Anda di halaman 1dari 7

https://meilabalwell.wordpress.

com/ham-dan-implementasinya-di-indonesia/

HAM DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA


PEMBAHASAN
Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena ia manusia. Hak asasi manusia bersifat universal, hak-hak itu juga
tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang
telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan
seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia, dan karena itu tetap
memiliki hak-hak tersebut.
Sejumlah hak universal atau yang umum dimiliki oleh setiap manusia yaitu
diantaranya hak hidup, kebebasan dan keamanan. Hak-hak tadi dimilki oleh
setiap manusia tanpa memandang ras, suku, budaya, agama, warna kulit,
jenis kelamin, pendapat politik, asal kebangsaan, status sosial, atau latar
belakang lainnya.
Menurut Thomas Hobbes, manusia selalu berada dalam situasi hommo
homini luppus bellum omnium comtra omnes. Sementara John Lock
memandang masyarakat bernegara merupakan kehendak manusia yang
diwujudkan dalam dua bentuk perjanjian, yakni pactum unionis, perjanjian
antar anggota masyarakat untuk membentuk masyarakat politik dan negara,
dan pactum subjectionis, perjanjian antara rakyat dengan penguasa untuk
melindungi hak-hak rakyat yang tetap melekat ketika berhadapan dengan
kekuasaan sang penguasa.
Selain Hobbes dan Locke, filsuf Prancis Montesqieu sangat mempengaruhi
perkembangan perlindungan hak asasi di Prancis. Bersama-sama dengan
Rousseau ia melahirkan Deklarasi Hak Manusia dan Warganegara pada tahun
1789. Deklarasi inilah yang kemudian melahirkan hak atas kebebasan
(Liberty), harta (Property), keamanan (Safety), dan perlawanan terhadap
penindasan (Resistence to Oppression).
Selain pandangan Internasional terhadap hak asasi manusia, bangsa
Indonesia juga mempunyai pandangan bahwa hak asasi manusia harus
dijunjung tinggi sesuai dengan Pancasila. Dalam perjalanan sejarah, bangsa
Indonesia mengalami berbagai kesengsaraan dan penderitaan yang
disebabkan oleh penjajahan. Oleh karena itu pandangan mengenai hak asasi
manusia yang dianut oleh bangsa Indonesia bersumber dari ajaran agama,
nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Hak warga negara Indonesia antara lain:


a. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1
UUD 1945);
b. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2 UUD
1945);
c. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945);
d. Hak/kebebasan memeluk agama atau kepercayaan masing-masing (Pasal
29 ayat 1 dan 2 UUD 1945);
e. Hak dan kewajiban membela negara (Pasal 30 ayat 1 UUD 1945);
f. Hak mendapat pengajaran (Pasal 31 ayat 1 UUD 1945);
g. Kebudayaan Nasional Indonesia (Pasal 32 UUD 1945);
h. Kesejahteraan Sosial (Pasal 33 ayat 1,2, dan 3 Pasal 34 UUD 1945).
Sejarah Perkembangan Hukum yang Mengatur HAM
Sejarah membuktikan bahwa kesadaran manusia terhadap hak-hak asasi
akan meningkat bila terjadi pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan seperti
adanya perbudakan, penjajahan, dan ketidakadilan. Perjuangan atas
pengakuan dan usaha menegakkan hak-hak asasi manusia dari berbagai
bangsa banyak dituangkan dalam berbagai konvensi, konstitusi, perundangundangan, teori dan hasil pemikiran yang pernah hadir di muka bumi ini.
Sejarah hak asasi manusia secara khusus dapat ditelusuri sejak adanya
Magna Charta di Inggris (1215), Habeas Corpus Act (1679), Petition of
Rights (1689), dan Bill of Rights (1689).
Setelah Perang Dunia II (1939-1945) yang memakan banyak korban dan
banyak menimbulkan pelanggaran hak-hak asasi manusia, Franklin D
Roosevelt (Presiden AS) mencetuskan The Four Freedom yakni kebebasan
untuk berbicara dan mencetuskan pendapat, kebebasan untuk beragama,
kebebasan dari ketakutan, dan kebebasan dari kemelaratan. Setelah
Universal Declaration of Human Rights diterima PBB pada 10 November
1948 di Paris kemudian diterima pula Convenants of Human Rights pada
sidang PBB tanggal 16 Desember 1966, hingga sekarang masalah hak asasi
manusia telah diakui dalam hukum internasional.
Pengakuan dan penghargaan HAM tidak diperoleh secara tiba-tiba, tetapi
melalui sejarah panjang. Berdasarkan sejarah perkembangannya, ada tiga
generasi hak asasi manusia, sebagai berikut:
Generasi pertama adalah Hak Sipil dan Politik yang bermula di dunia Barat
(Eropa), contohnya hak atas hidup, hak atas kebebasan dan kemananan,
hak atas kesamaan di muka peradilan, hak kebebasan berpikir dan
berpendapat, hak beragama, hak berkumoul dan hak untuk berserikat.

Generasi kedua adalah Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang diperjuangkan
oleh negara Sosialis di Eropa Timur, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas
penghasilan yang layak, hak membentuk serikat pekerja, hak atas pangan,
kesehatan, hak atas perumahan, pendidikan dan hak atas jaminan sosial.
Generasi ketiga adalah Hak Perdamaian dan Pembangunan yang
diperjuangkan oleh negara-negara berkembang ( Asia-Afrika), misalnya hak
bebas dari ancaman musuh, hak setiap bangsa untuk merdeka, hak
sederajat dengan bangsa lain, dan hak mendapatkan kedamaian.
Perkembangan berikutnya yaitu muncul generasi keempat hak asasi manusia
(TIM ICCE UIN, 2003). Hak asasi manusia generasi keempat ini mengkritik
peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang
berfokus pembangunan ekonomisehingga menimbulkan dampak negatif bagi
keadilan rakyat.
Program pembangunan dijalankan tidak memenuhi kebutuhan rakyat banyak
tetapi untuk sekelompok atau elite penguasa saja. Pemikiran hak asasi
manusia generasi keempat dipelopori oleh negara-negara Asia pada tahun
1983 yang melahirkan deklarasi Hak Asasi Manusia yang disebut Declaration
of The Basic Duties of Asian People and Government. Pemikiran generasi
keempat ini lebih maju dari generasi ketiga, karena tidak saja mencakup
struktural, tetpai juga berpijak pada terciptanya tataan sosial yang
berkeadilan. Deklarasi Hak Asasi Manusia Asia selain berbicara tentang Hak
Asasi juga berbicara tentang kewajiban asasi.
Kelembagaan Nasional HAM di Indonesia
Dalam rangka memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi
manusia, di samping dibentuk aturan-aturan hukum juga dibentuk
kelembagaan yang menangani masalah yang berkaitan dengan penegakkan
hak asasi manusia, antara lain:
Komnas HAM
Komisi Nasional HAM pada awalnya dibentuk dengan keppres No. 50 tahun
1993 sebagai respon terhadap tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia
internasional mengenai perlunya penegakkan hak-hak asasi manusia di
Indonesia. Kemudian dengan lahirnya undang-undang No. 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia, Komnas HAM terbentuk dengan keppres tersebut
harus sesuai dengan UU No. 39 tahun 1999. Yang bertujuan untuk
membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak-hak
asasi manusia dan meningkatkan perlindungan dan penegakkan hak-hak
asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya
dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan


Dibentuk berdasarkan Keppres No. 181 tahun 1998. Dasar pertimbangan
pembentukan komisi nasional ini adalah sebagai upaya mencegah terjadinya
dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sifatnya
independen dan bertujuan untuk menyebarluaskan pemahaman bentuk
kekerasan terhadap perempuan, menegmbangkan kodisi yang kondusif bagi
penghapusan bentuk kekerasan terhadap perempuan serta meningkatkan
upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan hak asasi perempuan.
LSM Prodemokrasi dan HAM
Di samping lembaga penegakkan hak-hak asasi manusia yang dibentuk oleh
pemerintah, ada juga lembaga sejenis yang dibentuk oleh masyarakat,
misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Governmental
Organization (NGO) yang programnya terfokus pada demokratisasi dan
pengembangan HAM. Yang termasuk dalam LSM ini antara lain adalah
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ( KONTRAS).
Implementasi HAM di Indonesia
Ideologi yang dianut oleh suatu negara pada dasarnya akan mempengaruhi
kehidupan masyarakat di negara tersebut, termasuk penerapan hak-hak
asasi masyarakatnya. Negara-negara Barat, seperti Amerika, dengan paham
Liberalismenya memungkinkan masyarakatnya untuk melakukan segala
sesuatu dengan sebebas-bebasnya (peran swasta lebih dominan),
sedangkan peran pemerintah sangat kecil dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat.
Hal tersebut berdampak pada kondisi kehidupan masyarakatnya yang
kebablasan pada beberapa sisi, seperti pergaulan bebas, persaingan
bebas, dan sebagainya yang banyak menimbulkan masalah-masalah baru
bagi sebagian masyarakat. Imbas lainnya dari paham Liberalisme adalah
terhimpitnya kaum ekonomi lemah karena para pemilik modal (kaum
kapitalis) memiliki kebebasan dalam melakukan investasi di berbagai sektor
usaha.
Paham lainnya yang berkembang di negara-negara Timur (seperti di Uni
Soviet dan RRC pada masa lalu) adalah komunisme. Dampak yang
ditimbulkan oleh ideologi tersebut adalah berkebalikkan dengan apa yang
ditimbulkan oleh Liberalisme. Hak-hak masyarakat diakui, namun tidak
sepenuhnya dipedulikan oleh pemerintah. Peran pemerintah sangat dominan

dalam mengatur berbagai aspek kehidupan. Pada praktik kehidupan


bernegara, pemerintah bersikap otoriter dan tidak peduli terhadap aspirasi
rakyat. Hal tersebut berdampak pada pembungkaman suara rakyat dan
pers, sehingga mencukur demokrasi yang seharusnya menjadi hak rakyat.
Berbeda dengan negara-negara tersebut, Indonesia menganut ideologi
Demokrasi Pancasila, sehingga implementasi hak asasi manusia di Indonesia
seharusnya berjalan dengan baik sesuai dengan sifat-sifat dasar dari paham
Demokrasi Pancasila. Menurut ideologi tersebut, hak-hak asasi setiap rakyat
Indonesia pada dasarnya diimplementasikan secara bebas, namun tetap
dibatasi oleh hak-hak asasi orang lain. Jadi, ideologi ini menawarkan
kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan hak asasi
manusia. Namun hal tersebut perlu dikaji lebih dalam, sebab ideologi yang
dianut oleh negara Indonesia tercinta ini belum tentu dapat diterapkan oleh
rakyat tersebut dengan benar sepenuhnya.
Sejak era reformasi berbagai produk hukum dilahirkan untuk memperbaiki
kondisi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak sipil dan politik.
Antara lain, UUD 1945 Pasal 28A sampai Pasal 28J, Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, UU Pers, UU Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk Rasa), UU HAM (UU No.
39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Otonomi Daerah, perlakuan atau
hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat,
dan UU Ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial.
Dari sisi politik, rakyat Indonesia telah menikmati kebebasan politik yang
luas. Empat kebebasan dasar, yaitu hak atas kebebasan berekspresi dan
berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan
berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan, yang vital
bagi bekerjanya sistem politik dan pemerintahan demokratis telah dinikmati
oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Melalui berbagai media hampir semua lapisan rakyat Indonesia sudah dapat
mengekspresikan perasaan dan pendapatnya tanpa rasa takut atau was-was
seperti pada zaman Orde Baru. Rakyat Indonesia relatif bebas
mengkomunikasikan gagasan dan informasi yang dimilikinya. Rakyat
menikmati pula hak atas kebebasan berkumpul.
Pertemuan-pertemuan rakyat, seperti, seminar, rapat-rapat akbar tidak lagi
mengharuskan meminta izin penguasa seperti di masa Orde Baru.
Kelompok-kelompok masyarakat, seperti, buruh, petani, seniman, dan lain
sebagainya yang ingin melakukan demonstrasi atau unjuk rasa di depan
kantor atau pejabat publik tidak memerlukan izin, tapi sebelum menjalankan
unjuk rasa diwajibkan untuk memberitahu polisi.

Rakyat Indonesia telah menikmati juga kebebasan berorganisasi. Rakyat


tidak hanya bebas mendirikan partai-partai politik sebagai wahana untuk
memperjuangkan aspirasi politiknya. Rakyat bebas pula untuk mendirikian
organisasi-organisasi kemasyarakatan, seperti serikat petani, serikat buruh,
perkumpulan masyarakat adat, dan lain sebagainya. Selain itu, tumbuhnya
organisasi-organisasi rakyat dari bawah ini akan memperkuat masyarakat
sipil yang diperlukan bagi berlangsungnya sistem politik dan pemerintahan
yang demokratis.
Rakyat Indonesia telah pula menikmati hak politiknya, yaitu hak untuk turut
serta dalam pemerintahan di mana rakyat berperan serta memilih secara
langsung para anggota DPR dan DPRD pada tahun 1999 dan tahun 2004.
Pada tahun 2004 untuk pertama kali rakyat memilih langsung Presiden dan
Wakil Presiden. Selanjutnya pada tingkat provinsi, kabupaten, dan
kotamadya, rakyat dapat memilih langsung Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Sebelum ini belum pernah ada presiden perwujudan hak atas kebebasan
politik dalam sejarah Indonesia.
Selain itu, kebebasan politik yang membuka jalan bagi terpenuhinya empat
kebebasan dasar yang mencakup hak atas kebebasan berekspresi dan
berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan
berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan, belum
dinikmati oleh kelompok minoritas agama. Sejumlah daerah juga
memberlakukan perda bermuatan syariah yang sangat bertentangan dengan
konsep penghormatan kepada hak asasi manusia dan UUD 1945 pasal 29
yang menjamin kebebasan. warga negara dalam memeluk agama dan
beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
Demikian pula kelompok minoritas dalam agama, misalnya Ahmadiyah terus
mengalami diskriminasi dan pengawasan oleh negara. Bukan hanya itu,
sebagian penganut Ahmadiyah juga sempat menjadi korban dari tindakan
anarkis yang dilakukan oleh sejumlah oknum dari organisasi masyarakat
tertentu. Kebebasan politik yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia
ternyata juga tak diimbangi dengan perlindungan hukum yang semestinya
bagi hak-hak sipil, seperti, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi,
hak atas kebebasan dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain
yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak atas
pemeriksaan yang adil dan proses hukum yang semestinya, hak atas
pengakuan pribadi di depan hukum, dan larangan atas propaganda untuk
perang dan hasutan kebencian.
Dari berbagai daerah, seperti, Poso, Lombok, Papua, juga Jakarta, dan
tempat-tempat lain di Indonesia, dilaporkan masih terjadi kekerasan

horisontal yang melibatkan unsur-unsur polisi dan militer. Penganiayaan


dilaporkan masih terus di alami oleh kelompok-kelompok masyarakat,
seperti, buruh, petani, masyarakat adat, kelompok minoritas agama, dan
para mahasiswa.
Begitu pula dengan kejahatan terorisme yang dilakukan oleh mereka yang
menyebut dirinya sebagai Jemaah Islamiyah telah menimbulkan korban,
berupa hilangnya nyawa manusia, dan hancurnya harta benda miliknya.
Kejahatan terorisme telah menimbulkan rasa takut dan tidak aman yang
relatif luas di kalangan masyarakat sipil.
Pada sisi yang lain kejahatan terorisme di Indonesia telah mengundang
lahirnya UU Anti-Kejahatan Terorisme yang mengesampingkan UU Hukum
Acara Pidana biasa. Di bawah UU Anti Kejahatan Terorisme itu, polisi dengan
mengesampingkan perlindungan hak sipil yang diatur di bawah hukum acara
pidana biasa, dengan mudah dapat melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan pemeriksaan terhadap siapa saja yang diduga menjadi
bagian dari jaringan aktivitas terorisme.
Pelaksanaan UU baru ini telah memberikan dampak buruk bagi hak-hak sipil
meskipun belum tentu berdosa, namun karena dicurigai mempunyai
hubungan
dengan
pelaku
kejahatan
terorisme,
bisa
mengalami
penangkapan, penahanan, kekerasan, penyiksaan, dan pemeriksaan.
Keadaan ini jelas memperburuk kondisi hak sipil dan politik. Karena itu,
Komnas HAM bersama Komnas-HAM se Asia Pasifik, mendesak agar negaranegara Asia Pasifik tetap tegas dalam memberantas kejahatan terorisme,
namun pemberantasan kejahatan itu harus dilakukan dengan mengindahkan
hukum HAM

Anda mungkin juga menyukai