Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada tahun 2005 terjadi kasus pembunuhan di Wisconsin oleh seorang anak laki laki
dengan menggunakan racun tikus berjenis brodifakum. Dia meracuni seluruh anggota
keluarga dengan cara mencampur brodifakum dalam makanan. Keluarga anak laki laki itu
mengalami beberapa keluhan yang tidak fatal seperti sakit perut maupun muntah
muntah.Namun setelah 5 minggu keluarganya meninggal akibat brodifakum.Brodifakum
sendiri adalah antikoagulan generasi kedua yang biasanya digunakan sebagai racun tikus.
Antikoagluan racun tikus pertama kali ditemukan pada tahun 1940 dan hingga sekarang
masih bannyak penelitian untuk mengembangkan dan juga penelitian terhadap keamanan
racun tikus.salah satu racun tikus yang beredar luas di pasaran adalah brodifakum.
Brodifakum (4-hydroxycloumarin antagonis vitamin K) adalah antikoagulan generasi kedua
yang menyerang system hematologi dengan merusak system pembekuan darah. [1,2] Substansi
ini termasuk dalam superwarfarin, golongan potent, antikoagulan jangka panjang, maupun
pengencer darah. brodifakum masih berhubungan dengan warfarin yang sampai sekarang
masih digunakan untuk mencegah pembekuan darah.[3]
Brodifakum sendiri bekerja dengan menghambat kompetitif vitamin K dalam sintesis
faktor faktor pembekuan darah (faktor II protrombin, faktor VII, XI, dan X di dalam hati),
sehingga terjadi penurunan kadar faktor - faktor tersebut dalam darah dan menyebabkan
terganggunya mekanisme koagulasi darah. Akibat terjadinya penghambatan dalam koagulasi
darah dapat menyebabkan timbulnya perdarahan dalam organ vital tikus.[4]
Jika sudah mencapai dosis efek dan menyebabkan gangguan pembekuan darah biasanya
muncul gejala gusi berdarah, epistaksis, ekimosis, haematoma, hematemesis, melena, dan
hematuria. Sedangkan resiko utama brodifakum pada tikus adalah perdarahan fatal pada
gastrointestinal dan intracerebral.[1]

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka saya melakukan penelitian mengenai
hubungan pemberian brodifakum dosis bertingkat dengan perubahan gambaran patologi
anatomi gaster mencit karena pada penelitian sebelumnya belum ditemukan adanya efek yang
besar pada jaringan gaster dengan pemberian brodifakum.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang, maka permasalahan yang
dirumuskan dalam penelitian ini yaitu Bagaimana perbandinganperubahan gambaran patologi
anatomi gaster tikus denganpemberian brodifakum dosis LD50 dan LD100?

1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbandingan patologi anatomi gaster mencit terhadap pemberian brodifakum
dosis LD50 dan LD100
1.3.2 Tujuan Khusus

Mengetahui gambaran normal patologi anatomi gaster tikus wistar.


Mengetahui kerusakan atau perubahan jaringan gaster tikus wistar terhadap

pemberian brodifakum LD50.


Mengetahui kerusakan atau perubahan jaringan gaster tikus wistar terhadap

pemberian brodifakum LD100


Membandingkan jaringan gaster normal dengan gaster yang terkontaminasi

brodifakum LD50.
Membandingkan jaringan gaster normal dengan gaster yang terkontaminasi

brodifakum LD100.
Membandingan jaringan gaster yang terkontaminasi LD50 dengan jaringan gaster
yang terkontaminasi LD100.

Membandingkan jaringan gastert normal dengan gaster yang terkontaminasi LD50


dan LD100

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Penelitian untuk Peneliti

Dapat digunakan untuk mengidentifikasi perubahan jaringan gaster pada manusia


atau hewan lain akibat keracunan brodifakum.

1.4.2 Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan

Dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian penelitian brodifakum


kedepannya.

1.4.3 Manfaat Penelitian untuk Masyarakat

Dapat digunakan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya


brodifakum

1.5 Keaslian Penelitian


Nama peneliti, Judul

Metode penelitian

Hasil

penelitian, Tahun terbit


Literature Review of the

Pengumpulan Data

Efek yang dihasilkan

Acute Toxicity and

brodifacum terhadap hewan

Persistance of Brodifacoum to

invertebrate berbeda dengan

Invertebrates

mamalia, salah satu contohnya


pada serangga dan kepiting,
brodifakum tidak
menimbulkan keracunan tetapi
kematian dalam waktu sekitar
4 hari

Laboratory and Field Studies Eksperimental terhadap hewan Pada pemberian brodifakum
of Brodifacoum Residues in dengan pemberian dosis

secara bertingkat, pada setiap

Relation toRisk of Exposure bertingkat, dan pengumpulan

hewan percobaan ditemukan

to Wildlife and People

data hewan yang memakan

paling banyak residu di hati

brodifakum secara sekunder

daripada pada serum dan otot;


sedangkan pada penelitian
dengan pengumpulan data
ditemukan bahwa ditemukan
residu brodifakum pada
beberapa hewan yang
memakan tikus maupun
hewan lain yang terpapar
brodifakum

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Brodifakum sebagai Derivat Coumarin


Coumarin atau 1,2-benzopyrone merupakan zat kimia yang sering ditemukan
dalam bermacam-macam tanaman. Senyawa coumarin telah menunjukkan spectrum yang
luas dari tumbuhan obat yang digunakan sejak dahulu dan hingga saat ini sudah ditemukan
sekitar 1300 senyawa lain yang berhasil diidentifikasi.[5] 1,2-benzopyrone merupakan suatu
kelas yang penting dan besar yang dibentuk oleh oxygen heterocycles. Banyak coumarin
yang teroksigenasi pada posisi C-7, yang membuatnya menjadi 7-hydroxycoumarin, atau
lebih sering dikenal dengan nama umbelliferone, yang sering dianggap sebagai prekursor
biogenetik dari coumarin yang lebih kompleks.
Penelitian struktur kimiawi dari senyawa coumarin menunjukkan bahwa dalam
beberapa coumarin, substitusi senyawa dapat terjadi di banyak tempat.Terdapat banyak
kemungkinan

permutasi

yang

ditawarkan

dengan

menggukanakn

substitusi

dan

konjugasi.Karenan efek famakologi yang bermacam-macam, coumarin telah menarik


peningkatan minat penelitian dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi penjelasan tentang
hubungan struktur dan aktivitas coumarin tetaplah belum jelas.[6]
Coumarin memiliki tingkat toksik moderate untuk hepar dan ginjal, yaitu LD 50
275mg/kg, tingkat toksisitas yang rendah dibandingkan dengan senyawa yang memilii
hubungan dengan coumarin lainnya.Meskipun coumarin agak berbahaya bagi manusia,
coumarin bersifat hepatotoksik pada tikus namun tidak pada mencit. Hewan jenis rodensia
pada umumnya memetabolisme coumarin menjadi 3,4-coumarin epoxide, sanyawa yang
beracun dan tidak stabil yang pada metabolisme lebih lanjut dapat menyebabkan kanker
hepar pada tikus dan tumor traktus respiratorius pada mencit [7].Manusia pada umumnya
memetabolisasi coumarin menjadi 7-hydroxycoumarin, senyawa dengan tingkat toksisitas
yang lebih rendah. The German Federal Institute for Risk Assessment telah mengeluarkan
jumlah konsumsi harian yang boleh dikonsumsi, yaitu 0,1 mg/kgBB, namun untuk konsumsi
yang agak tinggi dalam waktu singkat tidaklah terlalu berbahaya [8]. Occupational Safety and
Health Administration dari amerika serikat tidak mengklasifikasikan coumarin sebagai zat
karsinogen terhadap manusia.[9]

Meskipun sebenarnya coumarin tidak memiliki efek antikoagulan, coumarin dapat


berubah menjadi natural antikoagulan dicoumarul oleh spesies beberapa fungi.Ini terjadi
karena produksi dari 4-hydroxycoumarin, yang kemudian karena pada kehadiran
formaldehid berubah menjadi anticoagulan yang sebenarnya yaitu dicoumarol. Dicoumarol
pernah bertanggung jawab terhadap kasus pendarahan yang dikenal dengan nama "Sweet
clover disease".[10]
Berikut adalah beberapa contoh senyawa derivat dari coumarin :

Brodifakum
Bromadiolon
Coumafury
Difenacoum
Warfarin

2.2 Brodifakum
2.2.1 Fisik dan kimia brodifafkum
Antikoagulan sintesis ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1975 oleh karena
banyaknya muncul hama tikus yang resistan terhadap golongan warfarin. brodifakum ini
diperoleh dari kondensasi 4-hydroxycoumarin dengan 3-(4-bromodiphenyl 4-yl)
-1,2,3,4-tetrahydronaphtol.[11]
Brodifakum adalah antikoagulan 4-hydroxycloumarin dengan kerja yang serupa
dengan pendahulunya seperti dikumarol dan warfarin.Tetapi karena potensi kerja yang
tinggi dan durasi kerja yang panjang (waktu paruh 20 130 hari), brodifakum
dikategorikan sebagai antikoagulan generasi kedua atau superwarfarin.
Brodifakum biasanya berbentuk bubuk putih yang tidak berbau dan mencair pada
suhu 228 232 C. Brodifakum sangat rendah kelarutannya di air tetapi sangat larut
apabila dicampur dengan acetone, kloroform dan larutan klorin lainnya.brodifakum juga
akan membentuk garam amine apabila terlarut dalam air. Brodifakum juga merupakan zat
kimia yang stabil dan tidak gampang berubah ikatannya dalam suhu ruangan.[1]

2.2.2 Absorbsi obat


Reaksi pemberian obat tergantung oleh dua faktor penting yaitu farmakokinetik dan
farmakodinamik. Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat
dan aspek farmakologi yang mencakup efek obat dalam tubuh yaitu absorbs, distribusi,
metabolism dan ekskresi.[32]
1. Fase absorbsi: Saat pertama kali obat masuk dalam tubuh, obat diabsorbsi oleh
jaringan tubuh. factor absorbsi inilah yang nantinya akan mempengaruhi jumlah dosis
obat yang dibutuhkan dan kecepatan perjalanan obat di dalam tubuh.
2. Fase distribusi: Fase penyebaran obat di dalam jaringan jaringan tubuh. setelah
diabsorbsi, obat terbagi menjadi dua bagian yaitu obat terikat dan obat bebas. obat
terikat mengalami fase distribusi ke sirkulasi sistemik menuju ke reseptor dan
jaringan jaringan. Sedangkan obat bebas melanjutkan proses ke fase metabolism
atau biotransformasi di hepar.
3. Fase biotransformasi: fase dimana terjadi perubahan struktur kimia obat dalam cairan
atau jaringan tubuh dan dikatalis oleh enzim.
4. Fase ekskresi: merupakan fase pengeluaran sisa sisa obat. Hasil metabolisme
diekskresikan melalui ginjal. Kecepatan ekskresi dipengaruhi kecepatan eliminasi
efek obat dalam tubuh.
Farmakodinamik adalah suatu pengaruh obat dalam tubuh.Mengenai efek fisiologis dan
biokimiawi obat terhadap berbagai jaringan tubuh yang sakit maupun sehat serta mekanisme
kerjanya.

2.2.3 Cara Kerja Brodifakum

Brodifakum, seperti racun antikoagulan lainnya, bekerja dengan mengganggu


sintesis normal faktor pembekuan vitamin k-dependent pada hepar hewan vertebra. Pada sel
hepar vitamin k 1-2,3 epokside yang secara biologis tidak akftif di reduksi oleh enzim
mikrosomal menjadi bentuk aktif vitamin K, yang sangat penting pada sintesis prothrombin
dan faktor pembekuan lainnya. Brodifakum meng antagonisasi enzim vitamin K1-epoxide
reductase pada hepar dan menyebabkan penurunan secara bertahap dari bentuk aktif vitamin
K, dan pada akhirnya faktor pembekuan vitamin K-dependent, yang menyebabkan
peningkatan waktu untuk pembekuan darah sampai pada titik dimana tidak terjadi
pembekuan darah sama sekali.[12]
Selain itu, Brodifakum ( sama seperti antikoagulan yang lain dalam dosis toksik)
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, sehingga plasma darah dan darah mulai keluar
dari pembuluh darah kecil. Hewan yang keracunan akan mengtalami pendarahan internal
yang semakin lama semakin parah dan dapat mengakibatkan shock, kehilangan kesadaran
dan pada akhirnya kematian.[13]
Periode laten brodifakum mulai dari waktu pemberian hingga ditemukannya
tanda-tanda klinis bermacam-macam. Pada tikus umumnya kematian terjadai dalam waktu 1
minggu setelah pemberian brodifakum.Kematian dapat juga terjadi secara tiba-tiba
tergantung dimana pendarahan tersebut terjadi, terutama apabila pendarahan terjadi pada
bagian otak maupun pada bagian jantung.

2.2.4 Metabolisme brodifakum


2.2.4.1 Absorbsi dan distribusi Brodifakum
Cara masuk brodifakum ke dadalam tubuh dapat melalui per oral, inhalasi,
maupun per kutan. Intoksikasi paling cepat melalui inhalasi, sedangkan paling
lambat melalui per kutan. Absorbsi utama brodifakun terjadi di saluran

gastrointestinal.Brodifakum dan senyawa terkait lainnya mengikat lebih kuat pada


bagian lipofilik hepar daripada senyawa warfarin.pada kasus intoksikasi tikus,
konsentrasi substansi pada hepar adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada
konsentrasi serum.[14]
2.2.4.2 Biologi paruh waktu brodifakum
Seperti pada semua golongan superwarfarin, brodifakum memiliki waktu
paruh pada plasma yang sangat panjang. Studi metabolisme pada hewan telah
menunjukkan waktu paruh brodifakum sekitar 24 hari, 120 hari pada anjing, dan
156 jam pada tikus.[11,15]
Warfarin memiliki waktu paruh pada plasma 42 jam dan dengan asumsi
fungsi hepar normal. Sedangkan efek antikoagulan akan menghilang dalam
beberapa hari. Sebaliknya, efek antikoagulan pada brodifakum dapat berlangsung
selama lebih dar 7 minggu pada intoksikasi pasien.[16]
2.2.4.3 Metabolisme brodifakum
Metabolisme brodifakum belum sepenuhnya didefinisikan akibat belum
adanya penelitian ilmiah terhadap brodifakum. Tetapi mengingat brodifakum telah
tersubstitusi dengan struktur 4-hydroxycoumarin, kemungkinan besar golongan
superwarfarin ini dimetabolisme dengan cara yang mirip dengan warfarin.
Brodifakum dihidroksilasi menjadi senyawa inactive dengan campuran enzim
oksidase di mikrosom hepar.[16]

Phenobarbital diketahui dapat meningkatkan aktivitas sistem enzim


mikrosomal hepatoseluler dan juga meningkatkan metabolisme brodifakum sama
halnya dengan warfarin. Dalam penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa
pretreatment dengan Phenobarbital dapat mengurangi efek antikoagulan dari
brodifakum.[14]

10

2.2.4.4 Eliminasi Brodifakum


Eliminasi brodifakum mungkin hampir mirip dengan senyawa warfarin
yaitu dengan cara senyawa yang dihasilkan dari hidroksilasi pada fungsi sistem
oksidasi hepatoseluler akan diekskresikan dalam urin.[16]
2.2.5 Efek brodifakum pada organ
Brodifakum dapat mengakibatkan berbagai komplikasi pada organ tubuh hewan
maupun manusia, diantaranya adalah[1]
2.2.5.1 Neurologi
Dampak brodifakum pada system saraf dapat ditemukan pada sistem saraf
pusat.ditemukan adanya perdarahan pada intracerebral akibat komplikasi
sekunder.Pada beberapa kasus ditemukan juga terdapat perdarahan pada jaringan
jaringan otot terutama pada otot siku, lutut dan juga pantat. Sedangkan sistem
syaraf tepi jarang ditemukan adanya komplikasi akibat brodifakum.[1]
2.2.5.2 Gastrointestinal
Pada hewan yang diberikan brodifakum secara oral ditemukan adanya
hematemesis dan juga melena pada saluran pencernaannya. Sedangkan pada
kasus brodifakum yang tertelan oleh manusia biasanya didapatkan nyeri perut
dan juga nyeri pinggang setelah terjadi perdarahan intra abdominal.[16]

2.2.5.3 Hepar
Pada penelitian yang sudah ada, walaupun hepar merupakan organ yang
berperan dalam metabolisme brodifakum, tidak ditemukan gejala klinis yang

11

jelas.Tetapi di hepar didapatkan adanya koagulopati dan juga terdapat residu


brodifakum akibat dari metabolismenya.
2.2.5.4 Sistem saluran kemih
Haematuria biasanya didapatkan pada hewan yang terpapar brodifakum,
haematuria bisa didapatkan secara klinis tetapi ada juga yang harus diperiksa
dalam laboratorium. Brodifakum juga dapat menyebabkan perdarahan saluran
kemih.[16]
2.2.5.5 Kulit
Kadang kadang pada beberapa kasus intoksikasi brodifakum pada
manusia didapatkan juga munculnya ruam ruam petekiae.[1]
2.2.5.6 Mata, telinga, hidung, tenggorokan (efek local)
Didapatkan adanya epistaksis dan juga perdarahan pada bagian gusi akibat
adanya gangguan koagulasi darah.
2.2.5.7 Hematologi
Komplikasi utama pada brodifakum dapat ditemukan pada hematologi
karena brodifakum mengganggu sintesis vitamin K yang mengakibatkan adanya
gangguan koagulasi darah.Koagulasi darah ini dapat ditemukan setelah terpapar
brodifakum dalam dosis yang signifikan. Gejala hematologis yang biasa
ditemukan adalah gusi berdarah, epistaksis, ekimosis, hematoma, hematuria, dan
juga dapat ditemukan adanya perdarahan internal.[1]

2.2.5.8 Resiko lain


Salah satu kasus aborsi telah dilaporkan oleh Lipton & Klaas (1984).Data
sekresi ASI sampai saat ini belum ditemukan sehingga menyusui tidak

12

dianjurkan. Individu dengan perdarahn diathesis memiliki resiko yang lebih


tinggi.[11]
2.2.6 Intoksikasi brodifakum
Brodifacoum menghambat enzim vitamin K epoksida reduktase. Enzim ini
diperlukan untuk pembentukan dari vitamin K dari vitamin K-epoksida, dan
brodifakoum terus menurunkan tingkat aktif vitamin K dalam darah. [2] Vitamin K
dibutuhkan untuk sintesis substansi substansi penting seperti protrombin, yang
terlibat dalam pembekuan darah. Gangguan ini menjadi bertambah parah sampai darah
kehilangan kemampuannya untuk membeku secara efektif.[17]
Sebagai tambahan, brodifakum (sama seperti antikoagulan lain dalam dosis
toksik) meningkatkan permeabilitas kapiler darah; plasma darah dan darah itu sendiri
mulai bocor ke pembuluh pembuluh darah yang lebih kecil.
Binatang yang teracuni brodifakum dapat menderita perdarahan organ dalam yang
semakin parah, mengakibatkan shok, kehilangan kesadaran, dan kematian.
Brodifakum sangat mematikan bagi mamalia dan burung, dan lebih parah pada
ikan.brodifakum adalah racun yang mudah terakumulasi karena merupakan lipofilik
dan sangat lambat dieliminasi oleh tubuh.[18]

Nilai LD50 pada beberapa contoh binatang [17]


Tikus

0,27 mg/kgBB

Mencit

0,40 mg/kgBB

13

Kelinci

0,30 mg/kgBB

Marmut

0,28 mg/kgBB

Tupai

0,13 mg/kgBB

Kucing

0,25-25 mg/kgBB

Anjing

0,25-3,6 mg/kgBB

2.3 Tikus galur wistar


Tikus galur wistar adalah mamalia kecil yang masuk dalam orda Rodentia.Tikus galur
wistar ini adalah tikus yang paling sering digunakan dalam penelitian biomedical.
Kingdom animalia
Filum Chordata
Class Mamalia
Ordo Rodentia
Famili Muridae
Tikus ini biasanya memiliki berat badan 25 40g (betina) dan 20 40g (jantan).Umur
rata rata seekor tikus galur wistar adalah 1.5 3 tahun. Tikus juga memiliki sistem
gastrointestinal yang hampir sama dengan hewan lain, tetapi memiliki perbedaan yang vital.
Seperti esofagus yang masuk ke lambung pada bagian sentral. Panjang dari usus halus
berbeda beda pada tikus. Caecum pada tikus sangat luas dan tidak terbentuk umbai cacing
(apendiks).[19]
2.3.1 Anatomi gaster tikus galur wistar
Gaster adalah organ pencernaan yang paling melebar dan terletak di antara
bagian akhir dari esophagus dan awal dari duodenum.Gaster berada di bawah difragma
dan terletak di region abdomen.Gaster terdiri dari beberapa bagian seperti kardiak,
fundus, dan pilorus.Pada sebagian besar hewan, epitel squamous bertingkat berubah

14

menjadi epitel kolumnar pada gaster.Kardiak merupakan bagian sempit pada


pertemuan antara gaster dengan esofagus.Kardiak terdiri dari kelenjar kistik atau
tubuler yang dilapisi sel-sel yang mensekresi mukus dimana diantaranya tersebar
banyak sel-sel endokrin dan sedikit sel parietal serta sel utama (pepsinogen). Fundus
merupakan bagian yang sedikit lebih kompleks dari kardiak, dimana pada bagian ini
terdapat beberapa tipe sel seperti sel parietal yang menghasilkan asam klorida, sel
chief, dan sel enteroendokrin.[20]
Bagian pilorus lebih bercabang-cabang, berkelok-elok, dan lebih longgar
dibanding bagian fundus.Kelenjar dilapisi oleh sel-sel yang mensekresi mukus dengan
sitoplasma granuler dan nukleus basal, bersama dengan sel endokrin dan sel parietal
yang tersebar. Sel endokrin pada antrum memproduksi berbagai hormon seperti
gastrin, somatostatin, dan lainnya.[21]
Struktur dari lambung tikus adalah dua bagian dan dipisahkan oleh prominent
limiting ridge yang menghalangi untuk muntah. Makanan masuk ke lambung menuju
lambung bagian depan (forestomach), sebuah daerah nonsekretori dengan epitel yang
kasar. Bagian lambung yang dekat dengan duodenum adalah bagian glandular dan
dikarakterisasi oleh epitel sekretori yang lembut dan lipatan-lipatan (rugae).Lambung
tikus berada di rongga perut sebelah kiri, dekat dengan hati.Lambung tikus tidak jauh
berbeda dengan lambung rodensia pada umumnya.Lambung bagian non glandular
mempunyai lekukan mukus yang dilapisi dengan epitel skuamous berlapis.Bagian
glandular adalah korpus yang dilapisi oleh epitel kolumnar sederhana.Kelenjar gastrik
tersusun dari sel parietal dan sel chief. Bagian pilorus dari lambung dikarakterisasi
oleh mukus dari epitel kolumnar sederhana.[22,23]
Sebagian besar lambung mamalia menghasilkan pepsinogen A, pepsinogen C,
cathepsin D, dan cathepsin E. Pada tikus hanya dihasilkan pepsinogen C dan cathepsin
D serta E. Sel mast di lambung berbeda secara morfologi, histologi, dan farmakologi
dari sel mast pada bagian tubuh lainnya. Histamin, diketahui berperan dalam
kontraktilitas usus.[22]

15

2.3.2 Histofisiologi gaster secara luas


Lambung adalah reservoar untuk menampung makanan dan pengolahannya oleh
produk kelenjar kelenjar dalam mukosa. Kapasitasnya cukup besar. Bila kosong,
volume lumennya hanya 50 75 ml, namun 1,2 liter dapat masuk sebelum tekanan
intraluminal mulai naik. volume secret yang dihasilkan seharinya berkisar antara 500
1000 ml.Salah satu sifat luar biasa dari mukosa lambung adalah kemampuannya
menghasilkan secret dengan pH mulai dari 2 sampai serendah 0,9.
Lambung merupakan organ gabungan eksokrin dan endokrin yang mencernakan
makanan dan mensekresikan hormone.Mukosa lambung dilapisi oleh epitel kolumner
simpleks dan terdapat sel goblet. Dinding gaster terdiri atas empat lapisan umum
saluran cerna yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa [24]
Mukosa melapisi permukaan luminal saluran pencernaan.Bagian ini dibagi
menjadi tiga lapisan, komponen utama mukosa adalah membrane mukosa, suatu
lapisan epitel bagian dalam yang berfungsi sebagai permukaan protektif serta
mengalami

modifikasi

di

daerah

daerah

tertentu

untuk

sekresi

dan

absorbsi.Membranamukosa mengandung sel eksokrin untuk sekresi getah pencernaan,


sel endokrin untuk sekresi hormon saluran pencernaan, dan epitel yang khusus untuk
penyerapan nutrisi [25].
Lamina propia adalah lapisan tengah jaringan ikat yang tipis tempat epitel
melekat. Pembuluh pembuluh darah halus, pembuluh limfe, dan serat syaraf berjalan
melewati lamina propia dan lapisan ini mengandung gut associated lymphoid tissue
(GALT) yang penting dalam pertahanan melawan bakteri usus.

16

Gambar 1.Histologi Gaster


Mukosa muskularis adalah lapisan otot polos di sebelah luar yang terletak di
sebelah lapisan submukosa.[25]
Submukosa adalah lapisan tebal jaringan ikat yang menyebabkan saluran
pencernaan memiliki elastisitas dan distensibilitas. Lapisan ini memiliki pembuluh
darah dan limfe yang besar,keduanya bercabang cabang kea rah luar ke lapisan otot
sekitarnya. [25]
Pengertian dari atrofi kelenjar, metaplasi intestinal dan kerusakan epitel
permukaan lambung yaitu: atrofi mukosa gaster ialah hilangnya jaringan kelenjar,
sehingga menyebabkan tipisnya mukosa dan menyebabkan kerusakan keras mukosa.
Hilangnya jaringan kelenjar ini dapat karena proses inflamasi yang lama dan
digantikan oleh fibrosis. Pergantian epitel antrum dengan epitel intestinal disebut
metaplasi intestinal yang menimbulkan kesan adanya atrofi kelenjar secara
mikroskopik, walaupun metaplasia sebenarnya adalah proses yang berdiri sendiri.
Atrofi mukosa oxyntic berhubungan dengan hilangnya sekresi asam lambung dan
terjadi metaplasia intestinal.Atrofi keras mukosa antrum biasanya dihubungkan dengan
metaplasia intestinal dan meninggikan resiko terjadinya keganasan.Atrofi dapat juga
ditemukan tanpa adanya metaplasia intestinal terutama pada gastritis autoimun. [26]

17

2.3.3 Faktor faktor yang mempengaruhi kerusakan gaster


2.3.3.1 Konsumsi obat yang berlebihan
Banyak sekali factor yang bisa menyebabkan kerusakan gaster, pada
beberapa kasus penyebabnya adalah pemakaian obat.Pada penderita yang sering
menggunakan aspirin, sering kali mengalami perubahan mukosa gaster dan
perdarahan.Efek iritasi obat terhadap mukosa gaster pada tiap individu berlainan,
tergantung dosis pemakaian.

Obat obat lain yang mempunyai pengaruh terhadap mukosa gaster yaitu
digitalis, yodium, antibiotic spectrum luas dan lain lain. Pathogenesis yang
dihasilkan berupa radang akibat iritasi mukosa. Kortikosteroid dosis tinggi dan
penggunaan berulang juga meningkatkan pembentukan ulkus [27,28]
2.3.3.2 Infeksi
Sejak penemuan kuman Helicobacter pylori oleh Marshall dan Warren
pada tahun 1983, kemudian terbukti bahwa infeksi Helicobacter pylori
merupakan masalah global, termasuk di Indonesia, sampai saat ini belum jelas
betul proses penularan serta patomekanisme infeksi kuman ini pada berbagai
keadaan patologis saluran cerna bagian atas (SCBA). Pada tukak peptic infeksi
Helicobacter pylori merupakan factor etiologi yang utama sedangkan untuk
kanker lambung termasuk karsinogen tipe 1 yang definitive
Infeksi Helicobacter pylori pada saluran cerna bagian atas mempunyai
variasi klinis yang luas, mulai dar kelompok asimtomatik sampai tikak peptic,
bahkan dihubungkan dengan keganasan di lambung seperti adenokarsinoma tipe
intestinal atau mucosal associated lymphoid tissue (MALT) Limfoma. [29]

18

2.3.3.3 Usia
Usia merupakan variabel yang paling berkaitan dengan prevalensi infeksi
Helicobacter pylori. Semakin tua seseorang maka semakin besar kemungkinan
terinfeksi Helicobacter pylori, karena pada orang tua terjadi penipisan lapisan
lambung dan produksi mucus yang berkurang seiring dengan bertambahnya
umur [30]
2.3.3.4 Diet
Sebuah studi kohort di Harvard School of Public Health menemukan
bahwa diet tinggi serat berhubungan dengan pengurangan resiko dalam
pengembangan ulkus peptikum. dalam waktu lebih dari 6 tahun, terjadi
penurunan resiko sebesar 45% ulkus peptikum pada orang dengan konsumsi
tinggi serat dibandingkan dengan orang yang tidak. Namun konsumsi tinggi
serat yang tidak mempunyai efek terhadap kecepatan penyembuhan ulkus.[31]

2.4 Sistem Skoring Barthel Manja


Sistem scoring Barthel Manja adalah sistem scoring yang digunakan untuk mengukur
tingkat kerusakan gaster pada penelitian dengan menggunakan dosis bertingkat. Tingkat
kerusakan yang dimaksudkan adalah mengamati gambaran histopatologis gaster yang dipulas
dengan Hematoksilin Eosin lalu diamati di bawah mikroskop dan diperiksa integritas
mukosanya [33]
Tingkat kerusakan yang akan diamati yaitu:
1. Normal, yaitu tidak terdapat perubahan pada patologis
2. Deskuamasi permukaan epitel
3. Erosi permukaaan epitel
4. Ulserasi permukaan epitel

19

BAB III
KERANGKA TEORI
3.1Kerangka Teori
secara kontak kutan

secara oral

Brodifakum
Dosis brodifakum

Kondisi organ
pencernaan (hepar,
gastrointestinal)

Gangguan
metabolisme vit Kepoxide

Jangka waktu
pemberian Brodifakum

Berat badan

Intoksikasi
brodifakum

neurologi

Saluran kemih

Gastrointestinal

Gaster

Kerusakan epitel gaster

Gambar 2. Kerangka Teori

Haematologi

Kulit

20

3.2 Kerangka Konsep

Brodifakum LD100 per


oral
Patologi Anatomi
gaster
Brodifakum LD50 per
oral

Gambar 3, Kerangka Konsep

3.3 Hipotesis
Terdapat perbedaan gambaran patologi anatomi gaster tikus wistar terhadap pemberian
brodifakum dengan dosis LD50 dan LD100

21

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pada ilmu kedokteran bidang forensik dan bidang
patologi anatomi.
4.2.Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada laboratorium Biologi Universitas Negeri Semarang dan
laboratorium WASPADA. Penelitian sampel dilakukan mulai Juni 2015. Pada bulan Juni 2015
minggu kedua dilakukan analisis data dan penyusunan laporan hasil penelitian.
4.3. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan pendekatan post
test only control group design.

Test K

Gol A

Test A

Gol B

Test B

22

Keterangan
S

: Kelompok sampel

: Kelompok control ( tidak diberikan brodifakum)

Gol A

: Kelompok perlakuan 1 (LD50)

Gol B

: Kelompok perlakuan 2(LD100)

Test K

: Test kelompok kontrol

Test A

: Test kelompok golongan 1

Test B

: Test kelompok golongan 2

4.4 Populasi dan Subject Penelitian


4.4.1 Populasi Target
Populasi target adalah tikus wistar
4.4.2 Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah tikus wistar yang terdapat pada
laboraorium Biologi Universitas Negri Semarang
4.4.3 Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah tikus wistar yang memenuhi criteria inklusi dan setelah itu
dilakukan berupa pemberian brodifakum dosis tertentu

23

4.4.3.1 Kriteria Inklusi


1. Tikus yang telah memiliki umur sekitar 1 bulan
2. Tikus yang memiliki jenis kelamin jantan
3. Tikus yang memiliki berat badan 200 250 gram
4.4.3.2 Kriteria Eksklusi
1. Tikus yang memiliki kelainan anatomi maupun gangguan pada organ organ
dalamnya.
4.4.3.3 Kriteria drop out
1. Tikus yang mati sebelum mendapatkan perlakuan.
2. Gaster tikus yang diambil setelah melewati waktu 24 jam pada waktu
kematian tikus
4.4.4 Cara Sampling
Cara pengambilan sampel adalah dengan pengambilan sampel acak
sederhana (simple randomized sampling).Sampel penelitian ini adalah gaster yang
diambil dari tikus wistar yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi. Gaster
kemudian diawetkan dengan formalin 10%

24

4.4.5 Besar Sampel


Pada penelitian eksperimental dengan rancangan diatas bisa digunakan rumus
Feder

(t-1)(r-1)15
Keterangan:
t = banyak kelompok perlakuan
r = jumlah besar sampel
Menggunakan rumus diatas dapat ditemukan bahwa jumlah besar sampel per
kelompok

r9
Sehingga pada penelitian akan digunakan:
Jumlah tikus perkelompok: 9
Jumlah tikus 3 kelompok : 27
Jumlah tikus cadangan perkelompok ; 5

4.5 Variabel Penelitian

Variabel bebas
: Dosis brodifakum
Variabel tergantung : Gambaran patologi anatomi tikus wistar
Variabel pengganggu : Metabolisme tubuh tikus wistar

4.6 Definisi Operasional

25

Jenis

Nama

variabel

Variabel

Bebas

Brodifakum

Definisi Operasional

Nilai

Brodifakum yang digunakan 1. LD50= 0,27mg/kg


adalah brodifakum murni.
Brodifakum kemudian
dibentuk menjadi agar
agar untuk mempermudah

Skala

Rasio

BB
2. LD100= 1,08
mg/kg BB

melakukan force
feeding.Brodifakum
diberikan hanya pada hari
pertama penilitian dan tikus
dibiarkan selama 7 hari
sesuai dengan dosis yang
telah ditentukan. Makan dan
minum tikus diberikan
secara ad libitum. Perlakuan
dibagi menjadi 3 kelompok,
kelompok kontrol,
kelompok dengan LD50
sebesar 0,27mg/kg BB, dan
LD100 sebesar 1,08mg/kg
BB

Tergantung

Gambaran

Gambaran mikroskopis

mikroskopis

gaster yang dimaksud

gaster tikus

adalah menilai tingkat

1. Normal
(Gambar 4.1)

Ordinal

26

wistar

kerusakan gaster dengan


mikroskop cahaya
menggunakan pembesaran
400x pada 100 sel dengan
lima lapangan pandang.
Penilaian tingkat kerusakan
sel gaster dengan sistem
skor berdasarkan modifikasi
Barthel Manja sebagai
berikut: 1.Normal :tidak ada
perubahan patologis 2.
Deskuamasi epitel berupa
kerusakan ringan epitel
tanda adanya celah. 3. Erosi
permukaan epitel berupa
celah pada satu sampai
sepuluh epitel per lesi.
4.Ulserasi : ditandai dengan
adanya celah lebih dari
sepuluh epitel per lesi. Pada
stadium ini biasanya
terdapat jaringan granulasi
dibawah epitel.

2. Deskuamasi epitel
(Gambar 4.2)
3. Erosi epitel
(Gambar 4.3)
4. Ulserasi epitel
(Gambar 4.4)

27

Gambar 4.1. Epitel normal

Gambar 4.2. Deskuamasi epitel

28

Gambar 4.3. Erosi Epitel

Gambar 4.4. Ulserasi Epitel

29

4.7 Cara Pengumpulan Data


4.7.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Gaster tikus wistar


Brodifakum
Formalin
Bahan bahan untuk metode baku histology pemeriksaan jaringan:
1. Larutan buffer formalin 10%
2. Paraffin
3. Albumin
4. Hematoksilin Eosin
5. Asam asetat
6. Larutan xylol
7. Alkohol bertingkat 70%, 80%, 90%, 96%
8. Aquades

4.7.2 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Sonde
Scalpel
Pinset
Gunting
Tempat untuk menyimpan organ sampel
Label untuk tikus
Mikroskop
Kamera

4.7.3 Cara Kerja


Penelitian dilakukan pada laboratorium biologi Universitas Negeri Semarang. 42
Tikus yang telah dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan kriteriaeksklusi, kemudian
dilakukan proses adaptasi selama 7 hari. Setelah itu dibagi menjadi 3 kelompok.
Kontrol, LD50 dan LD100. Setiap tikus diberi tanda khas sesuai kelompoknya.

30

Kemudian kelompok tikus LD50 diberikan dosis brodifakum sebesar 0,27mg/kg BB


dan kelompok tikus LD100 sebesar 1,08mg/kg BB.
Setelah tikus dikelompokkan berdasarkan dosis brodifakum, tikus akan diberikan
dosis brodifakum dalam bentuk agar - agar per oral secara force feeding pada hari
pertama. Kemudian tikus akan dibiarkan hidup dalam jangka waktu 7 hari pada
lingkungan yang telah dikontrol. Pemberian makan dan minum dilakukan secara ad
libitum.
Setelah jangka waktu 7 hari, tikus yang masih hidup akan diterminasi. Tikus yang
masuk pada kategori drop out akan dipisahkan untuk tidak diteliti. Kemudian dilakukan
otopsi untuk mengambil gaster tikus dari semua kelompok perlakuan. Gaster tikus
dibedakan menurut kelompok control, kelompok LD50, dan Kelompok LD100
Gaster tikus wistar yang sudah diambil dengan cara diotopsi dimasukkan ke
dalam larutan formalin 10% untuk mencegah terjadinya kerusakan sel sel gaster.
Kemudian sampel gaster dibawa ke laboratorium WASPADA.
Sampel gaster tikus wistar diproses menjadi preparat secara metode baku
histology dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin. Dari setiap sampel gaster dibuat
preparat dengan potongan longitudinal. Preparat tersebut akan dibaca dalam lima
lapangan pandang dengan perbesaran 400x dengan menggunakan mikroskop. Sasaran
pembacaan preparat adalah adanya deskuamasi epitel, erosi permukaan epitel dan
ulserasi epitel.

4.8 Alur Penelitian

Tikus wistar yang memenuhi kriteria


inklusi dan eksklusi
Adaptasi 7 hari

31

Kel. LD50

Kel.
Kontrol

Kel.
LD100

Pemberian
brodifakum

Perawatan terkontrol
selama 7 hari

hidup

mati

terminasi

Pengambilan gaster
secara otopsi

Pemeriksaan Gambaran
Patologi Anatomi
Pengumpulan Hasil
Analisa Data
Hasil Data

4.9 Analisa Data


Data primer didapatkan dari hasil pengamatan gambaran patologi anaomi gaster yang
didapatkan dengan cara pembuatan preparat dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin. Setelah
data pengamatan gambaran patologi anatomi gaster setiap tikus terkumpul, hasil tersebut

32

akan di cek kembali. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan SPSS for
windows 18.0 . Uji hipotesis yang dilakukan adalah Mann - Whitney.

4.10 Etika Penelitian


Penelitian akan dilakukan setelah mendapat ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian
Kesehatan (KPEK) Fakultas Kedokteran UNDIP / RSUP Dr. Kariadi Semarang

DAFTAR PUSTAKA

33

1. Acqua,D.C., Pronczuk, J. Brodifacum International Programme on Chemical Safety


Poisons

Information.

[Diakses

pada

10

Jan

2015].

Diakses

melalui

http://www.inchem.org/documents/pims/chemical/pim077.htm
2. Littin, K.E, OConnor,C.E, Eason,C.T. Comparative Effects of Brodifacoum on Rats and
Possums. Vertebrate Pests. New Zealand Plant Protection 53:310-315 (2000). Nzpp
533100
3. Malcolm R. Hadler (1992) Forty Five Years of Anticoagulant Rodenticides Past,
Present, and Future Trends
4. Munaf, Sjamsuir. 1997. Keracunan Akut Pestisida. Jakarta: Widya Medika
5. Kostova. I. Synthetic and natural coumarins as cytotoxic agents.
Curr. Med. Chem. 2005, 5, 29-46.
6. Hoult. J.R.S.; Paya, M. Pharmacological and biochemical actions
of simple coumarins: natural products with therapeutic potential.
Gen. Pharmacol. 1996, 27, 713-22.
7. Vassallo, J. D., et al. (2004). "Metabolic detoxification determines species differences in
coumarin-induced hepatotoxicity". Toxicological sciences : an official journal of the
Society of Toxicology 80 (2): 24957
8. Frequently Asked Question about coumarin in cinnamon and other foods .The German
Federal Institute for Risk Assessment. 30 October 2006.
9. Coumarin. Occupational Safety and Helath Administration
10. Bye, A. and H. K. King. 1970. The biosynthesis of 4-hydroxycoumarin and dicoumarol
byAspergillus fumigatus Fresenius. Biochemical Journal 117, 237-45.
11. Lipton RA & Klaas EM (1984) Human ingestion of superwarfarin rodenticide resulting
in a prolonged anticoagulant effect.
12. C. Dell Acqua,. J. Pronczuk,. 1990. Brodifacoum Poison Information Monograph .
London. (Updated 2014)
13. J.R Dowding, E.C murphy, and C.R Veitch.Brodifacoum Residues in Target and NonTarget Species Following an Aerial Poisoning Operation on Motuihe Island, Hauraki
Gulf, New Zealand ( New Zealand Journal of ecology, vol. 23, no. 2, 1999 ; 207-210)

34

14. Bachman KA & Sullivan TJ (1983) Dispositional and pharmacodynamics characteristics


of brodifacoum in warfarin-sensitive rats
15. Fitzgerald K & Bronstein AC (1987).
anticoagulant

rodenticide

Comparison of first and second generation

poisonings:

fourteen

canine

cases.

Abstrak

dari

AACT/aapcc/abmt/capcc scientific meetings. Sept 27.


16. Jones E, Growe GH, Naiman SC (1984) Prolonged anticoagulation in rat poisoning
17. World Health Organization. Data Sheet on Pesticides no.57 Brodifacoum. [Diakses pada
12 Jan 2015]. Diakses melalui http://www.inchem.org/documents/pds/pds/pest57_e.htm
18. American Bird Conservancy. Pesticide Profile Brodifacoum. [Diakses pada 12 Jan
2015].

Diakses

melalui

http://www.abcbirds.org/abcprograms/policy/toxins/Profiles/brodifacoum.html
19. Amori, G. (1996). Mus musculus, IUCN Red List of Threatened Species.
20. Sherwood L. Human physiology. Ed 7. Canada: Nelson Education. 2010.
21. James G. Fox (2007) The Mouse in Biomedical Research: Normative Biology,
Husbandry, and Models 2nd edition
22. Samuelson (2007) Mouse Atonal Homolog 1 Directs Intestinal Progenitors to Secretory
Cell Rather than Absorptive Cell Fate
23. Peggy J. Danneman (2000) The Laboratory Mouse
24. Bloom & Fawcet, D.W. Buku Ajar Histologi. 12th ed. Jakarta : EGC, 2002;p. 536-50
25. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem . Jakarta : EGC ;1996; p. 541-2
26. Tanurahardja B. Perbandingan Derajat infeksi Helicobacter pylori dan Perubahan
Patologik

Mukosa

Lambung.

Universitas

Indonesia.

2000.

Available

from:

http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/metadata-76847.pdf
27. Robins S, Kumar R. Buku Ajar Patologi. 7thed. Jakarta : EGC ; 2007
28. Kasno, Prasetyo A. Patologi Rongga Mulut dan Traktus Gastrointestinal. Semarang :
Badan Penerbit Undip, 2003: p.66-70
29. Suyono Slamet. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 3nd ed, Vol 2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2001; p. 119-31
30. Mukheriee

S.

Chronic

Gastritis.

2009.

Diambil

dari:

http://www.emedicine.medscape.com
31. Rydning A, Weberg R, Lange O, Berstad A. Healing of benign gastric ulcer with lowdose antacids and fiber diet. Gastroenterology. 1986;91 : 56-61

35

32. Syarif, Amir, et all. Farmakologi dan Terapi ed. 5, Jakarta:departemen farmakologi dan
terapeutik fakultas kedokteran Universitas Indonesia. 2007
33. Barthel M, Hapfelmeier S, Quintanilla Martinez L, Kremer M, Rohde M, Hodgart M. et
al. Pretreatmen of mice with streptomycin provides a Salmonella enteric serovar
typhimurium colitis model allows analysis of both pathogen and host. c2003. Available
from http://iai.asm.org/egi/content/full/71/52839

Anda mungkin juga menyukai