Anda di halaman 1dari 9

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Activated MDEA


Metildietanolamina (MDEA) merupakan amina tersier, digunakan sebagai
solven non-selektif untuk menghilangkan H2S dan CO2. Solven ini menghilangkan
H2S dari aliran gas kotor namun masih menyisakan sejumlah CO 2 pada akhir
proses. Konsentrasi MDEA dengan 50% berat, mampu menurunkan konsentrasi
H2S hingga 4 ppm, bergantung pada derajat regenerasi. Dibandingkan dengan
senyawa jenis amina lain yaitu MEA (monoethanolamine) dan DEA
(diethanolamine), activated MDEA ini memiliki keunggulan tersendiri karena
tidak mudah terdegradasi namun jauh lebih mudah terkorosi. Berikut adalah sifat
fisika dan kimia dari MDEA.
Rumus Kimia

CH3N-(CH2-CH2OH)2

Keadaan Fisik

Cair

Warna

Tidak Bewarna

Bau

Seperti ammonia

Titik Nyala

138 oC (280 F)

Tekanan Uap

< 0.01mmHg

Titik Didih

247.3 oC (477.1 F)

Tekanan Uap (udara = 1)

4.1

Titik Beku

-21 oC (-6 F)

(Kohl and Nielsen, 1997)

MDEA memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut (Arnold, 1989):


1. Menghilangkan CO2 lebih baik dibandingkan amin lain;

13

2. Selektivitas lebih baik;


3. Selektif terhadap H2S tinggi.
Sedangkan kelemahan-kelemahan MDEA adalah sebagai berikut ( Kohl,
1997):
1. Tidak dapat direklamasikan dengan teknik konvensional;
2. Penghilangan karbonil sulfida dan karbon disulfida rendah;
3. Rentan korosif dibandingkan amina yang lain.
aMDEA (activated Methyldiethanolamine) adalah suatu amina tersier
yang teraktivasi oleh piperazin. Larutan activated MDEA bersifat basa lemah,
larutan aMDEA murni adalah tidak bewarna. Namun, sampel aMDEA yang akan
dianalisis adalah yang memiliki warna kotor dan pekat. Hal ini dapat disebabkan
karena kemampuan MDEA untuk mengikat CO2 pada feed gas dengan kapasitas
yang besar (Jacobi, 2010). Larutan activated MDEA ini akan mengikat CO 2
sebagaimana mekanisme suatu resin yaitu aMDEA yang bertanggung jawab
sebagai padatan inert yang memiliki sisi aktif dalam pengikatan CO 2 (Yosef
Ahmed T dan Murni M Ahmad, 2011). Seringkali larutan aMDEA sedikit korosif
dan larutan bisa menjadi terkontaminasi dengan karat dan beberapa partikulat lain.
Regenerasi pada temperatur tinggi dari suatu amina yaitu aMDEA menghasilkan
produk

terdegradasi,

seperti

asam

organik

dan

polimerisasi

karbamat

(RNHCOO-). Kontaminan dari senyawa yang terdegradasi tersebut dapat


dihilangkan dengan adanya karbon aktif (Jacobi, 2010).

Gambar

3.1

kimia

Struktur
senyawa

MDEA

dan
piperazine

Proses penyerapan CO2 dimulai dengan terbentuknya H2CO3. Reaksi


pelarutan CO2 dalam air adalah sebagai berikut:
CO2(g) + H2O(l) H2CO3(aq)

14

Kemudian aMDEA akan bereaksi dengan H2CO3 yang akan membentuk


ion karbonat. Mekanisme absorbsi dengan aMDEA adalah sebagai berikut :

Gambar 3.2 Mekanisme absorbsi dengan aMDEA


3.2 Elektrokimia
Elektrokimia adalah peristiwa kimia yang berhubungan dengan energi
listrik. Prinsip dasar reaksi pada elektrokimia adalah reaksi reduksi oksidasi
(redoks), reaksi tersebut terjadi pada suatu sistem sel elektrokimia. Ada dua jenis
sel elektrokimia yaitu galvanis dan sel elektrolisis. Sel galvanis dan sel elektrolisis
adalah inti dari suatu proses elektrokimia.
Pada sel elektrolisis elektroda yang berfungsi penghantar listrik adalah
anoda sehingga terjadi suatu pelarutan material anoda menghasilkan kation logam
(M+). Elektrolisis air merupakan reaksi samping yang menghasilkan gas hidrogen
pada katoda dan gas oksigen pada anoda (Purwanto, 2005).
Reaksi elektrokimia dapat dibagi dalam dua kelas: yang menghasilkan arus
listrik (proses yang terjadi dalam baterai) dan yang dihasilkan oleh arus listrik
elektrolisis. Tipe pertama reaksi bersifat serta merta dan energi bebas sistem
kimianya berkurang. Sistem itu dapat melakukan kerja, misalnya menjalankan
motor. Tipe kedua harus dipaksa agar terjadi (oleh kerja yang dilakukan terhadap
sistem kimia) dan energi bebas sistem kimia bertambah (Underwood, 1980).
3.3 Elektrokoagulasi dan Elektroflokulasi
Elektrokoagulasi merupakan metode elektrokimia untuk pengolahan air
dimana pada anoda terjadi pelepasan koagulan aktif berupa ion logam (biasanya

15

Aluminium atau besi) ke dalam larutan, sedangkan pada katoda terjadi reaksi
elektrolisis berupa pelepasan gas hidrogen (Holt et al., 2005). Sedangkan menurut
Mollah (2004), elektrokoagulasi adalah sebuah proses kompleks yang melibatkan
fenomena kimia dan fisik dengan menggunakan elektroda untuk menghasilkan ion
yang digunakan untuk mengolah air limbah.
Proses elektrokoagulasi terbentuk melalui pelarutan logam dari anoda
yang kemudian berinteraksi secara simultan dengan ion hidroksi dan gas hidrogen
yang dihasilkan dari katoda. Elektrokoagulasi telah ada sejak tahun 1889 yang
dikenalkan oleh Vik et.al dengan membuat suatu instalasi pengolahan untuk
limbah rumah tangga (sewage). Tahun 1909 di United Stated, J.T. Harries telah
mematenkan pengolahan air limbah dengan sistem elektrolisis menggunakan
anoda alumunium dan besi. Matteson (1995) memperkenalkan Electronic
Coagulator dimana arus listrik yang diberikan ke anoda akan melarutkan
Alumunium ke dalam larutan yang kemudian bereaksi dengan ion hidroksi (dari
katoda)

membentuk

aluminium

hidroksi.

Hidroksi

mengflokulasi

dan

mengkoagulasi partikel tersuspensi sehingga terjadi proses pemisahan zat padat


dari air limbah. Proses yang mirip juga telah dilakukan di Brittain tahun 1956,
hanya saja anoda yang digunakan adalah besi dan digunakan untuk mengolah air
sungai.
Flokulasi merupakan proses pembentukan flok, yang pada dasarnya
merupakan pengelompokan/ aglomerasi antara partikel dengan koagulan
(menggunakan proses pengadukan lambat atau slow mixing), Proses pengikatan
partikel koloid oleh flokulan. Pada flokulasi terjadi proses penggabungan
beberapa partikel menjadi flok yang berukuran besar. Partikel yang berukuran
besar akan udah diendapkan.
Agar patikel koloid dapat menggumpal, gaya tolak-menolak elektrostatik
antara partikelnya harus dikurangi dan transportasi partikel harus menghasilkan
kontak diantara partikel yang mengalami destabilisasi. Setelah partikel-partikel
koloid mengalami destabilisasi, adalah penting untuk membawa partikel-partikel
tersebut ke dalam suatu kontak antara satu dengan yang lainnya sehingga dapat

16

menggumpal dan membentuk partikel yang lebih besar yang disebut flok. Proses
kontak ini disebut flokulasi.
Dilakukan setelah proses koagulasi. Setelah proses koagulasi, partikelpartikel terdestabilisasi dapat saling bertumbukan membentuk agregat sehingga
terbentuk flok, tahap ini disebut Flokulasi. Flokulasi adalah suatu proses
aglomerasi ( penggumpalan ) partikel-partikel terdestabilisasi menjadi flok dengan
ukuran yang memungkinkan dapat dipisahkan oleh proses sedimentasi dan filtrasi.
Dengan kata lain proses flokulasi adalah adalah proses pertumbuhan flok (partikel
terdestablisasi atau mikroflok) menjadi flok dengan ukuran yang lebih besar
(makroflok).
Berikut ini adalah gambar yang dapat menunjukkan interaksi/mekanisme
yang terjadi di dalam reaktor elektrokoagulasi.

Gambar 2.3 Mekanisme di Dalam Elektrokoagulasi


(Holt et al., 2002)
Untuk menghasilkan ion logam yang berfungsi sebagai koagulan
diperlukan beda potensial diantara elektroda. Perbedaan potensial ini diperlukan
untuk menimbulkan reaksi elektrokimia pada masing-masing elektroda. Reaksi
yang terjadi di dalam elektroda adalah reaksi reduksi dan oksidasi. Reaksi reduksi
dan oksidasi ditandai oleh adanya transfer elektron dari zat yang dioksidasi

17

(reduktor) menjadi zat yang direduksi (oksidator). Persamaan reaksinya adalah


sebagai berikut :
1. Anoda

M
2H O

M(s)

(i)

n+
(aq)

+ ne-

(1)

4H+(aq) + O2(g) + 4e-

(2)

2. Katoda

M
+ 2e 2OH + H

M(aq)n+ ne2 H2O(l)

(s)

(3)
2(g)

(4)

Terdapat 3 (tiga) tahapan penting yang diperlukan dalam proses


koagulasi yaitu: tahap pembentukan inti endapan, tahap flokulasi dan tahap
pemisahan flok dengan cairan.
1. Tahap pembentukan inti Endapan
Pada tahap ini diperlukan zat koagulan yang berfungsi untuk
penggabungan antara koagulan dengan pollutan yang ada dalam air.
2. Tahap Flokulasi
Pada tahap ini terjadi penggabungan inti-inti endapan, sehingga menjadi
molekul yang lebih besar.
3. Tahap Pemisahan flok dengan Cairan
Flok yang terbentuk selanjutnya harus dipisahkan dari cairannya, yaitu
dengan cara pengendapan atau pengapungan. Bila flok yang terbentuk
dipisahkan dengan cara pengendapan, maka dapat digunakan alat klarifier,
sedangkan Bila flok yang terjadi diapungkan dengan menggunakan
gelembung udara, maka flok dapat difilter dan dipisahkan.
Mekanisme yang terjadi pada proses flokulasi dengan koagulannya
adalah sebagai berikut :
1. Adsorpsi flokulan (polimer) pada permukaan partikel koloid sehingga
terbentuk lapisan flokulan. Dalam hal ini terjadi destabilisasi muatan
elektron negatif partikel koloid oleh muatan positif hasil hidrolisa
flokulan sehingga terjadi penggumpalan yang tidak stabil, proses ini
disebut adsorpsi koagulasi.

18

2. Gumpalan (partikel-partikel) yang tidak stabil ini akan membentuk flok


yang lebih besar, sehingga akibat dari tubrukan partikel-partikel dengan
bantuan pengadukan, sehingga menjadi stabil dan mudah mengendap
(terflokulasi). (Nainggolan,J.W.1997).

3.4 Koloid
Keadaan koloid adalah suatu keadaan antara larutan dan suspensi. Suatu
kumpulan dari beberapa ratus atau beberapa ribu partikel yang membentuk
partikel lebih besar dengan ukuran sekitar 10 sampai 2 000 dikatakan berada
dalam keadaan koloid. Dalam suatu sistem koloid, partikel-partikel koloid
terdispersi (tersebar) dalam medium pendispersinya.
Koloid gas dan kebanyakan koloid cairan tidak mengendap dalam
waktu yang sangat lama (berarti koloid ini stabil). Kestabilan koloid ini
disebabkan karena adanya gerak Brown. Meskipun telah sampai ke dasar
tempatnya, partikel koloid dapat naik kembali dan terus bergerak dalam
mediumnya. Penyebab lainnya karena umumnya partikel koloid mengadsorpsi
ion. Partikel koloid yang sama akan mengadsorpsi ion-ion yang sejenis, sehingga
partikel-partikel koloid itu saling tolak-menolak karena pengaruh ion sejenis yang
telah diadsorpsi. Partikel koloid sebenarnya tidak bermuatan listrik (netral). Jika
partikel-partikel koloid saling bergabung dan terkumpul menjadi partikel yang
semakin besar, maka koloid akan terkoagulasi (menggumpal) dan akhirnya akan
mengendap. Secara kimia koagulasi partikel koloid dapat terjadi karena ion-ion
yang telah diadsorpsi partikel koloid dilucuti atau dinetralkan.
3.5 Potensial Zeta
Potensial zeta adalah parameter muatan listrik antara partikel koloid.
Makin tinggi nilai potensial zeta maka semakin mencegah terjadinya flokulasi/
(peristiwa penggabungan koloid dari yang kecil menjadi besar). Dengan
mengurangi nilai potensial zeta maka memungkinkan partikel untuk saling tarik
menarik dan terjadi flokulasi. Yang disebut sebagai potensial zeta adalah area
19

yang menunjukkan adanya beda potensial antara Stern Layer dan Difuse Layer
dari koloid. Yang disebut Stern Layer adalah lapisan kuat ion positif yang
berdekatan dengan lapisan negatif dari koloid. Sedang Difus Layer adalah
keseimbangan dinamik antara ion positif dan ion negatif tersebut. Kedua lapisan
tersebut digunakan untuk menerangkan distribusi dari ion-ion di sekeliling
partikel koloid.
Pada sistem koloid, nilai potensial zeta yang tinggi akan memberikan
stabilitas larutan untuk menolak agregasi. Sebaliknya, ketika nilai potensial zeta
rendah makan daya tarik menarik muatan antar partikel dispersi melebihi daya
tolak menolaknya hingga terjadi flokulasi. Jadi koloid dengan nilai potensial zeta
tinggi adalah elektrik stabil. Sedangkan koloid dengan nilai potensial rendah
cenderung akan mengental/flokulasi.
Kegunaan potensial zeta antara lain :
Untuk mengetahui kestabilan suatu larutan
Untuk memprediksi morfologi permukaan suatu partikel
Untuk mengetahui muatan permukaan (surface charge)
3.6 Spektrofotometer Serapan Atom (ASS)
Atomic Absorption Spectrofotometry (AAS) adalah suatu metode analisis
yang didasarkan pada proses penyerapan energi radiasi oleh atom-atom yang
berada pada tingkat energi dasar (ground state). Penyerapan tersebut
menyebabkan tereksitasinya elektron dalam kulit atom ke tingkat energi yang
lebih tinggi. Keadaan ini bersifat labil, elektron akan kembali ke tingkat energi
dasar sambil mengeluarkan energi yang berbentuk radiasi. Dalam AAS, atom
bebas berinteraksi dengan berbagai bentuk energi seperti energi panas, energi
elektromagnetik, energi kimia dan energi listrik. Interaksi ini menimbulkan
proses-proses dalam atom bebas yang menghasilkan absorpsi dan emisi
(pancaran) radiasi dan panas. Radiasi yang dipancarkan bersifat khas karena
mempunyai panjang gelombang yang karakteristik untuk setiap atom bebas
(Basset, 1994).

20

Menurut (Hendayana dkk, 1994), prinsip kerja metode ini didasarkan pada
Hukum Lambert-Beer yaitu penyerapan energi atau sinar oleh atom. Sumber
energinya berupa lampu katoda berongga (hallow cathode lamp), sedang nyala
pembakar berguna mengaktifkan atom-atom logam sebelum menyerap energi.
Setiap pengukuran dengan SSA harus menggunakan katoda berongga khusus,
misalnya untuk menentukan konsentrasi tembaga dalam suatu cuplikan, maka kita
harus menggunakan katoda berongga tembaga. Katoda berongga akan
memancarkan energi radiasi yang sesuai dengan energi yang diperlukan untuk
tramsisi elektron atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang
gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Dalam ASS dapat diperoleh
atom-atom bebas dengan cara memanaskan unsur atau senyawa unsur pada suhu
tinggi, antara 2000-3000 K atau lebih.

21

Anda mungkin juga menyukai