Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Masalah pencemaran lingkungan merupakan masalah lama yang dihadapi
manusia hingga saat ini. Masalah tersebut masih belum dapat terselesaikan. Pencemaran
lingkungan adalah masuknya substansi-substansi berbahaya ke dalam lingkungan
sehingga kualitas lingkungan menjadi berkurang atau fungsinya tidak sesuai dengan
peruntukannya. Sehingga tatanan lingkungan yang dulu berubah karena adanya
pencemaran lingkungan.
Rumah sakit sebagai salah satu hasil pembangunan dan upaya penunjang
pembangunan dalam bidang kesehatan merupakan sarana pelayanan umum, tempat
berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat yang memungkinkan terjadinya
pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan dan dapat menjadi tempat penularan
penyakit. Untuk itu telah dilakukan berbagai upaya penanggulangan dampak lingkungan
Rumah Sakit yang dimulai dari analisa dampak lingkungan (AMDAL).
Rumah sakit bersih adalah tempat pelayanan kesehatan yang dirancang,
dioperasikan dan dipelihara dengan sangat memperhatikan aspek kebersihan bangunan
dan halaman baik fisik, sampah, limbah cair, air bersih dan serangga/ binatang
pengganggu. Namun menciptakan kebersihan di rumah sakit merupakan upaya yang
cukup sulit dan bersifat kompleks berhubungan dengan berbagai aspek antara lain
budaya/ kebiasaan, perilaku masyarakat, kondisi lingkungan, sosial dan teknologi.
Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah
sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis
yang infeksius belum di kelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah
infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius, selain itu kerap bercampur
limbah medis dan non medis yang justru memperbesar permasalahan limbah medis.
Pengolahan limbah rumah sakit dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang
diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan dalam volume, penggunaan
kembali dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang dan pengolahan. Hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pengolahan limbah adalah pemisahan limbah,
penyimpanan limbah, penanganan limbah dan pembuangan limbah.
Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dengan
meningkatnya pendirian Rumah Sakit (RS). Sebagai akibat kualitas efluen limbah
1

rumah sakit yang tidak memenuhi syarat menyebabkan limbah rumah sakit dapat
mencemari lingkungan penduduk disekitar rumah sakit dan menimbulkan masalah
kesehatan, hal ini dikarenakan dalam limbah rumah sakit dapat mengandung berbagai
jasad renik penyebab penyakit pada manusia termasuk demam thypoid, cholera, disentri
dan hepatitis sehingga limbah harus diolah sebelum di buang ke lingkungan (Bapedal,
1999).
Dimulai dengan makin meningkatnya pendirian rumah sakit,

kehidupan

masyarakat yang tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya, serta kurangnya


kepedulian manajemen rumah sakit terhadap pengelolaan lingkungan. Mulailah timbul
tumpukan sampah ataupun limbah yang dibuang tidak sebagaimana semestinya. Hal ini
berakibat pada kehidupan manusia dibumi yang menjadi tidak sehat sehingga
menurunkan kualitas kehidupan terutama pada lingkungan sekitarnya.
Secara garis besar ada 3 (tiga) macam limbah Rumah Sakit yaitu limbah padat
(sampah), limbah cair dan limbah klinis.

Sampah Sampah
Rumah Sakit dapat dianggap sebagai mata rantai penyebaran penyakit
menular karena sampah menjadi tempat tertimbunnya mikro organisme penyakit
dan sarang serangga serta tikus. Di samping itu kadang-kadang dapat
mengandung bahan kimia beracun dan benda-benda tajam yang dapat
menimbulkan penyakit atau cidera. Sampah yang dihasilkan di Rumah Sakit
antara lain terdiri dari : sampah yang mudah busuk yang berasal dari instalasi
gizi, sampah yang tidak mudah busuk dan tidak mudah terbakar atau yang
mudah terbakar, sampah medis, sampah patologis serta sampah yang berasal dari
laboratorium.

Limbah Cair
Limbah cair Rumah Sakit adalah semua limbah cair yang berasal dari
ruangan-ruangan atau unit di Rumah Sakit yang kemungkinan mengandung
mikro organisme, bahan kimia beracun dan radio aktif.

Limbah klinis
Limbah klinis adalah limbah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan
gizi, "Veteranary", Farmasi atau sejenis serta limbah yang dihasilkan di Rumah
Sakit pada saat dilakukan perawatan/pengobatan atau penelitian. Bentuk limbah

klinis antara lain berupa benda tajam, limbah infeksius, jaringan tubuh, limbah
cito toksik, limbah Farmasi, limbah kimia, limbah radio aktif dan limbah plastik.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pencemaran lingkungan yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah
dr.Zainoel Abidin (RSUSZA), Banda Aceh?
2. Bagaimana pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan yang terjadi
di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin (RSUSZA), Banda Aceh?
3. Bagaimana keefektifan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan
yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin (RSUSZA), Banda
Aceh ?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui pencemaran lingkungan yang terjadi di Rumah Sakit Umum
Daerah dr.Zainoel Abidin (RSUSZA), Banda Aceh.
2. Untuk mengetahui pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan yang
terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin (RSUSZA), Banda Aceh.
3. Untuk mengetahui keefektifan pencegahan dan penanggulangan pencemaran
lingkungan yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin
(RSUSZA), Banda Aceh.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Rumah Sakit


Pengertian Rumah Sakit Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan
rumah sakit dinyatakan bahwa rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan, tempat
3

berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan
penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan
kesehatan

(Depkes

,RI

2004).

Berdasarkan

Permenkes

RI

Nomor

986/Menkes/Per/11/1992 pelayanan rumah sakit umum pemerintah Departemen


Kesehatan dan Pemerintah Daerah diklasifikasikan menjadi kelas/tipe A,B,C,D dan E
(Azwar,1996):
1. Rumah Sakit Kelas A
Rumah Sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh pemerintah, rumah
sakit ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi (top
referral hospital) atau disebut juga rumah sakit pusat.
2. Rumah Sakit Kelas B
Rumah Sakit kelas B adalah rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan kedokteran medik spesialis luas dan subspesialis terbatas.
Direncanakan rumah sakit tipe B didirikan di setiap ibukota propinsi
(provincial hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit
kabupaten. Rumah sakit pendidikan yang tidak termasuk tipe A juga
diklasifikasikan sebagai rumah sakit tipe B.

3. Rumah Sakit Kelas C


Rumah Sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan kedokteran subspesialis terbatas. Terdapat empat macam
pelayanan spesialis disediakan yakni pelayanan penyakit dalam, pelayanan
bedah, pelayanan kesehatan anak, serta pelayanan kebidanan dan kandungan.
Direncanakan rumah sakit tipe C ini akan didirikan di setiap kabupaten/kota
(regency hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari puskesmas.
4. Rumah Sakit Kelas D

Rumah Sakit ini bersifat transisi karena pada suatu saat akan
ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan rumah
sakit tipe D hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan
kedokteran gigi. Sama halnya dengan rumah sakit tipe C, rumah sakit tipe D
juga menampung pelayanan yang berasal dari puskesmas.
5. Rumah Sakit Kelas E
Rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus (special hospital) yang
menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja. Pada saat
ini banyak tipe E yang didirikan pemerintah, misalnya rumah sakit jiwa,
rumah sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit jantung, dan rumah sakit
ibu dan anak. Rumah sakit merupakan suatu kegiatan yang mempunyai
potensi besar menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat,
terutama yang berasal dari aktivitas medis. Sampah rumah sakit dapat
dibedakan menjadi dua jenis yaitu sampah medis dan sampah non medis.
Untuk menghindari dampak negatif terhadap lingkungan perlu adanya
langkah-langkah penanganan dan pemantauan lingkungan.
2.2 Pengertian Sampah Rumah Sakit
Sampah ialah segala sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang punya dan
bersifat padat (Soemirat, 2002). Menurut defenisi (WHO) yang dikutip oleh Chandra
mengemukakan pengertian sampah adalah segala sesuatu yang tidak digunakan, tidak
dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan
manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Badan lingkungan hidup menyatakan
bahwa sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat. Sedangkan menurut Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia (FKM-UI) sampah diartikan sebagai sesuatu bahan padat yang terjadi
karena berhubungan dengan aktifitas manusia yang tidak dipakai lagi, tidak disenangi
dan dibuang secara saniter, kecuali buangan yang berasal dari tubuh manusia.
(Kusnoputranto, 1986).
2.3 Jenis Sampah Rumah Sakit Menurut Sumbernya
Setiap ruangan/unit kerja di rumah sakit merupakan penghasil sampah. Jenis
sampah dari setiap ruangan berbeda-beda sesuai dengan penggunaan dari setiap
ruangan/unit yang bersangkutan.
5

Tabel. Jenis Sampah Menurut Sumbernya

2.4 Penggolongan Limbah Rumah Sakit


Berdasarkan Depkes RI 1992, sampah dan limbah rumah sakit adalah semua
sampah dan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang
lainnya. Secara umum sampah dan limbah rumah sakit dibagi dalam dua kelompok
besar yaitu sampah atau limbah klinis dan non klinis baik padat maupun cair.
Bentuk limbah atau sampah klinis bermacam-macam dan berdasarkan potensi
bahaya yang ditimbulkannya dapat dikelompokkan sebagai berikut: (Anshar, 2013)
1.

Limbah Benda Tajam


Limbah benda tajam adalah objek atau alat yangmemiliki sudut tajam,
sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit
seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet Pasteur, pecahan
gelas, pisau bedah.Semua benda tajam ini memiliki bahaya dan dapat
menyebabkan cedera melalui sobekan atautusukan.Benda-benda tajam yang
terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan
mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif.

2. Limbah Infeksius
6

Limbah infeksius meliputi limbah yang berkaitan dengan pasien yang


memerlukan

isolasi

penyakit

menular

(perawatan

intensif).Limbah

laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari


poliklinik dan ruang perawatan/ isolasi penyakit menular.Limbah jaringan
tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh, sampah
mikrobiologis, limbah pembedahan, limbah unit dialysis dan peralatan
terkontaminasi (medical waste).
3.

Limbah Jaringan Tubuh


Limbah jaringan tubuh meliputi jaringan tubuh, organ, anggota badan,
placenta, darah dan cairan tubuh lain yang dibuang saat pembedahan dan
autopsy. Limbah jaringan tubuh tidak memerlukan pengesahan penguburan
dan hendaknya dikemas khusus, diberi label dan dibuang ke incinerator.

4. Limbah Citotoksik

Limbah citotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin


terkontaminasi dengan obat citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau
tindakan terapi citotoksik.Limbah yang terdapat limbah citotoksik harus
dibakar dalam incinerator dengan suhu diatas 1000C.
5.

Limbah Farmasi
Limbah farmasi berasal dari obat-obatan kadaluwarsa, obat-obatan
yang terbuang karena batch tidak memenuhi spesifikasi atau telah
terkontaminasi, obat-obatan yang terbuang atau dikembalikan oleh pasien,
obat-obatan yang sudah tidak dipakai lagi karena tidak diperlukan dan
limbah hasil produksi oabt-obatan.

6.

Limbah Kimia

Limbah kimia dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan


medis, vetenary, laboratorium, proses sterilisasi dan riset. Limbah kimia juga
meliputi limbah farmasi dan limbah citotoksik.
7. Limbah Radio Aktif

Limbah radio aktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio


isotope yang berasal dari penggunaan medis dan riset radionucleida. Asal
limbah ini antara lain dari tindakan kedokteran nuklir, radioimmunoassay dan
bakteriologis yang dapat berupa padat, cair atau gas.
8.

Limbah Plastik
Limbah plastik adalah bahan plastic yang dibuang oleh klinik,

rumah sakit dan sarana kesehatan lain seperti barang-barang dissposable


yang terbuat dari plastic dan juga pelapis peralatan dan perlengkapan medis.
Selain sampah klinis dari kegiatan penunjang rumah sakit juga
menghasilkan sampah non medis. Sampah non medis ini bisa berasal dari
kantor/ administrasi (kertas), unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol),
sampah dari ruangan pasien, sisa makanan buangan, sampah dapur (sisa
pembungkus, sisa makanan/ bahan makanan, sayur dll). Limbah cair yang
dihasilkan rumah sakit mempunyai karakteristik tertentu baik fisik, kimia dan
biologi.Limbah

rumah

sakit

bisa

mengandung

bermacam-macam

mikroorganisme, tergantung dari jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang


dilakukan sebelum dibuang dan jenis sarana yang ada (laboratorium, klinik
dll). Tentu saja dari jenis-jenis mikroorganisme tersebut ada yang bersifat
pathogen. Limbah rumah sakit seperti halnya limbah lain akan mengandung
bahan-bahan organic dan anorganik, yang tingkat kandungannya dapat
ditentukan dengan uji air kotor pada umumnya seperti BOD, COD, TTS, pH,
mikrobiologik dan lainnya. (Arifin, 2008).
Sebagaimana termaktub dalam undang-undang No. 9 tahun 1990
tentang pokok-pokok kesehatan, bahwa setiap warga berhak memperoleh
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Ketentuan tersebut menjadi dasar
bagi pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan berupa pencegahan dan
pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan pencemaran,
8

pemulihan kesehatan penerangan dan pendidikan kesehatan kepada


masyarakat. (Siregar, 2001)
Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang
berupa benda cair, padat dan gas.Pengelolaan limbah rumah sakit adalah
bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit yang bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang
bersumber dari limbah rumah sakit. Unsur-unsur yang terkait dengan
penyelenggaraan kegiatan pelayanan rumah sakit (termasuk pengelolaan
limbahnya), yaitu (Giyatmi, 2003):

Pemrakarsa dan penanggung jawab rumah sakit


Pengguna jasa pelayanan rumah sakit
Para ahli, pakar dan lembaga yang dapat memberikan saransaran

Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana


dan fasilitas yang diperlukan.

Upaya pengelolaan limbah rumah sakit telah disiapkan dengan


menyediakan

perangkat

lunaknya

yang

berupa

peraturan-peraturan,

pedoman-pedoman dan kebijakan-kebijakan yang mengatur pengelolaan dan


peningkatan kesehatan di lingkungan rumah sakit. Disamping itu secara
bertahap dan berkesinambungan Depertemen Kesehatan mengupayakan
instalasi pengelolaan limbah rumah sakit, sehingga sampai saat ini sebagian
rumah sakit pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan
limbah, meskipun perlu disempurnakan. Namun harus disadari bahwa
pengelolaan limbah rumah sakit masih perlu ditingkatkan lagi. (Barlin,
1995).
2.5 Jumlah Sampah
Rumah sakit akan menghasilkan sampah medis dan non medis. Untuk itu usaha
pengelolaannya terlebih dahulu menentukan jumlah sampah yang dihasilkan setiap hari.
Jumlah ini akan menentukan jumlah dan volume sarana penampungan lokal yang harus
disediakan, pemilihan incinerator dan kapasitasnya dan juga bila rumah sakit memiliki
9

tempat pengolahan sendiri jumlah produksi dapat diproyeksikan untuk memperkirakan


pembiayaan, dan lain-lain. Dalam pengelolaan sampah ukuran yang digunakan adalah
sebagai berikut :
1. Jumlah Menurut Berat
Ukuran berat yang sering digunakan adalah :
a. Dalam ton perhari untuk jumlah timbunan sampah.
b. Dalam kg/orang/hari atau gram/orang/hari untuk produksi sampah per
orang (Kusnoputranto, 1986)
2.

Jumlah Menurut Disposable (Benda yang langsung Dibuang)


Meningkatnya jumlah sampah berkaitan dengan meningkatnya
penggunaan barang disposable. Daftar barang disposable merupakan
indikator jumlah dan kualitas sampah rumah sakit yang diproduksi. Berat,
ukuran, dan sifat kimiawi barang-barang disposable mungkin perlu
dipelajari sehingga dapat diperoleh informasi yang bermanfaat dalam
pemgelolaan sampah. ( Depkes RI, 2002).

3. Jumlah Menurut Volume


Ukuran ini sering digunakan terutama di negara berkembang dimana
masih terdapat kesulitan biaya untuk pengadaan alat timbangan. Satuan
ukuran yang digunakan adalah m3 /hari atau liter/hari. Dalam
pelaksanaan sehari-hari sering alat ukur volume diterapkan langsung
pada alat-alat pengumpul dan pengangkut sampah. Volume sampah harus
diketahui

untuk

menentukan

ukuran

bak

sampah

dan

sarana

pengangkutan. (Depkes RI, 2002).


2.6 Pelaksanaaan Pengelolaan Sampah Rumah Sakit
Pengelolaan sampah harus dilakukan dengan benar dan efektif dan memenuhi
persyaratan sanitasi. Sebagai sesuatu yang tidak digunakan lagi, tidak disenangi, dan
yang harus dibuang maka sampah tentu harus dikelola dengan baik. Syarat yang harus
10

dipenuhi dalam pengelolaan sampah ialah tidak mencemari udara, air, atau tanah, tidak
menimbulkan bau (segi estetis) tidak menimbulkan kebakaran, dan sebagainya.
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun
2008 pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Menurut
Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit didalam pelaksanaan pengelolaan sampah setiap rumah sakit harus
melakukan reduksi limbah dimulai dari sumber, harus mengelola dan mengawasi
penggunaan bahan kimia yang berbahaya dan beracun, harus melakukan pengelolaan
stok bahan kimia dan farmasi. Setiap peralatan yang digunakan dalam pengelolaan
limbah medis mulai dari pengumpulan, pengangkutan, dan pemusnahan harus melalui
sertifikasi dari pihak yang berwenang. Hal ini dapat dilaksanakan dengan melakukan :
1.

Menyeleksi bahan-bahan yang kurang menghasilkan limbah sebelum


membelinya.

2.

Menggunakan sedikit mungkin bahan-bahan kimia.

3.

Mengutamakan metode pembersihan secara fisik daripada secara


kimiawi.

4.

Mencegah bahan-bahan yang dapat menjadi limbah seperti dalam


kegiatan perawatan dan kebersihan.

5.

Memonitor alur penggunaan bahan kimia dari bahan baku sampai


menjadi limbah bahan berbahaya dan beracun.

6.

Memesan bahan-bahan sesuai kebutuhan.

7.

Menggunakan bahan-bahan yang diproduksi lebih awal untuk


menghindari kadaluarsa.

8.

Menghabiskan bahan dari setiap kemasan

9.

Mengecek tanggal kadaluarsa bahan-bahan pada saat diantar oleh


distributor.
11

Hal ini dilakukan agar sampah yang dihasilkan dari rumah


sakit dapat dikurangi sehingga dapat menghemat biaya operasional
untuk pengelolaan sampah. (Dekpes. RI, 2004)
2.7 Penampungan Sampah Rumah Sakit
Sampah biasanya ditampung di tempat produksi di tempat produksi sampah
untuk beberapa lama. Untuk itu setiap unit hendaknya disediakan tempat
penampungan dengan bentuk, ukuran dan jumlah yang disesuaikan dengan jenis dan
jumlah sampah serta kondisi setempat. Sampah sebaiknya tidak dibiarkan di tempat
penampungan terlalu lama. Kadang-kadang sampah juga diangkut langsung ke
tempat penampungan blok atau pemusnahan. Penyimpanan limbah medis padat harus
sesuai iklim tropis yaitu pada musim hujan paling lama 48 jam dan musim kemarau
paling lama 24 jam (Depkes RI, 2004).
Untuk memudahkan pengelolaan sampah rumah sakit maka terlebih dahulu
limbah

atau

sampahnya

dipilah-pilah

untuk

dipisahkan.

Pewadahan

atau

penampungan sampah harus memenuhi persyaratan dengan penggunaan jenis wadah


sesuai kategori sebagai berikut :

Tabel.Jenis Wadah dan Label Sampah Padat Sesuai Kategorinya

12

Tempat-tempat penampungan sampah hendaknya memenuhi persyaratan


minimal sebagai berikut (Depkes RI, 2002) :

bahan tidak mudah karat

kedap air, terutama untuk menampung sampah basah

bertutup rapat

mudah dibersihkan

mudah dikosongkan atau diangkut

tidak menimbulkan bising

tahan terhadap benda tajam dan runcing.

Kantong plastik pelapis dan bak sampah dapat digunakan untuk memudahkan
pengosongan dan pengangkutan. Kantong plastik tersebut membantu membungkus
sampah waktu pengangkutan sehingga mengurangi kontak langsung mikroba dengan
manusia dan mengurangi bau, tidak terlihat sehingga memberi rasa estetis dan
memudahkan pencucian bak sampah. Penggunaan kantong plastik ini terutama
bermanfaat untuk sampah laboratorium. Ketebalan plastik disesuaikan dengan jenis
sampah yang dibungkus agar petugas pengangkut sampah tidak cidera oleh benda tajam
yang menonjol dari bungkus sampah. Kantong plastik diangkat setiap hari atau kurang
sehari apabila 2/3 bagian telah terisi sampah . Untuk benda-benda tajam hendaknya
ditampung pada tempat khusus (safety box) seperti botol atau karton yang aman
(Depkes RI, 2004).
Unit laboratorium menghasilkan berbagai jenis sampah. Untuk itu diperlukan
tiga tipe dari tempat penampungan sampah di laboratorium yaitu tempat penampungan
sampah gelas dan pecahan gelas untuk mencegah cidera, sampah yang basah dengan
solvent untuk mencegah penguapan bahan-bahan solvent dan mencegah timbulnya api
dan tempat penampungan dari logam untuk sampah yang mudah terbakar. Hendaknya
disediakan sarana untuk mencuci tempat penampungan sampah yang disesuaikan
dengan kondisi setempat. Untuk rumah sakit kecil mungkin cukup dengan pencuci
manual, tetapi untuk rumah sakit besar mungkin perlu disediakan alat cuci mekanis.
13

Pencucian ini sebaiknya dilakukan setiap pengosongan atau sebelum tampak kotor.
Dengan menggunakan kantong pelapis dapat mengurangi frekuensi pencucian. Setelah
dicuci sebaiknya dilakukan disinfeksi dan pemeriksaan bila terdapat kerusakan dan
mungkin perlu diganti.
2.8 Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan 1997, diungkapkan
seluruh rumah sakit di Indonesia berjumlah1.090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil
kajian terhadap 100 rumah sakit di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata
produksi sampah sebesar 3,2 kg per tempat tidur per hari. Sedangkan produksi
limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisi lebih jauh
menunjukkan produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestic sebesar 76,8
% dan berupa limbah infeksius sebesar 23,2 %. Diperkirakan secara nasional
produksi sampah (limbah padat) rumah sakit sebesar 376.089 ton per hari dan
produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari.Dari gambaran tersebut dapat
dibayangkan seberapa besar potensi rumah sakit untuk mencemari lingkungan dan
kemungkinannya kecelakaan dan penularan penyakit. (Sabayang dkk, 1996)
Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran
kepada 23 rumah sakit yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai
keharusan memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Berdasarkan data dari
Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jaktim yang diterima
pembaharuan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jakarta Timur hanya 3 rumah sakit
saja yang memiliki IPAL dan bekerja dengan baik, selebihnya ada yang belum
memiliki IPAL dan beberapa rumah sakit IPAL-nya dalam kondisi rusak berat.
(Sabayang dkk, 1996)
Data tersebut juga menyebutkan hanya 9 rumah sakit saja yang
memiliki incinerator. Alat tersebut digunakan untuk membakar limbah padat berupa
limbah sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu saja. Menurut
Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran
yang mengharuskan pihak rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap 3
bulan sekali. Sayangnya, sejak dilayangkan surat edaran (September 2005), hanya 3
rumah sakit saja yang memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit
khususnya limbah medis yang infeksius belum dikelola dengan baik, sebagian besar
pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis non infeksius. Selain
itu kerap bercampur limbah medis dan non medis.Pencampuran tersebut justru
14

memperbesar permasalahan limbah medis. Padahal limbah medis memerlukan


pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis.Yang termasuk limbah
medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah sitotoksik, dan limbah
laboratorium. Kebanyakan dari rumah sakit, limbah medis langsung dibuang kedalam
sebuah tangki pembuangan berukuran besar, pasalnya tangki pembuangan seperti itu
di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan
limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit malah dibuang ke tangki
pembuangan seperti itu. Sementara itu buruknya pengelolaan limbah rumah sakit
karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan
peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen
Kesehatan pada tahun 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar.
Padahal setiap rumah sakit selain harus memiliki IPAL, juga harus memiliki Surat
Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) dan surat izin pengolahan limbah cair.
Sementara limbah organ-organ manusia harus dibakar di incinerator.Persoalannya
harga incinerator itu cukup mahal sehingga tidak semua rumah sakit memilikinya.
(Sabayang dkk, 1996).
2.9 Evaluasi Pengelolaan Sampah Rumah Sakit
Evaluasi perlu dilakukan untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sampah
dan perlu dilakukan secara berkala. Berbagai indikator yang dapat digunakan antara
lain:
1. Akumulasi sampah yang tidak terangkut atau terolah
2. Pengukuran tingkat kepadatan lalat (indeks lalat)
3. Ada tidaknnya keluhan, baik dari masyarakat yang tinggal disekitar rumah
sakit, pengunjung, pasien, dan petugas rumah sakit.
4.
2.10 Pengaruh Limbah Rumah Sakir terhadap Lingkungan dan Kesehatan
Menurut Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 petugas pengelola sampah
harus menggunakan alat pelindung diri yang terdiri dari topi/ helm, masker, pelindung
mata, pakaian panjang, apron untuk industry, sepatu boot, serta sarung tangan khusus.
Pengaruh limbah rumah sakit terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan
dapat menimbulkan berbagai masalah seperti:
1. Gangguan kenyamanan dan estetika, berupa warna yang berasal dari
sedimen, larutan, bau phenol, eutrofikasi dan rasa dari bahan kimia
organic, yang menyebabkan estetika lingkungan menjadi kurang sedap
dipandang.
15

2.

Kerusakan harta benda, dapat disebabkan oleh garam-garam yang terlarut


(korosif dan karat) air yang berlumpur dan sebagainya yang dapat

3.

menurunkan kualitas bangunan disekitar rumah sakit.


Gangguan/ kerusakan tanaman dan binatang, dapat disebabkan oleh virus,

4.

senyawa nitrat, bahan kimia, pestisida, logam nutrient tertentu dan fosfor.
Gangguan terhadap kesehatan manusia, dapat disebabkan oleh berbagai
jenis bakteri, virus, senyawa-senyawa kimia, pestisida, serta logam berat

seperti Hg, Pb dan Cd yang bersal dari bagian kedokteran gigi.


5. Gangguan genetic dan reproduksi.
6. Pengelolaan sampah rumah sakit yang kurang baik akan menjadi tempat
yang baik bagi vector penyakit seperti lalat dan tikus.
7. Kecelakaan kerja pada pekerja atau masyarakat akibat tercecernya jarum
suntik atau benda tajam lainnya.
8. Insiden penyakit demam berdarah dengue meningkat karena vector
penyakit hidup dan berkembangbiak dalam sampah kaleng bekas atau
genangan air.
9. Proses pembusukan sampah oleh mikroorganisme akan menghasilkan gasgas tertentu yang menimbulkan bau busuk.
10. Adanya partikel debu yang berterbangan akan mengganggu pernafasan,
menimbulkan pencemaran udara yang akan menyebabkan kuman penyakit
mengkontaminasi peralatan medis dan makanan rumah sakit.
11. Apabila terjadi pembakaran sampah rumah sakit yang tidak saniter asapnya
akan mengganggu pernafasan, penglihatan dan penurunan kualitas udara.

16

BAB III
PEMBAHASAN

4.1 Pencemaran Lingkungan yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel
Abidin (RSUSZA), Banda Aceh
Rumah Sakit merupakan sarana kesehatan dalam melaksanakan fungsinya
menghasilkan buangan yang berupa limbah, baik limbah padat, limbah cair dan gas
(Soewarso, 1996). Limbah cair rumah sakit adalah semua limbah cair yang berasal dari
proses satuan kerja seluruh lingkungan rumah sakit yang kemungkinan mengandung
bahan kimia berbahaya (Agnes dan Azizah, 2005). Pengelolaan limbah cair rumah sakit
merupakan bagian yang berfungsi untuk melindungi masyarakat dari bahaya
pencemaran lingkungan, sehingga diperlukan penanganan yang baik dan benar melalui
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Prinsip dasar pengolahan limbah cair adalah pengelolaan menyeluruh dari
proses kegiatan operasional rumah sakit baik medis maupun non-medis. Limbah
tersebut diolah di dalam IPAL rumah sakit dimulai dari unit-unit penghasil limbah cair
dengan cara pembersihan secara fisik terhadap bahan-bahan organik, secara
mikrobiologis oleh bakteri dan diakhiri pembunuhan kuman dengan cara klorinasi
(Said,1999).
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) merupakan rumah
sakit pemerintahan di kota Banda Aceh yang menghasilkan limbah cair. Berdasarkan
observasi di lapangan RSUDZA melakukan pengolahan limbah cair menggunakan 1 unit
17

IPAL dengan metode lumpur aktif dengan kapasitas 260 m3/hari yang telah dibangun
sejak tahun 1996. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA)
menggunakan desinfektan yang sebagian besar mengandung senyawa-senyawa fenol.
Diduga bahan pencemar yang ada dalam limbah cair di RSUDZA Banda Aceh banyak
mengandung senyawa fenol.
Fenol merupakan asam karbolat yang sering digunakan sebagai desinfektan.
Banyak senyawa fenol dan turunannya yang digunakan sebagai desinfektan, seperti
kresol, fenilfenol dan hesaklorofen (Pelczar dan Chan, 2005). Jika kandungan fenol
dalam limbah cair konsentrasinya tinggi dapat menyebabkan gangguan pada badan air
dan menjadi toksik bagi mikroorganisme yang berfungsi mengolah limbah. Fenol
bersifat karsinogen dan korosif pada tubuh manusia (Kusumastuti, 2006). Untuk
menentukan keefektifan sistem pengolahan limbah cair sebelum dibuang dari bak
pengolahan, konsentrasi standar maksimum fenol berdasarkan keputusan Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 bagi kegiatan yang sudah
beroperasi yaitu sebesar 0,01 sampai 2,00 mg/L (Fardiaz, 1992). Sedangkan untuk
mengukur bahan pencemar dalam limbah cair rumah sakit digunakan parameter pH,
BOD, COD dan TSS yang didasarkan pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup no. 58 tahun 1995 tanggal 21 Desember 1995 (Anonimus, 1995).
Melihat dampak yang ditimbulkan oleh senyawa fenol maka, perlu dilakukan
untuk mengetahui kesesuaian sistem pengolahan limbah cair di RSUDZA Banda Aceh
dalam mengurangi senyawa-senyawa fenol.
4.2 Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan yang terjadi di Rumah
Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin (RSUSZA), Banda Aceh
Dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui keefektivitasan
pengolahan limbah cair RSUDZA dalam menurunkan kadar fenol setelah dibandingkan
dengan baku mutu yang ditetapkan pemerintah yaitu: Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup Nomor : KEP-03/MENKLH/II/1991.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai Februari 2009 di UPTD
Laboratorium Kesehatan dan Laboratorium Bapedal (Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan) NAD untuk pengukuran sampel, sedangkan pengambilan sampel
dilakukan di RSUDZA Banda Aceh.
Pada penelitian ini diperlukan sampel penelitian yaitu : limbah cair RSUDZA
sebelum diolah (inlet), limbah cair sesudah diolah (outlet), akuades, nitrifications
hemmistof, tablet natrium hidroksida , larutan digesti (campuran K2Cr2O7, dan HgSO4)
18

,larutan feroin, larutan Ferro Amonium Sulfat (FAS), larutan campuran H2SO4 dan
Ag2SO4 ,fenol reagent powder pillows ,fenol reagent powder pillows , \hardness
buffer,kloroform dan metanol. Sedangkan

alat yang digunakan yaitu: botol bekas

(aqua), botol winkler, pH meter merk Hach 230 At, gelas beaker 250 Ml, kuvet, fotolap
S12, labu ukur 164 Ml, oxytop (botol sampel, penutup oxytop, kapsul karet dan
Inductive Stirring System), magnetik stirer, inkubator, termoreaktor, tabung COD, pipet
tetes, buret, corong, gelas ukur 1000 mL , labu pisah 300 Ml, labu erlenmeyer (50 mL),
tabung spekrofotometer, kertas saring 1 Phase Separators (PS) yang berukuran 125 mm
dan spektrofotometer merk DR 2800.
Metode Penelitian yang dilakukan yaitu digunakan metode eksperimen dengan
dua perlakuan yaitu pada bak sebelum pengolahan (inlet) dan bak sesudah pengolahan
(outlet). Data diambil selama10 hari berturut-turut. Parameter yang diukur adalah kadar
fenol (mg/L) pada limbah cair rumah sakit. Sedangkan parameter tambahan adalah pH,
BOD (mg/L), COD (mg/L) dan TSS (mg/L).
Prosedur yang dilakukan yaitu :
1. Mula-mula pengambilan sampel. Sampel penelitian adalah limbah cair sebelum
pengolahan (Inlet) dan sesudah pengolahan (Outlet). Pengambilan sampel Inlet
dilakukan pada bak sebelum pengolahan (bak pengumpul utama), sedangkan
pengambilan sampel Outlet dilakukan pada bak sesudah pengolahan (bak uji
biologis) IPAL RSDUZA Banda Aceh. Untuk pemeriksaan fenol sampel diambil
sebanyak 600 mL dan dimasukkan ke dalam botol bekas (aqua), sedangkan untuk
melakukan pemeriksaan pH, BOD, COD dan TSS sampel diambil dan dimasukkan
ke dalam 4 botol winkler yang sudah dibilas dengan air. Sampel diambil setiap hari
sebanyak 2 kali yaitu pada pukul 10.00 WIB pada bak sebelum pengolahan dan pada
pukul 14.00 WIB pada bak sesudah pengolahan (Interval waktu didasarkan pada
proses pengendapan di RSUDZA selama 4 jam) selama 10 hari.
2. Pemeriksaan kadar fenol. Pengukuran kadar fenol menggunakan metode
spektrofotometri. Sebelum digunakan semua alat-alat yang digunakan dibilas dengan
akuades, metanol dan kloroform. Sampel sebanyak 300 mL dimasukkan ke dalam
labu pisah, lalu diteteskan sebanyak 5 mL hardness buffer (untuk mengatur pH
10,1), kemudian ditutup dan dikocok. Setelah sampel homogen, dimasukkan fenol
reagent powder pillow sebanyak 50 mg dan ditambahkan fenol 2 reagent powder
pillow sebanyak 50 mg, lalu dihomogenkan kembali. Dimasukan kloroform
sebanyak 30 mL ke dalam labu pisah, kemudian dikocok selama 30 detik. Kloroform
19

digunakan sebagai penangkap fenol. Setelah dikocok akan terbentuk 2 lapisan.


Lapisan atas berupa larutan campuran dari reagent dan lapisan bawah adalah larutan
campuran kloroform dan fenol. Dibuka kran yang terdapat pada labu pisah, lalu
diambil lapisan bawahnya yang mengandung fenol, kemudian dimasukkan ke dalam
labu Erlenmeyer dengan cara menyaringnya dengan menggunakan kertas saring 1
Phase Separotors (PS) 125 mm, lalu filtrat yang berwarna kuning muda jernih
tersebut dimasukkan ke tabung spektrofotometer sebanyak 10 mL, lalu dibersihkan
bagian luar dari tabung tersebut. Diulangi untuk blanko (menggunakan akuades)
dengan cara yang sama. Maka nilai layar tersebut menunjukkan kadar dari fenol.
3. Pengukuran pH. Pengukuran pH limbah cair dilakukan dengan metode elektrometri
menggunakan pH meter. Sebelum digunakan pH meter dikalibrasi terlebih dahulu,
setelah kalibrasi dimasukkan elektroda ke dalam limbah cair untuk diukur. Setelah
angka pada pH meter tersebut stabil, maka nilai pH langsung terbaca dan angka
tersebut menunjukkan nilai pH yang diukur (Anonimus, 2004).
4. Pemeriksaan Biochemical Oxygen Demand (BOD). Pengukuran BOD dengan
menggunakan metode oxitop. Sampel dimasukkan ke dalam labu ukur sebanyak 164
mL (sampai tanda batas) di dalam labu ukur dipindahan ke botol sampel, lalu ditetesi
20 tetes dengan nitrifications hemmistof. Kemudian dimasukkan magnetik stirer ke
dalam botol sampel, lalu diletakkan kapsul karet pada leher botol dan dimasukkan 2
tablet natrium hidroksid ke dalam kapsul karet. Botol sampel ditutup dengan
penutup oxytop dengan rapat. Ditekan tombol S dan M secara bersamaan pada tutup
oxytop sampai muncul angka. Selanjutnya botol sampel diletakkan di atas Inductive
Stirring System, lalu dimasukkan ke dalam inkubator selama 5 hari pada suhu 20 C.
Sesudah 5 hari, ditekan tombol S sebanyak 5 kali. Dicatat hasil dari hari pertama
sampai kelima, kemudian dijumlahkan hasilnya untuk menentukan nilai BOD.
5. Pemeriksaan Chemical Oxygen Demand (COD). Pengukuran COD menggunakan
metode titrasi. Diambil sampel sebanyak 2,5 mL dengan menggunakan pipet
dimasukkan dalam tabung COD yang telah dibilas dengan H2SO4 20%, lalu
ditambahkan larutan digesti (campuran K2Cr2O7 dan HgSO4) sebanyak 1,5 mL dan
ditambahkan larutan campuran H2SO4 dengan Ag2SO4 sebanyak 3,5 mL hingga
larutan berwarna kuning, kemudian tabung ditutup rapat dan dihomogenkan. Untuk
blanko digunakan 2,5 mL akuades dengan proses yang sama. Selanjutnya, masingmasing tabung dimasukkan ke dalam termoreaktor COD dan dipanaskan dengan
suhu 150C, dibiarkan tabung dalam termoreaktor selama 2 jam. Apabila selama
20

pemanasan warna kuning hilang, ini berarti K2Cr2O7 habis, maka sampel harus
diencerkan. Setelah 2 jam dikeluarkan dan didinginkan. Dipindahkan campuran
sampel ke dalam gelas beaker dan tambahkan akuades sebanyak volume larutan
sampel tadi, kemudian ditambahkan indikator Feroin sebanyak 3 tetes dan dititrasi
dengan larutan Ferro Amonium Sulfat (FAS) 0,10 M. Dititrasi sampai terjadi
perubahan warna dari hijau kebiru-biruan menjadi coklat kemerah-merahan, diulangi
untuk blanko dengan cara yang sama.
6. Pemeriksaan Total Suspended Solid

(TSS).

Pemeriksaan parameter TSS

menggunakan metode fotometri dengan prinsip kerja, sinar dilewatkan ke sampel.


Sampel dimasukkan ke dalam kuvet. Kemudian dimasukkan ke dalam fotolab S12.
Nilai akan terbaca pada layar.
4.3 Keefektifan Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan yang
terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin (RSUSZA), Banda Aceh
Hasil analisis kadar fenol pada limbah cair yang diperoleh dari IPAL di
RSUDZA menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) antara sebelum dan sesudah
pengolahan. Dari 20 sampel yang diambil hanya 14 sampel yang digunakan yaitu, 7
sampel pada bak pengumpul utama (inlet) dan 7 sampel pada bak uji biologis (outlet),
hal ini dikarenakan pada saat pengambilan sampel pada tanggal 16, 19, 22 terjadi hujan.
Hujan berpengaruh terhadap kepekatan limbah cair, semakin banyak air hujan
bercampur dengan limbah cair maka kepekatan limbah cair semakin berkurang. Jadi
data tersebut tidak digunakan karena tidak valid (hal ini juga dilakukan pada pengukuran
pH, BOD, COD, dan TSS).
Hasil pengukuran memperlihatkan kadar fenol yang bervariasi dan terdapat
penurunan kadar fenol dari sebelum pengolahan. Besarnya penurunan kadar fenol dari
sebelum pengolahan berkisar antara 32% sampai 96,4%. Penurunan tertinggi pada
tanggal 24 Juli 2009 dan penurunan terendah pada tanggal 21 Juli 2009. Terjadinya
penurunan yang tinggi pada tanggal 24 Juli 2009 karena pada saat pengambilan sampel,
pihak IPAL RSUDZA sedang melakukan penambahan kaporit untuk disalurkan pada
bak klorinasi. Meningkatnya penurunan kadar fenol ini diduga karena adanya
penambahan kaporit dalam bak klorinasi sehingga dapat menurunkan kadar fenol.
Menurut Soemarwoeto (1987) pada tahap klorinasi penurunan kadar fenol
dilakukan dengan bantuan klor yang berasal dari kaporit. Klor akan bereaksi dengan
fenol dan akan hilang karena pengaruh oksidasi. Pada tanggal 21 Juli 2009 ditemukan
penurunan kadar fenol yang paling sedikit, ini disebabkan pada saat pengambilan
21

sampel outlet sedang tidak beroperasinya pompa pengolahan sehingga tidak dilakukan
pengolahan, diduga sedikit kadar fenol yang didapatkan sesudah pengolahan akibat
tidak beroperasinya pompa.
Rata-rata penurunan kadar fenol antara sebelum dan sesudah pengolahan
didapatkan bahwa kadar fenol mengalami penurunan sebesar 75,95%. Penurunan kadar
fenol pada sistem pengolahan limbah cair diduga akibat adanya tahap aerasi dan
klorinasi. Menurut Sugiharto (1987) pada tahap aerasi senyawa fenol akan diuraikan
oleh mikroorganisme pada bak aerasi dan pada tahap klorinasi klor akan bereaksi
dengan fenol dan akan hilang karena pengaruh oksidasi. Berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tentang Baku Mutu
Air Limbah bagi kegiatan yang sudah beroperasi digunakan kadar fenol golongan II (0,5
mg/L), karena limbah cair yang dihasilkan harus dilakukan pengolahan. Sedangkan
kadar fenol di RSUDZA yang didapatkan sesudah pengolahan sebesar 0,020 mg/L. Hal
ini berarti bahwa kadar fenol hasil pengolahan di IPAL RSUDZA Banda Aceh
memenuhi persyaratan baku mutu.
Hasil analisis kadar pH pada limbah cair di RSUDZA menunjukkan perbedaan
yang nyata antara sebelum dan sesudah pengolahan. Peningkatan nilai pH antara
sebelum dan sesudah pengolahan berkisar antara 0,6% sampai 20,1%. Terjadi
peningkatan yang tinggi pada tanggal 23 dan 24 Juli 2009. Pada tanggal 23 Juli 2009
hasil pengukuran nilai pH yang didapatkan sesudah pengolahan adalah 5,66 dan terjadi
peningkatan sebesar 15,3%. Sedangkan pada tanggal 24 Juli 2009 hasil pengukuran nilai
pH diperoleh sesudah pengolahan yaitu 5,11 dan peningkatan nilai pH sebesar 20,1%.
Hal ini diduga karena sedikitnya zat-zat organik yang diuraikan oleh mikroorganisme.
Sesuai dengan pernyataan Sastrawijaya (2000) semakin sedikit zat-zat organik diuraikan
oleh mikroorganisme maka pH yang dihasilkan semakin basa dan jika semakin banyak
zat-zat organik yang diuraikan maka semakin asam pH yang dihasilkan. Pada tahap
aerasi mikroorganisme menguraikan zat-zat organik yang ada pada limbah cair. Jadi
sedikitnya zat-zat organik yang diuraikan pada bak aerasi maka menyebabkan terjadinya
peningkatan nilai pH. Dilihat dari penurunan kadar fenol didapatkan peningkatan nilai
pH antara sebelum dan sesudah pengolahan. Ini menandakan bahwa sedikitnya aktifitas
mikroorganisme dalam menguraikan senyawa-senyawa fenol pada bak aerasi.
Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 58 tahun 1995 tanggal 21
Desember 1995 nilai pH maksimum yang diperkenankan yaitu 6-9. Sedangkan pH yang

22

diperoleh di RSUDZA adalah 5,96. Hal ini berarti bahwa untuk kadar pH di IPAL
RSUDZA tidak memenuhi persyaratan baku mutu yang telah ditetapkan.
Hasil analisis kadar BOD yang diperoleh adanya perbedaan yang nyata antara
sebelum dan sesudah pengolahan. Diketahui bahwa tejadinya penurunan kadar BOD
dari sebelum pengolahan berkisar antara 20,7% sampai 57,1%. Rata-rata pengukuran
BOD antara sebelum dan sesudah pengolahan didapatkan bahwa kadar BOD mengalami
penurunan sebesar 32,04%. Penurunan ini diduga sedikitnya zat-zat organik yang
dioksidasi oleh mikroorganisme. Menurut Fardiaz (1992) pada tahap aerasi terjadi
menguraian zat-zat organik oleh mikroorganisme. Untuk menguraikan zat-zat organik
mikrooganisme membutuhkan oksigen agar dapat mengurainya dengan mudah di dalam
limbah cair. Menurut Pelczar dan Chan (2005) besarnya nilai BOD menyatakan jumlah
kandungan zat organik dalam limbah cair. Makin banyak jumlah zat organik yang dapat
dioksidasi dalam limbah cair maka makin tinggi nilai BOD. Hasil penurunan kadar
BOD sebesar 32.04% ini menandakan bahwa sedikitnya zat-zat organik yang dioksidasi
oleh mikroorganisme. Didapatkan penurunan kadar BOD antara sebelum dan sesudah
pengolahan,

menandakan

bahwa

adanya

penguraian

senyawa

fenol

oleh

mikroorganisme pada bak aerasi, walaupun penurunan kadar BOD diperoleh dalam
jumlah sedikit. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 58 tahun
1995 tanggal 21 Desember 1995 tentang Baku Mutu limbah cair bagi kegiatan rumah
sakit, kadar maksimum BOD sebesar 30 mg/L. Sedangkan kadar BOD sesudah
pengolahan di RSUDZA yang diperoleh sebesar 31,28 mg/L tidak memenuhi
persyaratan baku mutu yang ditetapkan.
Hasil analisis kadar COD memperlihatkan perbedaan yang
nyata antara sebelum dan sesudah pengolahan). Diketahui bahwa
terjadi

penurunan

kadar

COD

antara

sebelum

dan

sesudah

pengolahan berkisar antara 5,8% sampai 25%. Rata-rata penurunan


kadar COD yang diperoleh sebesar 13,18%. Sedikitnya penurunan
kadar COD diduga akibat dari kurang suplai oksigen pada bak aerasi.
Menurut Sugiharto (1987) pada tahap aerasi terjadi suplai oksigen
dari mesin blower sehingga zat organik akan di hancurkan secara
oksidasi, dan terjadinya penurunan kadar COD. Adanya penurunan
kadar fenol antara sebelum dan sesudah pengolahan dapat dikaitkan
dengan

penurunan

COD.

Pada

bak

aerasi

kadar

fenol

dapat

diturunkan secara oksidasi dengan bantuan suplai oksigen dari mesin


23

blower pada bak aerasi, sehingga dapat menurunkan kadar fenol.


Berdasarkan Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 58 tahun 1995
tanggal

21

Desember

1995,

kadar

COD

maksimum

yang

diperkenankan adalah sebesar 80 mg/L. Sedangkan Kadar COD yang


diperoleh dari bak sesudah pengolahan adalah 320 mg/L. Hal ini
berarti untuk parameter COD tidak memenuhi baku mutu yang
ditetapkan.
Hasil analisis kadar TSS tidak ditemukan perbedaan yang nyata antara sebelum
dan sesudah pengolahan. Diketahui terjadi penurunan kadar TSS antara sebelum dan
sesudah pengolahan berkisar antara 32,1% sampai 80%. Rata-rata penurunan kadar TSS
diperoleh sebesar 53,85%. Penurunan kadar TSS diduga akibat adanya proses
pengendapan yang dilakukan pada saat pengambilan sampel dari sebelum ke sesudah
pengolahan dengan interval waktu 4 jam. Menurut Mukono (2000) waktu pengendapan
yang baik pada bak sendimentasi minimum adalah selama 2 jam. Seiring penurunan
TSS maka didapatkan penurunan kadar fenol antara sebelum dan sesudah pengolahan.
Penurunan TSS akibat proses pengendapan lumpur yang baik pada bak sendimentasi.
Menurut Sastrawijaya (2000) padatan tersuspensi dapat berkurang melalui proses
pengendapan yang baik pada proses pengolahan limbah cair. Menurut Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 58 tahun 1995 tanggal 21 Desember 1995 kadar
TSS maksimum yang diperkenankan sebesar 30 mg/L, sedangkan kadar TSS yang
diperoleh di RSUDZA sesudah pengolahan sebesar 59,42 mg/L. Hal ini berarti untuk
kadar TSS tidak memenuhi persyaratan baku mutu yang ditetapkan.
Pengolahan Limbah Cair di RSUDZA Banda Aceh
Pengolahan limbah cair di RSUDZA menggunakan metode lumpur aktif.
Menurut Sugiharto (1987) metode lumpur aktif yaitu pengolahan limbah cair untuk
mengurangi zat-zat organik yang terdapat dalam limbah cair. Pada proses lumpur aktif
limbah cair ditampung pada bak aerasi dengan tujuan untuk memperbanyak jumlah
mikroorganisme dalam mengurangi zat-zat organik yang terdapat dalam limbah cair.
Produksi limbah cair di RSUDZA diperkirakan 126 m3/hari dari pemakaian air bersih,
penggunaan air bersih diperkirakan 500 m3/hari, sedangkan kapasitas IPAL RSUDZA
adalah 260 m3/hari.
Limbah cair yang berasal dari seluruh kegiatan dan aktifitas di lingkungan
RSUDZA

dialirkan

melalui

perpipaan
24

yaitu

perpipaan

sekunder

diantara

ruanganruangan (berjumlah 131 buah) dan menuju bak konrol (lubang pemeriksaan
yang berjumlah 46 buah). Bak kontrol tersebut disalurkan melalui perpipaan primer
menuju ke sistem pengolahan di IPAL. Limbah cair tersebut masuk ke dalam bak
penyaring (screen) untuk dilakukan penyaringan terhadap benda-benda kasar. Setelah
dilakukan penyaringan limbah cair masuk ke dalam bak pengumpul utama sebagai
pencampuran limbah cair. Dari pengumpul utama limbah cair dinaikkan ke dalam bak
aerasi, terjadi kontak antara limbah cair dengan oksigen yang disuplai dari mesin blower
dan disalurkan dengan katup (nozzel). Pada bak aerasi akan membentuk flok flok
(lumpur yang dapat diendapkan), kemudian masuk ke dalam bak sendimentasi melalui
saluran penghubung, flok-flok dari bak aerasi secara gravitasi akan mengendap pada bak
pengendap.
Flok-flok yang terbentuk dari proses perombakan zat organik dari limbah yang
terjadi pada bak aerasi mengalir dan mengendap pada bak sendimentasi (pengendap),
kemudian baru disalurkan ke bak penampung lumpur. Bak penampung ini berfungsi
untuk menampung lumpur dari bak sendimentasi untuk dipompakan ke bak aerasi dan
sebagian dipompakan ke dalam bak pengering lumpur. Limbah cair yang tersisa pada
bak pengering lumpur dialirkan kembali ke dalam bak pengumpul utama untuk
dilakukan pengolahan kembali. Cairan bagian atas dari bak sendimentasi yang sudah
jernih masuk kedalam bak klorinasi. Bahan yang digunakan untuk klorinasi adalah
klorin yang terbentuk garam yaitu kaporit. Setelah diklorinasi limbah cair masuk
langsung ke bak uji biologis dan disalurkan ke saluran umum.

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
25

1. Kegiatan rumah sakit dapat menimbulkan dampak positif dan negarif. Salah
satu contoh positif dengan adanya rumah sakit adalah sebagai penyedia
layanan kesehatan untuk masyarakat. Sedangkan dampak negatif, jika ditinjau
dari pengolahan limbahnya, limbah yang tidak diolah dengan baik akan
2.

menimbulkan penyakit-penyakit yang membahayakan.


Rumah Sakit merupakan sarana kesehatan dalam melaksanakan fungsinya
menghasilkan buangan yang berupa limbah, baik limbah padat, limbah cair dan

3.

gas
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) merupakan rumah
sakit pemerintahan di kota Banda Aceh yang menghasilkan limbah cair.
Diduga bahan pencemar yang ada dalam limbah cair di RSUDZA Banda Aceh

4.

banyak mengandung senyawa fenol.


Fenol merupakan asam karbolat yang sering digunakan sebagai desinfektan.
Banyak senyawa fenol dan turunannya yang digunakan sebagai desinfektan,
seperti kresol, fenilfenol dan hesaklorofen (Pelczar dan Chan, 2005). Jika
kandungan fenol dalam limbah cair konsentrasinya tinggi dapat menyebabkan
gangguan pada badan air dan menjadi toksik bagi mikroorganisme yang

berfungsi mengolah limbah.


5. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dsimpulkan bahwa hasil pengukuran kadar
fenol ditemukan penurunan yang nyata antara sebelum dan sesudah
pengolahan dan hasil sesudah pengolahan yang diperoleh sebesar 0,020 mg/L
memenuhi persyaratan baku mutu yang ditetapkan. Hasil pengukuran
parameter tambahan diperoleh kadar pH, BOD, COD dan TSS tidak memenuhi
persyaratan baku mutu yang ditetapkan.

26

Anda mungkin juga menyukai