Anda di halaman 1dari 45

Tugas 2

Kebijakan Iklim
ME 4034

Dosen : Dr.rer.nat. Armi Susandi, MT.

Syarifatul Adlah
15011144

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


BANDUNG
2015

RENCANA AKSI NASIONAL


PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA
Hangatnya isu perubahan iklim di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia
menghasilkan berbagai dampak yang cukup nyata, misalnya munculnya berbagai kebijakan,
perencanaan, teknologi, bahkan banyaknya aksi terkait yang dilakukan untuk menghadapi
perubahan iklim tersebut. Berbagai lapisan masyarakat mencoba disentuh dengan adanya
sosialisasi, penyuluhan, training yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran tentang
ancaman perubahan iklim, sehingga diharapkan semuanya dapat bahu-membahu mencegah
dan mengatasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi akibat fenomena tersebut.
Bermula dari Kyoto Protocol, sampai kepada pertemuan internasional dalam rangka mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim dilakukan. Berbagai diseminasi teknologi, hingga munculnya
program-program internasional berkaitan dengan tema perubahan iklim diluncurkan ke
khalayak.
Indonesia yang notabene merupakan negara berkembang yang sebenarnya tidak
memiliki kewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) telah secara sukarela
mengeluarkan target pengurangan emisi GRK sebanyak 26% dengan kemampuan sendiri dan
41% dengan bantuan internasional. Bahkan, pada tanggal 20 September 2011 telah
dikeluarkan Peraturan Presiden (PERPRES) No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, serta pada tanggal 5 Oktober 2011 juga
dikeluarkan PERPRES No 71 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca
Nasional. Kedua PERPRES yang dikeluarkan ini menjadi bukti keseriusan Pemerintah
Indonesia dalam menurunkan emisi GRK dengan usaha-usaha yang mungkin untuk
dilakukan.
RAN GRK ini mengharuskan setiap daerah di Indonesia baik dalam ruang lingkup
Provinsi maupun Kabupaten melakukan aksi daerah yang disebut Rencana Aksi Daerah
(RAD) di berbagai sektor penghasil emisi gas rumah kaca. Adapun kegiatan RAN GRK ini
mencakup bidang pertanian, kehutanan-lahan gambut, energi-transportasi, industri, dan
pengelolaan limbah,
Berdasarkan RAN GRK tersebut, berbagai aksi dilakukan, dan solusi yang paling
efektif adalah mengurangi kebakaran hutan dan lahan gambut. Hal itu dikarenakan sektor
penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ada pada kehutanan lahan gambut.

LAMPIRAN

Draft ke 26
03/10/2010

NASKAH AKADEMIS

RENCANA AKSI NASIONAL


PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK)
2010-2020

REPUBLIK INDONESIA
September, 2010

DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Visi Misi RAN-GRK
1.3 Tujuan dan Sasaran RAN-GRK
1.4 Kerangka Hukum dan Institusi
1.5 Rencana Aksi Penurunan Emisi GRK dan Perencanaan Pembangunan
2. ANALISIS KONDISI SAAT INI DAN PERMASALAHAN
2.1 Kondisi saat ini
2.2 Permasalahan
3. KERANGKA KEBIJAKAN DAN RUANG LINGKUP
3.1 Kerangka Kebijakan RAN-GRK
3.2 Metodologi Penetapan Kegiatan dan Target Penurunan Emisi
3.3 Prinsip-prinsip RAN-GRK
3.4 Ruang Lingkup RAN-GRK
3.5 Pengembangan RAN-GRK menuju NAMAs
4. STRATEGI NASIONAL PENURUNAN GAS RUMAH KACA
4.1 Arah Kebijakan Umum (cross cutting)
4.2 Arah Kebijakan dan Rencana Aksi Per Bidang
4.2.1 Bidang Kehutanan dan Pengelolaan Lahan Gambut
4.2.1.1 Arah Kebijakan
4.2.1.2 Rencana Aksi
4.2.2 Bidang Pertanian
4.2.2.1 Arah Kebijakan
4.2.2.2 Rencana Aksi
4.2.3 Bidang Energi dan Transportasi
4.2.3.1 Arah Kebijakan
4.2.3.2 Rencana Aksi
4.2.4 Bidang Industri
4.2.4.1 Arah Kebijakan
4.2.4.2 Rencana Aksi
4.2.5 Pengelolaan Limbah
4.2.5.1 Arah Kebijakan
4.2.5.2 Rencana Aksi
5. PENDANAAN
5.1 Kebijakan Pendanaan
5.2 Sumber Pendanaan
5.3 Mekanisme Pendanaan
6. MONITORING, EVALUASI, KAJI ULANG dan PELAPORAN
7. PENYUSUNAN RAD-GRK
8. PENUTUP

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) ini merupakan dokumen
kerja yang menyediakan landasan bagi berbagai Kementerian/Lembaga serta Pemerintah
Daerah untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung akan
menurunkan emisi gas rumah kaca dalam kerangka penurunan laju perubahan iklim global.
Emisi gas rumah kaca (GRK) sendiri dihasilkan dari alam dan berbagai kegiatan pembangunan
terutama dari kegiatan di bidang kehutanan, lahan gambut, limbah, pertanian, transportasi,
industri dan energi. Hal ini telah menjadi perhatian banyak pihak terkait dengan terjadinya
perubahan iklim global yang gejala dan dampaknya telah dirasakan oleh berbagai negara di
dunia termasuk Indonesia.
Dokumen ini disusun sebagai bagian dari rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) dan
menengah (RPJM) dalam kerangka kebijakan pembangunan berkelanjutan untuk menanggulangi
dampak perubahan iklim, khususnya untuk menurunkan emisi GRK, terutama untuk beberapa
bidang pembangunan yang prioritas. Penyusunan dokumen ini juga merupakan tindak lanjut dari
komitmen Indonesia terhadap penanggulangan permasalahan perubahan iklim global, yang
disampaikan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di depan pemimpin
negara G-20 pada pertemuan di Pittsburgh, Amerika Serikat, 25 September 2009. Berdasarkan
skenario SNC (Second National Communication) tingkat emisi di Indonesia diperkirakan akan
meningkat dari 1,72 Gton CO2e pada tahun 2000 (KLH, 2009) menjadi 2,95 Gton CO2e pada
tahun 2020 (KLH 2009). Perhitungan tersebut akan ditinjau kembali secara periodik dengan
menggunakan metodologi, data dan informasi yang lebih baik. Peningkatan emisi tersebut,
sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan atau aktivitas di bidang kehutanan dan lahan gambut,
pertanian, energi, industri dan transportasi, serta limbah.

Gambar 1.1 Skenario SNC Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 2000-2020
Berdasarkan kondisi tersebut, secara sukarela Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan
emisi GRK sebesar 26 persen pada tahun 2020 dari tingkat emisi BAU (Bussiness as Usual/Tanpa
Rencana Aksi). Bila digunakan skenario SNC target penurunan emisi GRK pada tahun 2020
sebesar 26% adalah 0,767 Gton CO2e, dan kemungkinan tambahan sebesar 15 persen (0,477
Gton CO2e) menjadi 41 persen apabila ada dukungan pendanaan internasional. Besaran angkaangka penurunan emisi GRK ini juga masih akan diperhitungkan kembali secara lebih akurat
dengan menggunakan metodologi, data dan informasi yang lebih baik.
Dokumen ini diharapkan menjadi rencana aksi yang bersifat terintegrasi, konkrit, terukur dan
dapat diimplementasikan untuk jangka waktu 2010-2020. Selain itu, rencana aksi ini disusun
berdasarkan prinsip terukur, dapat dilaporkan dan dapat diverifikasi (measurable, reportable and
verifiable/MRV), agar dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, sesuai dengan prinsip yang akan
diterapkan oleh UNFCCC untuk kegiatan mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh negara
para pihak.
Untuk merealisasikan tujuan dan target di atas perlu disusun berbagai intervensi dan rencana aksi
yang disesuaikan dengan kebijakan program mitigasi perubahan iklim yang dilaksanakan dan
didukung oleh berbagai Kementerian/Lembaga, antara lain meliputi Kementerian Koordinator
Perekonomian, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian
Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika serta Pemerintah Daerah.

Dokumen ini berisikan berbagai intervensi kegiatan strategis yang disusun berdasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) terutama Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional tahun 2010-2014 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005-2025.
Kegiatan penurunan emisi GRK dalam rencana aksi ini disusun dengan memperhatikan sumber
pendanaan dan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaannya, sehingga diharapkan
rencana aksi ini akan dapat dilaksanakan (doable) dan terencana dengan baik. Pembiayaan tahun
2010-2014 didasarkan pada pendanaan yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014, sedangkan
pembiayaan antara tahun 2015-2020 didasarkan pada perkiraan biaya yang diperlukan dalam
kegiatan penurunan emisi GRK tersebut.
Berdasarkan Copenhagen Accord dalam rangkaian kegiatan COP15 UNFCCC di Copenhagen bulan
Desember 2009 lalu, disepakati bahwa dibutuhkan upaya mitigasi global (global coherent mitigation
actions) untuk membatasi peningkatan suhu global 2oC di bawah tingkat pra-industri pada tahun
2050. Untuk itu, diperlukan penurunan emisi GRK baik oleh negara maju (dengan kontribusi
yang signifikan) maupun negara berkembang. Walaupun Copenhagen Accord bukan merupakan
kesepakatan yang mengikat (legally binding), namun Indonesia secara sukarela turut berkontribusi
dalam penurunan emisi GRK. Dalam konteks UNFCCC, rencana aksi ini dipandang sebagai
suatu upaya sukarela Indonesia dalam penurunan emisi GRK dan diharapkan menjadi pendorong
bagi negara-negara lain terutama negara maju untuk menurunkan emisinya.
1.2 VISI MISI
Pada tanggal 5 Februari 2007, pemerintah Indonesia menerbitkan UU No. 17 tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) periode 2005-2025. Misi keenam yang tertera pada dokumen tersebut akan menjadi visi dalam RAN-GRK ini yaitu untuk:
Mewujudkan Indonesia asri dan lestari. Misi tersebut menekankan pada upaya untuk
adalah memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan
antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung, dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa
kini dan masa depan, melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk
permukiman, kegiatan sosial ekonomi, dan upaya konservasi; meningkatkan pemanfaatan
ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan; memperbaiki pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan; memberikan
keindahan dan kenyamanan kehidupan; serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan.

Untuk dapat mencapai visi pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah Indonesia mengambil
kesepakatan bahwa "pembangunan keberlanjutan jangka panjang akan menghadapi tantangan
berupa perubahan iklim dan pemanasan global yang mempengaruhi kehidupan dan kegiatan
manusia ".
Untuk mencapai visi tersebut dilaksanakan dengan misi sebagai berikut:
1. Mempertajam upaya inventarisasi emisi CO2 dan target pengurangan emisi yang akan
disesuaikan pada tahun 2015.
2. Memperkuat kapasitas kelembagaan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim
terhadap Kementerian dan instansi pemerintah pada 2015 dan mencapai tujuan dari
climate-proofing national policies and regulations pada 2020.
3. Menjadikan RAN GRK sebagai panduan kebijakan untuk menurunkan emisi gas rumah
kaca dari skenario business-as-usual sebesar 26% pada 2020, dengan memanfaatkan
sumber daya lokal hingga 41% dari skenario business-as-usual jika bantuan internasional
tersedia.
4. Mewujudkan keberhasilan implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk
membantu mencapai tujuan pembangunan nasional pada 2025.
Meningkatkan sumber energi alternatif, sementara penggunaan energi tak terbaharukan
akan dikurangi secara bertahap pada periode waktu tersebut.
5. Mengurangi risiko secara nyata atas dampak negatif perubahan iklim terhadap berbagai
sektor pembangunan pada tahun 2030 melalui peningkatan kesadaran masyarakat,
penguatan kapasitas masyarakat lokal, peningkatan manajamen pengetahuan, dan
pemanfaatan teknologi yang adaptif.
6. Memastikan bahwa semua sektor yang menyumbangkan emisi gas rumah kaca akan
mengadopsi strategi pembangunan rendah emisi karbon dan menerapkannya dengan
cara-cara yang menunjang aspek pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

1.3 Tujuan dan Sasaran RAN-GRK


Tujuan dari RAN-GRK ini adalah:
1. Merancang program/kegiatan dalam rangka menurunkan emisi GRK terutama di bidang
kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi, industri dan transportasi, serta limbah
dalam skala nasional dan daerah dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan.

2. Memberikan gambaran potensi kegiatan mitigasi nasional dalam rangka menurunkan


emisi GRK yang berkontribusi pada aksi mitigasi global sejalan dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan.
Rencana Aksi ini disusun dengan pembiayaan yang terintegrasi antara Kementerian/Lembaga
pemerintah pusat dan daerah, dan terukur serta dapat diimplementasikan dalam jangka waktu
2010-2020.
Sasaran dari RAN-GRK ini adalah:
1. Sebagai acuan pelaksanaan penurunan emisi GRK oleh bidang-bidang prioritas di tingkat
nasional dan daerah;
2. Sebagai acuan investasi terkait penurunan emisi GRK yang terkoordinasi pada tingkat
nasional dan daerah;
3. Sebagai acuan pengembangan strategi dan rencana aksi penurunan emisi GRK oleh
daerah-daerah di Indonesia.
1.4 Kerangka Hukum dan Institusi
Dasar Hukum yang digunakan untuk penyusunan RAN-GRK terdiri dari:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework
Convention on Climate Change;
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim;
5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional;
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) Tahun 2005-2025;
7. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014;
Dalam pelaksanaan RAN-GRK ini, perlu diatur tentang peran berbagai institusi yang
bertanggung jawab untuk kegiatan penurunan emisi GRK di masing-masing bidang serta insitusi
yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pendukung penurunan emisi GRK. Selain itu,
diperlukan pula penetapan institusi yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan berbagai

hal di dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi rencana aksi ini. Untuk itu,
pembagian tugas RAN-GRK adalah sebagai berikut:
1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengkoordinasikan pelaksanaan dan
pemantauan RAN-GRK dengan melibatkan para Menteri dan Gubernur yang terkait
dengan upaya penurunan Emisi GRK, serta melaporkan pelaksanaan RAN-GRK yang
terintegrasi kepada Presiden paling sedikit 1 tahun sekali
2. Menteri PPN/Kepala Bappenas bertugas mengkoordinasikan evaluasi dan kaji ulang RANGRK yang terintegrasi, serta menyusun pedoman RAD-GRK yang akan diintegrasikan
dalam upaya pencapaian target nasional penurunan emisi GRK.
3. Menteri Dalam Negeri bertugas memfasilitasi penyusunan RAD-GRK bersama Menteri
PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Lingkungan Hidup.
4. Menteri Lingkungan Hidup bertugas mengkoordinasikan inventarisasi GRK serta
penyusunan pedoman dan metodologi MRV (Measurment, Reporting and Verification) yang
dilakukan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
5. Kementerian/Lembaga lainnya sesuai tupoksi masing-masing bertugas untuk menjalankan
RAN-GRK sehingga dapat diukur, dilaporkan, diverifikasi, baik dengan pendanaan sendiri
maupun kerjasama dengan dunia internasional, serta melakukan pemantauan pelaksanaan
RAN-GRK dan melaporkan hasilnya secara berkala kepada Menteri Koordinator
Perekonomian, Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Lingkungan Hidup.
6. Pemerintah Provinsi wajib menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca (RAD-GRK) yang mengacu pada RAN-GRK dan sesuai dengan prioritas
pembangunan daerah berdasarkan kemampuan APBD dan masyarakat.
7. Gubernur menyampaikan RAD-GRK kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri
PPN/Kepala Bappenas untuk diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional
penurunan emisi GRK.
Untuk pelaksanaan penurunan emisi GRK di daerah perlu disusun Rencana Aksi Daerah
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) di tingkat Provinsi yang penyusunannya
merupakan tanggung jawab daerah masing-masing dengan koordinasi dari Kementerian Dalam
Negeri. RAD-GRK disusun dengan melibatkan dinas teknis terkait dan ditetapkan dengan
Peraturan Gubernur masing-masing sesuai dengan prioritas pembangunan daerah berdasarkan
kemampuan APBD dan masyarakat.

1.5 RAN-GRK dalam Sistem Perencanaan Pembangunan


Rencana Aksi ini disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN 20102014) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN 2005-2025). Gambar 1.2 berikut
menunjukkan hubungan antara RAN-GRK dengan sistem perencanaan pembangunan baik
nasional dan daerah.

Gambar 1.2 Kedudukan RAN-GRK dalam Sistem Perencanaan Pembangunan


Penyusunan RAN-GRK ini tidak terlepas dari prinsip pengarus-utamaan pembangunan
berkelanjutan yang telah diamanatkan oleh RPJPN 2005-2025 dan RPJMN 2010-2014 (Buku 2
Bab 1), dimana kegiatan pembangunan harus memperhatikan tiga pilar prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan yaitu terkait aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek lingkungan
hidup.

RAN -GRK
2010

2020

Re n can a Pe m ban gun an


2005

2004

2009
RPJM

2025

RPJP
2014
RPJM 2

2019
RPJM 3

2025
RPJM 4

Gambar 1.3 Kerangka Waktu Pelaksanaan RAN-GRK


Pelaksanaan RAN-GRK 2010-2020 ini memenuhi tiga kerangka waktu pembangunan nasional
jangka menengah, yakni dimulai di tahun pertama pada RPJMN ke-2 (tahun 2010-2014), dan
dilanjutkan pada periode 2015-2020 yang berarti merupakan periode RPJMN ke-3 (tahun 20152019) dan periode RPJMN ke-4 (tahun 2020-2024). Adapun kebutuhan pendanaan untuk
pelaksanaan RAN-GRK tahun 2010-2014 telah dialokasikan pada RPJMN 2010-2014, sedangkan
untuk tahun selanjutnya RAN-GRK memberikan arah kebijakan bagi pemerintah dalam
pengurangan emisi GRK dengan biaya/anggaran yang masih bersifat perkiraan (lihat gambar
1.3).
2. ANALISIS KONDISI SAAT INI DAN PERMASALAHAN
2.1. Kondisi saat ini
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari lebih dari 17 ribu pulau besar dan
kecil, Indonesia mempunyai garis pantai yang sangat panjang; di satu sisi hal ini merupakan aset
nasional tetapi di sisi lainnya, khususnya dalam mengantisipasi perubahan iklim hal ini juga dapat
menjadi beban. Selain itu, karena letak geografis dan kondisi gelogisnya, Indonesia sangat rentan
terhadap berbagai bencana alam. Mata pencarian penduduk yang sebagian besar masih
menggantungkan pada pengelolaan sumber daya alam khususnya dari sektor pertanian menambah
tingkat resiko dari ancaman dampak perubahan iklim. Memperhatikan hal-hal tersebut diatas,
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan
iklim, sehingga sangat wajar jika Indonesia berada di garis depan dalam upaya-upaya internasional
untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Selain sebagai negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia mempunyai
potensi yang besar untuk melakukan upaya mitigasi perubahan iklim. Karena itu Indonesia perlu

- 20 mengoptimalkan posisi strategis tersebut dalam berbagai forum di tingkat internasional. Di satu
sisi , Indonesia diperkirakan akan menjadi salah satu dari sepuluh penghasil emisi gas rumah kaca
terbesar, dan dengan demikian memiliki peranan yang penting dalam upaya mitigasi gas rumah
kaca secara global. Di sisi lain, kerawanan terhadap dampak perubahan iklim yang dimiliki Indonesia
menjadikan aspek adaptasi perubahan iklim sebagai salah satu prioritas nasional yang utama.
Sadar akan kedua aspek dari tantangan perubahan iklim, Indonesia menyadari bahwa mitigasi
dan adaptasi harus dijalankan secara simultan oleh semua negara. Untuk itu, Indonesia
memposisikan diri untuk bekerja sama baik secara bilateral maupun multilateral dalam berbagai
upaya internasional menghadapi perubahan iklim.
Indonesia juga menyadari bahwa penanganan perubahan iklim merupakan bagian tak terpisahkan
dari tantangan pembangunan nasional. Perencanaan atas berbagai aspek perubahan iklim
seharusnya dijalankan bersamaan dengan perencanaan pembangunan ekonomi nasional, sehingga
perencanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus terintegrasi dengan perencanaan
pembangunan nasionaldan daerah (provinsi, kabupaten/kota dan lokal).

2.1 Perumusan Masalah


Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan secara
kumulatif pada tahun 2020. Untuk itu, perlu diperhitungkan semua sektor dan program utama,
biaya aksi berbeda-beda antara tiap sektor, sehingga dibutuhkan pemeringkatan untuk menakar
dampak ekonomi terhadap pencapaian dalam hal reduksi emisi gas rumah kaca; jumlah
pengurangan emisi dapat meningkat jika skenario yang berbeda digunakan. Untuk itu, diperlukan
untuk semua sektor, penyusunan sebuah inventarisasi gas rumah kaca dan sistem monitoring
merupakan sebuah prasyarat. Dalam rangka mengurangi emisi CO2 secara signifikan ini, relatif
terhadap skenario business-as-usual, sangat esensial untuk memperkuat kapasitas kelembagaan
sektoral dan sumber daya manusia yang ada di Indonesia.
Sektor kehutanan mewakili potensi terbesar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan
biaya terendah. Namun untuk memaksimalkan potensi tersebut. Berbagai kegiatan perlu
dijalankan secara tepat agar tidak terjebak dalam skenario business-as-usual.
Isu yang bersifat lintas sektoral, perlu dikaji secara lebih mendalam agar dapat menjamin efektifitas
aksi mitigasi juga secara ekonomi. Walaupun penting untuk mencapai pemahaman yang jernih
atas pengurangan biaya lintas sektor, sama pentingnya juga untuk melihat secara seksama
hambatan dalam implementasi kebijakan dalam tiap sektor. Hanya dengan landasan

- 21 tersebut dapat diperoleh dan dikembangkan rangkaian kebijakan yang tepat.


3. KERANGKA KEBIJAKAN DAN RUANG LINGKUP
3.1 Kerangka Kebijakan RAN-GRK

Perubahan iklim akan menghasilkan tantangan yang besar bagi pembangunan yang berkelanjutan
di Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah Indonesia menyusun Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) untuk mencapai tujuan nasional,
target sektoral, tolok ukur serta prioritas aksi dengan mempertimbangkan masalah mitigasi
perubahan iklim bagi sektor-sektor ekonomi yang terkena dampaknya.
Lebih lanjut, RAN GRK diharapkan juga berperan sebagai panduan kebijakan terperinci untuk
implementasi strategi mitigasi perubahan iklim nasional melalui penyusunan rencana kerja
tahunan pemerintah pada periode 2010 2020 dan secara khusus untuk mencapai angka
pengurangan emisi nasional sebesar 26 % dan 41 % untuk penurunan emisi GRK.
3.2 Metodologi Penetapan Kegiatan dan Target Penurunan Emisi
RAN-GRK disusun berdasarkan program dan kegiatan dari Kementerian/Lembaga dalam
RPJMN 2010-2014 dan RPJPN 2005-2025 yang kemudian dibahas antar Kementerian/Lembaga.
Keseluruhan rencana aksi tersebut diupayakan untuk penurunan emisi GRK nasional sebesar
26% pada tahun 2020 dari total emisi bidang-bidang prioritas yang dilakukan selama ini (BAU).
Program/ kegiatan yang diprioritaskan adalah yang pelaksanaannya memakai dana sendiri
(Unilateral NAMAs) baik dari sumber APBN maupun APBD (termasuk pinjaman), swasta dan
masyarakat, berdasarkan beberapa kriteria umum sebagai berikut:
1. Sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
2. Efektifitas penggunaan biaya dengan prinsip biaya termurah penurunan emisi GRK secara
terintegrasi;
3. Kemudahan dalam implementasi dengan mempertimbangan aspek politik, sosial dan
budaya;
4. Sejalan dengan prioritas pembangunan nasional dan daerah dimana kegiatan tersebut
dilaksanakan.
5. Berdasarkan pada asas yang saling menguntungkan dengan memprioritaskan program
pembangunan/kegiatan yang memberikan kontribusi pada penurunan emisi GRK (CoBenefit)

- 22 Untuk memastikan keterlibatan dan rasa kepemilikan RAN GRK oleh tiap Kementerian dan
Lembaga pemerintahan, penyusunan RAN GRK ini disusun secara partisipatoris, dengan
melibatkan masing-masing Kementerian dan lembaga. Aksi prioritas yang dihasilkan ditampilkan
pada RAN GRK merefleksikan visi dan prioritas dari masing masing Kementerian dan
Lembaga negara. Selanjutnya Bappenas melakukan proses analisa dan pengembangan kebijakan
untuk diintegerasikan di dalam perencanaan pembangunan nasional.
Penyusunan prioritas mitigasi gas rumah kaca mengacu pada data yang disepakati dalam rapat di
Kantor Perekonomian pada bulan Desember 2009, dimana data tersebut bersumber dari
Kementerian Lingkungan Hidup. Untuk itu, data dan informasi tersebut perlu ditelaah kembali
dengan data-data terbaru dengan menggunakan metodologi yang diterima secara internasional
namun disesuaikan dengan kebutuhan nasional terkini dan perkembangan negosiasi di UNFCCC.
Ada dua skenario reduksi emisi yang dikembangkan untuk tiap sektor (kehutanan dan lahan
gambut, pertanian, industri, energi dan transportasi, serta limbah) menjadi dasar perhitungan
penurunan emisi GRK. Untuk memastikan perbandingan dan konsistensi, metodologi yang
terstandarisasi digunakan untuk mengevaluasi dampak dari rancangan upaya mitigasi di semua
sektor prioritas. Metodologi tersebut mencakup elemen berikut:
1

Tingkat emisi GRK Nasional tahun 2020 dan distribusi per sektor berdasarkan data dari KLH
yang disepakati dalam rapat di Kantor Perekonomian pada bulan Desember 2009.

Ragam skenario telah dikembangkan untuk dapat mencakup periode waktu RAN-GRK selama
10-tahun. Pola pembangunan pada tiap sektor telah diterjemahkan ke dalam dua lintasan
emisi (penurunan 26% dan 41%)

Skenario mitigasi telah dikembangkan, termasuk intervensi kebijakan dan rencana aksi;

Skenario yang dikembangkan dibagi ke dalam dua periode waktu, masing-masing selama
5tahun: 2010 hingga 2014, dan 2015 hingga 2020;

Biaya untuk langkah aksi diperkirakan berdasarkan RPJM 2010-2014 dan Renstra K/L,
menghasilkan sebuah sistem untuk mengkalkulasi biaya pengurangan;

Reduksi emisi kumulatif dikalkulasikan dalam GCO2e;

Skenario yang dipilih ialah yang dianggap paling memungkinkan untuk mengurangi emisi
(termasuk pilihan aksi dan kebijakan), sementara juga tetap memajukan prioritas
pembangunan nasional;

- 23 8

Program sektoral dan anggaran telah disusun untuk

menggambarkan skenario dan upaya

yang dilakukannya.

3.3 Prinsip-Prinsip RAN-GRK


RAN-GRK disusun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. RAN- GRK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Strategi Pembangunan
Nasional yang Berkelanjutan yang akan disesuaikan dengan perkembangan kebijakan;
2. RAN-GRK tidak menghambat pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan (tetap
memprioritaskan

kesejahteraan

rakyat)

dalam mewujudkan

pembangunan

yang

berkelanjutan;
3. RAN-GRK merupakan rencana aksi yang terintegrasi antara satu bidang dengan bidang
yang lain dengan memperhatikan seluruh aspek pembangunan berkelanjutan seperti daya
dukung dan daya tampung lingkungan serta perencanaan tata ruang dan peruntukan
penggunaan lahan;
4. RAN-GRK merupakan komitmen Indonesia dalam mendukung kepentingan nasional
dan upaya-upaya global penurunan emisi GRK;
5. RAN-GRK berfungsi sebagai sarana koordinasi dalam usaha mengoptimalkan potensi
pendanaan internasional untuk kepentingan Indonesia;
6. RAN GRK merupakan rencana aksi dengan pendekatan baru dalam pembangunan yang
lebih memperhatikan upaya-upaya pengurangan emisi GRK.
3.4 Ruang Lingkup RAN-GRK
Berdasarkan kerangka kebijakan, prinsip serta metodologi penetapan target dan kegiatan RANGRK telah ditetapkan kegiatan-kegiatan inti dan penunjang untuk penurunan emisi gas rumah
kaca dan target per bidang. Tiga bidang utama yang tercakup adalah kehutanan dan lahan
gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, serta limbah. Target penurunan emisi GRK
per bidang dapat dilihat dalam Tabel 2.1, dengan catatan target angka penurunan dan kegiatan
untuk penurunan emisi GRK ini dapat dikaji ulang sesuai dengan metodologi, data dan informasi
yang lebih baik di masa datang.

- 24 -

Tabel 2.1 Target Penurunan Emisi GRK per Bidang


Dalam penetapan target penurunan emisi, perlu diperhatikan bahwa Business As Usual tingkat
emisi GRK nasional perlu diperhitungkan dengan lebih akurat, mengingat skenario tingkat emisi
Business As Usual untuk beberapa bidang masih perlu dievaluasi. Untuk itu, RAN-GRK perlu
untuk terus secara berkala ditinjau dan dilakukan pemantauan dan evaluasi berdasarkan
perkembangan terkini yang terjadi di Indonesia dan hasil negosiasi internasional di UNFCCC.
Untuk menjabarkan penambahan 15% target penurunan emisi GRK menjadi 41% (dari 26%)
dengan dukungan internasional (Supported NAMAs), dilakukan dengan memilih program/kegiatan
tambahan yang pelaksanaannya tidak menggunakan sumber-sumber dana dalam negeri seperti
APBN/APBD (termasuk hutang pemerintah) serta tidak untuk penurunan pemisi GRK yang
diperdagangkan di pasar karbon. Namun penurunan emisi GRK lebih besar dari 41%,
program/kegiatan yang dilaksanakan mencakup skema mekanisme perdagangan karbon (atau
credited NAMAs).
Selanjutnya mengingat mekanisme internasional untuk program/kegiatan Reducing Emission from
Deforestation and Forest Degradation and Enhancement of Carbon Stocks (REDD+) masih dalam proses
negosiasi, maka dalam pelaksanaan perlu dicermati sumber pendanaan dari program/kegiatan
tersebut untuk menentukan pengelompokan ke dalam skema penurunan emisi GRK dengan
dana sendiri (26%/Unilateral NAMAs), dukungan internasional (41%/Supported NAMAs) atau

- 25 pasar karbon (atau Credited NAMAs). Sebagai gambaran, jika program/kegiatan REDD+ untuk
lokasi tertentu didanai oleh APBN/APBD (termasuk hutang pemerintah) maka termasuk dalam
komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK 26%, sedangkan program/kegiatan
REDD+ yang sama dilokasi yang berbeda serta mendapat bantuan pendanaan internasional,
maka termasuk dalam skema target penurunan emisi GRK 41%. Selanjutnya, bila
program/kegiatan REDD+ yang tidak terkait dengan target penurunan emisi Indonesia 26% dan
41% dapat diperjualbelikan dalam pasar karbon.

3.5 Pengembangan RAN-GRK menuju NAMAs


Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) adalah upaya pengurangan emisi secara sukarela
oleh negara berkembang dalam konteks pembangunan berkelanjutan, sementara kewajiban
pengurangan emisi negara industri (Annex I Countries) disebut Nationally Appropriate Mitigation
Actions or Commitments disingkat NAMAC. Alinea 1 b ii pada Keputusan 1/CP.13 (Bali Action
Plan) mencantumkan bahwa:
Nationally appropriate mitigation actions by developing country Parties in the context of sustainable
development, supported and enabled by technology, financing and capacity-building, in a measurable,
reportable and verifiable manner
NAMAs dapat didukung oleh pendanaan, alih teknologi dan penguatan kapasitas oleh negara
industri yang sifatnya terukur, dilaporkan dan diverifikasi (Measurable Reportanle and
Verifiable/MRV).
Pada dasarnya, Konvensi Perubahan Iklim pada COP 15 di Copenhagen mengenali dua jenis
NAMAs yang akan dilaporkan 2 tahun sekali melalui Nasional Komunikasi (National
Communication), yaitu:
a. NAMAs (Unilateral atau Mitigation Actions by Developing Countries): upaya mitigasi domestik
yang dilakukan dengan sumber daya sendiri. Untuk mendapat pengakuan internasional
(berdasarkan Copenhagen Accord), aksi mitigasi ini memerlukan MRV domestik dengan
konsultasi internasional dan analisis menggunakan suatu panduan yang tetap menjamin
kedaulatan nasional.
b. NAMAs (seeking international support): adalah kegiatan NAMAs yang hanya akan berjalan
bila memperoleh dukungan internasional untuk pendanaan, alih teknologi dan bantuan
peningkatan kapasitas. Aksi mitigasi ini memerlukan MRV sesuai dengan panduan yang
diadopsi oleh COP (UNFCCC). Aksi mitigasi ini akan dicatat bersamaan dengan
dukungan teknologi, finansial, dan peningkatan kapasitas yang terkait.
Untuk upaya mitigasi di luar kedua mekanisme tersebut di atas, sering dikenal sebagai Credited
NAMAs yang dapat diperjual belikan di pasar karbon.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di G20 di Pittsburg (September 2009) menyatakan bahwa
Indonesia akan menurunkan emisi GRK sebesar 26% dari BAU pada tahun 2020 dengan usaha
sendiri, dan dapat meningkat menjadi 41% dengan dukungan internasional. Komitmen ini,

- 26 dipertegas kembali pada pidato Presiden di COP-15 Copenhagen (Desember 2009). Untuk
mewujudkan komitmen di atas, maka disusun RAN-GRK yang prinsipnya adalah NAMAs oleh
Indonesia. RAN-GRK ini yang selanjutnya akan dievaluasi dan dikajiulang sesuai kebutuhan
nasional dan perkembangan global terkini, sehingga memenuhi persyaratan dan pengakuan
internasional (UNFCCC).
Sejalan dengan proses tersebut, DNPI sesuai dengan target Copenhagen Accord, telah
menyampaikan surat mengenai posisi Indonesia kepada UNFCCC yang memuat target
penurunan emisi tanpa memerinci aktifitas per sektornya.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan secara internasional di UNFCCC mengenai metodologi,
definisi, scope, approach dll terkait dengan NAMAs. Akan tetapi, melihat kecenderungan hasil
negosiasi maka untuk mendapatkan pengakuan internasionl (UNFCCC) bahwa Indonesia sudah
memenuhi janjinya, maka untuk RAN GRK memenuhi standar NAMAs nantinya, Indonesia
perlu untuk membuat Nasional Baseline (akumulasi penjumlahan baseline dari setiap sektos),
skenario mitigasi dengan perhitungan abetement cost, nasional NAMAs registry dan indikator untuk
MRV.
Dalam penyusunan nasional baseline nantinya, akan ditetapkan dengan landasan yang
komprehensif seperti apa yang dapat menjustifikasi baik target nasional maupun sektoral, serta
bagaimana mekanisme dan konsep MRV yang akan digunakan. Karena kerangka waktu RANGRK bersifat jangka menengah, maka perlu disusun tahapan dan trajektori penurunan emisi
pertahun, persektor, sampai dengan tahun 2020 sehingga dapat dimonitor dan dievaluasi secara
berkala.
Diperlukannya kajian secara komprehensif tentang baseline dari emisi nasional maupun berbagai
skenario penurunan dari emisi persektornya. Dari skenario penurunan emisi persektornya
tersebut yang akan diperlukan untuk target penyusunan rencana aksi dan kegiatan-kegiatan yang
akan dimuat dalam RAN-GRK. Dalam kajian komprehensif tersebut diharapkan memberikan
gambaran tentang implikasi target penurunan GRK terhadap pertumbuhan masing-masing sektor
maupun nasional serta perhitungan cost benefitnya.
Penentuan national emissions reduction projection under BAU scenario hanya menggunakan trend
adalah tidak appropriate. CO2 yang ada di atmosphere adalah merupakan kontribusi dari activities of
the each sectors, dimana langgam-nya (its behaviour) akan tidak selalu sama dari waktu ke waktu.
Sebagai contoh di sektor ketenagalistrikan: komposisi energi primer pada tahun ini atau tahun
2005 akan jauh berbeda dengan tahun 2015 atau 2020, dan seterusnya. Langgam komposisi
energi primer ini tidak sama dari waktu ke waktu, sehingga CO2 yang dikontribusikan akan
berubah. Oleh karena itu simulasi jangka panjang perlu dilakukan tentunya dengan objective
function yang jelas dan tentunya cost effective (non-intervention scenario). Hal yang sama juga akan terjadi
di sektor transportasi, yang akan jauh lebih complex dan dapat bersifat non-linear, misalnya
perubahan mode of transportations, atau adanya constraint of transportation infrastructures. Berikut,
beberapa definisi Baseline, yang mengandung pengertian yang sama dimana tidak satupun cara
projeksi emisi CO2 under BAU scenario (Baseline) disarankan dengan menggunakan trend, sebagai
berikut:

- 27

Climate Change: A Glossary of Terms; 4thEdition, April 2007. IPIECA: Baseline: A projected level of
future emissions against which reductions by project activities might be determined, or the emissions that would
occur without policy intervention.
UNFCCC RESOURCE GUIDE, For Preparing the National Communications of Non-Annex I
Parties. Module 4, Measures to Mitigate Climate Change: Baseline Scenarios: Aplausible and consistent
description of how asystem might evolve in the future in the absence of explicit new GHG mitigation policies.
Baseline scenarios are the counter factual situations against which mitigation policies and measures will be
evaluated. A baseline should not beconsidered as a forecast of what will happen in the future, since the future
is in herently unpredictable and depends, in part, on planning and policy adoption. Assessment will typically
require one or more baseline scenarios as baseline are highly uncertain over the long term and may prove
controversial, particularly indeveloping countries.
CLIMATE CHANGE 2007. MITIGATION CLIMATE CHANGE; Working Group III
Contribution to the 4thAssessment Report of the IPCC, Summary for the Policymakers and Technical
Summary: Baseline: The reference for measurable quantities from which analternative outcome can be
measured, e.g. a nonintervention scenario is used as a reference in the analysis of intervention scenarios.
World Energy Outlook 2006; IEA, 2006: The Reference Scenario does not take intoconsideration possible,
potential or even likely future policy actions. Thus, the Reference Scenario projections should not beconsidered
forecasts, but rather a baseline vision of how energy markets woul devolve if governments do nothing beyond
what they have already committed themselves to influence longterm energy trends. Policy Scenario, analyses the
impact of arange of policies and measures that countries in allregions are considering adopting or might
reasonably be expected to adopt some point over the projection period.

4. STRATEGI NASIONAL PENURUNAN EMISI


4.1

Arah Kebijakan Umum (Cross-cutting)

Arah Kebijakan RAN-GRK secara umum harus memperhatikan berbagai isu yang bersifat lintas
bidang, yang dirumuskan sebagai berikut:
1

Penurunan emisi GRK dilakukan melalui: (i) penurunan emisi secara langsung dan peningkatan
kapasitas serapan GRK, dan (ii) kegiatan yang tidak secara langsung menurunkan emisi
GRK seperti kebijakan, peningkatan kapasitas manusia dan kelembagaan, kerangka regulasi,
sosialisasi, penelitian tentang potensi penurunan GRK dan kegiatan lain yang mempunyai
andil dalam penurunan GRK;

Penurunan emisi GRK dilakukan melalui rehabilitasi dan konservasi sumberdaya alam,
pencegahan degradasi dan deforestasi hutan dan lahan, efisiensi penggunaan input produksi,
penggunaan dan pengembangan energi baru terbarukan, serta pemanfaatan teknologi hemat
energi dan teknologi bersih lainnya

Tidak menghambat pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan dalam mencapai


pembangunan berkelanjutan.

- 28 4

Penurunan emisi dilakukan melalui bidang kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi
dan transportasi, industri dan pengelolaan limbah. Pencapaian tujuan penuruan emisi GRK
yang dicapai oleh bidang tertentu tidak menimbulkan hambatan bagi pengembangan bidang
yang lainnya.

4.2 Arah Kebijakan dan Rencana Aksi Nasional Per Bidang


Penurunan emisi dilakukan melalui bidang-bidang prioritas, meliputi kehutanan dan lahan
gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri dan pengelolaan limbah
Mengacu pada klasifikasi sektoral yang dimiliki dalam mekanisme perencanaan pembangunan
nasional, proses penyusunan RAN GRK juga menyertakan beberapa kegiatan yang dirancang
untuk membahas isu lintas sektor terkait dengan perubahan iklim. Hal yang terpenting, isu
penggunaan lahan memerlukan perhatian yang lebih besar pada masa yang akan datang jika
dilihat dari perspektif lintas sektoral mengingat konversi lahan dan tata guna lahan dibahas dalam
sektor pertanian, kehutanan, dan sektor energi. Keterkaitan antar sektor dan salingketergantungan ini akan ditindak lanjuti dalam proses RAN GRK ke depan. Langkah-langkah ke
depan akan mencakup integrasi pemanfaatan tata ruang yang memuat isu perubahan iklim,
penguatan kapasitas kelembagaan, dan pengembangan mekanisme untuk hukum dan perundangundangan.
Lingkup Regional. RAN GRK ini juga mempertimbangkan keragaman secara kondisi fisik,
ekonomi, politik dan budaya , Indonesia membutuhkan pendekatan berdasarkan aspek
kewilayahan untuk perencanaan pembangunan nasional. Tawaran kebijakan untuk masalah
perubahan iklim sebab itu dikondisikan dengan karakter khusus yang dimiliki wilayah-wilayah di
Indonesia: Sumatera, Jamali (Jawa, Madura, Bali), Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku,
dan Papua.
4.2.1 Kehutanan dan Pengelolaan Lahan Gambut
Hutan, selain merupakan sumber emisi karbon dalam konteks perubahan iklim juga merupakan
rosot karbon dan tempat penyimpanan karbon. Praktek pengelolaan hutan yang berkelanjutan
dari hutan produksi, hutan konservasi dan hutan lindung, serta pembatasan konversi lahan hutan
menjadi non-hutan dan degradasi kualitas hutan, pengelolaan hutan pada lahan gambut dan
pencegahan kebakaran hutan, berkontribusi terhadap penurunan emisi GRK. Rehabilitasi hutan
dan lahan gambut dan pembuatan/penanaman hutan produksi di lahan yang terdegradasi akan

- 29 meningkatkan kemampuan penyerapan karbon. Hal ini juga akan memberikan dampak positif
terhadap perlindungan keanekaragaman hayati, perlindungan sumber daya air, serta fungsi sosial
ekonomi.
Lahan gambut mempunyai potensi penyimpan karbon yang besar. Luas lahan gambut secara
keseluruhan hanya meliputi kurang lebih 3% dari luas daratan dunia, namun diindikasikan dapat
menyimpan 550 Gton C atau setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh
dunia (Joosten, 2009). Bila diambil angka terendah tambatan karbon di atas permukaan gambut
yang berkisar pada angka 150 ton (dalam bentuk biomassa tanaman) per ha maka secara kasar
paling tidak lahan gambut di Indonesia menambat (menyimpan) 3.150 juta ton karbon atau setara
dengan 8,34 giga ton CO2e. Sampai dengan tahun 2005, emisi per tahun yang berasal dari lahan
gambut diperkirakan mencapai 903 juta ton CO2e dan diperkirakan dengan skenario BAU maka
emisinya berubah menjadi 1.387 juta ton CO2e pada tahun 2025.
Indonesia memiliki sekitar 21 juta hektar lahan gambut, tersebar di Provinsi NAD, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Papua, dan Papua Barat. Lahan gambut terutama di Sumatera (7,2
juta ha), Kalimantan (5,8 juta ha) dan Papua (8 juta ha) mempunyai kedalaman yang berbedabeda. Kondisi pada tahun 2006 menunjukkan lebih dari 55% lahan gambut masih berupa hutan1,
sementara sisanya didominasi oleh lahan pertanian (14%) dan semak belukar/rumput (20%).
Pada tahun tersebut, terdapat izin kehutanan dan perkebunan untuk menggunakan lahan gambut
dengan total sekitar 5,6 juta hektar lahan gambut. Sesuai dengan data 2006 maka luas lahan
gambut yang merupakan kawasan hutan adalah seluas 12,3 juta ha terdiri dari hutan konservasi
seluas 2,34 juta ha, hutan lindung seluas 1,02 juta ha, dan hutan produksi seluas 8,95 juta ha. Luas
lahan gambut yang merupakan perkebunan seluas 1,42 juta ha, dimanfaatkan sebagai pertanian
seluas 1,23 juta ha, dan sisanya sebesar 4,66 juta ha dipergunakan untuk kegiatan lain. Untuk itu
rencana aksi penurunan emisi GRK di lahan gambut merupakan bagian tidak terpisahkan dari
penurunan emisi GRK dari bidang kehutanan.
Upaya-upaya penurunan emisi GRK di bidang kehutanan dan lahan gambut memerlukan
pengelolaan secara khusus yang terutama dilakukan melalui KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan).
Untuk itu pengembangan KPH merupakan prioritas sebagai unit pengelola dalam menjalankan
praktek manajemen hutan termasuk lahan gambut yang berkelanjutan. Emisi di bidang

1 Tidak

berarti berada di kawasan hutan

- 30 kehutanan (termasuk lahan gambut) per tahun diperkirakan mencapai 1,24 giga ton CO2e,
sedangkan kemampuan menyerap karbon dari atmosfer diperkirakan hanya mencapai 0,707 giga
ton CO2e pada tahun 2020. Skenario rencana aksi bidang kehutanan disusun dengan
memperhatikan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Disamping dengan melajukan
peningkatan potensi serapan karbon melalui aksi penanaman, potensi reduksi emisi melalui
praktek-praktek pengelolaan Hutan Produksi secara lestari, serta meningkatkan peran kawasan
konservasi dan hutan lindung dalam menjaga stok karbon di hutan.
Walaupun terdapat keterbatasan data dan informasi yang akurat mengenai lahan gambut, Rencana
aksi Kehutanan dan Lahan Gambut ini disusun dengan menetapkan angka deforestasi untuk
mengakomodasikan kepentingan industri kehutanan sebesar 1,125 juta ha per tahun, emisi tahunan
1,24 giga ton CO2e, rehabilitasi hutan seluas 500.000 ha per tahun, serta penurunan hot- spot
sebesar 20% dari rata-rata jumlah hotspot selama 2004-2009. Untuk mendukung kegiatan
rehabilitasi hutan maka akan ditetapkan Kesatuan Pengelolaan Hutan/KPH (Forest Management
Unit) per tahun sebagai forest administration.
4.2.1.1 Arah Kebijakan
Kebijakan penurunan emisi GRK di bidang Kehutanan di arahkan dengan mensinergikan
program-program bidang kehutanan seperti: (i) mensinergikan kebijakan, perencanaan, dan
program (termasuk tata ruang dan penguatan kelembagaan) para pemangku kepentingan di
bidang kehutanan seperti dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Pemerintah Daerah (ii) mempertajam kebijakan dan
menyusun langkah-langkah pengurangan emisi karbon dari bidang kehutanan yang secara efektif
dapat menyelesaikan permasalahan yang menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan; (iii)
mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management), (iv) merevitalisasi
ekosistem hutan yang terdegradasi dengan melibatkan masyarakat luas, (v) menekan laju
deforestasi dari berbagai gangguan seperti illegal logging, kebakaran hutan, konversi kawasan hutan
untuk kepentingan non-hutan, (vi) mengembangkan hutan tanaman untuk pemenuhan permintaan
hasil hutan kayu untuk keperluan industri kehutanan.
Sementara itu, mengingat besarnya peranan lahan gambut terhadap pemanasan global, sebaiknya
seluruh kawasan gambut dapat dikonservasi untuk menghindarkan degradasi yang akan
meningkatkan emisi karbon. Namun demikian, selama ini lahan gambut sudah digunakan untuk
berbagai kepentingan yang menyangkut masyarakat luas, maka pemerintah perlu menerapkan
kebijakan seimbang antara penggunaan untuk keperluan ekonomi dan kepentingan konservasi.
Untuk itu diperlukan kebijakan antara lain: (i) konsolidasi dan rencana terintegrasi pemangku

- 31 kepentingan terkait seperti aktifitas kehutanan, aktifitas pertanian, dan aktifitas infrastruktur; (ii)
review dan revisi rencana tata ruang wilayah untuk mencari kemungkinan land-use swap dari
pemanfaatan lahan gambut ke areal non lahan gambut (lahan mineral); (iii) perbaikan pengelolaan
lahan gambut yang berada dalam kawasan hutan maupun kawasan non-hutan dengan membatasi
penggunaan lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter, dan pengelolaan secara terpadu
pada lahan gambut dengan kedalaman kurang dari 3 meter sesuai dengan fungsi kawasan dan
karakteristik gambut pada areal tersebut; (iv) pembukaan lahan gambut diperbolehkan, harus
dilakukan dengan metode pembukaan lahan tanpa bakar dan pengelolaan air berkelanjutan; (v)
penerapan pengelolaan tanah (soil) dan rehabilitasi lahan gambut yang mengalami kerusakan
melalui pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, rehabilitasi dan pengelolaan lahan
gambut yang terlantar dengan pengawasan dan penegakan hukum yang ketat.
4.2.1.2 Rencana Aksi
Rencana Aksi Nasional di bidang kehutanan dan lahan gambut disusun berdasarkan RPJMN
2010-2014, RPJPN 2005-2025 dan usulan dari K/L terkait, serta perhitungan target penurunan
emisi GRK bidang kehutanan dan lahan gambut sebesar 0.672 giga ton CO2e pada tahun 2020
untuk target 26% secara Nasional.
Bentuk intervensi yang perlu ditempuh untuk mengurangi emisi yang berasal dari kehutanan dan
lahan gambut adalah: (a) mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut, (b)
rehabilitasi hutan dan lahan gambut melalui reboisasi dan penghijauan dengan tanaman
penambat karbon tinggi, (c) pengaturan tata air pada kawasan lahan gambut secara integratif, (d)
pemanfaatan dan pengelolaan hutan dan lahan gambut yang terdegradasi, dan (e) peningkatan
upaya perlindungan dan konservasi kawasan-kawasan konservasi dan hutan lindung
Kegiatan-kegiatan dalam rencana aksi, selain kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, untuk
meningkatkan carbon stock meliputi Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa, Pembangunan Hutan
Tanaman (Hutan Tanaman Industri/HTI dan Hutan Tanaman Rakyat/HTR) dan Hutan Rakyat,
pemberian HPH Restorasi Ekosistem, Hutan Rakyat Kemitraan dan Hutan Rakyat dengan
target kurang lebih 18,8 juta ha hingga tahun 2020.
Untuk menekan serendah mungkin emisi yang berasal deforestasi maka bidang kehutanan
berupaya untuk menekan perubahan kawasan hutan menjadi tidak berhutan secara permanen.

- 32 Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengoptimalkan pemanfaatan kawasan hutan yang telah
dikonversi untuk kepentingan lain, khususnya perkebunan dan transmigrasi.
Mengingat hal-hal tersebut di atas dan potensi emisi dari kehutanan dan lahan gambut yang
sangat besar, maka diperlukan upaya penurunan melalui Rencana Aksi yang terintegrasi antar
K/L dan para pihak. Rencana aksi untuk kehutanan dan lahan gambut difokuskan kepada:
1. Rehabilitasi hutan, lahan gambut dan lahan kritis di DAS prioritas, fasilitasi pengembangan
hutan kota, konservasi hutan dan/lahan terdegradasi rawan terbakar melalui pemberian
insentif kepada masyarakatmelalui penanaman tanaman kayu,
2. Pengembangan perhutanan sosial melalui fasilitasi penetapan areal kerja dan pengelolaan
hutan kemasyarakatan (HKm), fasilitasi pembangunan hutan rakyat kemitraan, fasilitasi
penetapan areal kerja hutan desa,
3. Pengendalian kebakaran hutan dan pemberantasan illegal logging-pencegahan kehilangan
kayu,
4. Penanganan perambahan hutan dan lahan gambut dan penanganan konflik kawasan
lindung dan konservasi,
5. Pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH),
6. Peningkatan pengelolaan hutan alam produksi melalui pengelolaan LOA (Logged Over
Area) oleh pemegang IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) dan
pengelolaan LOA yang terdegradasi oleh IUPHHK-RE, serta peningkatan pembangunan
hutan tanaman,
7. Penerapan penyiapan lahan tanpa membakar, perbaikan tata air kawasan lahan gambut
secara integratif antar pengguna lahan gambut serta pengelolaan lahan gambut untuk
pertanian berkelanjutan,
8. Kebijakan rehabilitasi kawasan lahan gambut yang rusak melalui reboisasi dan penghijauan,
perbaikan kualitas pengelolaan lahan gambut yang rusak, dan pencegahan dan
penanggulangan kebakaran lahan gambut,
9. Peningkatan rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan reklamasi rawa termasuk lahan
bergambut,
10. Pengendalian Tata Ruang melalui penetapan wilayah KPHK dan konsolidasi hutan yang
berada di luar kawasan hutan, meningkatkan konservasi pada lahan gambut yang belum
diberikan ijin pemanfaatan, penerapan land-swap bagi pemegang ijin/hak yang berada di
dalam kawasan lahan gambut dan belum memanfaatkannya ke lokasi lain di luar kawasan
lahan gambut (mineral soil),

- 33 11. Pengendalian kerusakan ekosistem lahan gambut, penyusunan kriteria baku kerusakan
gambut, dan penyusunan masterplan pengelolaan ekosistem gambut provinsi.
Rencana Aksi ini didukung oleh kegiatan:
1. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengendalian kerusakan ekosistem gambut,
2. Pengawasan, monitoring dan evaluasi kondisi ekosistem gambut,
3. Survey dan pengumpulan data hidrologi dan hidrogeologi pada lahan bergambut,
4. Pembentukan Tim Koordinasi dan Sekretariat Penyusunan Perencanaan Lahan Rawa
Berkelanjutan melalui kegiatan Water Management for Climate Change Mitigation and Adaptive
Development of Lowlands (WACLIMAD) yang bertujuan untuk melakukan identifikasi lahan
rawa (termasuk gambut sekitar 30%) yang dapat dibudidayakan dan yang harus
dikonservasi,
5. Penelitian sistem tata air pada lahan bergambut,
6. Penyusunan Perpres Kawasan Strategis Nasional (KSN) & Rencana Tata Ruang (RTR)
Pulau,
7. Penyusunan rencana tata ruang wilayah sungai,
8. Audit tata ruang (stock taking) wilayah provinsi,
9. Pendataan dan informasi bidang penataan ruang,
10. Monitoring evaluasi RTRW nasional dan pulau dan program infrastruktur nasional,
11. Percepatan penetapan Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota berbasis Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di 31 Provinsi dan 497 kab/kota selama 5 tahun.
Dukungan lain untuk Rencana Aksi ini antara lain melalui:
1. Fasilitasi kemitraan di 24 propinsi,
2. Fasilitasi kelompok ijin usaha pengelolaan HKm di 24 propinsi,
3. Penurunan jumlah hotspot di Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan sebesar 20% per tahun,
4. Peningkatan Hasil Hutan Kayu/ Bukan Kayu/ Jasa Lingkungan,
5. Peningkatan Jumlah Unit IUPHHK Bersertifikat PHPL dari Tahun 2009,
6. Peningkatan Produksi Penebangan Bersertifikat Legalitas Kayu,
7. Pembuatan Peta Areal Kerja Pencadangan (IUPHHK-HT, HA, RE, HKm, HTR dan
Hutan Desa) ,
8. Pengendalian Penggunaan Kawasan Hutan,
9. Penyelesaian permohonan Ijin Pakai pakai KH dengan kompensasi PNBP,
10. Data dan Informasi Penggunaan KH,

- 34 11. Kebijakan bidang Planologi Kehutanan dan Peraturan perundangan pengendalian dan
penertiban penggunaan KH tanpa ijin,
12. Pelepasan Kawasan Hutan secara hati-hati (prudensial) dan sesuai dengan RTRWP yang
berlaku,
13. Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan,
14. Data dan Informasi Geospasial dan tematik kehutanan Tingkat Nasional,
15. Data dan Informasi potensi kayu di KH Tingkat Nasional,
16. Data dan Informasi penggunaan karbon KH Tingkat Nasional,
17. Basis data spasial Sumber Daya Hutan yang terintegrasi di pusat dan daerah,
18. Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perubahan Iklim,
19. Iptek dasar dan terapan bidang landscape hutan, perubahan iklim, dan kebijakan
kehutanan,
20. Penurunan jumlah Hot spot, di P. Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan,
21. Peningkatan kapasitas Aparatur dan Masyarakat,
22. Penyelesaian kasus perambahan hutan,
23. Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP),
24. Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL),
25. Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK),
26. Peraturan perundang-undangan penyelenggaraan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH),
27. Fasilitasi dukungan kelembagaan ketahanan pangan,
28. Pengawasan pemanfaatan ruang dan evaluasi pemanfaatan ruang berdasarkan daya
dukung dan daya tampung lingkungan yang terpadu dan bersifat lintas K/L,
29. Penelitian dan pengembangan teknologi rendah emisi, metodologi MRV pada areal
pertanian di lahan gambut.
4.2.2 Bidang Pertanian
Bidang pertanian secara umum merupakan bidang yang secara significant akan terkena dampak
perubahan iklim. Namun, di sisi lain, bidang pertanian juga menghasilkan emisi GRK. Apabila
tanpa Rencana Aksi (Business As Usual/BAU) di lahan padi sawah non gambut akan
menghasilkan emisi CH4 dan N2O dalam kondisi tergenang (anaerobic), sedangkan padi sawah
di lahan gambut emisi GRK yang dikeluarkan terutama CH4. Untuk perkebunan di lahan gambut
karena kondisi yang dibutuhkan aerobic, maka emisi GRK terbesar adalah CO2.

- 35 Emisi kumulatif GRK di bidang pertanian apabila tanpa dilakukan rencana aksi (BAU)
diperkirakan sebesar 117 juta ton CO2e. Oleh karena itu, untuk mendukung pemenuhan target
penurunan emisi GRK Indonesia sebesar 26% atau 41% hingga tahun 2020, diperlukan beberapa
kebijakan di bidang pertanian untuk menurunkan emisi GRK.
4.2.2.1 Arah Kebijakan
Kebijakan pembangunan pertanian diarahkan untuk meminimalisasi dampak negatif dari
perubahan iklim dan berkontribusi dalam penurunan emisi GRK, yang dilakukan melalui (i)
mensinergikan dan mengintegrasikan kebijakan, perencanaan, dan program pada seluruh
pemangku kepentingan di bidang pertanian seperti, dengan Kementerian Pekerjaan Umum
(misalnya untuk ketersediaan air dan infrastruktur), Kementerian Kehutanan (misalnya untuk
REDD+), dan Pemerintah Daerah (misalnya perijinan peruntukkan lahan dan pengembangan
wilayah); (ii) mempertajam kebijakan dan menyusun langkah-langkah pengurangan emisi karbon
di bidang pertanian sesuai dengan kebutuhan Indonesia dan perkembangan global dengan tetap
memprioritaskan ketahanan pangan; (iii) meningkatkan pemahaman petani dan pelaku pertanian
lainnya dalam mengantisipasi perubahan iklim untuk menjamin pencapaian program ketahanan
pangan; (iv) meningkatkan kemampuan para pelaku usaha di bidang pertanian untuk beradaptasi
dengan perubahan iklim; (v) merakit dan menerapkan teknologi tepat guna dalam mitigasi emisi
GRK; dan (vi) meningkatkan kinerja litbang dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
4.2.2.2 Rencana Aksi
Penurunan emisi GRK pada lahan pertanian (sawah dan perkebunan) dan pemanfaatan limbah
pada sub sektor peternakan, dilakukan dengan beberapa introduksi teknologi sebagai berikut:
1. Pada lahan sawah non-gambut, teknologi reduksi emisi CH4 dilakukan antara lain melalui
penerapan System of Rice Intensification (SRI) disertai dengan sistem pengairan berselang
(intermittent irrigation), penggunaan varietas unggul baru (VUB) rendah emisi, dan berbagai
teknik budidaya lainnya seperti olah tanah minimum, sistem tebar langsung, penggunaan
herbisida dan pupuk organik. Cara ini memiliki potensi menekan emisi CH4 dari lahan
sawah berkisar antara 10-50%, dengan rata-rata tersebar pada kisaran 20%.
2. Pada lahan gambut yang digunakan untuk usaha tani perkebunan diarahkan pada lokasi
yang berasal dari lahan alang-alang dan bukan membuka hutan, dan proses penyiapan
lahannya dilakukan dengan tanpa bakar serta dilakukan penambahan bahan amelioran
(kaya kation ber-valensi tinggi) yang dapat menurunkan emisi CO2.

- 36 3. Teknologi mitigasi peternakan dilakukan melalui perbaikan teknologi pakan ternak


(ransum dan suplemen/konsentrat), pengelolaan kotoran ternak menjadi biogas dan
kompos, dan pemuliaan untuk memperoleh bibit ternak yang adaptif dengan fermentasi
enterik rendah emisi. Total penurunan emisi melalui perbaikan teknologi ini dapat
mencapai sekitar 4.691 ton CO2e.
Untuk itu, Rencana Aksi Nasional di bidang Pertanian yang disusun berdasarkan RPJMN 20102014, RPJPN 2005-2025, dan usulan dari K/L terkait serta perhitungan target penurunan emisi
GRK bidang Pertanian sebesar 0.008 Giga Ton CO2e pada tahun 2020 difokuskan pada kegiatan:
1. Penyiapan lahan tanpa bakar dan optimalisasi pemanfaatan lahan terutama untuk
wilayah/provinsi di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah.
2. Penerapan teknologi budidaya tanaman untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK).
3. Pemanfaatan pupuk organik dan bio-pestisida dalam budidaya tanaman untuk mencegah
laju peningkatan emisi GRK melalui penggunaan Alat Pengolah Pupuk Organik (APPO).
4. Pengembangan areal perkebunan (sawit, karet, kakao) di lahan yang tidak berhutan/lahan
terlantar/lahan terdegradasi (APL).
5. Pemanfaatan kotoran/urine ternak dan limbah pertanian untuk biogas, biofuel dan pupuk
organik.
6. Penerapan pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) melalui pembuatan kompos, arang dan
briket arang di provinsi Riau, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan
Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat.
7. Perbaikan dan pemeliharaan sistem irigasi.
Rencana aksi ini didukung dengan kegiatan:
1. Penelitian sistem pengelolaan air pada daerah irigasi
2. Penelitian metode pengurangan emisi gas rumah kaca di waduk
3. Penelitian dan pengembangan teknologi rendah emisi, metodologi MRV bidang
pertanian
4.2.3 Bidang Energi dan Transportasi
Bidang Energi, termasuk tenaga listrik dan transportasi, merupakan salah satu penyumbang
emisi GRK yang cukup besar dengan kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan dari

- 37 tahun ke tahun. Penggunaan batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik dan bahan
bakar minyak untuk transportasi menyebabkan emisi GRK dari bidang energi dan transportasi
cukup besar. Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional
mengamanatkan pengurangan minyak bumi dalam porto folio energi primer nasional pada tahun
2025, dan pemanfaatan sumber energi yang lebih bersih ditingkatkan. Pemanfaatan energi bersih
ini diharapkan dapat menyumbang penurunan emisi GRK, disamping meningkatkan kemandirian
energi, menciptakan lapangan kerja. Pemanfaatan gas terutama dilakukan untuk pengganti BBM
pada pembangkit tenaga listrik dan pada bahan bakar kendaraan bermotor. Pemanfaatan tenaga
matahari, air, angin dan panas bumi terutama ditujukan untuk menggangti BBM dan batubara
pada pembangkit tenaga listrik. Pemanfaatan Bahan bakar berbasis nabati ditujukan untuk
mengganti bahan BBM kendaraan bermotor. Penurunan emisi GRK tidak hanya dilakukan pada
sisi penyediaan energi tetapi juga disisi pemanfataan energi, melalui pengelolaan energi yang lebih
baik dan penghematan penggunaan energi. Potensi penghematan energi di setiap sektor pengguna
energi, seperti sektor industri, transportasi, dan rumah tangga, sukup besar.
Penurunan emisi GRK di bidang energi dilakukan melalui penerapan komitmen efisiensi
pemanfaatan energi (demand side) dan penerapan mandatori penyediaan energi baru dan
terbarukan (EBT) dan pemanfaatan teknologi pembangkit energi (listrik) yang bersih dan efisien
(supply side). Efisiensi pemanfaatan energi dapat dilakukan diberbagai proses dari rantai energi,
dimulai dari usaha pencarian sumberdaya energi, produksi, pengolahan, distribusi hingga
pemanfaatannya. Rantai energi ini dapat disederhanakan ke dalam tiga bagian utama, yaitu
kegiatan pencarian energi untuk menghasilkan energi primer, kegiatan konversi energi primer
menjadi energi yang dapat digunakan, serta pemanfaatan energi. Pemanfaatan energi meliputi
berbagai bidang, antara sebagai bahan bakar dalam pembangkit tenaga listrik, bahan baku di
sektor industri, seperti pupuk, baja, dan petrokimia, bahan bakar di sektor transportasi, rumah
tangga dan sebagainya.
Komitmen efisiensi energi sampai dengan tahun 2020 didasarkan atas kebutuhan energi tanpa
mitigasi (BAU), yakni sebesar 1.936,6 juta setara barel minyak atau SBM, yang terdiri dari
kebutuhan untuk rumah tangga (12%), transportasi (30%), industri (53%), dan komersial (4%)
(Rancangan Blue Print, Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, ESDM,
2010). Potensi efisiensi atau penghematan dalam penggunaan energi sangat besar, sekitar 15-30%
di sektor industri, 25% di sektor transportasi, dan 10-20% di sektor rumah tangga dan komersial
(Survey Potensi Konservasi Energi DJLPE, ESDM, 2008).

- 38 Sedangkan, penyediaan EBT masih terbatas, yakni 30,3 juta SBM dari panas bumi dan 56,5 juta
SBM dari tenaga air (BAU) (Rancangan Blue Print, Pengembangan Energi Baru Terbarukan
dan Konservasi Energi, ESDM, 2010). Potensi penyediaan EBT cukup besar dan dapat
meyumbang sekitar 20% dari kebutuhan enegi nasional secara keseluruhan. Sumber-sumber
energi dari panas bumi, nabati, hidro atau sumber energi air, nuklir, dan tenaga surya, angin,
biogas dan biomas merupakan sumber-sumber EBT yang sangat berpotensi untuk
dikembangkan. Sumber energi panas bumi dan air merupakan dua sumber EBT yang sangat
besar dalam menyumbang penyediaan energi, khsusunya untuk pembangkit tenaga listrik, dan
dalam pengurangan emisi GRK.
Penerapan teknologi energi bersih diarahkan untuk peningkatan efisiensi pemanfaatan dan
teknologi yang mengkonsumsi energi secara efisien dan menghasilkan karbon yang rendah.
Peranan teknologi bersih ini menjadi penting mengingat potensi emisi GRK dari sektor energi,
terutama listrik, cukup besar. Kenaikan ini terutama dihasilkan oleh adanya pengembangan
pengembangan tenaga listirk uap (PLTU) batubara dari program percepatan penyediaan listrik
10.000 MW tahap pertama, dan pengembangan kurang lebih 4.000 MW PLTU batubara dari
program percepatan penyediaan listrik tahap kedua. Jumlah emisi GRK tersebut digunakan
sebagai bagian dari jumlah emisi skenario (BAU) yang digunakan dalam perhitungan penurunan
emisi GRK, dengan asumsi bahwa skenario ini disusun berdasarkan tingkat proyeksi emisi masa
depan tanpa adanya intervensi kebijakan apapun terkait dengan target penurunan emisi GRK.
Emisi GRK (BAU) di sektor energi pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 1.400 juta ton
dengan potensi pengurangan emisi mencapai 166,33 juta ton (17,53%), dimana sektor
transportasi menyumbang 43,88 juta ton (21,23 %), rumah tangga 3,83 juta ton (12,11 %),
industri 54,47 juta ton (19,96 %), komersial 2,26 juta ton (6,54 %), dan pembangkitan tenaga
listrik 61,88 juta ton (15,34%) (Rancangan Blue Print, Pengembangan Energi Baru Terbarukan
dan Konservasi Energi, ESDM, 2010). Penurunan emisi GRK melaui upaya efisiensi pemanfaan
energi dilakukan dengan mengacu kepada Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN),
dilengkapi dengan Roadmap Konservasi Energi untuk masing-masing sektor pengguna, yang
meliputi antara lain sosialisasi dan kampanye tentang perlunya penghematan energi, pendidikan
dan pelatihan, penelitian dan pengembangan teknologi energi rendah energi. Efisiensi, disektor
industri, dilakukan dengan melakukan audit penggunaan energi, labelisasi efieisnsi, penerapan
standar konservasi energi untuk bangunan gedung, dan sebagainya, di sektor transportasi dengan
menerapkan sistem transportasi masal yang efisien, di sektor komersial dengan menerapkan
standar konservasi energi untuk bangunan gedung, dan di sektor kelistrikan dengan menerapkan
sistem pembangkitan yang efisien. Penerapan sistem pembangkit yang efsien dapat menyumbang

- 39 penurunan emisis GRK dengan porsi yang besar. Hal ini mengingat emisi GRK di bidang energi
umumnya berasal dari kegiatn pembangkitan listrik. Disamping itu, upaya mitigasinya dapat
dilakukan dengan relatif mudah dan cukup terukur.
Pertumbuhan konsumsi energi bidang transportasi saat ini terus meningkat dari tahun ke tahun,
sesuai dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi,
kendaraan umum, dan pertumbuhan pergerakan (trip) penumpang dan barang, baik di daerah
perkotaan maupun perdesaan. Saat ini sektor transportasi mengkonsumsi sekitar 48% dari
konsumsi nasional energi primer, khususnya minyak bumi. Dari total konsumsi energi sektor
tansportasi ini, hampir seluruhnya (88%) diserap oleh transportasi jalan, dan sisanya diserap oleh
moda transportasi lainnya, seperti transportasi udara (7%), transportasi perkeretaapian (4%),
serta transportasi laut, sungai, danau dan penyebrangan (1%) (ICCSR, 2010).
Emisi GRK yang dihasilkan bidang transportasi tahun 2009 mencapai sekitar 67 juta ton CO2,
dan setiap tahunnya tumbuh dengan laju sekitar 8-12%. Emisi GRK ini umumnya dihasilkan dari
moda transportasi jalan, khususnya di daerah perkotaan seperti Jabodetabek, Surabaya, Medan,
Bandung dan Semarang yang memiliki tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor yang tinggi.

4.2.3.1 Arah Kebijakan


Penurunan GRK dilakukan dengan tetap menitikberatkan adanya penjaminan ketersediaan energi
guna memenuhi kebutuhan energi secara nasional. Oleh sebab itu upaya penurunan GRK
difokuskan

terhadap

upaya

memaksimalkan

efisiensi

dan/atau

konservasi

energi,

mengoptimalkan penyediaan dan mengutamakan pemanfaatan EBT, dan menerapkan teknologi


energi bersih, serta pengembangan penelitian pemanfaatan teknologi nuklir dan Carbon Capture
Storage (CCS). Komitmen efisiensi dalam pemanfaatan energi diterapkan pada seluruh sektor
pengguna energi, yakni sektor transportasi, industri, rumah tangga, dan komersial. Pemanfaatan
EBT dilakukan melalui penerapaan mandatori penyediaan dan pemanfaatan EBT sebesar 20%
dalam bauran energi nasional. Sedangkan penerapan teknologi bersih terutama dilakukan dalam
proses konversi energi dari energi primer ke listrik pembangkit tenaga listrik.
Kebijakan penurunan emisi GRK di bidang energi dikelompokkan pada tiga kebijakan utama,
yaitu: (i) konservasi energi yang dilakukan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian energi mulai
dari sisi hulu sampai hilir; (ii) diversifikasi energi yang dilakukan untuk meningkatkan pangsa
penggunaan EBT; dan (iii) fuel switching dengan memanfaatkan bahan bakar yang lebih bersih
terutama untuk rumah tangga dan transportasi. Peningkatan efisiensi energi terutama dilaksanakan
dengan menerapkan manajemen atau pengelolaan energi yang lebih baik,

- 40 menggunakan teknologi/sistem yang lebih efisien, menerapkan standarisasi unjuk kerja peralatan,
labeling, dan komitmen efisiensi energi. Insentif diperkenalkan kepada masyarakat, terutama kepada
pelaku penyedia energi, untuk dapat melakukan efisiensi, menggunakan teknologi energi bersih,
dan memanfaatkan energi baru terbarukan. Fuel switching dilakukan dengan mensubtitusi bahan
bakar nilai karbon tinggi dengan bahan bakar karbon rendah, seperti Compressed Natural Gas
(CNG) untuk sektor transportasi dan Liquified Petroleu Gas (LPG) untuk rumah tangga. Untuk
melaksanakan langkah-langkah kebijakan tersebut, bebagai kegiatan pendukung perlu dilakukan,
antara lain penerapan skim insentif dan disinsentive untuk penggunaan teknologi bersih, dan
teknologi yang berkaitan dengan energi baru dan terbarukan, sistem pricing (feed-in tariff, green
energy certificate) untuk memperhitungkan biaya eksternal energi seperti biaya lingkungan, carbon tax,
biaya pengganti (avoidance costs), dan sebagainya.
Dengan terkonsentrasinya emisi GRK di sektor transportasi jalan di daerah perkotaan, maka
upaya pengurangan emisi GRK dilakukan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut: a)
(Avoidance) pengurangan kebutuhan akan perjalanan terutama daerah perkotaan (trip demand
management) melalui penata-gunaan lahan di daerah perkotaan dan dalam jangka panjang melalui
pola pembangunan perkotaan yang memungkinkan masyarakat mengakses sarana prasarana
esensial tanpa melakukan perjalanan yang berlebihan; b) (Shifting) pergeseran pola penggunaan
kendaran pribadi (sarana transportasi dengan konsumsi energi yang tinggi) ke pola transportasi
rendah karbon seperti, sarana transportasi tidak bermotor, transportasi publik, transportasi air,
dan sebagainya c) (Improvement) peningkatan efisiensi energi dan pengurangan pengeluaran
karbon pada kendaraan bermotor melalui pengembangan teknologi kendaraan bermotor dan
penggunaan bahan bakar rendah emisi; dan d) (green tranport) melakukan penghijauan di sepanjang
jalan.

4.2.3.2 Rencana Aksi


Rencana Aksi Nasional di bidang energi dan transportasi disusun dengan mengacu kepada
RPJMN 2010-2014, RPJPN 2005-2025 dan usulan dari Kementrian/Lembaga terkait serta
perhitungan target penurunan emisi GRK bidang energi dan transportasi sebesar 0.038 giga ton
CO2e (0.03 giga ton CO2e dari bidang energi dan 0.008 giga ton CO2e dari bidang transportasi)
pada tahun 2020. Rencana aksi penurunan emisi di bidang energi dan transportasi difokuskan
pada upaya-upaya (i) efisiensi energi, sebagai upaya untuk mengurangi pemakaian energi demi
mengurangi emisi. Efisiensi dilakukan melalui penggunaan teknologi yang lebih efisien maupun
pengurangan konsumsi energi; (ii) fuel switching melalui penggunaan energi yang lebih bersih,

- 41 seperti gas (CNG dan LPG); dan (iii) peningkatan penggunaan energi EBT; (iv) Reklamasi lahan
pasca tambang; (v) pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dan peningkatan penggunaan
angkutan umum melalui Transportation Demand Management (TDM), Traffic Impact Control (TIC) dan
mengurangi kemacetan lalu lintas melalui Intelligent Transport System (ITS) (vi) penggunaan
transportasi tidak bermotor (vii) peningkatan efisiensi penggunaan bahan bakar fosil melalui
perbaikan sistem transportasi massal (MRT, BRT dan sistem transit) dan perbaikan teknologi
kendaraan bermotor.
Untuk memenuhi target penurunan emisi GRK tersebut, RAN-GRK bidang energi dan
transportasi difokuskan kedalam rencana aksi sebagai berikut :
1.

Peningkatan efisiensi energi


a. Audit energi pada 1003 objek pada tahun 2010-2014 dan pada 5910 objek
(gedung dan industri)
b. Program lampu hemat energi

2.

Pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT)


a. Penyediaan dan pengelolaan energi baru terbarukan dan konservasi energi

3.

Penerapan Fuel Switching


a. Pemanfaatan biogas
b. Penggunaan gas alam sebagai bahan bakar angkutan umum perkotaan
c. Peningkatan sambungan rumah yang teraliri gas bumi melalui pipa
d. Pembangunan kilang mini plant LPG

4.

Reklamasi lahan pasca tambang

5.

Pemanfaatan sistem transportasi pintar (intelligent transportation system - ITS),


a. Pembangunan ITS Jabodetabek
b. Pembangunan ITS di kota Medan, Bandung, Surabaya, Makassar, Palembang,
Semarang,

Balikpapan,

Denpasar,

Yogyakarta,

Padang,

Pekanbaru

dan

Banjarmasin
6.

Pengembangan sistem transportasi yang ramah lingkungan,


a. Penerapan pengendalian dampak lalu lintas (traffic impact control/ TIC)
b. Manajemen parkir
c. Congestion Charging dan

Road Pricing (dikombinasikan dengan angkutan umum

massal cepat)
d. Reformasi sistem transit (Bus Rapid Transit (BRT)/ Semi BRT)
e. Peremajaan armada angkutan umum
f. Pemasangan Converter Kit (gasifikasi angkutan umum)

- 42 g. Program pelatihan dan sosialisasi smart driving (eco-driving)


h. Non-motorized transport (pedestian dan jalur sepeda)
7.

Pembangunan KA listrik (railway electrification);


a. Pengembangan KA Perkotaan Bandung (jalur ganda elektrifikasi, pengadaan
KRL)
b. Pembangunan double-double track Manggarai-Cikarang, DKI Jakarta
c. Pengadaan Kereta Api Listrik (KRL)
d. Pembangunan jalur KA Bandara Soekarno-Hatta

8.

Pengembangan sistem transportasi masal perkotaan, seperti Bus Rapid Transit (BRT), Mass
Rapid Transit (MRT) dan pembangunan monorail Jakarta

Rencana aksi tersebut didukung oleh kegiatan :


1.

Monitoring pasokan gas bumi untuk konsumen hulu, dan penyiapan rekomendasi alokasi
gas bumi

2.

Pemantauan implementasi kebijakan pengurangan volume pembakaran gas flare

3.

Penyediaan dan pengelolaan energi baru terbarukan dan konservasi energi

4.

Penyediaan 50 regulasi panas bumi dan air tanah

5.

Penyusunan klasifikasi data potensi dan cadangan panas bumi untuk ketenagalistrikan
dan pemanfaatan langsung energi panas bumi

6.

Penetapan Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) panas bumi

7.

Penetapan prosentase penggunaan BBN dalam pemakaian bahan bakar total

8.

Penetapan prosentase pengalihan pemakaian minyak tanah ke LPG

9.

Penelitian sistem pembangkit listrik tenaga gelombang dan arus laut

10. Pengujian seluruh kendaraan bermotor termasuk kendaraan pribadi dan sepeda motor
11. Penetapan standar emisi CO2 untuk mobil penumpang
12. Penetapan standar emisi CO2 untuk sepeda motor
13. Pengembangan sistem logistik modern
14. Car Labelling (pemasangan label emisi pada kendaraan)
15. Melaksanakan pembatasan kecepatan pada jalan tol
16. Pengaturan pajak dan harga bahan bakar
17. Pengaturan pajak kendaraan (berdasarkan emisi CO2)
18. Peningkatan kualitas kebersihan daratan dan perairan kolam pelabuhan dari sampah,
sanitary dan B3 (termasuk minyak)
19. Peningkatan kebersihan, keteduhan dan keasrian lingkungan dalam kawasan pelabuhan

- 43 20. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola lingkungan kawasan pelabuhan


21. Implementasi eco-airport
22. Penelitian sistem pembangkit listrik tenaga gelombang dan arus laut
23. Penanaman pohon di sepanjang jalan
24. Pembangunan/peningkatan dan preservasi jalan
4.2.4

Bidang Industri

Industri merupakan sektor penyumbang emisi GRK yang berasal dari 3 sumber (IPCC) yaitu dari
penggunaan energi, proses produksi dan limbah. Industri mengkonsumsi energi sebesar 47.2%
dari seluruh total konsumsi energi final dalam tahun 2008 (Pusdatin ESDM 2008). Dalam tahun
2000 emisi GRK yang dihasilkan oleh industri manufaktur dari penggunaan energinya
merupakan sumber terbesar ke-9 dari total emisi GRK di Indonesia (diluar emisi dari sektor
LULUCF).
Indonesia merupakan produser semen terbesar ke-10 di dunia (tahun 2005) dan memproduksi 37
juta ton semen per tahun. Industri semen merupakan sumber emisi GRK terbesar dari subsektor industri karena menghasilkan GRK dari 2 sumber yaitu penggunaan energi dan proses
kalsinasi dalam produksinya dan merupakan sumber emisi terbesar ke-10 dari sumber emisi GRK
Indonesia (SNC, 2009) diluar emisi dari Land Use Change and Forestry (LUCF).
Berdasarkan Keputusan Presiden no. 28/2008 sasaran kebijakan nasional untuk pertumbuhan
ekonomi bidang industri ditetapkan menjadi 7.5% pada 2025, sedangkan pihak perusahaan
semen memperkirakan pertumbuhan industri semen sebesar 5% - 8% p.a. pada 2025.
Pemerintah Indonesia memprediksikan bahwa GDP akan tumbuh sebesar 7% pertahun. Secara
umum industri semen Indonesia mempunyai intensitas emisi GRK sebesar 0,833 ton CO2/ton
semen dan rasio rerata clinker-semen diambil 0.90t clinker/t semen (2008). Di akhir September
2009, Kementerian Perindustrian telah mengeluarkan keputusan bahwa pengurangan emisi GRK
dari industri semen merupakan prioritas bagi bidang industri dalam 20 tahun ke depan.
4.2.4.1 Arah Kebijakan
Kebijakan bidang industri dalam rangka mendukung mitigasi perubahan iklim dilakukan dengan
mengarahkan agar sektor industri besar seperti semen, baja, pulp dan kertas, tekstil, dan lain-lain
dapat melakukan program penurunan emisi GRK secara bertahap melalui 3 program yaitu

- 44 melakukan

efisiensi energi dengan menggunakan

teknologi mesin yang lebih efisien,

menggunakan bahan bakar alternatif, dan melakukan efisiensi dalam proses produksi.

4.2.4.2 Rencana Aksi


Rencana Aksi Nasional di bidang industri disusun berdasarkan RPJMN 2010-2014, RPJPN 20052025 dan usulan dari K/L terkait serta perhitungan target penurunan emisi GRK bidang industri
sebesar 0.001 giga ton CO2e pada tahun 2020 dengan melakukan kegiatan pada efisiensi energi
dan penggunaan energi baru dan terbarukan. Dalam bidang ini pemerintah lebih banyak berperan
sebagai fasilitator dimana investasi penurunan emisi GRK lebih banyak dilakukan oleh pihak
swasta.
Untuk itu, rencana aksi di bidang industri difokuskan pada industri semen dan baja dengan
kegiatan:
1. Penyusunan kebijakan teknis pengurangan emisi CO2 di industri semen dan baja ;
2. Fasilitasi dan insentif pengembangan teknologi low carbon dan ramah lingkungan di
industri semen dan baja di 25 perusahaan industri;
3. Konservasi dan Audit Energi industri semen dan baja pada 50 perusahaan industri
Rencana aksi tersebut didukung dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Penyusunan

dan

pengembangan

roadmap/peta

jalan

Green

Industry

dan

implementasinya
2. Peningkatan capacity building bagi aparat pemerintah dan pelaku industri
3. Fasilitasi dan pemberian insentif untuk penumbuhan industri pengelolaan limbah industri
4. Implementasi standard of EURO IV untuk kendaraan bermotor baru
5. Inventori potensi emisi CO2 pada sektor industri
6. Pemantauan dan evaluasi program mitigasi pada 50 perusahaan per tahun
7. Program konservasi dan audit energi
8. Penyusunan roadmap emisi CO2 sektor industri
4.2.5 Pengelolaan Limbah
Penduduk Indonesia pada tahun 2005 berjumlah 218,8 juta (BPS, 2006) dan tingkat produksi
sampah adalah sebesar 0,6 kg/orang/hari untuk daerah perkotaan dan 0,3 kg/orang/hari untuk

- 45 daerah perdesaan. Jumlah sampah dari rumah tangga mencapai 33,5 juta ton per tahun dengan
proporsi sampah di perkotaan sebesar 50% dikelola oleh Pemerintah Daerah. Sedangkan sebagian
besar lainnya dikelola oleh masyarakat sendiri melalui komposting, pembakaran sampah, open
dumping dan penimbunan sampah (dikubur). Sebagian kecil lainnya (1%) dibuang ke sungai atau
tempat-tempat lainnya. Sedangkan di daerah perdesaan, hanya 20% sampah yang dikelola oleh
pemerintah daerah, 80% lainnya dikelola oleh masyarakat sendiri.
Pada kegiatan pengelolaan limbah sampah terdapat 4 komponen kegiatan utama yaitu reduksi
sampah yang dilakukan melalui penerapan 3R (Reduce, Reuse, Recycle), transportasi/pengangkutan
sampah, pemrosesan akhir, serta kegiatan pengelolaan sampah lainnya. Penyusunan RAN-GRK
untuk menghitung penurunan emisi dilakukan dengan beberapa asumsi kondisi tanpa Rencana
Aksi adalah sebagai berikut:
1. Transportasi/pengangkutan sampah pada tahun 2005 memiliki tingkat pelayanan 50%
dengan peningkatan sebesar 2,5% per tahun
2. Reduksi sampah tidak terjadi, timbulan sampah perkotaan meningkat dari 0,6
kg/orang/hari pada 2005 menjadi 1,2 kg/orang/hari tahun 2030 dan untuk sampah
perdesaan meningkat dari 0,3 kg/orang/hari pada 2005 menjadi 0,55 kg/orang/hari
3. Timbulan sampah yang dibuang di lokasi open dumping sebesar 45% dan tidak ada konversi
dari open dumping menjadi controlled atau sanitary landfill
Emisi GRK dari bidang limbah (limbah cair domestik dan sampah rumah tangga) sendiri pada
tahun 2010 diperkirakan sebesar 34.987 ribu ton CO2e, dan diperkirakan akan terus meningkat
dengan kondisi tanpa Rencana Aksi (BAU) hingga 52.381 ribu ton CO2e pada tahun 2020.

4.2.5.1

Arah Kebijakan

Kebijakan pengelolaan limbah sampah dalam rangka mitigasi perubahan iklim dilakukan dengan
pengelolaan sampah dengan penerapan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle), fasilitasi prasarana
pengumpulan/pengangkutan sampah, pembangunan/ peningkatan Tempat Pemrosesan akhir
(TPA) sampah menjadi sanitary landfill dan juga pengembangan TPA yang terpadu dengan
teknologi pemanfaatan GRK untuk energi. Sementara dalam pengelolaan limbah cair domestik
dilakukan melalui pembangunan dan peningkatan pelayanan sarana dan prasarana air limbah
terpadu terutama bagi kawasan perkotaan.,

- 46 -

4.2.5.2

Rencana Aksi

Rencana Aksi Nasional di bidang limbah disusun berdasarkan RPJMN 2010-2014, RPJPN 20052025 dan usulan dari K/L terkait serta perhitungan target penurunan emisi GRK bidang limbah
sebesar 0.048 Giga Ton CO2 pada tahun 2020 dengan penekanan kegiatan pada pengelolaan
sampah dengan 3R.
Rencana Aksi di bidang limbah difokuskan pada kegiatan:
1. Pembangunan/peningkatan sarana dan prasarana air limbah dengan sistem off site dan on
site untuk 16 kota (off-site) dan 11.000 lokasi (on-site) hingga tahun 2020 yang melayani
hingga 70% penduduk
2. Pembangunan/ peningkatan TPA dan pengelolaan sampah terpadu 3R di 240 kota
3. Pemanfaatan limbah hasil pembukaan lahan sebesar 1800 Ha untuk bahan pembuatan
kompos, arang dan briket arang yang akan dilakukan di Jambi, Sumatera Selatan dan
Kalimantan Timur.
Rencana Aksi ini didukung oleh kegiatan:
1. Inventarisasi GRK khususnya di bidang limbah yang akan dilakukan dalam 372 kota
selama 5 tahun
2. Pengawasan kegiatan pembakaran terbuka sampah di 372 kota selama 10 tahun
3. Peningkatan kapasitas pengelolaan persampahan untuk 150 kab/kota, meliputi
penyusunan

NSPK

pengembangan

pengelolaan

persampahan,

pendampingan

penyusunan Strategi Sanitasi Kota (SSK) yang berkaitan dengan pengelolaan persampahan,
pembinaan

kelembagaan

dalam

rangka

meningkatkan

kemampuan

pengelola

persampahan.
5. PENDANAAN
Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26% secara BAU pada tahun
2020 tidak terlepas dari kemampuan pemerintah untuk memobilisasi sumber pendanaan dalam
negeri untuk melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan dalam mendukung komitmen tersebut.
Sementara itu, pencapaian komitmen tambahan pengurangan emisi karbon hingga 41% dari
BAU memerlukan mobilisasi pendanaan yang bersumber dari luar negeri.

- 47 Mobilisasi sumber pendanaan tersebut didasarkan pada kebutuhan penurunan emisi gas rumah
kaca melalui kegiatan yang mendukung seperti telah diidentifikasi sebelumnya. Bab ini akan
membahas mengenai kebijakan pendanaan secara umum, pemenuhan kebutuhan pendanaan,
serta sumber dan mekanisme pembiayaan kegiatan tersebut.
5.1 Kebijakan Pendanaan
Kebijakan pendanaan untuk mendukung komitmen penurunan emisi gas rumah kaca secara
sukarela merupakan bagian dari kebijakan yang telah ditetapkan dalam menghadapi perubahan
iklim seperti yang diamanatkan di dalam RPJMN 2010-2014. Di dalam perencanaan jangka
menengah, isu perubahan iklim telah mendapatkan prioritas pendanaan melalui mekanisme APBN.
Sementara itu, untuk membantu komitmen 41%, kebijakan pendanaan diarahkan untuk
memanfaatkan sumber dana yang disalurkan baik melalui mekanisme UNFCCC maupun di luar
mekanisme UNFCCC (melalui kerja sama bilateral dan multilateral). Untuk aksi mitigasi di atas
target 41%, pendanaannya dapat menggunakan skema pasar karbon.
Di samping itu, kebijakan pendanaan perubahan iklim tidak hanya dari segi pembiayaan kegiatan,
tetapi juga dapat dilakukan dari segi kebijakan fiskal yang mendorong penurunan emisi GRK
dengan memberikan nilai terhadap karbon. Hal ini dipandang sebagai upaya kebijakan perubahan
iklim yang biayanya rendah dan menghasilkan revenue untuk jangka panjang. Kebijakan fiskal ini
dapat berupa (1) penjualan hak mengemisi (emission trading) dan (2) pajak karbon (carbon tax/levy).
Pada kebijakan pertama, pemerintah menetapkan besarnya emisi GRK yang diperkirakan akan
terjadi dan menjual hak membuang emisi kepada pihak-pihak tertentu. Sementara pada kebijakan
kedua, pemerintah menetapkan besarnya harga setiap emisi karbon beserta pajaknya.
5.2 Sumber Pendanaan
Pendanaan kegiatan penurunan emisi GRK dipenuhi dengan sumber dari dalam dan luar negeri.
Pendanaan dalam negeri yang menjadi prioritas utama dalam pendanaan RAN bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai dengan rancangan RPJMN 2010-2014.
Meskipun demikian, komitmen 26% yang dilakukan dengan upaya sendiri (unilateral) tidak hanya
meliputi pendanaan pemerintah pusat, melainkan termasuk sumber pendanaan dalam negeri
lainnya, seperti APBD, hutang pemerintah, investasi swasta (perbankan dan non-perbankan),
dan corporate social responsibility (CSR).
Beberapa sumber pendanaan terkait penurunan emaisi GRK di antaranya adalah:

- 48 1. APBN
a. Rupiah Murni
b. Hibah Luar dan Dalam Negeri
c. Pinjaman Luar Negeri
d. Debt to Nature Swap
e. Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)
f. Green Fund
2. Swasta Dalam Negeri
a. Perbankan
b. Non-Bank
c. Corporate Social Responsibility (CSR)
3. Dana Internasional (Global Fund)
a. Global Environment Fund
b. Copenhagen Green Climate Fund
c. Skema Fund lainnya yang dikembangkan di forum-forum internasional

- 49 Tabel 5.1 Perkiraan sumber pendanaan untuk penanganan perubahan iklim di


Indonesia
Sumber Dana

Pelaksana

Mekanisme
Pendanaan

Jumlah
sd 2009

Rupiah Murni

Pemerintah

APBN

1,7 Triliun Rupiah

Loan

Pemerintah

APBN

Jepang USD 400


Juta, Perancis USD
300 juta

Debt to Nature Swap

Pemerintah

APBN

US USD 19,6 juta

Potensi Jumlah

Sektor

Sesuai RPJMN 2010- Mitigation dan Adaptation


2014
Masuk ke dalam
Mitigation dan Adaptation
resource envelope K/L
EUR 20 Juta dari
Pemerintah Jerman

Kehutanan dan Konservasi


energi

SWASTA DALAM
NEGERI

APBN

Jerman EUR 25 Juta


Green Economy (BKF)

Pemerintah

APBN

Green Fund (PIP MoF)

Swasta

APBN

Grant

Pemerintah dan
Swasta

Kebijakan Fiskal
500 milyar 1 triliun
Rupiah

Dana bergulir

Bilateral/Multilateral

Pemerintah
dan/atau Swasta

APBN

Sesuai dengan perjanjian


hibah

ICCTF

Pemerintah dan
Swasta (melalui
pemerintah)

APBN

Perbankan

Swasta

Mengikuti mekanisme
pasar

Dana Investasi

Non-Perbankan

Swasta

Mengikuti mekanisme
pasar

Dana Investasi

CSR

Swasta

Swasta

Mitigasi dan Adaptasi

DFiD GBP 10 Juta

Jerman 10 juta Euro

Dana inovasi

Ausaid AUD 2 Juta

Belanda 40 juta Euro


DFiD GBP 50 Juta

Dana transformasi (bergulir)

Global Environment Facility

Global Fund

500 milyar 1 triliun


Rupiah

Copenhagen Green Climate


Fund

US$ 90 Juta melalui


SCCF

Pemerintah dan
Swasta (NGO)

UNFCCC

- none -

USD 30 Miliar (2012)

Mitigasi dan Adaptasi

USD 100 Miliar (2020)

1. Sumber Dana APBN


Sumber pendanaan terkait APBN dapat berupa rupiah murni maupun PHLN. Berdasarkan
perencanaan di dalam RPJM 2010-2014 perkiraan resource envelope untuk 2010-2014 terkait
penurunan emisi GRK yang tersedia adalah sekitar Rp37,889 triliun (Buku 2 Bab I Lintas Bidang
Perubahan Iklim Kelompok Mitigasi). Melalui komitmen yang sama, pada periode 2015-2020,
pemerintah perlu menyediakan resource envelope yang cukup untuk mencapai penurunan 26%.
Pinjaman luar negeri mengikuti mekanisme yang telah diatur di dalam peraturan yang sama
seperti dalam pengelolaan hibah luar negeri. Sampai tahun 2009, pinjaman luar negeri yang telah
diterima dalam bentuk program loan untuk perubahan iklim adalah dari Pemerintah Jepang sebesar

- 50 US$400 juta dan Pemerintah Perancis sebesar US$300 juta. Dalam pemanfaatan sumber ini perlu
dipertimbangkan kondisi persyaratan yang ditetapkan oleh peminjam sehingga dapat mengurangi
resiko pinjaman dan biayai pinjaman (cost of borrowing). Debt to nature swap (DNS) merupakan salah
satu sumber dana yang sudah digunakan untuk membiayai pengelolaan lingkungan. Debt swap
yang telah diimplementasikan antara lain dengan Pemerintah Amerika Serikat yaitu sekitar USD
19,5 juta untuk membiayai rehabilitasi hutan. Selain itu, DNS telah diberikan oleh pemerintah
Jerman sebesar Euro 25 juta dan sekitar Euro 20 juta untuk komitmen baru. DNS diharapkan
terus berkembang di tahun-tahun mendatang, yaitu periode 2010-2014 dan 2015-2020, dan
dapat diarahkan untuk mengatasi perubahan iklim.
Hibah luar negeri merupakan sumber pendanaan yang memiliki resiko relatif rendah. Hibah luar
negeri yang telah terkumpul untuk membiayai penanganan perubahan iklim ini antara lain dari
Pemerintah Inggris (GBP 10 juta) dan Pemerintah Australia (AUD 2 juta). Sementara itu,
berbagai potensi hibah luar negeri datang dari Pemerintah Jerman dan Pemerintah Belanda
dengan total jumlah sekitar Euro 50 juta. Kedua pemerintah tersebut masih menunggu
terbentuknya trustee nasional yang mengelola trust fund khusus untuk perubahan iklim (ICCTF).
Hibah lain yang dapat dimanfaatkan untuk perubahan iklim adalah MCC, Millenium Challenge
Corporation. Hibah dari MCC bersifat competitif dan lebih banyak untuk mengurangi kemiskinan.
Oleh karena itu, hibah dari MCC harus diarahkan untuk mengurangi dampak akibat perubahan
iklim terutama di kantong-kantong kemiskinan (adaptasi) atau pengembangan teknonologi atau
sarana/prasarana ramah lingkungan yang dapat dipakai oleh masyarakat miskin.
Hibah dalam negeri dapat menjadi sumber dana yang berpotensi untuk menangani perubahan
iklim ini. Hibah dalam negeri yang dikelola pemerintah dapat mengikuti mekanisme yang selaras
dengan hibah dari luar negeri. Karena sifatnya hibah, pengaturan tersebut diharapkan tidak
memberikan terlalu banyak hambatan kepada pemberi hibah dalam penyalurannya.

Anda mungkin juga menyukai