Anda di halaman 1dari 7

HEAT STROKE PADA ANJING RAS LABRADOR

RETRIEVER DAN BELGIAN MALINOIS


Anjing Pertama
Signalement
Nama

: Quarto

Spesies

: Anjing (Canis familiaris)

Jenis Kelamin

: Jantan

Ras

: Belgian Malinois

Umur

: 3 tahun

Klasifikasi

: Anjing pelacak umum

Anamnesa
Pada hari Jumat tanggal 25 Oktober 2013 Quarto sedang latihan rutin di
Direktorat Polisi Satwa, Sub Direktorat Pendidikan dan Pelatihan, Cikeas, Cibubur,
Bogor. Tiba-tiba anjing kejang-kejang, nafas terengah-engah (hyperventilasi,
panting), lemas, dan kolaps. Saat di perjalanan hendak dibawa ke Klinik Veteriner
Subdirektorat Harvet, Direktorat Polisi Satwa, Kelapa Dua, Depok menggunakan
mobil, anjing menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan.
Anjing Kedua
Signalement
Nama

: Ben

Spesies

: Anjing (Canis familiaris)

Jenis Kelamin

: Jantan

Ras

: Labrador Retriever

Umur

: 3 tahun

Klasifikasi

: Anjing pelacak umum

Anamnesa
Pada hari Jumat tanggal 25 Oktober 2013 Ben, anjing polisi pelacak umum
Labrador Retriever, sedang bermain menggunakan dummy, sejenis mainan untuk
anjing, sebelum latihan rutin di Direktorat Polisi Satwa Kelapa Dua, Depok, anjing
tiba-tiba kolaps, nafas terengah-engah, dan lemas. Ben kemudian digotong

menggunakan tandu ke Klinik Veteriner, Subdirektorat Harvet, Direktorat Polisi


Satwa untuk dilakukan penanganan lebih lanjut oleh dokter hewan.
Temuan Klinis
Nafas anjing hyperventilasi, panting, dan melihat gejala klinis ini, dokter hewan
beserta paramedis, mahasiswa koas, pawang anjing ini bekerja sama untuk
menolong Ben. Segera setelah anjing datang, disiapkan alat monitor gawat darurat
(emergency monitor) yang telah dimiliki oleh Klinik Veteriner terutama untuk melihat
denyut jantung, saturasi oksigen, dan temperatur. Alat monitor gawat darurat ini
bersifat real time, yakni berubah sesuai dengan waktu. Karena saat pertama suhu
tubuh Ben telah menunjukkan angka 44.4 C, angka yang menunjukkan pireksia
pada anjing, maka perlu diberikan oksigen eksogenus dan terapi lebih lanjut berupa
pendinginan suhu tubuh.
Diagnosa
Heat stroke atau hiperthermia.
Prognosa
Dubius hingga infausta.
Definisi
Hiperthermia merupakan suatu kondisi meningkatnya suhu tubuh di atas
normal. Hiperthermia dapat bersift pirogenik (disertai peradangan) maupun nonpirogenik (tidak disertai peradangan). Suhu tubuh normal anjing berkisar antara 37.8
39.2 C. Ketika suhu tubuh anjing meningkat tanpa disertai peradangan dapat
disebut sebagai hiperthermia non-pirogenik, jika disertai peradangan maka disebut
sebagai hiperthermia pirogenik. Hiperthermia yang lebih lanjut, atau suhu tubuh
anjing meningkat hingga lebih dari 42 C dapat disebut sebagai heat stroke (Effendi
2013; Chondro 2011; Hadad et al. 2004).
Tubuh anjing memiliki mekanisme untuk menghilangkan panas tubuh yang
berlebihan dengan cara nafas terengah-engah (panting) dan berkeringat melalui
bantalan kaki (pad) dan hidung. Apabila panas tubuh yang berlebihan baik dari
dalam tubuh (endogen) seperti aktivitas maupun dari luar tubuh (eksogen) seperti
cuaca yang panas, tidak tidak mampu diakomodasi atau dikeluarkan, maka dapat

memicu disfungsi organ multisistemik apalagi bila panas tubuh melebihi 42 C dapat
terjadi nekrosa seluler, hipoksia jaringan, dan denaturasi protein yang bersifat
sistemik. Lebih parah lagi, heat stroke dapat menyebabkan kematian pada anjing
(Effendi 2013; Chondro 2011). Tingkat kematian (mortality rate) heat stroke pada
anjing adalah 50 % (Bruchim et al. 2008).
Causa
Anjing tidak dapat berkeringat (kecuali pada sebagian kecil pada bantalan kaki
dan hidung) sehingga anjing tidak memiliki toleransi terhadap suhu lingkungan yang
tinggi. Anjing tergantung pada mekanisme panting untuk menurunkan suhu tubuh
dengan cara pertukaran udara yang bersifat panas dari dalam tubuh dengan udara
yang lebih dingin dari lingkungan, namun saat suhu udara lingkungan mendekati
suhu tubuh maka pendinginan temperatur tubuh melalui panting tidak akan efisien
(Effendi 2013; Chondro 2011).
Secara umum anjing pelacak yang dimiliki oleh Direktorat Polisi Satwa
merupakan anjing yang memiliki aktivitas yang tinggi, termasuk juga Ben dan
Quarto, yang keduanya merupakan anjing pelacak umum. Saat hari tersebut, cuaca
sedang tidak stabil, yakni sedang musim pancaroba, tidak terlalu panas maupun
tidak terlalu dingin. Selain situasi ini, situasi umum lainnya dapat mengakibatkan
heat stroke pada anjing antara lain:
1. Anjing ditinggal di dalam mobil pada cuaca yang panas
2. Exercise berat pada cuaca yang panas dan lembab
3. Sedang menderita penyakit jantung dan paru-paru yang mengganggu
efisiensi pernafasan
4. Sedang

dibrangus

dalam

kondisi

sedang

dikeringkan

menggunakan

pengering rambut
5. Sedang menderita demam yang tinggi atau dalam keadaan seizure
6. Sedang dikurung pada tempat yang beralaskan beton atau aspal
7. Sedang dikurung tanpa atap dan air minum yang segar di cuaca yang panas
8. Pernah menderita heat stroke sebelumnya.
Predisposisi
Anjing yang beresiko besar terserang heat stroke yaitu ; memiliki riwayat heat
stroke, intoleran panas akibat rendahnya penyesuaian diri, kegemukan, buruknya

kondisi

kardiopulmoner,

hipertiroidismus,

berpenyakit

kardiopulmoner,

ras

brachycephalic, berbulu tebal, dan dehidrasi. Anjing anjing besar serta berbulu
gelap lebih beresiko mengalami heat stroke (Effendi 2013). Ras anjing yang sering
terkena heat stroke adalah Belgian Malinois, Golden Retriever, Labrador Retriever,
dan ras Brachicephalic (Bruchim et al. 2008). Begitu pula yang terjadi pada dua ekor
anjing yang mengalami heat stroke di Direktorat Polisi Satwa Baharkam POLRI, satu
ekor, Quarto, merupakan anjing dari ras Belgian Malinois, dan satu ekor lainnya,
Ben, merupakan anjing ras Labrador Retriever.
Patofisiologi
Keadaan hiperthermia akan menginduksi vasodilatasi pembuluh darah
sehingga menyebabkan darah menggenang di daerah kaki dan volume cairan
ekstraseluler akan berkurang akibat evaporasi. Hal tersebut akan mengakibatkan
penurunan cardiac output dan tekanan darah terutama di pembuluh darah kulit.
Penurunan tekanan darah akan mengakibatan kelemahan, malas, mual, dan
hilangnya kesadaran. Suhu tubuh yang tinggi dan berlangsung lama akan
mengakibatkan edema cerebral yang akan berujung kematian (Effendi 2013).
Suhu tubuh yang tinggi dapat mempengaruhi langsung sel-sel tubuh dan
pelepasan sitokin (misalnya interleukin, tumor nekrosisfaktor, dan interferon) dari selsel endotel, leukosit, dan sel epitel. Kejadian di atas akan menghasilkan respon
peradangan secara sistemik yang akan mengakibatkan disfungsi multiorgan,
encephalopati, rhabdomyolisis, dan gagal ginjal akut (Effendi 2013).
Gejala
Anjing yang teserang heat stroke akan memperlihatkan panting yang berat dan
kesulitan bernafas, lidah dan membran mukosa akan terlihat merah cerah, saliva
kental dan terkadang muntah. Suhu rektal meningkat dari 40C dan selanjutnya
anjing secara progresif akan lemah dan diare berdarah. Dalam keadaan shock, bibir
dan membran mukosa akan menjadi abu-abu, kolaps, seizure, koma dan kematian.
Pemeriksaan klinis terhadap anjing yang terserang heat stroke akan dijumpai;
panting, hipersalivasi (berliur), hiperthermia, membran mukosa kemerahan, detak
jantung cepat, , shock, kesusahan bernafas, bintik bintik merah di kulit, gemetaran,
kejang, koma, keadaan lanjut sampai muntah darah dan diare berdarah hingga
kematian (Effendi 2013).

Sebuah eksperimen mengenai heat stroke yang dilakukan pada anjing oleh
Saphiro et al. (1973) menunjukkan hasil bahwa anjing yang memiliki suhu rektal
lebih tinggi dari 43 C menunjukkan gejala klinik, hematologi, biokimia, dan
anatomopatologi, namun pada anjing yang memiliki temperatur lebih rendah dari 43
C tidak menunjukkan gejala heat stroke. Penelitian Saphiro et al. ini menunjukkan
konsep bahwa heat stroke disebabkan dari efek negatif dari meningkatnya suhu
tubuh terhadap jaringan.
Gambaran gejala klinis, hematologi, kimia darah, patologi anatomi, yang
terjadi pada anjing yang mengalami heat stroke adalah thrombositopenia,
peningkatan

kadar

prothrombin,

teraktivasinya

thromboplastin,

disseminated

intravascular coagulation (DIC), gagal ginjal akut, meningkatnya kadar kreatinin.


(Bruchim et al. 2008).
Diagnosa
Diagnosa penyakit heat stroke berdasarkan peningkatan suhu tubuh diatas
normal tanpa adanya gejala peradangan. Panting dan hipersalivasi tidak terdapat
pada demam yang sebenarnya. Pemeriksaan darah lengkap mungkin membantu
mengetahui perjalanan penyakit. Uji laboratorium lainnya yang penting dilakukan
yaitu activated coagulation time (ACT) atau laju endap darah (LED) untuk
mendeteksi adanya disseminated intravascular coagulopathy (DIC) sebagai
komplikasi dari heat stroke (Effendi 2013).
Terapi
Terapi yang dilakukan terhadap Ben yang telah didiagnosa heat stroke ini
adalah dengan melakukan pendinginan suhu tubuh baik dengan pemberian infus
glukosa 5% bersuhu dingin dan juga mengompres seluruh permukaan tubuh dengan
suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh Ben. Selain itu, diberikan pula ibuprofen
(Proris ) dengan dosis 15 mg/kg bobot badan (dosis pemberian aman untuk anjing
menurut literatur 5-15 mg/kg) sehingga diberikan 4 tablet yang masing-masing
tabletnya memiliki kandungan 125 mg ibuprofen.
Awalnya (pukul 09.00) suhu tubuh Ben 44.4 C dan sedikit demi sedikit
menurun hingga 5 jam kemudian (pukul 14.00) suhu tubuh Ben mencapai angka
38.2 C. Perubahan ini merupakan perubahan yang baik, akan tetapi reflek mata ben
(reflek pupil) terhadap cahaya tidak ada dan kaki kanan serta kaki kiri belakang tidak

dapat digerakkan. Respon sakit berupa cubitan pada kaki belakang Ben baik kaki
kanan maupun kaki kiri tidak ada. Kemungkinan telah terdapat gangguan saraf pada
kedua kaki Ben. Berbeda halnya dengan kaki depan Ben yang dapat digerakkan.
Kepala Ben serta ekor Ben juga masih dapat digerakkan. Tepat pukul 19.00 Ben
meninggal dunia.
Terapi yang dapat diberikan saat terjadi heat stroke yaitu memindahkan anjing
dari lingkungan atau sumber panas ke tempat yang lebih dingin atau lebih baik ke
ruangan berpendingin (AC). Apabila suhu rektal melebihi 40 oC, maka dilakukan
pendinginan dengan menyemprotkan air atau merendam anjing di dalam bak mandi
yang berisi air dingin (bukan air es) selama 2 menit atau meletakkan anjing yang
telah dibasahi ke depan kipas angin sebelum dibawa ke dokter hewan untuk
dilakukan tindakan darurat. Pendinginan tersebut tidak boleh menggunakan es atau
air yang sangat dingin karena pendinginan yang ekstrim dapat menyebabkan
pembuluh darah berkonstriksi sehingga mencegah tubuh untuk mendingin dan dapat
meningkatkan peningkatan suhu internal tubuh. Pendinginan tersebut juga harus
terjadi secara lamban sehingga terjadi penurunan suhu tubuh yang rendah secara
bertahap untuk menghindari terjadinya DIC. Penurunan suhu yang terlalu cepat akan
menginduksi terjadinya DIC (Effendi 2013).
Pencegahan
Pencegahan terjadinya heat stroke antara lain yaitu (Effendi 2013):
1. Anjing yang terjadi gangguan pada pernafasannya harus dijaga agar tetap di
dalam ruangan berpendingin atau berkipas angin pada saat cuaca panas dan
kelembaban tinggi
2. Tidak meninggalkan anjing di dalam mobil dengan cendela yang tertutup
walaupun mobil sedang diparkir di tempat yang beratap
3. Tidak melakukan exercise di cuaca yang panas
4. Selalu menyediakan teduhan dan persediaan air yang banyak ke anjing yang
berada di luar ruangan khususnya kennel dengan alas lantai dari beton atau
aspal
5. Menyediakan permukaan yang lebih dingin seperti papan kayu, keset, atau
rumput pada anjing yang berada di luar ruangan

DAFTAR PUSTAKA
Bruchim Y, Klement E, Saragusty J, Finkeilstein E, Kass P, Aroch I. 2008. Heat
stroke in dogs: a retrospective study of 54 cases (1999-2004 and analysis of
risk factors for death [Abstrak]. J. Vet. Intern. Med. 20(1): 38-46,
Chondro R. 2011. Heat stroke penyebab kematian pada anjing. Terhubung berkala.
http://dokterhewan.weebly.com/1/post/2011/08/heat-stroke-penyebab-kematian-mendadak-pada-anjing.html [27 Oktober 2013].
Effendi
A.
2013.
Heat
stroke
pada
anjing.
Terhubung
http://pdhbvet.com/heat-stroke-pada-anjing/ [27 Oktober 2013].

berkala.

Hadad E, Rav-Archa M, Heled Y, Epstein Y, Moran DS. 2004. Heat stroke. Sport
Medicine 8: 501-511.
Saphiro Y, Rosenthal T, Sohar E. 1973. Experimental heatstroke: a model in dogs
[Abstrak]. Arch. Intern. Med. 131(5): 688-692.

Anda mungkin juga menyukai