Anda di halaman 1dari 19

S1 Kep A.

2009 Stikes
St. Elisabeth Medan
Wednesday, February 15, 2012

imunologi HIV
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan
AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang benama sel CD4 sehinggan dapat
merusak system kekebalan tubuh manusia yang akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan
penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun.
Virus menyerang CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak virus HIV
baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat
diperlukan untuk system kekebalan tubuh. Tanpa kekebala tubuh maka ketika diserang
penyakit maka tubuh tidak memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal
dunia hanya karena pilek biasa.
Di Indonesia kasus HIV AIDS pertama kali ditemukan di Bali tahun 1987. Sejak
tahun 1999 terjadi fenomena baru penyebaran HIV AIDS cenderung menggeser transmisi
melalui kontak antar darah terutama pada pengguna narkotika intra vena atau intravenous
drug user (IDU). Pada tahun 2000 terjadi penyebaran pandemic HIV secara nyata melalui
pekerja seks di Indonesia. Selama tahun 2002 orang yang rawan tertular HIV di Indonesia
antara 13 juta-20juta, sedangkan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) diperkirakan antara
90.000-130.000 orang. Tahun 2006 diperkirakan terdapat 5,3-8,7 juta orang beresiko tinggi
tertular HIV dengan jumlah terbesar adalah lelaki pelanggan penjajah seks. Pemakai
narkotika suntik diestimasi 191.000-248.000 dan memiliki pasangan seksual sekitar 85.700
orang.
Secara fisiologis HIV menyerang sistim kekebalan tubuh penderitanya. Jika ditambah
dengan stress psikososial spiritual yang berkepanjangan pada pasien terinfeksi HIV, maka
akan memepercepat terjadinya AIDS, bahkan meningkatkan angka kematian. Menurut Ross
(1997), jika stress mencapai tahap kelelahan (eshaused stage), maka dapat menimblkan
kegagalan fungsi system imun yang memperparah keadaan pasien serta mempercepat
terjadinya AIDS.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa Stikes ST. Elisabeth Medan
2. Tujuan Khusus

Agar mahasiswa dapat mengerti tentang: Konsep Medis HIV dan Asuhan Keperawatan HIV

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
1. KONSEP DASAR MEDIK
a. Pengertian
HIV (Human Immunodefisienci Virus) merupakan virus sitopatik dari family Retro
virus. HIV dapat masuk ke dalam tubuh mansia melalui berbagai cara yaitu secara vertical
dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung, persalinan, menyusui), horizontal
yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi (asas sterilisasi kurang
diperhatikan terutama pada pemakaian jarum suntik bersama-sama secara bergantian, tato,
tindik, transfusi darah, transplantasi organ, tindakan hemodialisa, perawatan gigi) dan trans
seksual (homoseksual maupun heteroseksual). Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik
secara langsung dengan diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh
darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa seperti pada kontak seksual.
Virus HIV terdiri dari 2 sub tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat
karena replikasinya lebih cepat. Secara structural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas
sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar-melebar. Pada pusat
lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merpakaan komponen
fungsional dan structural. 3 gen tersebut adalah gag, pol, dan env. Gag berarti group antigen,
pol mewakili polymerase, dan env adalah singkatan dari envelope (Hoffmann, Rockstroh,
Kamps, 2006). Gen mengode protein inti. Gen pol menngode enzim reverse transcriptase,

1.
2.
3.
4.
5.

protease, dan integrase. Gen env mengode komponen structural HIV yang dikenal dengan
glikoprotein.
HIV ini oleh Barre-Sinoussi, Montagnier, dan kawan-kawannya di institut Pasteur
pada tahun 1983 menyebutkan sebagai limfodenopati akibat virus (LAV= Lymphadenopathy
associated virus). Pada tahun 1984 Popovic, Gallo, dan kerabat kerjanya menggambarkan
adanya perkembangan sel yang tetap berlangsung dan produktif setelah diinfeksi oleh virus,
dan berlangsung bersama-sama dengan kedua retrovirus yang telah dinyatakan sebelumnya.
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan
dampak atau efek dari perkembangbiakan virus HIV dalam tubuh mahluk hidup. Virus HIV
membutuhkan waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat
berbahaya. Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya sitem kekebalan
tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh
virus HIV.
Ketika kita terkena virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS
dibutuhkan waktu yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS yang
mematikan.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu.
Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B
menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan.
Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi
neurologist.

b. Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang disebut Human Immunodeficiency
Virus(HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis
pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo
di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan

internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV. HIV terdiri dari 2 tipe yaitu
virus HIV-1 dan HIV-2. Keduanya merupakan virus RNA (Ribonucleic Acid) yang
termasuk retrovirus dan lentivirus. Karakteristik HIV (Harris dan Bolus, 2008):
Tidak dapat hidup di luar tubuh manusia
Merupakan virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia
Kerusakan sistem kekebalan tubuh menimbulkan kerentanan terhadap infeksi
penyakit
Semua orang dapat terinfeksi HIV
Orang dengan HIV + terlihat sehat dan merasa sehat
Orang dengan HIV + tidak tahu bahwa dirinya sudah terinfeksi HIV
Seorang pengidap HIV yang belum menunjukkan gejala dapat menularkan kepada
orang lain. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kepastian infeksi HIV yaitu dengan tes
darah.
Virus HIV termasuk virus RNA positif yang berkapsul. Diameternya sekitar 100 nm dan
mengandung dua salinan genom RNA yang dilapisi oleh protein nukleokapsid. Pada
permukaan kapsul virus terdapat glikoprotein transmembran gp41 dan glikoprotein
permukaan gp120. Di antara nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein. Selain
itu juga terdapat tiga protein spesifik untuk virus HIV, yaitu enzim reverse
transkriptase(RT), protease (PR), dan integrase (IN). Retrovirus juga memiliki sejumlah gen
spesifik sesuai dengan spesies virusnya, antara lain gag (fungsi struktural virus), pol (fungsi
struktural dan sintesis DNA), serta env (untuk fusi kapsul virus dengan membran plasma sel
pejamu) (Martin-Carbonero and Soriano, 2010).
Virus HIV termasu ke dalam family Retrovirus sub family Lentivirinae. Virus family
ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini menyebabkan retrovirus
mampu mengubah informasi genetiknya ke dalam bentuk yang terintegrasi di dalam
informasi genetic dari sel yang diserangnya. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus
membelah diri, informasi genetic virus juga ikut diturunkan.
Setelah HIV menginfeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut
semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi
(perubahan antibody negative menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi. Pada masa
ini, tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
serta test HIV belum bias mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga sebagai
periode jendela (window periode). Kemudian dimulai infeksi HIV asimtomatik yaitu masa
tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan
jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunanmenjadi
cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi
AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200 sel/L.
Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung dengan
DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS
pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahunhampir semua orang yang terinfeksi HIVmenunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang
kronis, sesuai dengan perusakan system kekebalan tubuhyang juga bertahap.
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan
gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan BB, demam lama, pembesaran kelenjar

getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur herpes, dll. Virus HIV yang telah berhasil
masuk ke dalam tubuh seseorang, juga akan menginfeksi berbagai macam sel, terutama
monosit, makrofag, sel-sel microglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrite pada
kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel
mikrogilia di otak adalah encefalopati dan pada sel epitel usus adalah disre kronis
c. patofisiologi dan Pathway
Patofisiologi:
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T
helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan
pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas
seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk
zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV
mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas
bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA
agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang
biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi
irreversibel dan berlangsung seumur hidup.
Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di
infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun
akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4.
setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita
akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara
terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6
bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan
pada orang dewasa.
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena
penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma
kaposi. HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan
kerusakan neurologis.

Pathway HIV:

d. Manifestasi klinis
Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang penderita
AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan pada umumnya
adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada berbagai penderita
penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya dikemukakan sebagai
berikut :
Rasa lelah dan lesu
Berat badan menurun secara drastis sekitar 10% per bulan
Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam
Mencret dan kurang nafsu makan
Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
Pembengkakan leher dan lipatan paha
Radang paru-paru

Kanker kulit
e. Komplikasi
beberapa komplikasi pada penyakit AIDS:
1. Oral lesi:
Karena kandidia, herpes simpleks, sarkoma kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis HIV,
leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan BB, keletihan dan catat.
2. Neurologik:
kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung HIV pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.
Enselophaty akut: karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan
elektrolit, meningitis/ ensefalitis. Dengan efek: sakit kepala, malaise, demam, paralise total/
parsial.
Infark serebral kornea sifilis, meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis
Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh serangan HIV,
Gastrointestinal
f. Prognosa

Selama beberapa tahun, Antiretroviral Therapy Cohort Collaboration telahmemantau


perkembangan pasien HIV-positif setelah mulai terapi antiretroviral (ART).
Sebagaimana dilaporkan dalam jurnal AIDS edisi 31 Mei 2007, para peneliti
memperkirakan prognosis selama lima tahun oleh pasien yang belum pernah diobati dan baru
memulai ART, dengan mempertimbangkan tanggapan imunologi dan virologi terhadap
pengobatan.
Analisis gabungan ini termasuk data dari 12 kelompok di Eropa dan Amerika Utara,
mewakili 20.379 orang dewasa yang mulai ART antara 1995 dan 2003.
Model ketahanan hidup parametrik dipakai untuk memperkirakan kejadian kumulatif
setelah lima tahun terhadap kejadian atau kematian terdefinisi AIDS yang baru, dan kematian
saja, sejak mulai ART dan sejak enam bulan setelah mulai ART. Data dianalisis
secara intention-to-continue-treatment (mangkir dianggap gagal), mengabaikan perubahan
dan penghentian pengobatan.
Hasil
1.005 pasien meninggal selama masa tindak lanjut 61.798 orang-tahun.
1.303 pasien lain mengembangkan AIDS.
Sejumlah 10.046 pasien (49%) memulai ART baik dengan jumlah CD4 di bawah 200
atau setelah didiagnosis AIDS.
Risiko AIDS atau kematian dalam lima tahun sejak memulai ART berkisar mulai
5,6% hingga 77%, tergantung pada usia, jumlah CD4, viral load, stadium klinis, dan riwayat
penggunaan narkoba suntikan.
Untuk kematian saja, kisarannya adalah 1,8% hingga 65%.
Sejak enam bulan setelah mulai memakai ART, kisaran terkait untuk AIDS atau
kematian adalah 4,1% hingga 99%.
Kisaran terkait untuk kematian saja adalah 1.3% hingga 96%.

g. Pemeriksaan Diagnostik
Terdapat beberapa tes yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa HIV AIDS
1. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA (enzyme-linked
immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat
sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif
sehingga menyebabkan false positif, diantaranya penyakit autoimun ataupun karena infeksi.
Sensivitas ELISA antara 98,1%-100% dan dapat mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV
dalam darah.
2. Western Blot
Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan orang yang
tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan
membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa
menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi
setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test Western Blot tetap tidak bisa
disimpulkan, maka test Western Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan.
3. PCR (Polymerase chain reaction)
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV.
Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.
4. P24 antigen test
5. Kultur HIV
h. Penatalaksanaan
A. Konseling dan Edukasi
Konseling dan edukasi perlu diberikan segera sesudah diagnosis HIV/AIDS
ditegakkan dan dilakukan secara berkesinambungan. Bahkan, konseling dan edukasi
merupakan pilar pertama dan utama dalam penatalaksanaan HIV/AIDS; karena keberhasilan
pencegahan penularan horizontal maupun vertikal, pengendalian kepadatan virus dengan
ARV, peningkatan CD4, pencegahan dan pengobatan IO serta komplikasi lainnya akan
berhasil
jika
konseling
dan
edukasi berhasil dilakukan dengan baik. Pada konseling dan edukasi perlu diberikan
dukungan
psikososial supaya ODHA mampu memahami, percaya diri dan tidak takut tentang status dan
perjalanan alami HIV/AIDS, cara penularan, pencegahan serta pengobatan HIV/AIDS dan
IO; semuanya ini akan memberi keuntungan bagi ODHA dan lingkunganny
B. Antiretrovirus (ARV)
Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (Highly Active Antiretroviral
Therapy), yang menggunakan kombinasi minimal tiga obat antiretroviral. Terapi ini terbukti
efektif dalam menekan replikasi virus (viral load) sampai dengan kadar di bawah ambang
deteksi. Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
ARV akan diberikan dalam jangka panjang. ARV dapat diberikan apabila infeksi HIV telah

ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan dibuktikan secara laboratories


(Hammer et al., 2008).
Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang
termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS atau menunjukkan gejala yang sangat berat tanpa
melihat jumlah CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan
jumlah limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+
200-350 sel/mm3 dapatditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan
limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV
dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien
dengan jumlah limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000
kopi/ml (Dolin, 2008).
Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat ARV yang
berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah inhibitor dari enzim yang
diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse transcriptase (RT) dan protease. Inhibitor RT
ini terdiri dari inhibitor dengan senyawa dasar nukleosid (nucleoside-based inhibitor) dan
nonnukleosid (nonnucleoside-based inhibitor). Obat ARV terdiri dari beberapa golongan
seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI), protease inhibitor (PI) (Gatell, 2010).
Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor atau NRTI merupakan analog nukleosida.
Obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim reverse transkriptaseselama proses
transkripsi RNA virus pada DNA host. Analog NRTI akan mengalami fosforilasi menjadi
bentuk trifosfat, yang kemudian secara kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida.
Akibatnya rantai DNA virus akan mengalami terminasi sedangkan analog NNRTI akan
berikatan langsung dengan enzim reverse transkriptase dan menginaktifkannya. Obat yang
termasuk dalam golongan NRTI antara lain Abacavir (ABC), Zidovudine (AZT),
Emtricitabine (FTC), Didanosine (ddI), Lamivudine (3TC) dan Stavudine (d4T), Tenofovir.
Obat yang termasuk NNRTI antara lain Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP), Delavirdine
(Elzi et al., 2010).
Protese Inhibitor (PI) bekerja dengan cara menghambat protease HIV. Setelah sintesis
mRNA dan poliprotein HIV terjadi, tahap selanjutnya protease HIV akan memecah
poliprotein HIV menjadi sejumlah protein fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion
dan perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak
infeksius terhadap sel. Yang termasuk golongan PI antara lain Ritonavir (RTV), Atazanavir
(ATV), Fos-Amprenavir (FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir (LPV) and Saquinavir (SQV)
(Maggiolo, 2009).
Terapi lini pertama yang direkomendasikan WHO adalah kombinasi dua obat
golongan NRTI dengan satu obat golongan NNRTI. Kombinasi ini mempunyai efek yang
lebih baik dibandingkan kombinasi obat yang lain dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit
karena terdapat generiknya. Analog thiacytadine (3 TC atau FTC) merupakan obat pilihan
dalam terapi lini pertama. 3 TC atau FTC dapat dikombinasi dengan analog nukleosida atau
nukleotida seperti AZT, TDF, ABC atau d4T. Didanosine (ddI) merupakan analog adenosine
direkomendasikan untuk terapi lini kedua. Obat golongan NNRTI, baik EFV atau NVP dapat
dipilih untuk dikombanasikan dengan obat NRTI sebagai terapi lini pertama. Terapi lini
pertama dapat juga dengan mengkombinasikan 3 obat golongan NRTI apabila obat golongan
NNRTI sulit untuk diperoleh. Pemilihan regimen obat ARV sebagai lini pertama dapat dilihat
pada gambar 2.7.2. (Kitahata et al. 2009).

Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan dapat
digunakan untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV. Kegagalan
terapi dapat dilihat secara klinis dengan menilai perkembangan penyakit secara imunologis
dengan penghitungan CD4+ dan atau secara virologi dengan mengukur viral-load. Kegagalan
terapi terjadi apabila terjadi penurunan jumlah CD4+. Selain itu terjadinya toksisitas terkait
dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari obat, sehingga terjadi disfungsi
organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari
hasil pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari
macam kombinasi obat yang dipakai (Maggiolo, 2009).
Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom pemulihan kekebalan
(immuno reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu keadaan yang dapat muncul
pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik
beberapa minggu setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi
oportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengan
gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula
menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik. Apabila terjadi penurunan jumlah CD4+
dalam masa pengobatan terapi lini pertama dan didapat tanda terjadinya toksisitas dapat
dipertimbangkan untuk mengganti terapi (Maggiolo, 2009).
C. Terapi Infeksi Opportunistik
Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas AIDS, dengan
angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik disesuaikan dengan infeksi-infeksi
yang sebetulnya berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar
kita, sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita
(Paterson et al., 2000).
Hampir 65% penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi pulmonologis dimana
pneumonia karena P.carinii merupakan infeksi oportunistik tersering, diikuti oleh infeksi M
tuberculosis, pneumonia bakterial dan jamur, sedangkan pneumonia viral lebih jarang
terjadi.Alasan terpenting mengapa sering terjadi komplikasi pulmonologis pada infeksi HIV
adalah konsekuensi anatomis paru sehingga terpapar secara kronis terhadap bahan-bahan
infeksius maupun noninfeksius dari luar (eksogen), di sisi lain juga terjadi paparan secara
hematogen terhadap virus HIV (endogen) yang melemahkan sistem imun. Komplikasi
pulmonologis, terutama akibat infeksi oportunistik merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas utama serta bisa terjadi pada semua stadium dengan berbagai manifestasi
(Paterson et al., 2000).
Manajemen PCP tergantung dari derajat berat-ringannya pneumonia yang terjadi.
Pada pneumonia yang sedang-berat atau berat, penderita harus di rawat di rumah sakit karena
mungkin memerlukan bantuan ventilator (sekitar 40% kasus). Obat pilihan adalah
kotrimoksazol intravena dosis tinggi. Terapi antibiotika ini diberikan selama 21 hari.
Penderita yang berespon baik dengan antibiotika intravena, dapat melanjutkan terapi dengan
antibiotika per oral untuk jika sudah memungkinkan. Hipoksemia yang signifikan (PaO2 < 70
mmHg atau gradien arterial-alveoler > 35), memerlukan kortikosteroid dan diberikan
sesegera mungkin (dalam 72 jam) belum terapi antibiotika untuk menekan risiko komplikasi
dan memperbaiki prognosis.16,18 Pada kasus-kasus ringan-sedang dapat diberikan
kotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960 mg selama 21 hari. Alternatif terapi lainnya untuk
PCP berat adalah pentamidin intravena (pilihan kedua) dan klindamisin plus primakuin
(pilihan ketiga), sedangkan PCP ringan-sedang dapat diberikan dapsone plus trimetoprim,

klindamisin plus primakuin, atovaquone atau trimetrexate plus leucovorin (Harris dan Bolus,
2008).
Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem penting pada infeksi
HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada sekitar 11% penderita. Berdasarkan data
World Health Organization (WHO), pada akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta orang penderita
infeksi HIV di dunia mengalami ko-infeksi M. tuberculosis dan meningkatkan risiko
kematian sebesar 2 kali lipat dibandingkan tanpa tuberkulosis, dan seiring dengan derajat
beratnya imunosupresi yang terjadi (Gatell, 2010).
Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya sama dengan tanpa
infeksi HIV. Saat pemberian obat pada koinfeksi TBC-HIV harus memperhatikan jumlah
CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada. Namun pada beberapa atudi mendapatkan
tingginya angka kekambuhan pada penderita yang menerima Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
selama 6 bulan dibandingkan dengan 9-12 bulan (Harris dan Bolus, 2008).
Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama rifampicin karena
rangsangannya terhadap aktivitas sistem enzim liver sitokrom P450 yang memetabolisme PI
dan NNRTI, sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar subterapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat. Protease
inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan
berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya
berakibat tidak efektifnya sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah
sampai kadar sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya
resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat
sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obatobat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya obat ARV dan terapi tuberkulosis serta
meningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga pemakaian bersama obat-obat tersebut tidak
direkomendasikan (Gatell, 2010).
Sarkoma Kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi keganasan yang paling sering
dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Penyakit yang disebabkan oleh Cytomegalovirus ini
ditandai dengan lesi-lesi tersebar di daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan
bawah, muka dan rongga mulut. Bentuk lesi berupa makula eritematosa agak menimbul,
berwarna hijau kekuningan sampai violet. Cara penularannya melalui kontak seksual.
Karsinoma sel skuamosa tipe in situ maupun invasif di daerah anogenital; limfoma terutama
neoplasma sel limfosit B; keganasan kulit non melanoma serta nevus displastik dan
melanoma, merupakan neoplasma lainnya yang sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS.
Seperti halnya keganasan lain, tetapi sarkoma Kaposi akan lebih efektif bila dalam keadaan
baru dan besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan imunomodulator interferon telah dicoba,
yang sebenarnya lebih ditujukan untuk memperpanjang masa hidup, sehingga lama terapi
sulit ditentukan (Sheng Wu et al., 2008).
Dalam keadaan tidak dapat mengurus dirinya sendiri atau dikhawatirkan sangat
menular, sebaiknya penderita dirawat di Rumah Sakit tipe A atau B yang mempunyai
berbagai disiplin keahlian dan fasilitas ICU. Perawatan dilakukan di Unit sesuai dengan
gejala klinis yang menonjol pada penderita. Harapan untuk sembuh memang sulit, sehingga
perlu perawatan dan perhatian penuh, termasuk memberikan dukungan moral sehingga rasa
takut dan frustrasi penderita dapat dikurangi. Guna mencegah penularan di rumah sakit
terhadap penderita lain yang dirawat maupun terhadap tenaga kesehatan dan keluarga
penderita, perlu diberikan penjelasan-penjelasan khusus. Perawatan khusus diperuntukkan
dalam hal perlakuan spesimen yang potensial sebagai sumber penularan. Petugas yang

merawat perlu mempergunakan alat-alat pelindung seperti masker, sarung tangan, yang jasa
pelindung, pelindung mata, melindungi kulit terluka dari kemungkinan kontak dengan cairan
tubuh penderita dan mencegah supaya tidak terkena bahan/sampah penderita (MartinCarbonero and Soriano, 2010).
D. Pencegahan
Cara penularan dan beberapa hal yang perlu diperhatikan agar tidak tertular oleh virus
HIV adalah
1) Berperilaku seksual secara wajar
Risiko tinggi penularan secara seksual adalah para pelaku homoseksual, biseksual dan
heteroseksual yang promiskuitas. Penggunaan kondom pada hubungan seks merupakan usaha
yang berhasil untuk mencegah penularan; sedangkan spermisida atau vaginal spongetidak
menghambat penularan HIV.
2) Berperilaku mempergunakan peralatan suntik yang suci hama.
Penularan melalui peralatan ini banyak terdapat pada golongan muda pengguna
narkotik suntik, sehingga rantai penularan harus diwaspadai. Juga penyaringan yang ketat
terhadap calon donor darah dapat mengurangipenyebaran HIV melalui transfusi darah(38).
3)
Penularan lainnya yang sangat mudah adalah melalui cara perinatal.
Seorang wanita hamil yang telah terinfeksi HIV, risiko penularan kepada janinnya
sebesar 50%. Untuk mencegah agar virus HIV tidak ditularkan ke orang lain dapat dilakukan
dengan cara bimbingan kepada penderita HIV yang berperilaku seksual tidak aman, supaya
menjaga diri agar tidak menjadi sumber penularan. Pengguna narkotik suntik yang seropositif
agar tidak memberikan peralatan suntiknya kepada orang lain untuk dipakai; donor darah
tidak dilakukan lagi oleh penderita seropositif dan wanita yang seropositif lebih aman bila
tidak hamil lagi (UNAIDS, 2002)
2. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1) Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
2) Penampilan umum : pucat, kelaparan.
3) Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari
berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
4) Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan
perasaan takut, cemas, meringis.
5) Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang interest
pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan atensi dan
konsentrasi, halusinasi dan delusi.
6) HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir atau
mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
7) Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan, kaku kuduk,
kejang, paraplegia.
8) Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
9) Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
10) Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan, batuk
produktif atau non produktif.
11) Gastro Intestinal : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare,
inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
12) Genitalia : lesi atau eksudat pada genital.

13) Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.
Pengkajian 11 Pola Gordon:
1. Pola Persepsi Kesehatan
- Adanya riwayat infeksi sebelumya.
- Pengobatan sebelumnya tidak berhasil.
- Riwayat mengonsumsi obat-obatan tertentu, mis., vitamin; jamu.
- Adakah konsultasi rutin ke Dokter.
- Hygiene personal yang kurang.
- Lingkungan yang kurang sehat, tinggal berdesak-desakan.
2. Pola Nutrisi Metabolik
- Pola makan sehari-hari: jumlah makanan, waktu makan, berapa kali sehari makan.
- Kebiasaan mengonsumsi makanan tertentu: berminyak, pedas.
- Jenis makanan yang disukai.
- Napsu makan menurun.
- Muntah-muntah.
- Penurunan berat badan.
- Turgor kulit buruk, kering, bersisik, pecah-pecah, benjolan.
- Perubahan warna kulit, terdapat bercak-bercak, gatal-gatal, rasa terbakar atau perih.
3. Pola Eliminasi
- Sering berkeringat.
- Tanyakan pola berkemih dan bowel.
4. Pola Aktivitas dan Latihan
- Pemenuhan sehari-hari terganggu.
- Kelemahan umum, malaise.
- Toleransi terhadap aktivitas rendah.
- Mudah berkeringat saat melakukan aktivitas ringan.
- Perubahan pola napas saat melakukan aktivitas.
5. Pola Tidur dan Istirahat
- Kesulitan tidur pada malam hari karena stres.
- Mimpi buruk.
6. Pola Persepsi Kognitif
- Perubahan dalam konsentrasi dan daya ingat.
- Pengetahuan akan penyakitnya.
7. Pola Persepsi dan Konsep Diri
- Perasaan tidak percaya diri atau minder.
- Perasaan terisolasi.
8. Pola Hubungan dengan Sesama
- Hidup sendiri atau berkeluarga
- Frekuensi interaksi berkurang
- Perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran
9. Pola Reproduksi Seksualitas
- Gangguan pemenuhan kebutuhan biologis dengan pasangan.
- Penggunaan obat KB mempengaruhi hormon.
10. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stress
- Emosi tidak stabil
- Ansietas, takut akan penyakitnya

Disorientasi, gelisah
11. Pola Sistem Kepercayaan
Perubahan dalam diri klien dalam melakukan ibadah
Agama yang dianut

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan imunodefenisi seluler
2. Intoleransi aktivitas. Hal ini berhubungan dengan kelemahan, kelelahan, efek samping
pengobatan, demam, malnutrisi, dan gangguan pertukaran gas (sekunder terhadap infeksi
paru atau keganasan)
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif. Hal ini berhubungan dengan penurunan energy, kelelahan,
infeksi respirasi,skresi trakeobronkial, keganasan paru, dan pneumotoraks
4. Diare berhubungan dengan gangguan GI
5. Volume cairan kurang, berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat sekunder
terhadap lesi oral dan diare
6. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi
nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
7. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit kronis, alopsia, penurunan berat badan,
dan gangguan seksual.
8. Isolasi social, berhubungan dengan stigma, ketakutan orang lain terhadap penyebaran infeksi,
ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran HIV, moral, budaya, agama, penampilan fisik,
serta gangguan harga diri dan gambaran diri.
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1 : Resiko infeksi berhubungan dengan imunodefenisi seluler
Tujuan : Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan komplikasinya dengan kriteria tak ada tanda-tanda
infeksi baru, lab tidak ada infeksi oportunis, tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka
atau eksudat.

Intervensi
Rasionalisasi
Monitor tanda-tanda infeksi baru.
Untuk pengobatan dini
Gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan
Mencegah pasien terpapar oleh kuman
invasif.
patogen
Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar
Mencegah bertambahnya infeksi
terhadap lingkungan yang patogen.
Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai
Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan
order.
Atur pemberian antiinfeksi sesuai order
Mempertahankan kadar darah yang terapeutik

Diagnosa 2: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, kelelahan, dan gangguan pertukaran
gas (sekunder terhadap infeksi paru atau keganasan).
Tujuan : Pasien mampu melaksanakan aktivitas sesuai jadwal yang telah dibuat.
Hasil yang diharapkan :

Intervensi
Rasionalisasi
Kaji respon pasien terhadap aktivitas,
Untuk mengamati batas aktivitas yang mampu
perhatikan
frekuensi
nadi,
tekanan dilakukan oleh pasien dengan baik
darahdispnoe atau nyeri dada; keletihan dan
kelemahan berlebihan
Instruksikan pasien untuk tetap menghemat
Untuk menghindari kelelahan
energy
Berikan
dorongan
untuk
melakukan
Agar pasien mampu melakukan semua
aktivitas/perawatan diri bertahap jika dapat aktivitas kembali seacara bertahap.
ditoleransi. Berikan bantuan sesuai kebutuhan
Evaluasi peningkatan intoleransi aktivitas
Untuk mengetahui batas kemampuan pasien
setelah tindakan dilakukan

Diagnosa 3: Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energy, kelelahan, infeksi
respirasi, sekresi trakeobronkial, keganasan paru dan pneumotoraks.
Tujuan: mempertahankan jalan nafas yang adekuat

Intervensi
Rasionalisasi
Kaji fungsi pernapasan, contohnya bunyi
Untuk memantau keefektifan pernafasan
napas, kecepatan irama, kedalaman dan
penggunaan otot aksesori
Kaji kemampuan untuk mengeluarkan secret,
Untuk mengetahui apakah tindakan Suction
adanya hemoptisis
harus dilakukan atau tidak
Pertahankan pasien pada posisi yang nyaman
Untuk melapangkan jalan nafas
dan aman, seperti meninggikan posisi tempat
tidur
Agar pasien merasa nyaman untuk bernafas
Pertahankan polusi lingkungan minimum
(memperoleh oksigen yang cukup)

Diagnosa 4 : Diare berhubungan dengan infeksi GI


Tujuan : Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi minimal dengan kriteria perut
lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal, kram perut hilang.

Intervensi
Rasionalisasi
Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan
Untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda
adanya darah.
luka pada saluran pencernaan
Untuk mengetahui adanya hiperperistaltik
Auskultasi bunyi usus
usus (pada diare)
Untuk menghindari kram pada perut
Atur agen antimotilitas dan psilium /abdomen
(Metamucil) sesuai order
Untuk meringankan kerja saluran cerna
Berikan ointment A dan D, vaselin atau
Untuk mengetahui ada tidaknya lesi pada
zinc oside
GI
Mendeteksi adanya darah dalam feses

Diagnosa 5: Volume cairan kurang, berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat sekunder
terhadap lesi oral dan diare
Tujuan : mempertahankan status hidrasi yang adekuat

Intervensi
berikan penjelasan tentang pentingnya

cairan pada pasien dan keluarga


observasi pemasukan dan pengeluaran

cairan
anjurkan pasien untuk banyak minum

(>8gelas)

observasi kelancaran tetesan infus

kolaborasi dengan pasien untuk terapi


cairan (oral/ parenteral)

Rasionalisasi
Untuk mempermudah
(minum) pada pasien

pemberian

cairan

Untuk mengetahui keseimbangan cairan


Untuk pemenuhan kebutuhan cairan
Untuk pemenuhan kebutuhan cairan dan
mencegah terjadinya odem
Untuk pemenuhan kebutuhan cairan yang
tidak terpenuhi (secara parenteral).

Diagnosa 6: Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi
nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
Tujuan : Infeksi HIV tidak ditransmisikan, tim kesehatan memperhatikan universal precautions dengan
kriteriaa kontak pasien dan tim kesehatan tidak terpapar HIV, tidak terinfeksi patogen lain
seperti TBC.

Intervensi
Rasionalisasi
Anjurkan pasien atau orang penting lainnya
Mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain
metode mencegah transmisi HIV dan kuman
patogen lainnya.
Mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain
Gunakan darah dan cairan tubuh precaution
bila merawat pasien.

Diagnosa 7: Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit kronis, alopsia, penurunan berat badan,
dan gangguan seksual.
Tujuan : mengembalikan rasa percaya diri pasien dan dapat menerima keadaan tubuhnya.

Intervensi
Rasionalisasi
Bantu memaksimalkan kemampuan yang
memanfaatkan kemampuan dapat menutupi
dimiliki pasien saat ini.
kekurangan.
Eksplorasi aktivitas baru yang dapat
memfasilitasi
dengan
memanfaatkan
dilakukan.
keletihan.

Diagnosa 8: Isolasi social, berhubungan dengan stigma, ketakutan orang lain terhadap penyebaran infeksi,
ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran HIV, moral, budaya, agama, penampilan fisik,
serta gangguan harga diri dan gambaran diri.
Tujuan : membuat masyarakat mau bersosialisasi dengan pasien

Intervensi
Tentukan respon klien terhadap kondisi,

perasaan tentang diri, keprihatinan atau


kekhawatiran tentang respons orang lain,
rasa kemampuan untuk mengendalikan
situasi, dan rasa harapan.
Diskusikan kekhawatiran tentang pekerjaan

dan keterlibatan rekreasi. Catatan potensi


masalah yang melibatkan keuangan,
asuransi, dan perumahan.

Identifikasi ketersediaan dan stabilitas


sistem dukungan keluarga dan masyarakat.
Mendorong kontak dengan keluarga dan
teman-teman.

Membantu klien membedakan antara isolasi


dan kesepian atau kesendirian, yang

mungkin oleh pilihan.

Waspada terhadap isyarat-isyarat verbal dan


nonverbal, seperti penarikan, pernyataan
putus asa, dan rasa kesendirian. Menentukan

keberadaan dan tingkat risiko pikiran untuk


bunuh diri.
Mengidentifikasi sumber daya masyarakat,
kelompok
self-help,
dan
program
rehabilitasi atau penghentian obat , seperti

yang ditunjukkan.

Rasionalisasi
Bagaimana menerima individu dan
berhubungan dengan situasi akan
membantu
menentukan
rencana
perawatan dan intervensi.

Klien berpotensi terminal, yang


membawa sebuah stigma, menghadapi
masalah besar dengan kemungkinan
kehilangan pekerjaan, dan mereka
menjadi tidak mampu merawat diri
sendiri secara mandiri.
Informasi ini sangat penting untuk
membantu
perawatan
klien
merencanakan masa depan.
Banyak klien takut mengatakan
keluarga, dan teman-teman karena
takut penolakan, dan beberapa klien
menarik diri karena perasaan penuh
gejolak.
Memberikan kesempatan bagi klien
untuk mewujudkan kontrol ia harus
membuat keputusan tentang pilihan
untuk mengurus diri tentang masalah
ini.
Indikator keputusasaan dan bunuh diri
dapat hadir. Ketika isyarat diakui,
klien
biasanya
bersedia
untuk
mengungkapkan pikiran dan rasa
keterasingan dan keputusasaan.
Menyediakan kesempatan untuk
menyelesaikan masalah yang mungkin
berkontribusi terhadap rasa kesepian
dan isolasi, risiko penularan, dan rasa
bersalah

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
HIV (Human Immunodefisienci Virus) merupakan virus sitopatik dari family Retro
virus. HIV dapat masuk ke dalam tubuh mansia melalui berbagai cara yaitu secara vertical
dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung, persalinan, menyusui), horizontal
yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi (asas sterilisasi kurang
diperhatikan terutama pada pemakaian jarum suntik bersama-sama secara bergantian, tato,
tindik, transfusi darah, transplantasi organ, tindakan hemodialisa, perawatan gigi) dan trans
seksual (homoseksual maupun heteroseksual).
Diagnosa yamg dapat ditegakkan dari pasien dengan HIV adalah:
1. Resiko infeksi berhubungan dengan imunodefenisi seluler
2. Intoleransi aktivitas. Hal ini berhubungan dengan kelemahan, kelelahan, efek samping
pengobatan, demam, malnutrisi, dan gangguan pertukaran gas (sekunder terhadap infeksi
paru atau keganasan)
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif. Hal ini berhubungan dengan penurunan energy, kelelahan,
infeksi respirasi,skresi trakeobronkial, keganasan paru, dan pneumotoraks
4. Diare berhubungan dengan gangguan GI
5. Volume cairan kurang, berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat sekunder
terhadap lesi oral dan diare
6. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi
nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
7. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit kronis, alopsia, penurunan berat badan,
dan gangguan seksual.
8. Isolasi social, berhubungan dengan stigma, ketakutan orang lain terhadap penyebaran infeksi,
ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran HIV, moral, budaya, agama, penampilan fisik,
serta gangguan harga diri dan gambaran diri.

DAFTAR PUSTAKA
Kurniawati, Nunuk Dian., Nursalam. 2009. Asuha Keperawatan pada pasien terinfeksi HIV/ AIDS.
Jakarta : Salemba Medika
Posted by S1 Kep A. 2009 Stikes St. Elisabeth Medan at 4:47 AM
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest

No comments:

Post a Comment\

Anda mungkin juga menyukai