Anda di halaman 1dari 4

Artikel Media 2

Dilema Kurikulum Pendidikan Indonesia


Pendidikan merupakan keniscayaan dalam hidup ini. Seseorang tidak akan pernah
mencapai kualitas atau derajat kemanusiaan yang hakiki tanpa adanya pendidikan yakni
pendidikan yang pada praktiknya mampu menyadarkan manusia akan esensi kemansiaannya dan
mampu menggali serta mengembangkan potensi yang terdapat pada dirinya, pendidikan yang di
dalamnya bersemayam keilmuan yang sakral dan nilai-nilai moral yang luhur, itu lah sejatinya
pendidikan yang kita impikan. Oleh sebab itu, pendidikan adalah milik bersama, tanpa terkecuali
kaum papa atau kaya, kaum konglumerat atau biasa, kaum perkotaan maupun pedesaan, pelosok
atau bahkan pedalaman semuanya berada pada posisi yang sama, hak yang sama dalam
memperoleh pendidikan.
Negara dalam hal ini berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya akan pendidikan
yang bermutu dan dalam hal ini pemerintah Indonesia pun telah menempatkan pendidikan pada
posisi yang begitu penting. Hal itu nampak pada amanat Undang-Undang No.20 tahun 2003
tentang Sitem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan
yakni Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ini lah cita-cita bangsa
Indonesia, jati diri pendidikan Indonesia. Untuk mencapai cita-cita atau tujuan pendidikan
tersebut tentu dalam proses pelaksanaannya tidak akan dapat berjalan mulus tanpa adanya
komponen-komponen yang di dalamnya bersifat interdependensi seperti: kurikulum pendidikan,
guru, siswa, materi pembelajaran, metode pembelajaran, evaluasi pembelajaran, sarana dan
prasarana, fasilitas dan berbagai penunjang (sub komponen) lainnya. Dalam pada itu tujuan
pendidikan menempati posisi yang vital sebagai landasan dan pedoman pendidikan sebab
pendidikan seperti apa yang hendak dijalani, bagaimana harus menjalani, kemana pendidikan
yang hendak dijalani akan diarahkan sangat berpengaruh dan bergantung pada tujuan yang telah
ditetapkan. Oleh Sebab itu jikalau hasil pendidikan keluar dari atau tidak sesuai dengan
tujuannya maka dapatlah dikatakan bahwa pendidikan yang telah terlaksana itu tidak berhasil.
Demikian juga, tujuan pendidikan akan berpengaruh pada kurikulum yang diaplikasikan dalam
proses pendidikan itu sendiri dan akan menjadi landasan dalam perancangan kurikulum.
Selanjutnya, kurikulum sebagai salah satu komponen dari pendidikan pun menempati posisi yang
strategis dalam pendidikan. Mengingat posisi yang strategis tersebut maka banyak yang
mengibaratkan kurikulum sebagai Jantungnya Pendidikan atau Mesinnya Pendidikan.
Mesin pendidikan di Indonesia telah menempuh perjalanan panjang yang berliku seiring
melajunya roda perkembangan zaman sehingga ia pun telah mengalami beberapa kali servis dan
bahkan ganti mesin. Demikian adanya dinamika pendidikan terus bergeser dari masa ke masa
dan tentunya hal ini mempengaruhi paradigma pembelajaran. Contoh kecil, jikalau dahulu siswa
lebih familiar dengan gaya pembelajaran dikte, mencatat, mengingat lalu menghafal (teachercenter learning) maka dewasa ini dengan perkembangan informasi dan tekhnologi yang pesat
siswa bisa saja lebih cepat mengakses informasi dan pelajaran tambahan dari media-media lain
seperti internet dll. Hal ini dapat mengakibatkan beralihnya gaya belajar yang tadinya Teacher-

Artikel Media 2

Cemter Learning menjadi Student-Center Learning, artinya aktivitas pembelajaran bukan


berarti akan berpusat pada siswa semata, hanya saja siswa lebih diberikan kesempatan untuk
mencari tahu, mengidentifikasi, menganalisis dan menyimpulkan materi pembelajaran sehingga
pembelajaran akan menjadi lebih produktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dan ini bukan
berarti akan mematikan kreatifitas dan produktifitas guru, justru dengan gaya belajar seperti ini
guru dituntut untuk lebih dulu kreatif dan produktif sehingga ia bisa memandu, membimbing,
mengontrol, mengarahkan dan memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran. Itu adalah
merupakan hal yang wajar mengingat guru adalah bukan seorang yang serba tahu akan sesuatu,
hanya saja guru memiliki berbagai kelebihan dan kelebihannya itu lah yang ditransfer ke siswa
dan memang guru harus tanggap dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Kendatipun
demikian, penulis bukan berarti mengecilkan posisi sang guru sebagai pendidik sejati yang
mendermakan ilmunya. Oleh sebab itu pendidikan atau kurikulum pendidikan sebagaimana pun
canggihnya namun tidak tertinjau secara normatif adalah pendidikan yang tidak layak untuk
dijalani.
Apa yang terjadi pada wajah pendidikan Indonesia dewasa ini, praktik bongkar pasang
kurikulum, demikian bahasa para kritikus yang dilakukan oleh pembuat kebijakan (policy
maker) yang dalam hal ini Kemendikbud memang menjadi momok bagi para praktisi pendidikan
dan kaum guru yang selama ini menjadi candu kurikulum lama. Tentu saja kenyamanan mereka
dalam megemban tugas selama ini akan merasa terusik ketika mendengar wacana mengenai
pergantian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013. Mengingat
saat ini kita tengah berada pada akhir tahun pembelajaran maka hal itu bukan merupakan sebuah
wacana lagi akan tetapi sudah di ujung tanduk dan siap membuka gerbang-gerbang sistem
pendidikan sekolah kita dan kini kita tengah menumpangi kereta transisi yang akan membawa
kita menuju arah pergeseran paradigma pendidikan dengan mesin baru yakni kurikulum 2013.
Kemudian polemik pun semakin mencapai klimaksnya, kritik dan pembelaan terus mengalir dari
berbagai kalangan seperti guru, pakar, cendikiawan dan pemerhati pendidikan. Ada yang serta
merta menolak implementasinya, ada yang membelanya dan memang harus diimplementasikan,
dan tidak sedikit yang apatis alias tidak menghiraukan kebijakan itu.
Benarkah Indonesia akan kembali ke zaman batu jika menerapkan kurikulum 2013?
Ada kritik yang begitu tajam datang dari kalangan pendidik. Dengan merujuk pada kondisi
dunia yang kian mengglobal, mereka berasumsi bahwa rencana perubahan kurikulum 2013
hanya akan membawa Indonesia kembali ke zaman batu. Benarkah kiranya demikian? Dalam hal
ini, kita perlu mengkaji ciri dan model pembelajaran kurikulum 2013 yang diformulasikan oleh
kemendikbud sebagai berikut:
Ciri abad 21
: Informasi, Komputasi, Otomasi, Komunikasi.
Model pembelajaran: Mencari tahu, Merumuskan masalah, Analitis, Kerjasama dan
Kolaboratif. (Kemendikbud.go.id)
2 (dua) hal tersebut di atas jelas menunjukkan adanya inovasi pendidikan yang adaptif
dengan perkembangan zaman (globalisasi). Jadi, mungkinkah kiranya kurikulum 2013 akan
membawa kita kembali ke zaman batu yang belum mengenal aksara?

Artikel Media 2

Esensi Kurikulum 2013


Dalam kurikulum 2013 kemendikbud melakukan perbaikan dalam empat standar
kurikulum yakni standar kompetensi lulusan, proses, isi dan penilaian. Dengan demikian
pengembangan kurikulum akan berdampak pada peningkatan empat entitas yaitu:
1. Peserta didik akan lebih produktif, kreatif, inovatif dan afektif
2. Pendidik dan tenaga kependidikan akan lebih mudah dan bergairah dalam mengajar
3. Manajemen satuan pendidikan akan lebih mengedepankan layanan pembelajaran termasuk
bimbingan dan penyuluhan, antisipasi atas semaraknya variasi kegiatan pembelajaran.
4. Negara dan bangsa dapat meningkatkan reputasi internasional dalam bidang pendidikan,
meningkatkan daya saing dan berkembangnya peradaban bangsa.
5. Masyarakat umum akan memperoleh lulusan sekolah yang kompeten, kebutuhan pendidikan
dapat dipenuhi oleh sekolah dan dapat meningkatkan kesejahteraannya. (kemendikbud.go.id.)
Jikalau demikian adanya, tentu hal tersebut dapat menepis stigma yang melekat pada
profesi guru selama ini, terlebih hasil survei kesusu firma pendidikan Pearson yang ditayangkan
oleh TV Al-jazeera beberapa saat yang lalu sedikit tidak dapat disanggah, dalam ulasannya
dengan gamblang menyatakan Only 51 percent of Indonesian teacher have the right
qualifications to teach yang dalam bahasa Indonesianya berarti Hanya 51% guru Indonesia
memiliki kualifikasi yang baik untuk megajar.
Kesiapan tenaga Pendididik (Guru ).
Penulis akan kembali menarik statement di atas; sebagaimana pun canggihnya kurikulum,
fasilitas, media, megahnya bangunan fisik, sarana dan prasarana sekolah, semua itu bukanlah hal
yang bermakna tanpa adanya sang guru, jikalau guru tidak siap mengajar apalah artinya media
belajar yang canggih?. Demikian pentingnya peran seorang guru. Oleh sebab itu, kendaraan
dengan mesin baru dan canggih tersebut tentu bukan apa-apa jikalau hanya jadi pajangan saja,
tanpa dikendarai dan adanya pengemudi. Kemudian, untuk dapat bersaing dengan kendaraan
canggih lainnya tentu pengemudi juga harus handal dan untuk menjadi pengemudi yang handal
tidaklah cukup hanya dengan kursus mengemudi 1 bulan saja, pengemudi harus tahu betul seluk
beluk mengemudi sehingga ia dapat bersaing di arena kompetisi global. Berkaitan dengan
kurikulum 2013 memang ada rencana pelatihan guru sebelum uji publik atau diimplementasikan.
Tentu, kami (kaum guru) berharap agar pelatihan yang diagendakan tersebut secara konseptual
dapat mematangkan dan menyeragamkan pemahaman guru sehingga pada praktiknya nanti tidak
menjadi prematur. Oleh sebab itu, kesiapan guru harus lebih diutamakan daripada penargetan
keberhasilan kurikulum 2013 semata sebab kesiapan guru adalah hal pertama dan utama.
Polemik ada baiknya diakhiri agar kondisi yang memang telah carut marut tidak semakin
meruncing. Kalau kurikulum 2013 masih dianggap asing dan serem kenapa kita tidak sama-sama
jinakkan dan kita pelihara jikalau memang ia mampu menjawab problematika pendidikan di
Indonesia selama ini.

Artikel Media 2

Wallahualam bissawab.
Referensi:
www.bakti.org
kemendikbud.go.id

Dikirim ke Lombok Post dan Radar Mandalika pada tanggal 01 dan 03 Maret 2013 (Gagal terbit)

Anda mungkin juga menyukai