Referat SLE
Referat SLE
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan sebutan SLE atau
LES berbagai istilah lainnya seperti penyakit dengan seribu wajah, merupakan salah satu
penyakit reumatik autoimun yang memerlukan perhatian khusus baik dalam mengenali
tampilan klinis penyakitnya hingga pengelolaannya.
Kedua jender dapat diserang oleh penyakit ini, dimana predominansi lebih menonjol
pada perempuan di usia reproduktif. Juga mengenai semua ras walau lebih banyak terlihat
pada perempuan di Asia, atau mereka yang berkulit hitam di Amerika.
Perjalanan penyakit LES ini sangatlah dinamis sehingga seringkali menyulitkan
diagnosis manakala profesional medik dihadapi pada tampilan gejala atau keluhan yang tidak
lengkap. Pengenalan dini akan kemungkinan seseorang terkena penyakit ini sangatlah penting,
mengingat angka kematian dapat terjadi dengan cepat terkait aktivitas penyakitnya di tahuntahun pertama. Sementara itu, penyulit lanjut terutama pada sistim kardiovaskular dan
terganggunya berbagai fungsi organ seiring dengan melajunya perjalanan alamiah penyakit ini
pun memberikan kontribusi yang besar bagi morbiditas maupun mortalitas pasien dengan LES
atau sering disebut sebagai orang dengan lupus (ODAPUS).
Manifestasi yang beragam, seringkali tidak disadari oleh profesional medik yang
menghadapi pasien tersebut. Tidak jarang, selama berhari-hari, berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun pasien didiagnosis berdasarkan manifestasi yang
dominan terlihat seperti anemia, glomerulonefritis, dermatitis acneiform, dan sebagainya.
Manifestasi yang muncul dapat terjadi dengan rentag waktu yang panjang. Kelambatan dalam
menegakkan diagnosis akan berpengaruh pada tingkat keberhasilan pengelolaan maupun
kesintasan pasien dengan LES.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini yaitu untuk mengetahui secara lebih mendalam
mengenai penatalaksanaan penyakit Lupus Eritematosus Sistemik.
C. Manfaat
Manfaat dari penulisan referat ini, pembaca diharapkan dapat mengetahui dan
memahami secara mendalam mengenai penatalaksanaan penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik.
BAB II
TINAJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun
yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme sistem
kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing
(misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh
sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun
(antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan.
Persendian
Ginjal
Membran
Darah
Paru-paru
Sistem Saraf
Kejang, psikosa
Gejala spesifik:
Untuk membantu membedakan Lupus dari penyakit lainnya, American College of
Rheumatology telah menentukan 11 kriteria gejala, yaitu:
Diagnosa Lupus ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 gejala dari 11 kriteria sbb:
1. Malar rash - ruam merah berbatas tegas di daerah wajah dan leher
2. Discoid rash - bercak merah dikulit yang berhubungan dengan scalling dan
penyumbatan folikel rambut
3. Photosensitivity ruam kulit kemerahan setelah terpapar sinar matahari
4. Mucosal ulcers sariawan-sariawan kecil di daerah mukosa rongga mulut dan
hidung
5. Serositis peradangan di lapisan serosa paru-paru, jantung, dan dinding perut
6. Arthritis peradangan sendi, merupakan manifestasi yang paling sering timbul
7. Renal disorder gangguan ginjal, biasanya terdeteksi dari pemeriksaan darah rutin
dan analisis urin
8. Neurological disorder gangguan sistem saraf, gejala dapat berupa kejang atau
psikosa
9. Haematological disorder gangguan sel darah, dapat bermanifestasi sebagai:
anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, trombositopenia
10. Immunological disorder kelainan hasil pemeriksaan LE cells, anti- DNA dan
antibody anti-Sm
11. Anti-Nuclear Antibody (ANA test) sebagai pertanda aktifnya Lupus bila
ditemukan dalam darah pasien.
2.3 ETIOLOGI
Telah diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor, yaitu:
genetik, hormonal dan lingkungan.
o Genetik
Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang mempunyai
riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko menderita penyakit tidak
terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit auoimun lainnya seperti arthritis reomathoid
atau Sjorgens Syndrome. Pada kembar identik, risiko lupus meningkat menjadi 25%
Infeksi
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat
adalah
EBV
(Epstein-Barr
Virus),
virus
penyebab
demam
kelenjar
Merokok
Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan munculnya lupus.
Merokok juga meningkatkan risiko penyakit autoimun lainnya seperti arthritis
reumathoid dan multiple sclerosis.
7
Sinar matahari
Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan perburukan
manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit dan munculnya
gejala lupus pada organ lainnnya. Menghindari sinar matahari dan
menggunakan tabir surya (sun block) adalah hal yang tidak mudah namun
mutlak harus dilakukan oleh odapus karena sangat bermanfaat.
2.4 KLASIFIKASI
Penilaian Aktivitas Penyakit
Penilaian klinis aktivitas penyakit sama pentingnya dengan hasil tes laboratorium.
Kelelahan, demam atau perubahan emosi dapat menjadi indikasi aktifnya lupus, seperti juga
munculnya ruam atau nyeri sendi. Pemantauan aktifitas penyakit sangat diperlukan untuk
menentukan agresifitas penatalaksanaan lupus dan dosis obat yang dibutuhkan. Hal ini dapat
dimonitor dari banyaknya organ tubuh pasien yang terkena dan tes laboratorium yang sesuai
untuk memantau aktifitas penyakit misalnya pemeriksaan tes fungsi ginjal,atau fungsi paru,
jumlah sel darah putih (leukosit), sel darah merah (hemoglobin) atau bahkan laju endap darah
(LED).
Berbagai indeks penilaian derajat penyakit telah dikembangkan dan digunakan oleh
para spesialis, namun aktivitas penyakit yang terus berubah dan kerusakan jaringan yang
terjadi menyulitkan untuk membedakan pengaruh dari peradangan aktif atau akibat kerusakan
yang terbentuk.
Sehingga pada prakteknya, lupus dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu: ringan, sedang, dan
berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul.
1. Lupus Ringan
Manifestasi yang umum adalah nyeri sendi, ruam, sensitif terhadap cahaya
matahari, sariawan di mulut, Raynauds syndrome (perubahan warna pada ujung
8
jari akibat suhu dingin), rambut rontok, dan kelelahan. Seringkali gejala tersebut
cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar matahari dengan
menggunakan tabir surya. Hidroksikloroquin umumnya digunakan dalam gejala
ini.
Kelelahan merupakan gejala lain dari tingkatan ini yang terkadang menjadi alasan
digunakannya steroid dosis rendah, walaupun hasilnya kadang tidak maksimal.
Nyeri sendi atau ruam kulit dapat juga menggunakan dosis tersebut. Dosis steroid
yang tinggi harus dihindari jika resiko efek samping yang timbul cenderung lebih
besar dari manfaatnya. Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam membuat
keputusan pemberian steroid karena efek samping obat lebih umum terjadi pada
orang dengan lupus dibandingkan populasi lainnya. Pola hidup sehat (makanan
sehat dan olah raga ringan yang teratur) juga sangat dianjurkan.
2. Lupus Sedang
Tingkatan ini meliputi pleuritis (radang selaput paru), perikarditis (radang selaput
jantung), ruam berat dan manifestasi darah seperti trombositopenia atau
leukopenia.
Dalam kasus ini, terapi steroid biasanya sudah dibutuhkan, namun dengan
penggunaan dosis yang cukup untuk mengendalikan penyakit dan kemudian
menguranginya menjadi dosis pemeliharaan serendah mungkin. Agak sulit untuk
menstandarisasi dosis, namun pada umumnya Pleuritis dapat dikontrol dengan
20mg prednisolon per hari, kelainan darah membutuhkan dosis 40mg atau lebih.
Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan steroid, tapi kadang obat
imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan Methotrexate.
Siklosporin juga dapat digunakan khususnya dalam pengobatan trombositopenia,
tetapi karena kecendrungan menyebabkan hipertensi dan merusak fungsi ginjal
harus digunakan secara hati-hati. Obat-obat immunosupresan ini membutuhkan
waktu 1-3 bulan sampai efeknya muncul,sehingga dalam periode tersebut steroid
masih dibutuhkan dalam dosis yang cukup untuk mengontrol penyakit. Jika pasien
sudah dapat istabilkan dengan obat imunosupresan, dosis steroid harus segera
diturunkan ke dosis terendah untuk pengendalian penyakit.
3. Lupus Berat
Ginjal, SSP, dan manifestasi kulit berat atau kelainan darah berat termasuk ke
dalam tingkatan ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini dengan tambahan
obat immunosupresan. Prednisolon atau metilprednisolon intravena mungkin
dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit ini. Azathioprin, methotrexate, atau
mychophenolate dapat digunakan sebagai imunosupresif dan dapat mengurangi
dosis steroid yang diperlukan. Pengobatan dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu:
induksi awal dimana penyakit aktif dikendalikan, dan fase pemeliharaan agar
penyakit tetap terkontrol.
Pengobatan tambahan yang digunakan untuk lupus berat meliputi immunoglobulin
intravena, plasma exchange, dan antibodi monoclonal (agen biologi). mengalami
penurunaan penggunaannya dibandingkan waktu yang lalu tapi banyak yang masih
percaya bahwa pengobatan tersebut sangat membantu pada lupus akut, penyakit
berat, dan sebagian lupus yang mengenai otak. Antibodi monoklonal, terutama
rituximab sangat menjanjikan dan cenderung memainkan bagian penting dalam
pengelolaan penyakit sedang dan berat.
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan
secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan
upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter
konsultan, terutama ahli reumatologi.
10
2.5 DIAGNOSIS
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
KRITERIA
Ruam malar
BATASAN
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung
tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam discoid
Plak eritema menonjol dengan keratorik dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut
dapat ditemukan parut atrofik.
Fotosensitifitas
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari
anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa.
Artritis
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh
nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis
Pleuritis
a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didenger oleh
dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura
Pericarditis
atau
b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapat bukti efusi perikardium
Gangguan renal
a. Proteinuria menetap > 0.5 gram per hari atau > 3+ bila tidak dilakukan
pemeriksaan kuantitatif
atau
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular atau campuran
Gangguan
neurologi
Gangguan
11
hematologik
atau
b. Leukopenia <4000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
c. Lomfopenia <1500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan obat-obatan
Gangguan
imunologik
Antibody
antinuclear
positif (ANA)
Anti-DNA: antibodi terhadap ntitive DNA dengan titer yang abnormal atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm
atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
1. Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,
2. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau
3. Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6
bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau tes
fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalan
penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma
lupus yang diinduksi obat.
Keterangan:
a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut
yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
b. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.
12
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh: SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:
1.
Jantung:
endokarditis
Libman-Sacks,
vaskulitis
arteri
koronaria,
3.
4.
5.
Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
6.
13
demielinasi.
7.
<20.000/mm3,
purpura
trombotik
trombositopenia,
2.6 PENATALAKSANAAN
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik:
1. Edukasi dan konseling
2. Program rehabilitasi
3. Pengobatan medikamentosa
o OAINS
4. Antimalaria
5. Imunosupresan / Sitotoksik
6. Terapi lain
Edukasi dan konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan
penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik,
mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar
matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan
secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar
tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan
pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat
pemakaian obat-obatan.
14
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan
pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet,
mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi
rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat
kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu tidaknya
suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka panjang contohnya
obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotikum.
6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok pendukung,
yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.
15
Dosis
Jenis
Evaluasi
Pemantauan
Pemantauan
Tergantung
Toksisitas
Perdarahan
Awal
Darah rutin,
Klinis
Gejala
Laboratorium
Darah
rutin,
OAINS/NSAID
saluran cerna,
kreatinin,
gastrointestinal
kreatinin,
hepatotoksik,
urin
sakit
AST/ALT
kepala,
rutin,
ALT
AST/
setiap
bulan
hipertensi,
aseptic
meningitis,
Kortikosteroid
Tergantung
nefrotoksik.
Cushingoid,
Gula darah,
derajat SLE
hipertensi,
profil
dislipidemi,
DXA,
osteonecrosis,
tekanan
hiperglisemia,
darah
Tekanan darah
Glukosa
lipd,
katarak,
Klorokuin
Hidroksiklorokuin
250 mg/hari
osteoporosis
Retinopati,
Evaluasi
Funduskopi
(3,5-4
keluhan GIT,
mata, G6PD
lapangan pandang
mg/kg/BB/hr)
rash, myalgia,
pada pasien
200-400 mg/hr
sakit
berisiko
bulan
kepala,
dan
anemi
hemolitik pada
16
pasien dengan
defisiensi
Azatriopin
G6PD
Mielosupresif,
Darah
dosis terbagi 1-
hepatotoksik,
lengkap,
3,
gangguan
kreatinin,
minggu dan
lomfoprolifera
AST/ALT
selanjutnya 1-3
50-150
mg/hr,
tergantung
BB
tepi
Gejala
Darah tepi
mielosupresif
tif
bulan interval.
AST setiap tahun
dan pap smear
secara teratur
Siklofosfamid
Mielosupresif,
Darah tepi
Gejala
Darah tepi
mg/hari.
gangguan
lengkap,
mielosupresif,
500-750
limfoprolifera-
hitung jenis
hematuria
dalam
tif, keganasan,
leukosit, urin
infertilitas
250
imunosupresi,
lengkap.
IV:
mg/m2
Dextrose
dan
lengkap setiap
bulan, sitologi
urin dan pap
sistitis
1 jam
hemoragik,
seumur hidup
infertilitas
sekunder
Metotreksat
7.520mg/
Mielosupresif,
Darah tepi
Gejala
Darah tepi
minggu, dosis
fibrosis
lengkap, foto
mielosupresif,
lengkap terutama
tunggal atau
hepatik,
toraks,
hitung trombosit
terbagi3. Dapat
sirosis,
serologi
setiap4-8 minggu,
diberikan pula
infiltrat
hepatitis B
mulut
melalui injeksi
pulmonal dan
dan C pada
fibrosis
pasien risiko
minggu, urin
tinggi, AST,
lengkap dan
fungsi hati,
kreatinin
kreatinin
17
Siklosporin A
2.55 mg/kg
Pembengkaka
Darah
n, nyeri gusi,
100 400 mg
tepi
Gejala
Kreatinin,
LFT,
lengkap,
hipersensitifitas
peningkatan
kreatinin,
tekanan darah,
urin lengkap,
(bila obat
dosis,
peningkatan
LFT
diberikan injeksi),
tergantung BB
pertumbuhan
tekanan darah,
rambut,
gangguan
ginja
fungsi ginjal,
nafsu makan
menurun,
tremor.
Miklofenolat
1000-2000
mg
mofetil
dalam 2 dosis
Mual,
diare,
leukopenia
Darah
tepi
Gejala
Darah
tepi
lengkap,
gastrointestinal
lengkap terutama
feses
seperti mual,
leukosit
lengkap
muntah.
hitung jenisnya
dan
OAINS: obat anti inflamasi non steroid, AST/ALT: aspartate serum transaminase/ alanine serum
transaminase, LFT:liver function test
*hidroksiklorokuin saat ini belum tersedia di Indonesia.
18
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan
obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.
Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi
dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah:
Dosis rendah
Dosis sedang
Dosis tinggi
Terapi pulse
19
20
2.
3.
4.
5.
Vaskulitis generalisata
Kontraindikasi:
1. Diketahui hipersensitivitas / alergi terhadap obat pulse terapi
2. Sedang mengalami infeksi akut (merupakan kontraindikasi relatif), jika sangat
dibutuhkan, pemberian pulse dilakukan segera setelah pemberian antibiotic
3. Hipertensi (jika tekanan darah sudah diturunkan dengan obat antihipertensi
pemberian pulse dapat dilakukan)
22
23
Efek samping utama yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko infeksi,
kegagalan fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan peningkatan risiko
keganasan. Obat ini teratogenik dan mengganggu fungsi organ reproduksi baik pada
pria maupun wanita. Sehingga penggunaan obat harus dihentikan tiga bulan sebelum
konsepsi.
o Rituximab: Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial dalam
perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan kombinasi dengan
methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan penurunan tingkat autoantibodi.
Rituximab telah menyebabkan kemajuan dramatis pada beberapa odapus. Saat ini
Rituximab termasuk salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus.
5. Terapi lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:
o Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari,
terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis,
neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan
terapi konvensional
o Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus serberitis
o Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid
o Danazol pada trombositopenia refrakter
o Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring effect pada SLE
ringan
o Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan
obat lainnya
o Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang berat
24
Topikal kortikosteroids
Topikal analgesic
3. Mata kering
Salivary substitute: air liur buatan dalam bentuk cair atau semprot berbahan
dasar methylcellulose atau gastric mucin
25
5. Trombositopeni
6. Osteoporosis
Vitamin D
Kalsium
Asam folat
Rekomendasi
Pengobatan SLE meliputi edukasi dan konseling, rehabilitasi medik dan medika
mentosa
Pemberian terapi kotrikosteroid merupakan lini pertama, cara penggunaan, dosis dan
efek samping perlu diperhatikan
26
Obat-obatan:
Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan
nyeri dan inflamasi
Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg
mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan
pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5
mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan
Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurangkurangnya 15 (SPF 15).
b. Pengobatan SLE Sedang: Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE
ringan kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan
tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang
refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa: Pilar pengobatan sama seperti pada
SLE ringan kecuali pada penggunaan obat- obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam
nyawa diperlukan obat-obatan seperti:
27
Algoritme
Terapi
B a gan 1 . Apenatalaksanaan
lgo r i tm e p en atalaklupus
s an aaneritematosus
l u p u s er ite m sistemik.
ato su s s istem
ik . T erSLE
a p i SLsesuai
E sesu aidengan
d en gan keparahan
manifestasinya.
40
k ep ar ah an m an i fe stasin y a .
tid a respon,
k r esp o nRS
, R Srespon
r e sp o nsebagian,
se b agian RP
, R Prespon
r e sp o npenuh
p en u h
TRT Rtidak
K S ad a lah k o r ti k o ste r o i d s etar a p r ed n is o n , M P m etilp r ed n i so lo n , A Z A a z atio p r in , O A I N S o b at an ti
KSin adalah
prednison,
la m as i kortikosteroid
s ter o i d , C Y C si ksetara
lo fo sfam
id , N P SL E MP
n eu metilprednisolon,
r o p si k i atr i SL E . AZA azatioprin, OAINS obat anti
inflamasi steroid, CYC siklofosfamid, NPSLE neuropsikiatri SLE.
17
Pemantauan
Batasan operasional pemantauan adalah dilakukannya observasi secara aktif
28
menyangkut gejala dan tanda baru terkait dengan perjalanan penyakit dan efek pengobatan /
efek sampingnya, baik yang dapat diperkirakan maupun tidak memerlukan pemantauan yang
tepat. Proses ini dilakukan seumur hidup pasien dengan SLE. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah:
a. Anamnesis:Demam, penurunan berat badan, kelelahan, rambut rontok meningkat,
nyeri dada pleuritik, nyeri dan bengkak sendi. Pemantauan ini dilakukan setiap kali
pasien SLE datang berobat
b. Fisik:Pembengkakan sendi, ruam, lesi diskoid, alopesia, ulkus membran mukosa, lesi
vaskulitis, fundus, dan edema. Lakukanlah pemeriksaan fisik yang baik. Bantuan
pemeriksaan dari ahli lain seperti spesialis mata perlu dilakukan bila dicurigai adanya
perburukan fungsi mata atau jika klorokuin/ hidroksiklorokuin diberikan
c. Penunjang:Hematologi (darah rutin), analisis urin, serologi, kimia darah dan radiologi
tergantung kondisi klinis.
Sistim Rujukan dan Fungsi Konsultatif
Batasan operasional rujukan kasus SLE ditujukan bagi dokter umum, internis atau ahli
lain yang memerlukan kepastian diagnosis, pengelolaan pada kasus yang tidak responsif
terhadap pengobatan yang diberikan, adanya kekambuhan pada pasien yang telah tenang
(remisi) ataupun kasus SLE sedang berat dan keterlibatan organ vital, guna pengelolaan
spesialistik.
Terdapat 4 (empat) tugas utama sebagai dokter umum di perifer atau pusat pelayanan
kesehatan primer, yaitu:
1. Waspada terhadap kemungkinan penyakit SLE ini di antara pasien yang dirawatnya
dan melakukan rujukan diagnosis
2. Melakukan tatalaksana serta pemantauan penyakit SLE ringan dan kondisinya stabil
(pasien SLE tanpa keterlibatan organ vital dan atau terdapat komorbiditas)
3. Mengetahui saat tepat untuk melakukan rujukan ke ahli reumatik pada kasus SLE
29
30
Hipertensi pulmonal yang berat (Perkiraan PAP sistolik >50 mm Hg atau simptomatik)
Gagal jantung
31
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, J., Nasution, A.R., Kalim, H., Sidabutar, R.P., Diagnosis dan Terapi Lupus
Eritematosus Sistemik, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IDI.
Eugene Braunwald, Anthony S. Fauci, Dennis L. Kasper, Stephen Hauser, Dan L. Longo, J.
Larry Jameson. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi ke 15. Mc.Graw Hill.
New York, 2001 : 1922 1927
Gunadi R, Dewi S, Kamijoyo L, Pramudiya R. Diagnosis dan terapi penyakit Reumatik.
Jakarta. Sagung Seto. 2006.
Hahn, B.H., Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 4, Edisi 13, EGC Penerbit
Buku Kedokteran, Jakarta, 2000.
Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi IV. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia. 2006 : 12141220.
Jacobs JWG, Bijlsma JWJ. Glucocorticoid therapy. In: Firestein GS, Budd RC, Harris ED,
McInnes IB, Ruddy S, Sergent JS. Editors. Kelleys Textbook of rheumatology. 8th ed.
Philadelphia. WB Saunders Elsevier. 2009:863-881
Kasjmir Y I, Handono K, Wijaya LK, et al. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi
Indonesia untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik dalam
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta, 2011: 01 46.
Lahita RG. The clinical presentation of systemic lupus erythematosus. In:Lahita RG, Tsokos
G, Buyon J, Koike T. Editors. Systemic Lupus erythematosus, 5th ed. San Diego.
Elsevier; 2011: 525-540.
Rahmat Gunadi, Sumartini Dewi, Laniyati Hamijoyo, Riardi Pramudiyo. Diagnosis dan Terapi
Penyakit Reumatik Cetakan ke 1. Sagung Seto. Jakarta, 2006: 21 35.
Ruiz-Irastorza G. Khamashta MA. Lupus and pregnancy: ten questions and some answers.
Lupus 2008; 17; 416-420.
32
Tutuncu ZN, Kalunian KC. The Definition and clasification of systemic lupus erythematosus.
In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois lupus erythematosus. 7th ed. Philadelphia.
Lippincott William & Wilkins; 2007:16-19
Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA, Ogryzlo MA. The
bimodal mortality pattern of systemic lupus erythematosus. Am J Med 1976; 60:221-5.
33