Dokumen - Tips Kelainan Anatomi Hidung Fisiologi Komplikasi Rhinosinusitis
Dokumen - Tips Kelainan Anatomi Hidung Fisiologi Komplikasi Rhinosinusitis
Deviasi Septum
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah dan memisahkan dua jalan aliran udara pada
hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum tidak lurus di tengah. Deviasi septum adalah suatu
keadaan dimana ada pergeseran septum dari garis tengah. Deviasi septum yang ringan (1 atau 2 mm)
masih dalam batas normal dan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, akan
menyebabkan penyempitan pada salah satu sisi hidung
Etiologi dan Patogenesis
Etiologi yang paling lazim adalah trauma, yang mungkin intrauterus atau timbul selama
persalinan atau bahkan selama masa kanak-kanak dini atau lebih lanjut1. Cedera selama masa
pertumbuhan dan perkembangan mempunyai dampak yang lebih besar dibandingkan cedera serupa
yang dialami setelah dewasa3. Penyebab lainnya adalah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan
septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap.
Diagnosis
Diagnosis abnormalitas septum nasi dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis1.
Gejala-gejala deformitas septum dapat tak ada atau bervariasi dari sangat ringan sampai obstruksi
saluran pernapasan hidung bilateral yang nyata disertai pernapasan melalui mulut dan gambaran yang
jauh dari hidung, termasuk tidur yang gelisah, mengorok, iritabilitas, dan gangguan kesejahteraan1.
Pada anamnesis, keluhan yang paling sering muncul adalah sumbatan hidung1. Sumbatan bisa
unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat hipotrofi konka, sedangkan pada sisi
sebelahnya terjadi hipertrofi konka sebagai akibat mekanisme kompensasi. Perlu ditanyakan pada setiap
orang yang menderita obstruksi saluran pernapasan hidung yang kronis, seberapa jauh keadaan tersebut
mempengaruhi kehidupannya1. Penurunan aliran udara di dalam rongga hidung sebagai akibat adanya
obstruksi menyebabkan gangguan penciuman2. Epitaksis (perdarahan dari hidung) juga merupakan
manifestasi umum dari gangguan aliran udara di dalam cavum nasi. Hal ini terjadi sebagai akibat
peningkatan turbulensi udara dan kecenderungan cavum nasi untuk menjadi kering sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan. Keluhan lainnya adalah rasa nyeri di kepala meskipun jarang
terjadi1, dan nyeri di sekitar mata1.
Pada pemeriksaan fisis, Tampilan luar dari hidung dapat memberikan petunjuk tentang apa yang
terjadi pada struktur bagian dalam. Inspeksi pada rongga hidung akan memberikan kesan pergeseran
septum ke salah satu sisi sehingga terjadi obstruksi pada salah satu sisi. Ujung kaudal septum atau area 1
dapat dilihat dan dipalpasi tanpa menggunakan peralatan yang mahal. Area 2 atau area katup dapat
diobservasi hanya dengan menggunakan ujung spekulum hidung atau melihat dengan cahaya lampu
senter ke dalam regio katup. Abnormalitas lainnya pada area dan seperti deviasi, obstruksi, impaksi, dan
kompresi konka media dapat mudah dilihat setelah dilakukan dekongesti topikal atas struktur
intranasal1.
Diagnosis Banding
Sebagai diagnosis banding adalah sejumlah keadaan yang menyebabkan obstruksi saluran
pernapasan yang bersifat kronik diantaranya pembesaran mukosa hidung, rinitis alergi kronik, risitis
kronik vasomotor, polip hidung, sinusitis kronik, atresia koana, adenoiditis kronik, dan deformitas
hidung yang terkait dengan trauma
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bervariasi dari tidak melakukan apa-apa bila pada hakekatnya pasien
asimtomatik, pemberian analgesik bila pasien menderita sakit kepala, dekongestan untuk mengurangi
sekret, antibiotik untuk mencegah infeksi sampai pembedahan septum yang luas1. Aspek pentingnya
seberapa jauhgejala tersebut mengganggu pasien1. Operasi ini harus dilakukan oleh ahli yang mengetahui
cara pembedahan saluran pernapasan hidung1.
Pembedahan deviasi septum mempunyai indikasi primer obstruksi saluran pernapasan hidung.
Indikasi-indikasi lain timbul pada pasien yang mengalami epistaksis; pada kasus ini septum perlu
dioperasi untuk membuang deformitas dan mencapai lokasi perdarahan1. Suatu operasi mungkin
diperlukan karena deformitas ini merupakan predisposisi bagi rinosinusitis berulang atau karena
abnormalitas bermakna yang tidak hanya mengganggu fungsi saluran pernapasan hidung dengan
menimbulkan obstruksi hidung tetapi juga menyebabkan gejala-gejala seperti nyeri kepala dan nyeri
wajah1. Indikasi lain bagi operasi septum nasi adalah untuk mencapai os sphenoidalis bagi lesi-lesi di
sinus sphenoidalis, atau untuk mencapai sella tursika dan kelenjar pituitaria. Lebih lanjut, indikasi
terpenting pembedahan septum nasi adalah obstruksi saluran pernapasan hidung sewaktu bernapas1.
2. Polip Nasi
Polip yang multipel dapat timbul pada anak-anak dengan sinusitis kronik, rhinitis alergi,fibrosis
kistik atau sinuisitis jamur alergi. Polip sangat bervariasi pada setiap individu, polip dapat berupa polip
antro-koanal, polip jinak yang besar ataupun polip multipel yang dapatmerupakan lesi jinak atau
merupakan suatu keganasan seperti: glioma, hemangioma,papiloma, limfoma, neuroblastoma, sarcoma,
karsinoma nasofaring dan papiloma inverted.
Tumbuhnya polip terutama di bagian-bagian sempit di bagian atas hidung, di bagian lateralkonka
media, dan sekitar muara sinus maksila dan sinus etmoid. Di tempat inilah mukosahidung saling
berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat
dilihat. Dari penelitian Stammberger didapati 80% polip nasi berasaldari celah antara prosesus
unsinatus, konka media dan infundibulum.
Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi
padamukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui denganpasti
tetapi ada keragu-raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkaliditemukan
bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisanpermukaan mukosa hidung
atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam ronggahidung oleh gaya berat. Polip banyak
mengandung cairan interseluler dan sel radang(neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf
atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak-anak. Pada
anak-anak, polipmungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
- Alergi terutama rinitis alergi
- Sinusitis kronik.
Iritasi.
Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka
Diagnostik
Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang ringan sampai berat,
rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa
nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati
post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut,
suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar
karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang
berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.
Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-keluhan yang
dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar frekuensi infeksi berkurang,
mengurangi/menghilangkan keluhan pernapasan pada pasien yang disertai asma, mencegah komplikasi
dan mencegah rekurensi polip.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid intranasal selama 4-6
minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya
terbatas atau tidak ada perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid sistemik. Perlu diperhatikan bahwa
kortikosteroid intranasal mungkin harganya mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian pasien, sehingga
dalam keadaan demikian langsung diberikan kortikosteroid oral. Kasus polip yang tidak membaik
dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah.
3. Hipertrofi Konka
Etiologi
Penyebab hipertrofi konka adalah rhinitis alergi dan non alergi (vasomotor rhinitis) dan
kompensasi dari
septum deviasi kontralateral.
Patofisiologi
Pada edema mukosa nasal berperan sitem saraf simpatis dan parasimpatis dari nervus vidian
yang juga berperan dalam memproduksi sekret. Nervus vidian berasal dari nervus petrosal superfisial
untuk komponen parasimpatis, sedangkan komponen simpatis berasal dari nervus petrosal profunda.
Diagnostik
Hipertrofi konka dapat dinilai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Gejala pada hipertrofi konka adalah hidung tersumbat. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior
didapatkan hipertrofi konka. Sistem simpatis mengatur aliran darah ke mukosa hidung dengan
mengatur resistensi pembuluh darah. Peningkatan resistensi pembuluh darah akan mengakibatkan aliran
darah sedikit ke mukosa dan menyebabkan dekongesti. Tekanan simpatis ke pembuluh darah hidung
sebagian dipengaruhi oleh tekanan parsial karbon dioksida (pCO2) melalui kemoreseptor karotis dan
aorta. Sedangkan parasimpatis mengatur volume darah pada mukosa hidung dengan mempengaruhi
kapasitas pembuluh darah. Rangsangan parasimpatis merelaksasi pembuluh darah dan kongesti dan
bahkan edema pada jaringan lunak.
Tatalaksana
Penatalaksanaan hipertrofi konka dapat berupa terapi medikamentosa dan pembedahan. Pada
kasus akut dimana pembesaran konka terjadi karena pengisian dari sinus venosus sehingga pembesaran
konka dapat dikecilkan dengan pemberian dekongestan topikal. Terapi medikamentosa
pemberian antihistamin, dekongestan, kortikosteroid, sel mast stabilizer dan imunoterapi.
meliputi
Fungsi Respirasi
Udara inspirasi yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir.
Misalnya, pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit
penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung diatur hingga berkisar 37C. Hal ini dimungkinkan oleh
banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum
yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh : a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, b) silia, c) palut
lendir. Dengan gerakan silia ke arah anterior posterior, material yang tidak dibutuhkan
yang telah menempel pada palut lendir akan dibawa ke oropharynx.
2.
Fungsi Penghidu
Bagian sel olfaktori yang memberi respons terhadap rangsangan kimia olfaktori
adalah silia. Substansi yang berbau mula-mula menyebar difus pada mucus yang
menutupi silia. Aktivasi reseptor oleh bau dapat mengaktivasi kompleks protein-G. Hal
ini kemudian mengaktivasi banyak molekul adenilil siklase di dalam membrane sel
olfaktori, yang kemudian menyebabkan pembentukan banyak molekul cAMP sampai
berkali-kali. Dan akhirnya, cAMP membuka saluran ion Natrium yang masih banyak
tersisa. Pembukaan saluran ion tersebut menyebabkan depolarisasi sel sehingga terbentuk
potensial aksi yang segera dibawa ke susunan saraf pusat untuk diartikan. Syarat
substansi yang dapat merangsang sel-sel olfaktori antara lain mudah menguap, harus
bersifat larut dalam air, dan sedikit sekali larut dalam lemak.
3.
Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi,
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga terdengar suara
sengau (rinolalia).
4.
Refleks Nasal
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan
tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan
sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
4. Meresonansi suara.
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara
resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
5. Peredam perubahan tekanan udara.
Fungsi ini berjalan jika ada perubahan tekanan yang beasar dan mendadak, misalnya pada
waktu bersin dan mebuang ingus.
6. Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal jumlahnya kesil bila dibandingkan dengan
mukus yang dihasilkan dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang
paing strategis.
C. Komplikasi Rhinosinusitis
1. Komplikasi lokal
a. Osteomielitis
Infeksi sinus dapat menjalar hingga struktur tulang mengakibatkan osteomielitis baik di
anterior maupun posterior dinding sinus. Penyebaran infeksi dapat berasal langsung atau dari
vena yang berasal dari sinus. Osteomielitis paling banyak ditemukan pada dinding sinus frontal.
Sekali tulang terinfeksi, bisa menyebabkan erosi pada tulang tersebut dan mempermudah
terjadinya penyebaran infeksi di bawah subperiosteum yang berujung pembentukan abses
subperiosteal. Erosi bisa mempengaruhi bagian anterior atau posterior dari dasar sinus yang
mempermudah terjadinya penyebaran ekstrakranial atau intrakranial. Jika abses subperiosteal
berbatasan dengan dasar anterior dari tulang frontal itudisebut dengan Pott`s puffy tumor. Pasien
dengan Pott`s puffy tumor selalu muncul pada usia lebih dari 6 tahun karena sinus frontalis
belum terbentuk padausia di bawah 6 tahun.
a. Etiologi
ditemukan secara tidak sengaja pada foto rongent sinus. Mukokel pada lokasi ini jarang
menyebabkan gejala karena sinus maksilaris luas dan mukokel jarang menjadi cukup besar untuk
menyebabkan kelainan pada tulang. Mukokel sinus maksilaris dapat menimbulkan gejala, jika
menghambat ostium sinus maksilaris.
Mukokel dapat bergejala pada setiap sinus ketika mukokel terinfeksi membentuk
mukopyocele. Gejalanya hampir samadengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
Diagnosis ditegakkan oleh CT scan sinus. Mukokel yang mempunyai gejala ditatalaksana dengan
tindakan bedah mengangkat mukokel dan membersihkan sinus. Eksplorasi sinus secara bedah
untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan berpenyakit serta memastikan suatu
drainase yang baik, atau obliterasi sinus merupakan prinsip- prinsip terapi
2. Infeksi Orbita
Infeksi orbita disebabkan oleh penetrasi ruang orbita saat operasi atau trauma,
kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang menyebar dari sinus yangterinfeksi. Oleh karena ruang
orbita dibatasi oleh beberapa sinus, seperti sinusfrontalis, etmoid, dan maksilaris, infeksi dari
sinus tersebut berpotensial menyebar hingga ruang orbita. Sinus etmoid sangat mempengaruhi
penyebaran infeksi keruang orbita. Hal ini dipengaruhi karena sangat eratnya hubungan antara
dinding sinus dengan orbita. Dinding yang tipis menyebabkan infeksi lebih mudah menyebar.
Sinus etmoid mempunyai dinding yang paling tipis, disebut lamina papyracea yang batas lateral
dan medialnya adalah orbita. Sehingga infeksi pada orbita biasanya dimulai dari bagian medial.
Walaupun jarang terjadi dinding sinus yang lebih tebal dapat juga menyebabkan infeksi orbita.
Sekali infeksi menyebar melalui dinding sinus, batas periosteal dinding sinus berperan sebagai
Barrier tambahan untuk memproteksi orbita dari penyebaran infeksi. Jika terbentuk abses di
antara dinding dengan periosteum, disebut abses subperiosteal. Jika periosteum rusak maka akan
terbentuk abses orbita.
Diagnosis
Pada sebuah artikel Chandler menyampaikan sebuah sistem klasifikasi dariinfeksi orbita
yang masih dapat digunakan hingga kini. Infeksi orbita dibagimenjadi lima grup berdasarkan
progresifitasnya menjadi infeksi serius, yaitu :
1.Selulitis preseptal (selulitis periorbita),
Yaitu simple cellulitis dari kelopak mata yang menyebabkan pembengkakan kelopak
mata. Infeksi terbatas pada kulit di depan septum orbita. Terjadi peradangan atau reaksi edema
yang ringan akibat infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada
anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus etmoidalis seringkali merekah
pada kelompok umur ini
2. Selulitis orbita
Terlihat sebagai edema difus dari garis batas orbita dan bakteritelah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. Selulitisini menyebabkan kelopak mata
bengkak dan nyeri ketika otot ekstra okular bergerak.
3. Abses subperiosteal,
Ditandai oleh edema dari garis batas orbita dengan pengumpulan pus diantara periorbita
dan dinding tulang orbita. Secara klinis pasien dengan kondisi ini mirip dengan grup dua, tetapi
terdapat proptosisyang menonjol dan kemosis.
4. Abses orbita
Ditandai adanya abses pada rongga orbita, pus telah menembus periosteum dan
bercampur dengan isi orbita. Pada tahap ini disertai gejala sisaneuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokuler mata yang terserang dan
kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus
kavernosus di mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septik. Secara patognomonik
trombosis sinuskavernosus terdiri dari oftalmoplegia, kemosis konjungtiva, gangguan
penglihatan yang berat, kelemahan pasien dan tanda-tanda meningitis olehkarena letak sinus
kavernosus yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV,dan VI, serta berdekatan juga dengan
otak
Komplikasi intrakranial sangat jarang, terjadi, hanya satu hingga 3 kalisetiap tahunnya.
Penggunaan antibiotik menurunkan insiden komplikasi ini.Komplikasi dari intrakranial meliputi
(1) meningitis, (2) abses epidural, (3) absessubdural, (4) abses otak. Pasien pada umumnya
memiliki lebih dari satu komplikasi intrakranial, seperti abses epidural/subdural terjadi
bersamaan dengan abses otak atau meningitis.
Banyak studi yang telah memperlihatkan bahwa sejumlah besar komplikasi ini lebih
sering terjadi pada pria (lebih dari 3 : 1 pria/wanita). Penyebab hal ini tidak diketahui secara
pasti , tapi berlaku bahwa pada setiap golongan umur dan mungkin terkait dengan jenis kelamin,
memiliki perbedaan anatomi dan drainase vena sinus.
f. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis komplikasi intrakranial sangat sulit untuk ditentukan,karena
biasanya penderita memiliki lebih dari satu komplikasi. Disamping itu,tanda dan gejala
rinosinusitis juga saling tumpang tindih dengan gejala infeksiintrakranial. Sakit kepala di
daerah frontal atau retro-orbital gejala yang palingsering muncul, terjadi kira-kira 70 %
pada penderita dengan komplikasiintrakranial yang muncul akibat sinusitis. Kebanyakan
dari pasien mengalamidemam (>38,5 C). Pasien juga memilki gejala peningkatan tekanan
intrakranial,antara lain perubahan fungsi mental, muntah, dan fotofobia. Iritasi
araknoidmungkin akan memperlihatkan adanya kekakuan nuchal. Gejala neurologik
yangselanjutnya muncul akibat komplikasi ini adalah kejang, paresis fokal, dan palsi
nervus kranial. Berikut ini beberapa gejala/tanda yang muncul dari infeksiintrakranial
sebagai akibat dari komplikasi sinusitis.
g. Diagnosis
Sebelum menggunakan teknik neuroimaging dengan CT scan atau MRI,diagnosis
lesi desak ruang dari infeksi intrakranial pertama kali ditegakkan dari evaluasi gejala
kilinik. CT scan dan MRI merupakan teknik pelengkap, dimanamasing-masingnya
membantu memberikan informasi diagnostik dan jugamanajemen utama dari komplikasi
intrakranial. CT scan bisa mendemonstrasikankebanyakan kasus supuratif intrakranial
dan merupakan suatu teknik pilihan untukmengevaluasi keterlibatan tulang. CT scan
merupakan modalitas imaging pertama untuk mengevaluasi dari komplikasi intrakranial
yang berasal dari sinusitis. Danuntuk perencanaan dalam bedah sinus, karena CT scan
memiliki kemampaunyang lebih untuk menggambarkan air-bone, dan airsoft tissues.
Di sisi lain, MRI memiliki resolusi yang lebih baik untuk patologi intrakranial dan
memiliki akurasidiagnostik yang lebih tinggi dalam mendiagnostik infeksi intrakranial.
Dalam salah satu studi yang membandingkan CT scan dan MRI dalam mendiagnostik
komplikasi intrakranial dari sinusitis, CT scan mendiagnostik 36 dari 39 kasus(92%),
sedangkan MRI 100 %. MRI juga mampu mendeteksi meningitis pada 17 kasus
sedangkan CT scan hanya 3 kasus.
Penggunaan kontras pada CT scan merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
insufisiensi ginjal atau pada penderita yang alergi. Oleh karena itu MRImerupakan
metode pertama yang digunakan sebagai alat diagnostik pada penderita insufisiensi ginjal
atau penderita yang alergi terhadap kontras. Jika pada pasien tersebut MRI merupakan
kontraindikasi, seperti adanya implantasi alat-alatyang bersifat magnetik atau
kontraindikasi lainnya, pasien insufisiensi ginjal bisadiberikan terlebih dahulu renal
protective sebelum penggunaan kontras.