Anda di halaman 1dari 22

Beberapa Kritik atas Islamisme

Novriantoni
(Aktivis Jaringan Islam Liberal)

Kalimat Pembuka
Beberapa tahun ini, pergulatan wacana keagamaan di tanah air, mengalami
perkembangan pesat (terutama) secara kuantitatif, kalaupun belum dapat disebut maju
secara kualitatif. Secara kuantitatif disebut berkembang pesat, karena tingginya intensitas
wacana dan perdebatan yang muncul. Selain itu, juga oleh sebab banyaknya literatur
pemikiran keagamaan yang menjadi trend bacaan. Kita menyaksikan, adanya lonjakan
mood luar biasa di kalangan terpelajar Islam di Indonesia untuk membuka akses lebih
luas lagi demi penyebaran wacana keagamaan, --dan itu dikontestasikan secara massif
dan lebih terbuka. Perdebatanpun terjadi, kran-kran dialog terbuka.
Semaraknya perdebatan itu, tentu saja menemukan berbagai corak, bentuk, dan warna
warni respon. Di kalangan pemikir dan peminat wacana keagamaan, ada keyakinan kuat
bahwa kondisi ini harus diteruskan mengingat usaha pembaruan pemikiran keagamaan
ibarat rantai yang sambung menyambung (silsilah muttashil al-halaqt) dan kerja tak
kenal henti, mengingat masih banyaknya peer yang belum dituntaskan --mungkin tak
akan pernah tuntas. Kira-kira, arus demokratisasi yang sedang berjalan, ikut memberikan
kesempatan memadai bagi terjadinya proses dialog keagamaan yang sempat mengalami
stagnasi di masa-masa Orde Baru.
Salah satu aktor cukup penting dalam pergulatan pemikiran dan proses dialog tersebut,
sebut saja kalangan penyokong Islamisme. Secara defenisi, Islamisme diartikan oleh
laporan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN Jakarta, sebagai
suatu faham atau keyakinan tentang Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan,
termasuk kehidupan sosial politik. PPIM sengaja memilih istilah Islamisme, karena
dinilai lebih baik dibanding istilah fundamentalisme Islam atau radikalisme Islam.
Orang atau kelompok yang mengusung faham ini, biasa disebut kalangan Islamis atau alIslmiyyn maupun al-Islmawiyyn dalam padanan Arab-nya. Sekedar menyebutkan
beberapa saja, tokoh Islam seperti Abul Ala Al-Maududi, Sayyid Qutb dan Imam
Khomaini, dapat disebut sebagai para ideolog Islamisme.
Secara sosiologis, selain dipicu meningkatnya kesadaran keberagamaan, perkembangan
Islamisme juga tidak lepas dari faktor krisis yang sedang dialami bangsa Indonesia.
Sudah pasti banyak faktor lain yang perlu diteliti lebih lanjut ihwal mengapa terjadi
lonjakan mood Islamisme, kini dan di sini. Banyak kalangan yakin, bahwa meningkatnya
gaung Islamisme juga merupakan sebentuk reaksi atas kegagalan banyak rezim sekuler
di dunia muslim. Kalau dihubungkan dengan gerak sejarah revivalisme Islam, Islamisme
belakangan ini juga bisa dilihat sebagai kesadaran tahap kedua umat Islam. Kesadaran
itu tersimpulkan dalam pandangan bahwa agama perlu memainkan peran atau misi-misi

sosial yang lebih kuat dan dominan (Mahmud, 1999: 137). Tahap pertama kesadaran
adalah fase ketercengangan atau kebangunan akan realitas objektif dunia muslim yang
menyedihkan sampai-sampai banyak orang malu menjadi muslim. Sementara tahap
kedua ditandai dengan menguatnya kesadaran akan perlunya mengukuhkan identitas
keislaman, sembari tidak lagi terlalu terkesima dengan peradaban Barat yang jauh lebih
maju. Demikian Zaki Naguib Mahmud memberikan ciri.
Agaknya kesadaran tahap kedua inilah yang menuntun umat Islam di banyak negara
untuk kembali bangkit melakukan aksi-aksi ke arah aktualisasi agama dan pemikiran
keagamaan secara lebih mendalam. Bentuk-bentuk manifestasi dari itu sangat beragam di
Indonesia, mulai dari majlis taklim dan majlis zikir kelas menengah-atas di kota-kota
besar, tabligh di tingkat grassroot, sampai diskusi dan dakwah kampus di kalangan
terpelajar di universitas-universitas sekuler. Sebatas aksi-aksi tersebut berlangsung
secara kultural, nampaknya tak terjadi banyak masalah. Persoalan muncul manakala
bentuk kesadaran tersebut didengungkan dengan kuat oleh kelompok-kelompok yang
mengusung slogan Islam adalah solusi, sembari menebar implikasi strukturalnya pada
tingkat kenegaraan atau pemerintah.
Kita tidak berkepentingan memprediksi dan menilai bagaimana nasib aksi-aksi tersebut
nantinya. Yang ingin kita diskusikan dalam makalah ini hanya menyangkut beberapa
gagasan pokok kelompok Islamisme saja. Kita berkepentingan terhadap mindset atau
worldview yang mereka bangun. Ini penting, karena gagasan-gagasan tersebut tidak
hanya problematis ketika sudah mengideologi, tapi juga bermasalah dari sisi
substansinya, karena dominasi sifat sloganistiknya. Kebutuhan untuk melakukan kritik
atas wacana Islamisme semakin mendesak, agar tidak terlanjur menjadi maaf-- pepesan
kosong yang suatu saat malah menipu dan mengelabui publik.
Kiranya, menyadari bahwa impian-impian besar sering mengecewakan (Kuntowijoyo,
2001: 64) penting kembali diingatkan di sini. Harapan bahwa Islam adalah solusi, tidak
serta merta akan betul-betul menjadi jawaban atas kondisi objektif kita yang centang
perenang, jika tidak disertai dengan pemahaman dan diagnosa yang tepat atas problem
dan kemungkinan tetapinya. Maka dari itu, kritik yang tidak selamanya mudah dilakukan,
menjadi penting dikemukakan di sini. Agar kritik lebih terinci, kita akan membahas isuisu pokok Islamisme itu bagian per bagian.
Islamisme dan Krisis
Secara historis, generasi yang paling awal tergugah kesadarannya akan krisis yang
menimpa dan menghimpit umat Islam adalah kalangan terdidik muslim yang nota bene
cukup mendalami legasi Islam, sekaligus berkesempatan mengintip peradaban lain
(Barat). Di antara mereka itu, sebutlah nama-nama semisal Al-Afghani (pada lapangan
politik) yang mengusung jargon muwajahat al-istimr min al-khrij wa al-istibdd fi aldkhil (menentang imprealisme dari luar dan depotisme di dalam); Muhammad Abduh
(di lapangan pendidikan Islam) dengan gagasan pembaruan pendidikan Islam (tathwr alAzhar) dan penyegaran pemikiran keislaman; dan Al-Thahtwi yang disebut-sebut
sebagai representasi liberal Islam yang banyak berkiprah memperkenalkan gagasan-

gagasan modern Barat di penghujung abad ke-19. Mereka-mereka ini penting disebut,
karena peran mereka sebagai pelecut kesadaran umat paling awal, ditambah lagi
banyaknya gagasan-gagasan mereka yang diadopsi dunia muslim umumnya.
Dari merekalah tersimpul suatu pertanyaan mendasar: limdz taakkhara al-muslimn wa
taqaddama ghairuhum, mengapa umat Islam mundur dan Barat maju?
Kesadaran akan krisis dunia Islam dan pemikiran Islam menjadi penting setelah mereka.
Sejak saat itu, kita mengenal fase keterbangunan (asr al-nahdlah). Kesadaran akan krisis
telah merangsang timbulnya gagasan-gagasan tentang reformasi pemikiran keagamaan,
bahkan reformasi agama itu sendiri. Ini disebabkan, selain faktor agama dan pemikiran
keagamaan disinyalir ikut berperan memperkukuh krisis, juga diyakini mampu
dipergunakan untuk menanggulanginya. Masalahnya terletak pada bagaimana peran dan
fungsi agama diposisikan.
Jika generasi awal yang tercerahkan itu menyoroti krisis pada bagian-bagian parsialnya,
kalangan Islamisme yang datang belakangan justeru memandang krisis secara lebih total
dan menyeluruh. Al-Afghani menyoroti krisis secara spesifik dari sudut tatanan politik
yang ada; Abduh menitikberatkan pendidikan; dan Al-Tahtawi memandang perlunya
mengadopsi beberapa sistim Barat yang diperlukan untuk mengejar ketertinggalan dunia
muslim. Tapi, ideolog Islamisme semisal Sayyid Qutb, lebih jauh dari mereka,
menganggap semua tatanan sudah salah dan semuanya serba krisis. Dia menyoroti krisis
pada semua dimensinya (azmat al-jism kakull). Menurut Sayyid Qutb dan kalangan
Islamisme lainnya, krisis yang sedang terjadi bukan sekedar pelencengan dari jalur Islam,
tapi sudah merupakan kudeta yang menimpa sendi-sendi kehidupan umat dalam semua
aspeknya: budaya, politik, ekonomi, seni, hukum, pola pikir dan lain-lain. Dengan begitu,
kalangan Islamisme yang belakangn ini, bahkan sampai menyimpulkan bahwa umat
Islam masih berada pada fase Mekkah atau sedang menjalani era jahiliyyah modern,
seperti judul buku Muhammad Qutb, Jhiliyyat al-Qarn al-Isyrn (Al-Jursyi, 2000: 3536).
Pemahaman serupa ini sedikit banyak juga diadopsi beberapa penganut Islamisme di
tanah air. Hizbut Tahrir (partai liberal?) misalnya, dalam booklet bertajuk Selamatkan
Indonesia dengan Syariat Islam, menyoroti totalitas krisis yang sedang dialami
Indonesia kini. Mereka menanggapi krisis secara multidimensional, menyeluruh sejak
dari krisis ekonomi, identitas, moral, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Pendek
kata, nyaris tak ada tatanan yang masih bisa dibenarkan menurut perspektif Hizbut Tahrir.
Oleh sebab itu, mereka mengajukan solusi yang fundamental dan integral: menegakkan
kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan syariat Islam. Bisa diprediksi,
bahwa Hizbut Tahrir berasumsi bahwa ketidakberislaman itulah pangkal semua krisis.
Problem yang muncul di kalangan Islamisme, justeru terjadi ketika mereka memandang
Islam terpisah dengan realitas sejarah, dan realitas peradaban kemanusiaan secara
keseluruhan. Padahal, Islam tidak pernah memperkenalkan dirinya dalam kerangka
khusus sebagai sistim unik dalam kehidupan sosial yang lebih unggul, sembari
mempertentangkan dan memperbandingkannya dengan sistim lain secara tegas (Al-Jabiri,

1992: 28-29). Persoalan tidak berhenti di situ, ketika Islam dipandang sebagai sesuatu
yang khas dan terpisah dari realitas kekinian, dia tidak hanya dituntut untuk mampu
menunjukkan tingkat kecanggihan dan kemampuannya guna bersaing dengan sistimsistim lainnya, tapi juga dipaksakan untuk memberikan solusi-solusi kongkrit atas
problem yang tidak selamanya perlu didekati dengan pola pikir Islamisme.
Justeru ketika hendak mengajukan jawaban itulah Islamisme nampak tergagap,
meskipun mereka seringkali sangat yakin dengan gagasan-gagasan mereka. Sayangnya,
sampai kini kita belum menyaksikan proyek yang memberikan harapan yang mampu
membuat kita yakin akan gagasan-gagasan Islamisme. Akankah Islamisme menjadi
semacam radikalisme pelipur lara --meminjam istilah Ignas Kleden masih perlu
dibuktikan oleh sejarah.
Gagasan tentang negara Islam, khilafah Islamiyyah, tathbiqus syariah, dan Islamisasi
struktural dan kultural yang disinyalir mampu menjadi solusi atas krisis, walau sudah
menjadi ideologi, masih sangat rapuh bila dipertanyakan dan diperdebatkan landasan
epistimologisnya. Nampaknya, mobilisasi massa masih menjadi tumpuan kekuatan
kalangan Islamisme. Hanya saja, ini dapat dimengerti karena masyarakat pada umumnya
segan berdebat perihal keagaaman, terlebih bila sudah ditopang dengan teks-teks suci
yang dikutip secara harfiah. Ini juga ditunjang karena faktor masih banyaknya orang yang
memandang agama dan pemikiran keagamaan sebagai bagian yang harus diyakini saja,
bukan dinalar dan diperdebatkan. Dari persoalan pertama ini, kita tergiring untuk
membicarakan bagaimana kalangan Islamisme memandang teks-teks keagamaan.
Islamisme dan Teks
Persoalan bagaimana memperlakukan teks-teks keagamaan --meminjam istilah dua buku
Al-Qardlwiy: Kaifa Natamal Maa Al-Qurn dan Maa Al-Sunnah-- juga menjadi
permasalahan mendasar di kalangan Islamisme. Tak disangkal lagi, kalangan Islamisme
adalah orang-orang yang mempunyai gairah keislaman yang tak diragukan lagi.
Tingginya gairah keislaman ini, membuat mereka sangat loyal terhadap teks-teks
keagamaan (yang primer adalah Alquran, yang sekunder adalah Sunnah), yang oleh nabi
disebut sebagai penuntut agar umatnya tidak tersesat (lan tadill abadan). Dapat
disaksikan, kalangan Islamisme adalah kalangan yang sangat kuat berpegang pada teksteks suci agama. Secara kategorial, mereka dapat dikatakan sebagai generasi penerus
tradisi mazhab al-nushshi (mazhab tekstual) dalam Islam, yang sangat terkesima dan
setia dengan teks-teks suci agama.
Kalangan Islamisme yakin bahwa Tuhan tidak mengalfakan satu perkarapun di dalam
teks, kecuali dia bertutur tentangnya (m farratn fi al-kitb min al-syai). Baik Alquran
maupun Sunnah, dianggap tidak hanya memuat nilai-nilai moral universal, tapi --bagi
kalangan ini bisa menjadi buku hukum, buku sains dan lain sebagainya. Maka tak
heran, kalau kalangan ini selalu memuat banyak teks suci untuk membahas
permasalahan-permasalahan yang tidak selamanya relevan ditanggapi dengan landasan
normatif teks-teks suci agama.

M. Imarah dalam bukunya Al-Turts f Dlau Al-Aql, menyebutkan tahapan-tahapan


mazhab tekstual dalam menanggapi permasalahan-permasalahan aktual. Pertama-tama
mereka mencari rujukan teks-teks Alquran dan Sunnah. Jika tak ada, mereka beranjak ke
fatwa para sahabat. Kalau sahabat tidak bersepakat dalam suatu perkara, mereka
mengambil pendapat yang paling mendekati isi Alquran dan Sunnnah dari mereka. Kalau
permata mereka tak juga ditemukan, mereka mengambil hadits mursal dan hadits dlaf.
Adapun qiys yang menggunakan mekanisme nalar dalam operasionalisasinya, akan
mereka gunakan hanya dalam kondisi emergensi. Bagi kelompok ini, hadits dlaf lebih
selamat sebagai pegangan ketimbang nalar (Emarah, 1980: 229-230).
Tak ada salahnya setia pada teks-teks suci agama. Hanya saja, kalangan Islamisme
nampaknya lupa, bahwa teks selalu terbatas, sementara kehidupan manusia berjalan cepat
tanpa dapat dikendalikan oleh teks-teks yang tidak memadai itu. Diperlukan semacam -
meminjam istilah Ulil Abshar-Abdalla wahyu perogressif untuk dapat menangggapi
permasalahan-permasalah aktual dan kontekstual yang sedang kita hadapi sekarang ini.
Kebutuhan itu tidak dapat terpenuhi sekiranya teks-teks agama dijadikan sesembahan,
bukan sebagai inspirasi yang mengandung nilai-nilai universal yang mungkin relevan
untuk menanggapi permasalahan kontekstual (Al-Baghdadi, 1999: 383).
Sedikit permisalan nampaknya perlu dikemukakan disini. Kalangan Islamisme, masih
saja sibuk membedah wacana-wacana kekinian --contohnya demokrasi dan hak asasi
manusia dari sudut landasan-landasan normatif tektual agama. Selalu saja muncul
keragu-raguan apakah demokrasi itu halal, mubah, dan bisa dibenarkan oleh Islam atau
sebaliknya. Bahkan pada tingkat yang ekstrim, kalangan Islamisme menyimpulkan
bahwa demokrasi yang saat ini menjadi dambaan banyak negara muslim, adalah sistim
kafir yang tidak bisa dibenarkan oleh landasan-landasan normatif Islam, sebab dia berasal
dari Barat. Akibatnya, wacana kita menjadi tidak naik kelas, hanya berkutat pada apakah
itu bisa dibenarkan agama atau tidak dengan landasan normatif teks-teks suci yang
terkadang berkesan dipaksakan bisa mengintervensi pembahasan-pembasahan kekinian.
Adanya jurang pemisah antara teks dengan kenyataaan juga masalah lain yang tidak
disadari kalangan Islamisme. Perlu ditegaskan bahwa, dalam realitas sejarah, tidak semua
persoalan hidup manusia bisa dijawab teks-teks agama. Persoalan umat manusia, sejak
Adam sampai kini, tidak sepenuhnya berjalan atas landasan tekstual agama. Para
pengamat yang jeli melihat adanya hubungan dialektikal antara teks dengan sejarah
(realitas) yang tak jarang dimenangkan sejarah (Abd. Rasul, 2000: 37).
Ambillah contoh untuk penjelas dialektika teks dan sejarah. Dalam teks-teks primer dan
sekunder Islam, perihal sistim politik tidak dijelaskan secara terperinci. Diamnya teks ini
tentu mempunyai maksud-maksud tertentu. Sebagian pemikir memandang hal itu
memang tidak perlu, karena baik Alquran maupun nabi sendiri, sadar kalau hal
sedemikian selalu tunduk pada realitas manusia yang berkembang dinamis, progresif dan
memerlukan inovasi tiada henti. Pasca runtuhnya sistim khilafah tahun 1924,
--sebetulnya kesultanan-- umat Islam bangun, sadar akan adanya kebutuhan mendesak
guna mencari sistim yang lebih mungkin --sekali lagi, lebih mungkin-- memberikan
kehidupan kenegaraan yang lebih baik dan maju. Dari tumbuhnya kesadaran ini, gap

antara teks dengan konteks tampak semakin menganga.


Teks berbicara tentang negara yang tersusun atas dasar identitas agama (pembagian
muslim dan zimmi, misalnya), konteks menunjukkan negara bangsa terbangun bukan atas
fondasi identitas keagamaan. Teks, oleh kalangan Islamisme disangka berbicara tentang
hukum Tuhan, kedaulatan Tuhan, sementara konteks membutuhkan adanya
mekanisme sosial-politik yang lebih demokratis untuk mewujudkan perangkat hukum
yang mengatur kehidupan publik.
Permaslahan yang paling krusial menyangkut teks adalah penggunaan teks-teks
keagamaan untuk mengutuk lawan diskusi mereka dalam tema-tema keagamaan. Ada
kesan, kelangan Islamisme memandang bahwa pandangan pribadinya tentang suatu
persoalan menjadi valid dengan sendirinya bila sudah ditunjang oleh berjibun teks.
Diskusi kemudian seakan digembok kebenaran mutlak teks. Kebenaran mutlak teks ini,
kemudian seolah memancarkan kebenaran pengguna teks. Kebalikannya, yang tidak
menggunakan teks, meski lebih masuk akal dalam pandangan-pandangan keagamaannya,
akhirnya berarti menentang teks itu sendiri. Akal selalu dipertentangkan dengan naql.
Islamisme dan Realitas Kekinian
Kesenjangan antara realitas kekinian dengan masa lampau dalam retorika keagamaan
kalangan Islamisme juga dapat dicermati. Penganut Islamisme, selalu saja
mengidealisaikan masa lampau sembari menyumpah masa kini. Mereka meletakkan masa
lampau sebagai fundamen dan masa kini mesti menuruti masa lampau itu. Bila masa kini
melenceng dari gambaran ideal masa lampau yang (terlalu) diidealisasikan itu, maka
kesimpulannya adalah anomali (inhirf), kebodohan (jhiliyyah) dan kekeliruan (aldlall). Makanya retorika keagaaam ala salafi ini, menginginkan rekonstruksi masa kini
dengan menggunakan photo copy masa lalu. Nasr Hamid menegaskan bahwa cara
berpikir demikian adalah sebuah mimpi yang mustahil berwujud (hilm mustahl).
Agaknya, apa yang dikatakan Shorous juga menjadi relevan sebagai kritik atas watak
Islamisme yang terlalu mengidealisasi masa lampau ini. Bagi Shoroush, keterperosok kita
dalam problem keterpautan antara teori dan praktik keagamaan dewasa ini, juga
disebabkan karena secara gradual dan material kita sudah beranjak menuju zaman
modern, sedangkan pemikiran kita tertinggal di belakang (Soroush, 2002: 77-78). Selain
ketertinggalan itu, ketidakmampuan menetapkan secara jeli prinsip-prinsip hubungan
antara masa kini dan masa lalu secara dialektikal, juga menyebabkan hubungan antar
masa lampau dengan kini seperti teka-teki ayam dan telur. (Abu Zaid, Naqd , 1995:
157-162).
Pembedaan antara Islam ideal (al-islm al-namdzajiy) dengan Islam historis (al-Islm fi
al-wqi) bagi kalangan Islamisme menjadi tidak penting sebagai kategorisasi konseptual
guna memahami hakikat masyarakat. Pada akhirnya, banyak pemikir heran, hanya umat
Islam yang sangat bangga dengan masa lampaunya. Karena kebanggaan yang berlebihan
pada masa lampau itu, umat Islam tidak memiliki masa kini, sekaligus gamang akan masa
depan. Pendek kata, mereka tidak mampu membedakan antara agama dalam kandungan-

kandungan teks orisinal dan fundamentalnya, dengan praktiknya sebagai produk


pembumian teks-teks kandungan wahyu ke dunia nyata dan sejarah.

Kalimat Akhir
Perdebatan sepuat wacana keagamaan, selalu relevan untuk dilakukan. Ini diperlukan
agar wacana keagamaan tidak membeku dan menjadi monopoli satu pihak dan aliran
pemikiran saja. Iklim yang menjamin ke arah terus terjaganya kondisi yang
memungkinkan dialog secara damai, harus terus dijaga agar dapat dimanfaatkan guna
pematangan wacana keagamaan itu sendiri. Demokrasi dan kebebasan berekspresi
nampaknya tak dapat dikesampingkan dalam hal ini. Hanya dalam iklim demokrasi dan
tersedianya ruang publik yang memadai, kita dapat melakukan dialog dan kritik. Tak ada
kata lain, al-hurriyyah f sablillh, kebebasan dijalan Allah perlu juga dikumandangkan
sebagi tandingan slogan jihad fisabilillah belakangan lebih berkonotasi kekerasan itu.
Wallhu alam!

Bahan Bacaan:
Abd. Rasul, Aiman. Majalah Adab wa Naqd. Kairo: edisi Juli 2000.
Abu Zaid, Nasr Hamid. Al-Khitb wa al-Takwl. Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqfi Al-Araby,
2000.
Abu Zaid, Nasr Hamed, Naqd al-Khitb al-Din. Kairo: Maktabah Al-Madbl, 1995.
Al-Baghdadi, Ahmad, Tajdd al-Fikr al-Dn, Damaskus: Dr al-Mad li Al-Tsaqfah wa
Al-Nasy, 1999.
Al-Jbir, Muhammad Abid. Wijhat Nazr. Beirut: Markaz Dirsat Al-Wihdah
Al-Arabiyah, 1992.
Al-Jursyi, Shalah. Al-Islmiyyn Al-Taqaddumiyyn. Kairo: Markaz Al-Qhirah li
Dirsat Huqq Al-Insn, 2000.
Emarah, Muhammad. Al-Turts fi Dlau Al-Aql, Beirut: Dr Al-Wihdah, 1980.
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan, 2001.
Mahmud, Zaki Naguib. Qiyam min Al-Turts. Kairo: Dr Al-Syurq, 1999.
Soroush, Abdul Karim. Menggungat Otoritas dan Tradisi Agama. Bandung: Mizan, 2002.

Utan Kayu, 25 Januari 2002.

PEMBUKAAN:
Diskusi dibuka pada pukul 09.30 WIB oleh pembawa acara (Lusila Anjela Bodroani, SH)
dengan ucapan selamat datang, pembacaan susunan acara dan pengantar sbb:
Di sini kita akan membahas atau mengkritisi suatu topik yang bagi kami menarik, karena
ini menyangkut hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum manakah yang dianggap adil
di Indonesia. Menurut Nonet dan Selznick, hukum yang memiliki keadilan yang
substantif itu berarti hukum yang responsive artinya, hukum yang menjangkau
perkembangan masyarakat dalam tataran sosiologi, philosofi, sejarah, dll., dan yang
hukum itu dapat hidup walaupun sudah berlaku secara dogma. Hukum Islam sebagai
salah satu hukum yang hidup di Indonesia tentu tidak terlepas dari suatu konteks.
Manusia hidup dalam suatu konteks, diharapkan dapat hidup demi perkembangan hidup,
tetapi tiap manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda sehingga memiliki
penafsiran yang berbeda-beda pula yang dihubungkan dengan spiritualitas masingmasing. Persoalannya adalah sejauhmana kita bisa memberi dan menerima sesuatu itu
menjadi sesuatu yang berguna dan membangun kemaslahatan bersama. Diskusi ini akan
menyangkut nilai perbedaan yang ada dengan thema seperti yang terpampang di atas,
yaitu LIBERALISME ISLAM VIS A VIS KONSERVATISME ISLAM. Tetapi kita tidak
akan membenturkan ke dua perbedaan itu melainkan untuk melihat bahwa perbedaan itu
ada, dan itulah realitas. Sebenarnya yang paling pokok adalah mau kita bawa ke mana
perbedaan itu, dan kini sudah hadir di tengah-tengah kita beberapa narasumber yaitu
Novriantoni dari Jaringan Islam liberal, memang rencana dari panitia sebenarnya yang
akan hadir adalah Ulil, tetapi karena ada kendala teknis dan yuridis yaitu karena beliau
tidak diijinkan ke luar kota kaitannya dengan tulisan-tulisan yang dia buat beberapa saat
di mass media. Yang kedua adalah M. Jadul Maula, dari LkiS, yang ketiga Bp. KH
Santosa ketiganya akan mengajak kita berdiskusi dalam tataran wacana ilmiah.
Adapun Susunan Acara diskusi ini adalah sebagai berikut:
1. Pembukaan (sudah saya sampaikan)
2. Sambutan dari panitia yang akan disampaikan Sdr. Adib KH Zaman
3. Diskusi interaktif yang akan dipandu Sdr. Muslim Aisha.

Acara akan diakhiri pukul 13.00 WIB

SAMBUTAN PANITIA:
Sambutan disampaikan oleh Adib. Beberapa hal yang disampaikan dalam prakata adalah
sbb: Ucapan terima kasih pada para narasumber yang telah hadir untuk mengisi diskusi
tentang sebuah wacana yang akhir-akhir ini sedang ramai-ramainya dibicarakan, yaitu
tentang rasionalisasi agama, rasionalisasi syariat, dll., yang akhirnya harus ada fatwa mati
bagi para pencetus ide ini, tak lupa terima kasih kepada para hadirin atas partisipasinya
pada diskusi kali ini. Kami (panitia) bersyukur karena pada akhirnya acara diskusi ini
bisa terlaksana, sebetulnya kami hampir tidak diijinkan untuk menyelenggarakan diskusi
ini, tetapi diskusi yang kami adakan ini hanya sederhana, yaitu untuk mendiskusikan
sebuah wacana yang sedang berkembang. Namun akhirnya, kita juga nggak ngerti angin
apakah yang membawa para narasumber kita yang hadir saat ini dari Jakarta, Yogyakarta
dan Solo. Nanti kita akan bicara warna-warni dan aneka ragam pendapat yang ada di
Indonesia ini. Dengan adanya acara ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua
teman-teman yang terlibat dalam terselenggaranya acara ini. Harapan kami forum ini
akan menjadi awal membuka wacana bahwa semakin lebarnya perbedaan yang ada di
masyarakat Jepara yang konon katanya sangat sulit menerima berbedaan, dan semoga
diskusi kali ini tidak akan terhenti begitu saja melainkan akan mungkin muncul diskusidiskusi yang lain untuk kita saling membuka diri hingga tidak terjadi ke-aku-an dalam
diri masing-masing. Sekali lagi terima kasih dan minta maaf jika ada hal-hal yang kurang
berkenan selama diskusi ini, mohon maaf pula karena kami tidak bisa menghadirkan Sdr.
Ulil karena ada kendala teknis dan diwakilkan kepada Sdr. Novriantoni. Yang kedua
pembicara dari Lkis, Sdr. Jadul, dan pembicara ketiga yang rencananya dihadiri Bp. Farid
pimpinan Ponpes Ngruki, tetapi digantikan Bp. Santosa. Yang keempat sebenarnya kita
mengundang Bp. St. Sunardi, untuk melihat dari luar Islam sendiri karena wacana dari
para narasumber kita semuanya dari Islam, tetapi beliau berhalangan hadir karena harus
menghadiri pemakaman Bp. Th. Sumartana hari ini.

DISKUSI INTERAKTIF
Moderator : Muslim Aisha
Pembicara : 1. Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Jakarta
2. Jadul dari Lembaga Kajian Islam & Sosial (LKiS) Yogyakarta
3. Drs. H. Santosa dari Ponpes Al Mumin Ngruki Sukoharjo

Diskusi dimulai pukul 09.30


Muslim menyampaikan pengantar dan memperkenalkan para panelis.
Sebagaimana yang telah dipaparkan tadi inilah kehadiran para narasumber yang akan
bersama-sama kita berdiskusi. Melihat judulnya sebenarnya cukup berat untuk kita bisa
memahami apa itu liberalisme Islam, konservatisme Islam, tetapi kita akan coba
diskusikan dengan lebih luas bersama para narasumber, yaitu:
Novriantoni, lahir tahun 1975, asli Riau, sekarang di Jl. Utan Kayu 68H Jakarta Timur
(markas JIL), alumnus Gontor tahun 90/96, 96/97, alumni Al Azhar Kairo th. 97-2001
sekarang di pascasarjana UI jurusan Sosiologi th. 2001 hingga sekarang.
Bp. Santosa, lahir di Sukoharjo, 10 Februari 1945, Jl. RE. Martadinata 250 Solo,
sekarang tinggal di belakang Kantor Radio Imanuel Surakarta, Alumnus SR, Gontor,
PGAA, IAIN, UMII, organisasi: PII, IKPN, Pemuda Muhamadiyah, NU, LPBH NU
Surakarta, Golkar, PKB, IFC, FSHKB, LKMD, MUI Jebres.
Muhammad Jadul Maula (Kang Jadul), lahir di Pekalongan, 3 September 1969, Rumah:
Kota Gede Yogyakarta, Kantor: LKiS: Jl. Sorowajan, Yogyakarta, pendidikan: IAIN
Sunan Kalijaga, Sanata Darma program religi dan budaya. Organisasi: Lembaga Kajian
Islam dan Sosial Yogyakarta.

Sebagai pengantar:
Memang akhir-akhir ini menyeruak kembali wacana keIslaman yang sekarang ditandai
dengan dua kecenderungan, untuk menyebut yang pertama adalah sebagian umat yang
memahami Islam sebagai sebuah spirit kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat yang tidak segan-segan mencari formula baru terhadap apa yang dipahami
oleh masyarakat. Mereka sering menyebut bahwa Islam harus di reinterpretasi ulang agar
tidak ketinggalan jaman yang semakin mengglobal ini. Maka isu-isu seperti kebebasan,
HAM, Lingkungan Hidup, kesetaraan Gender, dsb, yang kemudian menjadi isu utama
oleh kelompok ini, Islam akan diterjemahkan menjadi konteks yang sekarang
berkembang. Di sisi yang lain, ada kecenderungan sebagian umat Islam kita yang berpikir
bagaimana negara kita ini bisa diberi suatu kebijakan yang sesuai dengan Islam atau
bagaimana Islam diperjuangkan menjadi sebuah syariat di negara kita. Sementara itu Di
sisi yang lain, ada fenomena keberagaman dalam kehidupan kita ini muncul suatu
tudingan terhadap Islam: teroris, fundamentalis, dsb., oleh adanya beberapa kejadian
yang luar biasa, baik yang terjadi di AS maupun di Indonesia (di Bali), yang kemudian
menggeret perhatian dunia kepada dunia Islam bahwa ada watak pada agama Islam
yang menjurus ke tindakan-tindakan yang anarkhis yang lalu disebut terorisme.

Bagaimana sesungguhnya sorotan dunia terhadap gambaran seperti ini. Ok, kita akan
dengarkan dari para narasumber, saya kira akan dengan arif dan bijaksana memaparkan
gagasannya.

Panelis I: Novriantoni (Jaringan Islam Liberal)


Saya merasa kecil diri, berhadapan dengan Kang Jadul yang mestinya Ulil yang ada di
sini. Dan tentu harapan dari para hadirin di sini adalah berjumpa dg Ulil, tetapi karena
akhir-akhir ini banyak sekali undangan kepada Ulil yang agak berbentuk
pertanggungjawaban dari gagasan-gagasan Ulil yang dimuat di Koran, baik itu berbentuk
diskusi maupun mencari bahan untuk tambahan pemberatannya di Pengadilan nanti, dan
itu selalu dilayani oleh beliau. Sedangkan tugas saya di sini bertambah berat karena
mewakili orang yang kapasitasnya lebih besar dari saya. Kedua, saya agak kurang paham
dengan apa yang dimaui dalam diskusi ini, apa yang diminta tentang liberalisme Islam vis
a vis konservatisme Islam ini.
Dalam beberapa hari ini, saya membaca di beberapa media Arab, ada sebuah
kecenderungan saat ini di dunia-dunia Arab; Pertama, di Iran, saat ini ada kabar yang
agak konyol: mulai dari kaum perempuan yang diperbolehkan jadi suporter sepakbola,
dalam revolusi Iran th 1979, itu tidak diperbolehkan, alasannya agak lucu juga jika ini
benar, yaitu karena meningkatnya kebrutalan supporter sepakbola di sana. Jadi karena
kebrutalan supporter sepakbola yang adalah laki-laki itu, akan menjadi berkurang
brutalnya kalau supporternya adalah perempuan. Tapi jika berita itu benar, saya kira akan
ada implikasi-implikasi lain lagi tentunya. Kedua, Putra mahkota Arab Saudi (Amir
Abdullah) mengatakan bahwa negara Arab perlu mengadakan reformasi sistem politik,
agar ada asas keterbukaan dan perlu ada partisipasi publik yang lebih luas. Di pers-pers
Arab, sekarang ini berkembang sebuah teka-teki: apakah ini hanyalah sebuah isu politik
yang tidak relevan, karena selama ini Arab Saudi menjadi negara yang sangat tidak
terbuka secara politik dan partisipasi publik bisa dikatakan nihil, yang ada hanya
keputusan-keputusan elit, keputusan-keputusan keluarga kerajaan. Bagaimana ide itu
muncul dari sebuah rejim yang nota bene mereka adalah orang-orang yang banyak
melecehkan partisipasi publik. Fenomena yg lain, di Arab juga muncul tuntutan-tuntutan
atas kekebasan publik yang lebih luas lagi (civil liberty), seperti misalnya perempuan
tidak boleh menyetir mobil, KTP perempuan mengikuti suami, keluar rumah harus ijin
suami, itu semua syariat, artinya konstruksi dari hukum fikih Islam yang selama ini
sering didengung-dengungkan orang agar diperbaharui. Sebenarnya baru dua kasus ini
yang saya soroti. Selain itu juga kasus mullah-mullah Islam yang selama ini malu
menunjukkan identitasnya sebagai mullah karena para pemuda Iran yang meningkat
brutalitasnya dan protesnya terhadap para mullah, yang mereka sinyalir sebagai orang
yang mestinya paling bertanggung jawab terhadap bobroknya system perekonomian dan
politik di negaranya. Kita tahu misal adanya kasus Hasyim Agari, seorang Iran yang
mengkritik habis-habisan system politik yang dimunculkan para mullah, politik yang
sangat-sangat bergandengan dengan agama yang berarti sangat kritis, sehingga Hasyim
menyatakan bahwa ketaatan kepada system politik ini seakan menjadi keataatan terhadap

agama itu sendiri, sehingga ketika kita mengkritik system politik maka kita dianggap
mengkritik agama itu sendiri. Statement Agari saat itu: hanya monyet yang akan mau
mengikuti aturan-aturan begitu saja tanpa mau mendiskusikan itu.
Dari beberapa kasus itu, sekiranya pemberitaan itu benar, maka kita dapat menyimpulkan
bahwa di beberapa negara yang saat ini meningkat kecenderungan Islamismenya, negaranegara yang sudah menerapkan syariat Islam dalam negaranya, ternyata menginginkan
adanya semacam kelonggaran yang lebih, menuntut adanya civil liberties yang lebih
professional kepada masyarakatnya. Fenomena ini berbalikan dengan fenomena di negara
yang belum menerapkan syariat Islam di negaranya. Indonesia misalnya, Indonesia
sebenarnya berpengalaman karena beberapa perundang-undangan kita itu kan sangat
Islam, seperti pernikahan, dsb. Fenomena di Indonesia pasca reformasi adalah wacana
Islamisme, di mana berkembang isu-isu Islam, adanya wacana ttg negara Islam,
kekilafahan universal, ada semacam wacana bahwa negara Islam dipahami sebagai
negara yang tersusun atas keyakinan umat-umatnya/keyakinan rakyatnya.
Akhirnya saya teringat dg buku Abdul Karim seorang Iran yang terbit di misan: tantangan
umat beragama saat ini jauh lebih berat daripada tantangan umat beragama pada fase-fase
sebelumnya.
Bahkan beberapa pakar menyebutkan bahwasanya Islam adalah agama sebelum abad
industri, Setelah abad industri Islam menjadi semakin tidak relevan, karena ada tantangan
yg lebih besar yang dihadapi oleh para pemikir agama sejak jaman revivalisme agama,
misalnya pada jamannya Jamaludin Al afghani, permasalahan pokoknya adalah
bagaimana memposisikan agama dalam struktur social politik dan budaya yang sudah
sama sekali berbeda dengan struktur social politik dan budaya pada jaman nabi atau
jaman di mana umat Islam berada di bawah payung yang bernama filafah Islamiah. Ini
problem serius. Umat Islam pernah bermasalah dengan nasionalisme. Bagaimana
menghadapi dan menyikapi nasionalisme, saat ini Islam berhadapan dengan ketidak
adilan global. Bagaimana memposisikan agama? Sebuah Teori yg menarik dari Abdul
Karim adalah teori Albqodulwaba (yaitu teori penyempitan dan pelapangan dalam ilmu
agama) menyatakan secara tegas adanya pembedaan antara agama dg ilmu agama atau
interpretasi terhadap agama. Teori ini juga menginginkan agar kita membedakan antara
nilai-nilai konstan di dalam agama,nilai-nilai fundamental, juga nilai-nilai yang ada di
dalam agama, atau kalau di Indonesia bagaimana melihat nilai-nilai keberagamaan yang
substantif dan yang formalistic. Walaupun keduanya akan selalu tumpang tindih.
Dalam makalah saya, saya memberikan sebuah kritik terhadap fenomena tentang
Islamisme yang sedang berkembang di indonesia. Saya ambil definisi dari Pusat
penelitian Islam dan masyarakat. Islamisme adalah sebuah paham yg mengatakan bahwa
Islam mampu mengatur banyak hal mampu mengatur kehidupan social dan politik dalam
konteks kenegaraan. Banyak permasalahan yang muncul dan muncul kontradiksi
misalnya kita ingin agar agama ikut berperan dalam pembangunan, dalam pemberdayaan
masyarakat, dalam kebijakan politik, dalam perkembangan sosial masyarakat. Sementara,
ada kutub lain yang menginginkan agama sangat riskan ketika agama sudah memainkan
peran-peran publik, ketika agama sudah memainkan pengaruhnya terhadap kebijakan-

kebijakan publik, terhadap kebijakan-kebijakan kenegaraan, maka akan muncul semacam


totalitarianisme agama dalam bungkus agama itu sendiri. Akhirnya dari sinilah muncul
pemikiran apakah agama itu perlu dipisahkan dari politik, atau agama perlu berkolaborasi
dengan system politik untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat, kesejahteraan dan
lain sebagainya. Abdulah An Naim, Hasan Hanafi, dan banyak tokoh lain berpendapat
bahwa agama Islam adalah agama yang sekularistik (wataknya), argumen-argumennya
selalu merunjuk kepada nabi sebagaimana orang yang menolak Islam sebagai agama
yang sekularistik, juga menggunakan argumen-argumen yang historic pada jaman nabi.
Argumen-argumen itu sama-sama kuat, misalnya orang-orang yang mengatakan bahwa
Islam itu sekularistik, mengatakan bahwa dalam sunah nabi dulu, nabi sangat tegas
membedakan mana wilayah-wilayah di mana para sahabat nabi saat itu tidak boleh
membantah di mana itu adalah wahyu dari Tuhan, dan itu menjadi sebuah legislasi
hukum yang harus ditaati umat, dan wilayah-wilayah di mana bisa bernegosiasi dengan
nabi tentang bagaimana baiknya menghadapi sebuah problem kehidupan. Yang kita tahu
selama ini dalam kajian-kajian keIslaman, yang namanya sunah nabi itu yang popular
hanya ada 3: sunah dalam bentuk ucapan, dalam bentuk perilaku, dan dalam bentuk
ketetapan-ketetapannya. Tapi Muhamad Imaroh mengatakan bahwa ada satu bentuk
sunah nabi yang semestinya juga diketahui dan bisa dibedakan oleh umat Islam. Sunah
ini menyangkut apakah perilaku nabi itu akan berimplikasi terhadap legislasi hukum
Islam atau tidak? Sunah tasriiyah = perilaku nabi yang nantinya punya implikasi hukum
(hukum agama). Sunah yang tidak termasuk kategori sunah legislasi hukum misalnya halhal yang menyangkut kehidupan sehari-hari nabi yang merupakan hajat primer ttg
kehidupan kita seperti makan, minum, mandi, pakaian, dll. Inilah yang tidak termasuk
sunah tasriiyah.
Dan kita tahu hadits itu banyak menunjukkan tentang apa yang dilakukan oleh nabi.
Problem yang kita hadapi sekarang ini adalah sebuah pertanyaan: apakah ketika nabi
melakukan sebuah perbuatan kita harus mengikutinya secara harafiah atau tidak? Tentu
akan ada kategorisasi. Ketika nabi memakai jubah, nabi berjenggot, sementara orang di
Indonesia jarang memakai jenggot, jadi apakah di Indonesia itu menjadi sebuah
keharusan? Kalau di Thaliban, itu harus. Lalu setelah jatuhnya rejim Thaliban, pemuda di
sana mulai ramai-ramai mencukur jenggotnya, karena mereka merasa lebih ganteng. Saya
pernah bertemu di Saudi Arabia, di sana orang-orang berjenggot dan itu menunjukkan
muka-muka orang berperang, apakah seperti itu yang diinginkan nabi? Sementara
kelompok Islamisme menganggap itu sebagai keteladanan yang berarti sekali bagi
mereka. Itulah sebabnya Ulil Abdala menggagas bahwa kita perlu membeda-bedakan
antara nilai-nilai fundamental Islam yang bisa diberlakukan untuk konteks ruang dan
waktu yang berjalan, beragam-ragam, berubah-ubah dengan nilai-nilai situasional,
particular dan local. Pembedaan-pembedaan seperti ini termasuk pemikiran-pemikiran
keagamaan. Apa salah kita berpikir seperti ini? Islam akan berhadapan dengan
modernitas, globalisasi, modernisasi, dsb. Banyak sekali permasalahan kita ketika harus
hidup dalam jaman modern. Maka tidak heran jika seorang pemikir Mesir bernama
Zakinah bin Mahmud, menulis buku, yang berjudul tentang nilai-nilai legasi Islam. Ia
menulis ada kira-kria 2 fase respon umat Islam terhadap dunia yang sudah berubah ini.
Fase pertama, adalah keterkejutan. mereka merasa sangat terbelakang, tertinggal, miskin,

sementara yang lain sangat maju, kaya, berkembang sewaktu-waktu bisa menyerang
mereka dengan alat perang yang canggih sementara mereka hanya bisa berdoa, dsb. Lalu
muncul adanya gagasan tentang perlunya reformasi pemikiran Islam. Beberapa pelajar
Islam disekolahkan ke barat. Akhirnya mereka punya pengetahuan Islam yang memadai
sekaligus bisa melihat apa kelebihan-kelebihan, kekurangan-kekurangan peradabanperadaban lain yang jauh meninggalkan peradaban Islam ketika itu. Oleh karena itu
muncul gagasan-gagasan untuk reformasi ajaran-ajaran keagamaan bahkan reformasi
agama itu sendiri bagi mereka. Karena agama disinyalir akan berperan dalam
memundurkan umat ataupun mengeluarkan umat dari kemunduran. Bayangkan saja
ketika kita harus menggunakan hukum yg sudah ketinggalan jaman, yang tidak sesuai
dengan konteks, apakah sesuai dengan kehidupan masyarakat yang sudah berubah
sedemikian rupa. Permasalahanannya memang agak rumit, bagaimana mendamaikan
antara apa yg disebut Ulil sebagai kebakaan hukum-hukum/nilai-nilai fundamental
Islam yang sifatnya transhistoris dengan nilai-nilai yang sifatnya particular-lokal tadi?
Jadi permasalahan-permasalahan tadi terjadi pada fase ketercengangan, saat ini ada
trend lain, di mana umat Islam mengalami fase kepercayaan diri yang begitu tinggi
(melonjak-lonjak) sehingga merasa cukup. Islam cukup bagi kita. Ada kecenderungan
seperti begini jika anda berbicara masalah struktur ekonomi, social, budaya, politik
dengan menggunakan metodologi-metodologi pinjaman, kita akan dikatakan sekuler,
dikatakan barat, dikatakan tidak Islami. Sementara apa yang disebut metodologi Tuhan,
hukum tuhan, dsb., Itu yang ditantang Ulil dalam kolom tulisannya dia mengatakan tidak
ada hukum Tuhan. Dia kemukakan antitesisnya, karena sekalipun ada hukum Tuhan,
Hukum-hukum tersebut adalah hukum-hukum fundamental yang nantinya akan
diterjemahkan menurut Kemampuan akal manusia dan proses negosiasi antar manusia
juga. Ada hal-hal yang tidak disadari oleh kelompok-kelompok Islamisme misalnya,
betapa banyak hukum-hukum dalam Alquran yang tidak bisa diterapkan di jaman
sekarang. Ulama Fikih mengatakan itu tidak bisa diterapkan, dan tidak bisa dilaksanakan
secara temporal. Misalnya, teks Alquran bicara ttg adanya pembagian kewargaan negara
berdasarkan keyakinan agama, sampai masa kesultanan Islam Turki Usmani, pada
penghujungnya Usmani akan mengamandemen hukum Tuhan itu, sampai mereka
akhirnya menerima kewarganegaraan bukan lagi atas dasar agama dan keyakinan tetapi
atas dasar wilayah pemukiman. Teks-teks dalam Alquran ada yang bicara tentang ahli
lilmi dengan ahli Islam masyarakat protektorat yang harus diproteksi umat Islam dalam
sebuah negara yang mayoritas muslim dan Moslem itu sendiri.
Umat Islam selalu mengatakan mereka bukan second class dalam masyarakat, tapi
sekarang ini, konotasinya selalu second class. Dalam kehidupan negara bangsa (nation
state) di mana sebuah negara telah terbentuk atas dasar kesepakatan, kesamaan nasib,
keseperjuangan dalam mewujudkan sebuah bangsa, akhirnya konsep-konsep lama ttg
kenegaraan sekalipun ada dalam teks itu, akhirnya berbenturan dg realitas sejarah.
Bagaimana menyikapi mermasalahan seperti begini? Di sini harus ada interpretasi ulang
atau kita akan memaksakan di mana hukum Tuhan harus berjalan? Saya kira kalau kita
paksakan akan kembali pada masa kemunduran. Permasalahan menjadi sangat rumit
ketika kita berhadapan dengan kenyataan-kenyataan social, budaya dan politik sekarang
yang sudah amat jauh berbeda dengan kenyataan social, budaya, politik umat Islam dulu.

Dan tentunya kita sekarang membutuhkan semacam mekanisme ataupun kondisi yang
lebih memungkinkan kita untuk mengadakan diskusi-diskusi dan dialog-dialog yang
lebih terbuka dan bebas untuk memperdebatkan wacana-wacana keagamaan yang amata
sensitive sekalipun. Kran-kran dialog dan wacana itu harus kita pertahankan agar kita
tidak kembali lagi menerima apa adanya apa-apa yang mungkin dalam perspektif orang
tertentu hukum Tuhan. Take it or leave it (ambill semuanya atau tinggalkan semuanya),
dalam perspektif Islamisme. Dalam perspektif kita, harus mendapatkan penafsiranpenafsiran ulang, dan pada hakekatnya teks-teks keagamaan itu tidak berbunyi sendiri,
dia diam, yang membicarakannya adalah manusia (memusabaqoh tilawatil, melantunkan,
mengucapkan, membaca, dst) tetapi menafsirkan teks-teks yang Illahi itu adalah proses
yang dilakukan manusia. Ketika manusia yang menafsirkan itu punya kecenderungan
konservatifisme, punya kecenderungan yang berlebihan untuk mengunci dari kebebasan
sipil yang kurang, maka pembacaannya akan menjadi sangat ketat. Ketika Teks itu
pertama kali datang kepada nabi Muhamad dan dibaca, maka sebenarnya teks itu telah
memanusia, sudah merasuk dalam proses penafsiran manusia. Jadi ada problem di dalam
penafsiran teks alquran sekarang. (pukul 10.22)

Moderator
Menarik sekali tadi apa yang disampikan oleh mas Novri, intinya adalah memberikan
kritik terhadap kecendrungan prilaku Islamesme yang jika dibahasan dengan agak
bercanda kira-kira begini: kalau Islam dianggap jawaban, lantas pertanyaannya apa. Baik
kita akan masih mendengarkan lagi pemaparan bapak Santoso, sekali lagi, beliau adalah
teman dari ustadz Baasyir, dan menurut informasi yang saya terima merupakan salah satu
pendiri ponpes Al mukmin Ngruki solo.

Panelis II: Drs. Santosaharjo, SH (Ponpes Ngruki-Sukoharjo- SOLO)


(bercerita panjang lebar tentang pengalaman organisasinya, termasuk keterlibatannya
dalam kerukunan hidup antar umat beragama di Solo (Interfaith community)).
Membahas ttg liberalisme Islam dan konvervatisme Islam, yang sebenarnya adalah tugas
Ustad Makruf, yang kemudian diberikan kepada saya tadi malam, saya diminta berbicara
ttg Islam fundamentalis. Saya tidak membuat makalah karena saya tidak cukup waktu
untuk mempersiapkannya, terlalu mendadak. Perlu diketahui, bahwa dalam Koran
disebutkan Abu Bakar Baasyir adalah direktur Ponpes Ngruki, sesungguhnya sejak tahun
1980an beliau pergi ke Malaysia dan sudah melepaskan jabatan, lalu digantikan oleh
Farid Makruf.
Paham Islam fundamentalis sebagaimana konsep beliau ketika beliau ditangkap di PKU
Muhamadiyah, sejak itu berita tentang fundamentalisme Islam dan ponpes Ngruki sangat
santer, hingga saya kedatangan seorang wartawati dari Canada, dari Minonite community
yang menanyakan siapa sesungguhnya Baasyir? Saya katakan beliau adalah seorang
guru agama, seorang mubaligh yang menerangkan Islam secara apa adanya. Yaitu

berdasarkan syariat muslim yang dia yakini (dia juga seorang alumnus gontor) dia ingin
membuat masyarakat yang rukun dan sejahtera. Dan tanpa melibatkan pemikiran beliau
tentang politik dan kenegaraan, Cuma karena dari murninya pendapat syariat sampai
kepada hal-hal yang mestinya meragukan akidah atau mengganggu ketauhidan, beliau
berikan kepada siswa atau jamaah untuk tidak dilaksanakan, seperti hormat bendera,
seperti menolak apa yang pernah ditawarkan oleh rejim orde baru, sehingga karena ada
perlawanan terhadap pemerintah maka beliau dianggap sebagai orang yang menentang,
yang kemudian beliau dipersalahkan. Saya sampaikan juga kepada wartawan itu bahwa di
ajaran Islam, setahu saya tidak ada istilah fundamentalis, istilah teroris dan tidak ada
istilah liberal. Islam yang ada adalah orang yang konsekwen dengan syariat Islam dan
orang yang tidak mampu menjalankan syariat Islam. Ada suatu hadits yang mengatakan
siapa yang mendengar panggilan adzan, haruslah dia berangkat jamaah. Dalam hal ini ada
yang mendengar lalu pergi berjamaah, ada yang mendengar namun tidak mampu bangkit
untuk pergi berjamaah. Beliau (Abu Bakar Baasyir) selalu mampu berangkat berjamaah.
Seperti saya tidak mampu. Jadi yang ada adalah antara menjunjung tinggi kedisiplinan
syariat pada diri beliau dan ketidakmampuan orang-orang lain dalam bersyariat, sperti
saya ini. Beliau bisa menganalisa, apabila bertamu pada seseorang yang memberi dia
suguhan, dan dia merasa ragu, dia selalu katakan: maaf saya tidak berani makan, beda
dengan saya, tidak berani mengatakan seperti itu.
Dari berita wartawan tersebut alhamdulilah tulisannya tersebar di Koran di Amerika juga
sehingga saya bisa menganalisir bahwa umat Islam di Indonesia tidak seperti yang
mereka siarkan atau mereka pikirkan.
Sejauh pengetahuan saya, Abu Bakar Baasyir selalu membina kerukuman umat dalam
lingkungan jamaahnya, dan beliau mengadopsi apa yang dipakai oleh LDII sekarang.
Yaitu setiap 10 20 keluarga menjadi sebuah kelompok, untuk saling menolong. Itulah
yang dikembangkan beliau yang dikenal dengan sebutan pengajian musroh, artinya
keluarga kecil dalam masyarakat yang luas. Jadi karena disiplinnya beliau menjunjung
tinggi syariat Islam dan mengabaikan yang lain, karena beliau punya faham bahwa yang
ada hanyalah Islam dan kafir, di antara keduanya adalah munafik. Dengan ini beliau ingin
menjaga keIslaman jamaah sebagai uma yang dia ajak, yang kemudian oleh orang lain
dinilai sebagai sesuatu yang keras. Karena kerasnya itu, diniali vokal, karena vokalnya itu
dinilai fundamentalis, karena fundamentalis itu lalu belia diseret-seret untuk dilibatkan
dalam isu teroris. Seperti pengalaman saya terhadap Abu Bakar Baasyir. Dan perlu
diketahui, di Ponpes Ngruki, 90 % kyainya alumnus Gontor, yang punya prinsip
KERUKUNAN, di mana saja kamu berada, harus menjadi perekat umat baik dengan
sesama muslim maupun di luar muslim. Dan itu mampu dijujung tinggi oleh beliau, dkk.
Dan sekarang Pimpinan ponpes Ngruki dipegang oleh Drs. Moch. Farid Mahruf wakilnya
adalah Drs. Wahyudi dari Cirebon. Masalah dengan jenggotnya yang panjang saya sendiri
tidak tahu apakah itu sebuah budaya, tetapi menurut saya yang jelas adalah keberanian
dan kedisiplinan belian menjalani syariat Islam sangat tinggi, beda dengan saya dan
kawan lain.
Mungkin selintas tentang Abu Bakar Baasyir dan ponpes Ngruki, yang alhamdulilah
sekarang berkembang pesat seiring dengan berita yang beredar.

Moderator
Oke, meskipun tidak secara jelas dikemukakan, bagaimana dan apa sesungguhnya yang
disebut konservatisme Islam oleh beliau, barangkali inilah yang menarik untuk dilacak
lebih lanjut di sessi dialog nanti. Ok, Masih ada satu lagi dari kang jadul, dipersilahkan
untuk menyampaikan pokok-pokok pikirannya

Panelis III: Jadul (LKiS- Yogyakarta)


Diskusi ini merupakan bagian dari ajaran tentang ukhuwah Islamiah, ukhuwah watoniah,
dan ukhuwah basariah, jadi ini merupakan forum persaudaraan, kerukunan.
Namun juga, saya ingin bertanya: mengapa harus ada diskusi ini (liberalisme Islam vis a
vis konservatisme Islam), mengapa juga saya harus membicarakannya? Dan akhirnya
muncul kesan bahwa sedang terjadi geger perdebatan yang marak di mana-mana,
secara kuantitatif tentang topik itu (seperti ditulis dalam makalah Novri). Sebenarnya
yang terjadi di Indonesia, perdebatan ini bukan merupakan hal yang baru dan juga tidak
semakin banyak, maka jika dirunut ke belakang, justru belum seberapa dengan sejarah
perjalanan umat Islam di Indonesia. Dan menurut saya, temanya justru mengalami
penyempitan. Panitia menyebut Liberalisme dan konservatisme yang seolah-olah hanya
ada dua kutub itu.
Dulu, awal abad 20-an kutubnya Islam NU dan Muhamadyah, lalu tahun 50 - 60an ttg
santri dan abangan, lalu sekarang ini liberal dan konservatif, jadi dalam tiap fase
perjalanan bangsa ini, kita diguncang oleh isu-isu agama. Kenapa bangsa ini selalu
diguncang oleh 2 kutub yang selalu bertengkar yang kadang-kadang, kita hanya dengar
namanya belum ketemu orangnya. Kita sering hanya mendengar sesuatu, dan ketika kita
berjumpa ternyata tidak seperti yang kita pikirkan. Komentar Gus Mus, jangan-jangan
bangsa Indonesia ini sebenarnya hanya kurang silaturohmi saja, sehingga orang belum
mengenal sungguh-sungguh, belum pernah ketemu, hanya mendengar kisah tentang
seseorang, tapi sudah bermusuhan. Tapi mungkin juga karena di luar kita terjadi
pembesaran yang merupakan efek media yang membesarkan dan di sisi lain
menyederhanakan.
Awal abad 20, Umat Islam di Indonesia senang bereksperimen masalah-masalah yang
luar biasa, mengikuti permasalahan dunia. Umat Islam bereksperimen dengan marxisme,
syariat Islam, tapi lalu ada dialog. Lalu umat Islam bergelut dengan gagasan
nasionalisme, ini hal yang luar biasa, dengan munculnya tokoh-tokoh gerakan
nasionalisme seperti Cokroaminoto, Suparno. Islam di Indonesia juga memasukkan
gagasan tentang Islamisme dan itu terjadi pergulatan yang sungguh-sungguh yang
memunculkan perdebatan yang amat seru, media masapun lebih ramai, lebih berkualitas,
dan frekwensinya lebih sering, karena masing-masing orang yang bereksperimen dengan

gagasan tidak sekedarnya, tetapi lalu memiliki suatu gerakan-gerakan, punya partai, lalu
tiap partai punya Koran, yang mampu melakukan publikasi yang mampu menjadi suatu
gerakan yang mendukung. Di luar eksperimentasi umat Islam dengan gagasan-gagasan
dunia, yang itu pada umumnya datang dari luar, itu merupakan fenomena modern, jadi
sebenarnya gerakan modernis Islam tidak hanya di Muhamadiyah. Fenomena modern
mewarnai perkembangan Islam, di berbagai daerahpun lalu muncul seiring dengan
kolonialisme. Awal abad 20 kolonialisme sampai pada tahap pemnyempurnaan dirinya,
menyusun system pemerintahan, pendidikan, gerakan-gerakan social yang lain, di situ
mulai ada tanda universalisme yang kuat. Kemudian muncul identitas-identitas Islam
yang lain, ada Islam jawa, Islam sasak, Islam sunda, Islam dayak, dst., ada sejenis
eksperimentasi juga pada Abad 13-14. Kita bisa menangkap jejak-jejaknya, bahwa ini
juga proses pergulatan Islam membangun kesadaran, membangun tatanan sosial ekonomi,
tatanan social politik, dsb. jadi Islam luar biasa plural. Sebaliknya, sekarang nampaknya
ada wacana pluralisme tapi kenyataannya justru makin miskin, karena semakin banyak
orang ngomong ttg pluralisme tetapi makin nggak ada pluralitas, lalu yang terjadi
mengkutupnya Islam yang ada di Indonesia. Saya membuka sejarah ini mengajak semua
untuk melihat bahwa ada penyempitan pengkutuban lalu penyempitan ini dibesarbesarkan, lalu berujung pada konfrontasi, yang dalam sejarah Indonesia itu sama sekali
tidak menguntungkan. Jadi ketika Islam adat dan kolonial perang, yang menang kolonial
Belanda karena hancurlah otoritas kerajaan-kerajaan. Kalau dulu Islam di tengah, lalu
adat di luar, lalu dijaga oleh suatu otoritas politik, ketika Islam adat diserang dari dalam
lalu tercerai berai dan Islam adat kehilangan legitimasinya. Bersamaan dengan itu
pemerintah kolonial Belanda memberlakukan undang-undang pemerintahan, kerajaan
diganti kelurahan, kewenangan diganti, dsb. Yang akhirnya hilanglah otoritas politik,
otoritas ekonomi dan otoritas budaya. Dan saya tidak tahu, akhir-akhir ini muncul Islam
liberal dan moderat muncul, misalnya perdebatan di televisi, dsb, yang ngotot kok orang
seperti Sidney Jhon, ketika dia bicara tentang Islamisme, jamaah Islamiah, ketika
menyampaikan fakta-fakta hasil penelitiannya, saya tidak ingin menilai benar atau salah,
tapi sikapnya ketika menerima b,antahan sikapnya sebagai intelekktual hilang, karena dia
menolak kemungkinan bahwa kesimpulannya bisa salah. Ketika menghadapi bantahan,
dia ngotot: tidak ! pokoknya ada.
Minggu lalu saya diwawancarai wartawan New York Times. Mula-mula wawancara
biasa, gimana ponpes-ponpes di Indonesia, sikap pesantren besar terhadap pesantren
Ngruki, terhadap pesantren Amrozi. Saya cerita, sebelum Amerika perang melawan Islam
garis keras, pesantren-pesantren itu sejak abad 20 sudah perang terus, bertengkar tiap
hari, di pengajian-pengajian, dst. Lalu komentarnya, kok tidak berbicara di media masa?
Lalu saya jawab media masa kan baru ada tahun berapa? Itupun proyeknya siapa? Dsb.
Ketika pada akhirnya saya bilang pada umumnya umat di Indonesia tidak percaya bahwa
Amrozi, Imam samodra, dsb. Pelaku terror bom itu sendirian kalau tidak ada pihak lain
yang lebih kuat yang memback-up mereka. Di luar dugaan, dia berubah tidak wawancara
dan mengatakan: Saya percaya. Maka komentar saya. Jika anda percaya, itu memang
bukan hal yang mustahil, bangsa Indonesia yang ngomong-ngomong atau yang tidak
percaya Amrozi pelakunya, itupun karena mereka tak punya bukti. Ini memang bukan hal
yang mustahil, terjadinya pengeboman itu memang ada, jaringan itu memang ada, tetapi
tidak bisa dihilangkan bahwa di bawah alam sadar bangsa Indonesia tidak sesederhana itu

persoalannya, tentu ada kekuatan besar yang memback-up aktivitas itu. Yang ingin saya
tekankan adalah adanya media massa dan Intelektual yang sudah punya semacam plot
yang kemudian diterapkan secara deduktif, lalu jika di periksa dan dicari bukti-bukti
secara induktif tidak akan ketemu, lalu tidak ada ruang lagi untuk mengatakan ya atau
tidak, lalu muncul pemikiran yang lebih kompleks lagi, begitu seterusnya. Jadi menurut
saya ini adalah efek dari cara berpikir konspirasi, di mana antara ya dan tidak masih
selalu menjadi wilayah yang memungkinkan. Wacana ilmiah kan selalu memberi ruang
antara ya dan tidak. Ada tokoh yang mengatakan bahwa sebuah wacana dikatakan ilmiah
kalau wacana itu masih memberi ruang untuk sesuatu bisa dikatakan salah. Kalau tidak
ada ruang untuk mengatakan sesuatu itu salah, maka itu tidak bisa dikatakan ilmiah lagi.
Contohnya agama, betapapun janji memberikan kesejahteraan dunia dan akherat tidak
terpenuhi, maka tidak bisa disalahkan (yang salah itu orangnya), sama juga dengan
Marxis di Eropa. Walaupun janji ideologisnya tidak dipenuhi, menciptakan masyarakat
tanpa kelas, masyarakat tanpa negara dan sebagainya, mereka mengatakan bukan
marxisme-nya yang salah tapi prakteknya atau pelaksananya yang salah, jika seperti ini
tidak bisa dibilang ilmiah lagi. Saya memposisikan diri untuk mulai menyadari. Misalnya
jaman Santri dan Abangan, th 60an ada sebuah penelitian yang menulis tentang Religion
of Java (agama Jawa), santri abangan priyayi, dia mengklaim ketiga itu merupakan
bagian dalam masyarakat Jawa. Kalau kita lihat di tahun 65 terjadi saling membunuh
yang luar biasa antara santri dan abangan, saya berpikir apakah tahun 60an itu bukan
sebuah kanalisasi dari sebetulnya kenyataan itu tidak jelas (simpang siur) tidak bisa
didefinisikan. Sama seperti kita katakan Islam liberal misalnya, para penganut liberalpun
belum tentu bisa mendefinisikan apa itu liberal, banyak tokoh liberal dan tidak akan sama
pendapatnya. Islam radikal juga tak bisa didefinisikan dengan jelas, misalnya DI/TII,
Jamaah Islamiah, Majlis mujahidin, ada berbagai macam laskar jihad, dst. Jadi ketika kita
masuk dan melihat pada kenyataan, ternyata sangat simpang siur dan tidak bisa
didefinisikan dengan satu kalimat, sama sulitnya seperti kita membedakan antara santri
dan abangan. Jadi seringkali pemetaan wacana, tipologi, dan kategorisasi jika
diperhadapkan pada kenyataan/praktek social sebenarnya merupakan kanalisasi. Satu
diperhadapkan dengan yang lain, lalu jika terjadi masalah/konflik maka akan terjadi
perbenturan yang luar biasa. Kalau kita lacak, sebetulnya kata abangan itu konon adalah
sebutan untuk pengikut Syeikh lemah abang (syeiikh Siti Jenar), putihan adalah sebutan
untuk menyebut umat Islam pengikutnya walisongo, hal inipun masih sangat kompleks
dan simpang siur. Misalnya, sejauh mana bedanya Islam pengikut walisongo (yang
formalis) dan Islam pengikut Jenar (yang sinkretis). Konon yang mengeksekusi Jenar itu
Sunan Kudus (padahal sunan Kudus sangat formalis). Kalau kita lihat peninggalan Sunan
Kudus, yaitu masjid Kudus, lalu umat Islam di Kudus tidak boleh menyembelih sapi,
bukankah itu menunjukkan sinkretisme? Artinya ada apresiasi yang luar biasa terhadap
agama lain, kultur yang sudah ada dan sudah mengakar, baik dari sisi arsitektur maupun
kultur bahkan mungkin ritual-ritual agama. Inipun masih kompleks. Seandainya kita
simplifikasi bahwa abangan itu pengikut sinkretis dan putihan pengikut yang formalis
(syariat Islam), itupun konflik yang terjadi adalah bagaimana sebetulnya Islam diajarkan.
Berarti bisa berbelok sedemikian rupa bahwa pada 65-an itu abangan menjadi bukan
Islam. Hal ini akan sangat menjadi soal, belum lagi kalau kita melihat secara
fenomenologis saja misalnya, ketika saya berjumpa dengan seseorang dan bertanya apa
agamanya, lalu dijawab abangan. Pertanyaan berikut apa artinya abangan, dia jawab:

pokoknya tidak setuju kalau agama itu menjadi partai. Jadi artinya, dia mau mengatakan
bahwa agama itu persoalan spiritualitas, persoalan membentuk kepribadian dan bukan
untuk partai. Jadi dalam konteks definisi seperti itu, bisa saja Islam liberal ini dibilang
abangan, meskipun mereka mengaku dirinya sendiri santri. Lalu pengalaman lain tentang
definisi abangan, seseorang mengaku dirinya abangan karena bukan seorang santri,
(sesorang kan tidak akan tahu orang yang menjalankan agamanya dengan sempurna atau
tidak, jadi rasanya terlalu sombong kalau saya mengaku seorang santri). Dalam
ensiklopedi Yogyakarta, disebutkan abangan adalah orang Islam yang tidak menjalankan
syariat Islam secara sempurna. Lalu siapa yang paling sempurna menjalankan syariat
Islam? Kita tidak ada yang tahu, yang tahu hanya Allah, dan memang yang sempurna
Allah. Dan ada contoh lain yang akan menunjukkan bahwa ketika kita berhadapan
dengan pengalaman masyarakat, sangat tidak beraturan dan tidak bisa ditangkap dalam
sebuah definisi yang tunggal. Itu sekedar gambaran.
Lemah Abang dulu mengajarkan syariat, tarikat, hakikat, makrifat itu secara bersamaan,
jadi itu bukan menunjukkan tingkatan, sehingga dalam hakekat, beliau tidak membedabedakan baju, mungkin sama-sama pakai sorban, bersholat, tetapi bukan Islam sejati atau
bukan saudara karena ternyata dia itu seorang yang memperdagangkan budak, misalnya.
Tapi ada seorang pendeta/brahmana, sholatnya menghadap ke timur, pakai macammacam, tetapi dia ikhlas untuk sungguh-sungguh menghadap Tuhan, maka Jenar
menyebutnya saudara. Jadi identifikasi ajaran agama itu boleh diambil oleh kelompok
manapun dengan kepentingan yang berbeda-beda. Jadi sangat simpang siur. Jenar tidak
mau melembagakan umat/kelompok.
Itulah beberapa ilustrasi agar kita lebih berhati-hati supaya jangan sampai wacanawacana dikotomi memaksakan kita memperbincangkan sesuatu yang mungkin tidak kita
alami. Inilah bahayanya wacana yang lain. Saya setuju Gus Mus mengatakan, saat
menanggapi ribut-ribu tentang gagasan Ulil, dia memilih tidak menanggapi substansinya,
lebih baik menanggapi caranya, dan mengingatkan bahwa ada agenda lain yang lebih
penting bagi bangsa Indonesia. Jadi masih banyak persoalan yang ada di Indonesia yang
masih membutuhkan pemikiran, sehingga bahayanya adalah kalau wacana dikotomi itu
bisa mengalihkan kita kepada sesuatu yang sebenarnya tidak kita alami. Dan kita masih
sangat bisa mendiskusikan hal itu berdasarkan pengalaman-pengalaman kita sendiri.
Itulah pengantar dari saya, dan sebenarnya saya mengajak bahwa diskusi ini akan
menarik kalau kita juga memahami Islam saat ini dan bagaimana sesungguhnya Islam
mengaktualisasikan dirinya, tapi biarlah itu berkembang dalam diskusi/dialog.

DIALOG :

Penanya 1 (Mustaqim Umar, dari Anshor Jepara) :


Saya tidak setuju dengan judul di sini. Segala istilah ini menimbulkan pertanyaan. Kita
ini didikte oleh siapa yang bisa menentukan wacana-wacana keIslaman, dan ini tentunya
adalah mereka yang berkuasa atas media masa dan duit. Menurut saya lebih penting
untuk diibicarakan adalah ttg Islam Amerika. Para Jariah itu harus didekati ditanya
maunya apa, dan ini Amerika yang menentukan, lalu konsep mana yang disetujui
digulirkan ke seluruh dunia. Kita harus sedikit taktis, misalnya kalau tadi Gus Mus
disanjung-sanjung, hendak kita giring supaya Gus Mus bisa menjadi warna Amerika
serikat yang bisa menjadi juru bicaranya Bush. Jadi menurut saya yang ada hanya Islam,
saya tidak setuju istilah-istilah Islam yang macam-macam. Apa sih sebenarnya yang
dibutuhkan Islam? Amariah memang benar tapi tafsir dan pemahamannya memang
berbeda-beda. Sebenarnya sah-sah saja perbedaan itu sepanjang tidak menafikkan yang
lain. Islamisme yang dipahami di sini adalah bagaimana masyarakat Islam bisa
melaksanakan ajaran Islam dengan seluruh terak potensinya yang mengupayakan bumi
ini menjadi benar-benar Rohmad. Mungkin sebenarnya semuanya ke arah sana tetapi
karena penafsiran yang berbeda-beda. Usul saya tetap ada istilah Islam Amerika, ini
hanya istilah yang taktis-strategis saja untuk kehidupan seluruh dunia. Suatu saat Israel
memang paling menantang yang istilahnya Islam Israel.

Penanya 2 (Adi dari PD Pemuda Muhammadiyah Jepara)


Diskusi ini masih sulit diikuti/dipahami. Dari buku yang saya baca, th 90-an, muncul
sikap yg ramai sekali dan menantang, sebelumnya th 80-an cak Nur mendeklarasikan
Islam liberal tetapi tidak secara kenyataan seperti ini, begitu juga Munawir Sajali,
sekarang muncul lagi, jadi saya setuju ini bukan hal baru, persoalan lama tetapi
kemasannya yang baru. Kalau di lihat, yang muncul di kalangan-kalangan ponpes, seperti
di Bogor, ada sebuah Institut agama Islam yg satu kelas isinya perempuan dan berjilbab
semua. Itu pada tahun 90-an digagas oleh IPB, UI, ITB, yang mendirikan lembaga
dakwah kampus dan sekarang berkembang pesat sekali. Masalah Islam liberal, gender,
hak waris, Islam dianggap produk local semua bukan hal yang baru. Arahnya ke mana
sebenarnya liberalisme Islam ini. Dan banyak orang Islam yang juga tidak tahu Islam
liberal, Islam fundamentalis, dsb. Jadi diskusi ini tidak akan ditangkap oleh masyarakat di
Jepara (nggak mudheng).

Penanya 3 (Umi Nadliroh dari IPNU-IPNU Cab. Pati) :


a. Ditujukan kepada Mas Novri :Ulil/JIL punya pemikiran-pemikiran baru ttg
pemahaman atas teks alquran, spt ttg jilbab, hukuman potong tangan, dsb. Ketika
memahami teks itu, quran diposisikan di mana, atau ini hanya sebagai pembelaan thd

budaya lokal, atau melihat budaya Arab saja atau mungkin ada alasan lain?
b. Untuk pembicara kedua, Ketika mendengar ttg gagasan Ulil yang sangat diramaikan
bahkan memunculkan ancaman, bagaimana tanggapan bapak atas pemahaman ttg aurat,
Ulil berpendapat, aurat itu masalah kesepakatan sosial, tidak hrs bereferensi dari quran,
ketika masyarakat menyepakati, misalnya pengalaman budaya local (pemakaian koteka di
Papua) dianggap lebih tepat jika disepakati masyarakat di sana daripada memakai jilbab
seperti orang Islam di tempat lain, dsb)
c. Kepada Jadul. Anda tidak setuju adanya liberalisme Islam dan konservatisme Islam,
gagasan anda sendiri Islam yang baik itu seperti apa dan mesti bagaimana?

Penanya 4 (Musyafa) :
Diskusi ini adalah persoalan lama yang diangkat kembali. Sebenarnya sebutan itu hanya
ada satu saja yaitu ISLAM. Seperti diutarakan Kang Jadul dengan sebutan kanalisasi.
Tapi kanalisasi itu memunculkan otoritarianisme, yg pada gilirannya akan kelompokkelompok yang akhirnya muncul oposan-oposan yang kemudian memunculkan saling
bentrokan. Ini berbahaya karena bentrokan adalah sesuatu yang tidak disukai Islam.
Melihat sejarah ketika Islam dibawa oleh nabi Muhamad dan
URL: http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=253
--------------------Copyright 2003 Jaringan Islam Liberal. Dilarang menerbitkan dan atau
menyebarluaskan artikel ini dalam bentuk dan media apa pun, kecuali:
a) menyebutkan penulis dan sumbernya (www.islamlib.com)
b) untuk kepentingan non-komersial
c) tanpa mengubah isinya
Hak penerbitan ada pada JIL, hak cipta ada pada penulis artikel. Untuk mendapatkan ijin
dan hak pemuatan selain kepentingan di di atas, silakan hubungi redaksi@islamlib.com.

Anda mungkin juga menyukai