Anda di halaman 1dari 27

DIABETES MELITUS

Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit metabolik di mana tubuh tidak
dapat mengendalikan glukosa akibat kekurangan hormon insulin. Kekurangan
hormon ini dalam tubuh bisa disebabkan oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. Berdasarkan kedua faktor tersebut, diabetes mellitus (DM) terbagi
menjadi DM tipe 1 dan DM tipe 2.
DM tipe 1 disebabkan oleh faktor genetik dan terjadi sejak kanak-kanak di
mana sel-sel beta pankreas tidak dapat memproduksi insulin akibat adanya
autoantibodi yang menyerang sel-sel beta pankreas. Sedangkan DM tipe 2
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan seperti makanan dengan kadar
glukosa tinggi yang dikonsumsi secara berlebihan dan terus menerus sehingga
terjadi gangguan metabolisme glukosa dalam tubuh, didukung dengan adanya
riwayat keluarga yang menderita DM. DM tipe 2 ini terjadi pada usia dewasa
dan usia lanjut.
DIABETES MELITUS PADA USIA LANJUT
Usia lanjut merupakan masa usia di mana terjadi perubahan-perubahan yang
menyebabkan terjadinya kemunduran fungsional pada tubuh. Salah satunya
adalah terjadinya penurunan produksi dan pengeluaran hormon yang diatur oleh
enzim-enzim yang juga mengalami penurunan pada usia lanjut.
Salah satu hormon yang menurun sekresinya pada usia lanjut adalah insulin. Hal
ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya diabetes mellitus pada usia
lanjut. Namun demikian, beberapa faktor resiko seperti resistensi insulin akibat
kurangnya massa otot dan terjadinya perubahan vaskular, kegemukan akibat
kurangnya aktivitas fisik yang tidak diimbangi dengan asupan makanan yang
adekuat, sering mengkonsumsi obat-obatan, faktor genetik, dan keberadaan
penyakit lain yang memperberat diabetes mellitus, juga memegang peran
penting.
Diabetes melitus yang terdapat pada usia lanjut mempunyai gambaran klinis
yang bervariasi luas, dari tanpa gejala sampai dengan komplikasi nyata dan
kadang-kadang menyerupai penyakit atau perubahan yang biasa ditemui pada
usia lanjut. Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia dan polifagia,
pada DM usia lanjut tidak ada. Umumnya pasien datang dengan keluhan akibat
komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena pada usia lanjut, respon tubuh terhadap
berbagai perubahan/gejala penyakit mengalami penurunan.
Biasanya yang menyebabkan pasien usia lanjut datang berobat adalah karena
gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta

kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh
dengan pengobatan biasa.
KOMPLIKASI-KOMPLIKASI YANG DIALAMI OLEH PASIEN USIA
LANJUT YANG MENDERITA DIABETES MELITUS DAN
MENGAKIBATKAN JATUH
Komplikasi DM pada usia lanjut ada yang akut dan ada pula yang kronik.
Komplikasi DM akut antara lain ketoasidosis, koma diabetikum, dan
sebagainya. Sedangkan komplikasi DM kronik antara lain makroangiopati,
mikroangiopati dan neuropati. Komplikasi akibat makroangiopati terutama akan
meningkatkan mortalitas, sedangkan komplikasi mikroangiopati akan
meningkatkan morbiditas. Komplikasi mikroangiopati antara lain retinopati
diabetik dan nefropati diabetik; komplikasi makroangiopati antara lain
terjadinya atherosklerosis yang menimbulkan komplikasi lebih lanjut pada
serebrovaskular; sedangkan komplikasi berupa neuropati, disebut juga neuropati
diabetik, yang tersering adalah neuropati perifer. Berbagai komplikasi yang
disebutkan di atas dapat menyebabkan jatuh pada usia lanjut. Selain itu,
kesalahan dalam mengkonsumsi obat antidiabetik oral oleh karena
kelebihan/kekurangan dosis dan ketidakseimbangan antara asupan makanan
dan obat antidiabetik oral dengan aktivitas sehari-hari yang menyebabkan
hipoglikemi/hiperglikemi juga dapat membuat jatuh pada usia lanjut. Semuanya
akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
Retinopati Diabetik dan Katarak Komplikata
Ada kaitan yang kuat antara hiperglikemia pada penderita DM dengan dengan
insidens dan berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa
mikroaneurisma (pelebaran vaskular kecil) dari arteriole retina. Akibatnya
terjadi perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina yang dapat
mengakibatkan kebutaan.
Ganguan penglihatan lainnya adalah katarak disebabkan komplikasi dari
penyakit diabetes melitus (katarak komplikata). Pada katarak komplikata akibat
DM ini, terjadi penimbunan sorbitol dalam lensa oleh karena kekurangan
insulin. Perlu diketahui, bahwa hiperglikemi pada DM menyebabkan
penumpukan kadar glukosa pada sel dan jaringan yang dapat mentranspor
glukosa tanpa memerlukan insulin. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan
termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan
perantaraan enzim aldose reduktase akan diubah menjadi sorbitol yang akan
tertumpuk dalam sel/jaringan dan menyebabkan kerusakan dan perubahan
fungsi jaringan tersebut. Penumpukan sorbitol pada lensa ini mengakibatkan
katarak dan kebutaan.

Kedua penyakit tersebut merupakan faktor resiko intrinsik sebagai komplikasi


DM. Pasien pada skenario dianjurkan untuk operasi mata akan tetapi pasien
selalu menolak. Sementara itu, retinopati diabetik dan katarak sebenarnya dapat
diobati jika ditangani lebih dini. Katarak dapat dioperasi dengan cara memasang
lensa artifisial, sedangkan retinopati diabetik dapat diobati dengan fotokoagulasi
retina di mana sinar laser difokuskan pada retina sehingga menghasilkan parut
korioretinal yang di tempatkan dikutub posterior retina. Pengobatan ini juga
dapat menekan neovaskularisasi dan perdarahan yang terjadi pada retinopati
diabetik. Oleh karena tidak diobati, maka mata pasien tersebut menjadi kabur
dan dapat menyebabkan pasien terjatuh, apalagi jika didukung oleh kelemahan
otot akibat proses penuaan dan faktor lingkungan, seperti lantai yang licin, dan
sebagainya.
Neuropati Diabetik
Diabetes melitus seringkali juga menimbulkan komplikasi di susunan saraf
pusat dan perifer. Baik di pusat maupun perifer, kerusakan akibat diabetes
melitus bersifat sekunder yaitu melalui vaskulitis. Karena itu, endotelium arteriarteri menjadi rusak yang mempermudah pembentukan trombus.
Permeabilitasnya menjadi lebih besar yang memperbesar kemungkinan
masuknya mikroorganisme dan toksin dari sawar darah otak dan mempermudah
terbentuknya mikro-aneurisme.
Neuropati diabetika merupakan komplikasi vaskulitis di susunan saraf perifer.
Anoksia akibat mikrotrombosis dan mudah terkena substansi toksik merupakan
mekanisme yang mendasari disfungsi susunan saraf perifer, terutama komponen
sensoriknya.
Neuropati diabetik, selain sebagai komplikasi dari vaskulitis juga disebabkan
karena pada jaringan saraf terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta
penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia
dalam jaringan saraf akan mengganggu aktivitas metabolik sel-sel Schwann dan
menyebabkan kehilangan akson. Akibatnya, kecepatan konduksi motorik akan
berkurang, selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan
proprioseptik dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks
tendon dalam dan kelemahan otot. Hal-hal tersebut dapat memungkinkan pasien
lansia pada kasus mengalami jatuh.
Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik bermanifestasi secara dini sebagai proteinuria dan merupakan
komplikasi dari penyakit hipertensi yang mengenai ginjal. Selain itu, pada
nefropati diabetik, terjadi kebocoran pembuluh darah glomerulus akibat

penyakit diabetes sehingga glukosa dapat keluar bersama urin dan terjadilah
glukosuria.
Jatuh yang dialami oleh penderita usia lanjut pada skenario kemungkinan
disebabkan oleh karena banyaknya glukosa darah yang terbuang melalui urin
akibat nefropati diabetik sehingga kadar glukosa dalam darah kurang. Terlebih
lagi jika ternyata pada anamnesis tambahan, pasien seringkali melakukan
aktivitas fisik yang cukup berat untuk orang seusianya tanpa didukung asupan
makanan yang adekuat disertai mengkonsumsi obat antidiabetik, maka akan
terjadi hipoglikemia dan otak kekurangan gukosa sebagai satu-satunya sumber
energi sehingga mengakibatkankan pasien tersebut jatuh.
Hipoglikemi
Hipoglikemia dapat terjadi pada penderita yang tidak mendapat dosis obat
antidiabetik yang tepat, tidak makan cukup atau dengan gangguan fungsi hati
dan ginjal. Kecenderungan hipoglikemia pada orang tua disebabkan oleh
mekanisme kompensasi dalam tubuh berkurang dan asupan makanan yang tidak
adekuat karena kurangnya nafsu makan yang umumnya terjadi pada orang tua.
Selain itu, hipoglikemia tidak mudah dikenali pada orang tua karena timbul
perlahan-lahan tanpa tanda akut (akibat tidak ada refleks simpatis) dan dapat
menimbulkan disfungsi otak sampai koma yang jika berlangsung lama dapat
menyebabkan kerusakan otak permanen.
Hipoglikemia juga dapat terjadi akibat penurunan ekskresi dan metabolisme
klorpropamid (salah satu obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea dengan
waktu paruh yang lama) pada usia lanjut. Oleh karena itu, pasien pada skenario
kemungkinan terjatuh akibat hipoglikemi setelah mengkonsumsi obat
antidiabetik oral tersebut sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Hiperglikemia
Hiperglikemia juga dapat menyebabkan jatuh pada pasien tersebut. Akan tetapi,
sebelum menyimpulkan bahwa pasien jatuh oleh karena hiperglikemia, perlu
anamnesis tambahan apakah pasien meminum obat antidiabetiknya teratur atau
tidak, bagaimana aktivitasnya sehari-hari dan jumlah kalori dan kandungan
glukosa makanan yang dikonsumsinya sehari-hari. Jika ternyata pasien tidak
patuh meminum obat sesuai yang dianjurkan oleh dokter (jarang minum obat),
disertai aktivitas fisik yang kurang, misalnya kurang olahraga dan sering diet
dengan makanan tinggi kalori, maka kemungkinan pasien jatuh oleh karena
hiperglikemi meskipun ia minum obat.
Selain itu, penyakit DM juga dapat mencetuskan terjadinya atherosklerosis.
Resistensi insulin yang terjadi pada penderita DM bertambah dengan semakin

bertambahnya usia. Resistensi insulin ini akan meningkatkan sintesis VLDL di


hati dan pada gilirannya akan menaikkan kadar trigliserid dalam darah.
Kenaikan VLDL ini sedikit banyak juga akan menyebabkan kenaikan LDL
karena pada proses metabolismenya, dari VLDL melalui IDL akhirnya akan
terbentuk LDL. IDL dan LDL ini bersifat aterogenik yang akan mengakibatkan
terbentuknya plak atherosklerosis pada pembuluh darah. Jika atherosklerosis ini
terdapat pada pembuluh darah otak, maka perfusi di otak kurang, otak
kekurangan oksigen dan nutrisi sehingga dapat menyebabkan jatuh.
Obat Antidiabetik Oral
Pengaruh obat antidiabetik oral terhadap jatuhnya pasien sebagian telah
dijelaskan di atas. Namun demikian, selain oleh karena proses penyakit
(patologis), terjadinya perubahan farmakodinamik pada lansia terhadap obatobatan yang dikonsumsi di dalam tubuh penderita juga berperan penting dalam
kasus ini. Perubahan-perubahan tersebut melalui beberapa mekanisme, antara
lain: terjadi perubahan jumlah reseptor obat, perubahan afinitas, transduksi
sinyal dan perubahan target organ obat pada lansia. Hal ini mungkin bisa
menjelaskan bahwa meskipun penderita meminum obat antidiabetik oralnya,
efek obat tersebut dalam tubuh tidak maksimal. Adanya polifarmasi yang terjadi
pada usia lanjut yang menyebabkan terjadinya interaksi antara obat yang satu
dengan yang lainnya, dapat menimbulkan hipoglikemia/hiperglikemia yang
dapat memperbesar kemungkinan jatuhnya penderita tersebut.
ANALISA DAN SINTESA SEMUA INFORMASI
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa kemungkinan besar pasien pada
skenario mengalami jatuh disebabkan oleh gangguan penglihatan yang dialami
sebagai komplikasi dari penyakit diabetes melitus yang dialami oleh pasien.
Meskipun telah mendapatkan terapi pengobatan dari dokter mengenai
penyakitnya, akan tetapi kemungkinan pasien tidak teratur dalam meminum
obatnya, baik karena kekurangan dosis akibat jarang minum obat maupun
kelebihan dosis akibat menurunnya daya ingat yang terjadi pada usia lanjut
akibat proses menua sehingga dia tidak lupa apakah sudah minum obat atau
belum. Selain itu, ketidakdisiplinan dalam meminum obat bisa jadi disebabkan
karena kurangnya perhatian keluarga dalam hal ini. Untuk itu perlu anamnesis
tambahan mengenai bagaimana hubungan pasien dengan anggota keluarganya
yang terdekat. Kemungkinan lain yang juga bisa menjadi pertimbangan adalah
meskipun pasien meminum obatnya dengan teratur, akan tetapi dalam skenario
dikatakan ia kurang nafsu makan, ditambah lagi dengan batuk-batuk dan sesak
nafas yang dialaminya yang tentu saja memerlukan energi yang diperoleh dari
makanan, menyebabkan pasien mengalami hipoglikemia yang mengakibatkan
pasien tersebut jatuh.

Semua yang disebutkan di atas dapat memperparah penyakit diabetes melitus


yang dialami pasien dan komplikasi kronik yang bisa timbul dan yang paling
mungkin terjadi adalah katarak akibat diabetes melitusnya (katarak komplikata)
sebab di dalam skenario dikatakan bahwa pasien sudah dianjurkan untuk operasi
mata tetapi ia selalu menolak. Akibatnya, ia bisa jatuh karena visusnya menurun
di samping karena faktor-faktor lingkungan, seperti pencahayaan lampu yang
tidak baik di rumahnya, dan sebagainya.

Pengertian Hipertensi Pada Lansia


Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik
yang intermiten atau menetap.
Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001).Menurut WHO
( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan
sebagai hipertensi.
Pada Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Brunner & Suddarth, 1996)
2.2. Klasifikasi Hipertensi Pada Lansia
2.2.1.
1.

Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :


Hipertensi primer atau esensial
Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini adalah yang terbanyak, yaitu
sekitar 90-95% dari seluruh pasien hipertensi. Riwayat keluarga,obesitas,diit
tinggi natrium,lemak jenuh dan penuaan adalah faktor pendukung. Walaupun
faktor genetik sepertinya sangat berhubungan dengan hipertensi primer, tapi
mekanisme pastinya masih belum diketahui.

2.

Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang terindentifikasi


lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti hipertensi renovaskuler,
feokromositoma, sindrom cushing, aldosteronisme primer, dan obat-obatan,
yaitu sekitar 2-10% dari seluruh pasien hipertensi.
2.2.2.

Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Pedoman Joint National Committee 7


Kategori
Optimal

Sistolik (mmHg)
115 atau kurang

Diastolik (mmHg)
75 atau kurang

Normal
Prehipertensi
Hipertensi stage I
Hipertensi stage II

< 120
120-139
140-159
160

< 80
80-89
90-99
100

Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut dapat
dibedakan:

Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat pada 6-12%


penderita di atas usia 60th, terutama pada wanita. Insioden meningkat seiring
bertambahnya umur.

Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara 12-14%


penderita di atas usia 60th, terutama pada pria. Insidensi menurun seiring
bertambahnya umur.

Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di atas 60 th,


lebih banyak pada wanita. Menningkat dengan bertambahnya umur.

2.3. Etiologi Hipertensi Pada Lansia


Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi lain
meliputi diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup seperti
obesitas asupan garam yang tinggi alkohol yang berlebihan.
Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat
dikontrol, antara lain:

a.

Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:


Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga (genetik
kromosomal), umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun), jenis kelamin pria
atau wanita pasca menopause.

a.

Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.Namun wanita
terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang
belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan
dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol
HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya
proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan
adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita
mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini
melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana
hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita
secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita hipertensi
berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%.Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria
bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita
setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini
sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause.

b.

Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang
yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang
berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara khusus.
Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun, karena itu
dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada kebanyakan
kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. hipertensi sering terjadi pada

usia pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya
perubahan hormon sesudah menopause. Hanns Peter (2009) mengemukakan
bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari
keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari
berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi
semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri.
c.

Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan keluarga itu
mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium
terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai
risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak
mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya
adalah penderita hipertensi.

b.

Faktor resiko yang dapat dikontrol:

1.

Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi penurunan
kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat badan
meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia dapat
memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh
darah, hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan
tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita
hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang
yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 2030% memiliki berat badan lebih.

2.

Kurang Olahraga.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular,
karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang
akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung
sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang
lebih berat karena adanya kondisi tertentu Kurangnya aktivitas fisik menaikan
risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk.
Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat
dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi,
semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan
yang mendesak arteri.

3.

Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat
dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko
terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.

4.

Mengkonsumsi garam berlebih


Badan

kesehatan

dunia

yaitu

World

Health

Organization

(WHO)

merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko


terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih
dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi
natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan
ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke
luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume
cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah,
sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi.
5.

Minum alkohol

Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan


organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol
berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.
6.

Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi mengandung 75
200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi meningkatkan
tekanan darah 5 -10 mmHg.

7.

Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis
peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak
menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah
menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di
masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini
dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat
yang tinggal di kota. Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres akan
meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga
akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun stres ini dapat berhubungan
dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.

2.4
2.5

Tanda Dan Gejala Hipertensi Pada Lansia

Seperti penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya, hipertensi sering


tidak memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul tersamar (insidious)
atau tersembunyi (occult). Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis
beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala,
pusing Lemas, kelelahan, Sesak nafas, Gelisah, Mual Muntah, Epistaksis,
Kesadaran menurun
2.6 Pemeriksaan Penunjang Hipertensi Pada Lansia
a.

Hemoglobin / hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel sel terhadap volume cairan (viskositas) dan
dapat mengindikasikan factor factor resiko seperti hiperkoagulabilitas,
anemia.

b.

BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal

c.

Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan
oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi).

d.

Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab) atau
menjadi efek samping terapi diuretik.

e.

Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi.

f.

Kolesterol dan trigliserid serum


Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya
pembentukan plak ateromatosa ( efek kardiovaskuler )

g.

Pemeriksaan tiroid.
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi.

h.

Kadar aldosteron urin/serum


Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab ).

i.

Urinalisa

Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya


diabetes.
j.

Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi.

k.

Steroid urin
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme

l.

IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal,
batu ginjal / ureter.

m.

Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung.

n.

CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.

o.

EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi,
peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung
hipertensi.

2.7

Komplikasi Hipertensi Pada Lansia


Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab
tersering kematian adalah penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal ginjal
sering ditemukan, dan sebagian kecil pada pasien dengan retinopati.

a.

Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler


Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan tekanan
sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan penebalan
dinding

ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel memburuk,

kapasitasnya membesar dan timbul gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung.


Angina pektoris dapat timbul sebagai akibat dari kombinasi penyakit arteri
koronaria dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard karena penambahan

massanya. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran jantung dengan


denyut ventrikel kiri yang menonjol. Suara penutupan aorta menonjol dan
mungkin ditemukan murmur dari regurgitasi aorta. Bunyi jantung presistolik
(atrial, keempat) sering terdengar pada penyakit jantung hipertensif, dan bunyi
jantung protodiastolik (ventrikuler, ketiga) atau irama gallop mungkin saja
ditemukan. Pada elektrokardiogram, ditemukan tanda-tanda hipertrofi ventrikel
kiri. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi iskemi dan infark. Sebagian besar
kematian dengan hipertensi disebabkan oleh infark miokard atau gagal jantung
kongestif. Data-data terbaru menduga bahwa kerusakan miokardial mungkin
lebih diperantarai oleh aldosteron pada asupan garam yang normal atau tinggi
dibandingkan hanya oleh peningkatan tekanan darah atau kadar angiotensin II.
b.

Efek Neurologik
Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan pada retina
dan sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya jaringan dengan arteri
dan arteriol yang dapat langsung diperiksa, maka dengan pemeriksaan
optalmoskopik berulang memungkinkan pengamatan terhadap proses dampak
hipertensi pada pembuluh darah retina.
Efek pada sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien hipertensi.
Sakit kepala di daerah oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, yang
merupakan salah satu dari gejala-gejala awal hipertensi. Dapat juga ditemukan
keleyengan, kepala terasa ringan, vertigo, tinitus dan penglihatan menurun
atau sinkope, tapi manifestasi yang lebih serius adalah oklusi vaskuler,
perdarahan atau ensefalopati. Patogenesa dari kedua hal pertama sedikit
berbeda. Infark serebri terjadi secara sekunder akibat peningkatan aterosklerosis
pada pasien hipertensi, dimana perdarahan serebri adalah akibat dari
peningkatan tekanan darah dan perkembangan mikroaneurisma vaskuler serebri
(aneurisma Charcot-Bouchard). Hanya umur dan tekanan arterial diketahui
berpengaruh terhadap perkembangan mikroaneurisma.

Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat,


gangguan kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan
papiledem dan kejang. Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak
berkaitan dengan spasme arterioler atau udem serebri. Tanda-tanda fokal
neurologik jarang ditemukan dan jikalau ada, lebih dipikirkan suatu infark /
perdarahan serebri atau transient ischemic attack.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina
berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak beraturan,
eksudat pada retina, edema retina dan perdarahan retina. Kelainan pembuluh
darah dapat berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh
darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerosis pembuluh darah.
c.

Efek pada Ginjal


Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler glomerulus
adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan berakibat pada
penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria dan
hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus dan 10 %
kematian disebabkan oleh hipertensi akibat gagal ginjal. Kehilangan darah pada
hipertensi terjadi tidak hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis dan
metroragi juga sering terjadi pada pasien-pasien ini.

2.8

Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lansia


Lebih dari 10 tahun yang lalu masih terjadi perdebatan tentang perlu
tidaknya pengobatan hipertensi pada usia lanjut. Golongan yang kontra
menyatakan bahwa penurunan tekanan darah pada hipertensi lansia justru akan
menyebabkan kemungkinan terjadinya trombosis koroner, hipotensi postural
dan penurunan kualitas hidup. Dengan penelitian-penelitian yang diadakan
dalam 10 tahun terakhir ini jelas dibuktikan bahwa menurunkan tekanan darah

pada hipertensi lansia jelas akan menurunkan komplikasi akibat hipertensi


secara bermakna.
Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan
mortalitas yang berkaitan dengan sistem kardiovaskuler dan ginjal. Karena
kebanyakan penderita hipertensi, khususnya yang berusia > 50 tahun akan
mencapai target tekanan diastol saat target tekanan sistol sudah dicapai,
sehingga fokus utamanya adalah mencapai target tekanan sistol. Penurunan
tekanan sistol dan diastol < 140 / 90 mmHg berhubungan dengan penurunan
terjadinya komplikasi stroke, dan pada pasien hipertensi dengan diabetes
melitus, target tekanan darah ialah < 130 / 80 mmHg.
Penalaksanaan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, yaitu :
1.

Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan kausal.

2.

Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah


dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.

3.

Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat


antihipertensi.

4.

Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan mungkin


seumur hidup.

5.

Pengobatan dengan menggunakan standart triple therapy (stt) menjadi dasar


pengobatan hipertensi.
Pemakain obat pada lanjut usia perlu dipikirkan kemungkinan adanya :

a. Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan


b.

Interaksi obat

c. Efek samping obat.


d. Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal.
Pada pengobatan hipertensi ada tiga hal evaluasi menyeluruh terhadap kondisi
penderita adalah :

a. Pola hidup dan indentifikasi ada tidaknya faktor resiko kardiovaskuler.


b.

Penyebab langsung hipertensi sekunder atau primer.

c. Organ yang rusak karena hipertensi.


Secara garis besar, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan obat antihipertensi, yaitu:
1.

Mempunyai efektivitas yang tinggi

2.

Mempunyai toksisitas dan efek samping yang ringan atau minimal

3.

Memungkinkan penggunaan obat secara oral.

4.

Tidak menimbulkan intoleransi

5.

Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh penderita.

6.

Memungkinkan penggunaan obat dalam jangka panjang


Tidak jarang penatalaksanaan hipertensi dengan menggunakan obat-obat
antihipertensi mengalami kegagalan, yang dapat disebabkan oleh hal-hal di
bawah ini :

1.

Ketidakpatuhan penderita

2.

Peningkatan volume oleh karena peningkatan asupan natrium, kerusakan


ginjal, dan kurangnya pemberian diuretik

3.

Obesitas

4.

Dosis yang tidak adekuat

5.

Interaksi obat

6.

Kontrasepsi oral

7.

Penggunaan obat-obat steroid

8.

Hipertensi sekunder

Klasifikasi dan Managemen Tekanan Darah untuk Dewasa *


Initial Drug Therapy

BP

SBP

DBP

Lifestyle

Without

With

Classification (mmHg) (mmHg) Modification Compelling

Compelling

*
*
Normal
< 120
and < 80 Encourage
Prehypertensi 120-139 or 80-89 Yes

Indication

No

on

antihypertensive compelling

Stage

indicated
Thiazide-type

I 140-159 or 90-99 Yes

Hypertension

Indication

diuretics
most.

Drug(s)

for

indications.
Drug(s) for the
forcompelling

Mayindications.

consider ACEI ,Other


ARB, BB , CCBantihypertensive
Stage

II 160

100

Yes

Hypertension

or combination. drugs (diuretics,


Two-drug
ACEI,
ARB,
combination for
BB, CCB) as

most
(usually
needed.
thiazide-type
diuretic

and

ACEI or ARB
or BB or CCB)
SBP : Systolic Blood Pressure
DBP : Diastolic Blood Pressure.
Drug abbreviations : BP :
ACEI : Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
ARB : Angiotensin Receptor Blocker
CCB : Calsium Channel Bloker.
BB : Beta-Bloker
* Treatment determined by highest BP category.

Initial combined therapy should be used cautiously in those at risk for orthostatic
hypotension.

Treat patients with chronic kidney disease or diabetes or BP goal < 130/80
mmHg

2.8.1 Konsep Penatalaksanaan Hipertensi Terkini


Joint National Committee VII merekomendasikan konsep terapi yang terbaru
yaitu :
a.

Pasien dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan tekanan darah
diastolic 80-89 mmHg hanya memerlukan penatalaksanaan nonfarmakologis
dengan cara modifikasi gaya hidup.

b.

Pasien

yang

tidak

memiliki

komplikasi

hipertensi,

diperlukan

penatalaksanaan secara farmakologis dengan diberikan obat golongan diuretik


atau bisa juga diberikan obat dari golongan lain.
c.

Lebih memperhatikan tekanan darah sistolik dan penanganannya harus


dimulai jika tekanan darah sistolik meningkat walaupun tekanan darah
diastoliknya tidak.

d.

Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan obat kombinasi antihipertensi,


salah satunya adalah obat dari golongan diuretik tiazid.

e.

Kebanyakan pasien hipertensi memerlukan 2 atau lebih pengobatan untuk


mencapai tekanan darah 20/10 mmHg di atas tekanan darah yang diinginkan.

f.

Golongan ACE Inhibitor sendiri atau kombinasi dengan golongan diuretic


masih merupakan terapi pilihan yang terbaik untuk pasien dengan hipertensi
yang sudah mengalami komplikasi penyakit jantung.
Bila hipertensi yang terjadi tanpa disertai dengan komplikasi atau penyakit
penyerta lain, maka pengobatan adalah mudah.
hipertensi dibagi menjadi :

1.

Non Farmakologis atau modifikasi gaya hidup.

2.

Farmakologis

Penatalaksanaan untuk

A. Non farmakologis atau modifikasi gaya hidup meliputi :


Kriteria Indeks Massa Tubuh
Kriteria
Kurang
Normal
Berat badan lebih
Obesitas
Obesitas berat

IMT (kg/m2)
<18,5
18,5-24,9
25,0-29,9
30,0-34,9
35,0

Jaga berat badan ideal. Turunkan berat badan bila IMT 27

Membatasi alkohol.

Olahraga teratur sesuai dengan kondisi tubuh.

Mengurangi asupan natrium (<100 mmol Na, atau 2.4 g Na , atau 6 g


NaCl/hari)

Mempertahankan asupan kalium (90 mmol/hari), kalsium dan magnesium


yang adekuat.

Berhenti merokok.

Kurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan.


Modifikasi Gaya Hidup Penatalaksanaan Hipertensi *
Modification

Recommendation

Approximate

Weight

Reduction (Range)
Maintain normal body weight (BMI5-20 mmHg / 10 kg

reduction
18,5 24,9 kg/m2)
weight loss
Adopt DASH Consume a diet rich in fruits,8-14 mmHg

SBP

eating plan

vegetables and low fat dairy products


with a reduced content of saturated

and total fat


Dietary sodium Reduced dietary sodium intake to no2-8 mmHg
reduction

more than 100 mmol per day (2,4 g

sodium or 6 g sodium chloride)


Physical activity Engage in regular aerobic physical4-9 mmHg
activity such as brisk walking (at least
30 min per day, most days of the
Moderation

week)
of Limit consumption to no more than 22-4 mmHg

alcohol

drinks (1 oz or 30 ml ethanol; e.g. 24

consumption

oz beer, 10 oz wine, or 3 oz 80-proof


whiskey) per day in most men and to
no more thsn 1 drink per day in

women and lighter weight persons


DASH, Dietary Approaches to Stop Hypertension
* For overall cardiovascular risk reduction, stop smoking.
The effects of implementing these modifications are dose and time dependent,
and could be greater for some individuals.
B.

Farmakologis :
Obat-obat Antihipertensi :
1.

Diuretik

Cara kerja : meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga volume

plasma dan cairan ekstrasel.


Untuk terapi jangka panjang pengaruh utama adalah mengurangi resistensi

perifer.
Terdapat beberapa golongan, yaitu :
a.

Diuretik Tiazid dan sejenisnya (paling luas digunakan) , contoh :

Hidroklorotiazid (HCT) tab 25 dan 50 mg

Klortalidonn tab 50 mg

Bendroflumentiazid tab 5 mg

Indapamid tab 2,5 mg

Xipamid tab 20 mg

b.

Diuretik kuat :

a.

Furosemid tab 40 mg

c.

Diuretik hemat kalium :

a.

Amilorid tab 5 mg

b.

Spironolakton tab 25 dan 100 mg

2.

Efek samping : hipotensi dan hipokalemia.


Penghambat Adrenergik

Efektif untuk menurunkan denyut jantung dan curah jantung, serta menurunkan
sekresi renin

Kontraindikasi bagi pasien gagal jantung kongestif

Terdiri dari golongan :


-

penghambat adrenoreseptor / bloker : terazosin, doxazosin, prazosin

penghambat adrenoreseptor / -bloker : propanolol, asebutolol, atenolol,


bisoprolol

penghambat adrenoreseptor dan : labetalol

adrenolitik sentral : klonidin, metildopa, reserpin, guanfasin


3.

Vasodilator

Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan cara relaksasi otot polos yang
akan mengakibatkan penurunan resistensi pembuluh darah

Yang termasuk golongan ini adalah natrium nitroprusid, hidralazin, doksazosin,


prazosin, minoksidil, diaksozid.

Yang paling sering digunakan adalah natrium nitroprusid dengan efek samping
hipotensi ortostatik.
4.

Penghambat Enzim Konversi Angiotensin

Bekerja

menghambat

sistem

renin-angiotensin,

menstimulasi

sintesis

prostaglandin dan juga mengurangi aktivitas saraf simpatis

Preparat yang paling banyak digunakan adalah Kaptopril, diberikan 1 jam


sebelum makan. Pada gagal ginjal dosis dikurangi (bila CCT > 1.5 mg%).

Efek samping : batuk kering , eritema, gangguan pengecap, proteinuria, gagal


ginjal dan agranulositosis.
5.

Antagonis Kalsium

Mempunyai efek mengurangi tekanan darah dengan cara menyebabkan


vasodilatasi perifer yang berkaitan dengan refleks takikardi yang kurang nyata
dan retensi cairan yang kurang daripada vasodilator lainnya.

Preparat yang biasa digunakan seperti nifedipin, nikardipin, felodipin,


amilodipin, verapamil dan diltiazem.
6.

Antagonis Reseptor Angiotensin II (AIIRA / ARB)

Merupakan golongan obat antihipertensi terbaru, tidak mempengaruhi produksi


Angiotensin II tetapi memblok di tempat kerja pada organ target.

Kelebihannya adalah tidak menimbulkan batuk karena tidak mempengaruhi


metabolisme bradikinin.

Proses apoptosis dan regenerasi jaringan juga tetap berlangsung karena reseptor
tidak dipengaruhi.
Prinsip pemberian obat anti hipertensi pada lansia :
Dimulai dengan 1 macam obat dengan dosis kecil (START LOW GO SLOW)

Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan, untuk penyesuaian


autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.
Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari
Antisipasi efek samping obat-obat antihipertensi
Pemantauan tekanan darah untuk evaluasi efektivitas pengobatan
Setelah tercapai target maka pemberian obat harus disesuaikan kembali untuk
maintenance (Gambar 2)
Pengobatan harus segera dilakukan pada hipertensi berat dan apabila
terdapat kelainan target organ. Oleh karena fungsi ginjal telah menurun dan
terdapat gangguan metabolisme obat, sebaiknya dosis awal dimulai dengan
dosis yang lebih rendah. Pada hipertensi tanpa komplikasi golongan diuretik
dosis rendah (HCT 12,5 25 mg atau setara) yang dikombinasi dengan diuretik
hemat kalium dapat diberi sebagai pengobatan awal. Obat anti hipertensi lain
dapat diberikan atas indikasi spesifik.
Pada pasien dengan payah jantung, obat penghambat ACE dan diuretik
merupakan obat pilihan pertama. Tetapi pada pemberian diuretika sering
menimbulkan efek hipokalemia dan hiponatremia karena kedua mineral tadi
ikut terbuang bersama urine.
Pada

pasien

pascainfark

miokard,

pemakaian

penyebat

yang

kardioselektif dianjurkan. Akan tetapi pada umumnya pemakaian penyekat


tidak begitu disukai oleh karena menimbulkan perburukan penyakit vaskuler
perifer dan bronkospastik. Penghambat merupakan pilihan pada pasien
dengan dislipidemia dan hipertrofi prostat, akan tetapi harus hati-hati terhadap
efek hipotensi ortostatik, karena hal ini dapat menyebabkan lansia jatuh bahkan
sampai mengalami komplikasi fraktur.
Antagonis kalsium jangka panjang cukup efektif, terutama karena
mempunyai efek natriuretik dan dianjurkan pada pasien dengan penyakit

jantung koroner. Pada pasien dengan diabetes dan proteinuria diindikasikan


pemakaian obat penghambat ACE.
Obat simpatolitik sentral seperti metildopa, klonidin dan guanfasin
walaupun efektif, pemakaiannya kurang dianjurkan pada usia lanjut karena efek
samping sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik. Dan obat-obat yang
mempunyai pengaruh pada susunan saraf pusat, dan bloker dapat
mengakibatkan depresi serta penurunan kesadaran/fungsi kognitif.
Pemberian antihipertensi pada lansia harus hati-hati karena pada lansia
terdapat :

Penurunan refleks baroreseptor sehingga meningkatkan risiko hipotensi


ortostatik.

Gangguan autoregulasi otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi dengan


hanya sedikit penurunan tekanan darah sistemik.
Penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi akumulasi obat.
Pengurangan volume intravaskular sehingga sensitif terhadap deplesi cairan.
Sensitivitas terhadap hipokalemi sehingga mudah terjadi aritmia dan kelemahan
otot.
Pemberian obat juga harus dipikirkan mengenai penyakit komorbid yang ada
pada lansia itu. Jangan sampai obat antihipertensif yang kita beri mempunyai
efek samping yang dapat memperberat gejala penyakit komorbid.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka sebaiknya obat-obat yang dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik, yaitu guanetidin, guanadrel, alfa bloker dan
labetolol sebaiknya dihindarkan atau diberikan dengan hati-hati, tekanan darah
diturunkan perlahan-lahan dengan cara memberi dosis awal yang lebih rendah
dan peningkatan dosis yang lebih kecil dengan interval yang lebih panjang dari
biasanya pada penderita yang lebih muda, dan pilihan antihipertensi harus
secara individual, berdasarkan pada kondisi penyerta.

Tahap-tahap yang perlu diperhatikan agar terapi hipertensi dapat berhasil adalah :
1.

Diagnosis yang tepat dan sedini mungkin (pengukuran beberapa kali dan
kalau perlu lebih dari 1 kali kunjungan)

2.

Pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan bahaya


hipertensi dan makna serta manfaat bila tekanan darah dapat dinormalkan.

3.

Menyampaikan data yang akurat dari studi klinik pada tenaga kesehatan
maupun masyarakat, khususnya mengenai manfaat penurunan/terapi hipertensi.

4.

Meningkatkan kepatuhan berobat atau control pasien.

5.

Memotivasi para tenaga kesehatan untuk berusahamenurunkan tekanan darah


pasien hipertensi.

6.

Menggunakan obat antihipertensi yang dapat ditoleransi dengan baik dan


yang dapat dimakan sekali sehari.
Terapi Kombinasi
Biasanya bila terapi dengan satu macam obat gagal untuk mencapai
sasaran, maka perlu ditambahkan obat ke-2 dengan dosis rendah dahulu dan
tidak meningkatkan dosis obat pertama.

Hal ini adalah upaya untuk

memaksimalkan efek penurunan tekanan darah dengan efek samping seminimal


mungkin. Pada penelitian HOT, terapi kombinasi diperlukan pada sekitar 70%
penderita. Dalam JNC-VII, para ahli bahkan menganjurkan terapi antihipertensi
kombinasi langsung pada penderita yang ada pada stadium 1. Walaupun dosis
campuran tetap banyak disediakan oleh pabrik farmasi, upaya titrasi dosis
secara individual dianggap lebih baik. Berikut diberikan pedoman yang dianut
oleh para ahli hipertensi di Inggris yang disebut sebagai The Birmingham
Hypertension Square.
The Birmingham Hypertension Square
ACE Inhibitor atau Bloker Reseptor Angiotensin II

Nasihat nonfarmakologik : garam, berat badan, alkohol, olahraga,


rokok
Diuretik
Tiazid

Bloker Kanal Kalsium golongan dihidropiridine


-Bloker

Mulai terapi pada kotak manapun dan gunakan terapi tambahan dengan
obat yang ditunjuk oleh panah. Obat-obatan pada kotak yang berdekatan
memiliki efek antihipertensi tambahan, aksi yang saling melengkapi dan
biasanya ditoleransi dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai