Anda di halaman 1dari 22

Menimbang Argumen Bacaan Al-Quran

Langgam Nusantara
Print
Download
Send
Ahad, 21/06/2015 09:01

Berita Terkait

Meraih Pribadi Qur'ani yang Berkualitas

Islamku, Islam Anda, Islam Kita

Pengembangan Ahlussunnah wal Jamaah di Lingkungan NU

Ijtihad dan Keterbatasan Kita

Ijtihad Sebagai Kebutuhan

Islam: Pengertian Sebuah Penafsiran

Oleh Muchlis M Hanafi


Al-Qur`an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi umat
manusia. Cahayanya menjadi penerang bagi manusia dalam meniti jalan menuju
kebahagiaan. Sebagai karunia terbesar, Al-Qur`an menjadi obat penyejuk hati dan
rahmat bagi siapa pun, lebih-lebih yang berpegang teguh pada petunjuknya. Tak heran,

bila umat Islam sepanjang sejarah berupaya memberi perhatian terhadap segala
sesuatu yang terkait Al-Qur`an. Tidak ada kitab apa pun di dunia ini yang mendapat
perhatian melebihi perhatian umat Islam terhadap Al-Qur`an, mulai dari tulisan, bacaan
dan hafalan, sampai kepada pemahaman dan pengamalan. Tidak berlebihan bila ada
pakar yang berkata, Al-Qur`an telah menjadi poros bagi peradaban Islam.
Bacaan Al-Qur`an mendapat perhatian besar, bukan saja karena setiap huruf yang
dibaca mendatangkan pahala, tetapi juga karena bacaan yang berkualitas akan
menambah keimanan dan ketenangan (QS. Al-Anfal: 2). Ketika dibacakan Al-Qur`an,
hati orang beriman akan bergetar, dan kulit pun merinding karena keagungan kalam
Tuhan (QS. Al-Zumar: 23). Bahkan, seperti dilukiskan dalam QS. Al-Hasyr: 21 gununggunung pun tertunduk khusyuk dan pecah berkeping-keping seandainya Al-Qur`an
diturunkan kepadanya.
Bacaan dengan suara yang indah dan merdu, lebih-lebih Al-Qur`an, akan lebih
menyentuh dan menambah kekhusyukan hati serta menarik perhatian untuk didengar,
sehingga pesan-pesannya lebih mudah diterima. Ibnu al-Qayyim mengilustrasikannya
seperti rasa manis yang diletakkan pada obat. Orang tak akan segan meminumnya,
sehingga efek obat akan terasa ketika menyentuh titik penyakit yang akan
disembuhkannya.
Rasulullah, dalam banyak riwayat disebutkan senang mendengar bacaan Al-Qur`an
yang merdu, bahkan menganjurkan untuk memperindah bacaan. Atas dasar itu, para
ulama dan qurr`(pembaca dan penghafal Al-Qur`an) mencari formula suara bacaan
yang merdu, sehingga terciptalah bentuk-bentuk nagham (nada dan irama bacaan)
yang dikenal hingga saat ini. Di antara nada dan irama (naghamt) yang sangat populer
adalah Bayati, Shaba, Sikah, Jiharkah, Hijaz, Rost dan Nahawand. Adalah Ubaidillah
(w. 79 H), putra salah seorang Sahabat Nabi, Abu Bakrah, yang pertama kali membaca
Al-Quran dengan nada dan irama dalam maqmt seperti dikenal saat ini.
Dari sekian banyak bentuk nagham, tidak diketahui persis suara indah bacaan generasi
pada masa Nabi. Apakah menggunakan nada dan irama/ langgam tertentu, atau tidak.
Oleh karenanya, sejak dulu para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan membaca
Al-Qur`an dengan lagu. Pertanyaan hukum yang muncul, bagaimana sebenarnya
bacaan Nabi Saw dan para Sahabatnya yang dikenal merdu dan indah? Apakah
dibolehkan menggunakan lagu dalam bacaan? Keterbatasan transmisi suara bacaan
generasi awal Islam, karena belum dikenal alat perekam suara, melahirkan perbedaan
pandangan di kalangan ulama.
Bila dengan langgam yang sudah populer saja masih diperdebatkan kebolehannya,
lebih-lebih bila menggunakan langgam-langgam baru yang belum dikenal sebelumnya,
seperti langgam Jawa, Sunda atau lainnya yang ada di Nusantara. Tak pelak, ketika
pada peringatan Isra Miraj di Istana Negara, Jumat, 15 Mei 2015, seorang qari

melantunkan bacaan Al-Quran dengan cengkok atau langgam Jawa, langkah ini
menuai kontroversi. Gagasan ini sebelumnya dilontarkan Menag saat menghadiri Milad
ke-18 Bayt Al-Qur`an dan Museum Istiqlal di Jakarta. Ia mengatakan, langgam bacaan
Al-Quran khas Nusantara, dengan kekayaan alam dan keragaman etniknya, menarik
untuk dikaji dan dikembangkan. Tentu saja dengan tetap memperhatikan kaidah ilmu
tajwid.
Sebelum itu, dunia Islam pernah dibuat heboh akibat ulah kreatif putra Indonesia. Avip
Priatna,salah seorang konduktor terbaik Indonesia dalam khazanah musik
klasik,menggelar konser orkestra The Symphony of My Life pada 3 Desember
2011.Dalam konser yang diiringi musik oleh Batavia Madrigal Singers (BMS) dan
Paduan Suara Mahasiswa Unika Parahyangan, Avip mengalunkan bacaan QS. AlHujurat: 13 yang menjelaskan keragaman suku dan bangsa diiringi irama yang
mengharukan dengan dinamika bunyi yang menggetarkan.
Persoalan ini perlu mendapat penjelasan hukum, sebab boleh jadi akan muncul
kreativitas baru dalam bacaan Al-Qur`an di bawah semangat melantunkan Al-Qur`an
dengan suara merdu. Tulisan ini akan berusaha memberikan jawaban atas beberapa
pertanyaan yang muncul; 1) Bagaimana sebenarnya bacaan Nabi Saw dan para
Sahabatnya yang dikenal merdu dan indah?; 2) Bagaimana sejarah
munculnya nagham bacaan Al-Qur`an?; 3) Bagaimana pandangan ulama tentang
hukum membaca Al-Qur`an dengan lagu?, dan; 4) Apakah dalam melagukan bacaan
dibolehkan menggunakan langgam selain langgam yang sudah populer, seperti
langgam Nusantara?
Bacaan Nabi Saw dan Sejarah Naghamt Bacaan Al-Qur`an
Rasulullah adalah panutan dan teladan dalam segala hal yang terkait ibadah, termasuk
dalam membaca Al-Qur`an. Bacaan setiap Muslim hendaknya menyerupai bacaan Nabi
Saw, sebab beliau menerima langsung Al-Qur`an dari Allah melalui Malaikat Jibril (QS.
Al-Syuara : 135-139).
Sesuai perintah Allah, bacaan Nabi bersifat tartl (QS. Al-Muzzammil; 3), yaitu perlahanlahan dalam melafalkan huruf-huruf Al-Qur`an, sehingga bunyi huruf tersebut keluar dari
mulut dengan jelas. Isteri beliau, Aisyah RA, memberi gambaran, huruf-huruf yang
keluar mulut beliau seperti bisa dihitung satu per satu. Tujuannya, agar dapat dihafal
dan diterima pendengarnya dengan baik. Yang membaca dan mendengarnya pun dapat
men-tadabburi makna-maknanya, sehingga ucapan lisan tidak mendahului kerja akal
dalam memahami (Al-Tahrr wa al-Tanwr, 29/260).
Sahabat Nabi, Anas bin Malik, pernah ditanya tentang bacaan Nabi. Ia menjawab, Nabi
biasa memanjangkan huruf-huruf yang perlu dibaca panjang untuk meresapi maknanya
(HR. Al-Bukhari). Pada setiap akhir ayat Nabi berhenti.

Nabi pernah ditegur oleh Allah ketika membaca Al-Qur`an cepat-cepat mengikuti
bacaan Malikat Jibril.
:( ] 19) ( 18) ( 17) ( 16)
[19 - 16
Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur'an) karena
hendak cepat-cepat (menguasai)nya.Sesungguhnya Kami yang akan
mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang
akan menjelaskannya (QS. Al-Qiyamah; 16-19).
Suara bacaan Nabi pun terdengar indah dan merdu. Salah seorang Sahabat, al-Barra
Ibn Azib RA, yang pernah mendengar Nabi membaca surah al-Tin dalam salat
melaporkan, tidak ada orang yang bisa menandingi keindahan suara bacaan Nabi. Di
lain kesempatan, Abdullah Ibn Mughaffal, mengilustrasikan keindahan suara bacaan
Nabi ketika melantunkan surah al-Fath mampu membuat unta yang ditungganginya
terperanjat. Saat itu Nabi membacanya dengan lembut dan dengan suara mendayu
seperti terulang huruf-hurufnya (tarj`), yaitu melafalkan huruf alif () seperti terulang
tiga kali (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Meski memiliki suara merdu, Nabi senang mendengar bacaan merdu dari para
sahabatnya. Abdullah Ibnu Masud sempat terheran, mengapa Nabi memintanya
membacakan Al-Quran, padahal Al-Qur`an diturunkan kepadanya. Dalam mendengar
dan membaca Al-Qur`an tidak jarang air mata bercucuran karena merasakan
keagungan Tuhan yang menurunkan Al-Qur`an.
Klan Asy`ari adalah salah satu yang dikenal memiliki suara merdu saat itu. Nabi Saw
senang mendengar bacaan Abu Musa al-Asy`ari, bahkan memujinya sebagai orang
yang diberi seruling Nabi Daud, karena keindahan suaranya. Nabi Daud, seperti
diriwayatkan Ibnu Abbas, dikenal sering melantunkan pujian dan doa dalam Zabur
hingga mencapai tujuh puluh nada dan irama (lahn) secara bervariasi. Demikian pula
Umar bin Khattab sering meminta Abu Musa untuk memperdengarkan bacaannya yang
indah. Ia mengatakan, siapa yang bisa melantunkan Al-Qur`an dengan lagu seperti
Abu Musa, lakukanlah.
Meski banyak para sahabat Nabi diketahui memiliki suara merdu dalam bacaan AlQuran, dan Nabi menganjurkan untuk memperindah bacaan, tetapi tidak diketahui
persis nada dan irama bacaan mereka.
Membaca Al-Qur`an dengan suara merdu disebut dengan beberapa istilah, antara
lain al-taghann, al-tarannum, al-tathrb, al-tarj`, al-qir`atu bil alhn. Sedangkan nada
dan irama atau langgam yang biasa digunakan dalam melantunkan bacaan Al-Qur`an

disebut nagham (jamak:naghamt). Bentuk atau tingkatannya disebut maqmt. Yang


paling populer, antara lain Bayati, Shaba, Sikah, Jiharkah, Hijaz, Rost dan Nahawand.
Nagham pada hakikatnya adalah paduan berbagai jenis suara yang tersusun sehingga
menjadi bunyi yang beraturan. Pencarian manusia terhadap nagham berlangsung lama,
dan bersifat alamiah. Orang biasa mendapatkan suara-suara indah dari desiran angin,
suara pepohonan, halilintar, kicauan burung, suara binatang dan sebagainya. Angin
yang bertiup di sela-sela pepohonan, seperti pohon bambu, melahirkan suara merdu.
Dari situ manusia belajar membuat alat musik seperti seruling. Begitu juga, ketika kayu
atau bambu ditabuh atau dipukul akan menimbulkan suara, yang lama kelamaan suara
itu dibuat semakin beraturan. Demikian pula suara manusia, ketika berbagai jenis suara
dipadukan akan melahirkan nada dan irama yang enak didengar.
Oleh karenanya, ilmu seni suara sudah dikenal lama, paling tidak sejak Yunani kuno.
Aristoteles, Plato dan pemikir Yunani lainnya telah berbicara tentang itu. Sebelum Nabi
Muhammad lahir, orang-orang Arab sudah mengenal kesenian musik yang digunakan
untuk mengiringi nyanyian para budak atau pembacaan syair. Tradisi ini terus berlanjut
pada masa Islam, tetapi dengan mengalihkan nada dan irama pada nyanyian dan syair
kepada Al-Qur`an. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal perkembangan naghamt (lagu)
Al-Qur`an pada era selanjutnya. Meski dalam perkembangannya, naghamt (lagu)
bacaan Al-Qur`an memiliki karakter yang berbeda dengan lagu pada seni musik biasa.
Jadi, penerapan nagham sebagai unsur estetika dalam bacaan Al-Qur`an sudah
tumbuh sejak periode awal Islam. Kendati demikian, sulit untuk melacak seperti apa
proses perkembangannagham tersebut hingga memunculkan berbagai bentuk
varian nagham seperti dikenal saat ini. Hal itu disebabkan tidak ada bukti yang dapat
dikaji, karena belum ada alat perekam suara.
Dalam buku Jaml al-Tilwah f al-Shawt wa al-Nagham yang diterbitkan
oleh Jam`iyyat al-Qur`an al-karm li al-Tawjh wa al-Irsyd, Beirut pada tahun 2012,
disebutkan Ubaidillah (w. 79 H), putra salah seorang Sahabat Nabi, Abu Bakrah, adalah
yang pertama kali membaca Al-Qur`an dengan nada dan irama dalam maqmt seperti
dikenal saat ini. Selain berprofesi sebagai qdh (hakim)di Basrah ia dikenal memiliki
suara bacaan Al-Qur`an yang merdu. Kajian tentang nada dan irama Arab dalam bentuk
musik dimulai pada permulaan masa dinasti Abbasiyah, dan selanjutnya berkembang
sepanjang sejarah di berbagai kawasan wilayah Islam.
Penemuan bentuk-bentuk nagham tersebut tidak terlepas dari penghayataan
masyarakat Muslim di beberapa wilayah pada masa awal Islam terhadap pesan-pesan
Al-Quran. Setiap wilayah memiliki kekhasan, seperti nada bayati yang lahir dari sebuah
keluarga al-Bayti di Irak; Nahawand, sebuah kota di Iran; Hijaz, sebuah kota di jazirah
Arab; Rost dan Sika yang berasal dari bahasa Persia. Dari nama-nama tersebut, tidak

semuanya berasal dari Arab, sehingga dapat disebut sebagai nada dan irama Arab
(luhn al-Arab).
Langgam tersebut mengekspresikan pesan Al-Quran yang ingin disampaikan. Misal,
langgam Shab, menggambarkan suasana rohani dan emosi yang menggelora,
sehingga sangat tepat untuk ayat-ayat azab dan kesedihan. Sebaliknya, langgam
Nahawand penuh nuansa kegembiraan, sehingga tepat untuk melantunkan ayat
tentang surga dan nikmat karunia Allah lainnya. Dasar penggunaan nagham, seperti
kata qari terkemuka asal Mesir, Al-Thablawi, adalah makna, bukan sekadar rasa atau
karsa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, kendati Nabi menganjurkan untuk melantunkan
Al-Qur`an dengan suara merdu, tetapi beliau tidak menetapkan bentuk lagu atau nada
dan irama tertentu dalam bacaan, sehingga kita tidak dapat berkata lagu bacaan AlQur`an bersifat tawqfiy(ditetapkan). Dengan demikian, varian bacaan terbuka bagi
kreatifitas manusia sepanjang sejarah, sesuai dengan perkembangan estetika dan rasa
seni manusia.
Hukum Membaca Al-Qur`an dengan Lagu
Para ulama sepanjang sejarah umat Islam (salaf dan khalaf) sepakat, seperti
dinyatakan oleh al-Nawawi, tentang kebolehan dan anjuran memperindah suara dalam
bacaan Al-Qur`an, dengan memperhatikan unsur tartl, yaitu ketepatan dalam
melafalkan bacaan sesuai dengan ilmu tajwid dan qir`at. Bacaan indah dan merdu
tentu akan lebih menyentuh dan menambah kekhusyukan dalam hati, serta mendorong
akal pikiran untuk mengambil pelajaran.
Mereka juga bersepakat dalam hal larangan membaca Al-Qur`an dengan lagu yang
dilantunkan secara berlebihan, sehingga berpotensi merubah kata dan maknanya,
seperti membaca pendek huruf yang seharusnya dipanjangkan, atau sebaliknya
memendekkan bacaan huruf yang seharusnya dibaca panjang. Lagu bacaan yang
berlebihan dan berakibat menambah huruf atau menghilangkannya (al-tamthth),
menurut al-Nawawi, haram hukumnya. Bukan hanya bagi pembacanya, tetapi seperti
kata al-Mawardi, juga bagi pendengarnya (al-Tibyn f db Hamalatil Qur`n, h. 107108).
Bagimana jika bacaan yang menggunakan lagu (lahn) tersebut tidak berlebihan, yaitu
tetap memperhatikan kaidah ilmu tajwid dan qir`at? Di sini, para ulama berbeda. Ada
yang berpandangan makruh hukumnya, bahkan mendekati kepada haram (karhat
tahrm). Pendapat ini dikemukakan oleh Anas Ibn Malik, Said Ibn al-Musayyab, alHasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Sufyan Ibn Uyaynah, mayoritas ulama mazhab Maliki dan
ulama mazhab Hambali (Syarh Shahh al-Bukhari, Ibn Baththal, 10/258).

Ulama lain dari kalangan Sahabat dan tabiin, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Atha
Ibn Abi Rabah, membolehkan bacaan Al-Qur`an dengan lagu. Imam al-Thahawi
menjelaskan, Abu Hanifah dan murid-muridnya biasa mendengarkan Al-Qur`an
dilagukan. Demikian pula, Muhammad bin al-Hakam pernah melihat ayahnya, al-Hakam
dan Imam Syafi`i sedang mendengar bacaan Al-Qur`an yang menggunakan lagu (Ibnu
Bathal, 10/261). Berikut ini argumen para ulama yang melarang dan yang
membolehkan.
1. Dalil Ulama yang Melarang
a. Ayat-ayat Al-Qur`an yang menyatakan keadaan orang-orang yang beriman ketika
dibacakan Al-Qur`an hati mereka bergetar, iman pun bertambah dan air mata
bercucuran.
Allah berfirman;
[2 :( ] 2)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama
Allahgemetar hatinya, danapabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepadamereka, bertambah
(kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (QS. Al-Anfal; 2)


[83 :]
Dan apabila mereka mendengarkan apa (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Rasul
(Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran
yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri), seraya berkata, Ya Tuhan,
kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas
kebenaran Al-Qur'an dan kenabian Muhammad) (QS. Al-Maidah; 83).
[24 : ]
Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur'an ataukah hati mereka sudah terkunci? (QS.
Muhammad; 24)
Menurut mereka, bacaan Al-Qur`an dengan lagu akan melalaikan pendengarnya dari
rasa khusyuk, dan menjauhkan dari pelajaran yang seharusnya dapat dipetik.
b. Hadis Nabi yang diriwayatkan Al-Thabrani, al-Bayhaqi dan al-Hakim al-Turmudzi dari
Hudzaifah bin al-Yaman, yang menyatakan;


(183 /7 )
Bacalah Al-Qur`an dengan lagu dan suara orang Arab. Hindarilah nada dan irama yang
biasa digunakan oleh Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang fasik.
Sesungguhnya akan datang suatu saat, setelah aku nanti, kaum yang melagukan
bacaan Al-Qur`an seperti lagu, nyanyian gereja dan tangisan sedih. Bacaan yang tidak
sampai melebihi kerongkongan. Hati mereka sakit terpedaya, sama halnya dengan hati
mereka yang mengaguminya (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu`jam al-Awsath, 7/183).
c. Hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abis Ibn Abs al-Ghifari yang
menceritakan tanda-tanda kedatangan kiamat, antara lain:
(427 /25 )
..... Mereka menjadikan Al-Qur`an sebagai nyanyian. Mereka mendahulukan orang
yang melagukan bacaan Al-Qur`an untuk mereka, meskipun orang tersebut tidak lebih
alim dalam hal pemahaman keagamaan daripada mereka.
d. Rasulullah, dalam suatu hadis, dikabarkan pernah melarang seorang muazin untuk
menggunakan lagu dalam adzannya. Dalam riwayat Al-Daruquthni dari Ibnu Abbas,
Rasulullah bersabda:


(461 /2 )
Sesungguhnya azan itu mudah. Kalau suara azanmu itu mudah silakan, bila tidak maka
tidak usah azan (Sunan al-Daruquthni, 2/461).
Bila dalam azan saja Nabi melarang untuk mengumandangkannya dengan lagu,
apalagi dalam bacaan Al-Qur`an yang mulia.
2. Dalil Ulama yang Membolehkan
Para ulama yang membolehkan bacaan Al-Qur`an dengan lagu, berdalil sebagai
berikut:
a. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan al-Nasai dari Abu
Hurairah. Rasulullah bersabda:
:

Allah tidak mengizinkan sesuatu seperti yang pernah diizinkan kepada Nabi
(Muhammad) untuk membaca Al-Qur`an dengan lagu. Yang dimaksud adalah, lagu
bacaan yang dilantunkan dengan suara keras.
Kata ya`dzan dan adzina dalam hadis, selain bermakna mengizinkan juga bermakna
mendengarkan dan memperhatikan (al-istim`) (Fath al-Bri, 9/68).
Sedangkan yataghannberasal dari kata al-ghin, yang berarti memperbagus suara
dengan lagu. Hadis ini secara tegas memuat kebolehan dan anjuran untuk melantunkan
bacaan Al-Qur`an dengan lagu.
b. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah.
: :
:
(154 /9 )
Bukan termasuk golongan kami yang tidak melagukan (bacaan) Al-Qur`an. Yang lain
menambahkan, membacanya dengan suara keras.
Ketika ditanya, bagaimana cara melagukannya jika seseorang tidak memiliki suara
yang bagus, Ibnu Abi Malikah, salah seorang perawi hadis tersebut, mengatakan,
hendaknya ia memperbagus bacaannya semampunya (sekuat tenaga).
c. Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Nasai dari al-Barra RA.


(179 /2 )
Hiasilah Al-Qur`an dengan suaramu (yang indah)
Selain al-Nasai, hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab alMusnad (4/283), Abu Daud dan Ibnu Majah dalam kitab al-Sunan, Ibnu Hibban dalam
kitab Shahh-nya (660), dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. Hadis ini dinilai sahih
oleh ulama, seperti Imam al-Dzahabi dan al-Albani. Yang dimaksud menghiasi AlQur`an dengan suara, membacanya dengan suara yang indah. Menghiasinya berarti
membacanya dengan bacaan indah yang memiliki nada dan irama yang enak didengar.
d. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abdullah Ibn Mughaffal.

: :

-
(195 /6 )

Abdullah Ibn Mugahffal berkata, Aku pernah melihat Rasulullah membaca (Al-Qur`an)
di atas kendaraan onta yang sedang berjalan. Beliau membaca surah al-Fath, atau
sebagian surah al-Fath, dengan bacaan yang lembut dan (seperti) mengulang-ulang
(bacaan karena irama lagu).
Perawi hadis ini, Abdullah Ibn Mughaffal, menjelaskan cara bacaan Nabi yang
disebut tarj`dengan membaca panjang huruf alif sebanyak tiga kali. Menurut Ibn alQayyim, ini dilakukan oleh Nabi secara sengaja di saat melantunkannya dengan lagu
(Zd al-Ma`d, 1/483), bukan terpaksa karena hentakan dan gerakan onta yang
dikendarainya, seperti kata al-Qurthubi (Al-Jmi li Ahkm al-Qur`n, 1/15).
e. Hadis Rasul yang diriwayatkan oleh al-Bukhari yang berisikan pujian kepada Abu
Musa al-Asy`ari setelah mendengar bacaannya yang merdu.
:


(195 /6 )
Wahai Abu Musa, sungguh engkau telah diberi seruling (suara merdu) yang pernah
diberikan kepada Nabi Daud.
Menurut pakar hadis, al-Khattabi, yang dimaksud lu Dwd adalah Nabi Daud sendiri,
bukan keluarganya, baik anak-anak maupun kerabatnya, sebab tidak ada sumber yang
menjelaskan bahwa keluarga Nabi Daud memiliki suara bacaan yang merdu. Menurut
riwayat Ibnu Abbas, Nabi Daud dikenal sering melantunkan pujian dan doa yang
terdapat dalam Zabur dengan nada dan irama yang mencapai tujuh puluh varian lagu.
f. Hadis riwayat al-Bukhari dari al-Barra yang menceritakan keindahan suara bacaan
Nabi.
: "

:


"
(153 /1 )
Al-Barra RA berkata, Aku pernah mendengar Nabi membaca surah al-Tn di waktu
salat Isya. Sungguh, tidak pernah aku mendengar seseorang yang memiliki suara dan
bacaan yang baik dan indah melebihi suara dan bacaan Nabi.
Menurut pakar hadis, Ibnu Hajar al-Asqalani, hadis ini menjelaskan tingkatan
perbedaan suara bacaan dari segi nagham (nada dan irama) (Fath al-Bri, 13/136).
Tidak ada seorang pun yang mengungguli keindahan bacaan Nabi dari segi lagu.

3. Tinjauan Dalil Yang Melarang dan Yang Membolehkan


Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan, baik oleh yang melarang maupun yang
membolehkan, dapat disimpulkan pangkal persoalan yang menimbulkan perbedaan
pandangan dalam hal ini adalah ketidakpastian tentang formula suara bacaan yang
indah seperti dianjurkan dan dicontohkan oleh Nabi. Yang menolak berpendapat,
memperindah bacaan berarti membacanya dengan tartl dan secara alamiah, tidak
dipaksakan dan tidak dibuat-buat dalam bentuk nada dan irama yang disepakati seperti
dalam dunia musik.
Hadis al-taghann bi al-Qur`n yang dijadikan dalil kebolehan oleh yang mendukung
lagu, seperti pada poin 1 dan 2, mereka tolak. Mengutip dari Sufyan bin Uyaynah, lam
yataghanna bi al-Qur`n diartikan tidak merasa cukup dengan Al-Qur`an, sehingga
masih membutuhkan yang lainnya. Al-taghann dalam arti al-istighn (tidak merasa
cukup) biasa digunakan dalam bahasa Arab klasik. Pengertian ini didukung oleh Waki`
Ibn al-Jarrah, dan sepertinya menjadi makna pilihan Imam al-Bukhari, sebab ia
mengutipnya setelah menyebutkan hadis tersebut (Shahih al-Bukhari, 6/191), dan
mengaitkannya dengan firman Allah :

[51 :]
Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (AlQur'an) yang dibacakan kepada mereka?(QS. Al-Ankabut; 51)
Argumen ini ditolak oleh ulama yang mendukung kebolehan lagu dalam bacaan AlQur`an. Meskipun secara bahasa kata al-taghann bisa diartikan al-istighn, tetapi
sejumlah hadis turut menjelaskan bahwa yang dimaksud yataghann pada hadis
tersebut adalah membacanya dengan lagu. Sama halnya dengan ayat-ayat Al-Qur`an,
hadis-hadis Nabi saling menafsirkan antara satu dengan lainnya (yufassiru ba`dhuhu
ba`dhan).
Dalam satu riwayat dari Imam Muslim, kalimat yataghann bi al-Qur`an, didahului
dengan katahasani al-shawt (pemilik suara indah), dan ditegaskan pada akhirnya
bahwa yang dimaksud dengan yataghann bi al-Qur`an adalah yajharu
bihi (melantunkannya dengan suara keras).

:


(545 /1 ).

Dari Abu Hurairah RA, ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, Allah tidak
mengizinkan sesuatu seperti yang pernah diizinkan kepada Nabi (Muhammad) pemilik
suara indah dan merduuntuk membaca Al-Qur`an dengan lagu, dengan mengeraskan
suara bacaannya (HR. Muslim).
Menurut al-Thabari, hadis ini menjadi dalil dan penjelasan yang paling tegas bahwa
yang dimaksud adalah membacanya dengan lagu. Kalau benar apa yang dikatakan
Ibnu Uyaynah, bahwa yang dimaksud adalah al-istighn, maka penyebutan kata hasan
al-shawt dan yajharu bihitidak bermakna apa-apa (Fath al-Bri, 9/87, Zd al-Ma`d,
1/486).
Imam Syafi`i, ketika ditanya tentang pandangan Ibnu Uyaynah di atas, menjawab, kami
lebih mengerti tentang makna dimaksud. Seandainya yang dimaksud al-istighn (tidak
merasa cukup), maka redaksi hadis tersebut akan berbunyi, lam yastaghni bi al-Qur`an.
Tetapi ketika Rasulullah menyatakan, yataghann bi al-Qur`n, maka dapat dipahami
bahwa yang dimaksud adalah membacanya dengan lagu (Al-Jmi` li Ahkm al-Qur`n,
Al-Qurthubi, 1/13).
Dalam riwayat yang dikutip oleh pakar hadis, Ibnu Hajar, dari Abu Hurairah, terdapat
redaksihasani al-tarannum bi al-Qurn (seseorang melagukan bacaan Al-Qur`an
dengan baik) (Fath al-Bri, 9/87) yang semakin mempertegas bahwa yang
dimaksud yataghann adalah melagukannya. Dalam al-Sunan al-Kubr li al-Bayhaqi,
redaksi hadisnya berbunyi;

(386 /10 )
Allah tidak memberi izin untuk sesuatu seperti izin yang diberikan kepada Nabi yang
pandai melantukan bacaan Al-Qur`an dengan lagu (al-Sunan al-Kubr, 10/386)
Selanjutnya, dalam dua hadis yang menjadi dalil larangan membaca dengan lagu,
tersirat kesan melantunkan bacaan Al-Qur`an dengan lagu adalah tradisi ahlul kitab dan
orang-orang fasik yang tidak perlu ditiru. Meniru mereka berarti akan termasuk
golongan mereka (man tasyabbaha biqawmin fahuwa minhum). Seandainya riwayat
hadis ini benar tersambung kepada Rasulullah, tentu dapat menjadi pedoman. Tetapi
para ulama hadis menilai ketiga hadis tersebut lemah dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Hadis yang pertama, diriwayatkan oleh al-Hakim al-Turmudzi dalam Nawdir al-Ushl,
al-Thabrani dalam al-Mu`jam al-Awsath dan al-Bayhaqi dalam Syu`ab al-mn, dengan
mata rantai sanad/ periwayatan dari Baqiyyat Ibn al-Walid, dari al-Hushain al-Fazari,
dari Abu Muhammad, dari Huzaifah Ibn al-Yaman. Menurut Imam al-Dzahabi dalam

kitab al-Mzn, ada tiga alasan yang membuat hadis tersebut cacat sehingga tertolak,
pertama: Baqiyyat meriwayatkan seorang diri, dan dia tidak bisa dijadikan sandaran;
kedua: dari segi redaksi hadis tersebut juga janggal dan tertolak (munkar), dan; ketiga:
Abu Muhammad tidak diketahui siapa dia (majhl) (Al-Mzn).
Sedangkan pada hadis yang kedua, di antara perawinya terdapat Abu al-Yaqzhn
Usman bin Umayr, yang disepakati lemah oleh para ulama hadis, dan Zdzn yang
disangsikan kebenaran akidahnya dan dikenal banyak bicara, sehingga dinilai lemah.
Hal yang sama terjadi pada hadis yang melarang azan dengan menggunakan lagu.
Bahkan, salah seorang perawi hadis itu, yaitu Ishaq bin Abi Yahya al-Ka`biy, oleh alDaruquthni sendiri dinyatakan dha`if, dan oleh pakar kritik hadis, Imam al-Dzahabi,
dinyatakan hadis-hadisnya banyak yang munkar (tertolak) (Mzn al-I`tidl, 1/205).
Ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh ulama yang melarang lagu dalam bacaan Al-Qur`an,
tidak mengandung penegasan menggunakan lagu terlarang. Ayat-ayat tersebut
berisikan etika yang harus diperhatikan oleh siapa pun yang membaca Al-Qur`an, baik
menggunakan lagu maupun tidak. Al-Qur`an memang untuk dipahami dan dihayati
(tadabbur) pesan-pesannya. Penggunaan lagu justru dimaksudkan untuk mendukung
tercapainya penghayataan tersebut. Menurut pakar hadis Ibnu Hajar al-Asqalani, jiwa
manusia lebih senang dan lebih condong kepada bacaan yang menggunakan lagu
daripada yang tidak, sebab lagu akan lebih mudah mengetuk hati, sehingga air mata
bercucuran saat dibacakan Al-Qur`an (Fath al-Bri, 9/88-89).
Berdasarkan tinjauan di atas dapat disimpulkan dalil yang digunakan oleh ulama yang
berpandangan boleh menggunakan lagu dalam bacaan Al-Qur`an lebih kuat dibanding
dalil yang melarangnya. Seperti disimpulkan oleh ulama hadis, Ibnu Hajar, membaca AlQur`an dengan suara merdu itu sangat diperlukan, dan salah satu cara
memperbagusnya adalah dengan menggunakan kaidah dalam nagham, dan pada saat
yang sama juga memperhatikan kaidah ilmu tajwid dan qira`at. Nagham tidak berarti
apa-apa ketika tajwid dilanggar. Tetapi ketika keduanya dapat berjalan beriringan, maka
tentu akan menambah keindahan bacaan seperti dianjurkan oleh Nabi (Fath al-Bari,
9/89).
Dalam rangka mengagungkan Al-Qur`an banyak orang berlomba menulis teksnya
(mushaf) dengan khath/kaligrafi (tulisan) yang indah. Bahkan, segala daya dan upaya
dilakukan untuk itu. Memperindah bacaan Al-Qur`an dengan lagu tidak kalah
pentingnya dengan memperindah tulisan, sebab tujuannya sama, yaitu mengagungkan
dan memuliakan Al-Qur`an.
D. Hukum Membaca dengan Langgam Jawa atau Lainnya

Gagasan dan langkah yang diambil Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menuai
kontroversi.Apakah dalam melagukan bacaan dibolehkan menggunakan langgam
selain langgam yang sudah populer, seperti langgam Jawa atau lainnya yang
berasal dari kawasan Nusantara? Ada yang setuju dan ada yang menolak. Ide ini,
konon pernah dilontarkan oleh A. Mukti Ali, Menteri Agama di era tahun tujuh puluhan,
tetapi ditentang oleh banyak ulama kemudian tenggelam bersamaan dengan berlalunya
waktu. Di Mesir, pada tahun 1958, koran ternama al-Ahrm memberitakan lima surah
dalam Al-Qur`an telah disusun nada dan irama bacaan seperti dalam musik oleh Shaleh
Amin, seorang pengawas musik pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada
awal tahun 1958, harian al-Akhbr di Mesir memberitakan seorang musikus, Zakariya
Ahmad, akan membuat aransemen baru dalam langgam bacaan Al-Qur`an seperti
dalam musik yang selama ini ia tekuni. Gagasan ini tidak berlanjut dan kemudian hilang
dengan sendirinya.
Sebelum membahas dalil dari masing-masing yang mendukung dan yang menolak,
perlu disepakati pentingnya melihat masalah ini secara obyektif, dari kaca mata hukum
syar`i, dan bukan semata emosi. Tidak sedikit, hemat penulis, yang kehilangan
obyektifitasnya dan lebih mengedepankan emosi dan reaksi yang berlebihan, terutama
dari mereka yang menolak.
Retorika lebih mengemuka ketimbang logika, sehingga kalimat-kalimat yang keluar
seperti serangan dan ancaman, bukan ungkapan pikiran. Paling tidak, ini yang penulis
lihat, dengar dan rasakan dalam pertemuan ormas-ormas Islam (Front Pembela
Islam/FPI, Front Umat Islam/FUI, Forum Betawi Bersatu/FBB, Hizbut Tahrir
Indonesia/HTI dan Majelis Mujahidin/MM) dengan Menteri Agama, kamis, 28 Mei 2015,
di gedung Kementerian Agama.
Nada serupa dapat dibaca dalam buku kecil yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan
Pusat Front Pembela Islam (FPI) berisikan kumpulan berita dan artikel FPI untuk
ganyang liberal, yang diberi judul Ahlussunnah vs Ahlul Fitnah, Membongkar
Propaganda JIN (Jaringan Islam Nusantara), Di Balik Baca Al-Qur`an dengan Langgam
Jawa. Kecaman terhadap ulama yang mendukung langgam pun mengalir dengan
berbagai tuduhan yang tidak sepatutnya dilontarkan kepada ulama, terlepas dari setuju
atau tidak dengan pandangan yang dikemukakannya.
Boleh jadi ada yang tidak nyaman dengan langgam tersebut dan marah. Meski itu
manusiawi, tetapi tidak sepatutnya kemarahan itu membawa kepada sikap yang tidak
sepantasnya dalam menyikapi persoalan khilafiah keagamaan. Sesama Muslim kita
diminta untuk selalu berprasangka baik, lebih-lebih kepada ulama yang memiliki
kemampuan untuk menimbang berbagai persoalan hukum dalam kerangka ijtihad.
Melihat retorika para penolak langgam Jawa, terdapat banyak faktor yang menambah
runyam persoalan ini. Mulai dari persoalan politik, etnik sampai kepada persoalan

perang pemikiran (al-ghazw al-fikriy), membuat polemik soal langgam semakin ramai,
seperti minyak yang ditumpahkan ke dalam api yang sedang membara. Yang tidak ahli
pun ikut berbicara, sampai-sampai tidak bisa membedakan antara nagham(nada,
irama, langgam), tilawah dan qir`at. Oleh karenanya, pada bagian ini, penulis akan
membuang jauh-jauh hal-hal yang tidak terkait langsung dengan inti masalah, dan
hanya fokus pada argumen syar`i masing-masing pihak yang menolak dan yang
mendukung.
1. Dalil Yang Menolak
Mereka yang tidak setuju sebenarnya terbagi dua. Pertama; yang mengikuti pandangan
ulama yang mengatakan makruh hukumnya membaca Al-Qur`an dengan lagu atau
langgam apa pun, kedua: yang mengatakan boleh menggunakan lagu/langgam, tetapi
dibatasi pada langgam-langgam yang sudah populer.
Dalil-dalil kelompok pertama telah dibahas pada bagian terdahulu. Pada bagian ini akan
dibahas dalil kelompok kedua yang mengatakan boleh tetapi hanya dengan langgamlanggam yang sudah populer. Dalil mereka antara lain sebagai berikut;
a. Al-Qur`an diturunkan dengan lisan dan bahasa Arab (qurnan `arabiyyan bi lisnin
`arabiyyin mubn). Oleh karenanya, membacanya juga harus dengan cara lisan Arab,
tidak boleh dengan cara Jawa atau lainnya. Alasan ini juga diperkuat dengan hadis
yang telah dikemukakan di atas, bacalah Al-Qur`an dengan langgam dan suara orang
Arab (iqra` al-qur`na bi luhn al-`arabi wa ashwtih).
b. Membaca Al-Qur`an dengan langgam Jawa dianggap mempermainkan dan
memperolok (istihz) bacaan yang sangat mulia. Allah melarang untuk menjadikan AlQur`an sebagai bahan olok-olokan. Dalam dialog antara ormas-ormas Islam dengan
Menteri Agama, Ketua FUI, Al-Khattat, menyitir firman Allah yang berbunyi:
1(91)
( 90)
Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada
orang yang memilah-milah (Kitab Allah), (yaitu) orang-orang) yang telah menjadikan AlQur'an itu terbagi-bagi (QS. Al-Hijr; 90-91).
Demikian argumen penolakan yang dikemukakan. Hadis yang menyatakan bacalah AlQur`an dengan langgam dan suara orang Arab (iqra` al-qur`na bi luhn al-`arabi wa
ashwtih), jika sahih tentu akan menjadi kata pemutus dan yang harus dipedomani
dalam masalah ini. Tetapi, seperti telah dikemukakan terdahulu, hadis ini dha`if, tidak
bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya. Seandainya hadis ini benar, pertanyaan
selanjutnya, bagaimana langgam dan suara bacaan Arab yang sesungguhnya? Fakta
sejarah menunjukkan, jenis-jenis nagham(lagu/langgam) yang populer sekarang ini

tidak semua berasal dari Arab, tetapi sebagian dari Persia, dan baru berkembang
belakangan, jauh setelah masa Rasul. Seandainya hadis itu benar, maka
sejumlah nagham yang populer saat ini, seperti Sikah, Jiharkah, Nahawand dan Rost,
tidak boleh digunakan, karena bukan berasal dari Arab.
Oleh karenanya, kita tidak dapat berkata bahwa yang membaca Al-Qur`an dengan
langgam selain Arab telah melanggar syariat, karena tidak ada ketentuan syariat dalam
hal ini. Sama halnya kita tidak dapat berkata bahwa yang membaca dengan langgam
Jawa telah mempermainkan atau memperolok-olok Al-Qur`an (istihz). Kita tentu
berbaik sangka, seorang Menteri Agama di sebuah negara Muslim terbesar tidak
mungkin berani mempermainkan atau melecehkan Al-Qur`an. Terlalu besar
pertaruhannya. Kita tidak berhak untuk mengetahui hakikat yang sesungguhnya dari isi
hatinya. Hakikat isi hati manusia (al-sar`ir) adalah hak prerogatif Allah. Oleh
karenanya, Rasulullah murka ketika mengetahui Usamah bin Zaid tetap membunuh
orang yang sudah menyerah dan mengucapkan kalimat syahadat, karena Usamah
mengira bahwa itu dilakukan sekadar pura-pura untuk menyelamatkan jiwa dan
hartanya.
Ayat yang dikutip oleh al-Khattat juga tidak tepat, sebab yang dimaksud ayat itu adalah
ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrik serta yang sejalan dengan
mereka, yang membenarkan sebagian isi Al-Qur`an dan menolak sebagian lainnya.
Bahkan, seperti disebutkan dalam beberapa kitab tafsir, orang-orang musyrik membagibagi para tokoh mereka, seperti al-walid Ibn al-mughirah, ubah bin al-walid, al-Nadhr
Ibn al-Harits dan lainnya, untuk menghadapi Nabi Muhammad dengan tuduhan-tuduhan
palsu, seperti mengatakan Al-Qur`an adalah sihir, dongeng, ucapan penyair, ucapan
dukun atau orang gila, dan sebagainya. Mereka itulah yang disebut al-muqtasimn,
begitu pula yang sejalan dengan mereka. (Al-Tahrr wa al-Tanwr, 14/86).
Memang benar Al-Qur`an menyebut dirinya sebagai qur`nan `arabiyyan bilisnin
`arabiyyin mubn, tetapi Arab yang dimaksud pada ungkapan tersebut adalah
bahasanya. Al-Qur`an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas dan fasih;
menggunakan huruf, kalimat dan ungkapan yang biasa digunakan oleh masyarakat
Arab saat diturunkannya Dengan begitu, Al-Qur`an mudah diterima dan dipahami.
2.Dalil yang Mendukung Langgam Jawa
Mereka yang membolehkan bacaan langgam Jawa atau lainnya, berpegangan pada
dalil-dali sebagai berikut;
a. Hadis-hadis Nabi yang membolehkan dan menganjurkan untuk membaca Al-Qur`an
dengan suara yang merdu, termasuk dengan lagu/ langgam tertentu, seperti telah
dikemukakan pada bagian terdahulu. Dalil-dalil ulama yang membolehkan penggunaan

lagu dalam bacaan Al-Qur`an juga menjadi dalil utama yang membolehkan langgam
Jawa atau lainnya.
b. Berdasarkan informasi hadis-hadis tersebut, diketahui bahwa Nabi tidak menentukan
jenis lagu atau langgam tertentu, dan tidak ada larangan terkait jenis lagu atau langgam
tertentu, baik secara tersirat maupun tersurat. Dalam persoalan agama, halal dan
haram ditetapkan melalui dalil yang tegas dari Al-Qur`an, atau Sunnah Nabi Saw, atau
ijma` ulama. Dalam hal yang tidak ditemukan dalil halal dan haramnya, terutama dalam
masalah muamalat, maka hukum asalnya adalah boleh. Dalam kaidah fiqih
disebutkan, al-ashlu fil asyy`i al-ibhatu (hukum asal segala sesuatu adalah boleh).
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Abu Darda RA, Rasululllah
bersabda:

(26 /10) } { ) = :
Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya itu (jelas) halal. Apa yang diharamkan
itu (jelas) haram, dan apa yang didiamkan itu adalah bentuk kemudahan dan toleransi,
maka terimalah kemudahan dari Allah itu, sebab Allah tidak mungkin lupa (dengan
membiarkan atau mendiamkan itu). Kemudian beliau membaca firman Allah yang
berbunyi; Tuhanmu tidak pernah lupa (Musnad al-Bazzar)
Hadis serupa juga diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/375) dan dinilai
sahih oleh al-Dzahabi, dan al-Thabrani dalam al-Mu`jam al-Kabr, yang
dinilai hasan(baik) riwayatnya oleh al-Haytsami (Majma` al-Zawid, 1/171)
c. Membaca Al-Qur`an dengan tartl, sesuai ketentuan bacaan, dan dengan berbagai
varianqir`at adalah ibadah, yang harus tunduk pada tata cara membaca yang
dicontohkan oleh Nabi. Ketiadaan jenis langgam atau lagu tertentu dari Nabi
menunjukkan bahwa persoalan langgam atau lagu adalah bagian dari adat dan
kebiasaan yang dikembalikan kepada manusia dengan memperhatikan kondisi setiap
orang atau masyarakat.
Pakar hukum Islam, Imam Syathibi dalam kitab al-Muwfaqt merumuskan sebuah
kaidah yang sangat penting:


Hukum asal dalam masalah ibadah bagi seorang mukallaf (Muslim) adalah alta`abbud(mencontoh dan mengikuti ketentuan Allah dan Rasulnya), tanpa perlu mencari
atau mempertanyakan alasan dan makna di balik penetapannya. Sedangkan hukum

asal masalah adat dan kebiasaan (muamalt) adalah mencari makna, alasan dan
hikmah di balik itu (Al-Muwfaqt, 2/513).
d. Sebagai bagian dari adat dan kebiasaan, komunitas Muslim di berbagai wilayah
memiliki langgam dan lagu yang berbeda-beda dalam membaca Al-Qur`an, karena
perbedaan cara melafalkan, meski tidak menyalahi kaidah ilmu tajwid. Muslim
Indonesia boleh jadi akan merasa aneh mendengar langgam orang Maroko, Sudan
atau negara-negara Afrika lainnya, misalnya, dalam membaca Al-Qur`an, karena
memiliki nada dan irama yang khas masing-masing wilayah. Keragamaan bahasa dan
cara melafalkannya adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. Allah
berfirman:

[22 : ]

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi,
perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (QS. Al-Rum; 22).
e. Langgam adalah bagian dari seni yang mengandung unsur keindahan yang bisa
dirasakan oleh akal, fitrah dan jiwa manusia. Keindahan adalah bagian dari altahyyibt (hal-hal yang baik) yang dihalalkan oleh Allah Swt. Salah satu misi risalah
Nabi Muhammad SAW adalah menghalalkan yang baik-baik (al-thayyibt). Allah
berfirman:






[157 :]
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang
menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan
yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang
buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada
pada mereka.Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (AlQur'an), mereka itulah orang-orang beruntung (QS. Al-Araf; 157).




[32 :]

Katakanlah (Muhammad), Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang


telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah,
Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus
(untuk mereka saja) pada hari Kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu
untuk orang-orang yang mengetahui (QS. Al-Araf; 32).
Demikian beberapa argumen yang membolehkan. Penulis melihat argumen kelompok
yang membolehkan lebih kuat daripada yang melarangnya, sehingga cenderung
membolehkan dengan beberapa syarat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam melantunkan bacaan Al-Qur`an dengan menggunakan langgam selain yang
sudah populer, antara lain :
a. Memperhatikan kaidah-kaidah ilmu tajwid, seperti panjang pendek
bacaan, makhrijul hurf,waqaf-ibtid`, dan lain sebagainya. Jangan sampai karena
terbawa dan terpengaruh langgam, panjang pendek bacaan dan makhrijul
hurf menjadi tidak tepat, sehingga berpotensi mengubah lafal dan merusak arti.
Salah baca karena pengaruh lagu, tercatat pertama kali dilakukan oleh al-Haitsam dan
Ibnu A`yun, qari pada abad ke-2 hijriah. Dalam bacaan, keduanya sering terdengar
mengubah huruf, seperti limaskn menjadi limiskn,yang berpotensi merubah redaksi
dan merusak arti.
Menurut pakar hadis, Ibnu Hajar al-Asqalani, yang mensyarah kitab ShahhalBukhr,memperindah bacaan Al-Quransangat dianjurkan. Tetapi hendaknya
memperhatikan aturan baca (kaidah tajwid) agar terhindar dari kesalahan. Alasan inilah
yang mendasari Lembaga Fatwa Mesir (Dr al-Ift') melarang lantunan AlQur`andengan lagu bila ternyata bacaan tersebut tidak sesuai kaidah. Para ulama
sepakat, jika bacaan dengan lagu itu melanggar kaidah ilmu tajwid danqiraatmaka tidak
diperbolehkan.




Imam al-Mawardi meriwayatkan dari Imam Syafi`i, bacaan dengan lagu, bila
dilantunkan secara tidak tepat makhrajnya, hukumnya haram (Fath al-Bari, 9/72).
Fenomena menyimpang karena lagu bacaan, diidentifikasi Mustafa Shadiq Rafi`i,
seorang sastrawan pengkaji i`jzAl-Qur`an asal Mesir, dalam beberapa bentuk; atTarqsh, yaitu sengaja berhenti pada huruf mati, namun menghentakkan bacaan pada
huruf hidup secara tiba-tiba, seakan-akan sedang melompat atau berjalan cepat
(meliuk-liuk seperti penari); at-Tahzn, yaitu membaca dengan mimik atau gaya yang
dibuat sedih atau hampir menangis yang bertujuan semata-mata sebagai daya tarik
bagi pendengar; at-Tard, yaitu mengalunkan suara yang terlalu bergetar sehingga
seperti suara orang kedinginan atau kesakitan, dan; At-Tathrb, yaitu mendendangkan

dan melagukan Al-Qur`ansehingga membaca panjang (madd) bukan pada tempatnya,


atau menambahnya bila kebetulan pada tempatnya.

b. Memperhatikan adab tilawah, antara lain disertai niat ikhlas karena Allah,
menghadirkan kekhusyukan, tadabbur (penuh penghayatan dan pemaknaan/meresapi
makna), taatstsur dantajwub (responsif terhadap pesan ayat yang sedang dibaca),
sehingga merasakan kesedihan bahkan menangis saat dibaca ayat-ayat siksa dan
kepedihan, misalnya.

c. Tidak berlebihan (isrf) dan tidak dibuat-buat (takalluf). Dalam segala sesuatu, seperti
makan, minum, berpakaian dan sebagainya, Allah melarang manusia untuk berlebihan.
Firman-Nya:

[31 :]
Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai
orang yang berlebih-lebihan (QS. Al-A`raf; 31).

Langgam bacaan yang berlebihan dan dibuat-buat akan berpotensi melanggar kaidahkaidah bacaan (tajwid) dan mengalahkan bacaan untuk kepentingan lagu/ langgam.
Imam Nawawi berkata,

Para ulama sepakat tentang anjuran memperbagus suara bacaan Al-Qur`an, selama
bacaan itu tidak keluar batas, dan kalau sampai keluar batas yang berakibat
menambah atau mengilangkan/menyembunyikan huruf maka haram hukumnya.

d. Langgam yang digunakan hendaknya tidak berasal dari lagu atau langgam yang
biasa digunakan dalam hal kemaksiatan atau menjauhkan seseorang dari ingatan
kepada Yang Mahakuasa.

e. Tidak diringi dengan musik yang dapat mengganggu kekhusyukan pembaca dan atau
pendengar, sehingga tujuan membaca Al-Qur`an, yaitu men-tadabburi nya, tidak
tercapai. Sebab Al-Qur`an adalah kalamullh yang harus diperlakukan berbeda dengan
kalam lainnya.
Demikian beberapa syarat dan ketentuan yang harus diperhatikan ketika menggunakan
langgam Jawa atau Nusantara dalam melantunkan bacaan Al-Qur`an. Ketentuan ini
juga berlaku bagi siapa pun yang akan menggunakan langgam apa pun.
Meski dibolehkan, tetapi bacaan langgam Nusantara masih memerlukan waktu panjang
untuk bisa diterima semua kalangan, baik di tingkat lokal maupun internasional. Hemat
penulis, paling tidak ada dua tantangan yang terkait dengan pengembangan langgam
nusantara dalam bacaan Al-Qur`an; pertama; menjadikannya bersifat universal,
sehingga akrab di telinga semua orang, dan itu perlu waktu untuk memopulerkannya.
Sejauh ini, langgam-langgam Nusantara belum bersifat universal. Berbeda dengan
langgam yang sudah populer di dunia lainnya yang bila dibaca oleh Muslim manapun
dari seluruh dunia itu akan bisa diresapi. Langgam Nusantara ini masih perlu waktu
panjang untuk bisa bersifat universal atau bisa diterima semua pihak,dan pada akhirnya
nanti langgam-langgam itu akan terseleksi secara alami.
Kedua; seperti dijelaskan terdahulu, naghamt dalam berbagai bentuk dan
tingkatannya yang telah populer itu mampu mengekspresikan pesan-pesan Al-Qur`an,
sehingga makna dan lagu bisa beriringan. Lalu bagaimana dengan langgam
Nusantara? Apakah nada dalam langgam Nusantara dapat mengekspresikan ragam
pesan Al-Qur`an? Dalam langgam Jawa misalnya kita mengenal Kinanthi yang bersifat
senang, asih dan kasmaran dan mituturi (memberi
pitutur);Asmarandhana menggambarkan tresna, sengsem, sedih
(cinta); Dandhanggula berwatak luwes, gembira, indah (biasanya sebagai pembuka
lagu dalam langgam
Jawa); Pangkurmencerminkan seneng, nepsu (marah), gandrung (kasmaran); Durma
yang berwatak nepsu(marah), gereget dan menggambarkan amarah dan semangat
perang, dan sebagainya.
Tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi para ahli, baik dalam bidang musik maupun
Al-Qur`an. Tidak mudah untuk menyelaraskan antara langgam, tajwid dan pesan
makna. Yang tak kalah sulitnya juga, membuat langgam tersebut diterima oleh semua
kalangan, bukan etnis tertentu saja. Dan pada akhirnya, waktulah yang akan menguji,
apakah gagasan ini akan terus berlanjut dan berkembang, atau terkubur dalam
perjalanan waktu. Demikian, wallahua`lam.

*) Penulis adalah Kepala Lajnah Pentshihan Al-Quran Kementerian Agama Republik


Indonesia. Makalah ini disampaikan dan dibagikan secara umum dalam Seminar
Nasional Kontroversi Tilawah Langgam Nusantara yang diselenggarakan oleh
Pimpinan Pusat Jamiyyatul Qurra` Wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) pada 16
Juni 2015 di Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai