PENDAHULUAN
rumah sakit yang tidak memenuhi syarat menyebabkan limbah rumah sakit dapat
mencemari lingkungan penduduk disekitar rumah sakit dan menimbulkan masalah
kesehatan, hal ini dikarenakan dalam limbah rumah sakit dapat mengandung berbagai
jasad renik penyebab penyakit pada manusia termasuk demam thypoid, cholera, disentri
dan hepatitis sehingga limbah harus diolah sebelum di buang ke lingkungan (Bapedal,
1999).
Dimulai dengan makin meningkatnya pendirian rumah sakit,
kehidupan
Sampah Sampah
Rumah Sakit dapat dianggap sebagai mata rantai penyebaran penyakit
menular karena sampah menjadi tempat tertimbunnya mikro organisme penyakit
dan sarang serangga serta tikus. Di samping itu kadang-kadang dapat
mengandung bahan kimia beracun dan benda-benda tajam yang dapat
menimbulkan penyakit atau cidera. Sampah yang dihasilkan di Rumah Sakit
antara lain terdiri dari : sampah yang mudah busuk yang berasal dari instalasi
gizi, sampah yang tidak mudah busuk dan tidak mudah terbakar atau yang
mudah terbakar, sampah medis, sampah patologis serta sampah yang berasal dari
laboratorium.
Limbah Cair
Limbah cair Rumah Sakit adalah semua limbah cair yang berasal dari
ruangan-ruangan atau unit di Rumah Sakit yang kemungkinan mengandung
mikro organisme, bahan kimia beracun dan radio aktif.
Limbah klinis
Limbah klinis adalah limbah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan
gizi, "Veteranary", Farmasi atau sejenis serta limbah yang dihasilkan di Rumah
Sakit pada saat dilakukan perawatan/pengobatan atau penelitian. Bentuk limbah
klinis antara lain berupa benda tajam, limbah infeksius, jaringan tubuh, limbah
cito toksik, limbah Farmasi, limbah kimia, limbah radio aktif dan limbah plastik.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pencemaran lingkungan yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah
dr.Zainoel Abidin (RSUSZA), Banda Aceh?
2. Bagaimana pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan yang terjadi
di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin (RSUSZA), Banda Aceh?
3. Bagaimana keefektifan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan
yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin (RSUSZA), Banda
Aceh ?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui pencemaran lingkungan yang terjadi di Rumah Sakit Umum
Daerah dr.Zainoel Abidin (RSUSZA), Banda Aceh.
2. Untuk mengetahui pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan yang
terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin (RSUSZA), Banda Aceh.
3. Untuk mengetahui keefektifan pencegahan dan penanggulangan pencemaran
lingkungan yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin
(RSUSZA), Banda Aceh.
BAB II
LANDASAN TEORI
berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan
penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan
kesehatan
(Depkes
,RI
2004).
Berdasarkan
Permenkes
RI
Nomor
Rumah Sakit ini bersifat transisi karena pada suatu saat akan
ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan rumah
sakit tipe D hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan
kedokteran gigi. Sama halnya dengan rumah sakit tipe C, rumah sakit tipe D
juga menampung pelayanan yang berasal dari puskesmas.
5. Rumah Sakit Kelas E
Rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus (special hospital) yang
menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja. Pada saat
ini banyak tipe E yang didirikan pemerintah, misalnya rumah sakit jiwa,
rumah sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit jantung, dan rumah sakit
ibu dan anak. Rumah sakit merupakan suatu kegiatan yang mempunyai
potensi besar menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat,
terutama yang berasal dari aktivitas medis. Sampah rumah sakit dapat
dibedakan menjadi dua jenis yaitu sampah medis dan sampah non medis.
Untuk menghindari dampak negatif terhadap lingkungan perlu adanya
langkah-langkah penanganan dan pemantauan lingkungan.
2.2 Pengertian Sampah Rumah Sakit
Sampah ialah segala sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang punya dan
bersifat padat (Soemirat, 2002). Menurut defenisi (WHO) yang dikutip oleh Chandra
mengemukakan pengertian sampah adalah segala sesuatu yang tidak digunakan, tidak
dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan
manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Badan lingkungan hidup menyatakan
bahwa sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat. Sedangkan menurut Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia (FKM-UI) sampah diartikan sebagai sesuatu bahan padat yang terjadi
karena berhubungan dengan aktifitas manusia yang tidak dipakai lagi, tidak disenangi
dan dibuang secara saniter, kecuali buangan yang berasal dari tubuh manusia.
(Kusnoputranto, 1986).
2.3 Jenis Sampah Rumah Sakit Menurut Sumbernya
Setiap ruangan/unit kerja di rumah sakit merupakan penghasil sampah. Jenis
sampah dari setiap ruangan berbeda-beda sesuai dengan penggunaan dari setiap
ruangan/unit yang bersangkutan.
5
2. Limbah Infeksius
6
isolasi
penyakit
menular
(perawatan
intensif).Limbah
4. Limbah Citotoksik
Limbah Farmasi
Limbah farmasi berasal dari obat-obatan kadaluwarsa, obat-obatan
yang terbuang karena batch tidak memenuhi spesifikasi atau telah
terkontaminasi, obat-obatan yang terbuang atau dikembalikan oleh pasien,
obat-obatan yang sudah tidak dipakai lagi karena tidak diperlukan dan
limbah hasil produksi oabt-obatan.
6.
Limbah Kimia
Limbah Plastik
Limbah plastik adalah bahan plastic yang dibuang oleh klinik,
rumah
sakit
bisa
mengandung
bermacam-macam
perangkat
lunaknya
yang
berupa
peraturan-peraturan,
untuk
menentukan
ukuran
bak
sampah
dan
sarana
dipenuhi dalam pengelolaan sampah ialah tidak mencemari udara, air, atau tanah, tidak
menimbulkan bau (segi estetis) tidak menimbulkan kebakaran, dan sebagainya.
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun
2008 pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Menurut
Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit didalam pelaksanaan pengelolaan sampah setiap rumah sakit harus
melakukan reduksi limbah dimulai dari sumber, harus mengelola dan mengawasi
penggunaan bahan kimia yang berbahaya dan beracun, harus melakukan pengelolaan
stok bahan kimia dan farmasi. Setiap peralatan yang digunakan dalam pengelolaan
limbah medis mulai dari pengumpulan, pengangkutan, dan pemusnahan harus melalui
sertifikasi dari pihak yang berwenang. Hal ini dapat dilaksanakan dengan melakukan :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
atau
sampahnya
dipilah-pilah
untuk
dipisahkan.
Pewadahan
atau
12
bertutup rapat
mudah dibersihkan
Kantong plastik pelapis dan bak sampah dapat digunakan untuk memudahkan
pengosongan dan pengangkutan. Kantong plastik tersebut membantu membungkus
sampah waktu pengangkutan sehingga mengurangi kontak langsung mikroba dengan
manusia dan mengurangi bau, tidak terlihat sehingga memberi rasa estetis dan
memudahkan pencucian bak sampah. Penggunaan kantong plastik ini terutama
bermanfaat untuk sampah laboratorium. Ketebalan plastik disesuaikan dengan jenis
sampah yang dibungkus agar petugas pengangkut sampah tidak cidera oleh benda tajam
yang menonjol dari bungkus sampah. Kantong plastik diangkat setiap hari atau kurang
sehari apabila 2/3 bagian telah terisi sampah . Untuk benda-benda tajam hendaknya
ditampung pada tempat khusus (safety box) seperti botol atau karton yang aman
(Depkes RI, 2004).
Unit laboratorium menghasilkan berbagai jenis sampah. Untuk itu diperlukan
tiga tipe dari tempat penampungan sampah di laboratorium yaitu tempat penampungan
sampah gelas dan pecahan gelas untuk mencegah cidera, sampah yang basah dengan
solvent untuk mencegah penguapan bahan-bahan solvent dan mencegah timbulnya api
dan tempat penampungan dari logam untuk sampah yang mudah terbakar. Hendaknya
disediakan sarana untuk mencuci tempat penampungan sampah yang disesuaikan
dengan kondisi setempat. Untuk rumah sakit kecil mungkin cukup dengan pencuci
manual, tetapi untuk rumah sakit besar mungkin perlu disediakan alat cuci mekanis.
13
Pencucian ini sebaiknya dilakukan setiap pengosongan atau sebelum tampak kotor.
Dengan menggunakan kantong pelapis dapat mengurangi frekuensi pencucian. Setelah
dicuci sebaiknya dilakukan disinfeksi dan pemeriksaan bila terdapat kerusakan dan
mungkin perlu diganti.
2.8 Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan 1997, diungkapkan
seluruh rumah sakit di Indonesia berjumlah1.090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil
kajian terhadap 100 rumah sakit di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata
produksi sampah sebesar 3,2 kg per tempat tidur per hari. Sedangkan produksi
limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisi lebih jauh
menunjukkan produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestic sebesar 76,8
% dan berupa limbah infeksius sebesar 23,2 %. Diperkirakan secara nasional
produksi sampah (limbah padat) rumah sakit sebesar 376.089 ton per hari dan
produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari.Dari gambaran tersebut dapat
dibayangkan seberapa besar potensi rumah sakit untuk mencemari lingkungan dan
kemungkinannya kecelakaan dan penularan penyakit. (Sabayang dkk, 1996)
Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran
kepada 23 rumah sakit yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai
keharusan memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Berdasarkan data dari
Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jaktim yang diterima
pembaharuan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jakarta Timur hanya 3 rumah sakit
saja yang memiliki IPAL dan bekerja dengan baik, selebihnya ada yang belum
memiliki IPAL dan beberapa rumah sakit IPAL-nya dalam kondisi rusak berat.
(Sabayang dkk, 1996)
Data tersebut juga menyebutkan hanya 9 rumah sakit saja yang
memiliki incinerator. Alat tersebut digunakan untuk membakar limbah padat berupa
limbah sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu saja. Menurut
Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran
yang mengharuskan pihak rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap 3
bulan sekali. Sayangnya, sejak dilayangkan surat edaran (September 2005), hanya 3
rumah sakit saja yang memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit
khususnya limbah medis yang infeksius belum dikelola dengan baik, sebagian besar
pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis non infeksius. Selain
itu kerap bercampur limbah medis dan non medis.Pencampuran tersebut justru
14
2.
3.
4.
senyawa nitrat, bahan kimia, pestisida, logam nutrient tertentu dan fosfor.
Gangguan terhadap kesehatan manusia, dapat disebabkan oleh berbagai
jenis bakteri, virus, senyawa-senyawa kimia, pestisida, serta logam berat
16
BAB III
PEMBAHASAN
4.1 Pencemaran Lingkungan yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel
Abidin (RSUSZA), Banda Aceh
Rumah Sakit merupakan sarana kesehatan dalam melaksanakan fungsinya
menghasilkan buangan yang berupa limbah, baik limbah padat, limbah cair dan gas
(Soewarso, 1996). Limbah cair rumah sakit adalah semua limbah cair yang berasal dari
proses satuan kerja seluruh lingkungan rumah sakit yang kemungkinan mengandung
bahan kimia berbahaya (Agnes dan Azizah, 2005). Pengelolaan limbah cair rumah sakit
merupakan bagian yang berfungsi untuk melindungi masyarakat dari bahaya
pencemaran lingkungan, sehingga diperlukan penanganan yang baik dan benar melalui
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Prinsip dasar pengolahan limbah cair adalah pengelolaan menyeluruh dari
proses kegiatan operasional rumah sakit baik medis maupun non-medis. Limbah
tersebut diolah di dalam IPAL rumah sakit dimulai dari unit-unit penghasil limbah cair
dengan cara pembersihan secara fisik terhadap bahan-bahan organik, secara
mikrobiologis oleh bakteri dan diakhiri pembunuhan kuman dengan cara klorinasi
(Said,1999).
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) merupakan rumah
sakit pemerintahan di kota Banda Aceh yang menghasilkan limbah cair. Berdasarkan
observasi di lapangan RSUDZA melakukan pengolahan limbah cair menggunakan 1 unit
17
IPAL dengan metode lumpur aktif dengan kapasitas 260 m3/hari yang telah dibangun
sejak tahun 1996. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA)
menggunakan desinfektan yang sebagian besar mengandung senyawa-senyawa fenol.
Diduga bahan pencemar yang ada dalam limbah cair di RSUDZA Banda Aceh banyak
mengandung senyawa fenol.
Fenol merupakan asam karbolat yang sering digunakan sebagai desinfektan.
Banyak senyawa fenol dan turunannya yang digunakan sebagai desinfektan, seperti
kresol, fenilfenol dan hesaklorofen (Pelczar dan Chan, 2005). Jika kandungan fenol
dalam limbah cair konsentrasinya tinggi dapat menyebabkan gangguan pada badan air
dan menjadi toksik bagi mikroorganisme yang berfungsi mengolah limbah. Fenol
bersifat karsinogen dan korosif pada tubuh manusia (Kusumastuti, 2006). Untuk
menentukan keefektifan sistem pengolahan limbah cair sebelum dibuang dari bak
pengolahan, konsentrasi standar maksimum fenol berdasarkan keputusan Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 bagi kegiatan yang sudah
beroperasi yaitu sebesar 0,01 sampai 2,00 mg/L (Fardiaz, 1992). Sedangkan untuk
mengukur bahan pencemar dalam limbah cair rumah sakit digunakan parameter pH,
BOD, COD dan TSS yang didasarkan pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup no. 58 tahun 1995 tanggal 21 Desember 1995 (Anonimus, 1995).
Melihat dampak yang ditimbulkan oleh senyawa fenol maka, perlu dilakukan
untuk mengetahui kesesuaian sistem pengolahan limbah cair di RSUDZA Banda Aceh
dalam mengurangi senyawa-senyawa fenol.
4.2 Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan yang terjadi di Rumah
Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin (RSUSZA), Banda Aceh
Dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui keefektivitasan
pengolahan limbah cair RSUDZA dalam menurunkan kadar fenol setelah dibandingkan
dengan baku mutu yang ditetapkan pemerintah yaitu: Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup Nomor : KEP-03/MENKLH/II/1991.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai Februari 2009 di UPTD
Laboratorium Kesehatan dan Laboratorium Bapedal (Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan) NAD untuk pengukuran sampel, sedangkan pengambilan sampel
dilakukan di RSUDZA Banda Aceh.
Pada penelitian ini diperlukan sampel penelitian yaitu : limbah cair RSUDZA
sebelum diolah (inlet), limbah cair sesudah diolah (outlet), akuades, nitrifications
hemmistof, tablet natrium hidroksida , larutan digesti (campuran K2Cr2O7, dan HgSO4)
18
,larutan feroin, larutan Ferro Amonium Sulfat (FAS), larutan campuran H2SO4 dan
Ag2SO4 ,fenol reagent powder pillows ,fenol reagent powder pillows , \hardness
buffer,kloroform dan metanol. Sedangkan
(aqua), botol winkler, pH meter merk Hach 230 At, gelas beaker 250 Ml, kuvet, fotolap
S12, labu ukur 164 Ml, oxytop (botol sampel, penutup oxytop, kapsul karet dan
Inductive Stirring System), magnetik stirer, inkubator, termoreaktor, tabung COD, pipet
tetes, buret, corong, gelas ukur 1000 mL , labu pisah 300 Ml, labu erlenmeyer (50 mL),
tabung spekrofotometer, kertas saring 1 Phase Separators (PS) yang berukuran 125 mm
dan spektrofotometer merk DR 2800.
Metode Penelitian yang dilakukan yaitu digunakan metode eksperimen dengan
dua perlakuan yaitu pada bak sebelum pengolahan (inlet) dan bak sesudah pengolahan
(outlet). Data diambil selama10 hari berturut-turut. Parameter yang diukur adalah kadar
fenol (mg/L) pada limbah cair rumah sakit. Sedangkan parameter tambahan adalah pH,
BOD (mg/L), COD (mg/L) dan TSS (mg/L).
Prosedur yang dilakukan yaitu :
1. Mula-mula pengambilan sampel. Sampel penelitian adalah limbah cair sebelum
pengolahan (Inlet) dan sesudah pengolahan (Outlet). Pengambilan sampel Inlet
dilakukan pada bak sebelum pengolahan (bak pengumpul utama), sedangkan
pengambilan sampel Outlet dilakukan pada bak sesudah pengolahan (bak uji
biologis) IPAL RSDUZA Banda Aceh. Untuk pemeriksaan fenol sampel diambil
sebanyak 600 mL dan dimasukkan ke dalam botol bekas (aqua), sedangkan untuk
melakukan pemeriksaan pH, BOD, COD dan TSS sampel diambil dan dimasukkan
ke dalam 4 botol winkler yang sudah dibilas dengan air. Sampel diambil setiap hari
sebanyak 2 kali yaitu pada pukul 10.00 WIB pada bak sebelum pengolahan dan pada
pukul 14.00 WIB pada bak sesudah pengolahan (Interval waktu didasarkan pada
proses pengendapan di RSUDZA selama 4 jam) selama 10 hari.
2. Pemeriksaan kadar fenol. Pengukuran kadar fenol menggunakan metode
spektrofotometri. Sebelum digunakan semua alat-alat yang digunakan dibilas dengan
akuades, metanol dan kloroform. Sampel sebanyak 300 mL dimasukkan ke dalam
labu pisah, lalu diteteskan sebanyak 5 mL hardness buffer (untuk mengatur pH
10,1), kemudian ditutup dan dikocok. Setelah sampel homogen, dimasukkan fenol
reagent powder pillow sebanyak 50 mg dan ditambahkan fenol 2 reagent powder
pillow sebanyak 50 mg, lalu dihomogenkan kembali. Dimasukan kloroform
sebanyak 30 mL ke dalam labu pisah, kemudian dikocok selama 30 detik. Kloroform
19
pemanasan warna kuning hilang, ini berarti K2Cr2O7 habis, maka sampel harus
diencerkan. Setelah 2 jam dikeluarkan dan didinginkan. Dipindahkan campuran
sampel ke dalam gelas beaker dan tambahkan akuades sebanyak volume larutan
sampel tadi, kemudian ditambahkan indikator Feroin sebanyak 3 tetes dan dititrasi
dengan larutan Ferro Amonium Sulfat (FAS) 0,10 M. Dititrasi sampai terjadi
perubahan warna dari hijau kebiru-biruan menjadi coklat kemerah-merahan, diulangi
untuk blanko dengan cara yang sama.
6. Pemeriksaan Total Suspended Solid
(TSS).
sampel outlet sedang tidak beroperasinya pompa pengolahan sehingga tidak dilakukan
pengolahan, diduga sedikit kadar fenol yang didapatkan sesudah pengolahan akibat
tidak beroperasinya pompa.
Rata-rata penurunan kadar fenol antara sebelum dan sesudah pengolahan
didapatkan bahwa kadar fenol mengalami penurunan sebesar 75,95%. Penurunan kadar
fenol pada sistem pengolahan limbah cair diduga akibat adanya tahap aerasi dan
klorinasi. Menurut Sugiharto (1987) pada tahap aerasi senyawa fenol akan diuraikan
oleh mikroorganisme pada bak aerasi dan pada tahap klorinasi klor akan bereaksi
dengan fenol dan akan hilang karena pengaruh oksidasi. Berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tentang Baku Mutu
Air Limbah bagi kegiatan yang sudah beroperasi digunakan kadar fenol golongan II (0,5
mg/L), karena limbah cair yang dihasilkan harus dilakukan pengolahan. Sedangkan
kadar fenol di RSUDZA yang didapatkan sesudah pengolahan sebesar 0,020 mg/L. Hal
ini berarti bahwa kadar fenol hasil pengolahan di IPAL RSUDZA Banda Aceh
memenuhi persyaratan baku mutu.
Hasil analisis kadar pH pada limbah cair di RSUDZA menunjukkan perbedaan
yang nyata antara sebelum dan sesudah pengolahan. Peningkatan nilai pH antara
sebelum dan sesudah pengolahan berkisar antara 0,6% sampai 20,1%. Terjadi
peningkatan yang tinggi pada tanggal 23 dan 24 Juli 2009. Pada tanggal 23 Juli 2009
hasil pengukuran nilai pH yang didapatkan sesudah pengolahan adalah 5,66 dan terjadi
peningkatan sebesar 15,3%. Sedangkan pada tanggal 24 Juli 2009 hasil pengukuran nilai
pH diperoleh sesudah pengolahan yaitu 5,11 dan peningkatan nilai pH sebesar 20,1%.
Hal ini diduga karena sedikitnya zat-zat organik yang diuraikan oleh mikroorganisme.
Sesuai dengan pernyataan Sastrawijaya (2000) semakin sedikit zat-zat organik diuraikan
oleh mikroorganisme maka pH yang dihasilkan semakin basa dan jika semakin banyak
zat-zat organik yang diuraikan maka semakin asam pH yang dihasilkan. Pada tahap
aerasi mikroorganisme menguraikan zat-zat organik yang ada pada limbah cair. Jadi
sedikitnya zat-zat organik yang diuraikan pada bak aerasi maka menyebabkan terjadinya
peningkatan nilai pH. Dilihat dari penurunan kadar fenol didapatkan peningkatan nilai
pH antara sebelum dan sesudah pengolahan. Ini menandakan bahwa sedikitnya aktifitas
mikroorganisme dalam menguraikan senyawa-senyawa fenol pada bak aerasi.
Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 58 tahun 1995 tanggal 21
Desember 1995 nilai pH maksimum yang diperkenankan yaitu 6-9. Sedangkan pH yang
22
diperoleh di RSUDZA adalah 5,96. Hal ini berarti bahwa untuk kadar pH di IPAL
RSUDZA tidak memenuhi persyaratan baku mutu yang telah ditetapkan.
Hasil analisis kadar BOD yang diperoleh adanya perbedaan yang nyata antara
sebelum dan sesudah pengolahan. Diketahui bahwa tejadinya penurunan kadar BOD
dari sebelum pengolahan berkisar antara 20,7% sampai 57,1%. Rata-rata pengukuran
BOD antara sebelum dan sesudah pengolahan didapatkan bahwa kadar BOD mengalami
penurunan sebesar 32,04%. Penurunan ini diduga sedikitnya zat-zat organik yang
dioksidasi oleh mikroorganisme. Menurut Fardiaz (1992) pada tahap aerasi terjadi
menguraian zat-zat organik oleh mikroorganisme. Untuk menguraikan zat-zat organik
mikrooganisme membutuhkan oksigen agar dapat mengurainya dengan mudah di dalam
limbah cair. Menurut Pelczar dan Chan (2005) besarnya nilai BOD menyatakan jumlah
kandungan zat organik dalam limbah cair. Makin banyak jumlah zat organik yang dapat
dioksidasi dalam limbah cair maka makin tinggi nilai BOD. Hasil penurunan kadar
BOD sebesar 32.04% ini menandakan bahwa sedikitnya zat-zat organik yang dioksidasi
oleh mikroorganisme. Didapatkan penurunan kadar BOD antara sebelum dan sesudah
pengolahan,
menandakan
bahwa
adanya
penguraian
senyawa
fenol
oleh
mikroorganisme pada bak aerasi, walaupun penurunan kadar BOD diperoleh dalam
jumlah sedikit. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 58 tahun
1995 tanggal 21 Desember 1995 tentang Baku Mutu limbah cair bagi kegiatan rumah
sakit, kadar maksimum BOD sebesar 30 mg/L. Sedangkan kadar BOD sesudah
pengolahan di RSUDZA yang diperoleh sebesar 31,28 mg/L tidak memenuhi
persyaratan baku mutu yang ditetapkan.
Hasil analisis kadar COD memperlihatkan perbedaan yang
nyata antara sebelum dan sesudah pengolahan). Diketahui bahwa
terjadi
penurunan
kadar
COD
antara
sebelum
dan
sesudah
penurunan
COD.
Pada
bak
aerasi
kadar
fenol
dapat
21
Desember
1995,
kadar
COD
maksimum
yang
dialirkan
melalui
perpipaan
24
yaitu
perpipaan
sekunder
diantara
ruanganruangan (berjumlah 131 buah) dan menuju bak konrol (lubang pemeriksaan
yang berjumlah 46 buah). Bak kontrol tersebut disalurkan melalui perpipaan primer
menuju ke sistem pengolahan di IPAL. Limbah cair tersebut masuk ke dalam bak
penyaring (screen) untuk dilakukan penyaringan terhadap benda-benda kasar. Setelah
dilakukan penyaringan limbah cair masuk ke dalam bak pengumpul utama sebagai
pencampuran limbah cair. Dari pengumpul utama limbah cair dinaikkan ke dalam bak
aerasi, terjadi kontak antara limbah cair dengan oksigen yang disuplai dari mesin blower
dan disalurkan dengan katup (nozzel). Pada bak aerasi akan membentuk flok flok
(lumpur yang dapat diendapkan), kemudian masuk ke dalam bak sendimentasi melalui
saluran penghubung, flok-flok dari bak aerasi secara gravitasi akan mengendap pada bak
pengendap.
Flok-flok yang terbentuk dari proses perombakan zat organik dari limbah yang
terjadi pada bak aerasi mengalir dan mengendap pada bak sendimentasi (pengendap),
kemudian baru disalurkan ke bak penampung lumpur. Bak penampung ini berfungsi
untuk menampung lumpur dari bak sendimentasi untuk dipompakan ke bak aerasi dan
sebagian dipompakan ke dalam bak pengering lumpur. Limbah cair yang tersisa pada
bak pengering lumpur dialirkan kembali ke dalam bak pengumpul utama untuk
dilakukan pengolahan kembali. Cairan bagian atas dari bak sendimentasi yang sudah
jernih masuk kedalam bak klorinasi. Bahan yang digunakan untuk klorinasi adalah
klorin yang terbentuk garam yaitu kaporit. Setelah diklorinasi limbah cair masuk
langsung ke bak uji biologis dan disalurkan ke saluran umum.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
25
1. Kegiatan rumah sakit dapat menimbulkan dampak positif dan negarif. Salah
satu contoh positif dengan adanya rumah sakit adalah sebagai penyedia
layanan kesehatan untuk masyarakat. Sedangkan dampak negatif, jika ditinjau
dari pengolahan limbahnya, limbah yang tidak diolah dengan baik akan
2.
3.
gas
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) merupakan rumah
sakit pemerintahan di kota Banda Aceh yang menghasilkan limbah cair.
Diduga bahan pencemar yang ada dalam limbah cair di RSUDZA Banda Aceh
4.
26