Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang subyektif dan tidak
menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial,
atau menggambarkan kondisi terjadi terjadinya kerusakan. Penyebab utama
absensi
pekerja
dan
siswa
di
sekolah
adalah
nyeri
dan
gangguan
1.
2.
3.
4.
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Memahami nyeri dan nyeri radikuler
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi nyeri dan nyeri radikuler
2. Mengetahui patofisiologi nyeri dan nyeri radikuler
3. Mengetahui cara menegakkan diagnosis nyeri dan nyeri radikuler
4. Mengetahui tatalaksana nyeri
1.4. Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
1. Melalui pemaparan tinjauan pustaka ini, diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan penulis dalam penulisan tinjauan pustaka.
2. Menambah pengetahuan dan pemahaman penulis mengenai nyeri dan
nyeri radikuler pada korban.
3. Mampu memahami tentang nyeri dan nyeri radikuler pada pasien.
1.4.2. Bagi Institusi
Sebagai referensi mengenai nyeri dan nyeri radikuler pada pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Nyeri
2.1.1. Definisi Nyeri
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP) nyeri adalah
pengalaman sensorik dan emosional yang subyektif dan tidak menyenangkan
terkait dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadi terjadinya kerusakan.1
Menurut British Pain Society nyeri adalah pengalaman emosional yang
terjadi di otak tidak seperti sentuhan, rasa, penglihatan, penciuman, ataupun
pendengaran, yang merupakan suatu pertanda adanya kerusakan potensial yang
terjadi dalam tubuh.2
2.1.2. Klasifikasi Nyeri
2.1.2.1.
Nyeri Berdasarkan Lokasi
Nyeri sering diklasifikasikan berdasarkan lokasi dari tubuh. Ada dua skema
yang tumpang tindih mengenai nyeri berdasarkan sistem atau anatomi tubuh.
Skema yang pertama mengklasifikasikan nyeri dilihat dari perspektif regional
(contoh, nyeri punggung, sakit kepala, nyeri panggul). Sedangkan skema yang
lain mengklasifikasikan nyeri dilihat dari sistem tubuh (contoh muskuloskeletal,
neurologis, vaskular). Namun, dua skema ini hanya mengarahkan nyeri menjadi
satu dimensi (yaitu, dimana atau mengapa pasien menjadi sakit) dan hal ini
mempersulit dalam hal penentuan masalah neurofisiologis yang mendasari
masalah tersebut.3
2.1.2.2.
Nyeri diklasifikasi menjadi 3 jenis jika berdasarkan durasi nyeri, yaitu nyeri
akut, nyeri sub-akut, dan nyeri kronik. Nyeri akut merupakan nyeri yang
durasinya terjadi kurang dari 1 bulan serta mempunyai tujuan protektif seperti
untuk memperingatkan bahaya ataupun sebagai tanda batas menggunakan bagian
tubuh yang terluka atau sakit, contoh dari nyeri ini adalah nyeri pasca operasi.
Sedangkan nyeri sub-akut didefinisikan sebagai nyeri yang durasinya terjadi lebih
dari 1 bulan dan kurang dari 6 bulan. Selanjutnya, nyeri kronik merupakan nyeri
yang durasinya lebih dari 6 bulan dan berdasarkan etiologinya nyeri kronik dapat
dibedakan menjadi nyeri yang tidak berhubungan dengan kanker (benign/nonmalignant pain) dan nyeri yang berhubungan dengan kanker (malignant cancer).
Ada satu klasifikasi nyeri lagi yaitu nyeri akut berulang, merupakan rasa nyeri
yang memiliki pola dan menetap beberapa waktu yang terjadi karena episode
nyeri yang terisolasi, contoh dari tipe nyeri ini adalah sakit kepala, gangguan
motilitas gastrointestinal, penyakit sendi degeneratif, gangguan vaskular dan
kolagen.4,5
2.1.2.3.
Somatik
Fraktur
Viseral
Obstruksi usus
Neuropatik
Neuropati akibat
Luka sayatan
Konstipasi
Endometriosis
Metastase
diabetik
Tumor Pancoast
Neuralgia postherpes
Keterangan :
0
: Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan: secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang: Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
7-9
10
Sumber
Sel-sel rusak
Trombosis
Kininogen plasma
Sel-sel mast
Asam arakidonat dan sel rusak
Asam arakidonat dan sel rusak
Aferen primer
Menimbulkan
nyeri
++
++
+++
+
dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri
mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih
besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat
(12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di
medulla spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut
sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh
serat aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di
kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua
anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan
menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek
yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior
medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah
cedera dengan segala akibatnya.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT)
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan
oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis
medulla
spinalis
tidak
semuanya
diteruskan
ke
sentral
lewat
traktus
spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk
dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi
eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek
sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel
nyeri.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang
sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya
menghasilkan sensibel nyeri.
10
PERCEPTION
MODULATION
TRANSMISSION
TRANSDUCTION
makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang
melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma
Tissue Damage
Inflammation
Sympathetic Terminals
12
13
14
Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi
nyeri. Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut
aferen primer. Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk
mencari alternatif pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA)
banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat
memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat
menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada
mekanisme wind-up dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi,
sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian
antargonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat
reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan
sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif
lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan
penyekat reseptor NMDA11.
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya
dalam proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada
proses nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor
NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin
menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric
Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan NO
(Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi
normal sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik
yang akan merusak sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas,
terjadi seiring dengan aktivasi reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan
demikian, obat-obat yang dapat menghambat produksi dari NO akan mempunyai
peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri.
Fenomena wind-up merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana
memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri
akut sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya
mengurangi kemungkinan terjadinya wind-up. Idealnya, pemberian analgesik
telah dimulai sebelum pembedahan.
15
16
mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh
endorphin yang dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara
eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.
3.
Betha endorphin.
Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor
zat ini dibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di
substansia gelatinosa.
4.
Opioid
PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua dorsalis
medulla sinalis juga kaya dengan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan
mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor opioid di
substansia gelatinosa.
2.2.
Nyeri Radikuler
2.2.1. Definisi Nyeri Radikuler
Nyeri radikuler adalah nyeri yang diakibatkan oleh keadaan radikulopati
yang berpangkal pada radiks saraf dan menjalar ke daerah persyarafan radiks
yang terkena, dimana daerah ini sesuai dengan kawasan dermatom.
2.2.2. Klasifikasi Nyeri Radikuler
Nyeri radikuler dibedakan menjadi 3 berdasarkan lokasi radiks saraf yang
diserang yang dikenal dengan keadaan radikulopati, yaitu:
1. Radikulopati lumbar
Radikulopati lumbar merupakan problema yang sering terjadi yang
disebabkan oleh iritasi atau kompresi radiks saraf daerah lumbal. Ia juga sering
17
sebanyak lumbal atau cervical. Hal ini menyebabkan area thoraks lebih jarang
menyebabkan sakit pada spinal. Namun, kasus yang sering yang ditemukan pada
bagian ini adalah nyeri pada infeksi herpes zoster.
Pengetahuan anatomi, pemeriksaan fisik diagnostik dan pengetahuan
berbagai penyebab untuk radikulopati sangat diperlukan sehingga diagnosa dapat
ditegakkan secara dini dan dapat diberikan terapi yang sesuai.5
Terdapat 5 ruas tulang vertebra lumbalis dan diantaranya dihubungkan
dengan discus intervertebralis.Vertebra lumbalis ini menerima beban paling besar
dari tulang belakang sehingga strukturnya sangat padat. Tiap vertebra lumbalis
terdiri dari korpus dan arkus neuralis. Korpus vertebra lumbal paling besar
dibandingkan korpus vertebra torakal dan cervikal. Arkus neuralis terdiri dari 2
pedikel, prosesus tranversus, faset artikularis (prosesus artikularis) superior dan
inferior, lamina arkus vertebra dan prosesus spinosus. Tiap vertebra dihubungkan
dengan diskus intervertebralis, beberapa ligament spinalis dan prosesus
artikularis/faset artikularis/sendi faset. Diskus intervertebralis berfungsi sebagai
shock absorbers dan bila terjadi rupture ke dalam kanalis spinalis dapat menekan
radiks-radiks saraf.12
Pada vertebra lumbalis yang lebih atas, hubungan antara prosesus artikularis
arahnya vertical, faset inferior menghadap ke lateral dan faset superior menghadap
ke medial. Akibat susunan anatomi yang dem,ikian menyebabkan terbatasnya
rotasi ke aksial yang memungkinkan fleksi atau ekstensi.
Pada dua vertebra lumbalis yang paling bawah, hubungan antara faset
artikularis tersebut lebih horizontal sehingga mobilitas rotasi aksialnya lebih besar
atau luas. Hal ini menjelaskan sering terjadinya herniasi diskus pada lumbal 4 dan
5.
Manifestasi klinis radikulopati pada daerah lumbal antara lain :
Rasa nyeri pada daerah sakroiliaka, menjalar ke bokong, paha, hingga ke
betis, dan kaki. Nyeri dapat ditimbulkan dengan Valsava maneuvers
(seperti : batuk, bersin, atau mengedan saat defekasi).
19
20
21
L3-4
L4-5
L5-S1
C4-5
C6-7
C7-T1
L4
L5
S1
C5
C7
C8
Muscles
Quadrice
Peroneal
Gluteus
Deltoid,
Triceps,
Intrinsi
affected
ps
s,
maximus,
biceps
wrist
c hand
anterior
gastrocne
exrensor
muscles
tibial,
mius,
extensor
plantar
hallucis
flexor of
toes
Lateral
Shoulde
Thumb,
Index,
space
Root
affected
Area of
Anterior
longus
Great
pain
thigh,
toe,
foot,
r,
middle
fourth
and
medial
dorsum
small toe
anterior
fingers
fifth
sensory
shin
of foot
loss
arm,
finger
radial
forearm
22
Reflex
Knee
Posterior
Ankle
affected
jerk
tibial
jerk
Straight
Many
Aggravat
Aggravat
leg
not
es
es
raising
increase
pain
root
Biceps
-
Triceps
-
Triceps
-
root
pain
pain
2.2.3. Etiologi Nyeri Radikuler
Jika ditinjau dari penyebabnya ada 3 proses yang dapat menyebabkan
nyeri radikuler, yaitu:
1. Proses kompresif
Kelainan-kelainan yang bersifat kompresif sehingga mengakibatkan
radikulopati adalah seperti : hernia nucleus pulposus (HNP) atau herniasi diskus,
tumor medulla spinalis, neoplasma tulang, spondilolisis dan spondilolithesis,
stenosis spinal, traumatic dislokasi, kompresif fraktur, scoliosis dan spondilitis
tuberkulosa, cervical spondilosis
2. Proses inflammatori
Kelainan-kelainan inflamatori sehingga mengakibatkan radikulopati adalah
seperti : Gullain-Barre Syndrome dan Herpes Zoster
3. Proses degeneratif
Kelainan-kelainan yang bersifat degeneratif sehingga mengakibatkan
radikulopati adalah seperti Diabetes Mellitus
2.3. Respon tubuh terhadap Nyeri
Nyeri
nyeri oleh serat afferent selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu
dorsalis medulla spinalis, juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu
anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis. Nyeri pada dasarnya
berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin yang sesuai dengan
intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri melalui serat saraf
afferent diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla
23
spinalis dan juga diteruskan melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu
anterior medulla spinalis memberikan respon segmental seperti peningkatan
muscle spasm (hipoventilasi dan penurunan aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan
menginhibisi fungsi organ visera (distensi abdomen, gangguan saluran
pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi respon suprasegmental
yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan imunologi yang menimbulkan
stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terjadap psikologis pasien seperti
interpretasi nyeri, marah dan takut.
kebutuhan
oksigen
tubuh
dan
produksi
karbondioksida
24
dan
25
nitrogen,
intoleransi
karbohidrat,
dan
meningkatkan
lipolisis.
26
karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat
digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul
sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
The
most
intense
pain
imaginable
Gambar 17. Visual Analog scale7
27
28
ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga harus
mengetahui lokasi dari nyeri yang diderita apakah dirasakan diseluruh tubuh atau
hanya pada bagian tubuh tertentu. intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk
menetapkan derajat nyeri. Tanyakan pula keadaan yang memperberat atau
memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang penyakit sebelumnya, penggobatan
yang pernah dijalani, dan alergi obat.
Anamnesis mulai mempersempit penyebab nyeri yang dialami.
a. Radikulopati Servikal
Mendapatkan riwayat penyakit yang rinci merupakan hal yang penting
untuk menegakkan diagnosis dari radikulopati servikal. Pemeriksa harus
mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1) Pertama, apa keluhan utama pasien (misalnya : nyeri, mati rasa (baal),
kelemahan otot), dan lokasi dari gejala?
Skala analog visual dari 0-10 dapat digunakan untuk menentukan
tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Gambar anatomi nyeri juga dapat membantu dokter dalam
memberikan suatu tinjauan singkat pola nyeri pada pasien.
2) Apakah aktivitas dan posisi kepala dapat memperparah atau
meringankan gejalanya?
3) Apakah pasien pernah mengalami cedera diarea leher? Jika iya, kapan
terjadinya, seperti apa mekanisme terjadi cederanya, dan apa yang
dilakukan pada saat itu?
4) Apakah pasien pernah mengalami episode gejala serupa sebelumnya
atau nyeri leher yang terlokalisir?
5) Apakah pasien memiliki gejala sugestif dari myelopathy servikal,
seperti perubahan gaya berjalan, disfungsi usus atau kandung kemih,
atau perubahan sensoris atau kelemahan pada ekstremitas bawah?
6) Apa pengobatan sebelumnya yang telah dicoba oleh pasien (baik berupa
resep dokter atau mengobati sendiri) :
Penggunaan dari es dan/atau penghangat
Obat-obatan (seperti : acetaminophen, aspirin, nonsteroidal anti
29
7)
Operasi
Tanyakan riwayat sosial pasien, meliputi olahraga dan posisi
adanya
ketidaknyamanan
pada
leher
dan
lengan.
menceritakan
bahwa
mereka
dapat
30
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan
patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk
mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan
stimulus simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan
Glasgow come scale rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses
patologi di intracranial.
Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat
penting dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia,
hiperastesia, hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting
31
spasme otot).
Perubahan refleks.
32
Spurlings Sign)
Merupakan modifikasi dari tes Lasegue yang mana dilakukan tes
Lasuge disertai dengan dorsofleksi kaki (Bragards Sign) atau dengan
dorsofleksi ibu jari kaki (Sicards Sign). Dengan modifikasi ini, stretching
nervus iskiadikus di daerah tibial menjadi meningkat, sehingga
33
Tes ini sama dengan tes Lasegue, tetapi yang diangkat tungkai yang
sehat. Tes positif bila timbul nyeri radikuler pada tungkai yang sakit
(biasanya perlu sudut yang lebih besar untuk menimbulkan nyeri radikuler
dari tungkai yang sakit).
4)
34
Naffziger Tests
35
Tujuan utama foto polos Roentgen adalah untuk mendeteksi adanya kelainan
structural.
b. MRI dan CT-Scan
MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang utama untuk mendeteksi
kelainan diskus intervertebra. MRI selain dapat mengidentifikasi kompresi
medulla spinalis dan radiks saraf, juga dapat digunakan untuk mengetahui
beratnya perubahan degenerative pada diskus intervertebra. MRI memiliki
keunggulan dibandingkan dengan CT-Scan, yaitu adanya potongan sagital dan
dapat memberikan gambaran hubungan diskus intervertebra dan radiks saraf yang
jelas,sehingga MRI merupakan prosedur skrining yang ideal untuk menyingkirkan
diagnose banding gangguan structural pada medulla spinalis dan radiks saraf.
CT-Scan dapat memberikan gambaran struktur anatomi tulang vertebra
dengan baik, dan memberikan gambaran yang bagus untuk herniasi diskus
intervertebra. Namun demikian, sensitivitas CT-Scan tanpa myelography dalam
mendeteksi herniasi masih kurang bila dibandingkan dengan MRI.
c. Myelography
Pemeriksaan ini memberikan gambaran anatomis yang detail, terutama
elemen osseus vertebra. Myelography merupakan proses yang invasif, karena
melibatkan penetrasi pada ruang subarakhnoid. Secara umum myelogram
dilakukan sebagai tes preoperative dan seringkali dilakukan bersamaan dengan
CT-Scan.
d. Nerve Conduction Study (NCS) dan Electromyography (EMG)
NCS dan EMG sangat membantu untuk membedakan asal nyeri atau untuk
menentukan keterlibatan saraf, apakah dari radiks, pleksus saraf, atau saraf
tunggal. Selain itu, pemeriksaan ini juga membantu menentukan lokasi kompresi
radiks saraf. Namun bila diagnosis radikulopati sudah pasti secara pemeriksaan
klinis, maka pemeriksaan elektrofisiologis tidak dianjurkan.
e. Laboratorium
36
cepat?
Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan
37
38
cenderung memiliki efek samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari siklooksigenase 2 (COX-2) misal meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya
minimal terhadap sistem COX gastrointestinal dan ginjal. Pemberian AINS dalam
jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping daripada pemberian singkat
pada periode perioperatif. Antagonis H2 (misal ranitidin) yang diberikan bersama
AINS bisa melindungi lambung dari efek samping.
.
b. Obat analgetika narkotik
Obat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak terdapat
didaerah susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk menanggulangi nyeri akut
dengan intensitas berat. Terdapat 5 macam reseptor opioid, Mu, Kappa, Sigma,
Delta dan Epsilon.
Obat analgetika narkotika yang digunakan dapat berupa preparat
alkaloidnya atau preparat sintetiknya. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan
efek depresi pusat nafas bila dosis yang diberikan relatif tinggi. Efek samping
yang tidak tergantung dosis, yang juga dapat terjadi adalah mual sampai muntah
serta pruritus. Pemakaian untuk waktu yang relatif lama dapat diikuti oleh efek
toleransi dan ketergantungan. Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan untuk
pemberian secara suntik, baik intra muskuler maupun intravena. Pemberian
intravena, dapat secara bolus atau infus. Dapat diberikan secara epidural atau intra
tekal, baik bolus maupun infuse (epidural infus). Preparat opioid Fentanyl juga
tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara intranasal atau dengan patch
dikulit. Sudah tersedia dalam bentuk tablet (morfin tablet). Juga tersedia dalam
kemasan supositoria.
Penggunaan obat narkotik ini harus disertai dengan pencatatan yang detail
dan ketat, serta harus ada pelaporan yang rinci tentang penggunaan obat ini ke
instansi pengawas penggunaan obat-obat narkotika. Dengan ditemukannya
39
reseptor opioid didaerah kornua dorsalis medulla spinalis di tahun 1970 an, obat
ini dapat diberikan secara injeksi kedalam ruang epidural atau kedalam ruang
intratekal. Bila cara ini dikerjakan, dosis obat yang digunakan menjadi sangat
kecil, menghasilkan efek analgesia yang sangat baik dan durasi analgesia yang
sangat lama/panjang. Pemakaian obat analgetika narkotika secara epidural atau
intratekal, dapat dikombinasi dengan obat-obat Alfa-2 agonist, antikolinesterase
atau adrenalin. Dengan kombinasi obat-obat ini, akan didapat efek analgesia yang
sangat adekuat serta durasi yang lebih panjang, sedangkan dosis yang diperlukan
menjadi sangat kecil.
Mulai
Skor nyeri
2 atau 3
Tidak
Observasi rutin
Ya
Skor
sedasi
0 atau1
Tidak
Ya
Tunggu
10 menit
Frekuensi
napas
>8/menit?
Tidak
Ya
Tekanan darah
sistolik
>100 mmHg
Tidak
Ya
Sudah berlangsung
lebih dari 60 menit
sejak analgesia terakhir
Tidak
Ya
Berikan dosis lanjut im
dari analgesia sesuai resep
Gambar 14. Algoritme untuk pemberian opioid im. Skor nyeri: 0, tidak ada
nyeri; 1 nyeri ringan;2, nyeri sedang; 3, nyeri berat. Skor sedasi:
0, bangun; 1, ngantuk kadang-kadang; 2 kebanyakan tertidur;
3, sukar dibangunkan. Morfin:berat 40-65 kg: 7,5 mg; berat 65100 kg: 10 mg : Naloxone:200 g iv, sesuai kebutuhan.
40
Maksimum
Maksimum
untuk infiltrasi
untuk anestesi
Lidocaine
lokal
3 mg/kg
pleksus
4 mg/kg
(lignocaine)
Lidocaine
5 mg/kg
7 mg/kg
adrenalin (epinefrin)
Bupivacaine
Bupivacaine dengan
1,5 mg/kg
2 mg/kg
2 mg/kg
3,5 mg/kg
adrenalin(epinefrin)
Prilocaine
Prilocaine dengan
5 mg/kg
5 mg/kg
7 mg/kg
8 mg/kg
(lignocaine) dengan
adrenalin(epinefrin)
Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat
dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik.
Analgesia yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang
diberikan intratekal hanyalah obat yang direkomendasikan dapat diberikan secara
intratekal. Obat anesthesia lokal tidak boleh langsung disuntikkan kedalam
pembuluh darah. Memberikan analgesia tambahan untuk semua jenis operasi.
Bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh terhadap kesadaran. Teknik
sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir prosedur akan
menghasilkan analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak menggunakannya.
41
Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan untuk berlangsung beberapa jam
atau hari jika digunakan teknik kateter. Komplikasi bisa terjadi berupa:
Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi mengikuti
WHO Three Step Analgesic Ladder yaitu:
Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti
intermiten.
Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat
42
Step 1
43
NYERI RINGAN
Farmakoterapi Tingkat I
Nama Obat
Aspirin
Dosis
Jadwal
4 jam sekali
325-650 mg
Asetaminofen
Farmakoterapi Tingkat II
Ibuprofen
200 mg
12,5 mg
NYERI SEDANG
Farmakoterapi Tingkat VI
Nama Obat
Dosis
Jadwal
Tramadol
50-100 mg
4-6 jam
NYERI BERAT
Farmakoterapi Tingkat VII
Nama Obat
Indikasi
Mekanisme
Bila terapi non
narkotik tidak efektif & terdapat riwayat terapi narkotik untuk nyeri
Morfin
3.
Analgesia Balans
Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan
44
adekuat diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini dapat diikuti oleh timbulnya
efek samping.
Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan menggunakan
beberapa macam obat analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang
berbeda. Dapat digunakan dua atau lebih jenis obat dengan titik tangkap yang
berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing individu obat tersebut
menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kwalitas analgesia yang lebih
adekuat dengan durasi yang lebih panjang. Dengan demikian efek samping yang
dapat ditimbulkan oleh masing masing obat dapat dihindari.
Inhibisi
desenden
Otak
NE/5HT
Th/
Lesi Reseptor
opioid
Medulla
Spinalis
Th/
GABAPENTIN
Karbamasepin
Okskarbasepin
PHENYTOIN
Mexiletine
Lidocain, dll
TCA
Tramadol
Opioid
dll
Sensitisasi
sentral
(NMDA,
Calcium)
Th/
GABAPENTIN
Okskarbasepin
Lamotrigin
Ketamin
Dextromethorphan
45
4. Analgesia Preemptif
Bila seseorang tertimpa cedera dan yang bersangkutan menderita nyeri
(berat) dan nyeri ini tidak ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh perubahan
kepekaan reseptor nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu dorsalis)
terhadap stimulus yang masuk. Ambang rangsang organ-organ tersebut akan
turun. Terjadinya plastisitas sistem saraf. Tindakan mencegah terjadinya plastisitas
sistem saraf dengan memberikan obat-obat analgetika sebelum trauma terjadi
disebut tindakan preemptif analgesia. Tindakan anestesia merupakan salah satu
contoh preemptif analgesia ini. Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri
akan mereda atau hilang. Pembedahan merupakan saat yang tepat untuk
melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif
karena awitan dari sensari nyeri diketahui.
5. PCA (patient controlled administration)
Patient controlled Administration (PCA) merupakan metode yang saat ini
tengah popular dan digunakan luas terutama di USA, bila opioid analgesia
parenteral harus diberikan lebih dari 24 jam. PCA ini begitu popular disana karena
selain menghindarkan dari injeksi intramuskular, onset yang dihasilkan juga cepat
dan bisa dikontrol sendiri oleh pasien. Bisa menghasilkan manajemen nyeri
berkualitas tinggi. PCA memungkinkan pasien mengendalikan nyerinya sendiri.
Perawat tidak diperlukan untuk memberikan analgesia dan pasien merasakan nyeri
mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada :
Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.
Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat
Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan
efek samping.
Dana : pompa infus PCA mahal.
Tabel 4. Regimen PCA tipikal
Obat: morfin
Konsentrasi: 1 mg/ml
Dosis bolus: 1 mg
Waktu stop: 5 menit
Dosis bolus: jumlah obat yang diberikan oleh pompa bila
pasien bisa menentukan kebutuhan.
46
47
c. Muscle Relaxants
- Contoh: Cyclobenzaprine
- Mekanisme Aksi : Relaksan otot rangka yang bekerja secara sentral
dan menurunkan aktivitas motorik pada tempat asal tonik somatic
yang mempengaruhi baik neuron motor alfa maupun gamma.
- Dosis: Dewasa : 5 mg per oral setiap 8 jam (3x1 hari)
d. Analgesik
- Contoh: Tramadol (Ultram)
- Mekanisme Aksi : Menghambat jalur nyeri ascenden, merubah
persepsi serta respon terhadap nyeri, menghambat reuptake
-
diperlukan
e. Antikonvulsan
- Contoh: Gabapentin (Neurontin)
- Mekanisme Aksi : Penstabil membran, suatu analog struktural dari
penghambat neurotransmitter gamma-aminobutyric acid (GABA),
-
Sindroma kauda
Stenosis kanal (setelah terapi konservatif tidak berhasil)
49
BAB III
SIMPULAN
Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang subyektif dan
tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadi terjadinya kerusakan. Mekanisme
nyeri melibatkan empat tahap proses, yaitu tahap transduksi, transmisi, modulasi
dan persepsi. Pada tahap sensitisasi terjadi sensititasi perifer dan sentral, dimana
pada sensitisasi perifer, terdapat kerusakan jaringan yang melepaskan mediator
inflamasi yang bereaksi langsung secara lokalis, sedangkan pada sensitisasi
perifer, respon terjadi pada tingkatan medula spinalis. Untuk menegakkan
diagnosis nyeri dan nyeri radikuler, dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang dilakukan mencakup kualitas nyeri,
lokasi, variasi, intensitas, derajat dan keadaan yang memperberat serta penyakit
yang menyertainya. Sedangkan pada pemeriksaan fisik, diperlukan pemeriksaan
neurologi khusus seperti ROM, tes Lhermitte, tes distraksi, tes lasegue (straight
leg raising test), modifikasi/variasi tes lasegue (bragards sign, sicards sign, dan
spurlings sign), tes lasegue silang atau oconell test, nerve pressure sign,
naffziger tests. Pada pasien ini juga perlu dilakukan pemeriksaan psikologis untuk
membantu pemilihan obat-obatan yang akan digunakan. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis antara lain pemeriksaan foto
polos, MRI dan CT Scan, myelografi dan pemeriksaan laboratorium.
Penatalaksanaan nyeri dapat dilakukan secara nonfarmakologis, farmakologis dan
operatif. Penatalaksanaan nonfarmakologis mencakup modalitas fisik, kognitifbehavioral dan psikoterapi, sedangkan farmakologis mengikuti WHO Three-Step
Analgesic Ladder.
50
DAFTAR PUSTAKA
1. (International Association for the Study of Pain. 2012. IASP Taxonomy
www.iasp-pain.org. (diakses tanggal 26 Juni 2015)
2. (British Pain Society. 2015. Useful Definitions
and
Glossary.
Lumbosacral
tanggal
28
Juni
2015
darihttp://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi43.pdf.
12. Iskandar.(2002). Radikulopati thorakalis. Diperoleh tanggal 28 Juni 2015
darihttp://www.perdossi.or.id/show_file.html?id=149
13. Malueka, RG. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press.
Yogyakarta.
14. Turana Y, Rasyid A, Wibowo BS. Gambaran klinis , radiologis dan EMG
pada nyeri servikal. Departemen Neurologi FKUI / RSCM
51