Abstrak
Destruksi prematur dari eritrosit akibat adanya antibodi patologis yang menempel
pada eritrosit dan menyebabkan lisinya eritrosit disebut juga dengan anemia hemolitik
autoimun. Anemia hemolitik autoimun dapat dikelompokkan berdasarkan jenis antibodi yang
timbul dapat dikelompokkan kedalam autoantibodi, alloantibodi dan antibodi terkait dengan
obat-obatan. Sekitar 20% dari kasus anemia hemolitik terjadi akibat adanya konsumsi obatobatan. Kasus ini dapat timbul pada rentang umur yang luas, tetapi sering muncul pada
individu pada usia pertengahan keatas.1-4
Kata kunci: anemia, hemolitik, autoimun, autoantibodi, alloantibodi
Abstract
Premature destruction of erythrocytes as the result of attachment of pathologic
antibodies to erythrocytes that lead to hemolysis of red blood cell is called autoimmune
hemolysis anemia. The immune hemolytic anemias can be grouped according to the presence
of autoantibodies, alloantibodies or drug-related antibodies. Approximately 20% of acquired
immune hemolytic anemias (AIHA) are related to drug therapy. These cases can occur in
persons of any age, but more likely to occur in middle-aged and older individuals.1-4
Keyword: anemia, hemolytic, autoimmune, autoantibodies, alloantibodies
Destruksi prematur dari eritrosit akibat adanya antibodi patologis yang menempel
pada eritrosit dan menyebabkan lisinya eritrosit disebut juga dengan anemia hemolitik
autoimun. Anemia hemolitik autoimun dapat dikelompokkan berdasarkan jenis antibodi yang
timbul dapat dikelompokkan kedalam autoantibodi, alloantibodi dan antibodi terkait dengan
obat-obatan. Sekitar 20% dari kasus anemia hemolitik terjadi akibat adanya konsumsi obatobatan. Kasus ini dapat timbul pada rentang umur yang luas, tetapi sering muncul pada
individu pada usia pertengahan keatas.1-5
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah agar pembacanya dapat mengerti tentang
Anemia Hemolitik Autoimun secara umum serta kaitan Anemia Hemolitik Autoimun dalam
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, serta penegakkan working dan differential
diagnosis dari Anemia Hemolitik Autoimun. Juga akan dibahas tentang etiologi,
epidemiologi, patofisiologi, penatalaksanaan, prognosis serta komplikasi dari Anemia
Hemolitik Autoimun.
PEMBAHASAN ISI
Seorang wanita berusia 25 tahun datang dengan keluhan mudah lelah sejak 3 minggu
yang lalu, dan wajahnya terlihat agak pucat. Pasien tidak merasakan demam, mual, muntah,
serta tidak mengalami adanya gangguan miksi dan defekasi.
Anamnesis
Anamnesis pasien dilakukan secara auto-anamnesis kepada pasien itu sendiri. Hal-hal
yang perlu ditanyakan saat anamnesis adalah keluhan utama pasien, keluhan penyerta, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga. Diketahui pada
skenario bahwa pasien mengeluh mudah lelah sejak 3 minggu belakangan. Gejala yang
muncul pada anemia hemolitik memiliki rentang yang luas, akan tetapi merupakan gejala
anemia pada umumnya. Gejala ini bervariasi tergantung dari mekanisme kompensasi yang
terjadi pada anemia yang lama, pengobatan sebelumnya dan penyakit yang mendasari
terjadinya anemia. Pasien dengan anemia ringan biasanya tidak memiliki keluhan dan adanya
hemolisis diketahui saat pemeriksaan laboratorium secara tidak sengaja.4
Takikardia, dispnea, angina dan lemas dapat muncul pada pasien dengan anemia yang
merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk meningkatkan kadar oksigen dalam darah, hal
ini terjadi karena sensitivitas fungsi jantung pada anoxia. Sedangkan hemolisis yang terusmenerus dapat berujung pada pembentukan batu empedu bilirubin yang dapat bermanifestasi
sebagai nyeri abdominal. Warna kulit kecoklatan dapat timbul akibat hematosiderosis yang
2
terjadi akibat kelebihan zat besi pada pasien akibat transfusi yang berlebih. Sedangkan urin
yang gelap dapat terjadi akibat hemoglobinuria.4
Selain itu juga dapat ditanyakan penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan
hemolisis seperti penilisin, quinin, quinidin dan metildopa utnuk menyingkirkan diagnosis
banding dengan drug-induced hemolytic anemia.4
Pemeriksaan Fisik
Pada hasil pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak pucat dengan konjungtiva
anemis ODS, sklera ikterik ODS dan splenomegali Schuffner II.
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan anemia hemolitik dapat menimbulkan gejala
dan tanda-tanda anemia, komplikasi dari hemolisis dan gejala-gejala lain yang merupakan
bagian dari gejala penyakit dasar yang menyebabkan anemia itu sendiri. Pasien tampak pucat
secara umum dengan konjungtiva dan kuku tangan yang pucat mengindikasikan anemia akan
tetapi bukan merupakan gejala yang spesifik untuk anemia hemolitik. Terlebih anemia
hemolitik autoimun. Jaundice dapat timbul akibat adanya peningkatan bilirubin indirek akibat
hemolisis. Peningkatannya tidak spesifik untuk gangguan hemolisis karena juga dapat timbul
pada penyakit hati dan obstruksi bilier. Biasanya pada anemia hemolitik, peningkatan
bilirubin jarang melebihi 3 mg/dL, kecuali dengan adanya komplikasi penyakit hati atau
kolelitiasis.4
Splenomegali dapat muncul pada anemia hemolitik, akan tetapi juga dapat muncul
pada sferositotis herediter, akan tetapi tidak muncul pada G6PD. Nyeri pada kuadran kanan
atas pasien dapat timbul akibat adanya kolelitiasis akibat pemecahan eritrosit berlebih.
Takikardia dan dispnea timbul pada anemia yang berat serta angina dan gagal jantung dapat
timbul pada pasien yang telah memiliki penyakit jantung sebelumnya.4
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar Hb 9.5 gr/dL, Ht 35%, MCH 30
pg/cell, MCV 82 fL, MCHC 34 g/dL, Leukosit 8900 sel/cc, Trombosit 230.000 per mikroliter
dan Retikulosit 6%. Sedangkan nilai normalnya adalah Hb diatas 11 gr/dL, Ht 35-38%, MCH
25-35 pg/cell, MCV 78-101 fL, MCHC 31-35 g/dL, Leukosit 4500-10.000 sel/cc dan
Trombosit 150.000-450.000 per mikroliter.5
Complete Blood Count dan Peripheral Blood Smear. Dapat mendeteksi anemia,
pansitopenia dan infeksi. Penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit serta retikulositosis
merupakan parameter yang ditemukan pada anemia. Disamping itu, RDW juga dapat
3
dilakukan yang dapat menemukan anisositosis yang ditemukan pada anemia hemolitik.
Retikulositosis terjadi akibat kompensasi peningkatan pembentukan eritrosit, yang merupakan
salah satu indikator adanya anemia hemolitik, akan tetapi tidak spesifik untuk hemolisis.
Pengambilan sampel dilakukan dan dijaga agar sampel tetap pada suhu 37 derajat Celcius
yang dapat didapatkan dengan pengambilan darah vena dicampurkan dengan EDTA kemudian
ditaruh didalam gelas beaker berisi air 37 derajat Celcius. Apabila sampel akan dikirimkan ke
tempat lain, lebih baik sampel dikirim dalam bentuk terpisah yakni serum dan whole blood
yang ditambahkan ACD atau CPD dikirim secara terpisah dalam suhu 37 derajat Celcius.
Sedangkan apusan darah tepi dapat membantu untuk menentukan adanya hemolisis yang
didasari oleh keganasan. Pada anemia hemolitik dapat ditemukan adanya sferosit. Pada
defisiensi G6PD dapat ditemukan Heinz bodies. Dan pada sickle cell anemia dapat ditemukan
gambaran sickle cell pada apusan darah tepi.1,4,5
Serum Lactate Dehydrogenase dan Serum Haptoglobin. Kenaikan serum LDH
merupakan suatu kriteria adanya hemolisis dan sensitif untuk hemolisis walaupun tidak
spesifik karena juga dapat naik pada pasien dengan infark miokard. Penurunan serum
haptoglobin dapat menjadi salah satu penanda adanya hemolisis. Akan tetapi, serum
haptoglobin merupakan reaktan fase akut yang juga dapat meningkat pada penyakit-penyakit
infeksi, yang juga kadarnya bergantung pada fungsi hepar dan stress sistemik.1,4
Indirect Billirubin. Bilirubin yang tak terkonjugasi merupakan suatu kriteria adanya
hemolisis, akan tetapi tidak spesifik karena juga dapat meningkat pada penyakit lain seperti
Gilbert Disease. Pada anemia hemolisis biasanya peningkatan tidak melebihi dari 3 mg/dL.
Apabila terdapat peningkatan melebihi angka diatas dapat diduga akibat adanya komplikasi
penyerta seperti fungsi hepar dan kolelitiasis.4
Direct Antiglobulin (Coombs) Test. Adanya tampilan sel darah merah dengan
permukaan yang berikatan dengan immuno-globulin atau fiksasi komplemen dapat mendukung diagnosis anemia hemolitik autoimun. Dasar dari uji ini adalah adanya aglutinasi pada
sel darah merah yang berlapis dengan immunoglobulin, komplemen atau keduanya. Antisera
dengan immunoglobulin manusia reaktif dan/atau komplemen ditambahkan kedalam suspensi
sel darah merah yang tidak diketahui ada-tidaknya ikatan dengan immunoglobulin. Untuk
kasus ini, antiglobulin reagen spesifik untuk IgG, IgM, IgA, C3c dan C3d dapat digunakan.
Sampel yang digunakan adalah darah EDTA dan sampel dicuci terlebih dahulu dengan air
salin (9 g/L NaCl yang dibuffer hingga pH 7.0, dengan suhu 37 derajat Celcius) untuk
menghilangkan antibodi yang tidak menempel pada eritrosit. Suspensi 2-5% sel darah merah
4
Sumber: Friedberg RC, Johari VP. Autoimmune hemolytic anemia. In: Greer JP, Foerster J, Rodgers G
yang telah dicuci 4 kali pada salin dibuat. Kemudian satu tetes dari suspensi ini ditambahkan
dua tetes dari reagen antiglobulin. Kemudian disentrifugasi kembali selama 10-60 detik
dengan kecepatan 1000 putaran per menit. Sentrifugasi dilakukan untuk mempercepat proses
aglutinasi. Apabila positif, akan ditemukan gumpalan yang dapat dilihat pada latar terang atau
pada mikroskop dengan tenaga yang lemah sehingga tidak terlalu terang. 1,5 Hasil DAT dapat
positif pada5:
1. Adanya autoantibodi pada eritrosit dengan atau tanpa anemia hemolitik
2. Adanya alloantibodi pada permukaan sel darah merah seperti
pada
Indirect Antiglobulin Test (Indirect Coombs Test). Sekitar 80% dari pasien AIHA
memiliki autoantibodi pada serum yang juga terdapat pada permukaan sel darah merah.
Antibodi pada serum atau plasma dan antibodi yang terdapat pada plasma dapat dideteksi
dengan uji Coombs indirek. Berbeda dengan uji Coombs direk yang menggunakan eritrosit
pasien dengan serum reagen, uji Coombs indirek menguji serum pasien dengan reagen
eritrosit.1
Differential Diagnosis
Anemia Defisiensi Glucose 6-Phosphate Dehydrogenase. Merupakan suatu penyakit
genetik dengan mutasi pada Xq28 yang bermanifestasi dengan adanya jaundice pada neonatus
dengan riwayat dilakukannya transfusi tukar. Pada pemeriksaan fisik ditemukan anemia dan
kadang (amat jarang) ditemukan splenomegali. Pemeriksaan penunjang yang merupakan baku
emas untuk penyakit ini adalah aktivitas enzim G6PD (menurun). Selain itu juga dapat
dilakukan CBC untuk melihat retikulosit (meningkat), bilirubin indirek (meningkat) dan
serum haptoglobin (menurun). Selain itu pada apusan darah tepi dapat ditemukan Heinz
bodies yang merupakan hemoglobin yang terdenaturisasi.6
Sickle Cell Anemia. Dikarakteristikkan dengan pergantian satu asam amino pada beta
Gambar 3. Sickle Cell
Sumber: Bain BJ. Blood cell morphology in health and disease. In: Bain BJ, Bates I, Laffan MA, Lewi
globin (pergantian asam glutamat menjadi valin pada residu keenam) yang kemudian
memproduksi suatu molekul dengan penurunan kelarutan oksigen dalam darah. Walau anemia
dan hemolisis dapat muncul, akan tetapi gejala mayor yang dapat timbul adalah vasooklusi
dari bentuk bulan sabit oleh eritrosit. Infark multi organ dapat terjadi terutama pada paru
(hipertensi pulmonal), tulang (nekrosis avaskular terutama pada caput femoris dan caput
humerus), limpa (pembesaran yang cepat dengan peningkatan angka retilukosit), retina
(retinitis proliferatif), otak (stroke) dan organ-organ lain. Anemia dan hemolisis bukan
merupakan gejala yang utama. Pemeriksaan yang menjadi baku emas adalah skrining HbS
dan morfologi darah tepi yang dapat ditemukan adanya gambaran eritrosit menyerupai bulan
sabit dan eritrosit normositik normokrom dengan leukositosis dan trombositosis.1,7,8
Drug-Induced Anemia. Akibat adanya hapten yang melibatkan antibodi tergantung
obat, pembentukan kompleks ternary, induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit
tanpa ada lagi obat pemicu serta oksidasi hemoblogin, akan menyebabkan uji Coombs positif
tanpa adanya kerusakan eritrosit. Obat yang menginduksi pembentukan autoantibodi antara
lain metildopa, kinin, kuinidin, sulfonilurea dan tiazid serta analog purin seperti fludarabine,
cladribine dan pentostatin.Tanda hemolisis dapat dilihat terutama Heinz bodies, blister cell,
bites cell dan eccentrocytes. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia,
retikulosis, MCV tinggi, uji Coombs positif, leukopenia, trombositopenia, hemoglobinemia
dan juga hemoglobinuria.1,9
Hereditary Spherocytosis. Merupakan kelompok kelainan sel darah merah dengan
gambaran eritrosit bulat seperti donat dengan fragilitas osmotik yang meningkat. Hal ini
terjadi akibat defek protein pembentuk membran eritrosit, akibat defisiensi spectrin, ankryn,
dan/atau protein pita 3 atau protein pita 4.2. Gejala klinis meliputi anemia, splenomegali dan
7
ikterus. Pada pemeriksaan sumsum tulang dapat ditemukan hiperplasia sel eritroid sebagai
kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui perluasan sumsum merah ke bagian tengah
Gambar 3. Sferositosis
Sumber: Bain BJ. Blood cell morphology in health and disease. In: Bain BJ, Bates I, Laffan MA, Lewi
tulang panjang. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat ditemukan sel eritrosit yang kecil
berbentuk bulat dengan bagian sentral yang pucat dengan diameter yang lebih kecil dan
adanya fragilitas osmotik. Hitung MCV yang normal atau sedikit menurun dan MCHC yang
meningkat. Dapat juga ditemukan peningkatan katabolisme pigmen dan hiperplasia eritroid
serta retikulositosis. Pada sferositosis herediter yang merupakan penyakit anemia hemolitik
non-imun, didapatkan uji Coombs negatif.2,10
Hemorrhagic-Induced Anemia. Merupakan anemia akibat kehilangan darah dari
sirkulasi baik eksternal maupun internal menuju ke ruang-ruang tubuh seperti peritoneum.
Individu sehat dapat mengkompensasi kehilangan darah hingga 20% dari seluruh total darah
yang beredar. Dan gejala yang timbul adalah akibat hipovolemia. Setelah beberapa hari darah
dapat kembali ke sirkulasi akibat infusi cairan ke dalam tubuh dan anemia dapat menjadi
gejala yang timbul. Awalnya adalah peningkatan kadar trombosit yang timbul pada jam
pertama, dan kemudian timbul leukositosis neutrofilik dengan shifting to the left yang timbul
menjadi maksimal pada 2-5 jam. Hb dan Ht turun 2 hingga 3 hari kemudian. Anemia yang
timbul adalah anemia normokromik normositik dengan MCV dan MCHC normal disertai
dengan anisositosis dan poikilositosis. Akan tetapi kemudian dapat meningkatkan sekresi
eritropoetin yang kemudian menstimulasi proliferasi eritroid pada sumsum tulang dan
retikulosit mencapai darah dalam 3-5 hari (meningkat). Pada periode ini akan terdapat
makrositosis transien yang ditandai dengan peningkatan MCV, polikromasia dan normoblas.
Leukosit kembali normal dalam 2-4 hari dan eritrosit lebih lambat lagi. Akan tetapi pada
Anemia Hemorragic Chronic kadar retikulosit dapat normal atau meningkat sedikit dan
8
menjadi gejala anemia defisiensi besi. Perdarahan merupakan suatu penyebab anemia yang
kemudian dapat bermanifestasi sebagai Anemia Defisiensi Besi. Gejala klinis yang dapat
timbul adalah spoon nail, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfagia, atrofi mukosa gaster
dan keinginan untuk menelan benda-benda yang tidak lazim merupakan gejala khas defisiensi
besi. Ditambah dengan gejala anemia umum seperti lemas, lesu, tinnitus dan berkunangkunang. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan penurunan kadar Hb dan Ht dengan
gambaran apusan darah tepi berupa hipokromik mikrositer anisositosis dan poikilositosis.
Serum besi akan menurun dibawah 50 mikrogram/dL, TIBC meningkat diatas 350
mikrogram/dL dan saturasi transferin menurun dibawah 15% dengan feritin serum dibawah
20 mg/dL. Pada pemeriksaan sumsum tulang dapat ditemukan hiperplasia normoblastik
ringan sampai sedang dengan normoblas kecil-kecil.2,11
Working Diagnosis
Pada kasus didapatkan seorang wanita berusia 25 tahun datang dengan keluhan mudah
lelah sejak 3 minggu yang lalu, dan wajahnya terlihat agak pucat. Pasien tidak merasakan
demam, mual, muntah, serta tidak mengalami adanya gangguan miksi dan defekasi. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak pucat dengan konjungtiva anemis ODS, sklera
ikterik ODS dan splenomegali Schuffner II. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar
Hb 9.5 gr/dL, Ht 35%, MCH 30 pg/cell, MCV 82 fL, MCHC 34 g/dL, Leukosit 8900 sel/cc,
Trombosit 230.000 per mikroliter dan Retikulosit 6%. Sedangkan pemeriksaan penunjang
diagnostik seperti Coombs Test dan bilirubin indirek belum dilakukan. Dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
Anemia Hemolitik Autoimun.
Gambaran Umum Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat
Sumber: Bain BJ. Blood cell morphology in health and disease. In: Bain BJ, Bates I, Laffan MA, Lewi
Anemia hemolitik auto-imun merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi
terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit menjadi memendek. Maka, dari definisi
tersebut, baik antibodi patologis dan eritrosit yang lisis harus ada di setiap kasusnya. Kondisi
ini dapat dibedakan berdasarkan karakteristik aktivitas antibodi ini pada temperatur yang
berbeda. Antibodi yang aktif pada suasana dingin hanya memiliki sedikit aktivitas pada suhu
tubuh, akan tetapi afinitas akan meningkat apabila suhu tubuh menjadi semakin mendekat 0
derajat Celcius. Berkebalikan pada tipe hangat yang memiliki afinitas paling baik pada suhu
tubuh (sekitar 37 derajat Celcius).1,9
Antibodi tipe dingin biasanya adalah IgM, yang merupakan fixed complement dan
berujung pada destruksi eritrosit intravaskular dengan segera. Berkebalikan dengan IgG yang
meurpakan IgG, yang bisa jadi bukan merupakan fixed complement dan berujung pada
kehilangan eritrosit akibat destruksi oleh limpa atau sensitisasi sel. Biasanya satu pasien dapat
memiliki baik antibodi tipe dingin maupun tipe hangat.1
Anemia hemolitik autoimun dapat diklasifikasikan sebagai berikut9:
1. Anemia Hemolitik Autoimun
a. Anemia Hemolitik Autoimun tipe Hangat
i. Idiopatik
ii. Sekunder (karena CLL, Limfoma, SLE)
b. Anemia Hemolitik Autoimun tipe Dingin
i. Idiopatik
ii. Sekunder (karena infeksi Mycoplasma sp., Mononucleosis, virus,
keganasan limforetikular)
c. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri
i. Idiopatik
10
melalui Fas. Sedangkan FasL pada sel T akan berikatan dengan Fas pada sel B yang juga
menyebabkan penghapusan sel B self-reactive.1
Epidemiologi Anemia Hemolitik Autoimun
Anemia hemolitik terjadi pada sekitar 5% dari semua kasus anemia. Dan anemia
hemolitik autoimun hanya terjadi 1-3 kasus dari 100.000 populasi per tahunnya. Penyakit ini
tidak spesifik ras dan kelamin. Tetapi kadang lebih sering timbul pada wanita daripada pria.
Juga tidak spesifik umur, akan tetapi biasanya lebih sering timbul pada usia pertengahan
keatas. Jarang mengenai usia anak dan remaja.4
Patofisiologi Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat
IgM-Mediated Red Blood Cell Destruction. Destruksi eritrosit yang telah tersensititasi
dengan mediasi melalui antibodi IgM dengan sistem komplemen. Terjadi karena adanya
sitolisis atau secara tidak langsung interaksi antara aktivasi RBC dan degradasi fragmen C3
dengan reseptor spesifik pada sel retikuloendotelial, terutama sel makrofag pada liver (sel
Kupffer). Titer IgM yang tinggi dapat menyebabkan hemolisis intravaskular secara langsung
dengan mekanisme sitolitik MAC komplemen pada permukaan RBC. Dengan densitas
antibodi yang cukup, aktivasi komplemen dapat cukup kuat untuk menghambat aktivitas
inhibitor dari protein regulasi komplemen DAF (CD55) dan MIRL (CD59) pada permukaan
sel darah merah yang kemudian berujung pada hemolisis. Akan tetapi biasanya antibodi
terhadap sel darah merah biasanya hanya terdiri dari kuantitas yang sedikit yang
menyebabkan DAF (CD55) dan MIRL (CD59) dapat mencegah lisisnya sel darah merah
(eritrosit).1
Akan tetapi, beberapa C3b terdeposisi pada permukaan sel darah merah sebagai
konsekuensi dari aktivasi komplemen terinduksi-IgM, dan interaksi dari C3b dengan iC3b
(ligan) dengan reseptor komplemen spesifik (CR) pada sel Kupffer dapat menyebabkan
destruksi eritrosit imun pada kondisi sublitik.1
Aktivasi sistem komplemen secara kese-luruhan akan meng-hancurkan membran sel
eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskular yang ditandai dengan hemoglobinemia dan
hemoglobinuria. Terda-pat dua macam sistem komplemen yakni jalur klasik dan jalur
alternatif. Pada jalur klasik reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal
sebagai recog-nition unit. C1 akan beri-katan dengan kompleks imun antigen antibodi dan
menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan
mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b yang dikenal sebagai C312
Sumber: Friedberg RC, Johari VP. Autoimmune hemolytic anemia. In: Greer JP, Foerster J, Rodgers G
convertase. C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b akan mengalami
perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang
mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah
menjadi C3d,g dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan dengan membran sel darah merah
dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b
menjadi C4b2b3b (C5-convertase) yang akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan
C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur membran
terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8 dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke
dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran
normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan
ruptur.9
Sedangkan aktivasi komplemen jalur alternatif akan mengaktifkan C3 dan C3b yang
terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian melekat pada
C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin,
13
dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3a menjadi
C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b.
Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.9
IgG-Mediated Red Blood Cell Destruction. IgG merupakan salah satu inisiator jalur
komplemen klasik inefektif, maka sitolisis akibat IgG biasanya jarang terjadi. Tidak adanya
aktivasi komplemen menyebabkan eritrosit tersensitisisasi IgG dihancurkan oleh limpa.
Terdiri dari dua proses yakni pengikatan reseptor Fc yang diekspresikan oleh jaringan
makrofag pada pulpa merah di limpa dapat menyebabkan fagositosis direk dan komplit.
Kedua, fagositosis parsial, dimana fagosit menghilangkan sebagian porsi membrannya,
menyebabkan penurunan rasio area dibandingkan volume. Proses ini yang menyebabkan
munculnya gambaran sferosit pada kasus ini. Hal ini akan menyebabkan penyerapan dari sel
darah merah abnormal pada pulpa merah akibat sel-sel ini terlalu kaku untuk melintasi tali
limpa menuju sinus. Sferosit yang terperangkap ini lebih mudah untuk difagositosis oleh
makrofag yang ditemukan lumayan melimpah pada tali limpa. Sehingga, waktu hidup sel
darah merah yang terperangkap menjadi lebih pendek, hanya beberapa menit setelah
terperangkap. Sedangkan peranan hati dalam eliminasi sel darah merah yang terlapisi IgG
kurang efisien dibandingkan dengan limpa.1
Penatalaksanaan Anemia Hemolitik Autoimun
Kortikosteroid 1-1.5 mg/kgBB/hari dapat memperbaiki respon klinis dalam 2 minggu
(Ht meningkat, retikulosit meningkat, Coombs test positif lemah dan Coombs test indirek
negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada
tanda respons terhadap steroid, dapat diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20
mg/hari. Terapi steroid dosis dibawah 30 mg/hari dapat diberikan secara selang sehari.
Beberapa pasien akan memerlukan tearpi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila
dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Ht, maka perlu segera
dipertimbangkan modalitas lain.9
Efek samping dari penggunaan steroid dapat timbul akibat dua penyebab, yakni
penghentian pemberian secara mendadak atau pemberian terus-menerus dengan dosis besar.
Efek samping utama adalah insufisiensi adrenal dengan gejala demam, mialgia, artralgia dan
malaise yang terjadi akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal yang telah lama tidak
memproduksi steroid endogen karena rendahnya mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid
eksogen. Selain itu dapat timbul gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemia dan glikosuria,
14
rentan terkena infeksi, perdarahan pada pasien tukak peptik, osteoporosis, miopati
karakteristik, psikosis, dan reaksi Cushingoid. Sampai sekarang tidak ada kontraindikasi
absolut untuk kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid harus diawasi dengan ketat
(kontraindikasi relatif) pada pasien diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat,
hiperteni atau gangguan sistem kardiovaskular lain.12
Splenektomi dapat dilakukan bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan
tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus
berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi
dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama.
Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%. Namun tidak bersifat permanen.9
Efek samping dari splenektomi adalah pasien post-op splenektomi akan mengalami
waktu yang lebih panjang dalam penyembuhan penyakit-penyakit infeksi seperti pneumonia,
meningitis, infuenza e.c. Human Influenza Virus B, sepsis, infeksi nosokomial, malaria, dan
penyakit lainnya dan penyakit gram negatif dari gigitan binatang. Pasien-pasien ini juga
memiliki mikropartikel di darah yang menyebabkan naiknya angka resiko demesia dan
penyakit jantung dari gumpalan darah. Juga penyakit-penyakit pembuluh darah lain.13-19
Danazol 600-800 mg/hari biasanya digunakan bersama steroid. Apabila terjadi
perbaikan dapat diturunkan atau dhentikan. Danazol merupakan suatu sediaan androgen
dengan gugus 17-alkil yang diberikan per-oral dengan pemakaian klinis terutama untuk
endometriosis, mammae fibrositik dan edema angioneurotik herediter. Preparat ini dapat
merangsang pembentukan eritropoietin, karena itu dapat digunakan untuk kasus yang
refrakter. Danazol dikombinasikan bersama steroid untuk anemia hemolitik dan trombotik
trombositopenik purpura yang resisten terhadap pengobatan primer. Efek sampingnya adalah
maskulinisasi, feminisasi, penghambatan spermatogenesis, hiperplasia prostat, gangguan
pertumbuhan, edema, ikterus dan hiperkalesmia.9,20
Mycophenolate mofetil 500-1000 mg per hari dilaporkan memberikan hasil yang baik
pada AIHA refrakter. Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan
respon yang cukup baik sebagai salvage therapy. Dosis Rituximab 100 mg per minggu selama
4 minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan tubuh. Rituximab merupakan suatu
antibodi monoklonal, demikian pula dengan alemtuzumab yang digunakan untuk CLL,
limfoma sel B (Rituximab) dan limfoma sel T (Alemtuzumab). Rituximab merupakan antigen
CD20 dan alemtuzumab memiliki target CD52. Pasien dengan terapi rituximab, walau hanya
15
sementara dapat mengalami deplesi sel B. Pada pasien dengan AIHA tipe dingin, mengalami
penurunan serum aglutinin dan deplesi muncul pada infusi ketiga rituximab dengan durasi 96
minggu. Sedangkan sekitar 13-18 minggu pada pasien dengan ITP. Terapi transfusi bukan
kontraindikasi mutlak, pada kondisi dimana Hb dibawah 3 g/dL dapat digunakan sembari
menunggu steroid dan immunoglobulin intravena berefek. Immunoglobulin intravena
menujukkan perbaikan pada 40% pasien dan hanya sementara.9,21,22
Prognosis Anemia Hemolitik Autoimun
Dubia. Prognosis tergantung dari kausa dan tipe anemia hemolitik yang diderita
pasien. Kematian biasanya jarang terjadi akan tetapi akan meningkat pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular, paru, dan penyakit cerebrovaskular. Anemia dapat memperburuk
penyakit-penyakit diatas.4,23
Komplikasi Anemia Hemolitik Autoimun
Komplikasi dari anemia hemolitik dapat bermanifestasi sebagai komplikasi trombotik
termasuk tromboembolisme vena, trombosis pulmonal in situ dan stroke. Dan gejala-gejala
lain yang mengikuti splenektomi seperti yang telah dibahas sebelumnya.24
PENUTUP
Seorang wanita berusia 25 tahun datang dengan keluhan mudah lelah sejak 3 minggu
yang lalu, dan wajahnya terlihat agak pucat. Pasien tidak merasakan demam, mual, muntah,
serta tidak mengalami adanya gangguan miksi dan defekasi. Pada anamnesis dapat ditanyakan
tentang takikardia, dispnea, angina dan lemas dapat muncul pada pasien dengan anemia yang
merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk meningkatkan kadar oksigen dalam darah, hal
ini terjadi karena sensitivitas fungsi jantung pada anoxia. Pembentukan batu empedu bilirubin
yang dapat bermanifestasi sebagai nyeri abdominal. Warna kulit kecoklatan dapat timbul
akibat hematosiderosis yang terjadi akibat kelebihan zat besi pada pasien akibat transfusi yang
berlebih. Sedangkan urin yang gelap dapat terjadi akibat hemoglobinuria. Selain itu juga
dapat ditanyakan penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan hemolisis seperti
penilisin, quinin, quinidin dan metildopa utnuk menyingkirkan diagnosis banding dengan
drug-induced hemolytic anemia.
Pasien dengan anemia hemolitik dapat menimbulkan gejala dan tanda-tanda anemia,
komplikasi dari hemolisis. Jaundice dapat timbul akibat adanya peningkatan bilirubin indirek
akibat hemolisis. Peningkatannya tidak spesifik untuk gangguan hemolisis karena juga dapat
16
timbul pada penyakit hati dan obstruksi bilier. Biasanya pada anemia hemolitik, peningkatan
bilirubin jarang melebihi 3 mg/dL, kecuali dengan adanya komplikasi penyakit hati atau
kolelitiasis. Splenomegali dapat muncul pada anemia hemolitik.
Complete Blood Count dan Peripheral Blood Smear. Dapat mendeteksi anemia,
pansitopenia dan infeksi. Penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit serta retikulositosis
yang merupakan parameter yang biasanya ditemukan pada anemia. Disamping itu, RDW juga
dapat dilakukan yang dapat menemukan anisositosis yang ditemukan pada anemia hemolitik.
Retikulositosis terjadi akibat kompensasi peningkatan pembentukan eritrosit, yang merupakan
salah satu indikator adanya anemia hemolitik, akan tetapi tidak spesifik untuk hemolisis.
Direct Antiglobulin (Coombs) Test. Adanya tampilan sel darah merah dengan
permukaan yang berikatan dengan immunoglobulin atau fiksasi komplemen dapat mendukung
diagnosis anemia hemolitik autoimun. Dasar dari uji ini adalah adanya aglutinasi pada sel
darah merah yang berlapis dengan immunoglobulin, komplemen atau keduanya. Antisera
dengan immunoglobulin manusia reaktif dan/atau komplemen ditambahkan kedalam suspensi
sel darah merah yang tidak diketahui ada-tidaknya ikatan dengan immunoglobulin.
Pada kasus didapatkan seorang wanita berusia 25 tahun datang dengan keluhan mudah
lelah sejak 3 minggu yang lalu, dan wajahnya terlihat agak pucat. Pasien tidak merasakan
demam, mual, muntah, serta tidak mengalami adanya gangguan miksi dan defekasi. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak pucat dengan konjungtiva anemis ODS, sklera
ikterik ODS dan splenomegali Schuffner II. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar
Hb 9.5 gr/dL, Ht 35%, MCH 30 pg/cell, MCV 82 fL, MCHC 34 g/dL, Leukosit 8900 sel/cc,
Trombosit 230.000 per mikroliter dan Retikulosit 6%. Sedangkan pemeriksaan penunjang
diagnostik seperti Coombs Test dan bilirubin indirek belum dilakukan. Dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
Anemia Hemolitik Autoimun.
Anemia hemolitik autoimun merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi
terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit menjadi memendek. Kondisi ini dapat
dibedakan berdasarkan karakteristik aktivitas antibodi ini pada temperatur yang berbeda.
Antibodi yang aktif pada suasana dingin hanya memiliki sedikit aktivitas pada suhu tubuh,
akan tetapi afinitas akan meningkat apabila suhu tubuh menjadi semakin mendekat 0 derajat
Celcius. Berkebalikan pada tipe hangat yang memiliki afinitas paling baik pada suhu tubuh
(sekitar 37 derajat Celcius. Antibodi tipe dingin biasanya adalah IgM, yang merupakan fixed
complement dan berujung pada destruksi eritrosit intravaskular dengan segera. Berkebalikan
17
dengan IgG yang meurpakan IgG, yang bisa jadi bukan merupakan fixed complement dan
berujung pada kehilangan eritrosit akibat destruksi oleh limpa atau sensitisasi sel. Biasanya
satu pasien dapat memiliki baik antibodi tipe dingin maupun tipe hangat.
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual. Fenomena central tolerance merujuk pada delesi limfosit T dan B yang
self reactive ketika maturasi di organ limfoid sentral seperti timus untuk limfosit T dan limpa
untuk limfosit B. Apabila ada sel T reaktif yang masuk ke sirkulasi yang kemudian
dihancurkan di perifer merupakan fenomena peripheral tolerance. Mekanisme toleransi
perifer terdiri dari anergi, surpresi dari sel T regulatori dan delesi dengan apoptosis induksi.
Anemia hemolitik terjadi pada sekitar 5% dari semua kasus anemia. Dan anemia
hemolitik autoimun hanya terjadi 1-3 kasus dari 100.000 populasi per tahunnya. Penyakit ini
tidak spesifik ras dan kelamin. Tetapi kadang lebih sering timbuk pada wanita daripada pria.
Juga tidak spesifik umur, akan tetapi biasanya lebih sering timbul pada usia pertengahan
keatas. Jarang mengenai usia anak dan remaja.
IgM-Mediated Red Blood Cell Destruction. Destruksi eritrosit yang telah tersensititasi
dengan mediasi melalui antibodi IgM dengan sistem komplemen. Terjadi karena adanya
sitolisis atau secara tidak langsung interaksi antara aktivasi RBC dan degradasi fragmen C3
dengan reseptor spesifik pada sel retikuloendotelial, terutama sel makrofag pada liver (sel
Kupffer). Aktivasi sistem komplemen secara keseluruhan kana menghancurkan membran sel
eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskular y ang ditandai dengan hemoglobinemia dan
hemoglobinuria. Terdapat dua macam sistem komplemen yakni jalur klasik dan jalur
alternatif.
Kortikosteroid 1-1.5 mg/kgBB/hari dapat memperbaiki respon klinis dalam 2 minggu
(Ht meningkat, retikulosit meningkat, Coombs test positif lemah dan Coombs test indirek
negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Splenektomi
dapat dilakukan bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis
selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan
tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah
splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang
jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca
splenektomi mencapai 50-75%. Namun tidak bersifat permanen.
18
Prognosis tergantung dari kausa dan tipe anemia hemolitik yang diderita pasien.
Kematian biasanya jarang terjadi akan tetapi akan meningkat pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular, paru, dan penyakit cerebrovaskular. Anemia dapat memperburuk penyakitpenyakit diatas.
Komplikasi dari anemia hemolitik dapat bermanifestasi sebagai komplikasi trombotik
termasuk tromboembolisme vena, trombosis pulmonal in situ dan stroke. Dan gejala-gejala
lain yang mengikuti splenektomi seperti yang telah dibahas sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Friedberg RC, Johari VP. Autoimmune hemolytic anemia. In: Greer JP, Foerster J,
Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, Arber D, et al, editor. Wintrobes clinical
hematology. 12th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.p.956-62.
2. McPherson RA, Pincus MR, editor. Henrys clinical diagnosis and management by
laboratory methods. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.p.571-3,93-6.
3. Wallach J, editor. Interpretation of diagnostic tests. 8th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007.p.426-8.
4. Schick P, Talavera F, Sacher RA, Besa EC. Hemolytic anemia. Diunduh dari Medscape for
iPad. 11 April 2014.
5. Bain BJ, Win N. Acquired heamolytic anemias. In: Bain BJ, Bates I, Laffan MA, Lewis
SM, editor. Practical haematology. 11th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier;
2013.p.274-82.
6. Raghavan VA, Corenblum B, Kline GA, Ziel FH, Talavera F, Schalch DS, et al. Glucose6-Phosphate deficiency. Diunduh dari Medscape for iPad. 11 April 2014.
7. Maakaron JE, Taher AT, Besa EC, Alson R, Arnold JL, Arceci RJ, et al. Sickle cell
anemia. Diunduh dari Medscape for iPad. 11 April 2014.
8. Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. Harrisons manual of medicine. 18 th ed.
United States of America: McGrawHill; 2013.p.381.
9. Parjono E, Taroeno-Hariadi KW. Anemia hemolitik autoimun. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1152-5.
10. Rinaldi I, Sudoyo AW. Anemia hemolitik non imun. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.h.1157-60.
11. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1131-3.
19
patients
with
ITP.
Thromb
Res.
2008:
122(5):599-603.
Jun:
19
(2):208-
21