Anda di halaman 1dari 4

Kedudukan Sanad Dalam Islam

Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 061


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal)
Sanad memiliki peranan yang sangat penting dalam menukilkan wahyu, baik Al-Quran
Al-Karim maupun Sunnah Rasulullah n. Demikian pula menukilkan berita dari kalangan
salafus saleh dari para sahabat, tabiin, dan yang setelahnya. Karena tanpa sanad, satu
berita tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, meriwayatkan hadits-hadits
Rasulullah n dengan sanad akan memberikan beberapa faedah yang sangat agung. Di
antaranya adalah sebagai berikut.
1. Ilmiah dalam Penukilan
Dengan sanad, seseorang menukil wahyu Allah l dan hadits Rasul-Nya secara otentik
sebagaimana asalnya, sehingga memberikan kekuatan hujjah bagi seorang muslim dalam
berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah n.
Abdullah bin Mubarak t mengatakan:



Sanad itu bagian dari agama. Kalaulah tidak ada sanad, orang akan sesukanya mengatakan apa
saja yang dia inginkan. (Diriwayatkan Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya, 1/15)
Yahya bin Said al-Qaththan t mengatakan, Jangan kalian memerhatikan hadits, namun
perhatikanlah sanadnya. Jika sanadnya sahih maka amalkanlah. Namun, jika tidak, jangan
engkau tertipu dengan hadits yang sanadnya tidak sahih. (Siyar Alam an-Nubala, 9/188)
Ishaq bin Rahuyah t juga mengatakan, Jika Abdullah bin Thahirseorang amir di Khurasan
bertanya kepadaku tentang satu hadits, lalu aku menyebutnya tanpa sanad, dia bertanya kepadaku
tentang sanadnya seraya mengatakan, Meriwayatkan hadits tanpa sanad merupakan perbuatan
orang-orang sakit! Sesungguhnya sanad hadits merupakan kemuliaan dari Allah l untuk umat
Muhammad n. (Fathul Mughits, 3/4)
Karena pentingnya mengetahui sanad sebuah riwayat, para ulama sangat perhatian dalam
meriwayatkan hadits-hadits tersebut dengan sanadnya. Termasuk kisah yang menakjubkan dalam
hal ini adalah yang diriwayatkan oleh Abu Jafar at-Tustari sebagai berikut.
Kami hadir di sisi Abu Zurah ar-Razi di Masyahran ketika beliau akan meninggal. Di sisinya
ada Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, Mundzir bin Syadzan, dan sekelompok ulama lainnya.
Mereka pun menyebutkan hadits tentang masalah talqin, yaitu sabda Rasulullah n:

Tuntunlah orang yang akan meninggal di antara kalian untuk mengucapkan La ilaha Illallah.
Mereka pun merasa malu dan segan kepada Abu Zurah untuk menuntunnya. Lalu mereka
berkata, Mari kita sebutkan haditsnya. Lalu Muhammad bin Muslim berkata, Adh-Dhahhak
bin Makhlad memberitakan kepada kami, dari Abul Hamid bin Jafar, dari Shalih. lalu beliau
berhenti dan tidak dapat melanjutkan.
Berikutnya, Abu Hatim mengatakan, Bundar memberitakan kepada kami, ia berkata: Abu
Ashim memberitakan kepada kami dari Abdul Hamid bin Jafar, dari Shalih lalu beliau pun
tidak dapat melanjutkan.
Adapun yang lain diam. Abu Zurah yang dalam keadaan hendak meninggal berkata, Bundar

memberitakan kepada kami, ia berkata: Abu Ashim memberitakan kepada kami, ia berkata:
Abdul Hamid bin Jafar memberitakan kepada kami, dari Shalih bin Abu Arib, dari Katsir bin
Murrah al-Hadhrami, dari Muadz bin Jabal z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:


Barang siapa yang akhir ucapannya La ilaaha Illallah maka dia masuk jannah (surga). (HR.
Abu Dawud no. 3116)
Lalu beliau t meninggal.
Abu Hatim berkata, Seketika rumah pun bergemuruh oleh tangisan orang-orang yang hadir.
(Taqdimah al-Jarh wat Tadil, Ibnu Abi Hatim, 345)
2. Mencegah Pemalsuan Hadits
Sebagaimana telah dijelaskan, ketika bermunculan hawa nafsu dan bidah, semakin merebak
pula orang-orang yang mendustakan hadits lalu menyandarkannya kepada Rasulullah n. Namun,
para imam al-jarh wat-tadil (kritikan dan pujian terhadap perawi) juga mengerahkan segala
kemampuan untuk berusaha melakukan penjernihan syariat, dengan menyingkap kedok para
pemalsu hadits tersebut.
Ibnul Mubarak t pernah ditanya, Bagaimana kita menyikapi hadits-hadits palsu? Beliau
menjawab, Para cendekia hadits hidup menghadapinya. (Al-Maudhuat, Ibnul Jauzi, hlm. 21)
Ad-Daruquthni t juga berkata, Wahai penduduk Baghdad, jangan kalian menyangka bahwa
seseorang mampu berdusta atas nama Rasulullah n sementara saya masih hidup. (Al-Maudhuat
hlm. 21)
Ibnu Khuzaimah t mengatakan, Selama Abu Hamid asy-Syarqi t (salah seorang murid Al-Imam
Muslim t, red.) masih hidup, tidak ada kesempatan bagi seorang pun untuk berdusta atas nama
Rasulullah n. (Al-Maudhuat hlm. 21)
3. Memelihara Kemurnian Islam
Ahli bidah selalu berusaha menyusupkan berbagai bidahnya ke dalam Islam dan
menyandarkannya kepada Rasulullah n. Akan tetapi, dengan sanad akan jelas dan tersingkap
makar para pemalsu hadits Rasulullah n. Seperti pengakuan seorang syaikh Khawarij yang
berkata, Sesungguhnya kami dahulu jika menghendaki satu hal, kami membuatnya menjadi
hadits.
Demikian pula halnya kaum Syiah Rafidhah yang menjadikan dusta sebagai syiar agama
mereka. Al-Imam Asy-Syafii t mengatakan:


Aku tidak melihat seseorang yang paling berani bersaksi dusta selain kaum Rafidhah (Syiah).
(Al-Baihaqi dalam Al-Kubra, 10/208, Abu Nuaim dalam Al-Hilyah, 9/114, Ibnu Adi dalam AlKamil, 2/460, Al-Kifayah, 1/336)
Sebagian pengikut hawa nafsu ada yang menghalalkan dusta atas nama Rasulullah n dengan
alasan untuk mengajak manusia kepada kebaikan. Contohnya adalah Nuh bin Abi Maryam. AlHakim meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ibnu Ammar al-Marwazi, bahwa
dikatakan kepada Nuh bin Abi Maryam, Dari mana engkau mendapatkan riwayat Ikrimah dari
Ibnu Abbas tentang keutamaan setiap surat dalam Al-Quran, padahal murid-murid Ikrimah tidak
memiliki riwayat itu? Nuh menjawab, Sesungguhnya aku melihat manusia berpaling dari AlQuran dan menyibukkan diri dengan fikih Abu Hanifah serta kitab Al-Maghazi Ibnu Ishaq. Aku
pun memalsukan hadits ini dengan tujuan mengharap ridha Allah l.
Oleh karena itu, dia dijuluki Nuh al-Jami (si pengumpul). Ibnu Hibban t berkata, Dia memiliki

segala sesuatu, kecuali kejujuran. (Tadrib ar-Rawi, As-Suyuthi, 1/282)


Oleh karena itu, Ibnul Mubarak t berkata:

-
Antara kami dan kaum (yakni ahli bidah dan yang semisalnya) ada penegaknya, yaitu sanad.
(Muqaddimah Shahih Muslim, 1/1516)
Ketika menjelaskan ucapan Abdullah bin Mubarak t, Sanad merupakan bagian dari agama,
Al-Hakim t mengatakan, Kalaulah tidak ada sanad dan usaha sebagian umat untuk mencarinya,
serta seringnya mereka menghafalnya, niscaya akan hilang petunjuk Islam, sekaligus membuka
pintu bagi orang-orang mulhid (yang menyimpang) dan ahli bidah untuk memalsukan haditshadits serta melakukan perubahan dalam sanad-sanadnya, karena riwayat-riwayat yang tidak
disertai sanad adalah riwayat yang terputus.
Sebagaimana yang telah diberitakan kepada kami oleh Abul Abbas Muhammad bin Yaqub, ia
berkata, Al-Abbas bin Muhammad ad-Duri memberitakan kepada kami, ia berkata: Abu Bakr
bin Abil Aswad telah memberitakan kepada kami, ia berkata: Ibrahim Abu Ishaq at-Thaliqani
telah memberitakan kepada kami, ia berkata: Baqiyyah telah memberitakan kepada kami, ia
berkata: Utbah bin Abi Hakim telah memberitakan kepada kami bahwa tatkala beliau berada di
dekat Ishaq bin Abi Farwah, dan di dekatnya ada Az-Zuhri, Ibnu Abi Farwah (Ishaq bin Abi
Farwah, red.) pun berkata, Rasulullah n bersabda, Rasulullah bersabda.
Az-Zuhri lalu berkata kepadanya, Semoga Allah l memerangimu, wahai Ibnu Abi Farwah!
Alangkah lancangnya engkau terhadap Allah l! Engkau tidak menyandarkan haditsmu dengan
sanad! Engkau memberitakan kepada kami hadits-hadits yang tidak memiliki tali kekang
(sanad)?. (Marifatu Ulumil Hadits, Al-Hakim an-Naisaburi hlm. 6)
4. Memberi Ketenangan dalam Mengamalkan Agama
Sufyan ats-Tsauri t mengatakan:


Sanad adalah senjata mukmin. Jika tidak memiliki senjata, dengan apa dia berperang?
(Diriwayatkan al-Khathib dalam Syaraf Ashabul Hadits hlm. 42)
Al-Imam asy-Syafii t mengatakan, Perumpamaan orang yang mencari hadits tanpa sanad
adalah seperti pencari kayu bakar di malam hari. Dia membawa sekumpulan kayu bakar dan
mendapatkan seekor ular dalam keadaan dia tidak tahu. (Fathul Mughits, karya as-Sakhawi,
3/331)
Ar-Ramahurmuzi t meriwayatkan dengan sanadnya dari Syubah bin al-Hajjaj, ia berkata,
Setiap hadits yang tidak terdapat padanya haddatsana (telah mengatakan kepada kami, red.)
dan akhbarana (telah mengabarkan kepada kami, red.) maka ia tidak bernilai sama sekali. (AlMuhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wal-Wai, ar-Ramahurmuzi hlm. 517)
Al-Qadhi Iyadh t mengatakan, Ketahuilah, inti hadits adalah sanadnya. Padanyalah nampak
kesahihannya dan bersambung riwayatnya. (al-Ilma hlm. 191)
5. Memperjelas Kondisi Sebuah Riwayat
Dengan mengetahui jalur sanad sebuah riwayat serta berupaya mengumpulkan setiap jalur yang
menyebutkan riwayat tersebut, akan memperjelas kondisi riwayat itu, baik menafsirkan
maknanya yang kurang jelas dalam riwayat lain, atau menjelaskan satu lafadz yang lemah yang
tidak diriwayatkan para perawi yang lebih tsiqah atau yang lebih banyak jumlahnya. Ali bin alMadini t mengatakan, Apabila sebuah hadits tidak dikumpulkan jalur-jalur sanadnya, tidak akan
tampak kekeliruannya. (Al-Jami li Akhlaqi ar-Rawi, al-Khathib al-Baghdadi hlm. 1641)

Ahmad bin Hanbal t juga mengatakan, Jika engkau tidak mengumpulkan jalan sebuah hadits,
engkau tidak akan memahaminya. Hadits itu saling menjelaskan. (Al-Jami hlm. 1640)
Al-Iraqi t mengatakan:

Jika sebuah hadits dikumpulkan jalur-jalur sanadnya, akan jelas maksudnya. Kita tidak boleh
berpegang kepada satu riwayat dan meninggalkan riwayat yang lainnya. (Tharhu at-Tatsrib, alIraqi, 7/169)
Sebagai contoh, hadits Rasulullah n yang menjelaskan tentang terpecahnya umat beliau n
menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu. Beliau n menjelaskan satu
golongan yang diselamatkan itu adalah:

Dia itu adalah al-jamaah. (HR. Ibnu Majah no. 3993, al-Maqdisi dalam al-Mukhtarah, 7/90,
dari Anas bin Malik z. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4597, al-Hakim dalam alMustadrak, 1/218, dari Muawiyah bin Abi Sufyan c. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah no.
3992, dari Auf bin Malik z. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 204)
Penjelasannya yang merinci makna al-jamaah disebutkan dalam riwayat lain dengan lafadz:


Yaitu siapa yang berjalan di atas jalanku dan jalan para sahabatku pada hari ini. (HR. AlMaqdisi dalam Al-Mukhtarah, 7/277, Ath-Thabarani, 8/152, dari Anas bin Malik z. Juga
diriwayatkan dari Abdullah bin Amr c oleh At-Tirmidzi no. 2641)
Karena pentingnya mengenal jalur-jalur hadits, para ulama salaf mempelajari dan menghafal
riwayat-riwayat dari Rasulullah n, para sahabat dan tabiin, dengan berbagai jalannya. Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal t berkata, Abu Zurah berkata kepadaku, Ayahmuyaitu Al-Imam
Ahmad bin Hanbal tmenghafal 1.000 x 1.000 hadits (maksudnya satu juta hadits). (Tarikh
Baghdad, 4/419, Siyar Alam an-Nubala, 11/187)
Adz-Dzahabi ketika mengomentari ucapan Abu Zurah t ini mengatakan, Ini adalah riwayat
sahih yang menjelaskan keluasan ilmu Abu Abdillah (Al-Imam Ahmad t). Mereka menghitung
riwayat yang terulang (yang berbeda jalur), seperti atsar dan fatwa tabiin berikut penafsirannya,
serta yang semisalnya, karena jika tidak demikian, hadits-hadits yang marfu (sampai kepada
Rasulullah n) yang kuat tidak mencapai seperseratus jumlah itu. (As-Siyar, 11/187)
Ini juga seperti yang dikatakan Al-Imam Al-Bukhari t, Aku menghafal seratus ribu hadits sahih
dan mengetahui dua ratus ribu hadits yang tidak sahih. (Tarikh Baghdad, 2/25, Al-Kamil, Ibnu
Adi, 1/131)
Wallahu alam.

Anda mungkin juga menyukai