujuan untuk menggali khazanah
kearifan Timur, meskipun belum jelas benar
apakah buku tersebut telah diselesaikan
secara tuntas oleh Ibn Sina.
 Dari buku tersebut baru dikenali
pembahasan tentang logika saja.
02/22/10 7
Mistisisme filosofis
 Dari sebagian karya-karyanya, Ibn Sina
menampakkan kecanggungan mistiknya.
Pandangan mistiknya yang berbeda dengan al-
Hallaj dan al-Bistami telah membawa dirinya
pada suatu mistisisme filosofis dan rasional.
 Mistisisme filosofis berasal dari adanya desakan
intelektual untuk dapat berhubungan (ittisal)
dengan Intelek Aktif, bukan penyatuan diri
(ittihad) atau musyahadah dengan Tuhan.

02/22/10 8
Tentang metafisika
 Dalam al-Syifa’ Ibn Sina mulai dengan definisi
tentang metafisika secara konvensional sebagai
studi tentang entitas (wujud) yang bersifat
material.
 Dalam definisi lain disebutkan sebagai ilmu
ketuhanan yang menelaah prinsip-prinsip pokok
segenap entitas fisik dan matematis guna
memperkenalkan adanya Sebab dari segala sebab
dan Prinsip Utama dari segala prinsip.

02/22/10 9
Ditolak
 Definisi yang jelas-jelas bercirikan Aristotelian
ini ditolak oleh Ibn Sina, dengan alasan
 Sebab Pertama atau Tuhan yang menjadi subyek
metafisika tersebut oleh Ibn Sina justru ditempatkan
sebagai obyek kajian metafisika.
 Pokok bahasan metafisika seharusnya adalah
wujud sebagai wujud itu sendiri (being qua
being) yang secara intuitif diketahui manusia.
Dengan kata lain, inti kajian metafisika adalah
ontologi.

02/22/10 10
Tiga bagian pokok
 Ibn Sina membagi metafisika menjadi tiga
bagian pokok:
 Bagian yang membahas beragam pandangan
ttg segenap entitas secara umum dan Tuhan
secara khusus.
 Bagian yang membahas sifat-sifat entitas.
 Bagian yang membahas prinsip-prinsip pokok
pengetahuan yang berlaku bagi semua bidang
ilmu.

02/22/10 11
Pendekatan ontologis
 Namun pembahasan utama metafisika Ibn Sina
lebih fokus pada entitas dalam kaitannya dengan
kategori-kategori Aristotelian dan konsep-konsep
universal yang menyertainya.
 Hal pertama yang mendasari pendekatan
ontologis metafisikanya ialah wujud (eksistensi)
merupakan gagasan dasar yang dapat difahami
oleh semua manusia secara intuitif.
 Tidak ada gagasan yang lebih mendasar atau yang
lebih banyak diketahui kecuali tentang wujud.
02/22/10 12
Sifat dasar atau esensi
 Kedua, ialah sifat dasar (esensi) suatu
entitas dengan jelas dapat dibedakan
dengan eksistensinya. Sesuatu kita katakan
eksis (memiliki wujud) ialah jika ia berupa
suatu bentuk yang membatasi esensi.
 Jika dikatakan bahwa esensi (mahiyah)
sesuatu itu memiliki wujud, baik secara nyata
maupun hanya dalam fikiran, maka perkataan
itu baru memiliki makna.

02/22/10 13
Non-eksisten
 Ketiga, yang tidak eksis (non-eksisten) pun
sebenarnya memiliki wujud dalam satu dan lain
arti. Non-eksistensi merujuk pada suatu fakta
tertentu yang mungkin memiliki wujud, meski
hanya dalam fikiran.
 Sebab, sesuatu dikatakan non-eksisten secara
mutlak, mustahil dapat diungkap dengan
perkataan. Bahkan, saat kita menyangkal non-
eksistensi sesuatu, sangkalan itu tetap memiliki
makna eksistensial dalam fikiran kita.

02/22/10 14
Contingent – necessary being
 Masalah esensi dan eksistensi ini telah
mendorong Ibn Sina untuk perkenalkan
perbedaan metafisis antara yang bisa-ada
(mungkin, contingent being) dan yang niscaya-
ada (wajib, necessary being).
 Dari pembedaan ini Ibn Sina bangun konsepsinya
tentang yang Wajib Ada-nya (wajib al-wujud)
sebagai Zat yang berbeda dengan mumkin al-
wujud.

02/22/10 15
A contingencia mundi
 Berangkat dari kerangka pemikiran di atas,
Ibn Sina mengajukan dalil tentang Wajib
al-Wujud, yang kemudian dikembangkan
oleh Leibniz dan Kant dengan istilah a
contingencia mundi, bukti kemungkinan
alam. Dalil ini berpijak pada aksioma
bahwa segala sesuatu terbagi menjadi dua:
yang niscaya-ada dan yang mungkin-ada.

02/22/10 16
Sifat Zat yang niscaya-ada
 Sifat utama dari yang niscaya-ada ialah keesaaan
mutlak, tanpa kejamakan, tidak tersusun atau
terbagi, baik secara esensial maupun eksistensial.
 Seandainya Zat ini tersusun dari esensi dan
eksistensi, layaknya entitas yang berubah, tentu
Dia memerlukan sebab lain bagi keberadaannya,
karena esensi tidak mungkin bersifat swa-ada.
Hal ini bertentangan dengan fakta bahwa Dia
adalah Sebab Pertama dari semua yang ada.

02/22/10 17
Sebaliknya,…
 Sebaliknya, jika esensi Zat ini diduga
menyatu dengan eksistensinya, itu berarti
Dia tidak memiliki genus dan species maka
sebagai sebuah konsekwensinya Dia tidak
dapat didefinisikan. Dia pasti tanpa sifat-
sifat aksidental. Karena itulah tidak ada
yang menyamai-Nya atau menjadi sekutu
bagi-Nya dalam hal apa pun.

02/22/10 18
Kebaikan murni
 Dari uraian di atas tampak bahwa Ibn Sina
menafikan sifat apa pun pada diri Tuhan. Oleh
karena itu Ibn Sina memberikan sifat positif pada
Tuhan yaitu sebagai kebaikan murni, kebenaran
murni, dan akal murni.
 Kebaikan murni berarti Dia adalah dambaan
tertinggi dan sumber kesempurnaan bagi semua
entitas yang memperoleh wujudnya melalui
proses emanasi dan karena karunia-Nya.

02/22/10 19
Kebenaran murni, Akal murni
 Kebenaran murni berarti bahwa Dia adalah
wujud yang maha benar, maha kekal dan
yang paling layak adanya.
 Akal atau intelek murni berarti Dia
terbebas dari semua unsur materi. Seperti
diuraikan oleh al-Farabi sebelumnya, Dia
adalah Akal Murni yang berfikir tentang
diri-Nya semata, thought thinking thought.
02/22/10 20
Kontroversi pengetahuan Tuhan
 Modus pengetahan Tuhan ttg makhluk-Nya
merupakan kontroversi yang serius antara para
filosof dan ahli teologi selama berabad-abad.
 Ibn Sina: Pengetahuan Tuhan tidak berakibat pada
keberagaman dan perubahan dalam zat-Nya.
 Berbeda dengan pengetahuan manusia, pengetahuan
Ilahi tidak berasal dari wujud makhluk-Nya. “Selaku
Prinsip Utama, Allah mengetahui diri-Nya sebagai
Penyebab dari adanya segala sesuatu.”
 Dia mengetahui segala sesuatu yang ada di alam fana
dan alam baka secara universal.

02/22/10 21
Antisipasi al-Ghazali
 Untuk mengantisipasi al-Ghazali yang
menuduhnya mengingkari pengetahuan Tuhan
tentang hal-ihwal yang partikular, Ibn Sina cepat-
cepat menambahkan: ‘tak satu partikular pun
luput dari pengetahuan-Nya.
 Dan tak satu apa pun, biar hanya seberat atom, di
langit maupun di bumi, yang tersembunyi bagi-
Nya. Sungguh ini suatu keajaiban untuk dapat
menangkapnya ‘

02/22/10 22
Asal penciptaan alam (emanasi)
 Seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina juga memandang
alam berasal dari Yang Wajib Ada.
 Dengan kemahabaikan-Nya (al-jud) memancarlah
(yafidh) intelek pertama.
 Ketika dia berfikir tentang dirinya sendiri lahirlah
intelek kedua. Dan ketika intelek kedua berfikir
tentang dirinya sendiri, terwujudlah jiwa dan tubuh
dari falak luar (the outermost sphere).
 Proses emanasi kemudian berlanjut dengan sederetan
intelek dan falak yang bersesuaian, sampai akhirnya
terwujudlah akal kesepuluh (Akal Aktif).

02/22/10 23
Peran akal kesepuluh
 Akal kesepuluh (Akal Aktif) menata alam sublunar,
sehingga alam anasir terbentuk.
 Di sini anasir sederhana berpadu dengan bentuk-bentuk
substantif (yang teremanasi dari Akal Aktif) untuk
memproses terjadinya beragam entitas partikular di
alam raya ini.
 Akal aktif berperan sebagai jembatan antara alam
pengetahuan dan alam material, sebagai “peran kosmis”-nya
yang fundamental.
 Akal aktif juga punya “peran kognitif” sebagai locus dari
semua bentuk primer alam pengetahuan yang jadi bahan
pengetahuan itu sendiri.

02/22/10 24
Ajaran tentang jiwa
 Menurut Ibn Sina, munculnya jiwa (vital
principle) sebagai daya supra-jasmani (extra-
corporeal power) berawal dari persenyawaan
elemen-elemen primer kehidupan di bawah
pengaruh benda-benda langit.
 Pertama-tama muncul jiwa nabati, disusul jiwa
hewani, dan terakhir muncul jiwa manusiawi,
yang berlangsung secaca progresif selaras dengan
tingkat kemampuan masing-masing jiwa.

02/22/10 25
Definisi jiwa
 Masing-masing jiwa didefinisikan oleh Ibn Sina
sebagai berikut:
 Jiwa nabati sebagai dasar pertumbuhan dan reproduksi.
 Jiwa hewani sebagai dasar gerak atau kehendak dan
penangkapan (idrak, apprehension) terhadap berbagai
rangsangan partikular.
 Jiwa manusiawi sebagai dasar pertimbangan dan
pemahaman terhadap hal-hal yang bersifat universal.
 Ibn Sina lantas berikan definisi umum tentang jiwa
(lihat berikut)…

02/22/10 26
Kesempurnaan pertama…
 Ibn Sina berikan definisi umum tentang jiwa
sebagai “kesempurnaan pertama dari benda
organik yang alami. “
 Sebagai daya cerap terhadap hal-hal yang partikular
dan bergerak sesuai kehendak, ia disebut jiwa
hewani.
 Sebagai daya cerap terhadap hal-hal universal dan
bertindak atas dasar pertimbangan dan pilihan, ia
disebut jiwa manusiawi.
 Sebagai daya untuk melahirkan, tumbuh kembang
dan memproduksi sejenisnya ia disebut jiwa nabati

02/22/10 27
Akhir perjalanan biologis…
 Sebagai akhir perjalanan biologis dan generatif,
jiwa manusia punyai dua bagian pokok: teoritis
dan praktis.
 Jiwa teoritis punyai 4 sub-bagian:
 Potensial (possible).
 Habitual
 Aktual, dan
 Capaian (mustafad, acquired).
 Keempatnya mewakili empat tingkat pencerapan
intelektual, sbg lawan dari pencerapan indrawi.
02/22/10 28
Perkembangan intelektual manusia
 Keempat bagian jiwa teoritis ini cerminkan
perkembangan intelektual manusia.
 Dari sekedar bakat-belajar (potentiality to learn)
jadi biasa-belajar (habitus, malakah) yang, jika
teraktualisasikan, akan mampu fahami hal-hal
universal dengan bantuan Akal Aktif.
 Saat itulah jiwa akan capai kesempurnaannya,
sehingga mampu mencerminkan alam
pengetahuan yang memantulkan alam material.
02/22/10 29
Tahapan mistis…
 Tahapan mistis ini akan tercapai jika jiwa sudah
mampu menjalin hubungan (ittisal) dengan Akal
Aktif sehingga tak perlu lagi jalani proses berfikir
silogistik untuk dapat menangkap hal-hal yang
universal, tetapi cukup dengan memfungsikan
intuisi (al-hads).
 Ibn Sina mengibaratkan tahapan ini sebagai
tahapan ‘profetis’ atau tahap berfungsinya ‘nalar
suci’ pada diri manusia.

02/22/10 30
Puncak kemampuan intelektual
 Tahapan profetis ini merupakan puncak kemampuan
intelektual manusia yang hanya ada pada para filosof
dan nabi.
 Berkat kemampuan ini seorang nabi dapat
mengetahui segala sesuatu secara intuitif,
mempersepsi aneka bentuk dan representasi
audiovisual, memperkirakan masa depan dan
mempengaruhi terjadinya peristiwa fisik secara ajaib
(miracolously).
 Nalar suci ini tiada lain dari sebentuk intelek habitual yg
mengerucut pada intelek capaian (‘aql mustafad).

02/22/10 31

Anda mungkin juga menyukai