PENDAHULUAN
hepatis
dekstra
dan
sinistra,
duktus
hepatis
komunis,
duktus
BAB II
PEMBAHASAN
II.1
Hepar terdiri atas dua lobus, yaitu lobus kanan dan kiri. Duktus hepatikus dekstra
dan sinistra keluar dari lobus hepatis dekstra dan sinistra. Keduanya bersatu
membentuk duktus hepatis komunis. Duktus ini bergabung dengan duktus
cysticus dari vesica biliaris yang ada di sisi kanannya membentuk duktus
choledochus. Pada bagian perjalannya, duktus terletak dalam sulkus yang
terdapat pada facies posterior caput pankreatis. Di sini, duktus choledochus
bersatu dengan duktus pankreatikus. Duktus choledochus berakhir di bawah
dengan menembus dinding medial pars descendens duodenum kira-kira di
pertengahan panjangnya. Biasanya duktus choledochus bergabung dengan
duktus pankreaticus, dan bersama-sama bermuara ke dalam ampula kecil di
dinding duodenum yang disebut ampula vateri. Ampula ini bermuara pada
dinding duodenum melalui sebuah papila kecil yaitu papila duodeni major.
Bagian terminal kedua duktus beserta ampula dikelilingi oleh serabut sirkular
yang disebut sphincter oddi.
Vesika biliaris adalah sebuah kantung yang berbentuk buah pir yang
terletak pada permukaan bawah hepar. Vesika biliaris mempunyai kemampuan
menyimpan empedu sebanyak 30-50 ml, serta memekatkan empedu dengan
cara mengabsorbsi air. Vesika biliaris terdiri atas fundus, korpus, dan collum.
Corpus vesika biliaris melanjutkan diri sebagai duktus cysticus, yang berbelok ke
dalam omentum minus dan bergabung dengan sisi kanan duktus hepaticus
komunis untuk membentuk duktus choledochus.
Duktus cysticus berbentuk huruf S dan berjalan turun dengan jarak yang
bervariasi pada pinggir bebas kanan omentum minus. Tunika mukosa duktus
cysticus menonjol untuk membentuk plica spiralis yang melanjutkan diri dengan
plica yang sama pada colum vesica biliaris. Plica ini umumnya dikenal sebagai
valvula spiralis. Fungsi valvula spiralis adalah untuk mempertahankan lumen
terbuka secara konstan.1
2
II.2
Fungsi Hepatobilier
Fungsi Hepar
1. Produksi empedu
Empedu dibentuk didua tempat di dalam hati, salah satunya di
membran kanalikulus, tempat lain pembentukan empedu adalah di duktus
biliaris sendiri. Fungsi vesika biliaris adalah menyimpan dan memekatkan
empedu sehingga dapat dihabiskan.
2. Proses metabolik
Hati adalah organ metabolik degradatif dan sintetik yang terdiri dari 3
jenis sel utama: hepatosit, sel epitel saluran empedu dan sel kupffer.
3. Sintesis protein
Albumin merupakan protein terpenting yang disintesis hati dan
merupakan satu-satunya tempat produksi albumin. Produksi albumin
yang normal dalam rentang 120 -200 mg/ kg/ hari. Defisiensi albumin
serum biasanya menunjukkan proses kronik, hipoalbuminemia dapat
disebabkan juga oleh suplai asam amino yang tidak adekuat dikarenakan
malnutrisi atau malabsorpsi. Hati juga menghasilkan sejumlah faktor
ujung
distal
ductus
choledochus
dan
ampula
relaksasi,
sehingga
memungkinkan masuknya empedu yang pekat ke dalam duodenum. Garamgaram empedu di dalam cairan empedu penting untuk mengemulsikan lemak di
dalam usus serta membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Ada tiga faktor
yang meregulasi aliran empedu yaitu sekresi hepatik, kontraksi vesika biliaris,
dan tahanan sphincter choledochal. Dalam keadaan puasa, tekanan di ductus
choledochus adalah 5-10 cmH2O dan empedu yang dihasilkan di hati disimpan
dalam vesika biliaris. Setelah makan, vesika biliaris berkontraksi, sphincter
relaksasi, dan empedu dialirkan ke dalam duodenum dengan adanya tekanan
dalam duktus yang terkadi secara intermiten yang melebihi tahanan sphincter.
Cholesistokinin (CCK) adalah stimulus utama untuk berkontraksinya vesika
biliaris dan relaksasi sphincter. CCK dilepaskan ke dalam alira darah dari mukosa
usus halus. 1
Fungsi Empedu
1. Garam empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua
macam yaitu asam deoxycholat dan asam cholat. Fungsi garam empedu
adalah:
a. Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat
dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
b. Membantu absorbsi lemak,monogliserid,kolesterol dan vitamin yang
larut dalam lemak. Garam empedu yang masuk ke lumen usus oleh
kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan litocholat.
Sebagian
besar
(90%)garam
empedu
dalam
lumen
usus
akan
II.3
Pemeriksaan Abdomen
1. Inspeksi
Amati bentuk
perut
secara
umum,
warna
kulit,
adanya
retraksi,
Cara kerja palpasi pada renalis: untuk papasi ginjal kanan letakan pada
atas dan bawah perut setinggi lumbal 3-4 di bawah kosta kanan. Untuk
palpasi ginjal kiri letakan tangan setinggi Lumbal 1-2 di bawah kosta kiri.
Tekan sedalam 4-5 cm setelah pasien inhalasi jika teraba adanya ginjal,
rasakan bentuk dan respon nyeri. 1
II.4
dalam
cairan
duodenum.
Pemeriksaan
kemampuan
hati
untuk
dikoreksi,
seluruh
sistem
saluran
empedu
ekstrahepatik
ternyata
dilakukan biopsi hati terbuka ditemukan hasil baik, tidak ada pembedahan lebih
lanjut.
Tatalaksana
Tatalaksana atresia saluran empedu ekstrahepatik adalah pembedahan.
Atresia intrahepatik pada umumnya tidak meerlukan pembedahan karena
obstruksinya relatif bersifat ringan. Pilihan utama jenis pembedahan atresia
saluran empedu ekstrahepatik adalah portoenterostomi teknik Kasai dan
cangkok hati. Bedah dekompresi portoenterostomi ini sebaiknya dilakukan
sebelum bayi berumur 2 bulan, apabila usia bayi lebih dari 3 bulan, transplantasi
hati lebih baik dari hasil terbaik operasi dekompresi. Saat ini, indikasi tersering
untuk melakukan transplantasi hati adalah usia bayi telah terlau tua untuk bedah
kasai.
Komplikasi
Komplikasi pascabedah adalah kolangitis berulang yang timbul pada 3060% penderita yang dapat hidup lama. Kolangitis umumnya timbul 6-9 bulan
setelah dibuat anastomosis. Pengobatan kolangitis adalah dengan memberikan
antibiotik selama 2 minggu. Secaa keseluruhan, kemungkinan hidup 5 tahun
setelah portoenterostomi rata-rata 40%. Jika dilakukan transplantasi hati,
keberhasilan transplantasi hati setelah 1 tahun berkisar 65-80%. Indikasi
transplantasi hati ialahatresia saluran empedu intrahepatik disertai gagal hati. 3-6
II.4.2.
Insidensi
Kejadian rata-rata tumor ganas terjadi pada usia 60 tahun, tetapi tidak
jarang didapat pada usia muda. Jenis tumor kebanyakan adenokasinoma pada
duktus hepatikus atau duktus koledokus. Gambaran histologik dapat berupa
jaringan parut atau kolangitis sklerotikans.
Gambaran klinis
Keluhan utama ialah ileus obstrukstif yang progresif secara lambat disertai
pruritus. Biasanya tidak ditemukan tanda kolangitis, seperti febris, menggigil,
kolik bilier, kecuali perasaan tidak enak di kuadran kanan atas, selebihnya
penderita merasa baik-baik saj. Anoreksia dan penurunan berat badan terjadi
lambat laun.
Diagnosis
Gejala klinis yang menonjol adalah ikterus. Bila tumor mengenai duktus
koledokus, terjadi distensi kandung empedu, sehingga mudah diraba, sementara
tumornya sendiri tidak dapat pernah diraba. Kandung empedu yang berada di
bawah iga tidak nyeri, dan penderita tampak ikterus karena obstruksi. Kumpulan
tersebut disebut trias Courvoiser. Hepatomegali akibat bendungan sering
ditemukan. Apabila obstruksi empedu tidak diatasi, hati menjadi sirosis,
splenomegali,asites, perdarahan varises esofagus. Pemeriksaan laboratorium
menunjukan tanda ileus obstruksi. 3-6
II.4.3 Trauma hepatobilier
Hemobilia traumatik ialah perdarahan ke dalam saluran empedu karena
cedera. Secara umum, hemobilia dapat disebabkan oleh trauma, infeksi,batu
empedu, aneurisma, dan tumor. Trauma tumpul akibat kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab utama hemobilia. Perdarahan setelah trauma hati yang
terjadi parenkim hati dengan simpai hati utuh atau simpai yang telah dijahit
sewaktu
pembedahan
dapat
menyebabkan
hemobilia.
Hematom
dapat
10
berupa
dilaksanakan,
anastomosis
kecuali
untuk
ujung
trauma
dengan
ujung
iatrogenik,
yang
reparasinya
sangat
harus
jarang
segra
dilakukan saat itu juga. Kerusakan sistem saluran empedu akibat trauma saluran
empedu yang ujungnya compang camping . Prognosis kematian akibat trauma
hati murni sekitar 5% dan meningkat dengan bertambahnya jumlahtrauma alat
dalam lain yang menyertainya sampai mencapai 70% apabila ada lima atau lebih
organ lain yang terkena. Komplikasi selain perdarahan adalah infeksi paru,
11
infeksi luka operasi,abses subfrenik, dan abses hati. Selain itu, dapat terjadi fistel
empedu, striktur saluran empedu dan obstruksi usus. 3-6
II.4.4
Kolelitiasis
Merupakan penyakit batu empedu yang dapat ditemukan didalam
Batu kolesterol
Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kristal kolesterol dan
sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitat dan kalsium bilirubinat.
Proses pembentukan batu kolesterol melalui empat tahap, yaitu penjenuhan
empedu oleh kolesterol, pembentukan nidus, kristalisasi dan pertumbuhan batu.
Derajat pejenuhan empedu oleh kolesterol dapat dihitung melalui kapasitas daya
larut. Penjenuhan ini dapat disebabkan oleh bertambahnya sekresi kolesterol.
Peningkatan ekresi kolesterol empedu antara lain terjadi misalnya pada keadaan
obesitas, diet tinggi kalori dan kolesterol dan pemakaian obat yang mengandung
estrogen. Penjenuhan kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu,
kecuali ada nidus dan ada proses lain yang menimbulkan kristalisasi. Nidus dapat
berasal dari batu pigmen empedu, mukoprotein, lendir, bakteri atau benda asing
lainnya. Setelah kristalisasi meliputi nidus, akan terbentuk batu. Pertumbuhan
batu terjadi karena pengendapan kristal kolesterol diatas matriks inorganik dan
kecepatannya di tentukan oleh kecepatan relatif pelarutan dan pengendapan.
Mekanisme lain yang diusulkan bagi pembentukan batu, melibatkan
disfungsi vesika biliaris. Stasis akibat obstruksi mekanik atau fungsional, bisa
menyebabkan stagnasi empedu didalam vesika biliaris dengan resorpsi air
berlebihan dan merubah kelarutan unsur empedu. Penelitian menggambarkan
bahwa peradangan dinding kandung empedu bisa menyebabkan resorpsi garam
empedu berlebihan, perubahan dalam rasio lesitin/garam empedu serta sekresi
garam kalsium, mukoprotein dan debris organik sel. Perubahan ini bisa merubah
empedu hati normal menjadi empedu litogenik didalam vesika biliaris.
Batu pigmen
Terdapat 2 bentuk batu pigmen, yaitu batu pigmen murni yang lebih
umum dan batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen adalah batu yang kadar
kolesterolnya dibawah 25%. Seperti pembentukan batu kolesterol, terjadinya
batu
bilirubin
berhubungan
dengan
bertambahnya
usia.
Infeksi,
stasis,
terdapat
bakteri
gram
negatif
terutama
E.Coli.
Pada
batu
sirosis
hepatik.
Sebaliknya
jenis
kelamin,
obesitas
dan
gangguan
Patogenesis
Hepatolitiasis adalah batu empedu yang terdapat didalam saluran empedu
dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri. Batu tersebut umumnya
adalah batu pigmen yang berwarna coklat, lunak berbentuk lumpur dan rapuh.
Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus melalui
duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu
secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase
batu empedu berulang melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan
iritasi sehingga dapat menimbulkan peradangan dan striktur. Kalau batu terhenti
didalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tahanan oleh
striktur, batu tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus
Gambaran klinis
Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu adalah
asimptomatik. Keluhan yang mungkin timbul berupa dispepsia yang kadang
disertai dengan intolerans terhadap makanan berlemak. Pada yang simptomatik,
keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran atas kanan atau
prekordium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15
menit bahkan ada yang menghilang beberapa jam kemudian. Penyebaran nyeri
dapat ke punggung bagian tengah, skapula dan puncak bahu, disertai mual dan
muntah.
Lebih
kurang
seperempat
penderita
melaporkan
bahwa
nyeri
gelap yang hilang timbul. Pruritus ditemukan pada ikterik obstruktif yang
berkepanjangan dan lebih banyak di temukan pada tungkai daripada badan.
Pada
pemeriksaan
fisik
ditemukan
nyeri
tekan
dengan
punktum
Foto polos abdomen kadang dapat bermanfaat, tetapi tidak bisa mengenal
kebanyakan patologi saluran empedu. Hanya 15% batu empedu yang cukup
kalsium (radioopak) yang memungkinkan identifikasi pasti. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat di
lihat di foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu hidrops,
kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran
kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura
hepatika.
2. Barium Meal
Pemeriksaan kontras lambung dan duodenum jarang memberikan informasi
langsung terhadap penyakit saluran empedu, tetapi bermanfaat dalam arti
negatif dengan menyingkirkan penyakit ditempat lain, misalnya ulkus
duodeni atau refluk gastroesofagus.
3. Kolesistografi oral
Merupakan standar paling baik dalam diagnosis penyakit vesika biliaris. Zat
organik diiodinasi biasanya 6 tablet asam yopanat (telepaque) diberika per
oral pada malam sebelumnya dan pasien dipuasakan. Batu empedu atau
tumor tampak sebagai defek pengisian. Kolesistografi sangat sensitif dan
spesifik serta hasilnya mendekati 98% bila digunakan dengan tepat. Tes ini
tidak bermanfaat bila kadar bilirubin serum meningkat (diatas 2 mg/dl) atau
dengan adanya muntah, diare atau malabsorpsi dan ileus paralitik.
4. Kolesistografi intravena
Digunakan untuk memungkinkan visualisasi keseluruhan saluran empedu
ekstrahepatik. Tetapi resolusi radiografi sering buruk dan tes ini tidak dapat
diandalkan bila kadar bilirubin serum lebih dari 3 gm/dl. Tetapi test ini dapat
menimbulkan reaksi yang fatal, dan telah di gantikan dengan pemeriksaan
yang lebih aman.
5. USG
Perkembangan yang canggih dari USG telah menggantikan kolesistografi oral
sebagai tes penyaring bagi kolelitiasis. Karena USG tidak cukup akurat seperti
kolesistografi oral, maka kolesistogtafi oral tetap merupakan standar terbaik
dalam diagnosis batu empedu. Tetapi USG lebih cepat, tidak invasif dan tanpa
pemaparan radiologi, selain itu USG dapat di gunakan pada pasien yang
ikterik dan mencegah ketidak patuhan pasien dalam meminum zat kontras
oral. Kreteria diagnostik untuk kolelitiasis mencakup defek intralumen yang
berubah dengan perubahan posisi pasien atau menimbulkan bayangan
akustik.
6. CT-Scan
CT Scan tidak tepat digunakan dalam mendeteksi batu empedu, kecuali bila
batu tersebut mengandung kalsium dalam jumlah yang lumayan. Tetapi pada
16
Tatalaksana
bedah
dengan
kolesistektomi
profilaksis.
Indikasi
Koledokolitiasis
Apabila ada distensi perut perlu dipasang NGT. Dilakukan koreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, infus untuk atasi syok, antibiotika
sistemik dan pemberian vit K jika terdapat koagulopati. Ditangani baik secara
bedah maupun non bedah. Tatalaksana non bedah dengan ERCP dan ESWL.
Pemeriksaan endoskopi (ERCP) dapat membantu penegakan diagnosis sekaligus
dapat dilakukan sfingterotomi sebagai terapi definitif atau terapi sementara
sehingga memungkinkan lewatnya batu duktus koledokus secara spontan atau
untuk memungkinkan pembuangan batu dengan instrumentasi retrograd duktus
biliaris. Pemasangan stent biliaris retrograd melintasi striktura biliaris dapat juga
dilakukan dengan menggunakan pendekatan endoskopi ini. Tetapi apabila batu
duktus koledokus berdiameter >2 cm, ERCP tidak dapat mengeluarkan batu ini.
Maka
disarankan
dilakukan
litotripsi
ESWL
terlebih
dahulu.
Umumnya
oddi, harus dilakukan dilatasi dengan alat khusus atau dilakukan sfingterotomi
transduodenal. Setelah eksplorasi saluran empedu dan pengangkatan batu
secara sempurna, mungkin perlu memperbaiki pengaliran empedu dengan
koledokoduodenostomi latero-lateral. Tindakan ini dilakukan jika terdapat striktur
di duktus koledokus distal.
II.4.6. Kolesistitis Akut
Hampir semua kolesistitis akut terjadi karena sumbatan duktus sistikus
oleh batu yang terjebak di kantong Hartmann. Pada kolesistitis akut, faktor
trauma mukosa kandung empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan
fosfolipase yang mengubah lesitin di dalam kandung empedu menjadi lisolesitin,
senyawa yang memperberat proses peradangan. Komplikasi kolesistitis akut
adalah empiema, gangren dan perforasi. Perubahan patologi didalam kandung
empedu mengikuti pola khas. Proses awalnya berupa udem subserosa, lalu
perdarahan mukosa dan bercak-bercak nekrosis dan akhirnya fibrosis. Gangren
dan perforasi dapat terjadi pada hari ketiga setelah serangan sakit, tetapi
kebanyakan terjadi di minggu kedua.
Gambaran Klinik
Dari gejala, pasien menggambarkan mula-mula timbul nyeri akut atau
bertahap di kuadran kanan atas atau epigastrium yang serupa dengan kolik
bilier, yang tidak berhubungan dengan makanan, kadang nyeri tersebut menjalar
ke daerah belakang skapula. Berbeda dengan pasien kolik bilier yang gelisah dan
tidak mampu menemukan posisi yang nyaman, pasien kolesistitis tetep diam
karena gerakan dapat memperberat nyeri. Pada separuh penderita, dapat
disertai dengan mual dan muntah. Ikterus ringan dapat terjadi. Suhu badan
sekitar 38oC, apabila timbul demam dan menggigil, harus dicurigai komplikasi
yang lebih berat. Pada pemeriksaan laboratorium, jumlah leukosit meningkat
atau dalam batas normal. Apabila jumlah leukosit lebih dari 15000, harus
dicurigai komplikasi yang lebih berat. Kadar bilirubin yang meningkat sedang,
mungkin dikarenakan mirizzi sindrom atau penjalaran radang ke duktus
koledokus. Dari Ultrasonografi dapat memperlihatkan gambaran batu didalam
kandung empedu, lumpur empedu dan penebalan dinding kandung empedu.
Ultrasonografi dapat menggambarkan gangren dengan gambaran destruksi
dinding
atau
nanah
disekitar
kandung
empedu
pada
komplikasi
abses
18
terencana
dalam
72
jam
pertama
setelah
mulainya
serangan.
Kolesistektomi yang dilakukan lebih dari 72 jam setelah dimulainya gejala bisa
sangat sulit karena alasan teknik yaitu indurasi yang parah dan peradangan
subakut yang telah dibentuk dapat mengaburkan tanda. Kolesistekromi dini
harus dibedakan dengan kolesistektomi darurat. Adanya sepsis, demam tinggi
atau peritonitis generalisata menunjukkan komplikasi kolesistitis akut seperti
empiema atau perforasi.
19
Komplikasi
Komplikasi serius yang memerlukan intervensi bedah gawat darurat timbul
dalam sekitar 10% pasien kolesistitis akuta. Komplikasi paling sering terjadi pada
orang tua dan terutama pada penderita Diabetes Melitus. Proses peradangan
akut
dapat
melibatkan
organisme
virulen
pembentuk
gas
(kolesistitis
khusus.
Terapi
pelarutan
batu
empedu
saat
ini
tidak
20
dipraktekan lagi, kecuali bila ada resiko anestesi yang menghalangi, maka
semua pasien kolesistitis kronika simptomatik harus dilakukan pembedahan.
Pada penatalaksanaan bedah dilakukan kolesistektomi. 3-6
II.4.8.
lebih
menyerupai proses pencairan jaringan nekrosis multipel yang makin lama makin
besar dan bergabung membentuk apa yang disebut abses kebanyakan abses
hepar adalah soliter, steril dan terletak dilobus kanan dekat kubah diafragma.
Jarang ditemuka amuba di cairan tersebut.
Gejala Klinik
Para
penderita
abses
hati
tidak
selalu
ditemukan
riwayat
diare
sebelumnya. Diare hanya dialami oleh 20-50% penderita. Penyakit ini timbul
perlahan disertai demam, berkeringat dan berat badan menurun. Tanda lokal
21
yang paling sering adalah nyeri spontan dan nyeri tekan di daerah lengkung iga
dengan hepar yang membesar. Hepatomegali dan nyeri biasanya ditemukan,
tetapi jarang sekali disertai ikterus, prekoma atau koma. Bila lobus kiri terkena,
akan terdapat masa di epigastrium. Gejala khas adalah suhu tubuh yang tidak
lebih dari 38,50C.
Diagnosis
Untuk membuat diagnosis abses hati amuba, yang penting adalah
kesadaran akan penyakit ini. Bila ada nyeri daerah epigastrium kanan dan
hepatomegali serta demam yang tidak begitu tinggi, dugaan abses hepar harus
dipertimbangkan.
Riwayat
diare
dan
ditemukannya
amuba
dalam
feses
membantu diagnosis. Jumlah leukosit berkisar antara 5000 sampai 30000. Tetapi
umumnya antara 10000-20000. Kadar fosfatase alkali serum meningkat pada
semua tingkat abses amuba. Tes serologi titer amuba diatas atau sama dengan 1
: 128. Foto rontgen terlihat kubah diafragma kanan meninggi, efusi pleura, dan
atelektasis. Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan penting untuk membuat
diagnosis serta menentukan abses dan besarnya.
Tatalaksana
Terapi medis adalah dengan metronidazol atau tinidazol yang bersifat
amubisid. Dosisnya 50 mg/ kgBB/ hari dalam 10 hari. Terapi bedah berupa
aspirasi dan penyaliran. Teknik aspirasi dapat dilakukan secara buta, tetapi
paling baik jika dengan tuntunan USG. Aspirasi dapat dilakukan berulang-ulang
secara tertutup atau dilanjutkan dengan kateter penyalir. Cara aspirasi
menguntungkan karena tidak mengganggu fungsi vital, sedikit mempengaruhi
kenyamanan penderita, tidak menyebabkan kontaminasi peritoneum. Kontra
indikasi adalah jika terdapat asites dan struktur vital menghalangi jalannya
jarum. Penyaliran melalui laparotomi secara terbuka dilakukan bila pengobatan
dengan terapi konservatif gagal, termasuk aspirasi berulang. Indikasi lainnya
adalah jika abses hati lobus kiri yang terancam pecah ke rongga peritoneum dan
organ lain termasuk dinding perut dan infeksi sekunder yang tidak terkendali.
Komplikasi
Paling umumnya adalah perforasi abses ke berbagai rongga tubuh dan
kulit. Perforasi ke kranial dapat terjadi ke pleura (10-20%) dan perikard. Akan
terjadi efusi pleura yang besar dan luas yang memperlihatkan cairan coklat pada
22
jaringan
baik
dari
tumor
maupun
jaringan
hati
akan
mudah
Yang
terpenting
adalah
E.Coli,
Staphylococus
aureus,
Proteus,
23
Klebsiella,
Pseudomonas,
dan
bakteri
anaerob
seperti
Bacteroides
dan
Clostridium. Pada dua pertiga kasus dapat dibiakkan lebih dari satu organisme.
Kecurigaan kuman anaerob lebih besar bila nanah berbau busuk, gas dalam
abses dan tidak ada kuman pada pembiakkan aerob.
Gejala Klinik
Secara klinik ditemukan demam yang naik turun, rasa lemah, penurunan
berat badan dan nyeri perut. Nyeri terutama di bawah iga kanan atau pada
kuadran kanan atas. Dapat di jumpai pula gejala dan tanda efusi pleura. Nyeri
berkurang bila penderita berbaring pada sisi kanan. Demam hilang timbul atau
menetap bergantung pada jenis abses dan kuman penyebabnya. Dapat terjadi
ikterik, ascites dan diare. Ikterik terutama terdapat pada abses hati piogenik
karena penyakit saluran empedu yang disertai dengan kolangitis supurativa dan
pembentukan
abses
multiple.
Pada
pemeriksaan
mungkin
didapatkan
hepatomegali atau ketegangan pada perut kuadran lateral atas abdomen atau
pembengkakan di daerah interkostal. Dapat terjadi penyulit berupa pecahnya
abses ke dalam ronggal perut, dada atau perikard. Akan tetapi, banyak juga
tidak menunjukkan gejala khas.
Diagnosis
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit yang meningkat
dengan jelas walaupun beberapa kasus menunjukkan nilai normal. leju endapan
darah biasanya meningkat dan dapat terjadi anemia ringan. Fosfatase alkali
dapat
meningkat.
Prognosa
buruk
jika
kadar
serum
amino
transferase
meningkat. Dari pencitraan pada foto polos rontge, elevasi atau perubahan
diafragma kanan terlihat pada lebih 50% kasus. Dapat dijumpai pleuritis,
empiema, abses paru dan jarang fistel bronkopleura.
Tatalaksana
Pengobatan medis dengan antibiotika disesuaikan dengan test kepekaan
kuman. Bila hasil test belum ada, maka dapat digunakan kombinasi gentamisin,
metronidazol atau klindamisin. Pengobatan di lanjutkan dalam 2 bulan, kecuali
abses telah diatasi dengan pembedahan. Pengobatan bedah dilakukan jika
penderita tidak menunjukkan hasil baik dengan pengobatan non bedah.
Laparotomi dillakukan dengan sayatan subkostal kanan. Abses dibuka, dilakukan
penyaliran dicuci dengan larutan garam fisiologi dan larutan antibiotika serta
24
dipasang penyalir. Apabila letak abses jauh dari permukaan, penentuan lokasi
dilakukan dengan USG intraoperatif, kemudian dilakukan aspirasi jarum. 6
BAB III
PENUTUP
Masalah yang terdapat pada sistem hepatobilier terdiri atas masalah
kongenital, infeksi, neoplasma,trauma, dan masalah lain yang didapat. Masalah
kongenital dapat berupa atresia saluran empedu, masalah infeksi dapat berupa
kolesistitis baik akut maupun kronik,masalah neoplasma dapat berupa tumor
ganas saluran empedu,trauma dapat berupa trauma hepatobilier,masalah yang
didapat dapat berupa abses hati. Untuk mendiagnosis penyakit pada sistem
hepatobilier dibutuhkan pemeriksaan fisik abdomen dan pemeriksaan penunjang
yang sesuai dengan penyakit tersebut. Pada pemeriksaan abdomen, urutan
pemeriksaan dilakukan dimulai inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell
RS.Anatomi
Pankreas.In:Hartanto
H,dkk.Anatomi
klinik
untuk
mahasiswa kedokteran.Jakarta:EGC,2006.p.309-318.
2. Price
A.Kanker
pankreas.konsep
klinis
dan
proses
penyakit.
Jakarta:EGC,2005.p.507-9.
3. Dejong, W. Sjamsuhidajat, R. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta
2005:penerbit buku kedokterean ECG.p.663-705.
4. Bardiman
S.Tumor
hepatologi,penyakit
pankreas.In:Bardiman
pankreas,kantung
S.Kumpulan
kuliah
empedu.Jakarta:Fakultas
H.Cancer
of
pankreas.In:Michelle
F.Merck
manual
of
medical
26