BANGUNAN DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh
MIA HASANAH
NIM : 106046103538
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan
hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mia Hasanah
Oleh:
MIA HASANAH
106046103538
Oleh:
MIA HASANAH
NIM. 106046103538
Pembimbing I
Pembimbing II
Oleh:
MIA HASANAH
NIM. 106046103538
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
Sekretaris
(......................................)
(......................................)
(......................................)
Penguji I
(......................................)
Penguji II
: Abdurrauf, M.A
NIP. 197312152005011002
(......................................)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pelaksanaan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) di Indonesia serta tinjauan Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi
dan Bangunan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan
menggunakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara penelitian studi
kepustakaan, yaitu dengan cara mempelajari, mendalami, dan mengutip teori-teori
atau konsep-konsep dari sejumlah literatur. Literatur yang digunakan berupa bukubuku tentang perpajakan baik itu buku perpajakan secara umum maupun buku yang
hanya membahas pajak bumi dan bangunan. Selain itu digunakan juga buku-buku
yang membahas ekonomi Islam baik itu buku terbitan dalam negeri maupun buku
terjemahan.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengenaan pajak terhadap
bumi dan bangunan yang dimiliki masyarakat untuk menciptakan kemaslahatan
umum PBB boleh dikenakan pada orang yang kaya sebagaimana prinsip maslahah
mursalah. Selain itu, pengenaan pajak pada harta kekayaan seseorang merupakan
salah satu cara distribusi harta dalam ekonomi Islam sehingga dapat membantu
mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat. Sementara untuk tarif pajak sebaiknya
digunakan tarif progresif di mana semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang maka
semakin tinggi pula pajak yang dikenakan.
Kata kunci:
KATA PENGANTAR
vi
selain terima kasih yang sangat dalam atas arahan, bimbingan, dan kesabaran Ibu
dan Bapak sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mentransfer pengetahuannya
dan berbagi pengalaman hidup yang sangat menginspirasi penulis. Pak
Adiwarman, Pak Nadra, Bu Euis, Pak Azhar, Pak Gustian, Pak Djaka, Pak Ali
Sakti, dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
5. Ibunda yang selalu mencurahkan doa, kasih sayang dan perhatiannya kepada
penulis. Semoga Allah SWT memberikan selalu kasih sayangNya, selalu
melindungi, memberikan kesehatan dan semua yang terbaik kepada beliau. Juga
Ayahanda yang telah berpulang ke Ramhmatullah, namun kasih sayangnya selalu
dan akan tetap penulis rasakan. Semoga beliau diberi tempat yang terbaik di sisi
Allah SWT.
6. Abang-abangku (Ashari, Rohim, Zarkasih, Tajuddin, Abdul) dan kakak-kakakku
(Sadiah, Rohimah, Neneng, Indah) yang selalu memberikan kasih sayang dan
perhatiannya sehingga penulis tidak pernah kekurangan sesuatu apapun.
7. Keluarga Bpk. Mulyadi, Bpk. Ust. Obur Burhanuddin, Bpk. Slamet, Bpk.
Suwardi, Bpk. Wibowo, Bpk. Agus terima kasih atas persaudaraan yang telah
terjalin. Semoga semuanya selalu dirahmati oleh Allah SWT.
8. Adik-Adik yang cantik (Shinta, Ulfah, Fika, Ikah, Gaitsha, Zasqia) dan yang
ganteng (Faiz, Fikri, Aldo, Zidan, Faris, Rafi, Rafa) yang telah menjadikan hidup
penulis penuh dengan warna dan keceriaan.
vii
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK.................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR............................................................................................... vi
DAFTAR ISI......... ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...... 7
D. Kajian Pustaka....... 8
E. Metode Penelitian..... 10
F. Sistematika Penulisan... 12
BAB II
ix
BAB IV
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.. 80
B. Saran.... 81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Praktik pemungutan pajak tidak bisa dilakukan secara sembarangan tanpa
aturan, tetapi harus berdasarkan undang-undang sebagai dasar hukumnya. Dasar
hukum pajak diletakkan dalam pasal 23 ayat (2) UUD 1945 Republik Indonesia yang
berbunyi Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. 1
Begitu juga dengan ketentuan umum dan tata cara perpajakan diatur dalam Undangundang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
No. 16 Tahun 2009. Jadi, setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus
berdasarkan undang-undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang hanya dipungut
berdasarkan Keputusan Presiden atau berdasarkan Peraturan Pemerintah atau
berdasarkan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah dari pada undang-undang. 2
Berbagai macam cara dilakukan pemerintah untuk dapat mengingkatkan
pendapatan di sektor pajak karena pajak merupakan pemasukan negara terbesar
dibandingkan sektor lainnya. Berikut ini adalah table yang menyajikan penerimaan
negara dari sektor dalam negeri pada tahun 2008 dan 2009:
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Edisi Revisi,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2004), hal. 7.
2
B. Wiwoho. (Ed.), Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1992), hal. 39.
Tabel 1 3
PENERIMAAN DALAM NEGERI TAHUN 2008 DAN 2009 (dalam miliar rupiah)
Perpajakan
Bukan Pajak
Jumlah
Tahun
Nilai
Nilai
Nilai
2008
633.818,9
66,1
325.698,1
33,9
959.517,0
100
2009
725.843,0
73,7
258.943,6
26,3
984.786,5
100
dari sektor
perpajakan mencapai Rp 725.843,0 miliar pada tahun 2009. Dengan demikian, sektor
pajak memberikan kontribusi sebanyak 73,7% dari seluruh penerimaan dalam negeri
yang berjumlah Rp 984.786,5 miliar pada tahun 2009. Sedangkan sektor bukan
perpajakan hanya memberikan kontribusi sebesar Rp 258.943,6 atau sekitar 26,3 %
dari penerimaan negara.
Dari 231 juta jiwa jumlah penduduk di Indonesia hanya sekitar 15 juta jiwa
yang memiliki NPWP. 4 Hal ini mengindikasikan bahwa potensi pajak di Indonesia
masih sangat besar untuk lebih dieksplor. Oleh karena itu, pemerintah terus
melakukan sosialisasi tentang pentingnya masyarakat membayar pajak karena
memang kepatuhan seseorang dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya
http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/download/Data%20Pokok%202009%20Indonesia%2
0rev1.pdf, diakses pada tanggal 14 Maret 2010
4
www.pajak123.com/trik-pajak/jumlah-npwp-lampaui-target-per-agustus-2009-1505-juta,
diakses pada tanggal 14 Maret 2010
haruslah didukung oleh pemahanan akan fungsi serta pentingnya pajak bagi
kelangsungan suatu negara.
Pajak merupakan harta yang dipungut dari rakyat untuk keperluan pengaturan
negara (fungsi pajak sebagai regulerend) dan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara
maupun pembangunan
2008
2009
599.160,7
697.347,0
1. Pajak Penghasilan
318.027,8
357.400,5
199.785,2
249.508,7
25.525,5
2 8.916,3
4. BPHTB
5.529,3
7.753,6
5. Cukai
46.967,5
49.494,7
6. Pajak lainnya
3.325,4
4.273,2
34.658,2
28.496,0
1. Bea Masuk
19.799,9
19.160,4
14.858,3
9.335,6
633.818,9
725.843,0
Jumlah
menghasilkan dana bagi negara adalah Pajak Bumi dan Bangunan (selanjutnya
disebut PBB) yaitu sebesar Rp 28.916,3 miliar. PBB merupakan salah satu
pendapatan negara yang langsung dipungut dari wajib pajak, baik perseorangan
maupun badan hukum yang menikmati hasil atau menguasai bumi dan bangunan
yang dilekatkan di atas bumi dengan berbagai macam konstruksi bangunan. Objek
dari PBB ini adalah bumi dan/ bangunan, sedangkan subjek yang membayar PBB ini
adalah siapa saja yang memiliki maupun memperoleh manfaat atas bumi dan
bangunan. 7 Sistem tarif yang digunakan dalam PBB tidak menggunakan tarif
progresif melainkan menggunakan tarif proporsional sebesar 0,5%.
Rimsky K. Judisseno, Perpajakan , (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 145.
Rochmat Soemitro dan Zainal Muttaqin. Pajak Bumi dan Bangunan. Edisi Revisi.
(Bandung: Refika Aditama. 2001), hal. 1
9
Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal.47
10
Ibid, hal.182
didistribusikan secara adil di antara semua orang yang mampu membayar; Ketiga,
dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan yang karenanya
pajak diwajibkan. Sistem pajak yang tidak memenuhi kriteria-kriteria tersebut
dianggap sebagai penindasan pemerintah terhadap rakyat. 11
Merujuk pada uraian di atas, maka dalam penelitian ini penulis akan meneliti
tentang TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN DI INDONESIA.
11
295
M. Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal.
mencakup pengertian, sejarah, dasar hukum, tarif penghitungan, subjek dan objek
Pajak Bumi dan Bangunan serta tinjauan ekonomi Islam terhadapnya.
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka permasalahan penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1.
Apakah Pajak Bumi dan Bangunan dibolehkan dari sisi Ekonomi Islam?
2.
Apakah objek Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia sesuai dengan konsep
distribusi kekayaan dalam Ekonomi Islam?
3.
Apakah tarif Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia sesuai dengan prinsip
keadilan dalam Ekonomi Islam?
2.
Untuk mengkaji dan mengetahui tinjauan Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi
dan Bangunan di Indonesia.
Hasil penelitian Tinjauan Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan
terhadap Pajak Bumi dan Bangunan serta dapat menjadi bahan masukan bagi
mereka yang berminat untuk menindaklanjuti hasil penelitian ini.
2.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi serta
menjadi bahan masukan bagi para pengambil kebijakan untuk selalu
mempertimbangkan kesejahteraan rakyat setiap kali mengambil keputusan.
D. KAJIAN PUSTAKA
Berikut pemaparan dari beberapa skripsi yang terkait dengan tema penulis
antara lain:
1.
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Evan Sofian (Mahasiswa Perbankan Syariah UIN
Jakarta) yang berjudul Konsep Pajak Yaqub bin Ibrahim bin Saad alAnshor (Abu Yusuf) pada 2004. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian kualitatif dengan metode analisa deskriptif. Penelitian ini membahas
tentang prinsip dan sistem pemungutan pajak menurut Abu Yusuf serta tujuan
dan manfaat pemungutan pajak.
3.
Penelitian yang dilakukan oleh Lisda Malau (Mahasisiwi Perbankan Syariah UIN
Jakarta) pada 2004 dengan judul Tinjauan Hukum Islam terhadap Sistem
Perpajakan Modern. Penelitian ini fokus membahas tentang Pajak
Penghasilan (PPh) yang mencakup sistem perpajakan modern, fungsi pajak di
Indonesia, dan tinjauan hukum Islam terhadap Pajak Penghasailan.
4.
penelitian di atas. Perbedaan tersebut terletak pada objek penelitian. Objek penelitian
penulis adalah praktik Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia yang akan dianalisa
menurut tinjauan Ekonomi Islam berdasarkan dasar hukum pemungutan Pajak Bumi
dan Bangunan, konsep distribusi kekayaan pada objek yang dikenakan Pajak Bumi
dan Bangunan serta prinsip keadilan pada tarif yang dikenakan dalam Pajak Bumi
dan Bangunan.
10
E. METODE PENELITIAN
1.
12
Lexy Maloeng, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, (Bandung: PT Renlaja Rosda
Karya, 1997), cet. Ke-8, hal. 6.
11
13
hal. 173.
12
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Skripsi ini disajikan dalam lima bab, yaitu sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi uraian mengenai latar belakang
masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kajian kepusatakaan, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II merupakan kerangka teori yang berisi uraian teoritik mengenai
permasalahan yang akan diteliti antara lain tentang pengertian PBB,
sejarah PBB, dasar hukum PBB, sujek dan objek PBB, tarif dan
perhitungan PBB serta karakteristik dari PBB.
Bab III berisi uraian umum tentang Ekonomi Islam, meliputi pengertian Ekonomi
Islam, prinsip dasar, nilai-nilai Ekonomi Islam, kebijakan fiskal dalam
Ekonomi Islam, pendapat ulama tentang pajak, dan karakteristik pajak
dalam Ekonomi Islam.
Bab IV merupakan bagian analisis dan pembahasan yang berisi analisis
permasalahan, nterpretasi dan disertai dengan pembahasan hasil
penelitian tentang tinjauan Ekonomi Islam terhadap PBB di Indonesia.
Bab V merupakan bab penutup. Pada bagian ini disarikan kesimpulan hasil
penelitian disertai rekomendasi dalam bentuk saran-saran yang relevan.
13
BAB II
SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA
b.
Berdasarkan undang-undang.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaanya.
1
14
c.
Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung
dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
d.
Digunakan untuk membiayai rumah tanggga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
pemungutan
harus
adil.
Adil
dalam
perundang-undangan
15
c.
Bea Materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
Tarif PPN yang veragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu
10%.
2.
16
b.
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN &
PPn BM)
c.
Bea Materai
d.
e.
b.
Pajak Kabupaten atau kota, antara lain Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Parkir, dan lain-lain.
3.
b.
6
7
17
Equality
Pembebanan pajak kepada subjek pajak hendaknya seimbang dengan
kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah
perlindungan pemerintah. Dalam hal ini tidak boleh suatu negara mengadakan
diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama wajib
pajak harus diperlakukan sama dan dalam keadaan berbeda wajib pajak harus
diperlakukan berbeda.
18
b. Certainty
Pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal
kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan
adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai
pembayarannya.
c.
Convenience of payment
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak,
yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan keuntungan
yang dikenakan pajak.
d. Economic of collection
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin,
jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu
sendiri. Karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan
lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.
4.
19
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
2) Wajib Pajak bersifat pasif.
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang
kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib
Pajak sendiri.
2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang.
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c.
20
Tarif Pajak
Ada empat macam tarif pajak: 10
a.
Tarif sebanding/proporsional
Tarif berupa persentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai
pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya
nilai yang dikenai pajak.
Contoh : tarif 10% dalam Pajak Pertambahan Nilai dan tarif 5% dalam Pajak
Bumi dan Bangunan.
b. Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang
dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh : Tarif Bea Meterai untuk cek dan bilyet giro sebesar Rp 1.000,c.
Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai
pajak semakin besar.
Contoh: Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.
d. Tarif degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai
pajak semakin besar. Di Indonesia, tarif ini tidak digunakan.
10
21
2.
11
Rochmat Soemitro dan Zainal Muttaqin, Pajak Bumi dan Bangunan, hal. 2.
Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 46
13
Wiratni Ahmadi, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah, hal. 47
12
22
Pada saat itu di Belanda sedang terjadi perubahan konsep tentang cara mengelola
tanah jajahan, yang dijiwai asas liberalisme. 14
Namun pada tahun 1806, Belanda dijajah oleh Perancis, kemudian
Belanda dijadikan Kerajaan Holland yang dipimpin oleh Louis Napoleon.
Tahun 1801 sampai dengan tahun 1806, Herman Willem Daendels yang
diangkat
sebagai
Gubernur
Jenderal
yang
pertama.
Ia
melaksanakan
14
15
23
sebagai pengganti Land Rent. Sistem tanam paksa mewajibkan rakyat untuk
menyerahkan hasil tanaman yang dapat diekspor, dengan ketentuan bahwa 20%
dari hasil garapan wajib ditanami dengan jenis tanaman wajib yang hasilnya laku
di Eropa. 16
Pada masa penjajahan Jepang, Land Rent berganti nama menjadi pajak
tanah dan pada tahun 1944 namanya diganti lagi menjadi pajak bumi.
Peraturannya tidak mengalami perubahan, akan tetapi sejalan dengan peperangan
yang dilakukan pemerintah Japang, dibutuhkan dana yang lebih banyak sehingga
rakyat semakin menderita sebagi akibat dari ketentuan bahwa rakyat diwajibkan
untuk menyerahkan 60% dari hasil panennya yang pada akhirnya menimbulkan
kelaparan di mana-mana.
Meskipun Indonesia telah merdeka, semua pajak-pajak yang dikenakan
berdasarkan peraturan zaman kolonial masih tetap diberlakukan, serperti di Jawa,
Madura, Lombok, dan Sulawesi Selatan telah diselenggarakan suatu pendaftaran
tanah Indonesia dengan tujuan untuk pemungutan pajak bumi (Fiscale
Kadaster). 17 Namun setelah negara-negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
dihapuskan, pada tahun 1952, Indonesia mendapatkan kedaulatan secara penuh,
kemudian diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1952 (Lembaran
Negara 1952 Nomor 43). Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan secara
tegas bahwa di seluruh Indonesia berlaku semua undang-undang pajak, baik
16
17
24
yang berasal dari zaman kolonial maupun yang berasal dari masa RIS dan yang
berasal dari Negara Republik Indonesia. Dengan menyebutkan undang-undang
pajak satu persatu, pada tahun 1959, Pajak Bumi ini dirubah dengan nama Pajak
Hasil Bumi, pengenaan pajak tidak didasarkan atas nilai dari tanah, tetapi
berdasarkan hasil yang diperoleh dari tanah, padahal hasil dari tanah telah
dikenakan pajak pendapatan, yang pada waktu itu telah dikenakan dengan istilah
Overgangsbelasting (pajak peralihan). 18
Tahun 1952, Pajak Hasil Bumi, pengenaannya didasarkan atas hasil yang
dikeluarkan dari tanah, yang juga merupakan objek pajak dari pajak penghasilan
dihapuskan dan pada tahun 1959 pajak atas hasil bumi dipungut lagi dengan
nama Iuran Pemungutan Daerah (IPEDA), yang merupakan pajak pemerintah
pusat, namun pemungutan dan pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah
daerah dan dipergunakan untuk membiayai pembangunan daerah. Pada dasarnya
IPEDA menggantikan fungsi dari Verpoding, Inlandsverpoding dan Pajak Hasil
Bumi yang dikenakan atas harta tak bergerak (tanah).
3.
18
19
25
4.
20
Waluyo, Perpajakan Indonesia: Pembahasan Sesuai dengan Ketentuan Perundangundangan Perpajakan dan Aturan Pelaksanaan Perpajakan Terbaru, (Jakarta: Penerbit Salemba
Empat, 2004), hal. 474.
26
27
6. Dasar Pengenaan Pajak dan Cara Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Dalam
Pasal 1 Ayat 3 UU PBB No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah dengan
UU PBB No. 12 Tahun 1994, NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi
28
jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang
sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti. 22
Dasar perhitungan pajak:
a. Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang ditetapkan
serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP.
b. Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.46
Tahun 2000 Tanggal 26 Juni 2000 yang diberlakukan mulai tahun 2001
adalah:
1) Sebesar 40% dari NJOP
a) Objek Pajak perkebunan
b) Objek Pajak kehutanan
c) Objek Pajak lainnya, apabila NJOP Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)
miliar rupiah).
Cara menghitung Pajak Bumi dan Bangunan Terutang:
22
29
a.
= Rp 400.000.000,-
b.
= Rp 140.000,000,-
c.
= Rp 20.000.000,-
d.
= Rp 45.000.000,- +
= Rp 605.000.000,-
= Rp ( 8.000.000,-)
= Rp 597.000.000,-
7.
30
b.
c.
PBB merupakan pajak langsung yang dipikul sendiri oleh wajib pajak.
d.
31
BAB III
SISTEM PERPAJAKAN DALAM EKONOMI ISLAM
M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa,
1997), h. 19
2
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press,
1997), hal. 25.
3
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,(Jakarta: Kencana, 2007), hal.
16
32
33
dibangun dari pada sekedar membangun dan membina para pelakunya yang harus
beragam Islam. Hanya saja, tentunya Islam menghendaki agar umat Islam itu sendiri
justru menjadi pelopor dan pengawal dari sistem ekonomi Islam itu sendiri yang
dimilikinya. 6
2.
M. Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, (Ciputat:
Kolam Publishing, 2008), hal. 49.
7
Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal. 5
8
Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, hal. 6
34
b. Adl (Keadilan)
35
1.
Kepemilikan
Segenap barang dan kekayaan adalah milik Allah. Dan Dialah yang
menunjuk individu-individu sebagai wali-walinya dalam mengelola barangbarang dan kekayaan tersebut. Kepemilikan dalam ekonomi Islam bukanlah
penguasaan
mutlak
atas
sumber
ekonomi,
tetapi
kemampuan
untuk
12
A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform Bagian I, (Bandung:
Mandar Maju, 1989), hal. 91
13
A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria, hal. 25
14
A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria, hal. 120
36
Keseimbangan
Keseimbangan merupakan nilai dasar yang mempengaruhi berbagai aspek
tingkah laku ekonomi seorang muslim. Atas keseimbangan ini misalnya terwujud
dalam kesederhanaan, hemat dan menjauhi keborosan seperti yang terdapat
dalam Q.S. Al-Furqan : 67
37
15
202
38
Keadilan
Nilai dasar sistem ekonomi Islam ketiga adalah keadilan. Dalam Islam,
keadilan adalah titik tolak, sekaligus proses dan tujuan semua tindakan manusia.
Keadilan merupakan ajaran yang sangat fundamental dan mencakupkeseluruhan
aspek kehidupan : ekonomi, sosial, politik, bahkan lingkungan hidup. Luasnya
dimensi aplikatif keadilan, Al-Quran memaknainya dengan berbagai arti,
seperti:sesuatu yang benar, sikap tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang,
cara yang tepat dalam mengambil keputusan, keseimbangan, dan pemerataan. 17
Dalam proses produksi dan konsumsi misalnya, keadilan harus menjadi
penilai yang tepat, faktor-faktor produksi dan kebijaksanaan harga, agar hasilnya
sesuai dengan tekanan yang wajar dan kadar yang sebenarnya.
16
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran LKM dan UKM di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 362
17
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam, hal. 361.
39
Ketiga nilai dasar sistem ekonomi Islam yaitu (1) kebebasan yang terbatas
mengenai harta kekayaan dan sumber-sumber produksi, (2) keseimbangan dan (3)
keadilan merupakan pangkal nilai-nilai instrumental sistem ekonomi Islam.
sebagaimana
dalam
ekonomi
non-Islam.
Dimana
tujuannya
adalah
untuk
M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf: Relevansinya dengan Ekonomi
Kekinian, (Yogyakarta: PSEI-STIS Yogyakarat, 2003), hal. 222.
19
M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, hal. 223-224.
40
yang tergantung dari produktivitas dari tanah tersebut atau juga bias
didasarkan atas zonanya.
3) Menerapkan kebijakan fiskal berimbang. Nabi hanya mengalami sekali
anggaran defisit setelah terjadinya Fathul Makkah, namun selanjutnya
kembali surplus.
4) Kebijakan fiskal khusus. Kebijakan ini dikenakan dari sector voulentair
(sukarela) dengan cara meminta bantuan Muslim kaya untuk memberikan
pinjaman kepad orang-orang tertentu yang baru masuk Islam.
Asas yang dianut dalam APBN pada masa pemerintahan Rasulullah Saw.
adalah asas anggaran berimbang (balance budget), artinya semua penerimaaan
habis digunakan untuk pengeluaran negara (government expenditure). Rasulullah
merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru dalam di
bidang keuangan negara pada abad ke tujuh, yakni semua hasil pemungutan
negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan sesuai
dengan kebutuhan negara. 20
Penerimaan negara pada periode awal Islam antara lain:
1)
20
Zakat
41
Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan dan aturan tertentu
yang diwajibkan oleh Allah kepada pemiliknya untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya.
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS At-Taubah: 103)
2)
Jizyah
M.A. Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, (Yogyakarta: PT Dana Bahkti Prima Yasa,
1997), hal. 248.
42
ajaran Islam, kewajiban membayar jizyah ikut gugur. Hasil dari pengumpulan
dana dari jizyah, digunakan untuk membiayai kesejahteraan umum. 22
Dalam hal penarikan jizyah, jizyah hanya boleh dipungut dari orang yang
mampu menanggungnya. Sistem pemungutan jizyah haruslah melihat kondisi
subjek pajak, jangan sampai pajak justru mempersulit kondisi masyarakat.
Jizyah tidak gugur karena kematian. Jika seseorang meninggal setelah
berlangsung satu tahun, maka ia tetap wajib membayar jizyah, karena dianggap
sebagai hutang. Ia wajib membayarnya dari harta peninggalannya, namun jika ia
tidak memiliki harta peninggalan maka kewajiban itu pun gugur, dan ahli
warisnya tidak berkewajiban membayarnya. 23
Jadi, jizyah merupakan pajak yang dikenakan pada kalangan non muslim
sebagai imbalan untuk jaminan yang diberikan suatu negara Islam pada mereka
guna melindungi kehidupannya, misalnya harta benda, ibadah kegamaan dan
untuk pembebasan dari dinas militer. Dan golongan non muslim yang dilindungi
kehidupan dan harta bendanya seperti kawan kafir dhimmi. 24 Dasar perintahnya
adalah Q.S. At-taubah (9): 29
22
43
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk
(Q.S. At-Taubah (9): 29)
3)
25
44
yang berada di luar wilayah pusat pemerintahan Jazirah Arab (hanya tanah
taklukkan).
Cara pemungutan kharaj ada dua macam, pertama; kharaj perbandingan
(muqasimah) yang ditetapkan berdasarkan porsi hasil seperti , 1/3, atau 1/5 dari
hasil panen yang dipungut pada setiap kali panen. Kedua; kharaj tetap (wazifah),
yaitu beban pada tanah sebanyak hasil alam atau uang persatuan lahan yang
dibayarkan wajib setalah lampaui satu tahun. 26
Imam Al-Mawardi membicarakan faktor yang menentukan kemampuan
memikul pajak bumi sebagai berikut: orang yang menaksir kharaj atas sebidang
tanah harus mempertimbangkan kemampuan tanah yang berbeda menurut tiga
faktor. Tiap faktor sedikit banyaknya mempengaruhi jumlah kharaj.
Pertama; faktor yang berkaitan dengan tanah itu sendiri adalah mutu
tanah yang dapat menghasilkan panen yang besar, atau cacat yang menyebabkan
hasil kecil. Kedua; faktor yang berhubungan dengan jenis panen, karena ada yang
lebih tinggi harganya dari yang lain, dan kharaj harus ditaksir sesuai dengan itu.
Ketiga; mengenai cara irigasi karena panen yang dihasilkan dengan sistem irigasi
air yang dipikul hewan atau diperoleh dengan kincir, tidak dapat dikenakan
kharaj yang sama dengan panen yang dihasilkan oleh tanah yang diairi dari air
yang mengalir atau hujan.
Pajak kharaj bukan saja progresif tetapi juga bersifat luwes, dimana bila
seseorang tidak mampu membayar pajak, maka ia diberi waktu hingga
26
45
keuangannya membaik. Tetapi bila seseorang punya itikad tidak baik untuk tidak
membayar kharaj, maka ia pun dipaksa untuk membayar pajak. 27
28
46
(Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Anfal (8): 41)
5) Pajak atas pertambangan dan harta karun
Pada dasarnya negara memiliki hak untuk mengeksplorasi sumber mineral
untuk kesejahteraan masyarakat. Namun bila suatu tambang ataupun harta karun
ditemukan di tanah kaum muslimin, seperlima dari hasilnya harus diserahkan
kepada negara untuk memenuhi keadilan sosial. 29
6) Ushr (Bea cukai) dan pungutan
Alasan dibalik pembebanan bea cukai ini adalah karena para pedagang
muslim dikenai pajak sebesar 10% di negara asing. Kemudian bea cukai ini
dibebankan secara umum atas pedagang yang melakukan perdagangan di negara
Islam. 30
b. Kebijakan Fiskal pada Pemerintahan Islam Periode Modern
Pada pemerintahan Islam periode modern, terjadi perubahan, yaitu mulai
memakai
anggaran
defisit,
dan
meninggalkan
kebijaksanaan
anggaran
30
47
mutlak diperlukan (sesuai yang direncanakan dalam APBN) dan mencari jalan
serta cara-cara baru untuk mencapainya, baik dengan merasionalisasi stuktur
pajak atau dengan mengambil utang dari sistem perbankan dalam negeri atau dari
luar negeri. 31
Umer Chapra juga setuju dengan anggaran pembelanjaan defisit. Chapra
berpendapat bahwa negara-negara Muslim harus menutup defisit dengan pajak,
yaitu mereformasi sistem perpajakan dan program pengeluaran negara, bukan
dengan jalan pintas melalui ekspansi moneter dan meminjam. Chapra lebih setuju
dengan meningkatkan pajak, karena pinjaman akan membawa kepada riba. Dan
pinjaman
itu
juga
meniadakan
keharusan
berkorban,
namun
hanya
menangguhkan beban sementara waktu dan akan membebani generasi yang akan
datang dengan beban berat yang tidak semestinya mereka pikul. 32
Pendapat ketiga berasal dari Zallum, ia berpendapat bahwa angggaran
defisit diatasi dengan penguasaaan BUMN dan pajak. Pinjaman dari negaranegara asing dan lembaga keuangan internasional, menurut Zallum tidak
dibolehkan oleh hukum syara, sebab pinjaman seperti itu selalu terkait dengan
riba dan syarat-syarat tertentu yang menjadikan kreditur berkuasa atas kaum
muslim. 33
Alternatif solusi untuk menutupi anggaran defisit antara lain:
31
32
299.
33
48
34
35
49
Sumber dalam penetapan kebijakan fiskal Islam dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu sumber asli (original) dan sumber pelengkap (complementary). Kedua
bagian tersebut merupakan sumber konstitusi atau hukum Islam secara keseluruhan
termasuk juga ekonomi. Kitab suci Al-Quran dan hadis Nabi sebagai sumber asli,
sedangkan ijma dan qiyas maupun ijtihad merupakan sumber pelengkap. 36
Dalam Islam, hukum yang qathi (yang sudah jelas dan tuntas penjelasannya
dalam Al-Quran dan hadist) jumlahnya lebih sedikit dibandingkan hukum dzanni
(belum jelas dan tuntas penjelasannya dalam Al-Quran dan hadist), sehingga untuk
hukum yang dzanni membutuhkan ijtihad para ulama atau fatwa dari para mujahid.
Dalam hukum Islam dikenal suatu prinsip kepentingan umum (maslahah mursalah)
yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan suatu hukum yang belum ditetapkan
dalam Al-Quran dan hadist. 37
Dalam ekonomi Islam kemaslahatan umum merupakan suatu hal yang paling
mendasar baik dalam bidang produksi, konsumsi, distribusi hingga redistribusi.
Semua hal ini harus mempertimbangkan kepentingan umum. Bahkan di dalam harta
pribadi seseorang pun terdapat hak kepentingan umum yaitu hak zakat untuk orangorang miskin.
36
37
50
38
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 148-149.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, cet. 4, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 325.
40
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hal. 152-153.
39
51
41
M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf: Relevansinya dengan Ekonomi
Kekinian, (Yogyakarta: PSEI STIS Yogyakarta, 2003), h. 21.
42
Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006), h. 234
43
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal.183
52
sebuah sistem pajak yang adil tidak hanya akan mengarahkan pada peningkatan
pendapatan tetapi jug pembangunan dari negara tersebut. 44
Abu Yusuf menganjurkan pemungutan kharaj dengan model bagi hasil
(muqasamah) dibandingkan model kharaj yang bersifat tetap atas tanah (wazifah). 45
Menurutnya, jika nilai pajak itu tetap (dalam kasus kharaj) akan membebani wajib
pajak jika produksi sedang menurun, sementara akan kehilangan penghasilan
potensial bagi negara jika produksi sedang meningkat atau sangat baik. Jadi, Abu
Yusuf menganjurkan metode pajak proporsional atas hasil produksi tanah, yang
dianggapnya sebagai metode yang jujur dan seimbang bagi kedua belah pihak, dalam
keadaan hasil panen baik maupun buruk. 46
Salah satu ulama klasik lainnya yang berpendapat memboleh pajak adalah Ibnu
Hazm. Beliau lahir pada tahun 184 H (994 M) dan bernama lengkap Abu Muhammad
Ali ibn Abu Umar Ahmad ibn Said ibn Hazm al-Qurthubi al-Andalusiy. 47 Ibn Hazm
sangat konsen terhadap faktor keadilan dalam sistem pajak. Sikap kasar dan
eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus dihindari dan pengumpulan pajak
tersebut juga tidak boleh melampaui batas syariah. 48 Ibnu Hazm (994-1064)
menyatakan bahwa Kewajiban orang kaya di setiap negara membantu orang miskin
44
53
dan penguasa memiliki hak untuk memaksa mereka melakukannya, jika zakat dan
penerimaan publik lainnya tidak mencukupi. 49
Ia juga berpendapat: Apabila dana zakat tidak mencukupi bagi pemenuhan
kebutuhan orang-orang miskin dalam suatu daerah atau negara, maka menjadi
tanggung jawab warga yang mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apabila
mereka tidak melakukan itu, semuanya berdosa. Penguasa berhak untuk menghukum
mereka. Inilah pendapat yang tidak meragukan, yang diambil dari makna dan tujuan
Al-Quran. 50
Ulama pada abad pertengahan seperti Ibnu Taimiyah juga berpendapat hal yang
sama mengenai adanya hak selain zakat yang dikenakan atas harta seseorang, ketika
kebutuhan dalam masyarakat meningkat. 51
Ibnu Taimiyah yang lahir di Harran pada tahun 661 H (1263 M) berpendapat
dalam Majmuatul Fatawa, mengatakan: Larangan penghindaran pajak sekalipun itu
tidak adil berdasarkan argumen bahwa tidak membayar pajak oleh mereka yang
berkewajiban akan mengakibatkan beban yang lebih besar bagi kelompok lain. 52
Ibnu Taimiyah sangat mencela sistem perpajakan yang tidak adil dan sumber
penerimaan yang illegal. Alasannya, karena kebijakan yang tidak jujur dari pejabat
yang berwenang dan penyimpangan dari petunjuk syariat. Selain itu, Ibnu Taimiyah
juga sangat mencela ketidakadilan yang dilakukan oleh wajib pajak maupun
49
54
53
54
55
secara efektif. Hak ini dibela para fuqaha berdasarkan hadis: Pada hartamu ada
kewajiban lain selain zakat. 55
Namun, Hasan Turobi pemikir Ekonomi Islam dari Sudan dalam bukunya
Principle of Governance, Freedom, and Respobsibility in Islam, menyatakan:
Pemerintah yang ada di dunia muslim dalam sejarah yang begitu lama pada
umumnya tidak sah. Karena itu, para fuqaha khawatir jika diperbolehkan menarik
pajak akan disalahgunakan dan menjadi alat penindasan. 56
Pendapat dari para ahli fiqih yang menegaskan bahwa tidak ada hak lain di
luar zakat, ternyata mereka sengaja menolaknya karena khawatir pungutan tersebut
hanyalah alat untuk keuntungan diri mereka sendiri dan pengikutnya. Hal itu
merupakan beban berat bagi rakyatnya. Para ulama takut kalau pemerintah yang
zalim menjadikan kata-kata ulama itu sebagai dalih untuk mewajibkan pungutan dan
pajak-pajak yang memberatkan tanpa hak. Oleh karena itu, para ulama menutup pintu
rapat-rapat dan memotong jalan mereka dengan kata-katanya: Tidak ada hak dalam
harta di luar zakat. 57
Prinsip pemungutan pajak harus mengandung prinsip keadilan dan
kemaslahatan umum. Prinsip keadilan akan membawa kesejahteraan ekonomi dan
juga keselasaran sosial. Pemungutan pajak harus dilakukan tanpa ada pihak yang
merasa dirugikan. Prinsip kemaslahatan dapat dilakukan dengan menjauhkan
kepentingan pribadi dan mementingkan terlebih dahulu kepentingan bersama.
55
56
Para fuqaha hanya mendukung pemberlakuan pajak yang adil dan selaras
dengan semangat Islam. Sistem pajak yang adil paling tidak harus memenuhi tiga
kriteria. Pertama, pajak harus dipungut untuk membiayai hal-hal yang benar dianggap
perlu dan untuk kepentingan mewujudkan kesejahteraan; kedua, beban pajak tidak
boleh terlalu memberatkan dibandingkan dengan kemampuan pemikulnya; ketiga,
hasil dari pajak harus dibelanjakan dengan sangat hati-hati sesuai dengan tujuan awal
pengumpulan pajak tersebut. 58
3.
sebagai berikut: 59
1. Pajak dipungut setelah zakat ditunaikan. Zakat merupakan rukun Islam yang
ketiga dan memiliki dasar hukum yang sangat kuat karena berdasarkan Al-Quran
dan Hadits sehingga wajib untuk ditunaikan terlebih dahulu, baru kemudian baru
menunaikan pajak yang berdasarkan perintah ulil amri (pemerintah).
2. Kewajiban pajak bukan karena adanya harta, melainkan karena adanya kebutuhan
mendesak, sedangkan baitul mal kosong atau tidak mencukupi.
3. Ada beban-beban selain zakat yang memang dibebankan Allah atas kaum muslim.
Penggunaan dana zakat telah ditentukan untuk delapan asnaf (golongan),
sehingga
58
59
untuk
kebutuhan
lain
seperti
pembangunan
fasilitas
umum,
57
60
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hal.
26.
61
M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Pedoman Zakat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal. 177.
57
BAB IV
TINJUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN DI INDONESIA
A. Konsep Kepemilikan Tanah (Bumi) dalam Ekonomi Islam
Persoalan kepemilikan dalam ekonomi Islam didasari atas konsep tauhid.
Allah SWT sebagai Maha Pencipta adalah sebagai pemilik mutlak segala sesuatu
yang ada di alam semesta seperti yang tertera dalam Q.S. Ibrahim (14) ayat 32.
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari
langit....... (Q.S. Ibrahim (14): 32)
Seluruh isi alam semesta ini adalah milik Allah SWT dam manusia dapat
memanfaatkan yang ada di alam ini untuk memenuhi kelangsungan hidup mereka.
Islam menganggap hak kepemilikan adalah pemberian Allah SWT yang bertujuan
untuk kemaslahatan seluruh umat. Kekuasaan manusia untuk memikul suatu
tanggung jawab berasal dari perannya sebagai khalifah di muka bumi. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.(Q.S.Al-Baqarah : 30).
58
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008), hal. 475.
2
M. Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna, Terj. Yudi, (Jakarta: Zahra
2008), hal. 147.
59
individu
memiliki
hak
untuk
menikmati
hak
miliknya,
60
menganjurkan seluruh bahan mineral yang dihasilkan oleh tanah bebas (tanah
negara ) menjadi milik kolektif, seperti emas, perak, minyak, dan sebagainya. 4
3. Kepemilikan Negara (State ownership)
Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumbersumber
penghasilan,
dan
kekuasaan
untuk
melaksanakan
kewajiban-
4
5
61
$`
1N%
;t8
4o54 #{{ Q
dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian. (Q.S. Az-Zariyat:19)
62
63
1.
melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir, Iran, Suriah dan banyak
belahan lain dunia Islam. Saat penaklukan Islam, kaeadaan tanah-tanah tersebut
tidak sama sehingga status kepemilikannya menjadi berbeda-beda, yaitu:
a.
b.
c.
2.
64
65
adalah sumber kharaj untuk perekonomian umat Islam. Pada saat Khaibar
ditaklukkan, tanah tersebut diserahkan kepada bangsa Yahudi Khaibar bukan untuk
dijadikan sebagai milik mereka, tetapi diolah untuk lahan pertanian sesuai dengan
syarat yang mereka ajukan, yaitu mereka mendapatkan setengahnya dari hasil
tanaman dan buah-buahan. Dan untuk menghitung hasil bumi dan mengambil
setengahnya sebagai kharaj, Nabi Saw mengutus Abdullah bin Rawahah. 10
Secara sederhana, kharaj berarti pajak tanah. Arti kharaj menurut bahasa
diambil dari kata kharaja, yang artinya mengeluarkan dari tempatnya. Kharaj
adalah apa yang dikeluarkan, lawan dari upaya untuk mengeluarkan. Kharaj dapat
diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk diberikan kepada
negara. Ada yang memberi penegertian lain, kharaj adalah apa dibayarkan untuk
pajak tanah pertanian atau pajak hasil buminya. Beberapa analisis yang lain
beranggapan bahwa kahraj adalah 3 macam dari bentuk perpajakan; yaitu pajak
bumi, jizyah, dan usyr. 11
Dalam Reading in Islamic Fiscal Policy kharaj didefinisikan sebagai berikut:
Kheraj was used for levies in return for leasing a land. The Arabs used to call
land rent or house rent as kheraj. Umar leased conquered lands to people in return of
a fixed levy and it was called kheraj. 12
Pada masa Rasulullah Saw, jumlah kharaj yang dibayar masih sangat terbatas
sehingga tidak diperlukan suatu sistem administrasi yang terperinci. Selama
10
Quth Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab, terj. Ahmad Syarifuddin
Shaleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hal. 79
11
Quth Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab, hal. 77-78.
12
Peerzade, Sayed Afzal, Reading in Islamics Fiscal Policy, (Delhi: adam Publisher &
Distributor, 1996), hal. 39.
66
pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan
banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan
maupun secara damai. Sehingga dibutuhkan kebijakan baru untuk diterapkan negara
terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut. 13
Dengan semakin luasnya wilayah negara Islam maka dibutuhkan sistem
administrasi yang terperinci untuk penaksiran, pengumpulan dan pendistribusian
pendapatan yang diperolah dari pajak tanah-tanah tersebut.
Di masa Umar bin Khathab, kaum muslimin mendapatkan kemenangan atas
Syam, Irak dan Mesir serta memperoleh harta rampasan yang sangat banyak. Para
pasukan Islam meminta agar harta rampasan tersebut dibagi-bagikan. Merujuk pada
dasar umum yang ditetapkan Rasullah Saw atas tanah Khaibar, umar membagikan
harta yang berupa barang saja sedangkan tanah tidak dibagikan dan menjadikannya
sebagai milik umum umat Islam dan diambil kharaj darinya. 14
Sistem pemungutan kharaj (assessment of kheraj) ada dua macam yaitu
sistem wazifah (tetap) dan sistem muqasamah/misaha (proporsional). Dalam buku
Readings in Islamic Fiscal Policy dijelaskan tentang sistem pemungutan kharaj yaitu
sebagai berikut:
Kheraj, since the days of Hazrat Umar and until Mahdis reign during the
Abbasaid era, was levied on acreage basis and not on crop. A major development
occurred during Al-Mahdis reign and the state adopted Al-Mugasama or crop
sharing instead of the acreage system. The state under new system shared crops with
tenant on the basis of a certain percentage of total harvest. This implied that kharaj
13
67
revenue would not be fixed but would vary with variations in total crop. A main
reason behind the change was suggested to reduce burden of fixed kheraj on farmers.
Abu Ubeid, the founder of new system, suggested new rates which varied
according ti difficulties of irrigation. Rates were reduce wherever difficulties existed.
Rates also varied according to vicinity to market. This gives a clear indication that
vertical equity was catered for Islamic levies. Abu yusuf later supported the new
system as being consistent with Islamic shariah. He suggested that fruits should also
be subject to kheraj. He also suggested that the ruller could vary kheraj according to
the ability of tenant. 15
Cara pemungutan kharaj yang pertama adalah kharaj tetap (wazifah), yaitu
beban pada tanah sebanyak hasil alam atau uang persatuan lahan yang dibayarkan
wajib setalah lampaui satu tahun. Sistem ini berlaku mulai dari khalifah Umar bin
Khattab sampai pada masa daulah Abbasiyah dibawah pemerintahan Al-Mahdi.
Metode
perhitungan
wazifah
didasarkan
pada
pengukuran
tanah,
tanpa
15
68
Jenis tanah: karena kandungan tanah bagus, maka tanaman akan subur dan
hasilnya lebih baik dari tanah yang buruk.
2.
Jenis tanaman: ada yang harganya tinggi dan juga ada yang rendah.
3.
Pengelolaan tanah: biaya pengelolaan yang tinggi, maka pajak tanah tidak
sebesar pajak tanah yang disiram dengan air hujan (biaya rendah).
Kharaj yang ada pada masa pemerintahan Islam, secara umum sesuai dengan ukuran
dan nilai-nilai ilmu modern terhadap sumber pemasukan umum. Jadi kharaj telah memenuhi
69
syarat-syarat yang urgen dalam ilmu ekonomi untuk mencapai devisa yang bagus. Kharaj
adalah pajak yang memperhatikan keadilan dalam penetapannya, demikian juga dalam
pengambilannya.
Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia dipungut berdasarkan UndangUndang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No. 12 Tahun 1994. Dengan pertimbangan bahwa bumi dan bangunan
memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi
orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat
dari padanya. Oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan
sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui
pajak. Hasil penerimaan dari pajak sangat penting bagi pelaksanaan dan
peningkatan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 16
Dalam ekonomi Islam memang tidak ada rujukan secara eksplisit tentang
PBB, yang ada hanya pajak bumi yang dikenal dengan kharaj. Dilihat dari
objeknya, baik itu PBB maupun kharaj memiliki objek yang sama, yaitu tanah.
Namun, pada PBB objeknya ditambah dengan bangunan. PBB dikenakan kepada
seluruh masyarakat yang memiliki tanah dan/atau bangunan, lain halnya dengan
16
Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
70
kharaj yang hanya dikenakan bagi non-muslim maupun muslim sebagai biaya
sewa atas tanah yang dimiliki negara Islam karena telah menaklukan wilayah
tersebut. Dan kharaj dibayarkan saat panen dengan mempertimbangkan
kemampuan dari tanah tersebut.
Untuk konteks kehidupan perekonomian saat ini yang lebih banyak
bertumpu pada sektor industri dan jasa dari pada sektor pertanian dan peternakan
yang tradisional, semakin banyak jenis kekayaan dan rinciannya sangat beragam
dan bahkan menjadi alat perbedaan kelas masyarakat.
Persoalannya sederhana, karena jenis atau rincian kekayaan-kekayaan itu
pada masa Nabi belum berkembang atau bahkan belum ada dalam kenyataan. Jadi
bukan berarti kalau Nabi tidak membicarakannya lalu kekayaan-kekayaan tadi
harus disimpulkan tidak kena zakat atau pajak. Apabilas jenis-jenis kekayaan
tersebut sudah ada pada masa Nabi, maka tentu akan juga dikenakan pajaknya.
Oleh karena itu, apa yang dibakukan oleh para fuqaha pada masa lalu merupakan
bahan masukan yang berharga dan tidak boleh membelenggu para pengambil
kebijakan dalam merealisasikan kemaslahatan yang relevan dengan keadaaan saat
ini. 17 Kebijakan dapat terus berubah seiring dengan perubahan kondisi dan
potensi yang dimiliki masyarakat, serta masalah dan kesulitan yang harus
17
Masdar F. Masudi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991),
h. 137-138.
71
18
72
keperluan umum itu tidak ada jalan lain kecuali mengenakan pajak. Sebagaimana
kaidah sesuatu yang menjadi syarat bagi yang wajib adalah wajib. 21
Menurut para pemikir ekonom Islam kontemporer, negara-negara Muslim
saat ini harus menutup defisit dengan pajak, yaitu mereformasi sistem perpajakan
dan program pengeluaran negara. Selain dengan meningkatkan pajak bisa juga
melalui ekspansi moneter dan meminjam. Namun dengan melalukan pinjaman
kepada negara asing dan lembaga keuangan internasional akan berpotensi
membawa kepada riba dan hanya menangguhkan beban sementara waktu yang
pada akhirnya akan membebani generasi mendatang karena diwariskan hutang
yang berbunga-bunga sehingga meningkatkan pembayaran pajak lebih dipilih
dari pada ekspansi moneter.
Menurut Yusuf Qardhawi dalam pemungutan pajak harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut: 22
1.
Benar-benar harta (dana) itu dibutuhkan dan tidak ada sumber lain.
2.
3.
4.
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Cet.5, Terj. Salman Harun, dkk. (Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa, 1996), hal. 1073.
22
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, hal. 1079.
73
8
R[k
e
m
;@%
$Zo
m
.... 2A% r')U t
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu....(Q.S. An-Nisa: 59)
Hasil dari pemungutan PBB disatukan dengan sumber penerimaan negara
lainnya. Dan hasil tersebut digunakan untuk proses pembangunan baik
pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, gedung, rumah sakit, dan sekolah
juga digunakan untuk pembangunan non fisik seperti pendidikan, kesehatan,
keagamaan (kerohanian), dan lain sebagainya yang tidak terlihat namun berperan
penting bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Disamping untuk menghimpun penerimaan negara, kebijakan di bidang
PBB juga diarahkan untuk meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan. 23
Tanah dan bangunan yang tidak produktif akan berkurang nilai ekonomisnya
dibandingkan tanah dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan produktif.
Kegiatan yang menghasilkan pendapatan tentu akan memberikan keuntungan bagi
pemiliknya sehingga ketika dikenakan PBB tidak mengurangi nilai ekonomis
23
B. Wiwoho (Ed.), Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1992), hal. 41.
74
2.
24
Zaki Fuad Chalil, Pemerataan Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: penerbit
Erlangga, 2009), hal. 79.
75
2.
Menimbulkan efek positif bagi pemberi itu sendir, misalnya zakat, selain
dapat membersihkan diri dan harta muzakki juga menigkatkan keimanan dan
menumbuhkan kebiasaan berbagi dengan orang lain.
3.
4.
5.
Pemanfaatan lebih baik terhadap sumber daya alam dan aset tetap.
6.
25
76
89 3
l Ie y t ..
..1A% l@)U
..supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di
antara kamu.. (Q.S. Al-Hasy (59): 7)
77
3.
78
dengan jalan menerapkan tarif progresif. 28 Pada tarif progresif persentase tarif
yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Pajak merupakan alat redistribusi kekayaan, dimana pajak dengan tarif
progresif dimaksudkan untuk mengenakan pajak yang lebih tinggi pada golongan
yang mampu, peranan ini sangat penting untuk menegakan keadilan sosial. 29
Dalam bukunya Majmuatur Rasail, Hasan Al-Bana berpendapat bahwa
sistem perpajakan progresif seirama dengan sasaran-sasaran Islam, yaitu keadilan
sosial dan distribusi pendapatan yang merata. 30
Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pembebanan pajak progresif yang
ditentukan oleh negara ialah untuk mengatasi keadaan tertentu dan untuk
mencapai tujuan-tujuan sosial atau ekonomi dalam negara tertentu dan dalam
keadaan tertentu. 31
Pada masa Nabi tarif zakat bisa begitu rendah adalah lantaran tuntutan
kemaslahatan umum yang harus ditanggung dari dana zakat relatif masih
sederhana, jauh di bawah tingkat kebutuhan masyarakat zaman sekarang, seperti
kebutuhan untuk membangun jalam tol, kebutuhan jaringan komunikasi dengan
satelit, alat transportasi masal, dan lain sebagainya. 32
28
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan 1, hal. 10.
B. Wiwoho (Ed.), Zakat dan Pajak, hal. 44.
30
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, h. 296.
31
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, hal. 1055.
31
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, hal. 1056.
32
Masdar F. Masudi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak), hal. 140.
29
79
Besar kecilnya tarif pajak secara absolut yang harus dibayar oleh
masyarakat, Nabi menetapkan berdasarkan berat ringannya tantangan keadilan
dan kesejahteraan yang dihadapi sesuai dengan prinsip syariat. Nabi menetapkan
tarif antara 2,5% sampai 10%. Namun ada juga satu jenis kekayaan yang
dikenakan tarif tinggi 20% karena perolehannya tanpa upaya, yaitu harta karun
(rikaz). Artinya, apabila variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan yang
ditemukan lebih berat pada masyarakat yang lain, seperti dalam kehidupan
masyarkat modern sekarang ini, tarif yang ditentukan Nabi tersebut tidak ada
halangan untuk diperbesar. Kalau perlu sistem perpajakan progresif pun bisa
diterapkan. 33
Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia menggunakan tarif proporsional
sebesar 0,5%. Di mana tidak ada kenaikan tarif seiring dengan bertambahnya
dasar pengenaan PBB. Sehingga tidak mengherankan hingga saat ini masih
banyak masyarakat yang menimbun harta kekayaannya dalam bentuk tanah
maupun bangunan (property).
Pajak progresif adalah cara yang terbaik untuk menghilangkan perbedaan
kekayaan dan pendapatan yang menyolok di mana kekayaan itu tidak dapat
didistribusikan secara merata di antara masyarakat. Oleh karena itu, untuk
merubah keadaan demikian harus digunakan pajak bertingkat (progresif) agar
jurang perbedaan dapat diperkecil.34 Hendaklah orang kaya diturunkan setingkat
33
34
80
dan orang mikin dinaikkan setingkat sehingga dua golongan ini berdekatan satu
sama lain.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Melihat perkembangan ekonomi saat ini, dimana luas bumi tetap akan tetapi luas
bangunan terus bertambah maka diperlukan kebijakan pemerintah untuk
mengaturnya, salah satunya dengan pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
bagi yang memenuhi ketentuan. Kepemilikan tanah dan bangunan yang cukup
luas dapat menjadi prestige tersendiri bagi pemiliknya. Sehingga wajar apabila
mereka memberikan sebagian manfaat dari harta mereka untuk menambah
pemasukan negara dan akan digunakan untuk kepentingan umum. Dengan prinsip
untuk menciptakan kemaslahatan umum, maka PBB boleh dikenakan pada orang
yang kaya sebagaimana prinsip maslahah mursalah.
2. Bumi dan bangunan termasuk ke dalam jenis kekayaan dan dapat didistribusikan
melalui PBB untuk mengurangi jurang perbedaan kekayaan antara orang kaya dan
orang miskin. Dengan adanya pengenaan PBB maka masyarakat akan lebih
mempertimbangkan keputusannya dalam menambah kekayaan mereka. Apabila
kekayaan mereka digunakan untuk hal yang produktif, maka kekayaan mereka
akan tetap atau bahkan bertambah. Sedangkan apabila kekayaan mereka hanya
untuk ditimbun maka secara matematis akan berkurang seiring dengan pengenaan
PBB setiap tahunnya.
81
3. Sistem tarif pajak yang adil bukan berarti sama rata besarnya pungutan pajak
yang dibebankan kepada masyarakat, akan tetapi besarnya tarif harus
mempertimbangkan juga keadaan ekonomi dan sosial Wajib Pajak. Maka sistem
tarif progresif lebih dianjurkan dimana semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang
maka semakin tinggi pula pajak yang dikenakan, dengan demikian keadilan akan
tercipta di masyarakat.
B. Saran
1. Untuk benar-benar merealisasikan keadilan sosial di masyarakat, subjek PBB
harus diseleksi lebih ketat berdasarkan jumlah kekayaan bumi dan bangunan yang
dimiliki, sehingga hanya orang kaya saja yang dikenakan PBB dan adanya
pengecualian bagi orang miskin, para petani yang hanya mengandalkan
pembayaran PBB dari hasil pertaniannya, para pensiunan yang tinggal di jalan
protokol, dan lain sebagainya.
2. Kebijakan PBB di Indonesia baru berfungsi sebagai sumber penerimaan negara
dan belum berfungsi dalam meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan.
Negara dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak harus terus melakukan evaluasi
dan perbaikan dalam isi kebijakan maupun pelaksanaan PBB tersebut.
3. Tarif proporsional yang digunakan dalam PBB tidak mencerminkan keadilan
sosial di masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan yang ada dalam PBB ini harus
ditinjau ulang maupun dilakukan perubahan untuk mengikuti perkembangan
ekonomi saat ini.
82
83
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim
Ahmadi, Wiratni. Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah dengan Kebijakan
Pertanahan di Indonesia. Badung: PT Refika Aditama. 2005.
Al-Misri, Abdul Sami. Pilar-Pilar Ekonomi Islam Terj. Dimyauddin Djuwaini.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga
Kontemporer. Jakarta: Pustaka Asatruss. 2005.
Amalia, Euis. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran LKM
dan UKM di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Ash-Shadr, M. Baqir. Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna. Terj. Yudi. Jakarta:
Zahra. 2008.
Ash-Shiddiqieqy, M. Hasbi. Pedoman Zakat. Jakarta: Bulan Bintang. 1991.
Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
2004.
Chalil, Zaki Fuad. Pemerataan Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam. Jakarta:
Elangga. 2009
Chapra, M. Umar. Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani Press. 2000.
Gusfahmi. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007.
Hafidhuddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani.
2002.
84
85
Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat. Cet.5. Terj. Salman Harun, dkk. Bogor: Pustaka
Litera AntarNusa. 1996.
Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta:
Robbani Press. 1997.
Sarkaniputra, Murasa, Agus Kristiawan. Ilmu Ekonomi (Bahan Pengajaran Ekonomi
Perbankan dan Asuransi Islam ). Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 2000.
Sholahuddin, Muhammad. Asas-Asas Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2007.
Soemitro, Rochmat, Dewi Kania Sugiharti. Asas dan Dasar Perpajakan I. Edisi
Revisi. Bandung: PT Refika Aditama. 2004.
Soemitro, Rochmat, Zainal Muttaqin. Pajak Bumi dan Bangunan. Edisi Revisi.
Bandung: Refika Aditama. 2001.
Suandy, Erly. Hukum Pajak. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. 2002.
Suma, Amin. Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, Ciputat:
Kolam Publishing. 2008.
Waluyo. Perpajakan Indonesia: Pembahasan Sesuai dengan Ketentuan Perundangundangan Perpajakan dan Aturan Pelaksanaan Perpajakan Terbaru. Jakarta:
Penerbit Salemba Empat. 2004.
Wiwoho, B. (ed). Zakat dan Pajak, Jakarta: PT Bina Rena Pariwara. 1992.
Internet:
86
http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/download/Data%20Pokok%202009%20Indo
nesia%20rev1.pdf
www.pajak123.com/trik-pajak/jumlah-npwp-lampaui-target-per-agustus-2009-1505juta.
LAMPIRAN
BUTIR-BUTIR
SEMINAR HUKUM ISLAM DAN PERPAJAKAN YANG
DISELENGGARAKAN OLEH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN, JAMBI 25-26 NOPEMBER 1988 1
1. Hukum Islam, dalam pertumbuhan dan perkembangannya, ditentukan oleh
wahyu dan ijtihad. Yang dinyatakan oleh wahyu secara jelas dan tuntas
dinamakan qathI, sedangkan yang belum jelas dan tuntas dinamakan zhanni.
Dari segi wahtu, berupa Al-Quran dan al-hadits sebagai penjelasannya,
kedua-duanya telah berhenti pada saat wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan dari segi ijtihad berjalan terus sebagai wahana dalam memecahkan
permasalahan-permasalahan yang timbul. Dari sudut jumlah, bagian hukum
qathi lebih sedikit dari bagian hukum zhanni, karenanya bagian zhanni
cukup besar dan luas lapangannya.
2. Dalam pada itu, hukum Islam dalam prakteknya ada yang berupa siyasah
syariiyah (kebijaksanaan pemerintah) dan ada yang dalam bentuk hasil
ijtihad para mujahid. Dengan kata lain, bahwa hukum Islam dapat diterapkan
dengan adanya suatu kewenangan atau kekuasaan, dari segi lain hukum Islam
berlaku sebagai hasil ijtihad atau fatwa dari para mujtahid tanpa memerlukan
ada tidaknya suatu kekuasaan atau kewenangan. Dalam hukum Islam dikenal
dengan prinsip Kepentingan Umum (mashlahah mursalah) yang dapat
dijadikan dasar dalam penetapan sesuatu hukum yang belum ditetapkan dalam
Al-Quran dan al-hadits. Di samping itu, Al-Quran menetapkan kewajiban
setiap muslim mematuhi Allah, mematuhi Rasul dan mematuhi ulil amri
(pemerintah).
3. Semua yang ada di langit dan bumi dan apa-apa yang terdapat di dalamnya,
menurut Islam adalah milik Allah. Sedangkan manusia berhak menggunakan
manfaat harta tersebut. Di dlam harta setiap orang ada hak-hak orang lain
1
Wiwoho (Ed.), Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1992), h. 290-292
87