Untuk meneliti berbagai efek yang berhubungan dengan masa pejanan, penelitian
toksikologi menurut Frank C. Lu (1995) dibagi dalam:
1. Uji toksisitas akut, dilakukan dengan memberikan zat toksik yang sedang diuji sebanyak 1 kali
atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.
2. Uji toksisitas jangka pendek (penelitian sub akut atau sub kronik), dilakukan dengan
memberikan bahan toksik berulang-ulang biasanya setiap hari atau 5 kali seminggu, selama
jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan.
3. Uji toksisitas jangka panjang, dilakukan dengan memberikan zat kimia berulang-ulang selama
masa hidup hewan percobaan atau sekurang-kurangnya sebagian dari masa hidupnya.
Dalam praktikum ini bahan yang digunakan adalah limbah deterjen dan hewan uji berupa
Ikan Nila (Tilapia nilotica). Uji laboratorium diharapkan dapat memberikan gambaran seberapa
jauh pengaruh limbah deterjen terhadap perkembangan ikan Nila yang merupakan jenis ikan air
tawar, di perairan pada tempat-tempat yang dangkal, dengan air yang tidak begitu deras, baik di
danau, sungai, maupun genangan air lainnya. Jenis ikan ini mampu hidup baik pada kisaran pH
6,5-8,8. Selain itu ikan Nila merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis penting dan
penyebarannya yang luas. Hal ini sesuai dengan persyaratan Environtmental Protection Agency
(EPA) (1975), sehingga baik untuk pengujian biologis. (Penuntun Praktikum Ekologi, 2012).
D. Alat dan Bahan
Alat:
1. Perlengkapan untuk praktikum dan pemeliharaan ikan uji yaiu:
a. Akuarium ukuran 40x25x20 cm
b. Selang plastik
c. Beker glass
d. Gelas ukur
e. Aerator
f. Kertas label
g. Thermometer
h. Timbangan analitik
2. Peralatan untuk analisis kualitas fisikokimia air yaitu:
a. Biuret
b. Erlenmeyer
c. Gelas ukur
d. Tabung reaksi
e. pH meter
f. Thermometer
g. Pipet tetes
h. DO-meter
i. Refrakto meter
Bahan:
1. Hewan uji berupa ikan nila (Tilapia nilotica) dengan panjang 10 cm
2. Deterjen merk Attack
3. Air tawar
E. Prosedur Kerja
1. Tahap pemeliharaan ikan uji
a. Memelihara ikan uji selama 5 hari di bak penampungan dan melakukan aerasi selama
pemeliharaan.
b. Melakukan pergantian air sebanyak 50-60% dari kapasitas air pemeliharaan dan memberi makan
ikan dengan daun pepaya (Carica papaya).
2. Tahap aklimatisasi
a. Mangadaptasikan ikan uji dalam bak penampungan selama satu hari tanpa diberi makan.
b. Memberi aerasi dalam bak penampungan untuk menjaga agar air oksigen perairan memenuhi
persyaratan sebagai air uji.
3. Tahap perlakuan uji ikan
a. Menyiapkan konsentrasi deterjen dan menyusun setiap perlakuan secara acak dengan 2 ulangan.
b. Menentukan variasi konsentrasi yakni 40 ppm (0,65 gr/15 L)
c. Menempatkan ikan dalam bejana uji yang telah diaerasi dan mengisi setiap bejana 10 ekor ikan.
d. Melakukan pengujian dengan sistem hayati statis dan tidak melakukan aerasi selama kegiatan
pengujian. Tolak ukur utama ialah besarnya mortalitas ikan uji per 24 jam selama 96 jam.
e. Melakukan pengukuran parameter fisikokimia air pada masing-masing bejana uji.
F. Hasil Pengamatan
Tabel 1. Pola renang dan kecepatan respirasi Tilapia nilotica setiap jamnya
Kecepatan respirasi
Waktu
Pola
A
B
(jam)
renang
A
B
Atas
5
5
0
Tengah
2
1
230
278
Bawah
3
4
Atas
1
2
1
Tengah
0
0
93
190
Bawah
6
4
Atas
1
1
2
Tengah
0
0
80
110
Bawah
2
0
Atas
0
0
3
Tengah
0
0
0
0
Bawah
0
0
Tabel 2. Komponen yang diamati pada air sebelum diberi deterjen dan setelah diberi
deterjen
Sebelum
Komponen yang
diamati
Sesudah
Suhu ( C)
27,5
27,5
29
29
Salinitas (ppt)
0,1
0,1
0,2
0,2
pH
7,6
7,6
CO2 (ml)
1,5
DO (%)
62,2
41,4
20,2
80,5
Waktu
(jam)
G. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan uji toksisitas deterjen terhadap mortalitas ikan nila, dapat
diamati bahwa pada konsentrasi 40 ppm, ikan nila hanya dapat bertahan sekitar 3 jam. Ikan nila
yang diuji hanya dapat bertahan sekitar 3 jam karena pada air uji dicampurkan deterjen merk
attack dengan konsentrasi 40 ppm (0,65 gram/15 L). Kandungan deterjen dalam air
mempengaruhi mortalitas ikan nila.
Dari hasil pengamatan fisikokimia air dapat dilihat bahwa suhu air meningkat. Besarnya
suhu ini terjadi karena meningkatnya konsentrasi air, dari air yang normal menjadi air yang
mengalami
penambahan
zat
toksik
yang
terdapat
dalam
deterjen. Suhumempengaruhi oksigen terlarut dalam perairan. Apabila suhu air meningkat maka
kelarutan oksigen dalam air menurun.
Penurunan oksigen terlarut dalam air diakibatkan pula karena kandungan deterjen dalam
air. Deterjen dengan kepekatan tinggi akan menghambat masuknya oksigen dari udara ke dalam
larutan uji (air limbah deterjen) sehingga ikan-ikan nila tersebut lama-kelamaan kehabisan
oksigen. Varley (1987) mengatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut tergantung pada tingkat
kejenuhan air itu sendiri; kejenuhan air dapat disebabkan oleh koloidal yang melayang di air
maupun jumlah larutan limbah deterjen yang terlarut dalam air. Menurut Wardhana (1995)
bahwa bahan buangan organik dapat bereaksi dengan oksigen terlarut mengikuti reaksi oksidasi
biasa; semakin banyak bahan buangan organik di air, semakin sedikit sisa kandungan oksigen
terlarut. Selain itu, penurunankadar oksigen terlarut dalam air juga diakibatkan tegangan
permukaan deterjen yang menghalangi penetrasi oksigen dari udara ke dalam larutan uji, juga
ikan-ikan uji dalambejana menggunakan oksigen untuk respirasi sehingga persediaan oksigen
dalam bejanauji semakin lama semakin berkurang. Unsur dalam deterjen yang berperan dalam
menurunkan tegangan permukaan adalah golongan surfaktan. Surfaktan atau bahan aktif
permukaan yang bereaksi dalam menjadikan air menjadi basah (wetter) dan sebagai bahan
pencuci yang lebih baik. Surfaktan terkonsentrasi pada batas permukaan antara air dengan gas
(udara), padatan-padatan (debu) dan cairan-cairan yang tidak dapat bercampur (minyak). Hal ini
terjadi karena struktur Amphiphilic yang berarti bagian yang satu dari molekul adalah suatu
yang bersifat polar atau gugus ionik (sebagai kepala) dengan afinitas yang kuat untuk air dan
bagian lainnya suatu hidrokarbon (sebagai ekor) yang tidak suka air. Surfaktan ini juga berperan
dalam pembentukan busa. Keberadaan busa-busa di permukaan air menjadi salah satu penyebab
kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan kadar oksigen terlarut. Dengan demikian
akan menyebabkan ikan uji kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian pada ikan uji.
Salinitas air meningkat setelah air ditambah deterjen. Meningkatnya salinitas ini
disebabkan karena pengendapan padatan-padatan garam magnesium dari pembentukan
buih. Padatan-padatan tidak larut ini, biasanya garam-garam dari magnesium atau kalsium.
Begitu sabun masuk ke dalam buangan air atau suatu sistem akuatik biasanya langsung terendap
sebagai garam-garam kalsium dan magnesium. Kadar salinitas ini sangat dipengaruhi oleh
konsentrasi deterjen terlarut. Dan salintas tidak berpengaruh terhadap metabolisme ikan Nila.
pH air menjadi basa setelah ditambahkan deterjen. Hal ini disebabkan karena deterjen
bersifat basa. Nilai pH merupakan logaritma negatif dari aktivitas ion hidrogen. Beberapa faktor
yang
mempengaruhi pH perairan
yaitu aktivitas fotosintesis, suhu,
dan
terdapatnya anion dan kation. pH yang ditoleransi ikan nila antara 5-11, tetapipertumbuhan dan
perkembangan yang optimal adalah pada kisaran pH 7-8. Karena perubahan nilai pH air kecil,
dianggap pengaruhnya terhadap ikan uji juga sangat kecil.
Dilihat dari segi fisiologis ikan, semakin lama ikan menunjukkan pola respirasi yang
semakin lambat. Pada saat ikan nila baru dilepas dalam bejana A dan B, kecepatan rata-rata
respirasinya 254 kali. Pada satu jam berikutnya selama 3 menit pertama, kecepatan rata-rata
respirasinya menjadi 141 kali dan menyebabkan 7 ekor ikan nila mati. Pada jam kedua selama 3
menit pertama, kecepatan rata-rata respirasinya turun menjadi 95 kali, menyebabkan 9 ekor ikan
nila mati. Sedangkan saat mendekati tahap kritis karena adanya kontaminasi toksin dari deterjen,
kecepatan respirasi semakin lambat pada jam ketiga yang menyebabkan 4 ekor ikan nila mati.
Hal ini disebabkan karena deterjen dalam badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan
ikan yang mengakibatkan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah
menjadi menurun.
Pola berenang ikan pada jam pertama masih menyebar. Hal ini dikarenakan masih
tersedianya suplai oksigen dalam jumah besar karena daya penetrasi oksigen masih besar. Akan
tetapi semakin lama terjadi perubahan pola berenang ikan dimana ikan-ikan nila mulai mendekati
permukaan dan dasar bejana. Ini memperlihatkan bahwa penetrasi oksigen ke dalam bejana
mulai berkurang.
H. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan uji toksisitas limbah deterjen terhadap mortalitas ikan nila,
dapat disimpulkan bahwa konsentrasi deterjen 40 ppm dapat membunuh 20 ekor ikan nila dalam
waktu sekitar 3 jam. Penyebab utama kematian ikan nila ini disebabkan karena kandungan
deterjen dalam air.
Limbah deterjen mempunyai sifat sebagai toksikan yang mempunyai efek toksik yang
akut terhadap ikan nila. Konsentrasi limbah deterjen yang tinggi memperbesar toksisitas deterjen
tersebut, sehingga mempengaruhi mortalitas ikan nila.
DAFTAR PUSTAKA
Halang,
Bunda.
2004. Toksisitas
Air
Limbah
Deterjen
Terhadap
Ikan
Mas (Cyprinus carprio). Online. Tersedia di http://bioscientiae.unlam.ac.id/v1n1/v1n1_halang.P
DF. Diakses tanggal 26 Maret 2012
Tim Penyusun. 2010. Bahan Ajar Ekologi. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo
Tim Penyusun. 2012. Penuntun Praktikum Ekologi. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo