Anda di halaman 1dari 8

2

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Definisi

Atrial fibrilasi (AF) merupakan suatu takiaritmia atrial yang ditandai dengan aktivitas
atrium tidak terkoordinasi yang predominan dengan konsekuen detoriasi fungsi mekanis atrium.
Pada elektrokardiogram (EKG), AF ditandai dengan hilangnya gelombang P secara konsisten;
sehingga terbentuknya gelombang osilasi atau fibrilasi yang cepat dengan berbagai
ukuran,bentuk serta panjang waktu dan biasanya dikaitkan dengan respon ventrikel yang ireguler
ketika konduksi atrioventrikuler masih bagus. Pasien dengan AF dapat merasakan palpitasi, nyeri
dada, pusing, atau pada kasus yang berat dapat mengalami penurunan kesadaran. Walau
bagaimanapun, pada kebanyakan kasus AF dapat terjadi tanpa symptom. AF didefinisikan
sebagai aritmia jantung dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Hasil EKG menunjukkan interval RR yang ireguler absolut (kadang-kadang AF juga dikenal
sebagai aritmia absolut) yaitu interval RR tidak mengikuti pola yang berulang.
2. Tidak ada gelombang P yang nyata pada EKG. Beberapa aktivitas listrik atrial yang regular
3.

bisa dilihat pada beberapa sadapan EKG, paling sering pada sadapan V1
Panjang siklus atrial (jika ada), yaitu interval antara dua aktivasi atrial, biasanya bervariasi

B. Patogenesis Fibrilasi Atrium


Abnormalitas sistem listrik jantung menghasilkan dua jenis keadaan umum aritmia, yaitu
irama jantung yang terlalu lambat (bradiaritmia) dan irama jantung yang terlalu cepat
(takiaritmia). AF merupakan suatu bentuk takiaritmia, secara umum ada 3 mekanisme yang
mendasari gangguan irama ini, yaitu:
a. Abnormal Automaticity
b. Reentry
c. Trigered activity
Abnormal Automaticity
Automatisitas merupakan kemampuan suatu sel untuk berdepolarisasi spontan untuk
mencapai tegangan ambang (treshold potensial) secara ritmis (berirama). Sel-sel khusus sistem
konduksi nodus SA (native pacemaker) dan nodus AV (latent pacemaker) memiliki kemampuan
automatisitas secara alamiah. Meskipun sel-sel otot ventrikel dan atrium tidak memiliki

kemampuan automatisitas, tetapi mampu berdepolarisasi secara spontan dalam keadaan patologis
seperti iskemia. Sel-sel di nodus SA secara normal mempunyai aktifitas fase 4 paling cepat
dibanding bagian sel jantung lainnya, sehingga potensial aksi spontannya dihantarkan lebih dulu,
memberikan gambaran irama sinus. Bila karena suatu sebab terjadi kegagalan automatisitas di
nodus SA, maka sel-sel latent pacemaker (nodus AV) akan mengambil alih fungsi pacemaker
jantung, akan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat. Gambaran potensial aksi menentukan
kecepatan konduksi, masa refrakter, dan automatisitas sel-sel jantung ketiga komponen tersebut
sangat berpengaruh terhadap mekanisme terjadinya kelainan irama jantung.
Reentry
Reentry merupakan mekanisme umum yang terjadi pada hampir semua jenis takiaritmia.
Untuk terjadinya reentry harus terdapat beberapa syarat: 1) terdapat dua jaras paralel yang saling
berhubungan, pada bagian distal dan proksimal, membentuk sirkuit potensial listrik; 2) salah satu
jaras harus memiliki masa refrakter yang berbeda dengan jaras yang lain. Bila suatu saat terjadi
impuls prematur, impuls ini harus melewati sirkuit B (masa refrakter panjang) dan sirkuit A
(masa refrakter pendek).
Impuls akan melewati sirkuit A karena lebih cepat pulih dan siap kembali menerima
impuls listrik, sedangkan sirkuit B tidak dapat dilewati karena belum siap menerima impuls
(masa refrakternya panjang). Pada saat sirkuit A menjalarkan impuls secara lambat, sirkuit B
sudah pulih dari masa refrakter dan siap menerima impuls, yang ternyata dimulai dari arah
berlawanan, berasal dari impuls prematur sirkuit A (konduksi retrograde). Bila impuls retrograd
ini kembali melewati sirkuit A secara antegrade maka lingkaran impuls yang kontinu akan
terbentuk, dan terjadilah lingkar reentry (loop reentry).
Trigered activity
Trigered activity memiliki gambaran yang sama seperti automatisitas dan reentry. Seperti
pada automatisitas, trigered activity mencakup kebocoran ion positif kedalam sel jantung yang
menyebabkan cetusan potensial aksi pada fase 3 atau awal fase 4. Cetusan ini disebut afterdepolarization. Bila afterdepolarization ini cukup besar untuk membuka kanal natrium, potensial
aksi yang kedua akan dibangkitkan.

Gambar 2.1. Prinsip mekanisme elektrofisiologi fibrilasi atrium. A, Aktivasi fokal (focal
activation). Fokus pencetus (ditandai bintang) seringkali terletak diantara muara venavena
pulmonalis. Wavelets yang dihasilkan merupakan konduksi fibrilasi seperti pada multiplewavelet reentry. B, Multiple-wavelet reentry. Wavelets (tanda panah) secara acak masuk kembali
ke jaringan yang sebelumnya diaktivasinya atau diaktivasi oleh wavelets lain. Perjalanan
wavelets bervariasi. LA - left atrium; PV- pulmonary vein; ICV inferior vena cava; SCV superior vena cava; RA - right atrium.
Beberapa kepustakaan telah mengidentifikasi beberapa faktor risiko yang bertanggung
jawab terhadap timbulnya AF, termasuk adanya pencetus dan substrat yang membuatnya
berlangsung berkepanjangan. Pencetus AF antara lain simpatik, stimulasi parasimpatk,
bradikardi, denyut prematur atrium atau takikardi, accessory pathway. Akhir-akhir ini ditemukan
pula bahwa regangan akut dinding atrium dan fokus ektopik di lapisan dinding atrium di antara
vena pulmonalis atau vena caval junctions merupakan pencetus AF. Daerah ini dalam lingkungan
yang normal memiliki aktifitas listrik yang sinkron, namun pada regangan akut dan aktifitas
impuls yang cepat, dapat menyebabkan timbulnya after-depolarisation lambat dan aktifitas
triggered. Triggered yang dijalarkan kedalam miokard atrium akan menyebabkan inisiasi
lingkaran-lingkaran gelombang reentry yang pendek (wavelets of reentry) dan multiple.
Lingkaran reentry yang terjadi pada AF tedapat pada banyak tempat (multiple) dan berukuran
mikro, sehingga menghasilkan gelombang P yang banyak dalam berbagai ukuran dengan
amplitudo yang rendah (microreentrant tachycardias). Berbeda halnya dengan flutter atrium yang
merupakan suatu lingkaran reentry yang makro dan tunggal di dalam atrium (macroreentrant
tachycardias).

Dapat disimpulkan di sini bahwa, terjadinya AF dimulai dengan adanya aktifitas listrik
cepat yang berasal dari lapisan muskular dari vena pulmonalis. Aritmia ini akan berlangsung
terus dengan adanya lingkaran sirkuit reentry yang multipel. Penurunan masa refrakter dan
terhambatnya konduksi akan memfasilitasi terjadinya reentry. Setelah AF timbul secara kontinu,
maka akan terjadi remodeling listrik (electrical remodeling) yang selanjutnya akan membuat AF
permanen. Perubahan ini pada awalnya reversibel, namun akan menjadi permanen seiring
terjadinya perubahan struktur, bila AF berlangsung lama.
Michele dan kawan-kawan melakukan studi elektrofisiologi dengan merekam dan
memetakan fokus ektopi didalam dinding atrium pada 45 pasien yang menderita AF refrakter.
Pada hasil studi didapatkan 94% fokus ektopi terdapat pada vena pulmonalis.
Berdasarkan penemuan ini, kemudian banyak studi yang dilakukan untuk mengetahui
secara lebih mendalam bangkitan impuls oleh fokus tunggal dari vena pulmonalis atau regio
atrium lain, yang dapat menyebabkan terjadinya gelombang fibrilasi; dengan demikian ablasi
sebagai pengobatan definitive AF dapat dilakukan pada vena yang telah dilokalisir.
Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas. Beberapa hal antaranya
berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi, berdasarkan ada tidaknya penyakit
lain yang mendasari, dan terakhir berdasarkan bentuk gelombang P.
C. Klasifikasi
Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi
dikelompokkan menjadi; AF initial event (episode pertama kali terdeteksi atau new AF), AF
paroksismal, AF persisten, dan AF permanen . AF initial event terjadi pertama kali dengan atau
tanpa gejala yang tampak serta onset tidak diketahui. AF proksimal terjadi jika AF hilang timbul
dengan gejala dirasakan kurang dari tujuh hari dan kurang dari 48 jam, tanpa diberikan
intervensi baik itu obat ataupun nonfarmakologi seperti kardioversi. AF persisten terjadi jika
atrial fibrilasi yang muncul akan berhenti jika diberikan obat atau intervensi nonfarmakologi
berlangsung lebih dari tujuh hari. AF permanen terjadi jika AF tidak hilang dengan intervensi
apapun baik obat maupun kardioversi.
Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari yaitu AF
primer dan AF sekunder. Disebut AF primer jika tidak disertai penyakit jantung lain atau
penyakit sistemik lainnya. AF sekunder jika disertai dengan penyakit jantung lain atau penyakit

sistemik lain seperti diabetes, hipertensi, gangguan katub mitral dan lain-lain. Sedangkan
klasifikasi lain adalah berdasarkan bentuk gelombang P yaitu dibedakan atas Coarse AF dan
Fine AF. Coarse AF jika bentuk gelombang P nya kasar dan masih bias dikenali. Sedangkan Fine
AF jika bentuk gelombang P halus hampir seperti garis lurus.
D. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala AF sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel,
lamanya AF, penyakti yang mendasarinya. Sebagian mengeluh berdebar-debar, sakit dada
terutama saat beraktivitas, sesak napas, cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli. AF dapat
mencetuskan gejala iskemik pada AF dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi
atrial yang sangat berkurang pada AF akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan
terjadi gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.
Evaluasi klinik pada pasien AF meliputi :
Anamnesis :
a. Dapat diketahui tipe AF dengan mengetahui lamanya timbulnya (episode pertama,
paroksismal, persisten, permanen)
b. Menentukan beratnya gejala yang menyertai : berdebar-debar, lemah, sesak nafas terutama
saat beraktivitas, pusing, gejala yang menunjukkan adanya iskemia atau gagal jantung
kongestif
c. Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain dari AF misalnya hipertiroid.
Pemeriksaan Fisik :
a.
b.
c.
d.

Tanda vital : denyut nadi berupa kecepatan dengan regularitasnya, tekanan darah
Tekanan vena jugularis
Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukan kemungkinan terdapat gagal jantung

e.
f.

kongestif, terdapat bising pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup jantung
Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan
Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
Laboratorium :
Pemeriksaan hematokrit (anemia), TSH, enzim jantung bila dicurigai terdapat iskemia
jantung.

Pemeriksaan EKG : dapat diketahui antara lain irama ( verifikasi AF ), hipertrofi ventrikel
kiri. Pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi ( sindroma WPW ), identifikasi adanya

iskemia.
Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia, PPOK, kor pulmonal.
Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium dan ventrikel,
hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan TEE ( Trans Esophago

Echocardiography ) untuk melihat trombus di atrium kiri.


Pemeriksaan Fungsi Tiroid. Tirotoksikosis. Pada AF episode pertama bila laju irama

ventrikel sulit dikontrol.


Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju irama jantung.
Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring studi elektrofisiolagi.

E. Penatalaksanaan
Atrial fibrilasi harus benar-benar dipertimbangkan jika pasien telah mengalami dua kali
atau lebih episode atrial fibrilasi. Penanganan farmakologis mencakup pengembalian irama sinus
normal, dapat digunakan amiodaron (sebagai pengontrol irama). Obat lain yang dapat diberikan
adalah agen lain yang digunakan untuk mensupresi konduksi AV.
Tujuan penanganan AF menurut American College of Cardiology (ACC)/American Heart
Association (AHA)/European Society of Cardiology (ESC) (2006) adalah untuk mengembalikan
lagi irama sinus dan menurunkan risiko terjadinya stroke dengan terapi antirombolitik (Shay,
2010). Terdapat tiga kategori tujuan perawatan atrial fiibrilasi yaitu terapi profilaksis untuk
mencegah tromboemboli, mengembalikan kerja ventrikuler dalam rentang normal, dan
memperbaiki irama yang tidak teratur. Kombinas ketiga strategi tersebut menjadi tujuan penting
dalam mengelola pasien atrial fibrilasi (Shay, 2010).
Tatalaksana AF berdasarkan Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III yaitu:

1. Medikamentosa
a. Rhythm control, tujuannya adalah untuk mengembalikan ke irama sinus sehingga
memungkinkan penderita terbebas dari tromboemboli dan takikardiomiopati. Dapat diberikan
anti-aritmia golongan I seperti quinidine, disopiramide dan propafenon. Untuk golongan III

dapat diberikan amiodaron. Dapat juga dikombinasi dengan kardioversi dengan DC


shock.Pengembalian irama sinus dengan obat-obatan (amiodaron, flekainid, atau sotalol) bisa
mengubah AF menjadi irama sinus atau mencegah episode AF lebih jalnjt. Antikoagulasi untuk
mencehag tromboembolik sistemik.
b. Rate control dan pemberian antikoagulan di lakukan dengan pemberian obat-obat yang bekerja
pada AV node dapat berupa digitalis, verapamil, dan obat penyekat beta ( bloker). Amiodaron
dapat juga digunakan untuk rate control. Namun pemberian obat-obat tersebut harus hati-hati
pada pasien dengan AF disertai hipertrovi ventrikel. Pemeriksaan ekokardiografi bisa membantu
sebelum pemberian obat-obat tersebut.
Pemberian obat-obat tersebut dapat membentu pengendalian denyut dengan menurunkan
kecepatan ventrikel dengan mengurangi konduksi nodus AV menggunakan digoksin, B bloker,
atau antagonis kanal kalsium tertentu. Namun kadang AF sendiri tidak menghilang sehingga
pasien membutuhkan digoksin untuk memperlambat repon ventrikel terhadap AF saat istirahat
dan bloker untuk memperlambat denyut ventrikel selama olahraga.
2. Non-farmakologi
a. Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan pada setiap penderita AF. Jika pasien
mengalami AF sekunder, penyakit penyerta harus dikoreksi terlebih dahulu. Jika AF lebih dari 48
jam maka harus diberikan antikoagulan selama 4 minggu dan 3 minggu pasca kardioversi untuk
mencegah

terjadinya

stroke

akibat

emboli.

Pemeriksaan

trnasesofagus

echo

dapat

direkomendasikan sebelum melakukan kardioversi dengan DC shock jika pemberian


antikoagulan belum dapat diberikan untuk memastikan tidak adanya thrombus diatrium.
b. Pemasangan pacu jantung untuk mencegah AF dapat diberikan. Penelitian menunjukkan
pemasangan pacu jantung kamar ganda lebih dapat mencegah episode AF dibandingkan
pemasangan pacu jantung kamar tunggal. Dan akhir-akhir ini pemasangan lead atrium pada
lokasi Bachman Bundle atau di septum atrium bagian bawah dapat mencegah terjadinya AF.
c. Ablasi kateter untuk mengubah ke irama sinus dengan isolasi vena pulmonary dapat
dilakukan.
d. Ablasi AV node dan pemasangan pascu jantung permanen (VVIR). Teknik ini digunakan
terutama pada penderita AF permanen dan penderita masih menggunakan obat antikoagulan.

e. Pembedahan diperlukan dengan operasi modifikasi Maze. Hal ini dapat dilakukan sekaligus
pada pasien dengan kelainan katub mitral.
F. Prognosisi
Komplikasi AF merupakan hasil dari perubahan hemodinamik yang berkaitan dengan
irama jantung yang cepat dan/atau tidak teratur , dan komplikasi tromboemboli yang terkait
dengan keadaan prothrombosis aritmia . AF dikaitkan dengan odd rasio kematian 1,5 untuk pria
dan 1,9 pada wanita, yang tidak bervariasi dengan usia, tetapi sebagian besar kematian yang
dikaitkan dengan AF terjadi setelah diagnosis AF ditegakkan.
Onset AF dapat menyebabkan penurunan curah jantung hingga 10-20 %. Laju ventrikel
yang cepat dapat mendorong ventrikel yang lemah untuk jatuh ke kegagalan jantung. AF yang
tidak terkendali bahkan bisa memicu iskemia jantung kritis.
AF dikaitkan dengan keadaan prothrombosis - darah intra-atrium statis , penyakit jantung
struktural atau kelainan pembuluh darah dan trombosit abnormal dan hemostasis - mengarah ke
kecenderungan untuk pembentukan trombus (trombogenesis). Kondisi prothrombosis ini
merupakan predisposisi stroke dan tromboemboli pada AF, dengan risiko yang lebih besar sekitar
lima kali lipat dibandingkan dengan orang tanpa AF. Pada pasien stroke, bersamaan AF dikaitkan
dengan kecacatan yang lebih besar, rawatan yang lebih lama di rumah sakit dan kemungkinan
yang lebih rendah untuk pasien dipulangkan ke rumah . Insidensi stroke disebabkan AF
meningkat dari 1,5 % pada usia 50-59 tahun menjadi 23,5 % pada usia 80-89 tahun.
Dalam hal efek langsung pada kualitas hidup pasien , AF juga dapat mengakibatkan
pengurangan toleransi olahraga, serta penurunan fungsi kognitif .

Anda mungkin juga menyukai