Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansi
maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat telah berhasil mengubah
pola pemikiran bangsa yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi
logosentris. Awalnya bangsa yunani dan bangsa lain di dunia beranggapan bahwa semua
kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para dewa. Karenanya para dewa harus dihormati
dan sekaligus ditakuti kemudian disembah. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu
tergantung pada dewa diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio. Kejadian
Alam, seperti gerhana tidak lagi dianggap sebagai kegiatan dewa yang tertidur, tetapi
merupakan kejadian alam yang disebabkan oleh matahari, bulan, dan bumi berada pada
garis yang sejajar, sehingga bayang-bayang bulan menimpa sebagian permukaan bumi.
[1]
BAB II
PEMBAHASAN
STRATEGI PENGEMBANGAN ILMU DI INDONESIA
Filsafat dalam bahasa inggris yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal
dari bahasa yunani : philosophia yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia
(persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti
cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Orangnya disebut filosof yang
dalam bahasa arab disebut failasuf.[2]
Harun Nasution mengatakan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa arab falsafa
dengan wazan (timbangan) falala, falalah dan filal. Dengan demikian, menurut Harun
Nasution, kata benda dari falsafa seharusnya falsafah dan filsaf. Menurutnya, dalam
bahasa indonesia banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan berasala dari kata Arab
falsafah dan bukan dari kata inggris Philosophy.[3] Harun Nasution mempertanyakan
apakah kata fil berasal dari bahasa inggris dan salah mengambil dari kata Arab.
Sehingga terjadilah gabungan keduanya, yang kemudian menimbulkan kata filsafat.[4]
Setiap kali berbicara tentang strategi pengembangan ilmu, maka pertanyaan
pertama yang muncul di benak kita yaitu: apaka ilmu itu bebas nilai atau tidak? Sebab
kedua cara pandang yang berbeda itu membawa implikasi yang berbeda pula dalam
strategi pengembangan ilmu yang dipilih. Kadangkala orang yang mengaitkan pilihan
antara bebas atau tidak bebas nilai itu dengan jenis ilmu yang dikembangkan. Artinya,
ilmu-ilmu sosial dipandang lebih banyak terkait dengan masalah-masalah sosial,
sehingga lebih kuat keterkaitannya dengan masalah nilai. Sedangkan ilmu-ilmu eksak,
nyaris terlepas dari intervensi sosial, sehingga dipandang lebih bebas nilai. Apakah
pendapat yang demikian itu dapat diterima atau tidak, tentu pembuktian dilapangan
sangat menentukan bahwa ilmu-ilmu eksak sekalipun tidak kali terhadap kepentingan
sosial, sehingga sedikit banyak terkait pula dengan nilai-nilai.
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak descartes dengan sikap skeptismetodisnya meragukan segala sesuatu. Kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu. Cogito
Ergo Sum. Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha
manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan Alam. Aufklarung,
ujar Alex Lanur, mewarisi pandangan Francis Bacon tentang ilmu pengetahuan.
Pada hakikatnya ilmu pengetahuan itu harus berdaya guna, operasional; karena
pengetahuan itu bukan demi pengetahuan itu sendiri. Kebenaran bukanlah kontemplasi
melainkan operation. To do business kebenaran berdaya-guna hanya berhasil dalam
proses eksperimentasi. Sikap ini melahirkan pragmatisme. Dalam dunia ilmiah. Yakni
perkembangan ilmu dianggap berhasil manakala memiliki konsekuensi-konsekuensi
pragmatis. Keadaan ini mengiring ilmuan pada sikap menjaga jarak terhadap problem
nilai secara langsung.
Tokoh sosiologis, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi
ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan (valuerelevant). Weber tidak yakin ketika para ilmuan sosial melakukan aktivitasnya seperti
mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu mereka tidak terpengaruh oleh
kepentingan-kepentingan tertentu atau tidak biasa.
Nilai-nilai itu harus diimplikasikan bagian-bagian praktis ilmu sosial jika
praktek itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan
segelintir orang, budaya, moral atau politik yang mengatasi hal-hal lainnya, maka
ilmuan sosial tidak beralasan mengajarkan atau menuliskan itu semua. Suatu sikap
moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah. Weber
sendiri mengatakan sebagaimana yang disitir Michael Roof sebagai berikut.
Persoalan-persoalan disiplin ilmu empirik adalah bahwa ia dipecahkan,
bukan secara evaluatif. Mereka bukanlah persoalan evaluasi, tetapi persoalan-persoalan
ilmu-ilmu sosial dipilih atau ditentukan melalui nilai yang relevan dari penomena yang
ditampilkan. Ungkapan relevansi pada nilai-nilai (relevance to values). Mengacu pada
interpretasi filosofi dari kepentingan ilmiah yang bersifat khusus, kepentingankepentingan terssebut menentukan pilihan dari pokok masalah dan persoalan-persoalan
analisis empiris yang diajukan.
yang
memerlukan
interpretasi
secara
terus-menerus.
1945
diwujudkan
melalui
pelaksanaan
penyelenggaraan
negara
yang
PARADIGMA
Dalam masa normal science
ANOMALI
PARADIGMA BARU
Revolusi ilmiah
serta proses dalam suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan,
reformasi maupun dalam pendidikan (kaelan 2000)
Adapun landasan ontologis dimaksudkan untuk mengungkapkan jenis
keberadaan yang diterapkan pada pancasila, landasan epistimologis dimaksudkan untuk
mengungkapkan sumber pengetahuan dan kebenaran tentang pancasila sebagai sistem
filsafat dan ideologi landasan axiologi dimaksudkan untuk mengungkapkan jenis nilai
dasar yang terkandung dalam pancasila. Landasan antropologi dimaksudkan untuk
mengungkapkan hakikat manusia dalam rangka pengembangan sistem filsafat pancasila.
VISI ILMU DI INDONESIA
Visi adalah wawasan ke depan yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu.
Visi bersifat intyuitif yang menyentuh hati dan menggerakan jiwa untuk berbuat. Visi
tersebut merupakan sumber inspirasi, motivasi, dan kreativitas yang mengarahkan
proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masa depan yang
dicita-citakan, penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara diorientasikan ke
arah perwujudan visi tersebut karena hakikatnya hal itu merupakan penegasan cita-cita
bersama seluruh rakyat.
Bagi bangsa indonesia strategi pengembangan ilmu pengetahuan yang paling
tepat menurut Koento Wibisono (1994) ada dua hal pokok, yaitu visi dan orientasi
filosofiknya diletakan pada nilai-nilai pancasila didalam menghadapi masalah-masalah
yang harus dipecahkan sebagai data atau fakta objektif dalam satu kesatuan integratif.
Visi dan Orientasi Operasionalnya Diletakan Pada Dimensi-Dimensi Berikut.
a.
Teleologis, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan hanya sekedar saran yang memang
harus kita pergunakan untuk mencapai suatu teleas (tujuan), yaitu sebagaimana
merupakan ideal kita untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana dicantumkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
b.
Etis, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan harus kita operasionalisasikan untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Manusia harus berada pada tempat yang
sentral. Sifat etis ini menuntut penerapan ilmu penghetahuan secara bertanggung jawab.
c.
Integral atau Integratif, dalam arti bahwa penerapan ilmu pengetahuan untuk
meningkatkan kualitas manusia, sekaligus juga diarahkan untuk meningkatkan kualitas
struktur masyarakatnya, sebab manusia selalu hidup dalam relasi baik dengan sesama
maupun dengan masyarakat yang menjadi ajangnya. Peningkatan kualitas manusia
harus terintegrasikan kedalam masyarakat yang juga harus ditingkatkan kualitas
strukturnya
Dengan visi ilmu diatas perlu refleksi anjuran-anjuran bagaimana membangun
pemikiran ilmiah di Indonesia Prof. T. Jacob (dalam A.H Mintaredja,1990)
menganjurkan bahwa dalam rangka mengimbangi perkembangan ilmu dan teknologi
yang cenderung mengancam otonomi manusia, para ilmuan selayaknya jika
memperhatikan agama, etika, filsafat, dan sejarah ilmu. Kemudian Prof. Poespoprojo
menyarankan bahwa bagi sarjana, lebih-lebih calon doktor, harinya sudah terlalu siang
untuk tidak tahu hakikat ilmi, posisi ilmu dalam semesta tahu dan pengetahuan manusia.
Abbas Hammi Mintaredja juga menyarankan agar ilmu dapat lebih aktif dan mampu
berfungsi sebagaimana mestinya, maka hal-hal yang cukup mendasar yang perlu
mendapat perhatian antara lain:
1.
2.
3.
Pendidikan moral (etika) dan etika pancasila serta moral keagamaan syarat mutlak
bagi moral para ilmuan agar memiliki etikaprofesional yang seimbang.
4.
KESIMPULAN
Uraian yang dikemukakan diatas merupakan kilas balik dari perkembangan ilmu
pengetahuan
yang
memerlukan
interpretasi
secara
terus-menerus.
Strategi
pengembangan ilmu dimasa mendatang tidak boleh mengulangi kesalahan yang pernah
diperbuat di Barat, terutama pandangan yang menganggap ilmu itu bebas nilai, sejak
tokoh-tokoh pada zaman renaissance merasa tidak perlu lagi berhubungan dengan
agama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dipihak lain, intervensi nilai yang
berlebihan kedalam pengembangan ilmu hanya akan menjadikan ilmu sebagai wadah
berbagai kepentingan, terutama kepentingan yang semata-mata ideologis, sehingga para
ilmuan menjadi terpasung dalam kungkungan ideologis atau kepentingan politik semata.
Pengembangan ilmu di Indonesia memang tidak boleh tercerabut dari akar
budaya bangsa indonesia sendiri, terutama nilai-nilai pancasila, namun pancasila
seyogyanya lebih berperan sebagai rambu-rambu yang dapat memelihara nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan. Demokratis, dan keadilan; tanpa mengurangi
otonomi dan kreativitas ilmu itu sendiri.
Pengembangan ilmu di Indonesia seyogyanya tidak berorientasi pada tujuan,
melainkan lebih berorientasi pada pengadilan umat manusia. Rasionalitas ilmiah tidak
boleh mengorbankan nilai-nilai spiritualitas keagamaan, nilai kemanusiaan, wawasan
kebangsaan, demokrasi dan cita-rasa keadilan. Sebab tidak semua masalah bisa
diselesaikan dengan rasionalita. Masih ada beberapa faktor lain disamping ilmu
pengetahuan. Yang menggiring manusia untuk mencapai kebahagiaan, antara lain;
agama, seni, hubungan kema. Oleh karena itu strategi pengembangan ilmu yang baik
adalah gerak rasionalisasi yang beriringan dengan spiritualisasi, ekspresi keindahan, dan
sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan.
DAPTAR PUSTAKA
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta: Logos, 1997.
Harun Nasution, Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Amsal Bakhtiar, Filsafat ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005.
Bachelard, Gaston, 1984, The New Scientific Spirit Beacon Press, Boston.
Lyotard, Jean-Francois, 1979, The Postmodern Condition, A Report on Knowlage,
Mancheester University Press.
Muhammad AS Hikam, 1997, Demokrasi dan Civil Society, LPSES, Jakarta.
Saafoedin Bahar, 1997, Elit dan Etnik serta Negara Nasional. Dalam PRISMA,
LPSES, Jakarta.
Van Melsen, ilmu pengetahuan dan tanggung jawab kita, diterjemahkan oleh Bertens,
Gramedia, Jakarta.
Drs. Rizal Mustansyir M. Hum, Drs Misnal Munir M. Hum, filsafat ilmu, pustaka
pelajar, 2001
Surajiyo, filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia suatu pengantar/Surajiyo,
Jakarta, bumi aksara, 2010.
[1] Surajiyo, filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia suatu pengantar, Jakarta,
bumi aksara, 2010.
[7] Saafoedin Bahar, Elit dan Etnik serta Negara Nasional. Dalam PRISMA, LPSES,
Jakarta. , 1997.
[8] Van Melsen, ilmu pengetahuan dan tanggung jawab kita, diterjemahkan oleh bertens,
gramedia, Jakarta.
[9] Bachelard, Gaston, 1984, The New Scientific Spirit Beacon Press, Boston.
[10] Drs. Rizal Mustansyir M. Hum, Drs Misnal Munir M. Hum, filsafat ilmu, pustaka
pelajar, 2001. hal.