OLEH :
PUTU NIHITA TRISA
14.901.0970
Infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik seperti aflatoksin dapat menyebabkan
terjadinya hepatoma tanpa melalui sirosis hati.
b. Virus Hepatitis C
Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor resiko
penting dari hepatoma. Infeksi HCV telah menjadi penyebab paling umum karsinoma
hepatoselular di Jepang dan Eropa, dan juga bertanggung jawab atas meningkatnya insiden
karsinoma hepatoselular di Amerika Serikat, 30% dari kasus karsinoma hepatoselular
dianggap terkait dengan infeksi HCV. Sekitar 5%-30% orang dengan infeksi HCV akan
berkembang menjadi penyakit hati kronis. Dalam kelompok ini, sekitar 30% berkembang
menjadi sirosis, dan sekitar 1%-2% pertahun berkembang menjadi karsinoma
hepatoselular. Resiko karsinoma hepatoselular pada pasien dengan HCV sekitar 5% dan
muncul 30 tahun setelah infeksi. Penggunaan alkohol oleh pasien dengan HCV kronis
lebih berisiko terkena karsinoma hepatoselular dibandingkan dengan infeksi HCV saja.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan antivirus pada infeksi HCV kronis
dapat mengurangi resiko karsinoma hepatoselular secara signifikan.
c. Sirosis Hati
Sirosis hati merupakan faktor resiko utama hepatoma di dunia dan melatarbelakangi
lebih dari 80% kasus hepatoma. Penyebab utama sirosis di Amerika Serikat dikaitkan
dengan alkohol, infeksi hepatitis c, infeksi hepatitis b. Setiap tahun 3-5% dari pasien
dengan sirosis hati akan menderita hepatoma. Hepatoma merupakan penyebab utama
kematian pada sirosis hari. Pada otopsi pada pasien dengan sirosis hati, 20%-80%
diantaranya telah menderita hepatoma.
d. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur
aspergillus. Dari percobaan pada hewan diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen.
Aflatoksin B1 ditemukan di seluruh dunia dan terutama banyak berhubungan dengan
makanan berjamur. Pertumbuhan jamur yang menghasilkan aflatoksin berkembang subur
pada suhu 13oC, terutama pada makanan yang menghasilkan protein. Di Indonesia terlihat
sebagai makanan yang tercemar dengan aflatoksin seperti kacang-kacangan, umbi-umbian
(kentang rusak, umbi rambat rusak, singkong dll), jamu, bihun, dan beras berjamur.
Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1
menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53. Berbagai penelitian dengan
menggunakan biomarker menunjukkan ada korelasi kuat antara pajanan aflatoksin dalam
diet dengan morbiditas dan mortalitas hepatoma.
e. Obesitas
Suatu penelitian pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat diketahui
bahwa terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5 kali akibat kanker pada
kelompok individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-40 kg/m 2) dibandingkan dengan
kelompok individu yang IMT nya normal. Obesitas merupakan faktor resiko utama untuk
non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), khususnya non-alcoholic statohepatitis
(NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian berlanjut menjadi
hepatoma.
f. Diabetes Melitus
Tidak lama ditengarai bahwa DM menjadi faktor resiko baik untuk penyakit hati
kronis maupun untuk hepatoma melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis
non-alcoholic (NASH). Disamping itu, DM dihubungkan dengan kadar insulin dan
insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker.
Indikasi kuatnya asosiasi antara DM dan hepatoma terlihat dari banyak penelitian.
Penelitian oleh EI Serang dkk. Yang melibatkan 173.643 pasien DM dan 650.620 pasien
bukan DM menunjukkan bahwa insidensi hepatoma pada kelompok DM lebih dari 2x lipat
diabandingkan dengan insidensi hepatoma kelompok bukan DM.
g. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat alkohol
(>50-70 g/hari atau >6-7 botol/hari) selama lebih dari 10 tahun meningkatkan resiko
karsinoma hepatoselular 5 kali lipat. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik
langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan
hepatoma pada pengidap infeksi HBV atau HVC. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik
terjadinya HCC juga meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg positif atau antiHCV positif. Ini menunjukkan adana peran sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV
maupun infeksi HCV.
3. Patofisiologi
Virus Hepatitis B
Virus Hepatitis C
Aflatoksin
Integritas
DNA
virus ke DNA sel
Mutasi
gen
Inflamasi
Peningkatan
poliferasi hepatosit
Sirosis hepatic
Hepatoma
Anoreksia
Asites
Ketidakseimbangan
Nutrisi Kurang dari
Kebutuhan Tubuh
Dinding perut
meregang
Penekanan
Diafragma
Nyeri Akut
Gangguan
pertukaran gas
Pembedahan
Insisi bedah
Diskontinuitas
jaringan
Resiko Infeksi
Nyeri Akut
4. Penentuan Stadium
a. Stadium I : satu fokal tumor berdiameter <3 cm
b. Stadium II : satu fokal tumor berdiameter >3 cm. Tumor terbatas pada segmen I
atau multifokal tumor terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri
hati.
c. Stadium III : tumor pada segmen I meluas ke lobus kiri (segmen IV) atau ke
lobus kanan segmen V dan VIII atau tuumor dengan invasi
peripheral ke system pembuluh darah (vascular) atau pembuluh
empedu (biliary duct) tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau
lobus kiri hati.
d. Stadium IV : multifocal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan
lobus kiri hati. Atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah
hati (intra hepaticavaskular) ataupun pembeluh empedu (biliary
duct) atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati
(extra hepatic vessel) seperti pembuluh darah vena limpa (vena
lienalis) atau vena cava inferior atau adanya metastase ke luar dari
hati (extra hepatic metastase).
5. Manifestasi Klinis
a. Gangguan nutrisi
b. Penurunan berat badan
c. Kehilangan kekuatan
d. Anoreksia
e. Anemia
f. Nyeri abdomen dapat ditemukan disertai dengan pembesaran hati yang cepat
serta permukaan yang teraba ireguler pada palpasi.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Biopsi
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy) terutama
ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada pemeriksaan
radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma.
Cara melakukan biopsy dengan dituntun oleh USG ataupun CT scan mudah,
aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan di biopsy dapat terlihat
jelas pada layar televise berikut dengan jarum biopsi yang berjalan persis menuju
tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan
akurasi yang tinggi karena benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum biopsy
itu dan bukanlah jaringan sehat di sekitar tumor.
b. Radiologi
Untuk mendeteksi kanker hati stadium dini dan berperan sangat menentukan
dalam pengobatannya. Kanker hepato selular ini bisa dijumpai di dalam hati berupa
benjolan berbentuk kebulatan (nodule) satu buah, dua buah atau lebih atau bisa
sangat banyak dan diffuse (merata) pada seluruh hati atau berkelompok di dalam hati
kanan atau kiri membentuk benjolan besar yang bisa berkapsul.
c. Ultrasonografi
Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati yang
normal tampak warna ke abuan dan texture merata (homogen).
USG conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker hati diameter 2
cm - 3cm saja. Tapi bila USG conventional ini dilengkapi dengan perangkat lunak
harmonic system bisa mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm- 2 cm, namun nilai
akurasi ketepatan diagnosanya hanya 60%.
d. CT-scan
CT-scan sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu
potongan gambar yang dengan USG gambar itu hanya bisa dibuat sebagian-seagian
saja. CT scan dapat membuat gambar kanker dalam tiga dimensi dan empat dimensi
dengan sangat jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan kanker ini dengan
jaringan tubuh sekitarnya.
e. Angiografi
Angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenranya. Kanker yang
kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa
saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angiografi bisa
memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya.
f. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI yang dilengkapi dengan perangkat
lunak
Magnetic
Resonance
Angiography (MRA) sudah pula mampu menampilkan dan membuat peta pembuluh
darah kanker hati ini.
g. PET (Positron Emission Tomography)
PET (Positron Emission Tomography) yang merupakan alat pendiagnosis kanker
menggunakan
glukosa
radioaktif
yang
dikenal
sebagai
fluorine18
atau
Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan radiologi
dan biopsi. Sebelum ditentukan pilihan terapi, hendaklah dipastikan ukuran kanker, lokasi
kanker di bagian hati yang mana, apakah lesinya tunggal (soliter) atau banyak (multiple),
atau merupakan satu kanker yang sangat besar berkapsul atau kanker sudah merata pada
seluruh hati, serta ada tidaknya metastasis (penyebaran) ke tempat lain di dalam tubuh
penderita ataukah sudah ada tumor thrombus di dalam vena porta dan apakah sudah ada
sirosis hati. Tahap penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu tindakan non-bedah dan
tindakan bedah.
a. Tindakan Bedah Hati Digabung dengan Tindakan Radiologi
Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan bedah
yaitu reseksi (pemotongan) baian hati yang terkena kanker dan juga reseksi daerah
sekitarnya. Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan membuang seluruh kanker dan
tidak akan menyisakannya lagi jaringan kanker pada penderita, karena bila tersisa
tentu kankernya akan tumbuh lagi menjadi besar, untuk itu sebelum menyayat
kanker, dokter ini harus tahu pasti batas antara kanker dan jaringan yang sehat.
Radiologi lah satu-satunya cara untuk menetukan perkiraan pasti batas itu yaitu
dengan pemeriksaan CT angiography yang dapat memperjelas batas kanker dan
jaringan sehat, sehingga ahli bedah tahu di mana harus dibuat sayatan. Maka harus
dilakukan CT angiography terlebih dahulu sebelum di operasi.
Dilakukan CT angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah kanker
sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung jawab memberikan
makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk dapat tumbuh subur.
Sesudah itu barulah dilakukan tindakan radiologi Trans Arterial Embolisasi (TAE)
yaitu suatu tindakan memasukkan suatu zat yang dapat menyumbat pembuluh darah
(feeding artery) sehingga menghentikan suplai makanan ke sel-sel kanker dan
dengan demikian kemampuan hidup (viability) dari sel-sel kanker akan sangat
menurun sampai menghilang.
Sebelum dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans Arterial Chemotherapy
(TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih dahulu kanker disiram
racun (chemotherapy) sehingga sel-sel kanker yang terkena racun dan ditutup lagi
suplai makanannya maka sel-sel kanker benar-benar akan mati dan tak dapat
berkembang lagi dan bila sel-sel ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu di
khawatirkan, karena sudah tak mampu lagi bertumbuh. Tindakan TAE digabung
dengan tindakan TAC yang dilakukan oleh dokter spesialis radiologi disebut
tindakan Trans Arterial Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk
tujuan suporrtif yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk
mengecilkan ukuran kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah.
Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan pada
dokter ahli patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompetensi dan dapat
menentukan dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir sayatan sudah bebas
kanker. Bila benar pinggir sayatan bebas kanker artinya sudah pasti tidak ada lagi
jaringan kanker yang masih tertinggal di dalam hati penderita. Kemudian diberikan
kemoterapi yang bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampu lagi tumbuh
berkembang biak.
Pemberian kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam bagian
onkologi (medical oncologist) ini secara intravena yaitu epirubucin/dexorubucin 80
mg digabung dengan mytomycine C 10 mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia
harapan hidup penderita per lima tahun 90% dan per 10 tahun 80%.
b. Tindakan Non-bedah Hati
Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada stadium
lanjut. Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah :
1) Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE)
Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen yang
datang bersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada kanker timbul
banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan dan oksigen, dengan
demikian terjadi banyak pembuluh darah baru (non-vascularisasi) yang
merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah yang sudah ada disebut
pembuluh darah pemberi makanan (feeding artery). Tindakan TAE ini
menyumbat feeding artery.
Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha (arteri
femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di perut (aorta
abdominalis) yang seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery
hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding artery ini
disumbat (di embolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam sehingga aliran
darah ke kanker dihentikan dan dengan demikian suplai makanan dan oksigen
ke sel-sel kanker akan terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati. Apalagi sebelum
dilakukan embolisasi dilakukan tindakan trans arterial chemotheraphy yaitu
memberikan obat kemoterapi melalui feeding artery itu maka sel-sel kanker
diracuni dengan obat yang mematikan.
Maka kedua cara ini digabung, maka sel-sel kanker benar-benar terjamin
mati dan tak berkembang lagi. Dengan dasar inilah embolisasi dan injeksi
8. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran cerna
bagian atas, ensefalopati hepatica dan sindrom hepatorenal. Sindrom hepatorenal adalah
suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi
portal, yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan sirkulasi darah. Sindrom ini
mempunyai resiko kematian yang tinggi. Terjadinya gangguan ginjal pada pasien dengan
sirosis hati ini baru dikenal pada akhir abad 19 dan pertama kali dideskripsikan oleh Flint
dan Frerichs. Penatalaksanaan sindrom hepatorenal masih belum memuaskan, masih
banyak kegagalan sehingga menimbulkan kematian. Prognosis pasien dengan penyakit ini
buruk.
berak hitam
: Biasanya klien awalnya mengalami mual,
nyeri perut kanan atas, berak hitam
kemudian perut klien membesar dan sesak
napas.
: Biasanya klien pernah mengalami penyakit
hepatitis B atau C atau D dan mengalami
sirosis hepatic
: Biasanya salah satu atau lebih keluarga klien
menderita penyakit hepatitis B atau C atau
D. Biasanya ibu klien menderita hepatitis B
atau C atau D yang diturunkan kepada
5) Riwayat imunisasi
c. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Biasanya klien terlihat lemah, letih dengan perut membesar dan sesak
napas, penurunan BB.
2) TTV
TD
: >120/80 mmHg
N
: > 100 x/menit
RR
: < 16 x/menit
S
: > 37,50C
3) Kepala dan Leher
Biasanya terjadi pernapasan cuping hidung, ikterus, muntah
4) Thoraks
Biasanya terjadi retraksi dada dikarenakan kesulitan bernapas, penggunaan
otot-otot bantu pernapasan
5) Abdomen
Biasanya terjadi pembesaran hati (hepatomegali), permukaan hati terasa
kasar, asites, nyeri perut bagian kanan atas dengan skala 7-10, splenomegali
6) Ekstremitas
Biasanya terjadi gatal-gatal, kelemahan otot
7) Breath
Biasanya klien mengalami sesak napas
8) Blood
Biasanya klien anemia dikarenakan adanya perdarahan
9) Brain
Jika sudah metastase akan terjadi enselopati hepatic
10) Bowel
Biasanya klien mengalami anoreksia, mual, muntah, melena, bahkan
mungkin terjadi hematomesis. Terjadi penurunan BB, turgor kulit tidak
elastic, rambut kering, mukosa oral kering, penurunan serum albumin
11) Bladder
Biasanya klien mengeluarkan urine berwarna seperti teh pekat
12) Bone
Jika terjadi metastase ke tulang akan terjadi nyeri tulang
d. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Aktivitas
Biasanya klien mengalami gangguan dalam beraktivitas dikarenakan nyeri,
2)
3)
4)
5)
6)
N
O
INTERVENSI
RASIONAL
Kaji/awasi secara rutin kulit dan warna Sianosis mungkin perifer (terlihat pada
membran mukosa
kuku) atau sentral (terlihat sekitar
bibir/atau daun telinga). Keabu-abuan
dan sianosis sentral mengindikasikan
beratnya hipoksemia
Selama
distress
pernapasan
berat/akut/refraktori pasien secara total
tak mampu melakukan aktivitas seharihari karena hipoksemia dan dispnea.
Kolaborasi dengan tim medis dalam Untuk mengurangi asites dan cairan
pemberian diuretic, batasi asupan cairan, dalam cavum peritoneum sehingga pola
dan aspirasi asites
napas kembali normal (16-20 x/menit)
b.
N
O
1
INTERVENSI
RASIONAL
Awasi albumin serum dan elektrolit khusus Penuruan albumin serum mempengaruhi
kalium dan natrium
tekanan
osmotic
koloid
plasma,
mengakibatkan pembentukan odem.
Penurunan aliran darah ginjal menyertai
peningkatan kadar aldosteron dna
penggunaan diuretik untuk menurunkan
air total tubuh, dapat menyebabkan
sebagai
perpindahan
atau
ketidakseimbangan elektrolit.
Natrium
mungkin
dibatasi
untuk
meminimalkan retensi cairan dalam area
ekstra vaskuler. Pembatasan cairan perlu
untuk
memperbaiki/mencegah
pengenceran
c.
INTERVENSI
RASIONAL
O
1
yang disukai
kemungkinan intervensi
Observasi dan catat masukan makanan Mengawasi masukan kalori atau kualitas
pasien
kekurangan konsumsi makanan
Observasi dan catat kejadian mual/muntah, Gejala GI dapat menunjukkan efek
defisiensi,
menduga
sebelum
dan
sesudah
kemungkinan
infeksi.
yang lembut. Berikan pencuci mulut yang Teknik perawatan mulut khusus mungkin
diencerkan bila mukosa oral luka
7
diperlukan
bila
jaringan
kebutuhan
nutrisi
yang
memenuhinya
Kolaborasi dengan
rencana diet
untuk memenuhi kebutuhan individual
Kolaborasi dengan tim medis dalam Dengan pemberian vitamin membantu
pemberian vitamin
ahli
gizi
diperlukannya
tentang Membantu dalam membuat rencana diet
proses
metabolisme,
mempertahankan
d.
N
O
1
INTERVENSI
RASIONAL
harus
dijelaskan
oleh
pasien.
amat
intervensi
penting
yang
untuk
cocok
dan
memilih
untuk
Observasi
adanya
tanda-tanda
diberikan
nyeri Merupakan indikator/derajat nyeri yang
nonverbal, seperti : ekspresi wajah, posisi tidak langsung yang dialami. Sakit kepala
tubuh,
gelisah,
menarik
3
diri,
tidak
Mengajarkan pasien pengendali nyeri
dan/atau dapat mengubah mekanisme
sensasi nyeri dan mengubah persepsi
nyeri
Anjurkan untuk beristirahat dalam ruangan Menurunkan stimulasi yang berlebihan
yang tenang
yang dapat mengurangi nyeri
Berikan penjelasan kepada keluarga dan Pengenalan
segera
meningkatkan
pasien jika nyeri tersebut muncul segera intervensi dini dan dapat menurunkan
beratnya serangan
Analgetik dapat memblok nyeri sehingga
nyeri dapat berkurang
e.
N
O
1
INTERVENSI
Bantu
pasien
dalam
RASIONAL
mengidentifikasi Memungkinkan
klien
dapat
penting
dan
meminimalkan
kurang penting
Ajarkan pasien untuk mengurangi aktivitas Tirah baring akan meminimalkan energi
yang dapat menyebabkan nyeri atau lelah yang dikeluarkan sehingga metabolisme
dan anjurkan untuk tirah baring
penyakit.
Ajarkan strategi koping koqnitif (seperti Respon emosional terhadap intoleransi
pembandingan,
relaksasi,
bernafas)
koqnitif
Memenuhi kebutuhan dasar pasien yang
pelaksanaan
Post Operasi
a.
N
O
1
INTERVENSI
Kaji skala nyeri dengan PQRST
RASIONAL
Nyeri merupakan pengalaman subjektif
dan
harus
dijelaskan
oleh
pasien.
amat
intervensi
penting
yang
untuk
cocok
dan
memilih
untuk
Observasi
adanya
tanda-tanda
diberikan
nyeri Merupakan indikator/derajat nyeri yang
nonverbal, seperti : ekspresi wajah, posisi tidak langsung yang dialami. Sakit kepala
tubuh,
menarik
3
gelisah,
diri,
tidak
Mengajarkan pasien pengendali nyeri
dan/atau dapat mengubah mekanisme
sensasi nyeri dan mengubah persepsi
nyeri
Anjurkan untuk beristirahat dalam ruangan Menurunkan stimulasi yang berlebihan
yang tenang
yang dapat mengurangi nyeri
Berikan penjelasan kepada keluarga dan Pengenalan
segera
meningkatkan
pasien jika nyeri tersebut muncul segera intervensi dini dan dapat menurunkan
seperti
profiksene
asetaminofen
b.
INTERVENSI
RASIONAL
O
1
selanjutnya
Pantau/batasi pengunjung. Berikan isolasi Membatasi
bila memungkinkan
bakteri/infeksi.
pemajanan
Perlindungan
terhadap
isolasi
4
5
prosedur/perawatan luka
bakteri
Berikan perawatan kulit, perianal, oral Menurunkan
dengan cermat
kulit/jaringan dan infeksi
Dorong perubahan posisi/ambulasi yang Meningkatkan ventilasi semua segmen
risiko
kerusakan
untuk
mempermudah
10
benar
Ambil specimen untuk kultur/sensitivitas Membedakan
sesuai indikasi
11
Berikan
antiseptik
adanya
sistemik
4.
Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang telah dibuat
5.
infeksi,
Evaluasi
Evaluasi sesuai dengan kriteria evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Carpernito, Lynda Juall . 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC
Gale, Danielle, Charette, Jane. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Jakarta :
EGC.
Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam FK. Unair RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 1994. Pedoman
Diagnosis dan Terapi. Surabaya : RSUD Dr. Soetomo
Marilyn E. Doenges, Merry Frances Mourhouse, Allice C. Glisser. 2000. Nursing Care
Planning Guidelines For Planning and Documenting Patient Care, Third Edition.
Philadelphia FA : Davis Company.
Med Muhammad Amin dkk. 1993. Pengantar ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga.
Soeparman, Sarwono Maspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam II. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.