Oleh:
MURNI HARAHAP
10101006
Pembimbing :
Dr. Lasmaria Flora Sp.An
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah dan
pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul
Anestesi General Pada Pasien Appendisitis Akut yang diajukan sebagai persyaratan
untuk mengikuti KKS Ilmu Anestesi. Terima kasih penulis ucapkan kepada dokter
pembimbing yaitu dr. Lasmaria Flora, Sp.An yang telah bersedia membimbing
penulis, sehingga laporan kasus ini dapat selesai pada waktunya.
Penulis memohon maaf jika dalam penulisan laporan kasus ini terdapat
kesalahan, dan penulis memohon kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan
laporan kasus ini. Atas perhatian dan sarannya penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
: PENDAHULUAN
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA
5
5
5
6
6
7
9
9
10
11
11
11
13
13
16
18
19
20
BAB III
: LAPORAN KASUS
21
BAB IV
: PEMBAHASAN
28
BAB V
: KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
32
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthetos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa", secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara
pada impuls syaraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir
untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau
seluruhnya, tetapi pasien tetap sadar. Anestesi spinal merupakan pemberian obat
anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan
cara menyuntikkan anastetik lokal kedalam ruang subarachnoid.
Kejadian apendisitis akut di Amerika Serikat dan negara Eropa sekitar 7%
dari populasi. Di negara Asia dan Afrika, kejadian apendisitis akut lebih rendah
dikarenakan kebiasaan konsumsi makanan yang berserat. Apendisitis lebih sering
menyerang pria daripada wanita dengan rasio 1,7: 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih
murah
Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency,
Kerugian
atas
dan
bawah
pediatrik
biasanya
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
Tekanan intrakranial meningkat
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
Infeksi sistemik
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronik
G. Obat-Obatan
1) Bupivacaine (Marcaine). 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis
1.027, sifat hyperbaric (heavy), dosis 5-15 mg (1-3 ml). Bupivacaine
memiliki durasi kerja 2-3 jam
2) Lidokain (lignocaine, xylocaine) 5% dalam dextrose 7,5% : berat jenis
1.033, sifat hyperbaric (heavy) dosis 20-50 mg (1-2ml), dengan durasi
45-90 minutes.
3) Cinchocaine (Nupercaine, Dibucaine, Percaine, Sovcaine). 0.5%
hyperbaric (heavy) sama dengan bupivacaine.
4) Amethocaine (Tetracaine, Pantocaine, Pontocaine,
Butethanol, Anethaine, Dikain).
Decicain,
spinalis.
Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
d. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 12% 2-3ml.
e. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau
kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan
likuor tidak keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk
analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
f. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa 6cm.
I. Komplikasi
Komplikasi tindakan anestesi spinal
Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml
sebelum tindakan.
Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok
sampai T-2
KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 9
Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
Trauma pembuluh saraf
Trauma saraf
Mual-muntah
Gangguan pendengaran
Blok spinal tinggi atau spinal total
Komplikasi pasca tindakan:
2.2 Apendisitis
A. Definisi
Appendisitis akut adalah penyakit radang pada appendiks vermiformis
yang terjadi secara akut. Apendisitis akut adalah keadaan akut abdomen yang
memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih
buruk.
B. EPIDEMIOLOGI
Kejadian apendisitis akut di Amerika Serikat dan negara Eropa sekitar
7% dari populasi. Di negara Asia dan Afrika, kejadian apendisitis akut lebih
rendah dikarenakan kebiasaan konsumsi makanan yang berserat.
Beberapa tahun terakhir, penurunan frekuensi apendisitis di negeri
Barat telah dilaporkan, yang mana berhubungan dengan peningkatan asupan
makanan yang berserat. Kenyataannya adalah tingginya kejadian apendisitis
berhubungan dengan asupan serat yang sangat sedikit.
Apendisitis lebih sering menyerang pria daripada wanita dengan rasio
1,7: 1. Apendisitis dapat menyerang pada semua umur, dengan kejadian
tersering timbul pada umur dekade kedua dan ketiga.
E. GEJALA KLINIS
Gejala awal appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Sekitar sampai
2/3 pasien dengan apendisitis, gejalanya dimulai dengan gejala klasik
appendisitis. Awalnya nyeri dirasakan pada regio epigastrium atau
periumbilikal dengan sifat nyeri viseral. Pasien mungkin mendeskripsikan
dengan keluhan berupa discomfort. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa
mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun.
Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah,
ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya,
sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak
dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang
apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5
derajat celcius. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:
Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda
kunci diagnosis.
Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness
(nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah
saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan
konstan. Sesudah 1-5 jam, nyeri berkemih atau rasa kebelet dapat terjadi jika
apendiks terletak dekat kandung kemih atau ureter. Muntah biasanya terjadi
hanya sesudah nyeri yang berkepanjangan. Konstipasi sering terjadi, tetapi
diare hanya kadang kadang dijumpai.
Demam yang sangat tinggi menunjukkan adanya perforasi apendiks,
disertai peritonitis, atau adanya enteritis bakteri yang bersamaan, terutama
jika disertai diare. Anak biasanya gelisah dan terlipat (dengan paha dalam
posisi fleksi ) atau berjalan membungkuk, sering memegang sisi kanan.
Gejala Klinis
Nyeri abdominal berpindah ke perut kanan bawah (Rovsing's Sign)
Nafsu makan menurun
Mual dan atau muntah
Tanda Klinis
Nyeri tekan regio perut kanan bawah (McBurney's sign)
Nyeri lepas (Blumberg's sign)
Demam ( suhu > 37,2oC)
Pemeriksaan Laboratoris
Leukositosis (leukosit > 10.000/ml)
Shift to the left (neutrofil > 75%)
TOTAL
Skor
1
1
1
1
2
1
2
1
20
Interpretasi:
Skor 7-10= Apendisitis akut
Skor 5-6 = Curiga apendisitis akut
Skor 1-4 = Bukan apendisitis akut
F. PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
perut.
Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri.
Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan
bawah merupakan kunci diagnosis dari appendisitis. Pada penekanan perut
kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda
Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah
dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut
tanda Blumberg (Blumberg Sign).
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pasien dengan keluhan
dan
pemeriksaan
fisik
yang
Ultrasonografi
USG merupakan salah satu pilihan untuk mengevaluasi
appendisitis. Beberapa tanda yang dapat dijumpai pada USG :
a
b
c
Dilatasi apendiks
Pada perforasi ditemukan formasi abses.
Tanda lainnya ada cairan di lumen apendiks, dan diameter
transversum apendiks > 6mm.
Pemeriksaan USG juga dapat mendiagnosa kelainan lainnya
CT Scan
CT Scan lebih sering digunakan untuk mendiagnosis
apendisitis pada dewasa, pada anak-anak kegunaan CT Scan terbatas.
CT scan berguna jika pada pemeriksaan USG terlihat samar-samar.
Jika ada kecurigaan yang tinggi terhadap apendisitis, hasil CT scan
yang negatif tidak bisa menyingkirkan diagnosis. Tetapi pada pasien
yang meragukan, CT scan merupakan pemeriksaan yang sensitif.
Urinalisis
Test ini bertujuan untuk menyingkirkan differensial diagnosis batu
ureter dan kemungkinan dari infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri
perut bawah.
H. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Antibiotik diberikan preoperatif dengan suspek appendisitis dan
dihentikan setelah pembedahan jika tanda-tanda perforasi tidak ada.
Antibiotik initial diberikan termasuk generasi ke 3 cephalosporins,
ampicillin, metronidazol ,klindanisin atau
BAB III
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. S
Umur
: 17 tahun
Berat badan
: 48
Tinggi badan
: 158 cm
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Ujung padang
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pelajar
Pendidikan
: SMA
Tanggal masuk RS
: 19 Mei 2015
No. RM
: 117549
II.
ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran
: compos mentis
Vital Sign
- Tekanan darah : 110/80 mmHg
- Respirasi
: 20 kali/menit
- Nadi
: 80 /menit
- Suhu
: 36,7C
Kepala
Mata
: Konjungtiva anemis -/-, Sklera iktenk -/Hidung
: Discharge (-) epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut
:Bibir kering (-), sianosis (-), pembesaran tonsil (-) gigi
ompong (-), gigi goyang (-), gigi palsu (-)
Telinga: Discharge (-), deformitas (-)
Leher
: Pembesaran tiroid dan limfe (-), JVP tidak meningkat
Thorax
Paru :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
:
: bentuk dada normal, gerakan dada simetris kanan-kiri,
retraksi dinding dada (-)
: vokal fremitus kiri = kanan
: sonor di seluruh lapang paru
: vesikuler (+/+) (normal), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
: iktus cordis tidak terlihat
: iktus cordis teraba
:batas jantung kanan di RIC 4 linea parasternalis dextra,
: Status lokalis
Ekstremitas
Vertebra
b. Status lokalis
Abdomen :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Alvarado skor : 7
IV.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
V.
LED
:-
Eusinofil
:-
Basofil
:-
Neutrofil Stab
:-
Neutrofil Seg
:-
Limfosit
:-
Monosit
:-
Sel muda
:-
DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis praoperasi : Appendisitis akut
Diagnosis postoperasi : Appendisitis akut post appendectomy
VI.
STATUS ANASTESI
Anestesi : Anestesi spinal
ASA I
: Pasien sehat (organik, fsiologi, psikiatrik, biokimia)
VII.
TINDAKAN
Dilakukan
Tanggal
:
:
Appendektomy
19 Mei 2015
sebelum operasi
Pemasangan IV line
Sudah terpasang jalur
O2
b. Penatalaksanaan Anestesi
Tanggal operasi : 19 Mei 2015
Jam rencana operasi : 08.00 WIB
Mulai operasi
: 10.00 WIB
Selesai operasi
: 11.00 WIB
Lama Operasi
: 60 menit
Diagnosis prabedah : Appendisitis akut
Diagnosis pascabedah : Appendisitis akut post Appendectomy
Macam operasi
: Appendectomy
Ahli bedah
: dr. Eko Hamidianto SpB
Ahli anestesi
: dr. Lasmaria Flora Sp.An
Teknik anestesi
: spinal Anestesi
Mulai induksi
: 10.00 WIB
Obat induksi
: Recain 2,5 cc, Fentanil 0,5 mg
Premedikasi
Ceftriaxon 1 gr
Ketorolac 30 mg
Ranitidin 25 mg
Medikasi intra operatif:
Fentanil 0,1 mg
Ketamin 50 mg
Sedakum 2mg
Medikasi post operatif:
Ketorolac 30 mg
Ondansetron 4 mg
Tramadol 200 mg
Teknik anestesi :
Pasien dalam posisi duduk tegak dan kepala menunduk, dilakukan
desinfeksi di sekitar daerah tusukan yaitu di regio vertebra lumbal 4-5.
Dilakukan Sub arakhnoid blok dengan jarum spinal no. 27 pada regio
vertebra lumbal 4-5 dengan tusukan paramedian.
LCS keluar (+) jernih
Respirasi : Spontan
Posisi : Supine
Jumlah cairan yang masuk :
Kristaloid = 1000 cc (RL 1 + RL 2)
Perdarahan selama operasi = 60 cc
Pemantauan selama anestesi :
Mulai anestesi
: 10.00 WIB
Mulai operasi
: 10.10 WIB
Selesai operasi
: 11.00 WIB
Tekanan darah, saturasi oksigen dan frekuensi nadi :
Waktu
10.00
10.15
10.30
10.45
11.00
IX.
Tekanan darah
122/58 mmHg
102/49 mmHg
130/70 mmHg
126/57 mmHg
128/60 mmHg
PROGNOSA
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad kosmetikum
Saturasi oksigen
100%
100%
100%
100%
100%
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
Nadi
100 x / Menit
98 x / Menit
78 x / Menit
78 x / Menit
80 x / Menit
BAB IV
PEMBAHASAN
A. PRE OPERATIF
persiapan anestesi dan pembedahan harus selengkap mungkin karena
dalam pemberian anestesi dan operasi selalu ada risiko. Persiapan yang
dilakukan meliputi persiapan alat, penilaian dan persiapan pasien, dan
persiapan obat anestesi yang diperlukan. Penilaian dan persiapan penderita
diantaranya meliputi :
- informasi penyakit
- anamnesis/alloanamnesis kejadian penyakit
- riwayat imunisasi, riwayat alergi, riwayat sesak napas dan asma, diabetes
-
B. INTRA OPERATIF
Pada beberapa kasus dapat diberikan premedikasi secara intravena
atau intramuskular dengan cettriaxon, ketorolac dan ranitidin.
Tindakan pemilihan jenis anestesi pada pasien obstetri diperlukan
beberapa pertimbangan. Teknik anestesi disesuaikan dengan keadaan umum
pasien, jenis dan lamanya pembedahan dan bidang kedaruratan. Pada pasien
ini digunakan teknik Regional Anestesi (RA) dengan Sub Arakhnoid Block
(SAB), yaitu pemberian obat anestesi lokal ke ruang subarakhnoid, sehingga
KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANGPage 25
yang bekerja
6 X 48 = 288 mL
1 jam pertama = (50 % X defisit puasa ) + pemeliharaan + pendarahan
operasi :
440 + 88 + 288 = 816 mL 1-1,5 kolf RL (kristaloid)
C. POST OPERATIF
Setelah operasi selesai, pasien bawa ke ruang observasi. Pasien
berbaring dengan posisi terlentang karena efek obat anestesi masih ada dan
tungkai tetap lurus untuk menghindari edema. Observasi post operasi
dilakukan selama 2 jam, dan dilakukan pemantauan vital sign (tekanan darah,
nadi, suhu dan respiratory rate) setiap 30 menit. Oksigen tetap diberikan 2-3
liter/menit. Setelah keadaan umum stabil, maka pasien dibawa ke ruangan
bedah untuk dilakukan tindakan perawatan lanjutan.
BAB V
KESIMPULAN
Seorang laki-laki usia 17 tahun dengan diagnosis appendisitis akut dilakukan
apendiktomi tanggal 19 Mei 2015 mulai anestesi 10.00 selesai anestesi 11.00 dengan
durasi anastesi 60 menit.
Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anastetik lokal kedalam
ruang subarachnoid. Anestesi spinal disebut juga sebagai analgesi atau blok spinal
intradural. Induksi anestesi dengan menggunakan recain 2,5 cc, fentanil 1 cc, dan
KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANGPage 27
maintenance dengan sedakum 2 mg, fentanil 0,1 mg, ketamin 30 + 20 mg, serta
oksigen 2-3 liter/menit. Untuk mengatasi nyeri digunakan ketorolac sebanyak 30 mg
dan tramadol 100 mg. Evaluasi post operatif dilakukan di ruangan bedah, puasa post
operasi selama 4 jam dengan mengawasi tanda-tanda vital setiap 30 menit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo W. A., Setiyohadi.B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Ed.5. Internal Publishing: Jakarta
2. Guyton AC dan Hell JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.11.
Jakarta : EGC.
3. Latief AS, dkk. 2001 petunjuk praktis anestesiologi : terapi cairan
pada pembedahan, ed.2 bagian anestesiologi dan terapi intensif, FK
UI.