Anda di halaman 1dari 102

TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PAJAK BUMI DAN

BANGUNAN DI INDONESIA

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh

MIA HASANAH
NIM : 106046103538

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH


PROGRAM STUDI MUAMALAT
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M

LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan
hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 01 September 2010

Mia Hasanah

TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PAJAK


BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh:
MIA HASANAH
106046103538

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH


PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M

TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PAJAK


BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh:
MIA HASANAH
NIM. 106046103538

Pembimbing I

Pembimbing II

Dra. Hafni Muchtar, SH, MH, MM

Dr. Alimin, M.Ag

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH


PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M

TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PAJAK


BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh:
MIA HASANAH
NIM. 106046103538

Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I

Pembimbing II

Dra. Hafni Muchtar, SH, MH, MM

Dr. Alimin, M.A


NIP. 197107011998032002

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH


PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010

PENGESAHAN PANITIA UJIAN


Skripsi yang berjudul Tinjauan Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan
Bangunan di Indonesia, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 September 2010.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam)

Jakarta, 24 September 2010


Dekan,

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA, MM


NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah


Ketua

: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H,M.A, M.M


NIP. 197107011998032002
(......................................)

Sekretaris

: H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H


NIP. 197407252001121001

(......................................)

Pembimbing I : Dra. Hafni Muchtar, S.H, M.H, M.M

(......................................)

Pembimbing II: Dr. Alimin, M.A


NIP. 197107011998032002

(......................................)

Penguji I

: Dr. Euis Amalia, M. Ag


NIP. 197107011998032002

(......................................)

Penguji II

: Abdurrauf, M.A
NIP. 197312152005011002

(......................................)

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pelaksanaan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) di Indonesia serta tinjauan Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi
dan Bangunan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan
menggunakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara penelitian studi
kepustakaan, yaitu dengan cara mempelajari, mendalami, dan mengutip teori-teori
atau konsep-konsep dari sejumlah literatur. Literatur yang digunakan berupa bukubuku tentang perpajakan baik itu buku perpajakan secara umum maupun buku yang
hanya membahas pajak bumi dan bangunan. Selain itu digunakan juga buku-buku
yang membahas ekonomi Islam baik itu buku terbitan dalam negeri maupun buku
terjemahan.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengenaan pajak terhadap
bumi dan bangunan yang dimiliki masyarakat untuk menciptakan kemaslahatan
umum PBB boleh dikenakan pada orang yang kaya sebagaimana prinsip maslahah
mursalah. Selain itu, pengenaan pajak pada harta kekayaan seseorang merupakan
salah satu cara distribusi harta dalam ekonomi Islam sehingga dapat membantu
mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat. Sementara untuk tarif pajak sebaiknya
digunakan tarif progresif di mana semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang maka
semakin tinggi pula pajak yang dikenakan.
Kata kunci:

Pajak Bumi dan Bangunan, distribusi harta kekayaan, tarif progresif.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin. Segala puji yang tidak ada hentinya bagi Allah


SWT yang telah memberikan kepada manusia akal dan pikiran sehingga menjadi
makhluk yang paling baik dan sempurna di dunia ini. Shalawat serta salam selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman yang telah
memberikan cahaya ilmu dan peradaban bagi manusia.
Menyadari dalam proses penulisan skripsi ini tidak luput dari bantuan moril
maupun materil pihak lain kepada penulis, maka sudah menjadi keharusan penulis
menghaturkan terima kasih yang paling dalam kepada pihak-pihak yang berjasa,
yaitu;
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag. dan Bapak Ah. Azharuddin Latif, M.Ag, Kepala
Prodi dan Sekretaris Prodi Muamalat yang telah mengabdikan waktu dan
tenaganya untuk membantu mahasiswa Muamalat dalam menjalani proses
pencarian ilmu di UIN Jakarta ini.
3. Ibu Dra. Hafni Muchtar, S.H., M.H., M.M., dan Dr. Alimin, M.Ag, Dosen
pembimbing dalam proses penulisan skripsi. Tiada yang dapat penulis ucapkan

vi

selain terima kasih yang sangat dalam atas arahan, bimbingan, dan kesabaran Ibu
dan Bapak sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mentransfer pengetahuannya
dan berbagi pengalaman hidup yang sangat menginspirasi penulis. Pak
Adiwarman, Pak Nadra, Bu Euis, Pak Azhar, Pak Gustian, Pak Djaka, Pak Ali
Sakti, dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
5. Ibunda yang selalu mencurahkan doa, kasih sayang dan perhatiannya kepada
penulis. Semoga Allah SWT memberikan selalu kasih sayangNya, selalu
melindungi, memberikan kesehatan dan semua yang terbaik kepada beliau. Juga
Ayahanda yang telah berpulang ke Ramhmatullah, namun kasih sayangnya selalu
dan akan tetap penulis rasakan. Semoga beliau diberi tempat yang terbaik di sisi
Allah SWT.
6. Abang-abangku (Ashari, Rohim, Zarkasih, Tajuddin, Abdul) dan kakak-kakakku
(Sadiah, Rohimah, Neneng, Indah) yang selalu memberikan kasih sayang dan
perhatiannya sehingga penulis tidak pernah kekurangan sesuatu apapun.
7. Keluarga Bpk. Mulyadi, Bpk. Ust. Obur Burhanuddin, Bpk. Slamet, Bpk.
Suwardi, Bpk. Wibowo, Bpk. Agus terima kasih atas persaudaraan yang telah
terjalin. Semoga semuanya selalu dirahmati oleh Allah SWT.
8. Adik-Adik yang cantik (Shinta, Ulfah, Fika, Ikah, Gaitsha, Zasqia) dan yang
ganteng (Faiz, Fikri, Aldo, Zidan, Faris, Rafi, Rafa) yang telah menjadikan hidup
penulis penuh dengan warna dan keceriaan.

vii

9. Teman-teman seperjuangan Perbankan Syariah angkatan 2006 semoga semuanya


mendapatkan yang terbaik dalam hidup. Terutama PS06A, aida, echa, nisa, rina,
ofi, vivi, putri, tety, faiz, hafidh, ihsan, zakky, dede, bashir, ukon, rico, bdul, izul,
rikza, utha, rizky, toyyib, agung, ali, nasir, satria, fauzi, fauzan, zams, hasan, bidu,
fitroh, niam, dedi, syahrul, lukman dan gunawan. Terima kasih atas keceriaan
dan kebersamaan selama empat tahun ini, semoga persaudaraan dan persahabatan
yang terjalin tidak pernah lekang oleh waktu.
Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan
kontribusi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Jakarta, Ramadhan 1431 H


September 2010 M

viii

DAFTAR ISI

ABSTRAK.................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR............................................................................................... vi
DAFTAR ISI......... ix
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...... 7
D. Kajian Pustaka....... 8
E. Metode Penelitian..... 10
F. Sistematika Penulisan... 12

BAB II

SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA


A. Perpajakan Secara Umum
1. Definisi Pajak dan Syarat Pemungutan Pajak......... 13
2. Pajak Negara dan Pajak Daerah.. 15
3. Fungsi Pajak dan Asas Pemungutan Pajak. 16
4. Sistem Pemungutan Pajak dan Tarif Pajak................. 18
B. Pajak Bumi dan Bangunan
1. Definisi Pajak Bumi dan Bangunan 21
2. Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia.... 21

ix

3. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan.. 24


4. Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan.... 25
5. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan. 27
6. Dasar pengenaan pajak dan Cara Perhitungan Pajak Bumi
dan Bangunan.... 27
7. Karakteristik Pajak Bumi dan Bangunan... 29
BAB III

SISTEM PERPAJAKAN DALAM EKONOMI ISLAM


A. Ekonomi Islam Secara Umum
1. Pengertian Ekonomi Islam.............. 31
2. Prinsip-prinsip dan Nilai-nilai Dasar Ekonomi Islam............ 33
B. Pajak dalam Ekonomi Islam
1. Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam..... 39
2. Pendapat Ulama tentang Pajak... 48
3. Karakteristik Pajak dalam Ekonomi Islam..... 55

BAB IV

TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PAJAK BUMI


DAN BANGUNAN DI INDONESIA
A. Konsep Kepemilikan Tanah dalam Ekonomi Islam. 57
B. Pajak Tanah dalam Ekonomi Islam.. 64
C. Analisa Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan
di Indonesia.. 69

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan.. 80
B. Saran.... 81

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Praktik pemungutan pajak tidak bisa dilakukan secara sembarangan tanpa
aturan, tetapi harus berdasarkan undang-undang sebagai dasar hukumnya. Dasar
hukum pajak diletakkan dalam pasal 23 ayat (2) UUD 1945 Republik Indonesia yang
berbunyi Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. 1
Begitu juga dengan ketentuan umum dan tata cara perpajakan diatur dalam Undangundang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
No. 16 Tahun 2009. Jadi, setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus
berdasarkan undang-undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang hanya dipungut
berdasarkan Keputusan Presiden atau berdasarkan Peraturan Pemerintah atau
berdasarkan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah dari pada undang-undang. 2
Berbagai macam cara dilakukan pemerintah untuk dapat mengingkatkan
pendapatan di sektor pajak karena pajak merupakan pemasukan negara terbesar
dibandingkan sektor lainnya. Berikut ini adalah table yang menyajikan penerimaan
negara dari sektor dalam negeri pada tahun 2008 dan 2009:

Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Edisi Revisi,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2004), hal. 7.
2
B. Wiwoho. (Ed.), Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1992), hal. 39.

Tabel 1 3
PENERIMAAN DALAM NEGERI TAHUN 2008 DAN 2009 (dalam miliar rupiah)
Perpajakan

Bukan Pajak

Jumlah

Tahun
Nilai

Nilai

Nilai

2008

633.818,9

66,1

325.698,1

33,9

959.517,0

100

2009

725.843,0

73,7

258.943,6

26,3

984.786,5

100

Sumber: Data Pokok APBN 2008 dan 2009 Dep. Keu. RI


Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa penerimaan negara

dari sektor

perpajakan mencapai Rp 725.843,0 miliar pada tahun 2009. Dengan demikian, sektor
pajak memberikan kontribusi sebanyak 73,7% dari seluruh penerimaan dalam negeri
yang berjumlah Rp 984.786,5 miliar pada tahun 2009. Sedangkan sektor bukan
perpajakan hanya memberikan kontribusi sebesar Rp 258.943,6 atau sekitar 26,3 %
dari penerimaan negara.
Dari 231 juta jiwa jumlah penduduk di Indonesia hanya sekitar 15 juta jiwa
yang memiliki NPWP. 4 Hal ini mengindikasikan bahwa potensi pajak di Indonesia
masih sangat besar untuk lebih dieksplor. Oleh karena itu, pemerintah terus
melakukan sosialisasi tentang pentingnya masyarakat membayar pajak karena
memang kepatuhan seseorang dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya

http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/download/Data%20Pokok%202009%20Indonesia%2
0rev1.pdf, diakses pada tanggal 14 Maret 2010
4
www.pajak123.com/trik-pajak/jumlah-npwp-lampaui-target-per-agustus-2009-1505-juta,
diakses pada tanggal 14 Maret 2010

haruslah didukung oleh pemahanan akan fungsi serta pentingnya pajak bagi
kelangsungan suatu negara.
Pajak merupakan harta yang dipungut dari rakyat untuk keperluan pengaturan
negara (fungsi pajak sebagai regulerend) dan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara

(fungsi pajak sebagai budgetair) baik untuk belanja rutin

maupun pembangunan

infrastuktur. 5 Dengan membayar pajak rakyat tidak

mendapatkan prestasi balik secara langsung (kontraprestasi), namun rakyat akan


menikmati hasil dari pembayaran pajak tersebut melalui fasilitas-fasilitas umum yang
dibuat oleh pemerintah baik itu sekolah, rumah sakit, jalan raya, jembatan dan lain
sebagainya.
Pajak di Indonesia sangat beragam jenisnya. Di bawah ini akan disajikan
beberapa jenis pajak dan besaran jumlah pajak yang memberikan kontribusi terhadap
penerimaan negara pada tahun 2008 dan 2009.
Tabel 2 6
PENERIMAAN PERPAJAKAN TAHUN 2008 DAN 2009 (dalam miliar rupiah)
Uraian

2008

2009

599.160,7

697.347,0

1. Pajak Penghasilan

318.027,8

357.400,5

2. Pajak Pertambahan Nilai

199.785,2

249.508,7

A. Pajak Dalam Negeri

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah dengan Kebijakan


Pertanahan di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), hal. 7
6
http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/download/Data%20Pokok%202009%20Indonesia%2
0rev1.pdf

3. Pajak Bumi dan Bangunan

25.525,5

2 8.916,3

4. BPHTB

5.529,3

7.753,6

5. Cukai

46.967,5

49.494,7

6. Pajak lainnya

3.325,4

4.273,2

34.658,2

28.496,0

1. Bea Masuk

19.799,9

19.160,4

2. Pajak ekspor/Bea keluar

14.858,3

9.335,6

633.818,9

725.843,0

B. Pajak Perdagangan Internasional

Jumlah

Sumber: Data Pokok APBN 2008 dan 2009 Dep. Keu. RI


Berdasarkan tabel di atas, salah satu dari

lima besar penerimaan yang

menghasilkan dana bagi negara adalah Pajak Bumi dan Bangunan (selanjutnya
disebut PBB) yaitu sebesar Rp 28.916,3 miliar. PBB merupakan salah satu
pendapatan negara yang langsung dipungut dari wajib pajak, baik perseorangan
maupun badan hukum yang menikmati hasil atau menguasai bumi dan bangunan
yang dilekatkan di atas bumi dengan berbagai macam konstruksi bangunan. Objek
dari PBB ini adalah bumi dan/ bangunan, sedangkan subjek yang membayar PBB ini
adalah siapa saja yang memiliki maupun memperoleh manfaat atas bumi dan
bangunan. 7 Sistem tarif yang digunakan dalam PBB tidak menggunakan tarif
progresif melainkan menggunakan tarif proporsional sebesar 0,5%.

Rimsky K. Judisseno, Perpajakan , (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 145.

PBB berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 berdasarkan Undang-Undang


tentang Pajak Bumi dan Bangunan No. 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan
UU PBB No. 12 Tahun 1994. 8
Ketentuan di dalam UU PBB harus mempertimbangkan kepentingan dan
kondisi masyarakat selaku wajib pajak. Dimana kemampuan membayar wajib pajak
perlu diperhatikan karena hal tersebut menyangkut masalah keadilan. Banyak keluhan
dari wajib pajak yang merasa tidak mampu membayar PBB karena jumlah pajak
terutang yang dikenakan terhadap mereka jauh di atas kemampuannya, misalnya para
pensiunan yang menempati rumah-rumah di jalan protokol. Demikian pula dengan
para petani yang mengandalkan pemenuhan kewajiban pembayaran PBB dari hasil
panen. 9
Asas perpajakan yang utama adalah asas keadilan yang merupakan maksim
yang pertama dari The Four Maxim-nya Adam Smith, yaitu equality. 10 Begitupun
dalam sistem Ekonomi Islam sistem perpajakan harus seirama dengan spirit Islam
yaitu keadilan. Menurut beberapa tokoh ekonom muslim, sistem perpajakan di sebut
adil bila memenuhi tiga kriteria, antara lain: Pertama, pajak harus dipungut untuk
membiayai hal-hal yang benar-benar dianggap perlu dan untuk mewujudkan
kepentingan maqashid: Kedua, beban pajak tidak boleh terlalu memberatkan
dibandingkan dengan kemampuan orang untuk memikulnya dan beban tersebut harus

Rochmat Soemitro dan Zainal Muttaqin. Pajak Bumi dan Bangunan. Edisi Revisi.
(Bandung: Refika Aditama. 2001), hal. 1
9
Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal.47
10
Ibid, hal.182

didistribusikan secara adil di antara semua orang yang mampu membayar; Ketiga,
dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan yang karenanya
pajak diwajibkan. Sistem pajak yang tidak memenuhi kriteria-kriteria tersebut
dianggap sebagai penindasan pemerintah terhadap rakyat. 11
Merujuk pada uraian di atas, maka dalam penelitian ini penulis akan meneliti
tentang TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN DI INDONESIA.

B. PEMBATASAN MASALAH DAN PERUMUSAN MASALAH


Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan suatu negara. Setiap pajak
yang dikenakan kepada masyarakat memiliki dasar hokum yang jelas atau
berdasarkan undang-undang. Hasil dari pemungutan pajak idealnya digunakan untuk
membiayai berbagai macam kebutuhan yang ada di suatu negara baik itu untuk
pembangunan infrastruktur, membiayai sektor pertanian, sektor pendidikan dan
sebagainya. Berbagai jenis pajak ada di Indonesia antara lain Pajak Penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak
lainnya.
Agar penelitian ini lebih terarah dan fokus, maka masalah-masalah dalam
penelitian ini dibatasi hanya pada Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia yang

11

295

M. Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal.

mencakup pengertian, sejarah, dasar hukum, tarif penghitungan, subjek dan objek
Pajak Bumi dan Bangunan serta tinjauan ekonomi Islam terhadapnya.
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka permasalahan penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1.

Apakah Pajak Bumi dan Bangunan dibolehkan dari sisi Ekonomi Islam?

2.

Apakah objek Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia sesuai dengan konsep
distribusi kekayaan dalam Ekonomi Islam?

3.

Apakah tarif Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia sesuai dengan prinsip
keadilan dalam Ekonomi Islam?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


Merujuk pada rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai
melalui penelitian ini adalah:
1.

Untuk mengkaji dan mengetahui pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan di


Indonesia.

2.

Untuk mengkaji dan mengetahui tinjauan Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi
dan Bangunan di Indonesia.
Hasil penelitian Tinjauan Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan

di Indonesia ini diharapkan memberikan sejumlah manfaat, antara lain:


1.

Secara teoritis/akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya


khasanah kepustakaan pendidikan, khususnya mengenai tinjauan Ekonomi Islam

terhadap Pajak Bumi dan Bangunan serta dapat menjadi bahan masukan bagi
mereka yang berminat untuk menindaklanjuti hasil penelitian ini.
2.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi serta
menjadi bahan masukan bagi para pengambil kebijakan untuk selalu
mempertimbangkan kesejahteraan rakyat setiap kali mengambil keputusan.

D. KAJIAN PUSTAKA
Berikut pemaparan dari beberapa skripsi yang terkait dengan tema penulis
antara lain:
1.

Penelitian yang dilakukan oleh Pipih (Mahasisiwi Perbankan Syariah UIN


Jakarta) yang berjudul Kontribusi Pemikiran Abu Yusuf terhadap Konsep
Pajak. Penelitian yang dilakukan pada 2004 ini fokus pada penjelasan
mengenai konsep Abu Yusuf dalam manajemen keuangan publik berdasarkan
realitas historis yang pernah dipraktekkan, serta analisa pemikiran tentang pajak
yang memiliki signifikansi ekonomi yang besar pada saat ini. Dari metode
penelitian, penelitian yang dilakukan oleh Pipih menggunakan pendekatan
kualitatif. Kemudian instrument pengumpulan data yang digunakan adalah
dengan metode analisa deskriptif.

2.

Penelitian yang dilakukan oleh Evan Sofian (Mahasiswa Perbankan Syariah UIN
Jakarta) yang berjudul Konsep Pajak Yaqub bin Ibrahim bin Saad alAnshor (Abu Yusuf) pada 2004. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian kualitatif dengan metode analisa deskriptif. Penelitian ini membahas

tentang prinsip dan sistem pemungutan pajak menurut Abu Yusuf serta tujuan
dan manfaat pemungutan pajak.
3.

Penelitian yang dilakukan oleh Lisda Malau (Mahasisiwi Perbankan Syariah UIN
Jakarta) pada 2004 dengan judul Tinjauan Hukum Islam terhadap Sistem
Perpajakan Modern. Penelitian ini fokus membahas tentang Pajak
Penghasilan (PPh) yang mencakup sistem perpajakan modern, fungsi pajak di
Indonesia, dan tinjauan hukum Islam terhadap Pajak Penghasailan.

4.

Penelitian yang dilakukan oleh Andry Kurniawan (Mahasisiwa Perbankan


Syariah UIN Jakarta) pada 2009 dengan judul Praktik Pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai dalam Perspektif Hukum Islam. Penelitian ini
membahas tentang teori dan aplikasi praktik pemungutan PPN menurut hukum
Islam dengan metode peneltian yaitu penelitian kualitatif normatif. Dari
penelitian tersebut disimpulkan bahwa praktik pemungutan PPN tidak
dibenarkan dalam hukum Islam, karena tidak adanya kejelasan pengkonsumsian
barang/jasa yang halal ataupun yang haram.
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis berbeda dengan keempat

penelitian di atas. Perbedaan tersebut terletak pada objek penelitian. Objek penelitian
penulis adalah praktik Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia yang akan dianalisa
menurut tinjauan Ekonomi Islam berdasarkan dasar hukum pemungutan Pajak Bumi
dan Bangunan, konsep distribusi kekayaan pada objek yang dikenakan Pajak Bumi
dan Bangunan serta prinsip keadilan pada tarif yang dikenakan dalam Pajak Bumi
dan Bangunan.

10

E. METODE PENELITIAN
1.

Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah


penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang tidak mengadakan penghitungan
matematis, statistik, dan lain sebagainya. 12
Secara keseluruhan pendekatan penelitian yang digunakan dalarn
penulisan skripsi ini adalah pendekatan normatif yang bersumber dari bahan
bacaan yang dilakukan dengan cara penelaahan naskah. Bilamana terdapat datadata empiris, maka hal itu dimaksudkan hanya untuk mempertajam analisa dan
menguatkan argumentasi penelitian.
2.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian studi


kepustakaan (Library Research), yaitu dengan cara mempelajari, mendalami, dan
mengutip teori-teori atau konsep-konsep dari sejumlah literatur baik buku, jurnal,
majalah, koran atau karya tulis lainnya yang relevan dengan topik ,fokus atau
variabel penelitian.
Sumber data yang digunakan oleh penulis adalah sumber data primer dan
sekunder. Data primer pada skripsi ini merujuk pada buku-buku yang khusus
membahas tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta perpajakan secara

12

Lexy Maloeng, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, (Bandung: PT Renlaja Rosda
Karya, 1997), cet. Ke-8, hal. 6.

11

keseluruhan. Sedangkan untuk data sekunder adalah seluruh literatur. yang


berhubungan dengan Ekonomi Islam secara umum atau literatur lain yang dapat
memberikan informasi tambahan pada judul yang akan diangkat dalam skripsi
ini, yaitu: buku, majalah, jurnal, artikel, dan lainnya.
3.

Metode Analisa Data

Dalam mengolah data dan menganalisa data penulis menggunakan metode


content analisys yaitu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang
dapat ditiru (replicable). 13 Metode yang digunakan adalah metode deskriptif
analisis. Deskripsif berarti penulis menjelaskan secara apa adanya tentang Pajak
Bumi dan Bangunan yang diterapkan di Indonesia, kemudian dianalisis dari
tinjauan ekonomi Islam.
4.

Pedoman Penulisan Skripsi

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada "Pedoman Penulisan


Skripsi Tahun 2007" yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.

13

hal. 173.

Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004),

12

F. SISTEMATIKA PENULISAN
Skripsi ini disajikan dalam lima bab, yaitu sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi uraian mengenai latar belakang
masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kajian kepusatakaan, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II merupakan kerangka teori yang berisi uraian teoritik mengenai
permasalahan yang akan diteliti antara lain tentang pengertian PBB,
sejarah PBB, dasar hukum PBB, sujek dan objek PBB, tarif dan
perhitungan PBB serta karakteristik dari PBB.
Bab III berisi uraian umum tentang Ekonomi Islam, meliputi pengertian Ekonomi
Islam, prinsip dasar, nilai-nilai Ekonomi Islam, kebijakan fiskal dalam
Ekonomi Islam, pendapat ulama tentang pajak, dan karakteristik pajak
dalam Ekonomi Islam.
Bab IV merupakan bagian analisis dan pembahasan yang berisi analisis
permasalahan, nterpretasi dan disertai dengan pembahasan hasil
penelitian tentang tinjauan Ekonomi Islam terhadap PBB di Indonesia.
Bab V merupakan bab penutup. Pada bagian ini disarikan kesimpulan hasil
penelitian disertai rekomendasi dalam bentuk saran-saran yang relevan.

13

BAB II
SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA

A. Perpajakan Secara Umum


1.

Definisi Pajak dan Syarat Pemungutan Pajak


Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro adalah iuran rakyat kepada kas

negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat


jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 1
Sedangkan pajak menurut Soeparman Soemahamidjaja adalah iuran wajib,
berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma
hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam
mencapai kesejahteraan umum. 2
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur: 3
a.

Iuran rakyat kepada negara.


Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang
(bukan barang).

b.

Berdasarkan undang-undang.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaanya.
1

Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2008), hal. 1


Erly Suandy, Hukum Pajak, Edisi Revisi, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2002), hal.9
3
Mardiasmo, Perpajakan, hal. 1
2

14

c.

Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung
dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.

d.

Digunakan untuk membiayai rumah tanggga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Syarat Pemungutan Pajak 4


Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.

Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)


Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan
pelaksanaan

pemungutan

harus

adil.

Adil

dalam

perundang-undangan

diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan


dengan kemampuan masing-masing. Sedang adill dalam pelaksanaanya yakni
dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan,
penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis
Pertimbangan Pajak.
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan
jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun bagi
warganya.

Mardiasmo, Perpajakan, hal. 2.

15

c.

Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)


Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran produksi maupun perdagangan,
sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

d. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)


Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga
lebih rendah dari hasil pemungutannya.
e.

Sistem pemungutan pajak harus sederhana


Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorongg
masyarakat dalam memwnuhi kewajiban perpajakannya.
Contoh:

Bea Materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.

Tarif PPN yang veragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu
10%.

Pejak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan


disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan
hukum maupun perseorangan.

2.

Pajak Negara dan Pajak Daerah


Pajak negara yang sampai saat ini masih berlaku adalah: 5
a.

Pajak Penghasilan (PPh)

Mardiasmo, Perpajakan, hal. 11.

16

b.

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN &
PPn BM)

c.

Bea Materai

d.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

e.

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Pajak daerah dibagi menjadi 2 bagian: 6


a.

Pajak Propinsi, antara lain Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak


Pengambilan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, dan lain-lain.

b.

Pajak Kabupaten atau kota, antara lain Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Parkir, dan lain-lain.

3.

Fungsi Pajak dan Asas Pemungutan Pajak


Ada dua fungsi pajak, yaitu: 7
a. Fungsi Budgetair/fungsi finansial
Yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara sebagai sumber
dana untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
Fungsi Regulerend/fungsi mengatur

b.

Yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di


bidang ekonomi, sosial maupun politik dengan tujuan tertentu.
Contoh:

6
7

Mardiasmo, Perpajakan, hal. 13.


Erly Suandy, Hukum Pajak, hal. 13-14.

17

Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi


konsumsi minuman keras.
Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif.
Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk
Indonesia di pasar dunia.
Asas Pemungutan Pajak
Dalam buku An Inguiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations
yang ditulis oleh Adam Smith pada abad ke-18 mengajarkan tentang asas-asas
pemungutan pajak yang dikenal dengan four canons atau The Four Maxims antara
lain: 8
a.

Equality
Pembebanan pajak kepada subjek pajak hendaknya seimbang dengan
kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah
perlindungan pemerintah. Dalam hal ini tidak boleh suatu negara mengadakan
diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama wajib
pajak harus diperlakukan sama dan dalam keadaan berbeda wajib pajak harus
diperlakukan berbeda.

Erly Suandy, Hukum Pajak, hal. 27-28.

18

b. Certainty
Pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal
kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan
adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai
pembayarannya.
c.

Convenience of payment
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak,
yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan keuntungan
yang dikenakan pajak.

d. Economic of collection
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin,
jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu
sendiri. Karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan
lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.

4.

Sistem Pemungutan Pajak dan Tarif Pajak


Sistem pemungutan pajak ada beberapa macam antara lain: 9
a.

Official Assessment System


Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh
Wajib Pajak.

Mardiasmo, Perpajakan, hal. 7-8.

19

Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
2) Wajib Pajak bersifat pasif.
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang
kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib
Pajak sendiri.
2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang.
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c.

With Holding System


Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak.
Ciri-cirinya : wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang
ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.

20

Tarif Pajak
Ada empat macam tarif pajak: 10
a.

Tarif sebanding/proporsional
Tarif berupa persentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai
pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya
nilai yang dikenai pajak.
Contoh : tarif 10% dalam Pajak Pertambahan Nilai dan tarif 5% dalam Pajak
Bumi dan Bangunan.

b. Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang
dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh : Tarif Bea Meterai untuk cek dan bilyet giro sebesar Rp 1.000,c.

Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai
pajak semakin besar.
Contoh: Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.

d. Tarif degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai
pajak semakin besar. Di Indonesia, tarif ini tidak digunakan.

10

Mardiasmo, Perpajakan, hal. 9-10.

21

B. Pajak Bumi dan Bangunan


1.

Definisi Pajak Bumi dan Bangunan


Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang dikenakan atas bumi
dan/atau bangunan. Dalam Pasal 1 UU Pajak Bumi dan Bangunan, Bumi adalah
permukaan bumi (perairan) dan tubuh bumi yang berada di bawahnya.
Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan/atau perairan yang diperuntukkan sebagai tempat
tinggal, atau tempat berusaha, atau tempat yang dapat diusahakan. 11

2.

Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia


Sejarah pemungutan pajak di Indonesia bermula dari keberadaan VOC di
Indonesia pada tahun 1619. 12 Berdasarkan kedaulatan yang diberikan oleh
pemerintah Kerajaan Belanda, VOC beranggapan bahwa tanah-tanah yang
dikuasainya adalah miliknya. Pajak tanah ditetapkan pada tahun 1685, yang
besarnya adalah 0,25% dari harga tanah dan berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga)
tahun. Pajak ini merupakan cikal bakal dari Pajak Verpoding, yaitu pajak tanah
yang dikenakan pada bidang tanah dengan hak-hak barat atau Eropa. 13
Tanggal 1 Januari 1800, VOC dibubarkan dan wilayah Indonesia
dikuasai Kerajaan Belanda, yang terkenal dengan nama Bataafsche Republiek.

11

Rochmat Soemitro dan Zainal Muttaqin, Pajak Bumi dan Bangunan, hal. 2.
Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 46
13
Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 47
12

22

Pada saat itu di Belanda sedang terjadi perubahan konsep tentang cara mengelola
tanah jajahan, yang dijiwai asas liberalisme. 14
Namun pada tahun 1806, Belanda dijajah oleh Perancis, kemudian
Belanda dijadikan Kerajaan Holland yang dipimpin oleh Louis Napoleon.
Tahun 1801 sampai dengan tahun 1806, Herman Willem Daendels yang
diangkat

sebagai

Gubernur

Jenderal

yang

pertama.

Ia

melaksanakan

pemerintahan dengan mengurangi kekuasaan serta hak-hak bupati, terutama yang


menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga kerja yang sesuai dengan
prinsip kebebasan berdagang. Untuk membangun jalan raya dari Anyer ke
Panarukan, Deandels mewajibkan rakyat menyerahkan 1/5 bagian dari hasil
panennya dengan penerapan sanksi yang sangat berat bagi para pelanggarnya,
yaitu lima tahun penjara.
Ketika pulau Jawa dikuasai oleh Inggris, pemerintahan dipimpin oleh Sir
Thomas Stanford Raffles. Ia menerapkan sistem sewa tanah (Land Rent). Ide
tersebut didasari anggapan bahwa Inggris memiliki tanah jajahannya (teori
domein), sedangkan rakyat Indonesia dianggap sebagai penggarap saja, sehingga
wajib membayar sewa. 15
Setelah Indonesia dikuasai kembali oleh Belanda, di pulau Jawa terjadi
pemberontakan Pangeran Diponegoro, yang menelan biaya sangat banyak,
sehingga jenderal Van de Bosch menetapkan kultuurstelsel (tanam paksa)

14

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal.48.


Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 49

15

23

sebagai pengganti Land Rent. Sistem tanam paksa mewajibkan rakyat untuk
menyerahkan hasil tanaman yang dapat diekspor, dengan ketentuan bahwa 20%
dari hasil garapan wajib ditanami dengan jenis tanaman wajib yang hasilnya laku
di Eropa. 16
Pada masa penjajahan Jepang, Land Rent berganti nama menjadi pajak
tanah dan pada tahun 1944 namanya diganti lagi menjadi pajak bumi.
Peraturannya tidak mengalami perubahan, akan tetapi sejalan dengan peperangan
yang dilakukan pemerintah Japang, dibutuhkan dana yang lebih banyak sehingga
rakyat semakin menderita sebagi akibat dari ketentuan bahwa rakyat diwajibkan
untuk menyerahkan 60% dari hasil panennya yang pada akhirnya menimbulkan
kelaparan di mana-mana.
Meskipun Indonesia telah merdeka, semua pajak-pajak yang dikenakan
berdasarkan peraturan zaman kolonial masih tetap diberlakukan, serperti di Jawa,
Madura, Lombok, dan Sulawesi Selatan telah diselenggarakan suatu pendaftaran
tanah Indonesia dengan tujuan untuk pemungutan pajak bumi (Fiscale
Kadaster). 17 Namun setelah negara-negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
dihapuskan, pada tahun 1952, Indonesia mendapatkan kedaulatan secara penuh,
kemudian diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1952 (Lembaran
Negara 1952 Nomor 43). Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan secara
tegas bahwa di seluruh Indonesia berlaku semua undang-undang pajak, baik

16

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 50.


Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 52.

17

24

yang berasal dari zaman kolonial maupun yang berasal dari masa RIS dan yang
berasal dari Negara Republik Indonesia. Dengan menyebutkan undang-undang
pajak satu persatu, pada tahun 1959, Pajak Bumi ini dirubah dengan nama Pajak
Hasil Bumi, pengenaan pajak tidak didasarkan atas nilai dari tanah, tetapi
berdasarkan hasil yang diperoleh dari tanah, padahal hasil dari tanah telah
dikenakan pajak pendapatan, yang pada waktu itu telah dikenakan dengan istilah
Overgangsbelasting (pajak peralihan). 18
Tahun 1952, Pajak Hasil Bumi, pengenaannya didasarkan atas hasil yang
dikeluarkan dari tanah, yang juga merupakan objek pajak dari pajak penghasilan
dihapuskan dan pada tahun 1959 pajak atas hasil bumi dipungut lagi dengan
nama Iuran Pemungutan Daerah (IPEDA), yang merupakan pajak pemerintah
pusat, namun pemungutan dan pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah
daerah dan dipergunakan untuk membiayai pembangunan daerah. Pada dasarnya
IPEDA menggantikan fungsi dari Verpoding, Inlandsverpoding dan Pajak Hasil
Bumi yang dikenakan atas harta tak bergerak (tanah).
3.

Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan


Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-undang
No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12
Tahun 1994. 19

18

Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 53.


Mardiasmo, Perpajakan, hal. 315.

19

25

4.

Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan


Subjek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak
atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat bangunan (Pasal 4 Ayat 1 UU PBB).
Jika Subjek Pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak
Objek Pajak sedangkan perawatannya dikuasakan kepada orang atau badan,
maka orang atau badan tersebut dapat ditunjuk sebagai Wajib Pajak oleh Direktur
Jenderal Pajak. Namun penunjukkan tersebut bukan merupakan bukti
kepemilikan.
Subjek Pajak yang ditetapkan seperti itu, dapat memberikan keterangan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak
terhadap Objek Pajak yang dimaksud. Apabila keterangan yang telah diajukan
oleh Wajib Pajak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan
penetapan sebagai Wajib Pajak dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya
surat keterangan yang dimaksud. Namun demikian, apabila tidak disetujui,
Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan disertai dengan
alasan-alasan. Selanjutnya setelah jangka waktu satu bulan sejak diterima
keterangan ternyata Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan,
keterangan yang telah dijukan dianggap disetujui. 20

20

Waluyo, Perpajakan Indonesia: Pembahasan Sesuai dengan Ketentuan Perundangundangan Perpajakan dan Aturan Pelaksanaan Perpajakan Terbaru, (Jakarta: Penerbit Salemba
Empat, 2004), hal. 474.

26

Objek Pajak Bumi dan Bangunan 21


a.

Objek Pajak yang dikenakan PBB


Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa objek Pajak Bumi dan
Bangunan adalah bumi dan bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh
bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu
kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut.
2) Jalan TOL.
3) Kolam renang.
4) Pagar mewah.
5) Tempat olah raga.
6) Galangan kapal, dermaga.
7) Taman mewah.
8) Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak.
9) Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

b. Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB


Kategori Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan
adalah Objek Pajak yang:
21

Waluyo, Perpajakan Indonesia, hal. 474-475.

27

1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang


ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
2) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu.
3) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak.
4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik.
5) Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.
5.

Tarif Pajak Bumi dan Bangunan


Dalam Pasal 5 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, tarif yang
dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 % (lima persepuluh persen).

6. Dasar Pengenaan Pajak dan Cara Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Dalam
Pasal 1 Ayat 3 UU PBB No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah dengan
UU PBB No. 12 Tahun 1994, NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi

28

jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang
sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti. 22
Dasar perhitungan pajak:
a. Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang ditetapkan
serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP.
b. Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.46
Tahun 2000 Tanggal 26 Juni 2000 yang diberlakukan mulai tahun 2001
adalah:
1) Sebesar 40% dari NJOP
a) Objek Pajak perkebunan
b) Objek Pajak kehutanan
c) Objek Pajak lainnya, apabila NJOP Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)

atau lebih, sebagai contoh perumahan.


2) Sebesar 20% dari NJOP
a) Objek Pajak pertambangan
b) Objek Pajak lainnya, apabila NJOP kurang dari Rp 1.000.000.000 (satu

miliar rupiah).
Cara menghitung Pajak Bumi dan Bangunan Terutang:

PBB Terutang = Tarif Pajak x % NJKP x NJOP untuk perhitungan pajak

22

Waluyo, Perpajakan Indonesia, hal. 476.

29

Contoh perhitungan PBB:


Tuan Abadi mempunyai Objek Pajak berupa:

a. Tanah seluas 1.000 m2 dengan harga jual Rp 400.000,- per m2


b. Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp 350.000,- per m2
c. Taman mewah seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp 100.000,- per m2
d. Pagar mewah sepanjang 150 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan
nilai jual Rp 200.000,- per m2
Penghitungan Nilai Jual Kena Pajak:

a.

Tanah 1.000 x Rp 400.000,-

= Rp 400.000.000,-

b.

Bangunan 400 x Rp 350.000,-

= Rp 140.000,000,-

c.

Taman mewah 200 x Rp 100.000,-

= Rp 20.000.000,-

d.

Pagar mewah 150 x 1,5 x Rp 200.000,-

= Rp 45.000.000,- +

NJOP sebagai Dasar Pengenaan Pajak

= Rp 605.000.000,-

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak

= Rp ( 8.000.000,-)

NJOP untuk penghitungan pajak

= Rp 597.000.000,-

PBB Terutang = 0,5% x (20% x Rp 597.000.000,-) = Rp 597.000,-

7.

Karakteristik Pajak Bumi dan Bangunan


a.

PBB termasuk pajak objektif dimana yang dipentingkan adalah objeknya,


sehingga keadaan atau status subjek pajak tidak penting dan tidak
mempengaruhi besarnya pajak.

30

b.

Sistem pemungutan PBB menggunakan official assessment dimana pajak


dipungut dengan surat ketetapan pajak yang dikeluarkan tiap tahun atau
disebut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).

c.

PBB merupakan pajak langsung yang dipikul sendiri oleh wajib pajak.

d.

PBB merupakan Pajak Pemerintah Pusat yang hasilnya diserahkan kepada


Pemerintah Daerah.

31

BAB III
SISTEM PERPAJAKAN DALAM EKONOMI ISLAM

A. Ekonomi Islam Secara Umum


1.

Pengertian Ekonomi Islam


Ekonomi Islam didefinisikan secara beragam oleh para pakar ekonomi Islam,

diantaranya adalah Muhammad Abdul Mannan. Ia berpendapat bahwa yang


dimaksud dengan ekonomi Islam adalah pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. 1
Adapun menurut Yusuf Qardhawi ekonomi Islam adalah ekonomi Ilahiah,
karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah dan cara-caranya
tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi,
penukaran, dan distribusi, diikatkan pada prinsip Ilahiah dan pada tujuan Ilahi. 2
Ekonomi Islam yang dikemukakan oleh Umer Chapra adalah sebuah
pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi
dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada dalam koridor yang mengacu
pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku
makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan. 3

M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa,
1997), h. 19
2
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press,
1997), hal. 25.
3
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,(Jakarta: Kencana, 2007), hal.
16

32

Sedangkan menurut Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy ekonomi Islam


adalah respon pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada masa tertentu.
Dalam usaha keras ini mereka dibantu Al-Quraan dan Sunnah, akal (ijtihad) dan
pengalaman. 4
Jadi, pengertian dari ekonomi Islam adalah studi tentang problem-problem
ekonomi dan institusi yang berkaitan dengannya atau ilmu yang memperlajari tata
kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya untuk mencapai ridho Allah.
Tujuan dari ekonomi Islam itu sendiri sesuai dengan maqashid syariah untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat melalui tata kehidupan yang baik atau sesuai
dengan syariat Islam.
Dari definisi ini terdapat tiga cakupan utama dalam ekonomi Islam, yaitu tata
kehidupan, pemenuhan kebutuhan dan ridho Allah yang kesemuanya diilhami oleh
nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah, yang akhirnya
menunjukkan konsisten antara niat karerna Allah, kaifiat atau cara-cara dan tujuan
dari setiap manusia. 5
Ini tidak berarti ekonomi Islam hanya diproyeksikan untuk orang-orang yang
beragama Islam, karena Islam membolehkan umatnya untuk melakukan transaksi
ekonomi dengan orang-orang non muslim sekalipun. Dengan kalimat lain, ekonomi
Islam lebih mengedepankan urgensi sistem ekonominya yang hendak dibina dan

Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, hal. 17


Murasa Sarkaniputra dan Agus Kristiawan, Ilmu Ekonomi. Bahan Pengajaran Ekonomi
Perbankan dan Asuransi Islam , (Jakarat: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2000), cet. Ke-1, hal. 7.
5

33

dibangun dari pada sekedar membangun dan membina para pelakunya yang harus
beragam Islam. Hanya saja, tentunya Islam menghendaki agar umat Islam itu sendiri
justru menjadi pelopor dan pengawal dari sistem ekonomi Islam itu sendiri yang
dimilikinya. 6
2.

Prinsip-prinsip dan Nilai-nilai Dasar Ekonomi Islam


Prinsip-prinsip Dasar Ekonomi Islam antara lain:
a. Tauhid (Keesaan Tuhan)

Secara umum tauhid dipahami sebagai sebuah ungkapan keyakinan


(syahadat) seorang Muslim atas keesaan Tuhan. Konsep tauhid berisikan
kepasrahan (taslim) manusia kepada Tuhannya, dalam perspektif yang lebih luas,
konsep ini merefleksikan adanya kesatuan (unity), yaitu kesatuan kemanusian
(unity of mankind), kesatuan penciptaan (unity of creation) dan kesatuan tuntunan
hidup (unity of guidance) serta kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life). 7
Ekonomi sebagai sebuah ilmu yang dijadikan mediasi dalam memenuhi
kebutuhan (hajat) manusia, baik kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun
kebutuhan pelengkap, melibatkan interaksi antara aspek metafisik dan aspek
fisik. Kegiatan ekonomi dalam perspektif tauhid dilandasi oleh prinsip-prinsip
ilahiah yang bermuara pada kesejahteraan lahir dan batin manusia. 8

M. Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, (Ciputat:
Kolam Publishing, 2008), hal. 49.
7
Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal. 5
8
Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, hal. 6

34

b. Adl (Keadilan)

Dalam khazanah Islam, keadilan yang dimaksud adalah keadilan ilahi,


yaitu keadilan yang tidak terpisahkan dari moralitas, didasarkan pada nilai-nilai
absolut yang diwahyukan Tuhan dan penerimaan manusia terhadap nilai-nilai
tersebut merupakan suatu kewajiban. 9
c. Nubuwwah (kenabian)
Diutusnya para nabi dan rasul untuk menyampaikan pertunjuk dari Allah
kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia. Manusia
harus meneladani sifat-sifat para rasul agar mendapat keselamatan di dunia dan
di akhirat. Sifat-sifat yang harus diteladani oleh manusia adalah sifat shiddiq
(jujur), amanah (bertanggung jawab), fathonah (kemampuan), dan tabligh
(menyampaikan). 10
d. Maad (hasil = return)
Maad diartikan juga sebagai imbalan atau ganjaran. Menurut imam AlGhazali, Implikasi nilai ini dalam kehidupan ekonomi harus berdasarkan pada
motivasi untuk mendapatkan laba, baik laba material (tangible) maupun laba
non-material (intangible). 11
Selain prinsip-prinsip dasar, terdapat juga nilai-nilai dasar Ekonomi Islam.
Nilai-nilai dasar Ekonomi Islam tersebut adalah:

Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, hal. 7


Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, hal. 8
11
Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, hal. 8
10

35

1.

Kepemilikan
Segenap barang dan kekayaan adalah milik Allah. Dan Dialah yang
menunjuk individu-individu sebagai wali-walinya dalam mengelola barangbarang dan kekayaan tersebut. Kepemilikan dalam ekonomi Islam bukanlah
penguasaan

mutlak

atas

sumber

ekonomi,

tetapi

kemampuan

untuk

memanfaatkannya. Hal ini sependapat dengan A.P. Parlindungan, ahli hukum


agraria di Indonesia, dalam bukunya menyatakan bahwa bumi, air, dan ruang
angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Negara bukan pemilik mutlak
dari tanah-tanah di Republik Indonesia tetapi negara diberi wewenang melakukan
Hak Menguasai Negara (HMN), 12 di mana negara bertugas melakukan
pengelolaan dan pengendalian terhadap kepemilikan, pengendalian hak,
penguasaan maupun tatanan dari pertanahan di Indonesia. 13
Dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia, hak milik perorangan
diakui dengan dibatasi oleh Pasal 6 UU Pokok-Pokok Agraria bahwa hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial. Dengan kata lain, hak atas tanah mempunyai
sifat dwi fungsi, yaitu dalam setiap hak perorangan terdapat juga hak masyarakat.
Apabila satu saat hak masyarakat lebih tinggi, maka hak perorangan harus
mengalah. 14

12

A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform Bagian I, (Bandung:
Mandar Maju, 1989), hal. 91
13
A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria, hal. 25
14
A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria, hal. 120

36

Kepemilikan manusia atas harta kekayaannya hanya sampai manusia itu


hidup di dunia ini. Apabila seorang manusia meninggal dunia, harta kekayaannya
harus dibagikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan yang ditetapkan Allah.
Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan seseorang dapat dipindahtangankan
kepeda pihak lain. Selain melalui waris dapat juga dilakukan melalui wakaf,
hibah, dan lain sebagainya.
Sumber-sumber daya alam yang menyangkut kepentingan umum atau
yang menjadi hajat hidup orang harus menjadi milik umum atau negara, atau
sekurang-kurangnya dikuasai oleh negara untuk kepentingan umum atau orang
banyak. Islam memandang kepemilikan manusia hanyalah kepemilikan untuk
menikmati dan memberdayakan harta kekayaan yang ada, bukan sebagai pemilik
hakiki. Maka dalam pandangan ekonomi Islam apabila terdapat cabang-cabang
dalam produksi yang mengandung hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
pribadi, maka negara berhak menyitanya. Hal ini sejalan dengan Pasal 33 ayat 3
UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
2.

Keseimbangan
Keseimbangan merupakan nilai dasar yang mempengaruhi berbagai aspek
tingkah laku ekonomi seorang muslim. Atas keseimbangan ini misalnya terwujud
dalam kesederhanaan, hemat dan menjauhi keborosan seperti yang terdapat
dalam Q.S. Al-Furqan : 67

37

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak


berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengahtengah antara yang demikian (QS.Al-Furqan: 67)

Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa keseimbangan dalam ekonomi


Islam berarti ketika melakukan kegiatan ekonomi kita harus berada pada posisi
pertengahan. Dimana tidak melakukan pemborosan dan tidak pula kikir, akan
tetapi berlaku seimbang antara keduanya.
Kondisi kesenjangan kekayaan yang lebar di tengah-tengah masyarakat
dapat diatasi dengan menerapkan keseimbangan ekonomi (economic equilibrium)
melalui mekanisme distribusi. Islam mewajibkan terjadinya sirkulasi kekayaan
pada semua anggota masyarakat dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan
hanya pada segelintir orang saja sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. AlHasyr ayat 7.
Begitupun ketika Nabi saw melihat ada kesenjangan dalam pemilikan
harta antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, maka beliau mengkhususkan
harta yang diperoleh dari ghanimah (hasil perang) dari Bani Nadhir untuk kaum
Muhajirin, agar terjadi keseimbangan ekonomi (economic equilibrium) 15 .

15

202

M. Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal.

38

Nilai dasar keseimbangan ini harus dijaga sebaik-baiknya bukan saja


antara kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat dalam ekonomi, tetapi juga
keseimbangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum. Di
samping itu harus juga dipelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban. Jadi,
keseimbangan merupakan dimensi horizontal dari Islam; dalm perspektif yang
lebih praktis meliputi keseimbangan jasmani-rohani, meterial-nonmaterial,
individu dan sosial. 16
3.

Keadilan
Nilai dasar sistem ekonomi Islam ketiga adalah keadilan. Dalam Islam,
keadilan adalah titik tolak, sekaligus proses dan tujuan semua tindakan manusia.
Keadilan merupakan ajaran yang sangat fundamental dan mencakupkeseluruhan
aspek kehidupan : ekonomi, sosial, politik, bahkan lingkungan hidup. Luasnya
dimensi aplikatif keadilan, Al-Quran memaknainya dengan berbagai arti,
seperti:sesuatu yang benar, sikap tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang,
cara yang tepat dalam mengambil keputusan, keseimbangan, dan pemerataan. 17
Dalam proses produksi dan konsumsi misalnya, keadilan harus menjadi
penilai yang tepat, faktor-faktor produksi dan kebijaksanaan harga, agar hasilnya
sesuai dengan tekanan yang wajar dan kadar yang sebenarnya.

16

Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran LKM dan UKM di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 362
17
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam, hal. 361.

39

Ketiga nilai dasar sistem ekonomi Islam yaitu (1) kebebasan yang terbatas
mengenai harta kekayaan dan sumber-sumber produksi, (2) keseimbangan dan (3)
keadilan merupakan pangkal nilai-nilai instrumental sistem ekonomi Islam.

B. Pajak dalam Ekonomi Islam


1.

Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam


Kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam memiliki tujuan yang sama

sebagaimana

dalam

ekonomi

non-Islam.

Dimana

tujuannya

adalah

untuk

menciptakan stabilitas ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan


pemerataan pendapatan, ditambah dengan tujuan lain yang terkandung dalam aturan
(doktrin) Islam atau dengan kata lain tujuan tersebut harus dicapai dengan
melaksanakan hukum Islam. 18
a. Kebijakan Fiskal pada Awal Pemerintahan Islam
Pada masa Rasulullah SAW kebijakan fiskal yang diambil meliputi
tindakan-tindakan sebagai berikut: 19
1) Pendapatan nasional dan pertisipasi kerja, meliputi: mempekerjakan kaum
Muhajirin dengan Anshor, pembagian tanah, dan menghubungkan kerjasama
(partnership) antara kaum Muhajirin dan Anshor dalam hal modal sumber daya
manusia yang akan meningkatkan produksi total.

2) Kebijakan pajak, yaitu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Muslim


berdasarkan jenis dan jumlahnya (pajak proporsional). Misalnya pajak tanah
18

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf: Relevansinya dengan Ekonomi
Kekinian, (Yogyakarta: PSEI-STIS Yogyakarat, 2003), hal. 222.
19
M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, hal. 223-224.

40

yang tergantung dari produktivitas dari tanah tersebut atau juga bias
didasarkan atas zonanya.
3) Menerapkan kebijakan fiskal berimbang. Nabi hanya mengalami sekali
anggaran defisit setelah terjadinya Fathul Makkah, namun selanjutnya
kembali surplus.
4) Kebijakan fiskal khusus. Kebijakan ini dikenakan dari sector voulentair
(sukarela) dengan cara meminta bantuan Muslim kaya untuk memberikan
pinjaman kepad orang-orang tertentu yang baru masuk Islam.
Asas yang dianut dalam APBN pada masa pemerintahan Rasulullah Saw.
adalah asas anggaran berimbang (balance budget), artinya semua penerimaaan
habis digunakan untuk pengeluaran negara (government expenditure). Rasulullah
merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru dalam di
bidang keuangan negara pada abad ke tujuh, yakni semua hasil pemungutan
negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan sesuai
dengan kebutuhan negara. 20
Penerimaan negara pada periode awal Islam antara lain:

1)

20

Zakat

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007) hal. 66

41

Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan dan aturan tertentu
yang diwajibkan oleh Allah kepada pemiliknya untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya.

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS At-Taubah: 103)

Pelaksanaan pemungutan zakat semestinya dapat menghapus tingkat


perbedaan kekayaan yang mencolok, serta dapat menciptakan redistribusi yang
merata, di samping dapat pula membantu mengekang laju inflasi. 21

2)

Jizyah

Bagi orang Nasrani dan Yahudi tidak berkewajiban menjadi anggota


militer di negara Islam. Mereka dijamin keamanan diri dan hartanya oleh negara
Islam, sebagai pengganti dari pembayaran jizyah. .Jizyah dikenakan kepada
seluruh non-muslim dewasa, laki-laki, yang mampu untuk membayarnya.
Sedangkan bagi perempuan, anak-anak, dan orang tua dan pendeta dikecualikan
sebagai kelompok yang tidak wajib ikut bertempur. Orang-orang miskin,
pengangguran, dan pengemis tidak dikenakan pajak. Jika seseorang memeluk
21

M.A. Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, (Yogyakarta: PT Dana Bahkti Prima Yasa,
1997), hal. 248.

42

ajaran Islam, kewajiban membayar jizyah ikut gugur. Hasil dari pengumpulan
dana dari jizyah, digunakan untuk membiayai kesejahteraan umum. 22
Dalam hal penarikan jizyah, jizyah hanya boleh dipungut dari orang yang
mampu menanggungnya. Sistem pemungutan jizyah haruslah melihat kondisi
subjek pajak, jangan sampai pajak justru mempersulit kondisi masyarakat.
Jizyah tidak gugur karena kematian. Jika seseorang meninggal setelah
berlangsung satu tahun, maka ia tetap wajib membayar jizyah, karena dianggap
sebagai hutang. Ia wajib membayarnya dari harta peninggalannya, namun jika ia
tidak memiliki harta peninggalan maka kewajiban itu pun gugur, dan ahli
warisnya tidak berkewajiban membayarnya. 23
Jadi, jizyah merupakan pajak yang dikenakan pada kalangan non muslim
sebagai imbalan untuk jaminan yang diberikan suatu negara Islam pada mereka
guna melindungi kehidupannya, misalnya harta benda, ibadah kegamaan dan
untuk pembebasan dari dinas militer. Dan golongan non muslim yang dilindungi
kehidupan dan harta bendanya seperti kawan kafir dhimmi. 24 Dasar perintahnya
adalah Q.S. At-taubah (9): 29

22

A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, hal. 253.


Ratna Triwidiati, Konsep Pajak dalam Sistem Ekonomi Islam pada Masa Klasik, (Jakarta:
Skripsi FSH UIN Jakarta, 2004), hal. 74.
24
M.A. Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, hal. 249
23

43

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk
(Q.S. At-Taubah (9): 29)

3)

Kharaj (pajak bumi)

Kharaj merupakan sejenis pajak yang dikenakan pada tanah yang


terutama ditaklukan oleh kekuatan senjata. Kebijakan ini berawal pada tahun
ketujuh Hijriyah di mana pada saat itu tanah Khaibar telah berhasil dikuasai oleh
kaum muslimin. Tanah-tanah tetap dibiarkan untuk dimiliki oleh pemilik lama,
namun ketika panen, maka sebagian dari hasil panen diberikan kepada Nabi
(Negara Islam).
Konsep tersebut juga pernah dijalankan oleh Umar bin Khattab ketika
menguasai Irak dan Syam. Tanah tersebut tidak dibagi-bagikan, tetapi diharuskan
membayar kharaj saat panen. 25 Jadi, kharaj pada awalnya hanya dikenakan bagi
non-muslim sebagai biaya sewa atas tanah yang dimiliki negara Islam karena
telah menaklukkan wilayah tersebut, sehingga objek dari kharaj adalah tanah

25

Abdul Sami Al-Misri, Muqawwimat al-Iqtishad al-Islami, Terj. Dimyauddin Djuwaini,


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal.71.

44

yang berada di luar wilayah pusat pemerintahan Jazirah Arab (hanya tanah
taklukkan).
Cara pemungutan kharaj ada dua macam, pertama; kharaj perbandingan
(muqasimah) yang ditetapkan berdasarkan porsi hasil seperti , 1/3, atau 1/5 dari
hasil panen yang dipungut pada setiap kali panen. Kedua; kharaj tetap (wazifah),
yaitu beban pada tanah sebanyak hasil alam atau uang persatuan lahan yang
dibayarkan wajib setalah lampaui satu tahun. 26
Imam Al-Mawardi membicarakan faktor yang menentukan kemampuan
memikul pajak bumi sebagai berikut: orang yang menaksir kharaj atas sebidang
tanah harus mempertimbangkan kemampuan tanah yang berbeda menurut tiga
faktor. Tiap faktor sedikit banyaknya mempengaruhi jumlah kharaj.
Pertama; faktor yang berkaitan dengan tanah itu sendiri adalah mutu
tanah yang dapat menghasilkan panen yang besar, atau cacat yang menyebabkan
hasil kecil. Kedua; faktor yang berhubungan dengan jenis panen, karena ada yang
lebih tinggi harganya dari yang lain, dan kharaj harus ditaksir sesuai dengan itu.
Ketiga; mengenai cara irigasi karena panen yang dihasilkan dengan sistem irigasi
air yang dipikul hewan atau diperoleh dengan kincir, tidak dapat dikenakan
kharaj yang sama dengan panen yang dihasilkan oleh tanah yang diairi dari air
yang mengalir atau hujan.
Pajak kharaj bukan saja progresif tetapi juga bersifat luwes, dimana bila
seseorang tidak mampu membayar pajak, maka ia diberi waktu hingga
26

M.A. Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, hal. 250

45

keuangannya membaik. Tetapi bila seseorang punya itikad tidak baik untuk tidak
membayar kharaj, maka ia pun dipaksa untuk membayar pajak. 27

4) Ghanimah (barang rampasan perang)


Ghanimah merupakan harta yang diperoleh kaum muslimin dari musuh
melalui peperangan. Ghanimah merupakan sumber pendapatan utama negara
Islam periode awal. 28 Pembagian ghanimah yaitu 1/5 merupakan milik negara
(Allah dan Rasulnya, kerabat Rasul, anak yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil,
sedangkan 4/5 bagian lainnya dibagikan kepada pasukan yang ikut bertempur.
Dasarnya adalah perintah Allah dalam QS. Al-Anfal (8): 41

Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai


rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat
rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman
kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami
27

M.A. Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, hal. 251


Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal. 86-87

28

46

(Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Anfal (8): 41)
5) Pajak atas pertambangan dan harta karun
Pada dasarnya negara memiliki hak untuk mengeksplorasi sumber mineral
untuk kesejahteraan masyarakat. Namun bila suatu tambang ataupun harta karun
ditemukan di tanah kaum muslimin, seperlima dari hasilnya harus diserahkan
kepada negara untuk memenuhi keadilan sosial. 29
6) Ushr (Bea cukai) dan pungutan
Alasan dibalik pembebanan bea cukai ini adalah karena para pedagang
muslim dikenai pajak sebesar 10% di negara asing. Kemudian bea cukai ini
dibebankan secara umum atas pedagang yang melakukan perdagangan di negara
Islam. 30
b. Kebijakan Fiskal pada Pemerintahan Islam Periode Modern
Pada pemerintahan Islam periode modern, terjadi perubahan, yaitu mulai
memakai

anggaran

defisit,

dan

meninggalkan

kebijaksanaan

anggaran

berimbang, yang dianggap tidak berorientasi kepada pertumbuhan. Mungkin


tidak semua ulama setuju dengan dengan kebijakan ini. Berikut dikemukakan
tiga ekonom Islam, yang sama-sama setuju dengan konsep anggaran defisit.
Menurut Mannan, sebuah negara Islam modern harus menerima konsep
anggaran modern dengan perbedaan pokok dalam hal penanganan defisit
anggaran itu. Negara Islam dewasa ini harus mulai dengan pengeluaran yang
29

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal, 133


Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal, 131

30

47

mutlak diperlukan (sesuai yang direncanakan dalam APBN) dan mencari jalan
serta cara-cara baru untuk mencapainya, baik dengan merasionalisasi stuktur
pajak atau dengan mengambil utang dari sistem perbankan dalam negeri atau dari
luar negeri. 31
Umer Chapra juga setuju dengan anggaran pembelanjaan defisit. Chapra
berpendapat bahwa negara-negara Muslim harus menutup defisit dengan pajak,
yaitu mereformasi sistem perpajakan dan program pengeluaran negara, bukan
dengan jalan pintas melalui ekspansi moneter dan meminjam. Chapra lebih setuju
dengan meningkatkan pajak, karena pinjaman akan membawa kepada riba. Dan
pinjaman

itu

juga

meniadakan

keharusan

berkorban,

namun

hanya

menangguhkan beban sementara waktu dan akan membebani generasi yang akan
datang dengan beban berat yang tidak semestinya mereka pikul. 32
Pendapat ketiga berasal dari Zallum, ia berpendapat bahwa angggaran
defisit diatasi dengan penguasaaan BUMN dan pajak. Pinjaman dari negaranegara asing dan lembaga keuangan internasional, menurut Zallum tidak
dibolehkan oleh hukum syara, sebab pinjaman seperti itu selalu terkait dengan
riba dan syarat-syarat tertentu yang menjadikan kreditur berkuasa atas kaum
muslim. 33
Alternatif solusi untuk menutupi anggaran defisit antara lain:

31
32

M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, hal. 236


M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal.

299.
33

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal. 165

48

1) Meminjam dari negara-negara asing maupun lembaga internasional


2) Penguasaan atas sebagian harta milik umum baik nerupa minyak bumi, gas
alam maupun barang tambang.
3) Menetapkan pajak (dharibah) kepada umat.
Di zaman pemerintahan Islam periode awal, anggaran berimbang
memang dipilih, karena waktu itu belum terdapat seruan untuk pertumbuhan
ekonomi. Di zaman modern, pemerintahan Islam tampaknya harus memilih
sistem anggaran defisit karena sistem ini merupakan anggaran yang berorintasi
pada pertumbuhan. 34 Dalam makalah yang ditulis oleh Abidin Ahmed Salama
dijelaskan bahwa dalam negara Islam berbagai macam jenis pajak yang ada
memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan yang ingin dicapai oleh
negara Islam tersebut.
Taxation could play an important role in Muslim countries, whether rich
or poor. Different taxes could be used to achieved the following goals. 35
1) Curtailing unnecessary comsumption in poor countries. This enchances
availability of resources for capital formation. In oil rich countries it is
necessary to reduce unproductive consumption. It is also necessary to
reduce consumption of some goods which are harmful to health.
2) Taxation may serve as a means to reallocate resources from investment
that have a little beneficial effect upon development to those having higher
benefits. Corporate income taxes could play such a role. Investment in
sectors needed by the nation could be subject to lower taxes.
3) Taxation could be used as a tool to alter economic behavior in creating
incentives to save, to enter into the market sector, to utilize resources and
to encourage privat capital formation.
4) Taxation could be utilized as a means for stabilizaing the economiy and
reducing aggregate demand.

34
35

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal. 166


Peerzade, Sayed Afzal, Reading in Islamics Fiscal Policy, hal. 46-47.

49

5) A progressive tax system may help in reducing income inequalities and


hence achieve social harmony in Muslim states.
2.

Pendapat Ulama tentang Pajak

Sumber dalam penetapan kebijakan fiskal Islam dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu sumber asli (original) dan sumber pelengkap (complementary). Kedua
bagian tersebut merupakan sumber konstitusi atau hukum Islam secara keseluruhan
termasuk juga ekonomi. Kitab suci Al-Quran dan hadis Nabi sebagai sumber asli,
sedangkan ijma dan qiyas maupun ijtihad merupakan sumber pelengkap. 36
Dalam Islam, hukum yang qathi (yang sudah jelas dan tuntas penjelasannya
dalam Al-Quran dan hadist) jumlahnya lebih sedikit dibandingkan hukum dzanni
(belum jelas dan tuntas penjelasannya dalam Al-Quran dan hadist), sehingga untuk
hukum yang dzanni membutuhkan ijtihad para ulama atau fatwa dari para mujahid.
Dalam hukum Islam dikenal suatu prinsip kepentingan umum (maslahah mursalah)
yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan suatu hukum yang belum ditetapkan
dalam Al-Quran dan hadist. 37
Dalam ekonomi Islam kemaslahatan umum merupakan suatu hal yang paling
mendasar baik dalam bidang produksi, konsumsi, distribusi hingga redistribusi.
Semua hal ini harus mempertimbangkan kepentingan umum. Bahkan di dalam harta
pribadi seseorang pun terdapat hak kepentingan umum yaitu hak zakat untuk orangorang miskin.

36

Peerzade, Sayed Afzal, Reading in Islamics Fiscal Policy, hal. 110.


B. Wiwoho (Ed.), Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1992), hal. 291.

37

50

Maslahah menurut bahasa berarti manfaat, dan kata mursalah berarti


lepas. Maslahah mursalah menurut istilah adalah sesuatu yang dianggap maslahat
namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil
tertentu baik yang mendukung maupun yang menolak, sehingga ia disebut maslahah
mursalah (maslahah yang lepas dari dalil secara khusus). 38 Dalam literatur lain
dikatakan bahwa maslahah mursalah adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal
sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan)
bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara dalam menetapkan hukum. 39 Beberapa
persyaratan dalam memfungsikan maslahah mursalah, yaitu: 40
a. Sesuatu yang dianggap maslahat itu harus berupa maslahat hakiki yaitu
benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudharatan,
bukan berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya
kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang ditimbulkan.
b. Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum,
bukan kepentingan pribadi.
c. Sesuatu yang dianggap maslahat itu tidak bertentangan dengan ketentuan
yang ada ketegasan dalam Al-Quran atau sunnah Rasulullah, atau
bertentangan dengan ijma.

38

Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 148-149.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, cet. 4, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 325.
40
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hal. 152-153.
39

51

Para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda untuk menjawab apakah


ada kewajiban kaum Muslim atas harta selain zakat. Sebagian berpendapat
mengatakan ada, dan sebagian lain berpendapat tidak ada.
Salah satu cendikiawan muslim yang berpendapat bahwa ada kewajiban lain
selain zakat pada harta seorang muslim adalah Abu Yusuf. Abu Yusuf lahir di Kufah
Al-Bagdadi pada tahun 113 H (731 M).
Dalam literatur Islam Abu yusuf sering disebut dengan Imam Abu Yusuf
Yaqub bin Ibrahim Habib al-Anshori al-Jalbi al-Kifi al-Bagdadi. 41 Ia menulis kitab
yang sangat terkenal yaitu al-Kharaj pada masa pemerintahan Khalifah Harun AlRasyid yang berisi mengenai berbagai persoalan pajak serta kebijakan publik
lainnya. 42 Abu Yusuf, dalam kitabnya al-Kharaj, menyebutkan bahwa: Semua
Khulafa ar-Rasyidin, terutama Umar, Ali dan Umar Ibn Abdul Aziz dilaporkan telah
menekankan bahwa pajak harus dikumpulkan dengan keadilan dan kemurahan, tidak
diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat untuk membayar, juga jangan sampai
membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Abu
Yusuf mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau menurunkan pajak
menurut kemampuan rakyat yang terbebani. 43 Abu yusuf juga berpendapat bahwa

41

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf: Relevansinya dengan Ekonomi
Kekinian, (Yogyakarta: PSEI STIS Yogyakarta, 2003), h. 21.
42
Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006), h. 234
43
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal.183

52

sebuah sistem pajak yang adil tidak hanya akan mengarahkan pada peningkatan
pendapatan tetapi jug pembangunan dari negara tersebut. 44
Abu Yusuf menganjurkan pemungutan kharaj dengan model bagi hasil
(muqasamah) dibandingkan model kharaj yang bersifat tetap atas tanah (wazifah). 45
Menurutnya, jika nilai pajak itu tetap (dalam kasus kharaj) akan membebani wajib
pajak jika produksi sedang menurun, sementara akan kehilangan penghasilan
potensial bagi negara jika produksi sedang meningkat atau sangat baik. Jadi, Abu
Yusuf menganjurkan metode pajak proporsional atas hasil produksi tanah, yang
dianggapnya sebagai metode yang jujur dan seimbang bagi kedua belah pihak, dalam
keadaan hasil panen baik maupun buruk. 46
Salah satu ulama klasik lainnya yang berpendapat memboleh pajak adalah Ibnu
Hazm. Beliau lahir pada tahun 184 H (994 M) dan bernama lengkap Abu Muhammad
Ali ibn Abu Umar Ahmad ibn Said ibn Hazm al-Qurthubi al-Andalusiy. 47 Ibn Hazm
sangat konsen terhadap faktor keadilan dalam sistem pajak. Sikap kasar dan
eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus dihindari dan pengumpulan pajak
tersebut juga tidak boleh melampaui batas syariah. 48 Ibnu Hazm (994-1064)
menyatakan bahwa Kewajiban orang kaya di setiap negara membantu orang miskin

44

M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, hal. 295.


A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, hal. 302.
46
A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, hal. 302.
47
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer,
(Jakarta: Pustaka Asatruss, 2005), h. 135
48
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 145
45

53

dan penguasa memiliki hak untuk memaksa mereka melakukannya, jika zakat dan
penerimaan publik lainnya tidak mencukupi. 49
Ia juga berpendapat: Apabila dana zakat tidak mencukupi bagi pemenuhan
kebutuhan orang-orang miskin dalam suatu daerah atau negara, maka menjadi
tanggung jawab warga yang mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apabila
mereka tidak melakukan itu, semuanya berdosa. Penguasa berhak untuk menghukum
mereka. Inilah pendapat yang tidak meragukan, yang diambil dari makna dan tujuan
Al-Quran. 50
Ulama pada abad pertengahan seperti Ibnu Taimiyah juga berpendapat hal yang
sama mengenai adanya hak selain zakat yang dikenakan atas harta seseorang, ketika
kebutuhan dalam masyarakat meningkat. 51
Ibnu Taimiyah yang lahir di Harran pada tahun 661 H (1263 M) berpendapat
dalam Majmuatul Fatawa, mengatakan: Larangan penghindaran pajak sekalipun itu
tidak adil berdasarkan argumen bahwa tidak membayar pajak oleh mereka yang
berkewajiban akan mengakibatkan beban yang lebih besar bagi kelompok lain. 52
Ibnu Taimiyah sangat mencela sistem perpajakan yang tidak adil dan sumber
penerimaan yang illegal. Alasannya, karena kebijakan yang tidak jujur dari pejabat
yang berwenang dan penyimpangan dari petunjuk syariat. Selain itu, Ibnu Taimiyah
juga sangat mencela ketidakadilan yang dilakukan oleh wajib pajak maupun

49

A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, hal. 283.


Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal. 175
51
A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, hal. 283.
52
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal.185
50

54

pemungut pajak. Ia menyatakan: Sangat sering, ketidakadilan (kezaliman) itu


dilakukan oleh pejabat, begitu pula subyek wajib pajak. Yang pertama melakukan
tugasnya tanpa dasar hukum dan yang berikutnya berusaha menghindar dari
melaksanakan kewajibannya. Ia menganjurkan agar kedua belah pihak bisa
memenuhi kewajibannya. 53
Seain itu, Ibnu Taimiyah juga melarang penghindaran membayar pajak,
khususnya atas pajak yang dibebankan secara kolektif atas sebuah kelompok atau
masyarakat, meskipun pajak itu sendiri dinilai kurang adil. Alasannya adalah, jika
setiap orang mengelak untuk membayar pajak yang menjadi bagiannya, maka bagian
yang harus dibayar itu menjadi beban anggota lainnya dalam kelompok itu, sehingga
ada yang menerima beban lebih berat secara tidak adil dari lainnya. 54
M. Umer Chapra, seorang cendikiawan muslim kontemporer dari Pakistan
dalam bukunya Islam and The Economic Challenge menyatakan: Hak Negara Islam
untuk meningkatkan sumber-sumber daya lewat pajak di samping zakat telah
dipertahankan oleh sejumlah fuqaha yang pada prinsipnya telah mewakili semua
mazhab fiqih. Hal ini disebabkan karena dana zakat dipergunakan pada prinsipnya
untuk kesejahteraan kaum miskin, padahal negara memerlukan sumber-sumber dana
yang lain agar dapat melakukan fungsi-fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi

53

A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, hal. 261.


A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, hal. 261-262.

54

55

secara efektif. Hak ini dibela para fuqaha berdasarkan hadis: Pada hartamu ada
kewajiban lain selain zakat. 55
Namun, Hasan Turobi pemikir Ekonomi Islam dari Sudan dalam bukunya
Principle of Governance, Freedom, and Respobsibility in Islam, menyatakan:
Pemerintah yang ada di dunia muslim dalam sejarah yang begitu lama pada
umumnya tidak sah. Karena itu, para fuqaha khawatir jika diperbolehkan menarik
pajak akan disalahgunakan dan menjadi alat penindasan. 56
Pendapat dari para ahli fiqih yang menegaskan bahwa tidak ada hak lain di
luar zakat, ternyata mereka sengaja menolaknya karena khawatir pungutan tersebut
hanyalah alat untuk keuntungan diri mereka sendiri dan pengikutnya. Hal itu
merupakan beban berat bagi rakyatnya. Para ulama takut kalau pemerintah yang
zalim menjadikan kata-kata ulama itu sebagai dalih untuk mewajibkan pungutan dan
pajak-pajak yang memberatkan tanpa hak. Oleh karena itu, para ulama menutup pintu
rapat-rapat dan memotong jalan mereka dengan kata-katanya: Tidak ada hak dalam
harta di luar zakat. 57
Prinsip pemungutan pajak harus mengandung prinsip keadilan dan
kemaslahatan umum. Prinsip keadilan akan membawa kesejahteraan ekonomi dan
juga keselasaran sosial. Pemungutan pajak harus dilakukan tanpa ada pihak yang
merasa dirugikan. Prinsip kemaslahatan dapat dilakukan dengan menjauhkan
kepentingan pribadi dan mementingkan terlebih dahulu kepentingan bersama.
55

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal. 184


M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, h. 294
57
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal. 181.
56

56

Para fuqaha hanya mendukung pemberlakuan pajak yang adil dan selaras
dengan semangat Islam. Sistem pajak yang adil paling tidak harus memenuhi tiga
kriteria. Pertama, pajak harus dipungut untuk membiayai hal-hal yang benar dianggap
perlu dan untuk kepentingan mewujudkan kesejahteraan; kedua, beban pajak tidak
boleh terlalu memberatkan dibandingkan dengan kemampuan pemikulnya; ketiga,
hasil dari pajak harus dibelanjakan dengan sangat hati-hati sesuai dengan tujuan awal
pengumpulan pajak tersebut. 58
3.

Karakteristik Pajak dalam Ekonomi Islam


Pajak diperbolehkan dalam Islam dengan apabila memiliki karakteristik

sebagai berikut: 59
1. Pajak dipungut setelah zakat ditunaikan. Zakat merupakan rukun Islam yang
ketiga dan memiliki dasar hukum yang sangat kuat karena berdasarkan Al-Quran
dan Hadits sehingga wajib untuk ditunaikan terlebih dahulu, baru kemudian baru
menunaikan pajak yang berdasarkan perintah ulil amri (pemerintah).
2. Kewajiban pajak bukan karena adanya harta, melainkan karena adanya kebutuhan
mendesak, sedangkan baitul mal kosong atau tidak mencukupi.
3. Ada beban-beban selain zakat yang memang dibebankan Allah atas kaum muslim.
Penggunaan dana zakat telah ditentukan untuk delapan asnaf (golongan),
sehingga

58
59

untuk

kebutuhan

lain

seperti

pembangunan

M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, h. 295.


Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal. 203.

fasilitas

umum,

57

penanggulangan bencana, pertahanan negara, dan lain sebagainya dapat


dibebankan kepada kaum muslim melalui pajak.
4. Hanya orang kaya atau mampu yang dibebani kewajiban tambahan. Orang kaya
adalah orang yang telah terpenuhi segala kebutuhan pokoknya dengan baik. 60
Yaitu orang yang memiliki kelebihan harta dari keperluan pokok bagi dirinya,
anak istrinya seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat
bekerja yang sangat diperlukan. 61
5. Pemberlakuan pajak adalah situasional, tidak terus menerus dan bisa saja
dihapuskan apabila baitul mal telah terisi kembali.

60

Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hal.

26.
61

M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Pedoman Zakat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal. 177.

57

BAB IV
TINJUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN DI INDONESIA
A. Konsep Kepemilikan Tanah (Bumi) dalam Ekonomi Islam
Persoalan kepemilikan dalam ekonomi Islam didasari atas konsep tauhid.
Allah SWT sebagai Maha Pencipta adalah sebagai pemilik mutlak segala sesuatu
yang ada di alam semesta seperti yang tertera dalam Q.S. Ibrahim (14) ayat 32.











Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari
langit....... (Q.S. Ibrahim (14): 32)

Seluruh isi alam semesta ini adalah milik Allah SWT dam manusia dapat
memanfaatkan yang ada di alam ini untuk memenuhi kelangsungan hidup mereka.
Islam menganggap hak kepemilikan adalah pemberian Allah SWT yang bertujuan
untuk kemaslahatan seluruh umat. Kekuasaan manusia untuk memikul suatu
tanggung jawab berasal dari perannya sebagai khalifah di muka bumi. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:






Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.(Q.S.Al-Baqarah : 30).

58

Allah telah menyediakan semua yang dibutuhkan manusia sehingga sebagai


khalifah, manusia bertugas mengelola apa yang telah Allah sediakan di muka bumi.
Semua yang halal dapat menjadi hak milik manusia yang akan dipergunakan untuk
menyejahterakan kehidupan mereka. Dan dalam mempergunakan hak miliknya tentu
tidak boleh bertentangan dengan syariat yang ada.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan hak milik
adalah hak untuk menggunakan atau mengambil keuntungan dari suatu benda yang
berada dalam kekuasaan tanpa merugikan orang lain. 1
Menurut Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 hak milik
adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.
Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam ada tiga bentuk yaitu: 2
1. Kepemilikan pribadi (Private ownership)
2. Kepemilikan publik (Public ownership)
3. Kepemilikan Negara (State ownership)
Berikut adalah pemaparan mengenai konsep kepemilikan dalam ekonomi
Islam:

Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008), hal. 475.
2
M. Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna, Terj. Yudi, (Jakarta: Zahra
2008), hal. 147.

59

1. Kepemilikan Pribadi (Private ownership)


Setiap

individu

memiliki

hak

untuk

menikmati

hak

miliknya,

menggunakan secara produktif, memindahkannya, dan melindunginya dari


pemborosan. Tetapi, haknya itu dibatasi oleh sejumlah batasan. Ia tidak boleh
menggunakannya secara berhambur-hamburan, juga tidak boleh menggunkannya
semena-mena (dengan buruk) dan dilarang untuk tujuan bermewah-mewahan.
Selain itu, setiap individu tidak boleh menggunakan hak miliknya, yang bias
menimbulkan kerugian bagi orang lain. 3
2. Kepemilikan Publik (Public ownership)
Kepemikilan publik atau disebut juga hak milik sosial biasanya diperlukan
untuk kepentingan sosial. Contoh penting dari pemilikan bersama adalah
anugerah alam, seperti air, rumput, dan api, yang secara khusus disebut dalam
hadis Rasulullah SAW. Semua itu pemberian dari Allah SWT dan manusia tidak
memiliki kesulitan apapun untuk menggunakannya. Alasan lain adalah demi
kepentingan umum. Jika ada individu yang menguasainya dan memilikinya secara
pribadi, hal itu bias mngekibatkan kesulitan dan kesusahan bagi masyarakat.
Menurut Ibnu Taimiyah, air, rumput, dan api hanya contoh kecil saja, akan tetapi
masih banyak objek lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengannya. Ia

A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah,hal. 138.

60

menganjurkan seluruh bahan mineral yang dihasilkan oleh tanah bebas (tanah
negara ) menjadi milik kolektif, seperti emas, perak, minyak, dan sebagainya. 4
3. Kepemilikan Negara (State ownership)
Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumbersumber

penghasilan,

dan

kekuasaan

untuk

melaksanakan

kewajiban-

kewajibannya. Misalnya untuk menyelenggarakan pendidikan, regenarasi moral,


memelihara keadilan, dan secara umum melindungi seluruh kepentingan rakyat.
Menurut Ibnu Taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah zakat dan
ghanimah. Selain itu, negara juga bisa meningkatkan sumber penghasilannya
dengan mengenakan pajak, ketika dibutuhkan atau saat kebutuhannya meningkat.
Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan publik (umum). Kepala
negara hanya sebagai pemegang amanah (caretaker), sehingga merupakan
kewajiban negara untuk mengeluarkannya guna kepentingan publik. 5
Dalam kehidupan ekonomi dewasa ini, terdapat perbedaan sudut pandang
dan ideologis antara kapitalisme, sosialisme, dan sistem ekonomi Islam dalam hal
kepemilikan.
Konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep pada
sistem kapitalisme maupun sosialisme. Sistem kapitalisme mengedepankan
individualisme sehingga memberikan kebebasan sepenuhnya kepada individu
untuk memiliki apa saja yang diinginkan. Sedangkan sistem sosialisme

4
5

A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, hal. 143-144.


A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, hal. 144-145.

61

sebaliknya, mengedepankan kolektivisme. Dimana individu secara langsung tidak


memiliki hak kepemilikan karena seluruh alat-alat produksi dimiliki dan dikuasai
oleh negara.
Kedua sistem ekonomi di atas berbeda dengan sistem ekonomi Islam
dalam hal konsep kepemilikan. Islam memandang bahwa setiap orang
mempunyai hak penuh untuk dapat memiliki harta kekayaan. Hak milik
merupakan salah satu hak primer dalam kehidupan setiap individu agar dapat
hidup layak dalam kehidupanya sehari-hari. Dengan memilki harta mendorong
adanya aktivitas ekonomi dalam masyarakat sehingga keinginan untuk memiliki
harta merupakan fitrah manusia.
Namun dalam ekonomi Islam hak individu terhadap harta dibatasi oleh
hak masyarakat. Artinya dalam harta individu terdapat hak milik masyarakat
terutama masyarakat yang tidak mampu. Sebagaimana yang terdapat dalam Q.S.
Az-Zariyat (51): 19,

$`
1N%
;t8
4o54 #{{ Q

dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian. (Q.S. Az-Zariyat:19)

Dalam ekonomi Islam, tanah merupakan kekayaan alam yang paling


penting di mana tanpanya hampir mustahil manusia bisa menjalankan proses

62

produksi dalam bentuk apapun. 6 Tanah merupakan sumber penghidupan yang


pertama dalam Islam dengan tanah kita dapat mendirikan tempat tinggal,
bercocok tanam, mendirikan tempat produksi, dan lain sebagainya.
Kepemilikan tanah adalah salah satu perkara sosial yang memainkan
peranan penting dalam pemikiran manusia, yang menjadi fenomena penting
dalam kehidupan manusia sejak ribuan tahun lalu. Pada dasarnya tanah adalah
milik negara dalam Islam. seorang individu mendapatkan hak kepemilikan atas
sebidang tanah kecuali berdasarkan usaha yang ia curahkan dalam menggarap
dan mengeksplorasinya. Apabila seseorang menghidupkan sebidang tanah mati
maka ia akan memilki hak atas tanah tersebut.
Pendapat lain mengatakan, Islam tidak mengakui kepemilikan pribadi
atas tanah kecuali bila individu telah memiliki sebidang tanah sejak sebelum
tanah tersebut masuk ke pangkuan Islam secara sukarela atau melalui perjanjian. 7
Menurut Ibnu Taimiyah, penggunaan hak milik itu dimungkinkan sejauh tak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. 8 Hak kepemilikan pribadi atas tanah
bukanlah hak absolut atas tanah tersebut. Mereka terikat dengan kewajiban untuk
terus menggarap dan menyuburkan tanah mereka guna memberikan kontribusi
bagi kemajuan masyarakat Islam.

M. Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna, hal. 156


M. Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna, hal. 210.
8
A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah,Terj. Anshari Thayib, (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1997), hal. 137.
7

63

Dalam buku Iqtishaduna karya Muhammad Baqir Ash-Shadr dijelaskan


bahwa ada berbagai keadaan yang mendasari status kepemilikan tanah
berdasarkan kategorinya, antara lain: 9

1.

Tanah yang Masuk Wilayah Islam Melalui Penaklukan (Fath)


Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke pangkuan negara Islam

melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir, Iran, Suriah dan banyak
belahan lain dunia Islam. Saat penaklukan Islam, kaeadaan tanah-tanah tersebut
tidak sama sehingga status kepemilikannya menjadi berbeda-beda, yaitu:
a.

Tanah yang digarap oleh tangan manusia pada saat penaklukan.


Tanah tersebut menjadi milik bersama kaum Muslim, baik generasi Muslim
saat penaklukan maupun generasi Muslim di masa mendatang.

b.

Tanah mati pada saat penaklukan.


Tanah yang tidak tergarap olah tangan manusia pada saat penaklukan, maka
tanah ini akan menjadi milik imam (negara).

c.

Tanah yang subur secara alami pada saat penaklukan.


Hutan dan tanah subur secara alami mendapat status kepemilikan bersama
kaum Muslim.

2.

Tanah yang Masuk Wilayah Islam Melalui Dakwah


Tanah yang masuk wilayah Islam melalui dakwah adalah setiap tanah

yang penduduknya menyambut panggilan Islam tanpa menimbulkan konflik


9

M. Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna, hal. 159-193

64

bersenjata, seperti kota Madinah, Indonesia, dan sejumlah wilayah lainnya.


Tanah-tanah hasil dakwah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Tanah yang digarap oleh para penduduknya dan mereka masuk Islam secara
sukarela.
b. Tanah yang subur secara alami seperti hutan, serta berupa tanah mati.
Tanah yang subur alami menjadi milik negara dan individu bolehmengambil
manfaat darinya tetapi tidak dapat menguasainya. Tanah mati juga menjadi
milik negara. Akan tetapi apabila ada individu yang menghidupkannya
(menggarap) , maka tanah mati tersebut menjadi miliknya.
3. Tanah yang masuk Wilayah Islam melalui Perjanjian (Sulh)
Tanah ini disebut dengan tanah perjanjian, dimana mereka tetap memeluk
agam mereka serta hidup damai dan aman di bawah naungan Negara Islam.
Tanah ini tetap menjadi milik mereka. Namun jika di dalam perjanjian
dinyatakan bahwa tanah tersebut menjadi milik masyarakat Muslim, maka tanah
ini menjadi subjek prinsip kepemilikan bersama.
B. Pemungutan Pajak Tanah (Bumi) dalam Ekonomi Islam
Harta rampasan perang dalam Islam tidak semuanya adalah harta bergerak
atau harta yang dapat dipindahkan, tetapi juga harta tidajk bergerak yang meliputi
tanah-tanah pertanian di negara yang dikuasai.
Diantara tindakan Rasulallah Saw terhadap tanah yang dikuasai - yang dapat
dijadikan contoh - adalah perlakuan beliau terhadap tanah Khaibar. Tanah Khaibar

65

adalah sumber kharaj untuk perekonomian umat Islam. Pada saat Khaibar
ditaklukkan, tanah tersebut diserahkan kepada bangsa Yahudi Khaibar bukan untuk
dijadikan sebagai milik mereka, tetapi diolah untuk lahan pertanian sesuai dengan
syarat yang mereka ajukan, yaitu mereka mendapatkan setengahnya dari hasil
tanaman dan buah-buahan. Dan untuk menghitung hasil bumi dan mengambil
setengahnya sebagai kharaj, Nabi Saw mengutus Abdullah bin Rawahah. 10
Secara sederhana, kharaj berarti pajak tanah. Arti kharaj menurut bahasa
diambil dari kata kharaja, yang artinya mengeluarkan dari tempatnya. Kharaj
adalah apa yang dikeluarkan, lawan dari upaya untuk mengeluarkan. Kharaj dapat
diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk diberikan kepada
negara. Ada yang memberi penegertian lain, kharaj adalah apa dibayarkan untuk
pajak tanah pertanian atau pajak hasil buminya. Beberapa analisis yang lain
beranggapan bahwa kahraj adalah 3 macam dari bentuk perpajakan; yaitu pajak
bumi, jizyah, dan usyr. 11
Dalam Reading in Islamic Fiscal Policy kharaj didefinisikan sebagai berikut:
Kheraj was used for levies in return for leasing a land. The Arabs used to call
land rent or house rent as kheraj. Umar leased conquered lands to people in return of
a fixed levy and it was called kheraj. 12
Pada masa Rasulullah Saw, jumlah kharaj yang dibayar masih sangat terbatas
sehingga tidak diperlukan suatu sistem administrasi yang terperinci. Selama
10

Quth Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab, terj. Ahmad Syarifuddin
Shaleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hal. 79
11
Quth Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab, hal. 77-78.
12
Peerzade, Sayed Afzal, Reading in Islamics Fiscal Policy, (Delhi: adam Publisher &
Distributor, 1996), hal. 39.

66

pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan
banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan
maupun secara damai. Sehingga dibutuhkan kebijakan baru untuk diterapkan negara
terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut. 13
Dengan semakin luasnya wilayah negara Islam maka dibutuhkan sistem
administrasi yang terperinci untuk penaksiran, pengumpulan dan pendistribusian
pendapatan yang diperolah dari pajak tanah-tanah tersebut.
Di masa Umar bin Khathab, kaum muslimin mendapatkan kemenangan atas
Syam, Irak dan Mesir serta memperoleh harta rampasan yang sangat banyak. Para
pasukan Islam meminta agar harta rampasan tersebut dibagi-bagikan. Merujuk pada
dasar umum yang ditetapkan Rasullah Saw atas tanah Khaibar, umar membagikan
harta yang berupa barang saja sedangkan tanah tidak dibagikan dan menjadikannya
sebagai milik umum umat Islam dan diambil kharaj darinya. 14
Sistem pemungutan kharaj (assessment of kheraj) ada dua macam yaitu
sistem wazifah (tetap) dan sistem muqasamah/misaha (proporsional). Dalam buku
Readings in Islamic Fiscal Policy dijelaskan tentang sistem pemungutan kharaj yaitu
sebagai berikut:
Kheraj, since the days of Hazrat Umar and until Mahdis reign during the
Abbasaid era, was levied on acreage basis and not on crop. A major development
occurred during Al-Mahdis reign and the state adopted Al-Mugasama or crop
sharing instead of the acreage system. The state under new system shared crops with
tenant on the basis of a certain percentage of total harvest. This implied that kharaj
13

Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,


2006), hal. 65
14
Quth Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab, hal. 80

67

revenue would not be fixed but would vary with variations in total crop. A main
reason behind the change was suggested to reduce burden of fixed kheraj on farmers.
Abu Ubeid, the founder of new system, suggested new rates which varied
according ti difficulties of irrigation. Rates were reduce wherever difficulties existed.
Rates also varied according to vicinity to market. This gives a clear indication that
vertical equity was catered for Islamic levies. Abu yusuf later supported the new
system as being consistent with Islamic shariah. He suggested that fruits should also
be subject to kheraj. He also suggested that the ruller could vary kheraj according to
the ability of tenant. 15
Cara pemungutan kharaj yang pertama adalah kharaj tetap (wazifah), yaitu
beban pada tanah sebanyak hasil alam atau uang persatuan lahan yang dibayarkan
wajib setalah lampaui satu tahun. Sistem ini berlaku mulai dari khalifah Umar bin
Khattab sampai pada masa daulah Abbasiyah dibawah pemerintahan Al-Mahdi.
Metode

perhitungan

wazifah

didasarkan

pada

pengukuran

tanah,

tanpa

memperhitungkan tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman.


Metode ini mulai berubah pada masa daulah Bani Abbasiyah. Abu Yusuf
berpandangan bahwa sistem misaha atau wazifah ini tidak lagi efisien untuk
diterapkan. Dia merujuk pada saat Umar bin Khattab menerapkan metode ini hanya
sebagian besar tanah yang dapat diolah sedangkan sebagian lainnya menganggur.
Area yang diolah diklasifikasikan dalam satu kategori, dan kharaj juga dikumpulkan
dari tanah yang tidak diolah. Atas dasar pertimbangan optimalisasi pemasukan bagi
negara dan keadilan sosio ekonomi, maka Abu Yusuf menyampaikan gagasannya
kepada khalifah Harun ar-Rasyid untuk mengubah sistem wazifah dengan
muqasamah.

15

Peerzade, Sayed Afzal, Reading in Islamics Fiscal Policy, hal. 40.

68

Dan yang kedua adalah kharaj perbandingan (muqasamah) yang ditetapkan


berdasarkan porsi hasil seperti , 1/3, atau 1/5 dari total hasil panen yang dipungut
pada setiap kali panen. Abu Ubaid adalah orang yang menemukan sistem baru ini dan
kemudian Abu Yusuf mendukung serta menerapkan sistem baru ini. Pada masa
daulah Abbasiyah, pajak atas tanah mengalami perubahan dari tarif tetap menjadi
proporsional, dengan pertimbangan persentase yang ditetapkan oleh negara tidak
terlalu tinggi. Abu Yusuf merekomendasikan adaptasi dari sistem muqasamah dengan
mengenakan persentase dari produksi panen. Menurutnya metode pajak proporsional
akan meningkatkan pendapatan dari pajak tanah dan pada pihak lain akan mendorong
para pengolah tanah untuk meningkatkan produksi mereka. Argumen Abu Yusuf
menunjukkan bahwa sistem pajak proporsional akan meningkatkan produksi
agrikultur dan mencegah penurunan ekonomi. Karena sistem ini menilai berdasarkan
hasil panen yang sudah ada.
Penetapan kharaj (pajak tanah) harus memperhatikan betul kemampuan
kandungan tanah, sebab ada tiga hal berbeda yang sangat berpengaruh, yaitu:
1.

Jenis tanah: karena kandungan tanah bagus, maka tanaman akan subur dan
hasilnya lebih baik dari tanah yang buruk.

2.

Jenis tanaman: ada yang harganya tinggi dan juga ada yang rendah.

3.

Pengelolaan tanah: biaya pengelolaan yang tinggi, maka pajak tanah tidak
sebesar pajak tanah yang disiram dengan air hujan (biaya rendah).
Kharaj yang ada pada masa pemerintahan Islam, secara umum sesuai dengan ukuran

dan nilai-nilai ilmu modern terhadap sumber pemasukan umum. Jadi kharaj telah memenuhi

69

syarat-syarat yang urgen dalam ilmu ekonomi untuk mencapai devisa yang bagus. Kharaj
adalah pajak yang memperhatikan keadilan dalam penetapannya, demikian juga dalam
pengambilannya.

C. Analisa Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia


1. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan ditinjau dari Ekonomi Islam

Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia dipungut berdasarkan UndangUndang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No. 12 Tahun 1994. Dengan pertimbangan bahwa bumi dan bangunan
memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi
orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat
dari padanya. Oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan
sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui
pajak. Hasil penerimaan dari pajak sangat penting bagi pelaksanaan dan
peningkatan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 16
Dalam ekonomi Islam memang tidak ada rujukan secara eksplisit tentang
PBB, yang ada hanya pajak bumi yang dikenal dengan kharaj. Dilihat dari
objeknya, baik itu PBB maupun kharaj memiliki objek yang sama, yaitu tanah.
Namun, pada PBB objeknya ditambah dengan bangunan. PBB dikenakan kepada
seluruh masyarakat yang memiliki tanah dan/atau bangunan, lain halnya dengan

16

Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

70

kharaj yang hanya dikenakan bagi non-muslim maupun muslim sebagai biaya
sewa atas tanah yang dimiliki negara Islam karena telah menaklukan wilayah
tersebut. Dan kharaj dibayarkan saat panen dengan mempertimbangkan
kemampuan dari tanah tersebut.
Untuk konteks kehidupan perekonomian saat ini yang lebih banyak
bertumpu pada sektor industri dan jasa dari pada sektor pertanian dan peternakan
yang tradisional, semakin banyak jenis kekayaan dan rinciannya sangat beragam
dan bahkan menjadi alat perbedaan kelas masyarakat.
Persoalannya sederhana, karena jenis atau rincian kekayaan-kekayaan itu
pada masa Nabi belum berkembang atau bahkan belum ada dalam kenyataan. Jadi
bukan berarti kalau Nabi tidak membicarakannya lalu kekayaan-kekayaan tadi
harus disimpulkan tidak kena zakat atau pajak. Apabilas jenis-jenis kekayaan
tersebut sudah ada pada masa Nabi, maka tentu akan juga dikenakan pajaknya.
Oleh karena itu, apa yang dibakukan oleh para fuqaha pada masa lalu merupakan
bahan masukan yang berharga dan tidak boleh membelenggu para pengambil
kebijakan dalam merealisasikan kemaslahatan yang relevan dengan keadaaan saat
ini. 17 Kebijakan dapat terus berubah seiring dengan perubahan kondisi dan
potensi yang dimiliki masyarakat, serta masalah dan kesulitan yang harus

17

Masdar F. Masudi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991),
h. 137-138.

71

dihadapi. Oleh karena itu, kondisi objektif mempengaruhi penentuan kebijakan


yang harus dijalankan. 18
Dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan bagi negara-negara muslim
menurut kerangka syariat, tidak mungkin dan tidak perlu harus menemukan
contoh masing-masing pada masa lalu. 19 Kebijakan yang relevan bagi kehidupan
modern adalah adanya hak negara Islam untuk mengenakan pajak dengan
keadilan. Adalah pendapat yang tidak realistis bila perpajakan negara-negara
muslim harus terbatas hanya pada lahan pajak yang telah dibahas oleh para
fuqaha. Situasi telah berubah dan perlu melengkapi sistem pajak dengan
menyertakan realitas perubahan terhadap kebutuhan negara berkembang dan
perekonomian modern. 20
Salah satu sumber penerimaan negara Islam adalah zakat dan sasaran
penggunaan dana zakat hanya terbatas pada delapan asnaf yang telah ditentukan
Al-Quran. Oleh karena itu, keperluan pembangunan infrastuktur seperti untuk
membangun jembatan, perbaikan jalan, pengairan, dan lain sebagainya harus
dibiayai dari sumber lain di luar zakat.
Pada masa-masa penaklukan Islam awal, kas negara dapat tercukupi dari
seperlima ghanimah (rampasan perang), kharaj, dan lain-lain. Adapun pada
zaman sekarang sumber pendapatan itu telah tiada. Maka untuk dapat membiayai

18

M. Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna, hal. 419-420.


M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, hal.247.
20
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, hal.296.
19

72

keperluan umum itu tidak ada jalan lain kecuali mengenakan pajak. Sebagaimana
kaidah sesuatu yang menjadi syarat bagi yang wajib adalah wajib. 21
Menurut para pemikir ekonom Islam kontemporer, negara-negara Muslim
saat ini harus menutup defisit dengan pajak, yaitu mereformasi sistem perpajakan
dan program pengeluaran negara. Selain dengan meningkatkan pajak bisa juga
melalui ekspansi moneter dan meminjam. Namun dengan melalukan pinjaman
kepada negara asing dan lembaga keuangan internasional akan berpotensi
membawa kepada riba dan hanya menangguhkan beban sementara waktu yang
pada akhirnya akan membebani generasi mendatang karena diwariskan hutang
yang berbunga-bunga sehingga meningkatkan pembayaran pajak lebih dipilih
dari pada ekspansi moneter.
Menurut Yusuf Qardhawi dalam pemungutan pajak harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut: 22
1.

Benar-benar harta (dana) itu dibutuhkan dan tidak ada sumber lain.

2.

Pembagian beban pajak yang adil

3.

Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat bukan


untuk maksiat dan hawa nafsu

4.

Persetujuan para ahli dan para cendikia


Dalam menentukan suatu kebijakan, pemerintah selalu meminta

pandangan dan pemikiran para ahli. Begitupun dalam menentukan kebijakan


21

Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Cet.5, Terj. Salman Harun, dkk. (Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa, 1996), hal. 1073.
22
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, hal. 1079.

73

8
R[k
e

m
;@%
$Zo
m
.... 2A% r')U t

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu....(Q.S. An-Nisa: 59)
Hasil dari pemungutan PBB disatukan dengan sumber penerimaan negara
lainnya. Dan hasil tersebut digunakan untuk proses pembangunan baik
pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, gedung, rumah sakit, dan sekolah
juga digunakan untuk pembangunan non fisik seperti pendidikan, kesehatan,
keagamaan (kerohanian), dan lain sebagainya yang tidak terlihat namun berperan
penting bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Disamping untuk menghimpun penerimaan negara, kebijakan di bidang
PBB juga diarahkan untuk meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan. 23
Tanah dan bangunan yang tidak produktif akan berkurang nilai ekonomisnya
dibandingkan tanah dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan produktif.
Kegiatan yang menghasilkan pendapatan tentu akan memberikan keuntungan bagi
pemiliknya sehingga ketika dikenakan PBB tidak mengurangi nilai ekonomis
23

B. Wiwoho (Ed.), Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1992), hal. 41.

74

tanah tersebut. Dengan demikian secara tidak langsung PBB mendorong


masyarakat untuk memproduktifkan tanah dan bangunan yang mereka miliki.

2.

Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagai alat Distribusi Kekayaan


Tema distribusi menjadi kajian sentral dalam filosfi ekonomi Islam.
secara umum asas kebijakan ekonomi Islam adalah menyangkut distribusi
kekayaan. Konsep kekayaan adalah konsep stock, seperti halnya tabungan yang
diinvestasikan atau ditumpuk-tumpuk inilah kekayaan seseorang pada titik
tertentu. Sedangkan konsep pendapatan adalah konsep flow, misalnya pendapatan
perminggu, perbulan, atau pertahun. 24
Dalam kehidupan ada sejumlah orang yang memiliki kekayaan sementara
yang lainnya tidak. Kekayaan tersebut bukanlah hak dan kendali absolut,
sehingga bukan untuk dihabiskan sia-sia atau didiamkan tanpa dimanfaatkan.
Namun harus digunakan untuk tujuan produktif sehingga tidak hanya bermanfaat
bagi dirinya tetapi juga bagi orang lain.
Tujuan Islam dalam bidang ekonomi dan sosial ialah menghindarkan
terkumpulnya kekayaan umat ditangan segelintir anggota masyarakat. Oleh

24

Zaki Fuad Chalil, Pemerataan Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: penerbit
Erlangga, 2009), hal. 79.

75

karena itu, Islam mendistribusikan kekayaan itu dan berusaha menghilangkan


perbedaan yang menyolok dan pemerataan kepada seluruh anggota masyarakat.
Islam memberi hak intervensi kepada negara untuk mengaplikasikan
konsep distribusi kekayaan, agar tidak terjadi penyimpangan dalam distribusi.
Hak intervensi itu harus sesuai dengan gagasan keadilan sosial Islam bagi segala
zaman dan tempat. Dengan adanya konsep distribusi harta kekayaan yang baik,
maka tidak akan ditemui sebuah perbedaan tingkat ekonomi, ataupun
kesenjangan sosial yang mendalam di antara anggota masyarakat. 25
Teori distribusi diharapkan dapat mengatasi masalah distribusi pendapatan
antara berbagai kelas dalam masyarakat. M. Anas Zarqa mengemukakan
beberapa prinsip distribusi dalam ekonomi Islam, yaitu:26
1.

Pemenuhan kebutuhan bagi semua makhluk hidup.

2.

Menimbulkan efek positif bagi pemberi itu sendir, misalnya zakat, selain
dapat membersihkan diri dan harta muzakki juga menigkatkan keimanan dan
menumbuhkan kebiasaan berbagi dengan orang lain.

3.

Menciptakan kebaikan antara yang kaya dan yang miskin.

4.

Mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan.

5.

Pemanfaatan lebih baik terhadap sumber daya alam dan aset tetap.

6.

Memberikan harapan pada orang lain melalui pemberian.

25

Abdul Sami Al-Misri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, Terj. Dimyauddin Djuawaini,


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 62.
26
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran LKM dan UKM
di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 117-119.

76

Distribusi kekayaan berjalan pada dua tingkatan. Yang pertama adalah


distribusi sumber-sumber produksi (kekayaan induk) seperti tanah, bahan-bahan
mentah, alat dan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi barang dan
komoditas. sedangkan yang kedua adalah distribusi kekayaan produktif
(kekauaan turunan), yaitu barang-barang modal dan aset tetap (fixed asset)
seperti gedung, kendaraan, dan lain sebagainya yang merupakan hasil dari proses
produksi manusia dengan kerja. Jadi dalam Ekonomi Islam distribusi mencakup
pada kedua jenis kekayaan itu. 27
Pajak merupakan salah satu alat redistribusi kekayaan dalam ekonomi
Islam selain zakat, sedekah, wakaf, wasiat dan warisan. Distribusi kekayaan
dilakukan sebagai usaha untuk mencegah konsentrasi kekayaan agar tidak
beredar pada orang kaya saja. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran pada
surat Al-Hasyr ayat 7

89 3
l Ie y t ..
..1A% l@)U
..supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di
antara kamu.. (Q.S. Al-Hasy (59): 7)

Objek yang dikenakan PBB adalah bumi dan/atau bangunan. Bumi/tanah


merupakan salah satu sumber produksi dan bangunan merupakan salah satu jenis
kekayaan produktif sehingga kedua merupakan objek dari distribusi kekayaan.
27

M. Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna, hal. 149-150.

77

Salah satu cara untuk mendistribusikan kekayaan tersebut adalah dengan


memungut pajak dari kekayaan yang dimiliki masyarakat dan hasil dari pajak
tersebut digunakan untuk kepentingan masyarakat kembali.

3.

Tarif Perpajakan yang Sesuai dengan Keadilan Sosial dalam Ekonomi


Islam
Tarif perpajakan di Indonesia ada beberapa macam dan sistem tarif yang
digunakan dalam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah tarif proporsional.
Dimana besarnya persentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai
pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya
nilai yang dikenai pajak. Besarnya persentase yang digunakan dalam PBB
sebesar 0,5%. Apakah adil penggunaan persentase tarif pajak yang sama antara
orang yang memiliki tanah luas dengan orang yang hanya memiliki tanah untuk
kebutuhan primer?
Menurut Rochmat Soemitro pajak merupakan senjata yang ampuh untuk
menjembatani jurang kemiskinan antara golongan yang berpenghasilan tinggi
dengan golongan yang berpenghasilan rendah. Untuk hal tersebut, ditempuh

78

dengan jalan menerapkan tarif progresif. 28 Pada tarif progresif persentase tarif
yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Pajak merupakan alat redistribusi kekayaan, dimana pajak dengan tarif
progresif dimaksudkan untuk mengenakan pajak yang lebih tinggi pada golongan
yang mampu, peranan ini sangat penting untuk menegakan keadilan sosial. 29
Dalam bukunya Majmuatur Rasail, Hasan Al-Bana berpendapat bahwa
sistem perpajakan progresif seirama dengan sasaran-sasaran Islam, yaitu keadilan
sosial dan distribusi pendapatan yang merata. 30
Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pembebanan pajak progresif yang
ditentukan oleh negara ialah untuk mengatasi keadaan tertentu dan untuk
mencapai tujuan-tujuan sosial atau ekonomi dalam negara tertentu dan dalam
keadaan tertentu. 31
Pada masa Nabi tarif zakat bisa begitu rendah adalah lantaran tuntutan
kemaslahatan umum yang harus ditanggung dari dana zakat relatif masih
sederhana, jauh di bawah tingkat kebutuhan masyarakat zaman sekarang, seperti
kebutuhan untuk membangun jalam tol, kebutuhan jaringan komunikasi dengan
satelit, alat transportasi masal, dan lain sebagainya. 32

28

Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan 1, hal. 10.
B. Wiwoho (Ed.), Zakat dan Pajak, hal. 44.
30
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, h. 296.
31
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, hal. 1055.
31
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, hal. 1056.
32
Masdar F. Masudi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak), hal. 140.
29

79

Besar kecilnya tarif pajak secara absolut yang harus dibayar oleh
masyarakat, Nabi menetapkan berdasarkan berat ringannya tantangan keadilan
dan kesejahteraan yang dihadapi sesuai dengan prinsip syariat. Nabi menetapkan
tarif antara 2,5% sampai 10%. Namun ada juga satu jenis kekayaan yang
dikenakan tarif tinggi 20% karena perolehannya tanpa upaya, yaitu harta karun
(rikaz). Artinya, apabila variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan yang
ditemukan lebih berat pada masyarakat yang lain, seperti dalam kehidupan
masyarkat modern sekarang ini, tarif yang ditentukan Nabi tersebut tidak ada
halangan untuk diperbesar. Kalau perlu sistem perpajakan progresif pun bisa
diterapkan. 33
Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia menggunakan tarif proporsional
sebesar 0,5%. Di mana tidak ada kenaikan tarif seiring dengan bertambahnya
dasar pengenaan PBB. Sehingga tidak mengherankan hingga saat ini masih
banyak masyarakat yang menimbun harta kekayaannya dalam bentuk tanah
maupun bangunan (property).
Pajak progresif adalah cara yang terbaik untuk menghilangkan perbedaan
kekayaan dan pendapatan yang menyolok di mana kekayaan itu tidak dapat
didistribusikan secara merata di antara masyarakat. Oleh karena itu, untuk
merubah keadaan demikian harus digunakan pajak bertingkat (progresif) agar
jurang perbedaan dapat diperkecil.34 Hendaklah orang kaya diturunkan setingkat

33
34

Masdar F. Masudi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak), hal. 139.


Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, cet. 5, hal. 1053.

80

dan orang mikin dinaikkan setingkat sehingga dua golongan ini berdekatan satu
sama lain.

80

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Melihat perkembangan ekonomi saat ini, dimana luas bumi tetap akan tetapi luas
bangunan terus bertambah maka diperlukan kebijakan pemerintah untuk
mengaturnya, salah satunya dengan pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
bagi yang memenuhi ketentuan. Kepemilikan tanah dan bangunan yang cukup
luas dapat menjadi prestige tersendiri bagi pemiliknya. Sehingga wajar apabila
mereka memberikan sebagian manfaat dari harta mereka untuk menambah
pemasukan negara dan akan digunakan untuk kepentingan umum. Dengan prinsip
untuk menciptakan kemaslahatan umum, maka PBB boleh dikenakan pada orang
yang kaya sebagaimana prinsip maslahah mursalah.
2. Bumi dan bangunan termasuk ke dalam jenis kekayaan dan dapat didistribusikan
melalui PBB untuk mengurangi jurang perbedaan kekayaan antara orang kaya dan
orang miskin. Dengan adanya pengenaan PBB maka masyarakat akan lebih
mempertimbangkan keputusannya dalam menambah kekayaan mereka. Apabila
kekayaan mereka digunakan untuk hal yang produktif, maka kekayaan mereka
akan tetap atau bahkan bertambah. Sedangkan apabila kekayaan mereka hanya
untuk ditimbun maka secara matematis akan berkurang seiring dengan pengenaan
PBB setiap tahunnya.

81

3. Sistem tarif pajak yang adil bukan berarti sama rata besarnya pungutan pajak
yang dibebankan kepada masyarakat, akan tetapi besarnya tarif harus
mempertimbangkan juga keadaan ekonomi dan sosial Wajib Pajak. Maka sistem
tarif progresif lebih dianjurkan dimana semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang
maka semakin tinggi pula pajak yang dikenakan, dengan demikian keadilan akan
tercipta di masyarakat.
B. Saran
1. Untuk benar-benar merealisasikan keadilan sosial di masyarakat, subjek PBB
harus diseleksi lebih ketat berdasarkan jumlah kekayaan bumi dan bangunan yang
dimiliki, sehingga hanya orang kaya saja yang dikenakan PBB dan adanya
pengecualian bagi orang miskin, para petani yang hanya mengandalkan
pembayaran PBB dari hasil pertaniannya, para pensiunan yang tinggal di jalan
protokol, dan lain sebagainya.
2. Kebijakan PBB di Indonesia baru berfungsi sebagai sumber penerimaan negara
dan belum berfungsi dalam meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan.
Negara dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak harus terus melakukan evaluasi
dan perbaikan dalam isi kebijakan maupun pelaksanaan PBB tersebut.
3. Tarif proporsional yang digunakan dalam PBB tidak mencerminkan keadilan
sosial di masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan yang ada dalam PBB ini harus
ditinjau ulang maupun dilakukan perubahan untuk mengikuti perkembangan
ekonomi saat ini.

82

4. Pemerintah harus terus meningkatkan kepercayaan masyarakat agar pendapatan


dalam sektor pajak terus bertambah. Oleh karena itu, semua aspek pendukung
pajak harus memperoleh perhatian yang besar termasuk di dalamnya
pemberlakuan peraturan yang tegas bagi aparat pajak yang menyimpang dan
wajib pajak yang tidak menunaikan kewajibannya.

83

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim
Ahmadi, Wiratni. Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah dengan Kebijakan
Pertanahan di Indonesia. Badung: PT Refika Aditama. 2005.
Al-Misri, Abdul Sami. Pilar-Pilar Ekonomi Islam Terj. Dimyauddin Djuwaini.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga
Kontemporer. Jakarta: Pustaka Asatruss. 2005.
Amalia, Euis. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran LKM
dan UKM di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Ash-Shadr, M. Baqir. Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna. Terj. Yudi. Jakarta:
Zahra. 2008.
Ash-Shiddiqieqy, M. Hasbi. Pedoman Zakat. Jakarta: Bulan Bintang. 1991.
Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
2004.
Chalil, Zaki Fuad. Pemerataan Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam. Jakarta:
Elangga. 2009
Chapra, M. Umar. Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani Press. 2000.
Gusfahmi. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007.
Hafidhuddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani.
2002.

84

Islahi, A. A. Konsepsi Ekonomi Ibu Taimiyah. Surabaya: PT Bina Ilmu. 1997.


Judisseno, Rimsky K. Perpajakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2004.
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Edisi 3. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2006.
Majid, M. Nazori. Pemikiran Abu Yusuf: Relevansinya dengan Ekonomi Kekinian.
Cet. 1. Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islama STIS Yogyakarta. 2003.
Maloeng, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya. 1997.
Mannan, M. A. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Dana Bhakti
PrimaYasa. 1997.
Mardiasmo. Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2008.
Masudi, Masdar F. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 1991.
Muhammad. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2007.
Nasution, Mustafa Edwin. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana.
2007.
Parlindungan, A.P. Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform Bagian I.
Bandung: Mandar Maju. 1989.
Peerzade, Sayed Afzal (Ed). Readinga in Islamic Fiscal Policy. Delhi: Adam
Publisher & Distributor. 1996.

85

Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat. Cet.5. Terj. Salman Harun, dkk. Bogor: Pustaka
Litera AntarNusa. 1996.
Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta:
Robbani Press. 1997.
Sarkaniputra, Murasa, Agus Kristiawan. Ilmu Ekonomi (Bahan Pengajaran Ekonomi
Perbankan dan Asuransi Islam ). Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 2000.
Sholahuddin, Muhammad. Asas-Asas Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2007.
Soemitro, Rochmat, Dewi Kania Sugiharti. Asas dan Dasar Perpajakan I. Edisi
Revisi. Bandung: PT Refika Aditama. 2004.
Soemitro, Rochmat, Zainal Muttaqin. Pajak Bumi dan Bangunan. Edisi Revisi.
Bandung: Refika Aditama. 2001.
Suandy, Erly. Hukum Pajak. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. 2002.
Suma, Amin. Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, Ciputat:
Kolam Publishing. 2008.
Waluyo. Perpajakan Indonesia: Pembahasan Sesuai dengan Ketentuan Perundangundangan Perpajakan dan Aturan Pelaksanaan Perpajakan Terbaru. Jakarta:
Penerbit Salemba Empat. 2004.
Wiwoho, B. (ed). Zakat dan Pajak, Jakarta: PT Bina Rena Pariwara. 1992.
Internet:

86

http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/download/Data%20Pokok%202009%20Indo
nesia%20rev1.pdf
www.pajak123.com/trik-pajak/jumlah-npwp-lampaui-target-per-agustus-2009-1505juta.
LAMPIRAN

BUTIR-BUTIR
SEMINAR HUKUM ISLAM DAN PERPAJAKAN YANG
DISELENGGARAKAN OLEH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN, JAMBI 25-26 NOPEMBER 1988 1
1. Hukum Islam, dalam pertumbuhan dan perkembangannya, ditentukan oleh
wahyu dan ijtihad. Yang dinyatakan oleh wahyu secara jelas dan tuntas
dinamakan qathI, sedangkan yang belum jelas dan tuntas dinamakan zhanni.
Dari segi wahtu, berupa Al-Quran dan al-hadits sebagai penjelasannya,
kedua-duanya telah berhenti pada saat wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan dari segi ijtihad berjalan terus sebagai wahana dalam memecahkan
permasalahan-permasalahan yang timbul. Dari sudut jumlah, bagian hukum
qathi lebih sedikit dari bagian hukum zhanni, karenanya bagian zhanni
cukup besar dan luas lapangannya.
2. Dalam pada itu, hukum Islam dalam prakteknya ada yang berupa siyasah
syariiyah (kebijaksanaan pemerintah) dan ada yang dalam bentuk hasil
ijtihad para mujahid. Dengan kata lain, bahwa hukum Islam dapat diterapkan
dengan adanya suatu kewenangan atau kekuasaan, dari segi lain hukum Islam
berlaku sebagai hasil ijtihad atau fatwa dari para mujtahid tanpa memerlukan
ada tidaknya suatu kekuasaan atau kewenangan. Dalam hukum Islam dikenal
dengan prinsip Kepentingan Umum (mashlahah mursalah) yang dapat
dijadikan dasar dalam penetapan sesuatu hukum yang belum ditetapkan dalam
Al-Quran dan al-hadits. Di samping itu, Al-Quran menetapkan kewajiban
setiap muslim mematuhi Allah, mematuhi Rasul dan mematuhi ulil amri
(pemerintah).
3. Semua yang ada di langit dan bumi dan apa-apa yang terdapat di dalamnya,
menurut Islam adalah milik Allah. Sedangkan manusia berhak menggunakan
manfaat harta tersebut. Di dlam harta setiap orang ada hak-hak orang lain
1

Wiwoho (Ed.), Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1992), h. 290-292

87

yang harus dikeluarkan untuk kepentingan, kemaslahatan dan kesejahteraan


umum.
4. Enam prinsip pokok yang merupakan peletakan dan pembatasan kewajiban
bagi setiap pemilik harat, yaitu: (1) membatasi pemilikan individu demi
kepentingan masyarakat, (2) memperbolehkan penguasa (pemerintah) untuk
mengambil alih milik individu menjadi milik bersama, (3) memperbolehkan
penguasa (pemerintah) menetapkan peraturan-peraturan yang dapat
menunjang terciptanya keseimbangan antar kelompok-kelompok measyarakat,
(4) membatasi hak pemilikan berkesinambungan (haqq al-dawam) dengan
pembatasan yang dapat menjamin pemerataan secara adil sehingga
menghalangi penumpukan harta pada kelompok tertentu, (5) membatasi hak
kemerdekaan penggunaan (haqq al-Tasharruf) dengan pembatasanpembatasan yang dapat menjamin terhindarnya kemudharatan terhadap
pemilik maupun terhadap orang lain, (6) kewajiban keuangan yang
dibebaskan kepada pemilik harata demi terciptanya pertumbuhan ekonomi
dan menyempitnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
5. Dalam dunia modern, pajak adalah sumber penerimaan negara yang
memegang peranan sangat penting, baik untuk melaksanakan kegiatankegiatan rutin maupun pembangunan dari suatu bangsa. Di Indonesia, upaya
peningkatan hasil pajak baik dengan cara intensifikasi maupun dengan cara
ekstensifiaksi dalam rangka peningkatan pemasukan pemerintah mutlak
diperlukan, khususnya setelah penerimaan pemerintah dari sektor migas
menurun. Dalam pandangan hukum Islam hal itu merupakan salah satu
kepentingan umum (maslahah murasalah) yang dapat dijadikan dasar bagi
pemerintah untuk menetapkannya sebagai kewajiban setiap warga negara
yang memenuhi persyaratan wajib pajak.
6. Bagi setiap muslim/muslimat selaku wajib pajak adalah wajib mematuhi
kewajiban pajak yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan UndangUndang Perpajakan Indonesia. Kewajiban dimaksudkan adalah termasuk
mewujudkan kepentingan umum (maslahah mursalah) dan mematuhi ulilamri (pemerintah) sebagai pemegang kekuasaan dan dan kewenangan.

Anda mungkin juga menyukai