Anda di halaman 1dari 21

Polip Nasi

Pembimbing :
dr. Erna M Marbun, Sp.THT

Disusun oleh :
Yosep Budiman (406138013)

Kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT RS Husada


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 13 April 2015-16 Mei 2015
Jakarta

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. Referat ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan di bagian THT di RS Husada periode 13
April 2015 16 Mei 2015.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih atas kerja sama,
bimbingan dan bantuan yang telah diberikan kepada saya selama penyusunan referat ini.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada :
1
2

dr. Erna M Marbun, Sp.THT


dr. Aswapi Hadiwikarta, Sp.THT

Saya sangat menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini menjadi lebih baik dan
berguna dimasa mendatang. Akhir kata saya mohon maaf apabila dalam penyusunan referat
ini terdapat kekurangan dan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak.

Sekian dan terima kasih

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ii

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III KESIMPULAN

16

DAFTAR PUSTAKA

17

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang

Polip nasi sudah dikenal sejak 4000 tahun yang lalu. Polip nasi digambarkan
sebagai buah anggur yang turun melalui hidung. Istilah polip nasi berasal dari kata Yunani
poly-pous yang berarti berkaki banyak. Polip nasi adalah kelainan mukosa hidung dan
sinus paranasal terutama kompleks osteomeatal di meatus nasi medius berupa massa
lunak yang mengandung banyak cairan, bertangkai, bentuk bulat atau lonjong, berwarna
putih keabu-abuan. Permukaannya licin dan agak bening karena banyak mengandung
cairan. Sering bilateral dan multiple. Polip nasi juga merupakan kantung dari edema
mukosa dan kebanyakan berasal dari mukosa sinus ethmoid.
Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di bagian
THT . Prevalensi yang pasti dari polip nasi belum ada datanya, oleh karena studi
epidemiologi yang dilakukan dan hasilnya bergantung pada populasi studi serta
metodenya.
Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui secara pasti. Sampai saat
ini, polip nasi masih banyak menimbulkan perbedaan pendapat. Dengan patogenesis dan
etiologi yang masih belum ada kesesuaian, maka sangatlah penting untuk dapat
mengenali gejala dan tanda polip nasi untuk mendapatkan diagnosis dan pengelolaan
yang tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Anatomi dan Fisiologi
Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke bawah :
1.

Pangkal hidung (bridge)

2.

Dorsum nasi

3.

Puncak hidung

4.

Ala nasi

5.

Kolumela

6.

Lubang hidung (nares anterior)


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis
pars allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan
menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),
antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada
bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
1.Superior : os frontal, os nasal, os maksila
2.Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel.

Perdarahan :
1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A.
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).

2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna,


cabang dari A. Karotis interna)
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang
membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan
dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas
batas kavum nasi :
Posterior

: berhubungan dengan nasofaring

Atap

: os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale


dan sebagian os vomer

Lantai

: merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,


bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian
atap. Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.

Medial

: septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra
dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi
oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari
septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars
membranosa = kolumna = kolumela.

Lateral

: dibentu k oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os


etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di
atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang
berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan meatus
nasi suprema terletak di bagian ini.
Perdarahan :

Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang
merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan
cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa
yang berjalan bersama sama arteri.
Persarafan :
1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor
menjadi N. Sfenopalatinus.

Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada
sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis
semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet. Pada bagian yang
lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi
metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna
merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan
dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga
hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak
bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh
tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah
mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

Anatomi Hidung Sagital

Anatomi dalam Hidung

Fisiologi hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui
koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan
tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk
aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

II.

2. Definisi
Polip nasi adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga
hidung. Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu abuan, mengkilat,
lunak , dapat juga berwarna pucat , kemerahan dan kekuningan .Polip kebanyakan
berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat bilateral. Polip yang
berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang, muncul di
nasofaring dan disebut polip koana.

II. 3. Etiologi
Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Penyakit ini masih banyak
menimbulkan perbedaan pendapat, terutama mengenai etiologi dan patogenesisnya.

Terjadinya polip nasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti umur, alergi, infeksi
dan inflamasi. Deviasi septum juga dicurigai sebagai salah satu faktor yang
mempermudah terjadinya polip nasi. Penyebab lainnya diduga karena adanya
ketidakseimbangan vasomotor .
Menurut beberapa peneliti, polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi
hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan
polip hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu raguan bahwa infeksi
dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya
polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus,
yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip
banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan
tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada
orang dewasa dan jarang pada anak anak. Pada anak anak, polip mungkin
merupakan gejala dari kistik fibrosis.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi
konka.
II. 4. Patofisiologi
Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Namun ada tiga factor yang
berperan dalam terjadinya polip yaitu :
1. Peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang kronik dan berulang
2. Gangguan keseimbangan vasomotor
3. Edema, dimana terjadi peningkatan tekanan interstitial sehingga timbul edema
mukosa hidung. Terjadinya edema ini dapat dijelaskan oleh fenomena Bernoulli.

Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tenpat


yang sempit akan menimbulkan tekanan negative pada daerah sekitarnya. Jaringan yang
lemah ikatannya akan terisap oleh tekanan negative ini sehingga mengakibatkan edema
mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan
berasal dari area yang sempit di kompleks osteomeatal di meatus medius.
Mula mula ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di daerah
meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa
yang sembab menjadi polipoid. Bila proses ini terus berlanjut, mukosa yang sembab ini
akan semakin besar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.
Pembentukan polip sering juga dihubungkan dengan inflamasi kronik, disfungsi
saraf otonom serta predisposisi genetic. Menurut teori Bernsteis, terjadi perubahan
mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi, terutama di
daerah sempit di kompleks osteomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh
reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan
natrium oleh permuksaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.
Teori lain mengatakan ketidakseimbangan saraf vasomotor menyebabkan
terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskuler yang
mengakibatkan dilepaskan sitokin dari sel mast yang akan menyebabkan edema dan
lama kelamaan menjadi polip.

II. 5. Gambaran Mikroskopik


Secara mikroskopik, tampak epitel dari polip serupa dengan mukosa hidung
normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel
selnya terdiri limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa
mengandung sedikit sel sel goblet. Pembuluh darah sangat sedikit dan tidak
mempunyai serabut saraf. Polip yang sudah dapat mengalami metaplasi epitel karena
sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik, gepeng berlapis tanpa
keratinisasi .

II. 6. Gejala Klinis


Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung.
Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada
sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini
menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan
keluhan nyeri kepala dan rinore.
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di
hidung.
Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka
hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka
polipoid ialah :
Polip :
Bertangkai
Mudah digerakkan
Konsistensi lunak
Tidak nyeri bila ditekan
Tidak mudah berdarah
Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.
II.7. Diagnosis Banding

1. Konka polipoid, yang ciri cirinya sebagai berikut :

Tidak bertangkai

Sukar digerakkan

Nyeri bila ditekan dengan pinset

Mudah berdarah

Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor


(kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip

dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati
hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa

menyebabkan vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang berbahaya


pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.

2. Angiofibroma Nasofaring Juvenil


Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan nasal tumor
ini mempunyai tempat perlekatan spesifik di dindingposterolateral atap rongga
hidung. Dari anamnesis diperoleh adanyakeluhan sumbatan pada hidung dan
epistaksis berulang yang masif.Terjadi obstruksi hidung sehingga timbulrhinor
hea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Oklusi pada tuba Eustachius akan
menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia menandakan adanya
perluasan tumor ke intrakranial.
Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi posterior terlihat adanya massa
tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda,
diliputi oleh selaput lendir keunguan. Mukosa mengalami hipervaskularisasi dan tidak
jarang ditemukan ulcerasi. Pada pemeriksaan penunjang radiologik konvensional akan
terlihat gambaran klasik disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan
prosesus Pterigoideus ke belakang.
Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak perluasan tumor
dan destruksi tulang sekitarnya. Pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna akan
memperlihatkan vaskularisasi tumor. Pemeriksaan PA tidak dilakukan karena
merupakan

kontraindikasi

karena

bisa

terjadi

perdarahan.

Angiofibroma

NasofaringJuvenil banyak terjadi pada anak atau remaja laki-laki .

3. Keganasan pada hidung


Etiologi belum diketahui, diduga karena adanya zat-zat kimiaseperti nikel,
debu kayu, formaldehid, kromium, dan lain-lain. Palingsering terjadi pada laki-laki.
Gejala klinis berupa obstruksi hidung,rhinorhea, epistaksis, diplopia, proptosis,

gangguan visus, penonjolan pada palatum, nyeri pada pipi, sakit kepala hebat dan
dapat disertai likuorhea. Pemeriksaan CT scan memperlihatkan adanya pendesakan
dari massa tumor . Pemeriksaan PA didapatkan 85% tumor termasuk sel squamous
berkeratin .

II. 8. Penegakkan Diagnosis


Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi adalah obstruksi nasi mulai dari yang ringan sampai
berat, rhinore yang jernih sampai purulen, hiposmia dan anosmia. Dapat juga disertai bersin
bersin, rasa nyeri pada hidung dan sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai dengan infeksi
sekunder, didapatkan post nasal drips dan rhinore purulen. Gejala lain yang dapat timbul adalah
bernapas melalui mulut, rinolalia, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Selain itu harus
ditanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi aspirin dan alergi obat lainnya.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, polip nasi terlihat sebagai massa yang berwarna
pucat yang berasal dari meatus nasi medius dan mudah digerakkan. 7
Mackay dan Lund (1997) membagi stadium polip nasi menjadi 4 yaitu:
-

Stadium 0 : Tidak ada polip, atau polip masih berada dalam sinus

Stadium 1 : Polip masih terbatas di meatus medius dan perlu endoskop untuk
melihatnya.

Stadium 2 : Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung, dapat dilihat dengan speculum hidung

Stadium 3 : Polip yang massif yang mengisi hamper seluruh rongga hidung.

Pemeriksaan penunjang
a.

Tes Alergi

Melalui tes ini dapat diketahui kemungkinan pasien memiliki riwayat alergi.
b.

Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus
polip yang baru. Polip stadium 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.Pada kasus polip
koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus
maksila.
c. Radiologik

Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus,
tetapi sebenarnya kurang bermafaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan
kesan positif palsu atau negatif palsu, dan tidak dapat memberikan informasi
mengenai keadaan dinding lateral hidung dan variasi anatomis di daerah kompleks
ostio-meatal .
Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk
melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses
radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK
terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi
medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan
bedah terutama bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai
potongan koronal, sedangkan pada polip yang rekuren diperlukan juga potongan
aksial.

II. 9. Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhankeluhan yang dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar frekuensi infeksi
berkurang, mengurangi/menghilangkan keluhan pernapasan pada pasien yang disertai
asma, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.

Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif. Pengelolaan
polip nasi seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi sayangnya penyebab
polip nasi belum diketahui secara pasti. Karena penyebab yang mendasari terjadinya
polip nasi adalah reaksi alergi, pengelolaanya adalah mengatasi reaksi alergi yang
terjadi. Polip yang masih kecil dapat diobati dengan konservatif.

1. Terapi Konservatif
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan
kortikosteroid intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini
diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada
perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid sistemik

a. Kortikosteroid spray
Dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif unutkpolip
yang masif. Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran polip
dan sangat efektif pada pemberian postoperatif untukmencegah kekambuhan

b. Kortikosteroid sistemik
Merupakan terapi efektif sebagai terapi jangkapendek pada polipnasal.
Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroidsistemik dapat
diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali setahun,terutama untuk pasien yang
tidak dapat dilakukan operasi.

c.Leukotrin inhibitor.
Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5 lipoxygenase
yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi.

2. Terapi operatif
Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar, berulang,dan jelas
terdapat kelainan di kompleks osteomeatal sehingga tidak dapat diobati dengan terpi
konservatif. Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan
sebelum dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk
langkah profilaksis pasca operasi..Tindakan operasi yang dapat dilakukan meliputi :

a. Polipektomi intranasal menggunakan jerat (snare) kawat dan/ polipektomi intranasal


dengan cunam (forseps) yang dapat dilakukan di ruang tindakan unit rawat jalan
dengan analgesi lokal
b. Antrostomi intranasal
c. Ethmoidektomi intranasal
d. Ethmoidektomi ekstranasal
e. Caldwell-Luc (CWL) untuk sinus maksila
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)

II.

10. Prognosis
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada
rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau
tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung
lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi,
yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan.

BAB III
KESIMPULAN

Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan sumbatan
pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan. Etiologi polip di
literatur terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu pada proses alergi,
sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis alergi.

Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya


riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata, adanya sekret
hidung. Penegakan diagnosis polip nasal dapat

didapatkan dari hasil anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksaan dapat secara medikamentosa,


non medikamentosa, maupun operatif.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 114. Penerbit Media
Aesculapius FK-UI. 2000.

2.

Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok edisi VI cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2007

3.

Drake

Lee

AB. Nasal

polyps. In

Scott

Brown`s

Otolaryngology,

Rrhinology.5th ed. Vol 4 (Kerr A, Mackay IS, Bull TR edts). Butterworths.


London. 1987 :142-53.
4.

Adams GL, Boies LR, Higler PH. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta :EGC, 1997:
173-94

5.

Archer. Nasal Polyps, Non surgical Treatment. http:// emedicine.com

Anda mungkin juga menyukai