Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh:
Rentina Silalahi
SA 11041
LEMBAR PERSETUJUAN
Proposal ini telah dikoreksi, dan disetujui untuk dilakukan Sidang Proposal
Program Studi Sarjana Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel Bandung
Pembimbing I
Pembimbing II
(Rika Harini.,S.Kep.,Ners.,M.Kep.,Sp.An)
(Agus Riyanto.,SKM.,M.Kes)
Mengetahui,
Ketua Program Studi S1 Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel Bandung
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat,
rahmat, dan karunianya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal penelitian yang berjudul PENGALAMAN ORANG TUA DALAM
MELATIH TOILET TRAINING PADA ANAK DOWN SYNDROME DI SLB BC
YPLAB CIBADUYUT BANDUNG. Proposal penelitian ini merupakan salah
satu syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Immanuel Bandung.
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran sangat
diharapkan penulis untuk kesempurnaan penulisan laporan penelitian dimasa
mendatang.
Penulis
Harapan penulis semoga proposal penelitian ini bermanfaat baik bagi penulis
maupun bagi pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR.......................................................................................i
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
DAFTAR SKEMA............................................................................................v
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................8
C. Tujuan Penelitian..................................................................................8
1. Tujuan Umum.................................................................................8
2. Tujuan Khusus................................................................................8
D. Manfaat Penelitian................................................................................8
Konsep Pengalaman..............................................................................11
Konsep Orang Tua................................................................................12
Konsep Toilet Training..........................................................................13
Konsep Down Syndrome.......................................................................26
Jenis Penelitian......................................................................................41
Daftar Istilah.........................................................................................42
Partisipan Penelitian..............................................................................43
Tempat dan Waktu Penelitian................................................................45
Instrumen Penelitian.............................................................................45
Etika Penelitian.....................................................................................45
Pengumpulan Data................................................................................46
Validasi Data.........................................................................................50
Pengolahan dan Analisa Data................................................................52
Tahap Penelitian....................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR SKEMA
Skema 1.1 Kerangka Konsep Penelitian...........................................................10
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah individu yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan
yang dimulai dari bayi hingga remaja. Anak berhak hidup, tumbuh
kembang,
dan
mendapatkan
perlindungan.
Mereka
juga
berhak
tersebut ada yang normal dan ada juga yang mengalami hambatan
(Departemen Sosial, 2009).
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau disebut juga anak dengan
special needs adalah anak yang perkembangan perilakunya mengalami
hambatan atau gangguan. Hambatan ini disebabkan oleh kondisi sosial
emosi, kondisi ekonomi, kelainan bawaan, maupun yang didapat
kemudian. Hambatan atau gangguan yang terjadi pada anak berkebutuhan
khusus biasanya terjadi pada aspek wicara dan okupasi, sehingga pada
anak berkebutuhan khusus sering ditemukan adanya kesulitan untuk
berkomunikasi dan bersosialisasi. Mereka mempunyai karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya, tetapi tidak selalu
menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Terdapat
beberapa jenis anak berkebutuhan khusus salah satunya adalah anak down
syndrome (Handojo, 2008).
Down Syndrome adalah suatu kondisi di mana materi genetik tambahan
menyebabkan keterlambatan perkembangan anak, dan kadang mengacu
pada retardasi mental. Orang dengan down syndrome memiliki kelainan
pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari 2 kromosom
sebagaimana mestinya, melainkan 3 kromosom (trisomi 21) sehingga
informasi genetika menjadi terganggu dan anak juga mengalami
penyimpangan fisik. Angka kejadian down syndrome ini meningkat seiring
pertambahan usia ibu waktu hamil, dimulai sejak umur 35 tahun (Smart,
2010; 127).
Down Syndrome merupakan kelainan autosomal yang paling banyak
terjadi pada manusia. Diperkirakan angka kejadiannya yang terakhir
adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup, dimana 20 tahun sebelumnya
dilaporkan 1,6 per 1000. Penurunan ini diperkirakan berkaitan dengan
menurunnya kelahiran dari wanita yang berumur. Diperkirakan 20% anak
dengan down syndrome dilahirkan oleh ibu yang berumur diatas 35 tahun.
Down Syndrome dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan bahwa angka
kejadiannya pada bangsa kulit putih lebih tinggi daripada kulit hitam,
tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Sedangkan angka kejadian pada
berbagai golongan sosial ekonomi adalah sama (Soetjiningsih, 2009).
Angka kejadian down syndromemencapai 1 dalam 1000 kelahiran
(Wong,2009). Di Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000
anak dengan kelainan ini. Prevalensi anak down syndrome kira-kira 1
berbanding 700 kelahiran di dunia, kurang lebih ada 8 juta anak down
syndrome, sedangkan di Indonesia dari hasil survei terbaru sudah mencapai
lebih dari 300.000 ribu jiwa (Mustain, 2010). Penelitian terakhir di
Amerika Serikat membuktikan lebih dari 85% anak down syndrome
dilahirkan dari ibu yang usianya tidak lebih dari 35 tahun (Roithmayr,
2012). Peneliti lain menyatakan usia ayah juga berpengaruh, dan memang
kelebihan kromosom trisomi 21 bisa disebabkan baik dari ibu ataupun
ayah, meski kebanyakan kromosom yang berlebih didapat dari ibu
(Soetjiningsih, 2009).
Mempunyai anak berkebutuhan khusus seperti down syndrome, tentunya
menimbulkan beberapa permasalahan yang seringkali menjadi kendala
dalam menangani dan merawat anak autis. Salah satu permasalahan yang
timbul tersebut adalah permasalahan dalam memberikan toilet training.
Permasalahan tersebut timbul karena anak down syndrome memiliki
gangguan dalam beberapa aspek seperti gangguan komunikasi dan bahasa,
gangguan interaksi sosial, gangguan perilaku (rutinitas) dan kurangnya
kesadaran sensoris. Gangguan tersebut menyebabkan anak down syndrome
kurang mandiri dalam banyak hal sehingga anak selalu bergantung pada
orang tua dalam melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk kegiatan yang
sifatnya mendasar yakni kebutuhan toileting atau buang air besar dan
buang air kecil secara mandiri.
Permasalahan toilet training tersebut bermacam-macam dan tidak selalu
sama antara anak down syndrome yang satu dengan yang lainnya. Adapun
beberapa masalah toilet training yang biasanya terjadi pada anak down
mengatakan, Saya tahu tentang latihan buang air pada anak, namun
baru tahu bahwa namanya itu toilet training. Dulu anak saya masih
memakai pampers, tapi saat usia 6 tahun anak saya belajar untuk buang
air tanpa menggunakan pampers. Waktu itu masih sangat susah ngajarin
anak saya biar bisa ngerti tentang toilet. Terus, cara ngajarinnya saya
diberitahu guru dan dibantu juga untuk mengajarkan anak saya cara
buang air kecil dan buang air besar dan lama-lama anak saya bisa
mengerti sedikit-sedikit cara ke toilet. Memang sangat susah dan butuh
waktu yang lama untuk mengajarkan anak saya cara ke toilet dan saya
juga hampir menyerah karena anak saya susah mengerti cara buang air
kecil dan buang air besarnya di toilet. Tapi, untung saja saya bisa dibantu
oleh guru sekolah ini dan diajarkan juga cara melatih anak saya dirumah
untuk buang air kecil dan buang air besar di toilet.
Wawancara interpersonal selanjutnya dilakukan pada partisipan kedua Ny.
N berusia 45 tahun yang memiliki anak down syndrome An. S berusia 6
tahun berjenis kelamin perempuan, beliau mengatakan, Saya belum
pernah mendengar tentang latihan buang air kecil dan buang air besar.
Untuk buang air besar dan buang air kecil sekarang anak saya kadang
masih menggunakan pampers, kalau gak pake pampers kadang dia suka
buang air kecil dicelana kalo sudah tidak tahan menahan ingin buang air
kecil. Anak saya belum bisa bilang kalau mau buang air, tapi saya selalu
mengingatkan anak saya kalau mau buang air harus bilang. Saya
ngajarinnya dengan cara sering bawa anak saya ke kamar mandi
walaupun kadang sudah terlanjur buang air dicelana, supaya dia ngerti
kalau kamar mandi dipake buat buang air. Saya tidak selalu ada waktu
untuk mengajarkan anak saya karena saya juga harus bekerja, dan yang
dirasa selama ini kadang saya merasa sedih capek dan bingung juga
ngajarin anak saya untuk mengerti cara buang air. Dan yang saya
lakukan hanya bisa bersabar dan biasanya saya juga meminta kakaknya
untuk kasih contoh buang air. Tapi tetep aja anaknya memang susah ngerti
walaupun sudah diberitahu.
INPUT
Faktor Pendukung
Faktor Penghambat
Permasalahan
Toilet Training
Pada Anak Down
Syndrome
Fenomena Pengalaman
orang tua dalam
melatih Toilet Training
pada anak Down
Syndrome
Pengalaman orang
tua dalam melatih
toilet training
pada anak down
syndrome
OUTPUT
Pengoptimalan
Quality of Life
Faktor Pendorong
a. Pengetahuan orang tua
Sumber : Mdifikasi Crotty, 2003s; William dan Wright, 2007; Priyatna,2010.
b. Cara orang tua
c. Hambatan orang tua
d. Upaya orang tua
Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
1. Konsep Pengalaman
a. Pengertian Pengalaman
Pengalaman berasal dari kata dasar alam yang diartikan sebagai
sesuatu yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung) (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2008). Pengalaman juga dapat diartikan
sebagai reaksi mental fisik terhadap penglihatan, pendengaran dan
perubahan mengenai sesuatu yang dipelajari dan dengan reaksi
tersebut seseorang mendapatkan pengertian dan pemahaman yang
dapat digunakan untuk memecahkan masalah baru. Pengalaman yang
dimaksud adalah semua pembelajaran yang diambil seseorang dari
peristiwa-peristiwa yang telah lalu (Irene dalam West, 2008).
Soemaryono
mengatakan
bahwa
pengalaman
hidup
adalah
Orang tua menurut KBBI (2008) adalah ibu dan ayah kandung.
Sedangkan menurut Suparyanto (2011) orang tua adalah bagian dari
keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu dimana diikat oleh sebuah
ikatan perkawinan yang sah. Orang tua mempunyai tanggung jawab
untuk mendidik, mengasuh, merawat, dan membimbing anak untuk
mencapai tahap perkembangannya agar anak siap dalam kehidupan
bermasyarakat. Pengertian orang tua tersebut tidak terlepas dari
pengertian keluarga yaitu dua orang atau lebih yang dihubungkan
dengan pertalian darah (perkawinan atau adopsi) yang memiliki
tempat tinggal bersama dimana dalam keluarga inti terdiri dari ayah,
ibu, dan anak.
b.
terdiri dari ayah, ibu dan anak. Peran orang tua adalah tingkah laku
spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks orang tua dalam
sebuah keluarga. Peran orang tua menggambarkan seperangkat perilaku
interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam
posisi dan situasi tertentu. Setiap orang tua berkewajiban untuk ikut
serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan baik
perorangan, keluarga, anak dan lingkungan. Anak berperan sebagai
pelaku psikososial sesuai dengan perkembangan fisik, mental, sosial
dan spiritual. Sedangkan peran orang tua adalah :
a. Ayah
Ayah sebagai seorang suami dari istri, salah satu orang tua bagi anakanak dan sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai pencari
nafkah, pendidik, pelindung / pangayom, pemberi rasa aman bagi setiap
anggota keluarga dan juga sebagai anggota mayarakat kelompok sosial
tertentu.
b. Ibu
Ibu sebagai istri dari suami, salah satu orang tua bagi anak-anak dan
sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anak,
pelindung keluarga, sebagai pencari nafkah tambahan keluarga dan juga
sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu (Setiadi, 2008).
3. Toilet Training
a. Pengertian Toilet Training
Secara umum toilet training merupakan suatu proses untuk
mengajarkan kepada anak-anak untuk buang air kecil (BAK) dan
buang air besar (BAB). Dengan toilet training diharapkan dapat
melatih anak untuk mampu BAK dan BAB di tempat yang ditentukan
yakni di kamar mandi (toilet), selain itu toilet training juga
mengajarkan kepada anak untuk membersihkan kotorannya sendiri dan
memakai kembali celananya tanpa bantuan orang lain.
Menurut Hidayat (2006; 62), toilet training pada anak merupakan
suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam
melakukan buang air kecil dan buang air besar. Pengertian toilet
impuls atau rangsangan dan insting anak dalam melakukan buang air
besar atau merupakan suatu alat pemuasan untuk melepaskan
ketegangan dengan latihan ini anak diharapkan dapat melakukan usaha
penundaan pemuasan.
Dua tujuan toilet training harus ditemukan agar keterampilan toileting
yang benar dicapai secara mandiri, yaitu menahan diri, dimana
seseorang harus dapat mengenali sensasi untuk buang air dan
penguasaan dari seluruh rangkaian perilaku untuk pergi ke toilet
(menuju kamar mandi, melepas pakaian, mengeluarkannya di toilet,
membersihkan diri, berpakaian kembali, mengguyur, mencuci tangan)
(Kroeger dan Sorensen, 2009). Yang menjadi catatan bahwa tujuan
pelatihan buang air ke toilet adalah hasil akhir keberhasilan dari latihan
ke toilet, bukan keterampilan prasyarat untuk memulai pelatihan ke
toilet.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa toilet
training adalah cara untuk melatih anak agar bisa mengontrol buang air
kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) secara benar di kamar mandi
(toilet), berupa: anak dapat menahan keinginan buang air hingga ia
sampai di kamar mandi atau toilet, serta mampu menegakkan
kemandiriannya dalam hal buang air tanpa bantuan orang lain. Toilet
training baik dilakukan sejak dini untuk menanamkan kebiasaan yang
baik pada anak. Hal ini penting dilakukan untuk melatih kemandirian
anak dalam melakukan BAK dan BAB sendiri. Toilet training akan
dapat berhasil dengan baik apabila ada kerjasama antara orang tua
dengan anak.
b. Pengajaran Toilet Training pada Anak
Latihan buang air besar atau buang air kecil pada anak atau dikenal
dengan nama toilet training merupakan suatu hal yang harus dilakukan
pada anak, mengingat dengan latihan itu diharapkan anak mempunyai
kemampuan sendiri dalam melaksanakan buang air kecil dan buang air
merasakan buang air kecil dan buang air besar, tempatkan anak di
atas pispot atau ajak ke kamar mandi, berikan pispot dalam posisi
aman dan nyaman, ingatkan pada anak bila akan melakukan buang
air kecil dan buang air besar, dudukkan anak di atas pispot atau
orang tua duduk atau jongkok di hadapannya sambil mengajak
bicara atau bercerita, berikan pujian jika anak berhasil jangan
disalahkan dan dimarahi, biasakan akan pergi ke toilet pada jamjam tertentu dan beri anak celana yang mudah dilepas dan
dikembalikan.
Menurut Supartini (2004; 74), orang tua harus diajarkan bagaimana
cara melatih anak untuk mengontrol rasa ingin berkemih, di
antaranya pot kecil yang bisa diduduki anak apabila ada, atau
langsung ke toilet, pada jam tertentu secara regular. Misalnya,
setiap dua jamanak dibawa ke toilet untuk berkemih. Anak
didudukkan pada toilet atau pot yang bisa diduduki dengancara
menapakkan kaki dengan kuat pada lantai sehingga dapat
membantunya untuk mengejan. Latihan untuk merangsang rasa
untuk mengejan ini dapat dilakukan selama 5 sampai 10 menit.
Selama latihan, orang tua harus mengawasi anak dan kenakan
pakaian anak yang mudah untuk dibuka.
Berdasarkan
teori
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
cara
berupa
menyiapkan
yang
dibutuhkan,
buang
air
kecil
dan
buang
air
besar
dapat
pengetahuan
yang
baik
berarti
mempunyai
konsep
toilet
training.
Sikap
merupakan
kecenderungan
ibu
untuk
bertindak
atau
berperilaku
toilet
training
sesegera
mungkin
untuk
menyebabkan
toilet
training
di
atas,
faktor
yang
diantaranya
membuat
anak
mempunyai
kebiasaan
merupakan
kelainan
genetis
yang
menyebabkan
keterlambatan
perkembangan
anak,
dan
kadang
mereka lebih rata dari anak-anak normal dan mata mereka sipit seperti
anak mongol. Itu sebabnya timbul istilah anak mongol atau sindroma
down tadi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa down syndrome adalah
suatu gangguan pada susunan kromosom yaitu adanya kromosom 21
ekstra yang menyebabkan keterbelakangan fisik dan mental dengan
ciri-ciri yang khas pada keadaan fisiknya.
b. Penyebab Down Syndrome
Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab gangguan Down
Syndrome yaitu, pembelahan sel antara lain adanya kelainan hormonal,
sinar X (X-ray), infeksi yang disebabkan virus salah satunya adalah
virus toksoplasma, masalah kekebalan tubuh atau predisposisi genetik.
Kemungkinan munculnya down syndrome yaitu usia ibu yang lebih
dari 35 tahun saat hamil. Hal ini disebabkan karena sel telur pada
wanita terus dalam keadaan mengalami pembelahan, mulai dari
terbentuknya sel tersebut ketika wanita masih sebagai janin, hingga
dewasa. Semakin lama periode ini, semakin besar kemungkinan terjadi
kerusakan pada pasangan-pasangan kromosom, yang akhirnya dapat
mengganggu proses pembelahan. Dengan kata lain, semakin lanjut usia
ibu pada saat hamil, semakin besar resikonya memiliki anak down
syndrome. Ekstra kromosom juga bisa berasal dari sperma ayah.
Penemuan ini menunjukkan semakin tua usia ayah juga dapat
meningkatkan resiko memiliki anak down syndrome. (Davidson and
Neale, 1997, 414).
Ada 3 tipe kromosom yang diketahui menyebabkan down syndrome:
1) Trisomy 21
Anak yang terkena down syndrome memiliki kromosom ekstra
pada kromosom 21, seseorang yang normal memiliki 46 kromosom
di setiap sel, namun seseorang dengan down syndrome memiliki 47
kromosom.
2) Translocation
(trisomy)
mengakibatkan
goncangan
sistem
metabolisme di sel.
c.
sampai muncul tanda yang khas. Tanda yang paling khas pada anak
yang menderita down syndrome adalah adanya keterbelakangan
perkembangan fisik dan mental pada anak.
Menurut Selikowitz (2001; 41), ciri-ciri fisik anak down syndrome
yang dapat langsung terlihat adalah sebagai berikut:
1) Wajah. Ketika dilihat dari depan, anak penderita down syndrome
biasanya mempunyai wajah bulat. Dari samping, wajah cenderung
mempunyai profil datar.
2) Kepala. Belakang kepala sedikit rata pada kebanyakan orang
penderita down syndrome. Ini sebagai brachycephaly.
3) Mata. Mata dari hampir semua anak dan orang dewasa penderita
down syndrome miring sedikit ke atas.
4) Leher. Bayi-bayi yang baru lahir dengan sindromadown ini
memiliki kulit berlebihan pada bagian belakang leher, namun hal
ini biasanya berkurang sewaktu mereka bertumbuh. Anak-anak
yang lebih besar dan orang dewasa yang memiliki sindroma down
cenderung memiliki leher pendek dan lebar.
5) Mulut. Rongga mulut sedikit lebih kecil dari rata-rata, dan lidahnya
sedikit lebih besar. Kombinasi ini membuat sebagian anak
mempunyai kebiasaan untuk mengulurkan lidahnya.
6) Tangan. Kedua tangan cenderung lebar dengan jari-jari yang
pendek. Jari kelingking kadang-kadang hanya memiliki satu sendi
dan bukan dua seperti biasanya.
Berdasarkan teori yang dijelaskan oleh Selikowitz (2001; 41)
mengenai ciri fisik anak down syndrome yang dapat dilihat
langsung dapat disimpulkan yaitu tinggi badannya relatif pendek,
bentuk kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang
Mongolia maka sering dikenal dengan Mongoloid, mulut mengecil
dan lidah menonjol keluar. Serta beberapa kekhasan fisik lainnya.
d. Perkembangan Anak Down Syndrome
Perkembangan jasmani dan , motorik anak down syndrome tidak
secepat anak normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
waktu
lebih
lama.
Pasalnya,
mereka
memiliki
yang baru sadar bahwa anaknya belum mandiri dalam kegiatan BAB
dan BAK.
Menurut Selikowitz (2001; 80), keterampilan toilet training untuk
anak down syndrome , biasanya sudah dapat dimulai sejak umur 30
bulan. Orang tua perlu menunggu ia hendak buang air kecil maupun
buang air besar. Langkah pertama dalam proses toilet training pada
anak down syndrome adalah dengan membuat anak terbiasa dengan
pispot, dengan memberikan kesempatan baginya duduk di atas pispot
dengan pakaian utuh. Bila pada tingkatan ini ataupun tingkat
selanjutnya anak bereaksi negatif terhadap latihan ini, anak harus
hindari keributan dan menunda latihan selama beberapa minggu atau
bulan supaya ia siap.
Menurut Selikowitz (2001; 81), bila tidak ada pola buang air besar
yang jelas, tempatkan ia diatas pispot tiga kali sehari (setelah usai
makan). Pada akhirnya kesabaran orang tua akan membuahkan hasil,
dan anak akan buang air besar dipispot, untuk hal ini anak perlu
memberikan banyak pujian kepadanya. Orang tua masih perlu
meningkatkan untuk menggunakan pispot beberapa waktu lamanya,
dan orang tua harus siap menghadapi kealpaan sewaktu-waktu selama
setahun berikutnya atau lebih. Pada usia tiga sampai empat tahun, ratarata anak dengan down syndrome telah cukup kalem, dan walaupun
kadang-kadang bersikap begatif masih lebih mudah untuk dikontrol
dan lebih merasa mampu.Latihan toilet berjalan dengan baik. Hal ini
membutuhkan wajtu dan menjelang usia lima tahun seharusnya anak
dapat menarik dan menurunkan celananya dan mencuci tangannya
setelah menggunakan toilet (Selikowitz, 2001; 84).
Seseorang dikatakan dan dinilai memiliki kemampuan apabila mampu
untuk mengajarkan dan menyelesaikan sesuatu dengan baik. Demikian
halnya dengan anak down syndrome dikatakan memiliki kemampuan
dalam toilet training apabila yang bersangkutan tersebut mampu
dalam
kegiatan
toilet
training
apabila
mampu
apabila
anak
mampu
untuk mengeluarkan
atau
instruksi
dan
seperti
untuk
selalu
menolong
dan
memanjakan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode penelitian mempunyai fungsi yang sangat besar dalam suatu
penelitian. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif
dengan metode analisis fenomenologi. Penelitian kualitatif adalah sebuah
penelitian yang digunakan untuk meneliti fenomena yang sulit untuk
dikuantifikasi atau dikategorikan. Metode ini memuat informasi yang
diperoleh dari data tertulis hasil wawancara (non-numerik). Penelitian
kualitatif melibatkan analisis induktif untuk membangun teori dari
pengamatan atau wawancara (Polit dan Beck, 2004).
Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong (2007) penelitian
kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata terrulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati. Sedangkan fenomenologi adalah metode kualitatif
yang berfokus pada pengalaman manusia dalam kegiatan sehari-hari dan
bagaimana interpretasi mereka terhadapnya. Peneliti fenomenologi akan
meminta partisipan menceritakan kisahnya tentang fenomena yang diteliti
(Potter dan Perry, 2009). Melalui metode kualitatif, peneliti diharapkan
dapat mengetahui dengan jelas informasi tentang toilet training anak down
syndrome secara mendalam.
Tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk menggali, menggambarkan
atau mengembangkan pengetahuan bagaimana kenyataan yang dialami
(Brockopp dkk, 2000). Selain itu penelitian kualitatif dapat digunakan
untuk memahami isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi
seseorang, meneliti sesuatu secara mendalam dan meneliti sesuatu dari
segi prosesnya. Tujuan dari penelitian dengan pendekatan fenomenologi
adalah untuk memahami dan menjelaskan fenomena atau peristiwa yang
ada kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi
tersebut (Moleong, 2007). Dengan demikian peneliti bermaksud untuk
menggali, memahami dan menjelaskan pengalaman orang tua dalam
melatih toilet training pada anak down syndrome dengan menggunakan
pendekatan fenomenologis dengan cara melakukan wawancara mendalam
(indept interview).
B. Daftar Istilah
1. Pengertian Pengalaman
Pengalaman adalah reaksi mental dan atau fisik terhadap penglihatan,
pendengaran, dan perubahan mengenai sesuatu yang dipelajari dan
dengan reaksi tersebut seseorang mendapatkan pengertian dan
pemahaman yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah baru.
Pengalaman yang dimaksud adalah semua pembelajaran yang diambil
seseorang dari peristiwa-peristiwa yang telah lalu (Irene dalam West,
2008).
merupakan
kelainan
genetis
yang
meneyebabkan
pengalaman
atau
memberikan
informasi
yang
dibutuhkan.
3. Partisipan adalah mereka yang benar-benar terlibat dengan gejala,
peristiwa, masalah dalam arti mereka mengalaminya secara
langsung.
4. Partisipan
adalah
mereka
yang
bersedia
untuk
ikut
serta
diwawancarai.
5. Partisipan adalah mereka yang tidak dibawah tetkanan, tetapi penuh
kerelaan dan kesadaran akan keterlibatannya.
Partisipan dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak
down syndrome di sekolah luar biasa SLB BC YPLAB Cibaduyut
Bandung. Upaya untuk mendapatkan partisipan sendiri dilakukan dengan
cara menemui Kepala Sekolah, semua Guru dan karyawan dari sekolah
luar biasa SLB BC YPLAB Cibaduyut Bandung. Jumlah partisipan
yang dijadikan subyek dalam penelitian ini adalah sebanyak 6 tergantung
pada kecukupan data yang diinginkan peneliti dan keterbatasan waktu
peneliti (Norwood, 2002). Prinsip pengambilan sampel pada penelitian
ini berdasarkan pada prinsip kesesuaian dan prinsip kecukupan. Adapun
kriteria inklusi dari partisipan tersebut adalah :
1. Orang tua (ibu / bapak) yang memiliki anak down syndrome yang
bersekolah di sekolah luar biasa SLB BC YPLAB Cibaduyut
Bandung.
2. Orang tua (ibu / bapak) yang memiliki kemampuan untuk
menceritakan pengalamannya dalam melatih toilet training pada
anak down syndrome.
3. Orang tua (ibu / bapak) yang terlibat secara langsung dalam
memberikan toilet training pada anak down syndrome.
4. Orang tua (ibu / bapak) yang bersedia menjadi partisi
D. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa SLB BC
YPLAB Cibaduyut Bandung. Waktu Penelitian dimulai pada bulan Juni
2015.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen atau alat penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatif
adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu, peneliti sebagai instrumen juga
harus divalidasi seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan
penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan (Sugiyono, 2012). Adapun
upaya yang telah dilakukan peneliti untuk dapat mengerti dan memahami
penelitian ini meliputi evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap
metode kualitatif dengan membaca sumber-sumber atau literatur buku
konsep penelitian kualitatif, berkonsultasi dan berdiskusi dengan
pembimbing, evaluasi diri dalam penguasaan teori, serta kesiapan dan
bekal dalam memasuki lapangan baik secara akademik maupun logistik.
Selain itu, peneliti telah melaksanakan uji kompetensi wawancara
mendalam bersama teman yang ditemani oleh pembimbing.
F. Etika Penelitian
Praktek keperawatan profesional dan disiplin ilmu kesehatan merupakan
gambaran mengenai pengambilan keputusan moral dalam membuat dasar
praktek keseharian (Streubert & Carpenter, 2007). Informed Consent
adalah topik diskusi didalam sebuah dasar dalam pengaturan pelayanan
kesehatan.
yang
a. Camera
Camera digunakan untuk memotret pada saat peneliti melakukan
pembicaraan dengan partisipan. Dengan adanya foto ini maka
dapat meningkatkan keabsahan penelitian dan akan lebih terjamin,
karena peneliti betul-betul melakukan pengumpulan data.
b. Tape Recorder
Tape recorder digunakan untuk merekam semua percakapan atau
pembicaraan saat wawancara sehingga pencatatan data dapat
dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin.
Penggunaan tape recorder dalam wawancara perlu diberitahu
terlebih dahulu kepada partisipan apakah diperbolehkan atau
tidak.
c. Catatan Lapangan atau Field Note
Catatan yang dibuat di lapangan, berebeda dengan catatan
lapangan. Catatan yang dibuat dilapangan berupa coretan
seperlunya
yang
dipersingkat,
berisi
kata
kunci,
pokok
jadwal
pertemuan
mendalam.
Waktu
selanjutnya
dan
dan
tempat
melakukan
dilakukannya
dilakukan
pengkodean
dengan
menggaris
bawahi
dengan
ketergantungan
(defendability),
dan
derajat
kepastian
ada kekeliruan dengan cara melakukan member check yaitu pada akhir
wawancara peneliti mengulang kembali garis besar hasil wawancara
baik lisan maupum tulisan kepada partisipan.
2. Derajat Keteralihan (Transferability)
Kriteria ini dapat dilihat tergantung dari penilaian pembaca, apabila
pembaca merasa ada keserasian dengan situasi yang dihadapinya,
maka penelitian ini memiliki transferability. Konsep validasi ini
menyatakan bahwa generalisasi suatu penemuan dapat berlaku atau
diterapkan pada semua konteks dalam populasi yang sama atas
penemuan yang diperoleh pada sampel yang representative memiliki
populasi itu.
3. Derajat Ketergantungan (Dependability)
Kriteria ini disebut juga reliabilitas. Suatu penelitian yang reliabel
adlah apabila orang lain dapat mengulangi/mereplikasi proses
penelitian tersebut. Pengujian dependability dilakukan dengan cara
melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Caranya
adalah dilakukan oleh auditor yang independen, atau pembimbing
untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan
penelitian. Bagaimana peneliti mulai menentukan masalah atau fokus,
memasuki lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis
data, melakukan uji validitas, sampai membuat kesimpulan harus
dapat ditunjukkan oleh peneliti. Jika peneliti tidak dapat menunjukkan
jejak aktivitas lapangannya, maka depenabilitas penelitiannya patut
diragukan (Sugiyono, 2012).
4. Derajat Kepastian (Comfirmability)
Kriteria ini disebut uji objektivitas penelitian. Penelitian dikatakan
objektiv bila hasil penelitian telah disepakati banyak orang. Menguji
konfirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan
proses yang telah dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi
dari proses yang telah dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan
fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut
yang
dilakukan
dengan
jalan
bekerja
dengan
data,
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Eva Yanti. (2008). Pengalaman Ibu Dalam Memberikan
Perawatan Pada Balita Bawah Garis Merah (BGM) Di
Kelurahan Cibaduyut Wilayah Puskesmas Kopo Bandung.
Skripsi STIK Immanuel (Tidak Dipublikasikan)
Crotty, Michael. (2003). The Foundation
of Social Research.
http://books.google.co.id/books (Diakses pada tanggal 22
Effendy,
Difath.
Keperawatan
si
kecil.
Kesehatan
http://difath-
http://books.google.co.id/books
Remaja Rosdakarya.
dan Kristiana.2009.Teknik
Focus
Group
Discussion.
http://www.TeknikFocusGroupDiscussiondalamPenelitianKual
itatif.org.2009.html (Diakses pada tanggal 1 Juni 2015)
Priyatna, Andri. (2010). Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Toilet
Training Dengan Perilaku Ibu Dalam Melatih Toilet Training
Pada Anak Usia Todler. Skripsi Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Roithmayr. (2012). Down Syndrome. http://www.downsyndrome.org
(Diakses pada tanggal 6 April 2015)
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel. (2010). Pedoman Penyusunan
Skripsi Program Sarjana (S1) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Immanuel Bandung. Bandung
Simatupang, Geovani. (2011). Toilet
Training
pada
Anak.