Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Sindrom Stevens-Johnson merupakan kelainan pada kulit yang serius, di mana kulit

dan selaput lendir bereaksi keras terhadap obat atau infeksi. SSJ merupakan kumpulan gejala
(sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara
rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir serta

mukosa kelopak

mata. Seringkali,

Stevens-Johnson sindrom diawali dengan gejala mirip flu, diikuti dengan ruam merah atau
keunguan yang menyakitkan yang menyebar dan lecet, akhirnya menyebabkan lapisan atas
kulit mati. Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal
yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus.[1]
Mekanisme terjadinya sindrom pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang
memicunya. SJS muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan
besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tak berhubungan lansung dengan dosis, namun
sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling
diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tak disadari pasien, jika tipe
alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien akan selamat dan
tak bergejala sisa, namun jika SJS akan membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan
tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik.[2]
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi medis darurat yang biasanya
membutuhkan perawatan di rumah sakit. Perawatan berfokus pada menghilangkan penyebab
yang mendasari, mengontrol gejala dan mengurangi komplikasi.[1]

I.2

Rumusan Masalah
1.2.1

Bagaimana

definisi,

Epidemiologi,

Gejala

klinis,

Patogenesa,

dan

Gejala

klinis,

Patogenesa,

dan

penatalaksanaan dari Sindrom Steven Jhonson ?


I.3

Tujuan
1.3.1

Mengetahui

definisi,

Epidemiologi,

penatalaksanaan dari Sindrom Steven Jhonson?

I.4

Manfaat
1.4.1

Menambah wawasan mengenai penyakit kulit dan kelamin khususnya

Sindrom Steven Jhonson.


I.4.2

Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti

kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit Kulit dan Kelamin.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/ bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium serta mata disertai gejala
umum bervariasi dari ringan sampai berat. Menurut Websters New World Medical
Dictionary, SSJ didefinisikan sebagai reaksi alergi sistemik (sistemik = menyerang
keseluruhan tubuh) dengan karakteristik berupa rash atau kemerahan yang mengenai kulit
dan selaput lendir, termasuk selaput lendir mulut. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi
hipersensitif (alergi) terhadap obat atau virus tertentu. Nama ini berasal dari Dr. Albert
Mason Stevens dan Dr. Frank Chambliss Johnson, dokter anak di Amerika pada tahun 1922
bersama-sama mempublikasikan kumpulan gejala ini dalam American Journal Penyakit
Anak.[4] Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger- Rendu ,eritema poliform bulosa ,
sindrom mukokutaneo-okular, dermatostomatitis [3], eritema eksudativum multiform mayor,
eritema multiformis tipe Herba , dan ektodermosis erosiva pluriorifisialis.[6]
II.2. Epidemiologi
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi yang jarang terjadi, di Amerika
Serikat, terdapat 300 kejadian melaporkan sekitar 2,6 menjadi 6,1 kasus per juta orang per
tahun. Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak. Kasus ini
telah dilaporkan terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan. Perempuan lebih sering terkena
daripada pria dengan rasio 2:3.[4] SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras
Kaukasia. Suatu studi di Jerman barat melaporkan insiden SSJ dan NET 0,93 dan 1,1 kasus
perjuta populasi pertahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada semua ras. Studi epidemiologi
menunjukkan bahwa wanita lebih banyak dari pria, dengan rasio pria dibanding wanita
berkisar antara 0,5:0,7 (Mockenhaupt,1998; Klein, 2006).[8] Di Indonesia jarang terjadi,
hanya sekitar 1-6 per juta orang. Dengan kata lain, rata-rata jumlah kasus sindrom ini hanya
sekitar 0,03%. Penelitian menunjukkan bahwa SSJ adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari
2000 orang yang mengkonsumsi antibiotik penisilin yang terkena SSJ.[3]

II. 3. Etiologi

Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3) keganasan,
dan (4) idiopatik.

Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi daripada keganasan atau reaksi
terhadap suatu obat.

Oxicam NSAID dan sulfonamides yang paling sering terlibat di negara-negara barat.
Di Asia Tenggara, allopurinol adalah yang paling sering.

Obat seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin telah ditentukan sebelumnya, ditemukan
lebih dari dua pertiga dari semua pasien dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ).
Antikonvulsi

karbamazepin, asam valproat, lamotrigin, dan barbiturat juga telah

terlibat. Mockenhapupt et al menekankan bahwa antikonvulsi-induced SSJ terjadi


pada 60 hari pertama penggunaan. Hallgren et al melaporkan ciprofloxacin dapat
menginduksi sindrom Stevens Johnson pada pasien muda di Swedia. Metry et al
melaporkan sindrom Stevens Johnson terjadi pada 2 pasien HIV yang diobati dengan
nevirapine. Para penulis berspekulasi bahwa masalah ini dapat juga disebabkan oleh
non nukleosida reverse transcriptase inhibitor yaitu indinavir.

Infeksi virus yang telah dilaporkan menyebabkan SSJ adalah herpes simplex virus
(HSV), AIDS,

infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis, gondok,

venereum

lymphogranuloma (LGV), infeksi rickettsia, dan variola.

Penyebab bakteri adalah grup A beta streptokokus, difteri, brucellosis, mikobakteri,


Mycoplasma pneumoniae, tularemia, dan tifus. Sebuah kasus baru-baru ini dilaporkan
SSJ timbul setelah infeksi Mycoplasma pneumoniae.

Coccidioidomycosis, dermatofitosis, dan histoplasmosis adalah kemungkinan yang


disebabkan oleh jamur.

Malaria dan trikomoniasis telah dilaporkan sebagai penyebab protozoa.

Pada anak-anak, Epstein-Barr virus dan enterovirus telah diidentifikasi.

Berbagai karsinoma dan limfoma telah dikaitkan.

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah idiopatik pada 25-50% kasus. [7]

II.4. Patogenesis
Patogenesisnya masih belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi alergi
tipe III dan IV. Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi
yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi alergi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersensitisasi oleh suatu antigen, berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.[3]

Reaksi Hipersensitivitas Tipe III (Reaksi Kompleks Imun) Antibodi yang berikatan
dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen
antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh. Akibat endapan
kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah maka kompleks
tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator
terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat
tersebut akan merusak jaringan di sekitarnya dan mengakibatkan reaksi radang.[10]

Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat) Reaksi ini
melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen.
Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah terpajan
antigen. Dalam hal ini tidak ada peran antibodi. Akibat sensitisasi tersebut sel Th1
melepaskan limfokin antara lain MIF, MAF. Makrofag yang diaktifkan melepas
berbagai mediator (sitokin, enzim, dsb) sehingga dapat menyebabkan kerusakan
jaringan.[10].

Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh


kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan
keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan
sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang
dapat diidentifikasi.[7]
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat
dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen
hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian
serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801

frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar
suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.[7]
II.5. Gejala klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum
begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat
disertai gejala prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam tinggi, malese, nyeri
kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot, dan
atralgia yang sangat bervariasi.[12]
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di
orifisium, dan kelainan mata.[12]
a. Kelainan kulit
Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae, dan
plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki gambaran
yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini
hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpura, atau nekrotik,
dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi bulosa
dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga
terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.[12]
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata kulit lepuh sangat longgar dan
mudah lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10% dari permukaan
tubuh yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis epidermis toksik, 30% atau lebih dari
permukaan tubuh yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena akan terasa sakit. Pada
beberapa orang, rambut dan kuku rontok.[13]

b. Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%), kemudian
disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung (8%), dan
anus (4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi
dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut dapat terbentuk pseudomembran. Di
bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam yang tebal. Stomatitis ulseratif dan
krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Kerusakan pada lapisan mulut biasanya sangat
menyakitkan dan mengurangi kemampuan pasien untuk makan atau minum dan sulit
menutup mulut sehingga air liurnya menetes. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di
faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Adanya pseudomembran di faring
dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. Kelainan pada lubang alat genital akan
menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran
pencernaan dan pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak napas.[13]

c. Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis

kataralis.

Selain

itu

juga

dapat

berupa

konjungtivitis

purulen,

blefarokonjungtivitis, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis, kelopak mata


edema, penuh dengan nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa sakit. Pada kasus berat
terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid,
merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang
diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari
beberapa bulan sampai 31 tahun. [13]

II.6. Diagnosa
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris atau mata sapi disertai gejala prodormal. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik,
biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik
biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya
normal atau sedikit meninggi bila meninggi penyebabnya adalah infeksi sekunder, terdapat
peningkatan eosinofil jika penyebabnya alergi. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.
Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.[3]

Gambaran histopatologinya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari


perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan
berupa:

Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial

Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar

Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal

Nekrosis sel epidermal di adneksa

Spongiosis dan edema intrasel di epidermis

Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi untuk membantu membedakan


sindrom Steven Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin. Pemeriksaan elektrolit
di lakukan untuk mengetahui apakah terjadi gangguan keseimbangan asam basa. Pemeriksaan
bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan. Dan
fototoraks untuk mengetahui adanya komplikasi pneumonitis.[7]
II.7. Diagnosis banding

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)


Dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih

buruk daripada SSJ.[2] Pada penyakit ini terdapat epidermolisis yang menyeluruh yaitu lebih
dari 30% epidermis yang terkelupas (tanda Nikolsky positif).[13]

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease)

Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya
mukosa jarang terkena

SSSS

Etiologi

Staphylococcus
aureus, infeksi mata,
infeksi THT

NET

SSJ

Obat Reaksi graft vs


host

Obat, infeksi,
keganasan, post
vaksinasi, radiasi,
makanan.

Pasien

Anak-anak, bayi < 5


tahun Dewasa

Dewasa

anak > 3 tahun

Gejala klinis

Eritem muka,
leher,

Akut

Gejala prodormal

Gejala prodormal

Trias :

inguinal, axila (24


jam)

KU buruk

Kulit: eritem, vesikel,

generalis (24-48 jam)

Eritem
generalisata,

bula dan purpura,

bula dinding kendur.

vesikel, bula, purpura

Epidermolisis

Kulit, mukosa
bibir-

respiratorius,

mulut, orifisium

esophagus

genital

(pseudomembran)

PA : celah pada
sratum

Epidermolisis +

Mata

granulosum

Nikolsky sign +

Epidermolisis
subepidermal
Nikolsky sign

Nikolsky sign +
Mukosa jarang

PA : celah pada
subepidermal

Mukosa:orifisium
mulut, faring, traktus

PA : kelainan
dermis
sedikit sampai
nekrolisis epidermal

Komplikasi

Selulitis, pneumonia, Akut Tubular


septikemia
Nekrosis

Bronkopneumonia

Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Edisi 5, 2007.

Eritema multiforme (EM)

Onset mendadak progresif cepat, distribusi simetris, mengenai kulit dan / atau
mukokutan, dengan perubahan warna konsentris dalam beberapa atau semua lesi. Lesi
menyebar secara sentripetal yaitu mengenai telapak tangan dan telapak kaki, punggung
tangan, dan permukaan ekstensor ekstremitas dan wajah. Pada keadaan berat mengenai
seluruh tubuh.
Gejala prodromal terjadi pada 50% kasus,

biasanya 1-14 hari sebelum lesi kulit

berkembang. Gejala berupa demam, malaise, mialgia, arthralgia, sakit kepala, sakit
tenggorokan, batuk, mual, muntah, dan diare. Timbul sensasi terbakar di daerah yang terkena.
[7]

Lesi berupa eritem, meluas menjadi makula atau papula berevolusi menjadi lesi yang
khas bentuk iris (target lesion), terdiri 3 bagian yaitu bagian tengah berupa vesikel atau
eritema keunguan dikelilingi lingkaran konsentris yang pucat kemudian lingkaran yang
merah. Vesikulobulosa berkembang dalam makula yang sudah ada sebelumnya, papula, atau
bercak. Keterlibatan mata terjadi pada 10% kasus EM, konjungtivitis purulen kebanyakan
bilateral dengan lakrimasi yang meningkat. Membran mukosa terjadi pada sekitar 25% dari
kasus EM, biasanya ringan, dan biasanya melibatkan rongga mulut.[7]
1 Pemeriksaan laboratorium :
a) Tidak

ada

pemeriksaan

laboratorium

yang

dapat membantu

dokter

dalam

diagnose selain pemeriksaan biopsy.


b) Pemeriksaan darah

lengkap

dapat menunjukkan

kadar

sel

darah

putih

yang

normal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih dapat
mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat.
c) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan
panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.

d) Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.


e) Pemeriksaan elektrolit.
f)

Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.

g) Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan


kolonoskopi dapat dilakukan.
2. Imaging studies :
a. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.
3. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya
diagnose (Adithan, 2006).
II.8. Komplikasi
Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi lain ialah
kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok, pada mata dapat
terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan karena gangguan lakrimasi. Pada
gastroenterologi teriadi esofageal striktur, pada genitourinari dapat terjadi nekrosis tubular
ginjal, gagal ginjal, jaringan parut pada penis, vagina stenosis, dan pada kutaneus terdapat
jaringan parut dan deformitas kosmetik. Infeksi dapat kambuh karena penyembuhan ulserasi
yang lambat.[7]
II.9. Pengobatan
Pertama, dan paling penting adalah harus segera menghentikan penggunaan obat
penyebab yang

dicurigai. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang

dengan SSJ biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien NET dirawat dalam unit rawat luka
bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SSJ
biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis
luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan dengan kalori
tinggi harus diberi melalui infus untuk membantu pemulihan. Antibiotik

diberikan bila

dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.[2]


Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/NET.
Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama

memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini
menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko terjadinya infeksi yang
gawat, apalagi pada ODHA dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.[2]
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi
yang diberikan biasanya adalah :

Segera menghentikan penggunaan obat penyebab yang dicurigai.

Kortikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian


selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak
bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan,
namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan
nyawa.

Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari

sediaan lesi kulit dan darah. Antibiotika yang diberikan jarang

menimbulkan alergi,

berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat

nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2


kali/hari. Selain itu obat lain juga dapat digunakan misalnya siprofloksasin 2 x 400
mg iv dan seftriakson 2 g iv sehari.

Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk
usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk cetirizin dapat
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari, > 6 tahun : 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari.

Pada SSJ yang berat diiberikan terapi cairan dan elektrolit, serta diet tinggi kalori dan
protein secara parenteral. Dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, Nacl 9%,
dan Ringer laktat berbanding 1:1:1 dalam satu labu, setiap 8 jam.

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin perak.

Pada kasus purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000
mg iv sehari.

Lesi mulut diberi kenalog in orabase, betadine gargle, dan untuk bibir yang
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim
urea 10%.

Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis
setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan
pada bola mata.

Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya
perlekatan konjungtiva.

Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dengan dosis 0,2-0,75 g / kg berat badan per hari
selama empat hari berturut-turut. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS
dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.[14]

Transfusi darah 300 cc selama 2 hari jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari.[13]Efek
transfusi darah (whole blood) ialah imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia
prognosisnya

menjadi buruk, setelah pemberian transfusi leukosit cepat menjadi

normal. Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi
meningkatkan daya tahan tubuh.[12]

Indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET ialah :

Bila telah diobati dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan.
Bila terdapat purpura generalisata
Jika terdapat leukopenia
Setelah sembuh dari SSJ tidak boleh menggunakan kembali agen atau senyawa yang
penyebab. Obat dari kelas farmakologis yang sama dapat digunakan asalkan obat tersebut
secara struktural berbeda dengan obat penyebabnya. Karena faktor genetik diduga berperan
dalam kerusakan kulit dan timbulnya lepuh akibat obat, sehingga obat yang dicurigai tidak
boleh digunakan dalam darah pasien. Tidak ada statistik khusus tentang risiko penggunaan
ulang obat yang salah atau kemungkinan desensitisasi pada pasien dengan SSJ.[7]

II.10. Konsultasi
Konsultasi ke bagian oftalmologi untuk kelainan pada mata. Biasanya dokter mata
memberikan airmata artifisial, atau gentamisin tetes mata bila ada dugaan infeksi sekunder.
Secara rutin pasien juga kita konsultasi ke bagian kulit dan kelamin untuk perawatan yang
komprehensif. Konsultasi ke bagian bedah plastik sehubungan dengan perawatan lesi kulit
terbuka yang biasanya dirawat sebagaimana luka bakar.
II.11. Prognosis
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam
nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis
cukup memuaskan. Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi
sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa. Bila terdapat purpura yang luas
dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat
bronkopneumonia, dapat menyebabkan kematian.[12] Pengembangan gejala sisa yang serius,
seperti kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis. Sampai
dengan 15% dari semua pasien dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ) meninggal akibat
kondisi ini. Bakteremia dan sepsis meningkatkan resiko kematian.[7]
Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variable yang digunakan untuk meramalkan
faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN.
Skor SCORTEN

Faktor prognosis

Skor mortalitas

Umur > 40 tahun

SCORTEN 0-1 > 3.2%

Keganasan

SCORTEN 2 > 12.1%

Denyut jantung > 120 x/menit

SCORTEN 3 > 35,3%

Persentase detasemen epidermis >


10%

SCORTEN 4 > 58.3%

BUN level >10 mmol/L


Kadar glukosa serum > 14 mmol / L

SCORTEN 5 atau lebih > 90%

Kadar bikarbonat < 20 mmol / L

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi


mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata
disertai gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan
dengan pasti, pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat yang paling
sering adalah oxicam NSAID, sulfonamide, fenitoin, dan penisilin. Patogenesis SSJ sampai
saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan
reaksi hipersensitivitas tipe IV.
SSJ menyebabkan pengelupasan kulit kurang dari 10% permukaan tubuh, pada
selaput lendir dapat menimbulkan krusta kehitaman, dan pada mata menyebabkan
konjungtivitis purulenta. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk mendiagnosis
SSJ kecuali pemeriksaan histopatologis. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson
yaitu Nekrolisis Epidermal Toksik, Staphylococcal Scalded Skin Syndrom, dan Eritema
Multiforme. Dan komplikasi pada SSJ yang paling sering terjadi adalah bronkopneumonia.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dilakukan dengan menghentikan obat
penyebab, memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada
penderita dengan keadaan umum berat. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. IVIG
dapat diberikan untuk mencegah kerusakan kulit yang lebih lanjut dan antibiotik spektrum
luas untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam
nyawa. Jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan. Pada kasus
ini tingkat mortalitas dapat ditentukan dengan nilai SCORTEN.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Staff mayo clinic : Stevens-Johnson syndrome. Diunduh dari : http://www.

mayoclinic.com/health/Stevens-johnson-syndrome/ds0094
2.

Allan,

dr.

:Referat

sindrom

stevens

Johnson.

Diunduh

dari

http://www.scribd.com/doc/16796718/Referat-Steven-Johnson
3. Anonym., . Diunduh dari : http://hajaddb.co.cc/sindrom-stevens-johnson-ssj
4. Wikipedia : Stevens-Johnson syndrome. Direvisi terakhir : 28 Mei 2010.
5. Mansjoer, A. Suprohaita. Wardhani, WI. Setiowulan, W. Erupsi Alergi Obat. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta 2002 : 136-138.
6. Anonym. Diunduh dari : http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm
7. Parrillo J Steven, DO, FACOEP, FACEP : Stevens-Johnson Syndrome. Direvisi terakhir
25 Mei 2010. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview
8. Yusra Pintaningrum, Ari Baskoro, Agung Pranoto : Penatalaksanaan penderita Sindroma
Stevens-Johnson

dan

Toxic

Necrolysis

Epidermal.

Diunduh

dari

http://arekkardiounair.blogspot.com/2008/09/penatalaksanaan-seorang-penderita.html
9.Anonym.

Diunduh

dari

http://www.ebmedicine.net/topics.php?

paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg id=1021
10. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical Press. 2006. Diunduh dari : http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf 11.
Ariyanto Harsono, Anang Endaryanto : Sindrom stevens Johnson. Diakses tanggal : 30
Mei 2010. Diunduh dari : http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindrom-stevenjohnson/#more-34
12. Djuanda, A. Hamzah, M. Sindrom Stevens Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi 5. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2007 : 163-166.
13. Peter C. Schalock, MD : Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Necrolysis Epidermal

Toxic.

The

merck

manual.

2006.

Diunduh

dari

http://www.merck.com/mmhe/sec18/ch203/ch203e.html
14. Pierre-Dominique Ghislain MD, Jean-Claude Roujeau MD : Pengobatan reaksi obat yang
parah: Stevens-Johnson Syndrome, Toxic epidermal dan sindrom hipersensitif Necrolysis.
Dermatology

Online

Journal

8(1):

5.

2002.

Diunduh

http://dermatology.cdlib.org/DOJvol8num1/reviews/drugrxn/ghislain.html

dari

Anda mungkin juga menyukai