(REFERAT)
Oleh
Lind Octaviani Irawan
0818011072
Pembimbing
dr. Ody Wijaya, Sp.OG
KATA PENGANTAR
Puji sukur saya panjatkan kepada ALLAH SWT atas berkat dan rahmat-Nya
saya dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul Persalinan Preterm. Referat ini
disusun sebagai salah satu tugas persyaratan kelulusan kepaniteraan klinik Bagian
Obstetri Ginekologi RSAM Bandar Lampung
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ody
Wijaya, Sp.OG, sebagai pembimbing dalam pembuatan referat ini. Tidak lupa terima
kasih juga penulis sampaikan kepada dokter-dokter pembimbing di RSAM Bandar
Lampung atas bimbingan yang kami dapat selama kepaniteraan klinik ini.
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, dan masih
banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan dari
dokter pembimbing serta rekan-rekan sejawat untuk memberikan saran dan masukan
yang berguna bagi penulis.
Terlepas dari segala kekurangan yang ada, kami berharap semoga referat ini
membawa manfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
2
5
5
5
6
7
8
9
9
10
11
11
12
12
13
13
15
15
17
18
19
21
22
25
25
26
26
26
28
29
BAB I
3
PENDAHULUAN
Persalinan preterm merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas perintal di seluruh dunia. Persalinan preterm menyebabkan 70% kematian
prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka panjang, yang meliputi
retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure disorder, kebutaan,
hilangnya pendengaran, dan gangguan non-neurologi seperti penyakit paru kronis,
dan retinopati. Hal ini berarti, morbiditas menjadi masalah sosial dan ekonomi yang
signifikan, baik bagi keluarga yang terlibat maupun negara secara keseluruhan. Oleh
karena itu, persalinan preterm bukan hanya menjadi komplikasi obstetri yang paling
umum, namun juga menjadi salah satu yang paling serius.1,2,3,4
Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya bervariasi antara 6%
sampai 15% dari seluruh persalinan. Di Amerika Serikat, sekitar 450.000 (11,5%)
persalinan preterm terjadi setiap tahunnya, dan menyebabkan 75% kematian neonatal
dan 50% gangguan neurologis jangka panjang pada anak. Selain itu juga
menyebabkan pengeluaran biaya perawatan kesehatan sebesar 35% untuk bayi dan
10% untuk anak.4 Di Indonesia belum ada angka yang secara nasional menunjukan
kejadian persalinan preterm, tetapi beberapa peneliti memberikan angka kejadian
persalinan preterm di rumah sakit. Joesoef dkk. melaporkan angka kejadian
persalinan preterm di beberapa rumah sakit di Jakarta pada tahun 1991 sebesar
13,3%, sedangkan Usman dan Effendi di RS dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun
2001 sebesar 9,9%.1,2,3,4
Keberhasilan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal yang
berhubungan dengan persalinan preterm mungkin memerlukan identifikasi faktor
risiko dan pelaksanaan program modifikasi perilaku yang efektif untuk mencegah
persalinan preterm. Sehinggan diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai
faktor-faktor risiko psikososial, etiologi, dan mekanisme persalinan preterm, serta
program yang akurat untuk mengidentifikasi wanita yang berisiko mengalami
persalinan preterm.1,2,3,4
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
Diagnosis persalinan preterm dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang
dari 37 minggu mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit,
yang dapat berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat
lain mengatakan persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada usia
kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995). (1,2)
Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada persalinan preterm antara lain: (1)
persalinan atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun
seksio sesarea; (2) persalinan preterm spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3)
persalinan preterm dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan
pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari persalinan preterm
berdasarkan indikasi, 40-45% persalinan preterm terjadi secara spontan dengan
selaput amnion utuh, dan 25-30% persalinan preterm yang didahului ketuban pecah
dini.2,3
Konstribusi penyebab persalinan preterm berbeda berdasarkan kelompok etnis.
Persalinan preterm pada wanita kulit putih lebih umum merupakan persalinan preterm
spontan dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum
didahului ketuban pecah dini sebelumnya. Persalinan preterm juga bisa dibagi
menurut usia kehamilan: sekitar 5% persalinan preterm terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia
kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 3233 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia kehamilan 34-36 minggu
(near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka kejadian persalinan
preterm, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah kelahiran
preterm atas indikasi.1,2,3,4
2. 2 Etiologi
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab persalinan preterm multifaktorial
dan sesuai dengan usia kehamilan. Diantaranya ialah: 1,2,3,4
1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),
2. Distensi
berlebih
uterus
(misalnya,
pada
kehamilan
polihidramnion),
3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
6
multipel
atau
2. 3 Faktor Risiko
Meskipun patofisiologi persalinan preterm kurang dapat dipahami, namun
terdapat banyak faktor risiko yang diketahui berperan pada persalinan preterm, dan
pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan
terjadinya persalinan preterm.1 Namun sayangnya upaya untuk menilai faktor risiko
tersebut tidaklah mudah, karena lebih dari setengah dari persalinan preterm terjadi
pada wanita yang tidak memiliki faktor risiko yang jelas. 1,2,3,4
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya persalinan preterm:
Faktor risiko mayor
1.
Kehamilan multipel
2.
Polihidramnion
3.
Anomali uterus
7
4.
5.
6.
7.
8.
9.
2.
Riwayat pielonefritis
3.
4.
5.
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor; atau
dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.1,2,3,4
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan
adalah tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status
sosioekonomi yang rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan lainnya
(seperti infeksi maternal, preeklamsia-eklamsia, plasenta previa, kehamilan yang
diperoleh melalui bantuan medikasi, terlambat atau tidak melakukan asuhan
antenatal). Merupakan langkah penting dalam pencegahan persalinan preterm adalah
bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian memberikan asuhan prenatal
serta penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan. 1,2,3,4
2. 4 Patogenesis
Penyebab persalinan preterm multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu
sama lain. Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada persalinan preterm: 1,2,3,4
2. 5. 1 Aktivasi aksis hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibu: stres
8
Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang
mengancam
atau
yang
dianggap
mengancam
homeostasis
pasien,
akan
genital
Mycoplasma
spp,
dan
Ureaplasma
urealyticum.
Beberapa
2.5.3
plasenta biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah dini.
Lesi plasenta dilaporkan 34% dari wanita dengan persalinan preterm, 35% dari
wanita dengan ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini
10
Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada
trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks
berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup
luas, termasuk persalinan preterm. Insufisiensi serviks secara tradisi telah
diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat pregnancy losses berulang pada
trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat lima penyebab yang diakui
atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero diethylstilbestrol
exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur operasi seperti Loop
11
berisiko tinggi mengalami persalinan preterm. 1,4 Meskipun Creasy dkk. serta
Covington dkk. melaporkan bahwa dengan metode skoring yang disertai program
pencegahan dengan penyuluhan, akan memberikan hasil yang baik. 12 Pada
prakteknya, penerapan metode ini belum terbukti berguna. Dan karena metode ini
sangat bergantung dengan riwayat obstetri sebelumnya, maka metode ini tidak sesuai
untuk nulipara. Oleh karena itu, metode ini tidak menawarkan keuntungan lebih dari
penilaian klinis lainnya, dan tidak dapat direkomendasikan.1
2.6.2 Uji kontraksi uterus ambulatorik atau Home uterine activity monitoring
Metode ini didasarkan pada prinsip tokodinamometer, yang dicobakan pada
wanita yang berisiko mengalami persalinan preterm. Metode ini melibatkan
pencatatan telematika dari kontraksi rahim, dengan menggunakan alat sensor
kontraksi yang diikatkan disekitar abdomen, dan dihubungkan dengan sebuah
perekam elektronik kecil yang dipasang dipinggang, kemudian hasil aktivitas uterus
akan dihantarkan ke beberapa monitor senter. Dari hasil pemantauan tersebut, para
praktisi kesehatan akan memberikan saran serta dukungan setiap harinya terhadap
pasien tersebut melalui telepon. 1,2,3,4
Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan aktivitas
uterus di rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah persalinan preterm, baik pada
wanita yang berisiko rendah atau wanita yang berisiko tinggi. Bahkan penggunaan
metode ini akan meningkatkan kunjungan diluar jadwal asuhan prenatal yang
dianjurkan serta menyebabkan peningkatan yang signifikan terhadap terapi obat
tokolisis profilaktik pada wanita hamil.1,4 Selain itu metode ini membutuhkan biaya
yang cukup besar dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, metode ini tidak
direkomendasikan pada praktek klinis rutin.4
2.6.3 Estriol saliva
Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan
konsentrasi estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm. Hal ini dapat dijelaskan
melalui penelitian mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukan peranan
aksis hipotalamo-pitutari-adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan peningkatan
13
produksi estriol dari plasenta pada saat dimulainya persalinan. Diperkirakan pada
kehamilan manusia, aktivasi prematur dari aksis HPA pada persalinan preterm akan
meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu, dan ini dapat menjadi
perediktor dimulainya persalinan preterm. Telah dilaporkan bahwa peningkatan
estriol akan dimulai sejak 3 minggu sebelum dimulainya persalinan pada wanita yang
mengalami persalinan preterm atau aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan
tingkat estriol dalam serum ibu, dan estriol saliva digunakan untuk menilai risiko
persalinan preterm dengan atau tanpa gejala. 1,2,3,4
Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif dalam
memprediksi persalinan preterm dibandingkan metode skoring risiko. Namun, tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan memiliki tingkat
positif palsu yang sangat tinggi, yang dapat meningkatkan biaya perawatan kehamilan
karena intervensi yang tidak perlu. Tingkat estriol saliva dapat diukur secara akurat
dengan menggunakan radioimmunoassay. Heine dkk. menunjukan bahwa tingkat
estriol saliva positif satu ( 2,1 ng/ml) dapat memprediksikan suatu peningkatan
risiko persalinan preterm 3-4 kali lipat pada wanita dengan resiko rendah maupun
tinggi. Jika dua kali secara berturut-turut hasil tes positif, ini menunjukan peningkatan
akurasi prediksi yang signifikan, tetapi masih memiliki sedikit penurunan sensitivitas.
Tes estriol saliva menunjukan beberapa keunggulan yaitu merupakan tindakan yang
tidak invasif, sampel saliva yang mudah didapatkan, dan dapat memberikan hasil
positif beberapa minggu sebelum dimulainya persalinan. Namun, adanya variasi
diurnal dari tingkat estriol saliva ibu, serta pemberian betametason untuk produksi
surfaktan yang dapat menekan tingkat estriol saliva ibu, dapat mempersulit
interpretasi hasil.4 Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai intervensi dan
pengobatan yang potensial pada wanita dengan peningkatan kadar estriol saliva yang
tinggi, sebelum penggunaannya direkomendasikan secara luas pada populasi
obtetrik.1,2,3,4
14
15
16
24-28 minggu
dalam
memprediksi
persalinan
preterm
sebagai
pemeriksaan rutin. Namun, dapat dilakukan pada kehamilan dengan risiko tinggi atau
dalam kombinasi dengan test fFN.2
2.6.7 Kombinasi penilaian fFN dengan ultrasonografi serviks
Penilaian panjang serviks yang disertai dengan estimasi fFN sekret
vaginoserviks pada wanita yang berisiko tinggi mengalami persalinan preterm
mungkin bermanfaat. Suatu penelitian yang menilai risiko terulangnya persalinan
17
preterm spontan pada wanita yang memiliki riwayat persalinan preterm sebelumnya
melaporkan, risiko sebesar 65% jika panjang serviks kurang dari 25 mm dan fFN
positif. Namun, jika fFN negatif, risiko persalinan preterm hanya sebesar 25%.
Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah, risiko terulangnya persalinan preterm
pada wanita dengan panjang serviks > 35 mm dan fFN negatif, hanya sebesar 7%.
Oleh karena itu, kombinasi penilaian panjang serviks dengan menggunakan USG, dan
estimasi fFN dapat membantu memprediksi terulangnya persalinan preterm pada
wanita risiko tinggi.4
Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam
memprediksi risiko terulangnya persalinan preterm4
Risiko terulangnya persalinan preterm
Panjang serviks
fFN positif
fFN negatif
< 25 mm
65%
25%
25-35 mm
45%
14%
> 35 mm
25%
7%
2. 5 Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan
preterm. Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit
dilakukan sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri
dapat menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan
sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak
sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam
penegakan diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang, wanita yang melahirkan
sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons
Hicks, yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu. 1,2,4
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan preterm,
yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 78 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
18
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa
tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau
telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika. 1,2,4
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis
persalinan preterm ialah sebagai berikut: 1,2,4
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau
delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
2. 6 Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan persalinan preterm ialah,
apakah ini memang persalinan preterm. Selanjutnya mencari penyebabnya dan
menilai kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun
ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion,
persentasi dan keadaan janin/kelainan kongenital. 1,2,4
Bila proses persalinan preterm masih tetap berlangsung atau mengancam, meski
telah dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter spesialis
kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm, atau berapa
persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma
gawat nafas.
19
20
2.8.1 Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak
ada
yang
benar-benar
efektif.
Namun,
pemberian
tokolisis
masih
perlu
21
ataupun janin.7 Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada,
dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).
4. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide dapat
menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases
(COXs)
yang
dibutuhkan
untuk
produksi
prostaglandin.
Indometasin
22
mengevaluasi
2.8.3 Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang
tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum.
Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya
infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah
eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg
selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak
dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun
anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman. Setelah itu
dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko persalinan preterm, bila
tidak ada kontra indikasi, diberi tokolisis. 1,2,3,4,5
2.8.4
Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti:
intrapartum
dengan
takikardi
25
janin,
gerakan
janin
melemah,
kebutaan,
hilangnya
pendengaran,
juga
dapat
terjadi
disfungsi
minimal 14 minggu pada wanita hamil yang bekerja, memberikan izin bagi
wanita yang berkerja untuk menghadiri asuhan prenatal, menghindarkan
wanita hamil dari jam kerja malam, serta perlindungan wanita hamil terhadap
bahaya lingkungan kerja.
3. Mengkonsumsi suplemen nutrisi: wanita yang sedang merencanakan
kehamilan disarankan untuk mulai mengkonsumsi berbagai suplemen nutrisi,
hingga selama kehamilan untuk mengurangi risiko masalah kehamilan.
Berdasarkan penelitian, morbiditas respiratori menurun pada bayi yang
dilahirkan oleh wanita yang mengkonsumsi tambahan vitamin.
4. Menghentikan konsumsi rokok sejak direncanakannya kehamilan, mengingat
adanya hubungan antara merokok dengan persalinan preterm.
5. Melakukan asuhan prenatal. Berdasarkan hasil penelitian, wanita yang
melakukan asuhan prenatal yang adekuat memiliki angka kejadian persalinan
preterm yang lebih rendah dibanding mereka yang melakukan asuhan prenatal
tidak memadai, atau yang tidak melakukan asuhan prenatal.
6. Melakukan perawatan periodontal. Risiko kelahiran preterm berhubungan
dengan keparahan penyakit periodontal, dan risiko meningkat ketika penyakit
periodontal berkembang selama kehamilan, tetapi dasar mengenai hubungan
ini masih belum jelas. Peningkatan risiko persalinan preterm ini dapat
disebabkan oleh penyebaran secara hematogen dari mikroba pathogen rongga
mulut ke organ genital, atau lebih mungkin karena respon inflamasi terhadap
mikroba pada rongga mulut dan traktus genitalis.
7. Melakukan skrining wanita risiko rendah. Skrining dan terapi bakteriuria
asimptomatik telah dilaporkan menurunkan tingkat persalinan preterm.
Namun, skrining dan protokol terapi yang optimum dalam mencegah
persalinan preterm masih belum jelas benar. Pencegahan persalinan preterm
sebagian besar didasarkan pada riwayat persalinan preterm sebelumnya dan
adanya faktor risiko kehamilan seperti kehamilan multipel dan perdarahan,
tetapi lebih dari 50% persalinan preterm terjadi pada kehamilan tanpa faktor
risiko yang jelas. Sebagian besar faktor risiko yang didasarkan pada riwayat
27
28
BAB III
29
KESIMPULAN
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37
minggu dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas perintal
di seluruh dunia. Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya bervariasi antara
6% sampai 15% dari seluruh persalinan. Patogenesis dari persalinan preterm masih
belum dimengerti dengan benar. Namun, infeksi tampaknya menjadi penyebab
tersering dan paling penting dalam persalinan preterm. Terdapat banyak faktor risiko
yang diketahui berperan pada persalinan preterm, dan pengetahuan terhadap adanya
faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan terjadinya persalinan preterm.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama
untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah menghambat
proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis, akselerasi pematangan fungsi
paru janin dengan kortikosteroid, dan bila perlu dilakukan pencegahan terhadap
infeksi. Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami persalinan preterm dan/atau
menunjukan tanda-tanda persalinan preterm perlu dilakukan intervensi untuk
meningkatkan neonatal outcomes. Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan persalinan preterm dapat
diklasifikasikan menjadi pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
DAFTAR PUSTAKA
30
31