INFERTILITAS PRIA
INFERTILITAS PRIA
Pemahaman kita terhadap fungsi reproduksi pria dan pentingnya faktor pria
dalam infertilitas, telah berkembang dengan sangat signifikan selama dekade
terakhir. Di masa lalu, faktor wanita menjadi fokus primer perhatian dan faktor
pria dianggap sebagai penyebab infertilitas yang relatif jarang. Kita sekarang
mengetahui bahwa abnormalitas pada laki-laki merupakan penyebab tunggal
pada sekitar 20% pasangan infertil dan merupakan faktor penting pada 20-40%
pasangan dengan kegagalan reproduksi.
Banyak pria infertil disebabkan oleh gangguan yang dapat dikoreksi secara
medis ataupun operatif, yang bila terdiagnosis dan diterapi dengan tepat, maka
dapat memungkinkan pria tersebut berkonsepsi secara normal dengan
pasangannya. Pada beberapa kasus lainnya, abnormalitas semen yang ringan
namun penting, dapat diatasi dengan inseminasi intrauterine (IUI). Saat semua
usaha tersebut gagal atau tidak dapat dilakukan, maka proses assisted
reproductive technologies (ART) atau disebut bayi tabung, masih dapat
memberikan kemungkinan untuk sukses. In vitro fertilization (IVF) dengan
intracytoplasmic sperm injection (ICSI) yakni injeksi langsung sel sperma tunggal
ke oocyte mature, telah menawarkan kesempatan yang realistis untuk menjadi
ayah bagi pada banyak laki-laki yang sebelumnya infertil. Inseminasi buatan
dengan menggunakan sperma donor, yang merupakan pilihan satu-satunya bagi
banyak pasangan dengan infertilitas pria, tetap merupakan strategi terapi yang
penting dan sangat efektif, namun saat ini dianggap sebagai terapi lini terakhir.
Dokter-dokter yang menangani pasangan infertil harus tahu bagaimana
melakukan evaluasi dasar terhadap fungsi reproduksi laki-laki dan bagaimana
mengenali para lelaki yang memerlukan evaluasi yang lebih ekstensif atau
canggih serta terapi yang lebih canggih pula. Chapter ini menjelaskan regulasi
fungsi testicular, mendiskusikan analisis semen dan tes-tes lain untuk fungsi
sperma, menjelaskan penyebab infertilitas pria, dan meninjau konsep saat ini
mengenai terapi infertilitas pria.
menjalani pembelahan mitosis serial dan saat pubertas, terdapat sekitar 600 juta
sel di setiap testis.
produksi sekitar 100-200 juta sel sperma setiap hari dan lebih dari 1 triliun
selama masa hidup normal. Saat spermatogenesis dimulai, spermatogonia
diploid (46 kromosom) tumbuh menjadi spermatocyte primer sebelum memasuki
fase meiosis. Pembelahan meiosis pertama menghasilkan 2 spermatocyte
sekunder haploid (23 kromosom), yang masing-masing menghasilkan 2
spermatid selama pembelahan meiosis kedua. Selanjutnya, setiap spermatid
menjalani proses pematangan menjadi spermatozoa matang. Sekitar separuh
dari semua sperma yang potensial tersebut hilang selama proses meiosis.
Proses spermatogenesis diarahkan oleh gen-gen yang terletak pada
kromosom Y dan membutuhkan waktu sekitar 70 hari untuk menyelesaikannya.
Kemudian diperlukan 12-21 hari lagi untuk mentransport sperma dari testis
melalui
epididymis
ke
duktus
ejakulatorius.
Selama
perjalanan
melalui
Fungsi testis normal memerlukan peran kerja dari kedua gonadotropin dari
pituitary, yakni follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH).
LH menstimulasi sel-sel Leydig di interstitium testis untuk mensintesis dan
mensekresi testosterone (sekitar 5-10 mg per hari). Aksi LH secara tidak
langsung dibantu oleh FSH, yang menginduksi pemunculan reseptor LH di selsel Leydig testis. Testosterone disekresikan baik ke sirkulasi maupun ke lumen
tubulus seminiferous, di mana testosterone terkonsentrasi sangat tinggi hingga
ke level yang dibutuhkan untuk mendukung spermatogenesis di epithelium
germinal dan maturasi sperma di epididymis; konsentrasi dalam testis 50-100 kali
lebih tinggi daripada di darah. Aksi-aksi testosterone dalam mendukung
spermatogenesis
dimediasi
oleh
sel-sel
Sertoli
yang
melapisi
tubulus
seminiferous dan mengandung reseptor androgen. FSH berikatan dengan selsel Sertoli dan menstimulasi produksi ABP, androgen binding protein, yang
Sekresi inhibin-B oleh sel Sertoli dimodulasi secara tidak langsung oleh LH
melalui testosterone, yang menghambat ekspresi gen inhibin-B di sel Sertoli.
Tidak diragukan lagi, mekanisme regulasi autokrin/parakrin lain yang melibatkan
produksi growth factor lokal dan hormon peptida juga berperan dalam proses
tersebut, seperti sebuah interaksi yang komplek yang bekerja pada folikel
ovarium. Sel-sel Sertoli pada testis analog dengan sel-sel granulosa di ovarium
dan sel-sel Leydig setara fungsinya dengan sel-sel theca.
Sejauh
mana
FSH
dan
LH
diperlukan
untuk
mengawali
dan
oleh
eksperimen
telah
menghasilkan
bukti-bukti
yang
saling
saja
dapat
menginisiasi
spermatogenesis,
meskipun
terdapat
untuk
mempertahankan
spermatogenesis
juga
sama
FSH
dalam
mempertahankan
spermatogenesis.
Sebaliknya,
pengembalian fertilitas setelah diberikan terapi dengan hCG eksogen saja pada
Juga,
pada
pria
dengan
idiopathic
hypogonadotropic
Kualitas semen dan fertilitas pria serta produksi androgen dan level
Hubungan antara usia dan fertilitas pada pria lebih sulit untuk ditentukan
daripada
wanita,
umumnya
karena
perbedaan
fundamental
dalam
gametogenesis di antara kedua jenis kelamin. Pada wanita, jumlah oocyte saat
lahir menurun seiring dengan pertambahan usia hingga mencapai penghentian
secara fungsional pada menopause, dan fertilitas menurun seiring jumlah oocyte
yang tersisa. Pada pria, pembelahan mitosis pada spermatogonia di sepanjang
hidup akan terus mengisi suplai germ cell dan spermatogenesis berlanjut dengan
baik hingga usia tua, sehingga memungkinkan pria untuk bereproduksi bahkan
pada usia sangat tua. Meskipun fertilitas pada pria tidak tampak menurun seiring
pertambahan usia, efek-efek dari pertambahan usia tidak terlalu berbeda.
Masalah ini menjadi penting saat ini karena makin banyak jumlah pria yang
memilih untuk memiliki anak pada usia tua. Di US, tingkat kelahiran dengan pria
berusia antara 35 45 tahun meningkat hampir 30% antara tahun 1980
(68.2/1.000 pria) dan tahun 2000 (88.3/1.000).
Volume semen, mortilitas sperma, dan proporsi sperma yang normal
secara morfologis akan menurun secara bertahap seiring pertambahan usia,
namun tidak untuk konsentrasi sperma.
secara umum serta parameter endokrin yang ada tidak secara akurat
memprediksikan kapasitas fertilisasi. Sebuah studi cohort terhadap hampir 100
pria usia 22-80 tahun dengan riwayat fertilitas yang tidak diketahui, menunjukkan
bahwa terjadi penurunan volume semen (-0.03 ml pertahun), motilitas total (0.7% pertahun), motilitas progresif (-3.1% pertahun), dan hitung total jumlah
sperma (-4.7% pertahun). Studi lain yang meneliti hubungan antara usia dan
kualitas semen di antara 400 pasangan pria dari wanita yang ingin mendapatkan
kehamilan melalui IVF dengan donor oocyte, menemukan bahwa hitung total
sperma motile menurun sekitar 2.5 juta sperma per tahun.
Seimbang dengan hal tersebut, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa
tingkat kehamilan menurun dan waktu yang dibutuhkan untuk konsepsi
meningkat seiring pertambahan usia pada pria. Pada penelitian mengenai efek
usia partner pria terhadap tingkat kehamilan, usia partner wanita dan penurunan
frekuensi coitus dengan makin meningkatnya usia sudah jelas dan menjadi faktor
penting yang mempengaruhi. Di antara sedikit studi dengan kontrol terhadap
usia wanita, tingkat kehamilan untuk pria >50 tahun, 23-38% lebih rendah
daripada pria usia 30 tahun. Untuk lelaki yang berusaha untuk memiliki anak,
probabilitas kemungkinan terjadinya kehamilan dalam 1 tahun adalah sekitar
50% lebih rendah di usia >35 tahun daripada <25 tahun. Hasil dari sebuah
penelitian di Inggris (dengan penyesuaian usia partner dan frekuensi coitus)
menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk konsepsi, 5 kali lipat lebih
lama untuk pria usia >45 tahun daripada pria <25 tahun, bahkan saat analisis
dilakukan dengan membatasi pria dengan partner muda. Dua studi lainnya
menyimpulkan bahwa fertilitas pria mungkin mulai menurun di akhir usia 30an.
Meskipun data yang didapatkan dari siklus IVF resipien donor oocyte (di mana
semua oocyte donor masih muda dan sehat) menunjukkan tidak adanya bukti
perubahan terkait usia pada tingkat fertilisasi dan kelahiran hidup, namun usia
rata-rata pria pada studi tersebut adalah <42 tahun (rentang 22-64 tahun).
Terdapat beberapa mekanisme biologis yang mungkin berkontribusi
terhadap penurunan fertilitas pria seiring usia. Yang pertama adalah mekanisme
yang melibatkan perubahan seluler atau fisiologis pada traktus reproduksi pria.
Testis dan prostate mengalami perubahan morfologis seiring penuaan yang
mungkin mempengaruhi produksi sperma dan properti biokimia dari semen.
Studi otopsi terhadap pria yang meninggal karena kecelakaan telah menemukan
terjadinya penyempitan dan sclerosis tubulus seminiferous, penurunan aktivitas
spermatogenik, dan penurunan germ cell serta sel Leydig seiring peningkatan
usia. Mekanisme yang kedua adalah perubahan pada axis hypothalamuspituitary-testicular seiring dengan pertambahan usia. Level FSH rata-rata pada
pria meningkat setelah usia 30 tahun, yang menunjukkan bahwa lingkungan
endokrin mulai berubah pada pertengahan usia kehidupan. Penurunan volume
semen mungkin terkait dengan penurunan produksi cairan yang distimulasi
androgen di prostat dan vesikula seminalis karena penurunan level testosterone
seiring pertambahan usia. Mekanisme ketiga, abnormalitas jumlah dan struktur
kromosom sel sperma meningkat frekuensinya seiring usia. Pria dengan usia
yang lebih tua cenderung merokok bila dibandingkan pria muda (dengan
akumulasi waktu yang lebih lama) dan lebih lama terekspose gonadotoksin yang
menyebabkan
kerusakan
DNA.
Juga
terdapat
beberapa
bukti
yang
Saat ini
telah tersedia kuesioner yang telah divalidasi untuk proses evaluasi pria pada
usia tua.
Pria dengan gejala atau tanda defisiensi androgen memerlukan evaluasi
berupa pengukuran level total testosterone dalam serum, idealnya pada jam-jam
pagi hari untuk meminimalkan pengaruh ritme sirkadian sekresi testosterone
yang bersifat pulsatile. Total testosterone dalam serum tidak hanya mencakup
free testosterone, namun juga testosterone yang berikatan dengan albumin dan
SHBG. Bioavailable testosterone adalah jumlah dari free testosterone dan
testosterone yang terikat albumin dan pengukurannya sangat terkait dengan
densitas mineral tulang serta fungsi seksual dan kognitif pada studi epidemiologi.
Karena level testosterone total dalam serum terkadang dapat salah interpretasi,
beberapa pakar lebih memilih untuk menghitung free testosterone atau
bioavailable testosterone, namun akurasi dari pemeriksaan free testosterone
telah dipertanyakan (Chapter 13) dan pemeriksaan ini tidak tersedia luas. Index
free testosterone (FTI) yang dihitung dari pengukuran testosterone total dan
SHBG (testosterone total/SHBG) memberikan pengukuran langsung jumlah
bioavailable testosterone. Sebuah konsensus para pakar menyebutkan bahwa
konsentrasi
testosterone
total
di
bawah
200
ng/dl
merupakan
bukti
10
sekunder
yang
memerlukan
evaluasi
tambahan
berupa
menunjukkan bahwa salah satu dari formulasi tersebut lebih unggul dari yang
lain. Tujuan terapi adalah untuk meningkatkan konsentrasi testosterone dalam
serum hingga di atas konsentrasi sebelum terapi, tanpa melebihi nilai normal
pada pria dewasa muda . Dehydroepiandrosterone dapat dikonversikan menjadi
testosterone dan sudah tersedia secara komersial sebagai suplemen diet oral
yang sehat; dosis standar (50-100 mg/hari) secara umum tidak meningkatkan
konsentrasi testosterone dalam serum, meskipun dosis yang lebih tinggi dapat
meningkatkannya.
Terapi androgen harus dimonitor karena resiko kesehatan serta manfaat
terapi jangka panjang, belum diketahui.
jantung, paru, prostat), pemeriksaan serum PSA (prostate specific antigen), dan
hitung darah lengkap, harus dilakukan; biopsy prostate direkomendasikan bila
11
hasil colok dubur atau pemeriksaan serum PSA hasilnya abnormal. Dalam 3
bulan setelah terapi dimulai, pria yang menerima terapi androgen harus
menjalani evaluasi peningkatan berat badan dan tanda-tanda adanya edema
perifer, gynecomastia atau nyeri tekan payudara, gangguan tidur, dan
pembesaran prostate. Monitoring yang direkomendasikan juga termasuk
pemeriksaan hemoglobin atau hematocrit dan serum PSA. Peningkatan cepat
kadar serum PSA (>1 ng/ml) segera setelah dimulainya terapi menunjukkan
adanya kemungkinan kanker prostate yang tidak terdeteksi dan dapat menjadi
alasan untuk menghentikan terapi sementara dilakukan pemeriksaan prostate
secara teliti. Testosterone di sirkulasi juga harus diperiksa untuk memastikan
bahwa terapi berhasil mencapai target konsentrasi, namun respon klinis subyektif
mungkin berupakan penanda terbaik untuk efektifitas dari terapi androgen
empiris. Pria dengan respon klinis bagus, tidak ada efek samping, dan level
testosterone normal, dapat melanjutkan terapi, namun harus kembali menjalani
evaluasi setelah 6 bulan dan selanjutnya setiap 1 tahun. Tetap harus dipikirkan
bahwa respon klinis juga dapat merefleksikan reaksi placebo. Bila osteoporosis
menjadi salah satu indikasi untuk dilakukan terapi, bone mineral density juga
harus dievaluasi ulang setidaknya 1-2 tahun setelah terapi dimulai.
EVALUASI INFERTILITAS PRIA
Infertilitas pada pria dapat disebabkan oleh berbagai faktor penyebab.
Beberapa
penyebab
seperti
obstruksi
duktus
dan
hipogonadotropik
memungkinkan
Untuk mengidentifikasi individu dengan infertilitas yang tidak dapat dikoreksi
namun dapat diatasi dengan IUI atau penggunaan berbagai bentuk ART
Untuk mengidentifikasi individu dengan abnormalitas genetik yang dapat
mempengaruhi kesehatan dari keturunannya yang didapat melalui proses ART
12
Indikasi Evaluasi
Evaluasi terhadap partner pria harus dimulai dengan waktu yang sama
dengan evaluasi partner wanita yakni secara umum bila kehamilan gagal terjadi
dalam 1 tahun dengan hubungan seksual reguler tanpa proteksi. Evaluasi dapat
dilakukan lebih awal untuk pria bila diketahui terdapat faktor resiko infertilitas,
pria dengan partner berusia 35 tahun atau lebih (di mana penting untuk
mengidentifikasi semua faktor infertilitas yang potensial secepat dan seefisien
mungkin), dan pria yang memiliki alasan untuk mempertanyakan fertilitasnya.
Untuk evaluasi terhadap pria, bagian paling penting dari penggalian riwayat
dan pemeriksaan fisik meliputi hal-hal berikut:
Penggalian riwayat
o Durasi infertilitas dan riwayat fertilitas sebelumnya
o Frekuensi coitus dan adanya disfungsi seksual
o Semua hasil evaluasi atau terapi infertilitas sebelumnya
o Penyakit masa anak dan masa pertumbuhan
o Riwayat operasi sebelumnya, indikasi dan hasilnya, serta penyakit sistemik
adanya atrofi testis. Onset dan tingkat dari perkembangan seksual sekunder
dapat menjadi penanda kemungkinan endokrinopati. Obstruksi duktus dapat
13
evaluasi
infertilitas
dilakukan
oleh
seorang
ginekolog,
maka
pemeriksaan fisik pada pria dapat ditunda untuk dilakukan analisis semen
terlebih dahulu, bila tidak terdapat riwayat abnormalitas genital, trauma, operasi,
atau disfungsi seksual.
(hypergonadotropic
hypogonadism)
akibat
abnormalitas
genetik
14
15
16
pria fertil.
parameter yang diobservasi pada pria fertil dan infertil. Rentang referensi normal
tidak secara pasti merepresentasikan nilai minimal absolut yang dibutuhkan
untuk konsepsi; banyak pria fertil dengan nilai di luar rentang normal dan banyak
pria infertil berada dalam rentang nilai normal. Nilai di luar rentang normal
menunjukkan faktor infertilitas pada pria tersebut mungkin memerlukan
tambahan evaluasi klinis atau laboratoris, namun setiap parameter harus
dipertimbangkan secara keseluruhan.
mungkin hanya memiliki sedikit signifikansi bila volume semen, motilitas sperma
dan proporsi sperma yang abnormal, masih dalam rentang normal. Sebaliknya,
densitas sperma yang normal memiliki kepentingan yang besar bila volume
semen sangat rendah atau terjadi ketidaknormalan yang besar pada proporsi
sperma yang motil/normal. Secara keseluruhan, kemungkinan infertilitas pada
pria makin meningkat dengan makin banyaknya jumlah parameter utama analisis
semen (konsentrasi, motilitas, morfologi) yang berada di rentang sub-fertil;
kemungkinannya adalah 2-3 kali lebih tinggi bila salah satu dari tiga tersebut
abnormal, 5-7 kali lebih tinggi bila terdapat dua yang abnormal, dan 16 kali lebih
tinggi bila ketiganya abnormal.
Meskipun prosedur detail untuk analisis semen telah ditentukan oleh WHO,
metode dan akurasi dari analisis semen sangat bervariasi karena dikerjakan oleh
dokter di tempat praktek, rumah sakit, serta laboratorium khusus andrology.
Idealnya, untuk memastikan hasil yang akurat dan dapat dipercaya, analisis
semen harus dilakukan di laboratorium yang telah ditentukan melalui program
quality control yang sesuai dengan standar Clinical Laboratory Improvement
Amendments. WHO merekomendasikan nilai referensi normal sebagai berikut:
17
pemeriksaan
semen
lainnya
dapat
membantu
membedakan
18
19
akibat infeksi berat, injury iatrogenic selama operasi skrotum atau inguinal, atau
anomaly kongenital (ketiadaan vas deferens bilateral kongenital); sekitar 40%
pria azoospermia memiliki penyebab obstruktif. Azoospermia non-obstruktif
disebabkan oleh penyakit testis intrinsik (kegagalan testis primer) atau
endokrinopati dan kondisi lain yang mensupresi spermatogenesis (kegagalan
testis sekunder). Pria dengan azoospermia non-obstruktif dapat memproduksi
sperma dengan level yang rendah yang tidak cukup untuk mendorong transport
epididymis dan memasukkan sperma ke cairan ejakulat. Pemeriksaan yang teliti
terhadap sampel semen yang telah disentrifugasi akan dapat mengidentifikasi
sperma dalam ejakulat pada 1/3 pria yang sebelumnya didiagnosis dengan
azoospermia obstruktif. Observasi tersebut sangat signifikan secara praktis
karena pada pria yang dari ejakulatnya bisa didapatkan sperma dalam jumlah
sedang, mungkin tidak membutuhkan operasi untuk memperoleh sperma untuk
IVF (testicular sperm extraction/TESE).
Oligospermia didefinisikan sebagai densitas sperma yang <20 juta/ml dan
disebut oligospermia berat bila konsentrasi sperma <5 juta/ml. Kemungkinan
terjadinya konsepsi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi sperma
hingga 40-50 juta/ml, namun di atas nilai tersebut, kemungkinannya tidak lagi
meningkat. Hasil dari sebuah penelitian besar di US yang membandingkan
parameter pemeriksaan semen pada pria fertil dan infertil, keduanya dengan
partner wanita yang normal, menunjukkan bahwa kemungkinan infertilitas pria
meningkat sekitar 5 kali lipat (5.3, CI=3.3-8.3) saat densitas sperma <13.5
juta/ml. Pada penelitian yang lebih dulu dilakukan di Eropa dengan desain yang
sama, densitas sperma yang merepresentasikan persentil sepuluh dari pria fertil
adalah
14
juta/ml.
Oligospermia
dapat
terkait
dengan
varicocele,
20
jumlah
total
sperma
aktif
pada
cairan
ejakulat.
Dengan
umum,
motilitas
sperma
yang
buruk
(asthenospermia)
21
struktural pada ekor sperma dan sperma tidak dapat berflagelasi. Cilia dari
saluran respirasi biasanya juga mengalami abnormalitas, sehingga individu
dengan sindrom ini infertil dan sangat beresiko terhadap infeksi traktus
respiratorius kronis. Bila disertai dengan situs inversus, immotile cilia syndrome
ini dikenal sebagai Kartagener syndrome. Diagnosis dibuat dengan melakukan
pemeriksaan sperma menggunakan mikroskop elektron.
Bila tidak ditemukan sperma motile, dapat dilakukan pemeriksaan viabilitas
sperma untuk membedakan sperma non-motile yang viable dengan sperma mati.
Metode ini dilakukan dengan cara mencampurkan semen segar dengan pewarna
supravital (eosin Y atau trypan blue); sperma dengan fungsi membran intak, tidak
akan menyerap zat warna. Metode lain, yakni hypo-osmotic sperm swelling test,
dengan menginkubasikan sperma pada cairan hipo-osmolar; di mana ekor
sperma dengan fungsi membran normal akan menggembung dan bergulung
karena cairan ditransport di sepanjang membran. Pada pria dengan sperma
motile sedikit atau tidak ada, hypo-osmotic swelling test dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sperma non motile yang masih hidup untuk dilakukan ICSI.
Morfologi Sperma
Morfologi sperma merefleksikan kualitas spermatogenesis. Abnormalitas
morfologi (teratospermia) dikategorisasikan sesuai lokasinya, yakni kepala, leher
(midpiece), dan ekor. Cytoplasmic droplet di leher sperma yang menutupi lebih
dari separuh area kepala sperma yang normal juga merepresentasikan defek
spesifik lainnya. Sperma yang diklasifikasikan normal harus normal pada semua
aspek. Teratospermia terkait dengan adanya varicocele dan kegagalan testis baik
primer maupun sekunder. Teratospermia dapat terjadi tanpa abnormalitas
lainnya, ataupun terjadi bersama dengan abnormalitas pada konsentrasi dan
motilitas sperma.
Kriteria terbaru dari WHO (1999) untuk evaluasi morfologi sperma sangat
mirip dengan kriteria Kruger (Tygergerg) atau strictcriteria, yang berasal dari
usaha-usaha untuk mengindentifikasi prediktor-prediktor untuk fertilisasi pada
siklus
IVF.
Bila
morfologi
strict(kesempurnaan)
normal,
persentase
yang
sperma
sperma
efisiensi
normal
dinilai
fertilisasi
secara
berdasarkan
in
vitro
morfologis.
terkait
Tingkat
standar
dengan
fertilisasi
konvensional paling tinggi pada persentase sperma normal 14%, dan sangat
rendah (7-8%) saat <4% sperma memiliki morfologi normal, dan nilai
22
Di
antara
penelitian-penelitian
tersebut,
dua
penelitian
hanya
memasukkan pria dengan partner yang tidak memiliki faktor infertilitas (fungsi
ovulasi dan anatomi reproduksi normal). Bila konsentrasi dan motilitas progresif
dari sperma sangat bernilai dalam membedakan pria fertil dan infertil, maka
morfologi sperma yang sempurna (sebagaimana dideskripsikan sebagai individu
dengan pelatihan dan pengalaman yang ekstensif) telah muncul sebagai hal
yang paling bernilai dalam menentukan fertilitas. Pada dua studi yang lebih
besar, kemungkinan infertilitas pria meningkat sekitar 4 kali lipat (3.8, CI=3.0-5.0)
saat morfologi sperma normal yang strict<9%.
23
infertilitas yang tidak terjelaskan, superovulasi dan IUI atau IVF dapat
memberikan kemungkinan yang besar untuk sukses mendapatkan kehamilan.
Sejumlah
studi
telah
memeriksa
hubungan
antara
cycle
fecundability
dengan
proporsi
morfologi
sperma
normal
dan
secara
umum
untuk
ditekankan
bahwa
morfologi
sperma
yang
strict,
memastikan
akurasi
dan
konsistensi.
Sayangnya,
hanya
sedikit
laboratorium yang melakukan analisis semen rutin yang memiliki volume tes
yang cukup serta personel yang terlatih dan berpengalaman, yang diperlukan
untuk menjaga pemeriksaan yang valid terhadap morfologi sperm yang
sempurna. Berdasarkan hal tersebut, standar WHO yang lama untuk morfologi
sperma (1987. 1992) yang mengklasifikasikan lebih banyak sperma sebagai
normal masih banyak digunakan pada analisis semen rutin di banyak
laboratorium rumah sakit. Hasil dari analisis semen yang dilakukan oleh selain
laboratorium khusus andrologi adalah invalid. Meskipun nilai morfologi yang
dilaporkan secara umum tidak bernilai besar, namun volume semen, konsentrasi
sperma, dan motilitas sperma sangat informatif dan dapat membantu
mengidentifikasi pasangan dengan faktor infertilitas pada pria. Meski demikian,
dengan mempertimbangkan signifikansi prognostiknya, analisis semen yang
24
lebih canggih yang mencakup morfologi sperma yang sempurna, bila tersedia,
akan menghasilkan pertimbangan yang lebih serius sebelum melakukan terapi
untuk pasangan dengan faktor infertilitas pada pria atau infertilitas yang tidak
terjelaskan.
sebenarnya
(>1
juta
leukosit/ml)
dengan
pria
yang
leukocytospermia
secara
umum
dianggap
sebagai
indikasi
leukocytospermia yang tidak terkait dengan infeksi atau inflamasi juga bisa
ditemukan di semen pada pria dengan injury spinal cord.
Aglutinasi Sperma dan Antibodi Antisperma
Blood testis barrier normalnya melindungi sperma dari sistem imunitas
(sperma mulai berkembang setelah imunokompetensi tercapai), namun bila
blood testis barrier terganggu dan sperma terekspose darah, maka dapat terjadi
respon antigenic.
obstruksi duktus, infeksi genital sebelumnya, torsio atau trauma testis, dan reanastomosis vaso-vasostomy atau vaso-epididimostomy. Antibody antisperma
25
dapat ditemukan dalam serum, namun bukti menunjukkan bahwa hal tersebut
tidak mempunyai efek klinis. Antibody yang berikatan dengan sperma mungkin
relevan secara klinis karena dapat mengganggu motilitas atau mencegah
fertilisasi.
Sperma yang tertumpuk atau teraglutinasi, mirip dengan asthenospermia,
dapat menjadi tanda adanya antibody antisperma, namun jarang ditemui.
Beberapa pakar juga menghubungkan infertilitas yang tidak terjelaskan sebagai
indikasi untuk melakukan pemeriksaan antibody antisperma. Dua pemeriksaan
yang paling sering digunakan untuk deteksi antibody antisperma menggunakan
beads atau partikel latex yang dilengkapi dengan antibody (dibuat untuk
menempel pada antibody manusia) yang dapat berikatan dengan antibody di
permukaan sperma.
memiliki kepentingan secara klinis, masih belum ditentukan. Selain itu, level
antibodi dapat berfluktuasi meski tidak dilakukan terapi.
Tingkat kehamilan dilaporkan lebih rendah pada pria dengan antibody
antisperma dibandingkan pria tanpa antibody antisperma, dan di antara para pria
dengan antibody antisperma, tingkat kehamilan lebih rendah lagi bila >50%
sperma terikat dengan antibody. Antibody antisperma terkait dengan hasil tes
postcoitus yang buruk, namun tes postcoitus saat ini tidak lagi dilakukan karena
tidak ada nilai yang terbukti (Chapter 27). Karena IUI merupakan terapi yang
paling populer dan efektif untuk antibody antisperma (sebagaimana untuk faktor
infertilitas cervical) dan IUI telah menjadi elemen inti untuk sebagian besar terapi
infertilitas yang tidak terjelaskan selain IVF (Chapter 27), hasil dari pemeriksaan
antibody antisperma, sebagaimana hasil dari pemeriksaan post coitus, jarang
sekali memberikan informasi yang mempengaruhi keputusan terapi atau
prognosis. Pemeriksaan antibody antisperma jarang dilakukan karena jika IUI
gagal atau IVF tidak dapat dilakukan, maka ICSI masih dapat mengatasi efek
dari antibody antisperma.
Viskositas Semen
Viskositas atau kekentalan sampel semen dievaluasi secara rutin dan
diklasifikasikan dalam Grade 0-4. Hiperviskositas cairan semen relatif jarang dan
penyebabnya belum masih benar-benar dimengerti. Yang tidak mengagetkan
26
dan
antibody
antisperma
telah
dianggap
sebagai
penyebab
semua
parameter
utama
dalam
pemeriksaan
semen
(konsentrasi, motilitas, morfologi) memiliki efek terhadap fertilitas saat benarbenar ditemukan abnormal, namun parameter tersebut tidak secara langsung
mewakili atau menjawab pertanyaan yang paling penting: Dapatkan sperma
secara efektif berikatan, berpenetrasi, dan memfertilisasi ovum dari pasangan
wanita?. Morfologi sperma yang sempurna berguna dalam pengukuran tidak
langsung terhadap fungsi sperma dalam hubungannya dengan tingkat fertilisasi
in vitro, namun parameter tersebut hanya tersedia terbatas di luar laboratorium
khusus andrologi yang terkait dengan pusat IVF.
Sayangnya, meskipun telah berkembang banyak tes dan prosedur yang
didesain untuk mengevaluasi pelekatan dengan zona pellucida, penetrasi ke
membran oocyte, atau pelepasan enzim acrosome, kita masih belum memiliki
tes tervalidasi yang dapat diandalkan untuk evaluasi fungsi sperma. Karena kita
masih belum mengerti, belum dapat memeriksa, dan belum memiliki cara untuk
mengatasi abnormalitas fungsi sperma, perhatian diarahkan ke ICSI karena
injeksi sperma langsung dapat secara efektif mengatasi abnormalitas fungsi
sperma. Meski demikian, kebutuhan akan adanya tes fungsi sperma yang dapat
diandalkan masih tetap ada, karena IVF dan ICSI bukan merupakan pilihan
praktis untuk banyak pasangan infertil, dan semuanya ingin menggunakan waktu
dan sumber daya yang tersedia dalam cara seefisien dan seefektif mungkin.
Waktu dan biaya terkait dengan terapi dengan IUI mungkin dapat dihindari bila
terdapat bukti bagus yang mengindikasikan bahwa hanya ICSI-lah yang dapat
memberikan kemungkinan sukses yang besar.
Pemeriksaan Penetrasi Sperma
27
terbukti bahwa donor sperma mungkin gagal melalukan penetrasi pada kondisi
tertentu.
28
dan
reactive
oxygen
species
pada
sperma.
Creatine
29
fungsi
sperma.
Reactive
oxygen
species
dapat
dideteksi
dengan
untuk
mengkonfirmasi
temuan
tersebut,
dan
harus
dilakukan
pemeriksaan free testosterone, LH, dan prolactin. Level FSH, LH, dan
testosterone secara keseluruhan dapat membantu membedakan berbagai
kondisi klinis.
umum ketiga hormon tersebut sangat rendah kadarnya. Pada pria dengan
spermatogenesis abnormal, level FSH mungkin normal atau tinggi dan level LH
dan testosterone normal. Pria dengan kegagalan testis menunjukkan level FSH
dan LH yang tinggi serta konsentrasi testosterone yang rendah atau normal. Pria
dengan tumor pituitary yang mensekresikan prolactin secara umum memiliki
konsentrasi gonadotropin yang normal atau rendah, testosterone rendah, dan
level prolactin yang tinggi. Pada pria dengan hipogonadisme hipogonadotropik,
dengan atau tanpa hiperprolactinemia, maka diindikasikan untuk pemeriksaan
MRI di region hypothalamus-pituitary untuk mengeksklusi kemungkinan lesi
massa.
Bila dibandingkan dengan pria fertil, banyak pria infertil dengan
oligospermia berat dapat mengalami penurunan rasio testosterone/estradiol, dan
terapi dengan aromatase inhibitor dapat menormalkan kembali nilai rasio
tersebut dan meningkatkan kualitas semen. Data ini menunjukkan bahwa
beberapa pria dengan oligospermia berat (<5 juta/ml), level testosterone rendah
(<300 ng/dl), dan konsentrasi gonadotropin yang normal, mungkin mengalami
30
EVALUASI UROLOGI
Bila belum dilakukan sebelumnya, parameter semen dengan hasil yang
sangat abnormal merupakan indikasi dilakukannya pemeriksaan fisik menyeluruh
oleh ahli urologi atau spesialis reproduksi pria lainnya; beberapa pria juga
mungkin memerlukan evaluasi urologi lanjutan.
Pada pria normal, testis berkonsistensi keras dan bervolume sekitar 15-25
ml. Testis yang kecil dan lunak menunjukkan adanya kegagalan testis. Meskipun
pria dengan kegagalan testis primer akibat Klinefelter syndrome (47, XXY)
biasanya tinggi dan eunuchoid (memiliki karakter pria dan wanita) dengan
ginekomastia dan testis kecil, namun fenotipnya bervariasi. Pria dengan
kegagalan testis sekunder akibat hipogonadisme hipogonadotropik juga mungkin
mengalami virilisaasi inkomplit, bentuk tubuh eunuchoid, dan testis kecil. Bentuk
endokrinopati kongenital akibat kegagalan migrasi neuron GnRH selama
embryogenesis dan, bila disertai anosmia, diketahui sebagai Kallman syndrome.
Penuhnya epididymis menandakan adanya obstruksi pada pria dengan
azoospermia. Diagnosis dari ketiadaan vas deferens bilateral kongenital
ditegakkan melalui pemeriksaan fisik saja dan tidak memerlukan eksplorasi atau
sonografi skrotum. Palpasi spermatic cord (posisi berdiri dan telentang, dengan
dan tanpa Valsava) mungkin dapat mendeteksi adanya dilatasi abnormal dari
vena testis yang disebut sebagai varicocele; sekitar 35% pria dengan infertilitas
primer dan hingga 80% pria dengan infertilitas sekunder mengalami varicocele.
Varicocele menyebabkan penurunan ukuran testis, kualitas semen, dan fungsi
sel
Leydig,
serta
digradasi
berdasarkan
keparahannya
(Grade
1-3).
31
32
IVF/ICSI di masa depan untuk menghindari prosedur kedua. Hasil biopsy berupa
spermatogenesis normal menunjukkan adanya obstruksi yang pada beberapa
kondisi harus ditentukan melalui operasi eksplorasi dengan atau tanpa vasografi.
EVALUASI GENETIK
Abnormalitas genetik dapat menyebabkan infertilitas melalui gangguan
pada produksi atau transport sperma. Saat ini, yang paling relevan dengan
infertilitas pada pria dan terapinya antara lain: (1) mutasi pada gen cystic fibrosis
transmembrane conductance regulator (CFTR) yang sangat terkait dengan
ketiadaan vas deferens bilateral kongenital; (2) anomali kromosom yang
menyebabkan disfungsi testis (Klinefelter syndrome: 47 XXY); dan (3)
mikrodelesi kromosom Y yang terkait dengan abnormalitas spermatogenesis.
Kondisi-kondisi ini memiliki implikasi yang lebih jauh selain azoospermia dan
oligospermia berat karena pria dengan kondisi tersebut dapat memberikan
beberapa konsekuensi untuk keturunnya. Idealnya, konseling genetik harus
dilakukan baik sebelum maupun setelah pemeriksaan genetik.
Mutasi Gen Cystic Fibrosis
Spektrum kondisi aplasia vasal tidak hanya meliputi ketiadaan vas deferens
bilateral kongenital, namun juga ketiadaan vas deferens unilateral, ketiadaan vas
deferens atau epididymis bilateral parsial, dan obstruksi epididymis. Hubungan
antara ketiadaan vas deferens bilateral kongenital dengan mutasi gen CFTR
sangat kuat; hampir semua pria dengan cystic fibrosis mengalami ketiadaan vas
deferens bilateral kongenital dan setidaknya 2/3 dari pria dengan ketiadaan vas
deferens bilateral kongenital mengalami mutasi pada CFTR. Gen tersebut
mengkode protein yang terlibat dalam pembentukan vesikula seminalis dan
sistem duktus traktus reproduksi pada pria. Meskipun sekitar 4% dari pria
Kaukasia membawa mutasi gen CFTR, kondisi klinis berupa ketiadaan vas
deferens bilateral kongenital lebih jarang terjadi karena kemungkinannya kecil
pada individu heterozigot. Spekulasi umum yang berkembang, serta asumsi
klinis yang ada, adalah bahwa semua pria dengan bukti ketiadaan vas deferens
bilateral kongenital mungkin mengalami mutasi tersebut, beberapa di antaranya
memiliki frekuensi carrier yang rendah dan belum dapat sepenuhnya dimengerti.
Pria dengan ketiadaan vas deferens bilateral kongenital atau bentuk vasal
aplasia lain yang lebih ringan, dan partner wanita mereka, harus menjalani
33
skrining
untuk
mutasi
CFTR
sebelum
dilakukan
upaya-upaya
untuk
lengan panjang dari kromosom Y (Yq11), yang disebut AZF (Azoospermic factor)
a (proximal), b (central), dan c (distal), yang tampaknya mengandung gen-gen
yang penting dalam spermatogenesis normal. Banyak pria dengan mikrodelesi
pada regio AZFc hanya mengalami oligospermia berat, dan pria yang
azoospermia secara umum masih dapat memproduksi sperma yang cukup untuk
diambil melalui biopsy testis. Sebaliknya, prognosis untuk pengambilan sperma
pada pria dengan mikrodelesi pada AZFa atau AZFb, cukup buruk. Mikrodelesi
34
pada sebuah regio baru yakni AZFd terkait dengan spermatogenesis normal dan
signifikansi klinisnya tidak diketahui.
Anak dari pria dengan mikrodelesi kromosom Y diduga mewarisi defek
tersebut serta konsekuensi klinisnya. Skrining untuk mikrodelesi kromosom Y
harus dilakukan pada semua pria dengan azoospermia atau oligospermia (<5
juta/ml) non obstruktif yang merupakan kandidat untuk dilakukannya IVF dengan
ICSI.
Struktur Chromatin Sperma
Sejumlah besar pria infertil memiliki level kerusakan DNA yang lebih tinggi,
dan bukti terbaru menunjukkan bahwa pria-pria tersebut memiliki prognosis yang
buruk untuk masalah fertilitas, bahkan saat semua parameter pemeriksaan
semen-nya normal. Pria dengan parameter semen abnormal seringkali memiliki
level fragmentasi DNA yang tinggi, namun pria dengan parameter semen yang
seluruhnya normal juga dapat mengalaminya. Pemeriksaan baru untuk struktur
kromatin sperma merupakan tes yang memeriksa proporsi sperma dengan DNA
yang terfragmentasi dan keluasan kerusakan DNA. Tes ini masih belum
diaplikasikan di praktek namun nantinya dapat digunakan sebagai alat diagnostik
dan prognostik yang berguna dalam evaluasi infertilitas pada pria.
TERAPI MEDIS UNTUK INFERTILITAS PRIA
Dengan sedikit pengecualian yang penting, infertilitas pada pria secara
umum tidak disetujui untuk dilakukan terapi medis. Evaluasi yang teliti dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi pria dengan kondisi yang dapat diterapi yang
mungkin bermanfaat bila diberikan terapi medis.
Hipogonadisme Hipogonadotropik
Pria dengan kegagalan testis sekunder terkait dengan hipogonadisme
hipogonadotropik, merepresentasikan satu kelompok infertilitas di mana terapi
medis dapat dilakukan dengan sukses, setelah penyebabnya diketahui. Pada
sebagian besar pria yang mengalaminya, defisiensi gonadotropin tunggal
sifatnya kongenital dan terkait dengan pubertas yang abnormal akibat tidak
adanya sekresi atau sekresi pulsatile abnormal dari GnRH hypothalamus;
endokrinopati mungkin disebabkan oleh faktor genetik, akibat dari kegagalan
migrasi neuronal GnRH selama embryogenesis (Kallman syndrome) atau
35
idiopatik.
hipogonadisme
hipogonadotropik
post
pubertal,
tumor
pituitary,
dicapai
dalam
beberapa
minggu,
namun
stimulasi
terhadap
b. Gonadotropin eksogen
Karena perhatian terhadap keterlambatan pubertas muncul terlebih dahulu
sebelum perhatian terhadap fertilitas, sebagian besar dari pria dengan
hipogonadisme hipogonadotropik awalnya diterapi dengan hCG (untuk
menstimulasi produksi testosterone oleh sel Leydig) atau testosterone
eksogen; yang keduanya sama-sama dapat menginduksi perkembangan
seksual
sekunder,
namun
keduanya
tidak
dapat
menginisiasi
dan
seringkali
dapat,
namun
tidak
selalu,
mengembalikan
37
level prolactin namun hanya memiliki sedikit efek terhadap kualitas semen.
Meskipun level prolaktin sedikit lebih tinggi pada pria infertil dibandingkan pria
fertil, belum ada bukti yang mengindikasikan bahwa terapi agonis dopamine
untuk
pria
euprolactinemia
dengan
oligospermia
idiopatik
atau
pseudoephedrine
60
mg
atau
ephedrine
25-50
mg
4x/hari;
sperma motile dalam jumlah yang cukup, maka dapat dilakukan IUI atau bila
tidak bisa, dapat dilakukan IVF dengan ICSI.
Leukocytospermia
Meskipun leukocytospermia dikaitkan dengan abnormalitas parameter
semen lainnya, dan terapi antibiotik (doxycycline, trimethoprim-sulfametoxazole)
diindikasikan untuk pria dengan gejala infeksi traktus genitalia, terapi tersebut
tidak memperbaiki parameter semen pada pria dengan leukocytospermia
asimtomatik dan seringkali gagal untuk menurunkan jumlah leukosit ke level
normal (<1 juta/ml).
dapat secara akurat memprediksikan infeksi traktus genitalia, dan hanya sedikit
bukti yang menunjukkan bahwa leukocytospermia memiliki efek buruk terhadap
fertilitas. Sehingga, terapi yang lebih baik dibatasi untuk pria dengan bukti
adanya infeksi traktus genitalia.
Oligospermia, Asthenospermia, dan Teratospermia Idiopatik
Sebagian besar pria infertil adalah eugonadotropik, tervirilisasi normal, dan
sehat, namun memiliki densitas sperma yang rendah atau abnormalitas semen
lainnya dengan penyebab yang tidak diketahui. Subfertilitas idiopatik sering
terjadi pada pria dan banyak terapi medis yang telah dilakukan di mana
androgen, gonadotropin, dan antiestrogen yang mendapat perhatian paling
besar. Sayangnya, belum ada terapi medis yang terbukti efektif untuk
memperbaiki parameter semen ataupun fertilitas pada pria dengan subfertilitas
idiopatik.
a. Androgen
Terapi androgen
spermatogenesis,
diberikan
secara
dengan
langsung
tujuan
dengan
untuk
meningkatkan
menstimulasi
konsentrasi
39
bertentangan.
(20 mg/hari)
secara umum
dilakukan
untuk
menstimulasi
buatan
juga
digunakan
untuk
mengatasi
oligospermia,
40
41
umum sama. Jumlah, motilitas, dan morfologi donor sperma yang dibekukan
secara umum tidak membatasi kesuksesan karena donor sperma menjalani
seleksi ketat untuk masalah kualitas semen, bila menggunakan sperma partner
yang infertil, maka parameter dari semen tersebut pasti akan mempengaruhi
prognosis kesuksesan IUI.
Parameter Semen dan Prognosis
Tidak
mengagetkan
bahwa
kemungkinan
kesuksesan
IUI
yang
42
untuk menggunakan sumber daya yang tersedia menjalani IVF dan ICSI bila
memungkinkan.
Faktor Prognostik Lain
Tidak perlu dikatakan bahwa prognosis kesuksesan IUI dalam terapi faktor
infertilitas pada pria paling baik bila tidak terdapat faktor infertilitas lainnya.
Secara khusus, prognosis sangat dipengaruhi oleh usia partner wanita,
konsistensi, dan kualitas fungsi ovulasi partner wanita, dan kondisi anatomi
reproduksi partner wanita. Sejauh mana faktor-faktor tambahan ini harus
dievaluasi sebelum dilakukan IUI, tergantung dari individu masing-masing.
a. Usia Maternal
Usia maternal merupakan variabel pokok pada semua pasangan infertil.
Bahkan bila pun digunakan sperma donor, kemungkinan kesuksesan menurun
seiring dengan pertambahan usia ibu. Cycle fecundability dan tingkat
kehamilan kumulatif (7 siklus) pada usia 35 tahun yang diinseminasi dengan
donor sperma (0.20, 88%) sebanding dengan yang didapatkan dari pasangan
fertil normal namun menurun pada wanita usia antara 35-40 tahun (0.12, 65%)
dan wanita >40 tahun (0.60, 42%). Pemeriksaan reservoir ovarium (Chapter
27) dapat dipertimbangkan bila usia partner wanita >35 tahun, memiliki
riwayat
keluarga
dengan
menopause
dini,
riwayat
operasi
ovarium,
kemoterapi, atau radiasi, atau bila partner wanita adalah perokok atau
memiliki riwayat respon yang buruk atau bahkan tidak berespon terhadap
stimulasi gonadotropin eksogen. Wanita dengan reservoir ovarium yang buruk
memiliki kemungkinan sukses yang rendah dengan IVF dan kesimpulannya,
juga memiliki kemungkinan sukses yang rendah dengan IUI.
b. Fungsi Ovulasi
Setidaknya, cukup bijaksana untuk melakukan pemeriksaan fungsi ovulasi
dengan tujuan yang obyektif bila rencana terapi tidak termasuk stimulasi
ovarium empiris. Gangguan ovulasi sering terjadi, bahkan pada wanita yang
menjalani terapi inseminasi donor. Induksi ovulasi menaikkan tingkat
kesuksesan terapi inseminasi donor untuk wanita dengan gangguan ovulasi,
meskipun cycle fecundability tetap rendah daripada wanita dengan siklus
ovulasi spontan.
c. Faktor Uterus dan Tuba
43
gonadotropin
eksogen
akan
dapat
memperbaiki
kemungkinan
kesuksesan.
Persiapan Sperma untuk IUI
Banyak metode untuk mengekstraksi sperma dari seminal plasma untuk
prosedur IUI. Metode yang paling sering digunakan termasuk teknik pencucian
konvensional, prosedur swim up, dan sentrifugasi gradient densitas.
yang terbaik sangat bervariasi tergantung kualitas sampel semen.
Pilihan
Hasil dari
45
metode-metode
untuk
mengeksklusinya
dari
spesimen
inseminasi.
a. Swim Up (Teknik Berenang ke Atas)
Metode swim up untuk persiapan sperma hanya menambahkan beberapa
langkah terhadap metode pencucian konvensional. Endapan akhir dengan
lembut dilapisi dengan 0.5-1 ml medium segar dan diinkubasikan pada suhu
370C selama 30-60 menit, sehingga memungkinkan sebagian besar dari
sperma motile untuk berenang ke atas ke supernatant. Metode ini
menghasilkan spesimen yang lebih bersih, membuah sperma mati dan debris
seluler lainnya, namun juga menghasilkan jumlah sperma yang lebih rendah
(meskipun dengan motilitas tinggi) sehingga, tidak dianjurkan dilakukan bila
konsentrasi sperma sudah sangat rendah.
b. Sentrifugasi berdasarkan Gradien (Perbedaan) Densitas
Metodologi khusus dalam sentrifugasi gradient densitas melibatkan
pelapisan ejakulat caira ke sebuah kolom media dengan densitas yang lebih
tinggi yang berlapis untuk menghasilkan gradient densitas yang makin
meningkat dari atas hingga ke bawah kolom, kemudian dilanjutkan dengan
46
normal
dapat
hidup
dalam
traktus
reproduksi
wanita
dan
alasan untuk percaya bahwa sperma mungkin memiliki masa hidup fungsional
yang lebih rendah setelah IUI. Secara logika, jumlah dan motilitas yang lebih
rendah dari sperma partner yang infertil mungkin akan memberikan lebih banyak
keterbatasan. Cryopreservation (awet beku) merusak sperma dan bahkan
sperma donor yang telah dicairkan dari kebekuan akan kehilangan viabilitas dan
motilitas lebih cepat daripada sperma normal segar. Waktu untuk dilakukannya
IUI dalam terapi faktor infertilitas pria, jauh lebih penting dalam menentukan
kesuksesan daripada waktu untuk dilakukannya intercourse alami pada
pasangan infertil, tidak peduli apakah yang digunakan adalah sperma dari
partner infertil ataukah sperma donor yang dibekukan.
Berbagai metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi ovulasi dan
untuk memastikan bahwa IUI dilakukan dengan waktu yang tepat, dideskripsikan
pada Chapter 27; hanya metode yang paling banyak digunakan saja dan
hubungannya dengan waktu ovulasi saja yang dirangkum dengan singkat di sini.
Ovulasi secara umum dapat diharapkan terjadi pada hari sebelum peningkatan
suhu basal tubuh di pertengahan siklus (basal body temperature/BBT) atau 1426 jam setelah kenaikan LH di urine pertama kali terdeteksi. Pada siklus natural
dan dengan stimulasi clomiphene, metode yang paling praktis dan dapat
47
dipercaya untuk menentukan waktu IUI yakni dengan monitoring LH urine dimulai
sekitar 3 hari sebelum ovulasi dan inseminasi dilakukan pada hari setelah
adanya LH surge. Bila ovulasi distimulasi dengan injeksi hCG eksogen pada
siklus natural ataupun yang distimulasi, IUI secara umum paling baik dilakukan
34-40 jam kemudian.
Segera sebelum IUI dilakukan, direkomendasikan untuk menghilangkan
kelebihan mucus di pucuk kateter yang dapat menyumbat kateter. Pucuk dari
kateter inseminasi kemudian dimasukkan ke ostium cervix dan dimasukkan
perlahan ke cavum uteri. Telah tersedia bermacam-macam kateter khusus
dengan bermacam tingkat kekakuan yang tersedia secara komersial dan dapat
digunakan. Desain dengan sheath luar yang lebih kaku dan dapat digulung
dengan kateter yang lebih fleksibel dan tidak traumatic di dalamnya, merupakan
yang paling baik digunakan. Spesimen inseminasi (sekitar 0.5 ml) harus
dimasukkan perlahan selama 10-30 detik. Meskipun tidak ada data mengenai hal
tersebut, telah menjadi standar untuk membiarkan pasien tetap dalam posisi
telentang sekitar 15 menit setelah inseminasi.
Jumlah Inseminasi
Meskipun sejumlah pakar mengatakan bahwa dua inseminasi (12 dan 34
jam setelah induksi ovulasi dengan hCG) akan menghasilkan cycle fecundability
yang lebih tinggi daripada IUI tunggal, penelitian lain dengan desain yang sama
tidak menemukan keuntungan seperti yang disebutkan tadi. Sebuah meta
analisis terhadap 3 penelitian parallel yang melibatkan hampir 400 pasangan
menyimpulkan bahwa data yang tersedia tidak cukup untuk mencapai sebuah
kesimpulan pasti. Dua penelitian terhadap cycle fecundability setelah terapi
inseminasi donor, menyimpulkan bahwa dua inseminasi tidak lebih efektif
daripada satu inseminasi.
Sebagian besar wanita yang mengejar terapi inseminasi donor, adalah
wanita fertil dan dapat berkonsepsi dalam 4-6 siklus inseminasi; cycle
fecundability menurun hingga 2/3 setelahnya. Tingkat konsepsi kumulatif
hingga 12 siklus inseminasi mencapai 75-80%, namun 50% lebih rendah untuk
wanita dengan faktor infertilitas lainnya. Saat dikombinasikan dengan stimulasi
gonadotropin, inseminasi donor dapat sukses pada lebih dari separuh pasangan
yang mencapai superovulasi hingga 3 siklus. Sebagaimana diharapkan, tingkat
48
kesuksesan inseminasi dengan sperma partner yang infertil lebih rendah secara
signifikan, namun masih mendekati 30% setelah 6 siklus terapi. Jumlah siklus
terapi yang dilakukan harus mempertimbangkan pengaruh dari usia partner
wanita, adanya faktor infertilitas lainnya, durasi infertilitas, kualitas spesimen
inseminasi, dan jumlah folikel pre-ovulasi yang matur saat dilakukan stimulasi
ovarium empiris.
Pertimbangan Tambahan terkait Sperma Donor
Secara umum, bank sperma berbasis komersial dan berbasis universitas
merekrut donor muda yang sehat yang memiliki karakteristik fisik yang sesuai
dan kualitas semen yang sangat bagus. Meski demikian, penting untuk
dimengerti bahwa meskipun bank sperma secara umum mengikuti guideline
yang diberikan oleh American Society for Reproductive Medicine, namun mereka
tetap, saat ini, memiliki regulasi sendiri. Dalam pemilihan bank sperma, harus
dipertimbangkan apakah bank tersebut telah menjalankan guideline yang ada.
Guideline saat ini mensyaratkan skrining prospektif yang ekstensif terhadap
sperma donor sebelum diterima. Kualitas semen, termasuk evaluasi viabilitas
dan motilitas sperma setelah percobaan pembekuan dan pencairan, akan
mengeksklusi sekitar 75% dari seluruh kandidat. Riwayat kesehatan personal
dan pemeriksaan fisik, riwayat kesehatan keluarga, skrining genetik terhadap
cystic fibrosis dan status carrier lainnya (tergantung etnis), dan skrining untuk
infeksi menular seksual (sifilis, gonorrhea, Chlamydia, cytomegalovirus, hepatitis
B dan C, HIV tipe I dan II, dan human T-lymphocytic virus (HTLV) tipe I dan II,
akan mengeksklusi sekitar 5-10% kandidat lainnya. Donor sperma harus
diskrining secara berulang untuk infeksi menular seksual dalam interval tertentu.
Praktek bank sperma berubah selamanya setelah tahun 1985 setelah terjadi
serokonversi HIV pada 4 dari 8 wanita yang diinseminasi dengan sperma yang
telah dibekukan dari seorang carrier HIV asimtomatik (kemudian disebut HTLVIII). Saat ini, spesimen sperma harus dikarantina dan tidak boleh dibuka untuk
digunakan kecuali spesimen tersebut telah dikarantina sebelumnya sekurangnya
180 hari sebelum hasil tes paling baru menyatakan HIV negatif. Bahkan
meskipun sudah mengikuti guideline yang ada secara ketat, semen manusia
tidak
pernah
dapat
aman
sepenuhnya.
Meskipun
mungkin
kecil,
49
Spesimen sperma
donor yang dibekukan secara umum tidak meliputi semua sperma dalam sebuah
ejakulat; khususnya ada satu porsi yang dipersiapkan dari masing-masing
sampel, tergantung kualitasnya.
dalam jumlah sperma motile pada spesimen acak yang diambil dari 7 bank
sperma komersial (4.3-39 juta).
menentukan jumlah sperma motile setelah pencairan sampel sperma donor dan
mencari sumber alternatif bila kualitasnya menurun di bawah standar (10 juta
sperma motile).
50
dan
terdapat
kemungkinan
besar
re-oklusi,
tergantung
lokasi
51
dengan microsurgical atau biopsy testis dan pembekuan sperma untuk IVF dan
ICSI, secara umum dapat menjadi pilihan terapi yang lebih baik daripada
epididimovasostomy dan reseksi duktus ejakulatorius trans-urethra secara
bersamaan.
Reseksi trans-urethra terhadap obstruksi duktus ejakulatorius dapat
meningkatkan volume semen pada sekitar 2/3 pria dan mengembalikan sperma
ke ejakulat pada sekitar dari pria dengan azoospermia. Hasil yang lebih baik
didapatkan pada pria dengan kista garis tengah dan pria dengan obstruksi
parsial daripada pria dengan obstruksi komplit. Mengingat IVF dan ICSI
merupakan alternatif terapi yang jelas untuk reseksi urethral, namun operasi
yang sukses dapat memungkinkan banyak pria untuk berkonsepsi secara alami
atau melalui IUI tanpa memerlukan ART.
Perbaikan Varicocele
Prevalensi varicocele adalah sekitar 15% dari populasi pria normal dan
sekitar 40% dari pria infertil. Bukti-bukti yang ada mengindikasikan bahwa
varicocele memiliki efek buruk terhadap spermatogenesis.
Patofisiologi yang
terlibat masih belum jelas, namun secara luas dipercaya melibatkan reflux vena
dan peningkatan suhu testis karena spermatogenesis jelas sangat sensitif
terhadap suhu. Karena hanya varicocele yang dapat diraba saja yang terbukti
terkait dengan infertilitas, maka peralatan diagnosis lain (USG scrotal,
thermografi, USG Doppler, radionuclide scanning, dan venografi spermatic)
secara umum tidak diperlukan untuk pria infertil tanpa varicocele yang teraba.
USG scrotal mungkin berguna bila hasil pemeriksaan fisik tidak meyakinkan dan
venografi spermatik dapat membantu menentukan lokasi vena spermatik yang
mengalami reflux yang terjadi atau tetap ada setelah perbaikan.
Perbaikan varicocele terutama diindikasikan untuk pria dengan varicocele
yang teraba dan parameter semen yang abnormal, yang memiliki partner dengan
52
fertilitas normal atau infertilitas yang masih dapat diperbaiki atau ada ketertarikan
pada fertilitas di masa depan. Pria remaja dengan varicocele unilateral atau
bilateral yang disertai dengan penurunan ukuran testis, mungkin juga merupakan
kandidat untuk varicocelectomy; sedangkan pria dengan ukuran testis normal
harus tetap diikuti dengan teliti untuk mendeteksi adanya penurunan ukuran
testis atau kualitas semen. Senada dengan hal tersebut, pria muda dengan
varicocele yang teraba dan semen yang normal, memiliki resiko disfungsi testis
progresif dan harus diawasi untuk mendeteksi adanya bukti penurunan kualitas
semen.
Pilihan terapi untuk pria dengan kualitas semen abnormal yang terkait
dengan varicocele yang teraba, antara lain perbaikan operatif, IUI, dan IVF
dengan atau tanpa ICSI. Pilihan terbaik di antara pilihan tersebut tergantung dari
usia partner wanita dan adanya faktor infertilitas lain. Varicocelectomy
menawarkan keuntungan yang potensial berupa kesembuhan permanen dan
konsepsi alami. Bahkan bila terdapat indikasi dilakukannnya IVF dari partner
wanita, perbaikan varicocele tetap dapat dipertimbangkan karena operasi dapat
mengembalikan sperma ke ejakulat dari beberapa pria dengan azoospermia nonobstruktif.
Varicocele
dapat
diperbaiki
dengan
berbagai
pendekatan
operasi
Belum satu metodepun yang terbukti lebih bagus dari yang lain.
keahlian dalam teknik radiologi intervensi dan tidak tersedia secara universal.
Terapi operasi mengkoreksi sekitar 90% varicocele; hasil yang dicapai dengan
embolisasi bahkan lebih besar lagi.
Kualitas semen meningkat setelah dilakukan perbaikan varicocele dan pria
dengan varicocele besar secara umum merasakan perbaikan yang signifikan.
Hasil yang dicapai dari perbaikan varicocele bervariasi sangat luas dan bukti
adanya perbaikan fertilitas masih kurang. Hasil dari dua penelitian random pada
pria dengan varicocele yang teraba, parameter semen abnormal, dan partner
wanita normal, mungkin menjadi bukti yang paling informatif. Pada salah satu
penelitian, 60% yang menjalani perbaikan melalui operasi, mendapatkan
kehamilan dengan partner mereka selama 1 tahun pertama post operasi,
dibandingkan hanya dengan 10% kontrol yang tidak diterapi; setelah perbaikan
53
operatif terhadap varicocele pada pria fertil yang sebelumnya tidak diterapi, 40%
pasangannya mendapatkan kehamilan pada tahun setelahnya. Pada penelitian
kedua, pria yang menjalani perbaikan varicocele mengalami perbaikan
parameter semen dibandingkan kontrol yang tidak diterapi, namun partner
mereka tidak mendapatkan kehamilan. Satu manfaat potensial tambahan dari
varicocelectomy juga harus disebutkan. Bahkan bila perbaikan varicocele tidak
diikuti dengan konsepsi yang terjadi alami, perbaikan pada parameter semen
saja sudah cukup untuk dilakukannya IUI, di mana IVF tidak perlu dilakukan atau
untuk melakukan IVF dengan fertilisasi konvensional tanpa ICSI.
Orchipexy
Cryptorchidism terkait dengan tingginya insiden infertilitas meski hanya
bersifat unilateral; saat kedua testis mengalami undesensus, pasti terjadi
azoospermia. Terkadang, testis yang mengalami undesensus tidak terdeteksi
hingga dewasa; bila testis kontralateral normal, maka fertilitas bisa tetap ada.
Bahkan pada pria dewasa dengan cryptorchidisme bilateral, orchipexy dapat
menghasilkan spermatogenesis dan fertilitas; setidaknya, orchipexy dapat
menjaga produksi hormon testicular.
54
Dengan perbaikan teknik seiring waktu, jumlah sperma motile yang digunakan
untuk inseminasi diturunkan menjadi 50.000-100.000 untuk setiap oocyte,
sehingga membuka kesempatan ART untuk pasangan dengan infertilitas pada
partner pria.
mengatasi bahkan bentuk paling berat dari infertilitas pria. Saat ini, faktor pria
merupakan diagnosis tunggal yang paling banyak didapatkan di antara pasangan
yang menjalani IVF. Ringkasan nasional tingkat kesuksesan ART di US untuk
tahun 2001 menyimpulkan bahwa 19% dari semua siklus dilakukan dengan
indikasi infertilitas pria dan pada 18% siklus lainnya, faktor pria merupakan satu
dari banyak faktor infertilitas gabungan. Pada hampir 80% pasangan dengan
faktor infertilitas pada pria yang menjalani IVF, juga dilakukan ICSI. Secara
umum, hasil yang didapatkan dari IVF pada pasangan dengan faktor infertilitas
pada pria, dengan atau tanpa ICSI, setara dengan hasil pada pasangan dengan
indikasi lain untuk dilakukannya IVF.
Meskipun ICSI sekarang diterapkan dengan bebas pada siklus IVF, bahkan
pada pasangan tanpa faktor infertilitas pada pria, sebenarnya ICSI secara
spesifik diindikasikan untuk pasangan dengan faktor infertilitas pria yang berat di
mana sangat mungkin terjadi kegagalan atau fertilisasi yang buruk. Bila hanya
sedikit atau tidak ada sperma yang viable yang dapat diambil dari ejakulat, ada
sejumlah teknik pengambilan sperma yang dapat digunakan untuk IVF dan ICSI.
Bahkan bila sejumlah besar dapat terambil, ICSI masih dapat dilakukan karena
sperma yang didapatkan dari sistem reproduksi yang telah terobstruksi kronis
biasanya memiliki motilitas yang buruk dan penurunan kapasitas fertilisasi.
Aspirasi Sperma dari Epididimys
Sperma bisa didapatkan melalui aspirasi microsurgical epididymis pada
saat dilakukan vasoepididymostomy atau sebagai sebuah prosedur tunggal pada
pria dengan ketiadaan vas deferens bilateral kongenital atau obstruksi yang tidak
dapat dikoreksi. Teknik ini melibatkan insisi pada tubulus yang terdilatasi,
mengarah ke proksimal secara perlahan, bila perlu, hingga didapatkan adanya
sperma. Sperma dikumpulkan ke dalam micropipette melalui aksi kapiler dengan
kompresi lembut pada testis dan epididymis kemudian dimasukkan ke dalam
kontainer yang berisi sedikit media kultur IVF.
dibekukan dalam berbagai porsi untuk digunakan dalam siklus IVF, bila
diperlukan.
55
56
untuk IVF dengan ICSI dan diperlukan evaluasi tambahan lain untuk menentukan
apakah terdapat resiko yang mempengaruhi anak yang lahir melalui ICSI.
57
CHAPTER 31
INDUKSI OVULASI
INDUKSI OVULASI
Meskipun tampaknya sudah sering dilakukan saat ini, atau bahkan rutin,
kemampuan untuk menginduksi ovulasi dan mendapatkan kehamilan pada
wanita infertil anovulasi masih merupakan salah satu dari pencapaian terbesar
dalam endokrinologi reproduktif. Dahulu masih terbatas hanya pada clomiphene
citrate, namun terapi induksi ovulasi saat ini sudah jauh lebih berkembang dan
mencakup berbagai agen yang dapat digunakan untuk mengembalikan siklus
ovulasi atau bila perlu, untuk menstimulasi perkembangan folikel ovarium dan
ovulasi secara langsung.
Bila anovulasi merupakan satu-satunya faktor infertilitas, prognosis untuk
terjadinya kehamilan sangatlah bagus karena strategi induksi ovulasi modern
sangatlah efektif. Bila anovulasi disebabkan oleh penyebab spesifik yang masih
dapat diatasi, induksi ovulasi dapat mencapai tingkat kehamilan yang setara
dengan yang didapatkan pada populasi normal. Bila penyebab yang spesifik
tidak dapat ditentukan, sebagaimana pada sebagian besar wanita anovulasi,
maka induksi ovulasi dapat menjadi titrasi tambahan yang terorganisasi dan
empiris yang ditujukan untuk mengidentifikasi regimen terapi yang dapat
diberikan dengan sukses, sesuai pertimbangan resiko dan biaya.
Bila terapi
gagal mencapai ovulasi atau dapat menginduksi ovulasi namun gagal mencapai
kehamilan, biasanya dapat dilakukan terapi yang lebih agresif dengan hasil yang
seringkali sukses, namun tentu dengan biaya dan resiko yang jauh lebih besar.
Faktanya, hampir semua wanita infertil akibat anovulasi, dapat diinduksi untuk
mencapai ovulasi. Sayangnya, banyak di antaranya tidak mencapai konsepsi,
untuk alasan-alasan yang belum pasti.
Anovulasi merupakan penyebab utama infertilitas, dan para dokter yang
merawat para pasangan infertil harus memiliki pengertian yang mendalam
mengenai berbagai pilihan terapi, indikasi, serta resikonya. Dengan berpedoman
pada tujuan tersebut, chapter ini meninjau prinsip-prinsip yang mengatur terapi
tradisional serta strategi terapi yang lebih modern, hasil yang dapat dicapai, serta
resiko yang terkait dengan terapi tersebut.
58
DIAGNOSIS ANOVULASI
Untuk memulai semua diskusi mengenai induksi ovulasi disumsikan bahwa
diagnosis anovulasi telah benar-benar ditegakkan. Wanita dengan menstruasi
ireguler, tidak dapat diprediksi, atau jarang, tidak memerlukan tes diagnosis yang
spesifik untuk membuktikan apa yang sudah jelas. Bila diduga terdapat
anovulasi, namun masih belum dapat dipastikan, dapat dilakukan pencatatan
basal body temperature (BBT) atau pengukuran progesterone dalam waktu yang
sesuai untuk mengkonfirmasi kecurigaan klinis secara obyektif. Kedua metode
tersebut didiskusikan mendetail di Chapter 27 dan hanya dirangkum dengan
singkat di sini. Tes lain yang lebih canggih untuk ovulasi adalah monitoring
terhadap ekskresi hormone LH di urine untuk mendeteksi LH surge di
pertengahan siklus dan pemeriksaan USG trans-vagina serial, yang dapat
berguna saat ovulasi telah berhasil diinduksi, namun tidak diperlukan untuk
diagnosis ovulasi.
Siklus ovulasi khususnya terkait dengan pola klasik biphasic dari basal
body temperature (BBT), yang apabila ada, maka tidak sulit untuk dikenali. Pola
BBT yang kacau, di mana tidak terdapat pergeseran thermogenic di pertengahan
siklus atau interval kenaikan temperature yang berkepanjangan sebelum onset
menstruasi, sangat mengarahkan ke anovulasi. Pencatatan biphasic di mana
menstruasi secara konsisten dimulai sebelum hari ke-12 setelah peningkatan
BBT di pertengahan siklus, menunjukkan durasi fase luteal yang pendek, yang
merupakan bentuk disfungsi ovulasi yang lebih tak kentara, namun juga
penting.Meski relatif jarang, pada beberapa wanita dengan ovulasi normal
memiliki BBT yang tidak tampak biphasic. Bila menstruasi reguler, bisa diprediksi,
dan memiliki karakteristik yang konsisten, namun BBT tidak sepenuhnya
biphasic, dapat dilakukan evaluasi dengan metode yang lebih obyektif sebelum
membuat diagnosis anovulasi.
Bila dilakukan pada waktu yang tepat, pengukuran serum progesterone
merupakan tes yang paling sederhana dan dapat dipercaya untuk mengetahui
fungsi ovulasi. Konsentrasi progesterone <3 ng/ml menunjukkan adanya
anovulasi, kecuali bila dilakukan pengambilan sesaat setelah ovulasi atau sesaat
sebelum onset menstruasi, di mana memang biasanya levelnya lebih rendah.
Dengan mempertimbangkan bahwa siklus ovulasi normal dapat berlangsung 2535 hari dan fase luteal dapat berlangsung sekitar 14 hari, level serum
59
progesterone biasanya paling baik diambil pada saat atau setelah hari-21, sekitar
1 minggu sebelum onset menstruasi, di mana konsentrasinya seharusnya
mendekati atau telah mencapai puncak.
Berkebalikan dengan pendapat dan praktik umum, hari ke-21 dari siklus
bukan selalu waktu yang terbaik untuk memeriksa konsentrasi serum
progesterone dan level batas yang mengindikasikan adanya ovulasi bukanlah 10
ng/ml. Hari ke-21 dari siklus merepresentasikan waktu yang bagus untuk
pengukuran progesterone hanya pada wanita dengan siklus menstruasi reguler
yang berlangsung sekitar 28 hari. Dengan alasan ini, pengukuran progesterone
yang dilakukan 7 hari sebelum onset menstruasi menjadi petunjuk yang lebih
baik.
mengindikasikan fungsi luteal yang normal, namun tidak bila fase luteal yang
terjadi sangatlah pendek. Level progesterone <10 ng/ml dapat sepenuhnya
normal, bahkan bila dalam fase mid-luteal, karena sekresi progesterone corpus
luteum bersifat pulsatile dan pengambilan sampel secara random dapat
bertepatan dengan penurunan progesterone di level sirkulasi.
EVALUASI SEBELUM INDUKSI OVULASI
Penyebab anovulasi sangatlah banyak dan bervariasi. Penyakit thyroid,
hiperprolactinemia, penyakit adrenal, tumor pituitary atau ovarium, gangguan
makan, penurunan berat badan atau olahraga ekstrim, polycystic ovary
syndrome, dan obesitas, merupakan hal-hal yang sering terkait dengan disfungsi
ovulasi. Bila memungkinkan, terapi harus ditujukan untuk mengatasi penyebab
utama, bila penyebab utama tersebut dapat ditentukan karena terapi spesifik
memiliki kemungkinan sukses yang besar, dan banyak kondisi akan berdampak
terhadap kesehatan dalam jangka panjang bila tidak dideteksi dan diterapi.
Semua wanita yang mengalami anovulasi, setidaknya harus menjalani
beberapa evaluasi awal untuk mengeksklusi adanya kondisi patologis yang
penting yang memerlukan perhatian sebelum dimulai terapi dan untuk
mengidentifikasi bentuk terapi yang akan mencapai kesuksesan paling besar.
Chapter 11 menjelaskan tentang penyebab dan manajemen amenorrhea dan
galactorrhea. Chapter 12 dan 13 mendiskusikan patofisiologi dan terapi
polycystic ovary syndrome dan hirsutisme. Chapter 15 mendeskripsikan evaluasi
untuk perdarahan uterus disfungsional. Setidaknya, skrining untuk hipotiroidisme
(TSH) dan hiperprolaktinemia (serum prolactin dan pemeriksaan teliti untuk
60
mengevaluasi
penyebab
anovulasi,
semua
wanita
dapat
normal.
Grup III: Kegagalan Ovarium
Klasifikasi ini meliputi wanita dengan amenorrhea dan peningkatan
konsentrasi serum FSH, yang mengindikasikan kegagalan ovarium.
61
62
kemampuan estrogeniknya yang lemah hanya tampak secara klinis bila level
estrogen endogen sangat rendah. Clomiphene dibuang melalui liver dan
diekskresikan di feces; sekitar 85% akan tereliminasi dalam 1 minggu, namun
sisanya akan tetap berada di sirkulasi untuk waktu yang lebih lama. Clomiphene
merupakan campuran rasemik dari dua stereoisomer yang berbeda yakni
enclomiphene (dulu dikenal sebagai cis-clomiphene) dan zuclomiphene (dulu
dikenal sebagai trans-clomiphene). Enclomiphene merupakan isomer yang lebih
poten dan yang bertanggung jawab untuk aksi induksi ovulasi. Masa paruh
enclomiphene relatif pendek, sehingga konsentrasinya dalam serum meningkat
dan turun dengan cepat selama dan sesudah terapi. Zuclomiphene dieliminasi
dengan lebih lambat; level dalam serum masih dapat terdeteksi selama beberapa
minggu setelah pemberian dosis tunggal dan mungkin dapat terakumulasi secara
perlahan setelah pemberian beberapa siklus, namun tidak ada bukti yang
menyatakan bahwa residu zuclomiphene memiliki efek klinis atau konsekuensi
yang penting.
Mekanisme Aksi
Karena
strukturnya
mirip
dengan
estrogen,
maka
clomiphene
level estrogen di sirkulasi; level estrogen di sirkulasi dianggap lebih rendah dari
sebenarnya. Penurunan negative feedback dari estrogen akan mengubah pola
sekresi GnRH dan menstimulasi peningkatan pelepasan gonadotropin pituitary,
yang kemudian akan meningkatkan perkembangan folikel ovarium.
Bila diberikan pada wanita ovulasi, clomiphene akan meningkatkan
frekuensi denyut GnRH, namun bila diberikan pada wanita anovulasi dengan
polycystic ovary syndrome di mana frekuensi denyut GnRH sudah tinggi, maka
clomiphene akan meningkatkan amplitude dari denyut GnRH (bukan frekuensi).
Level serum FSH dan LH akan meningkat selama terapi clomiphene dan
menurun kembali setelah selesai terapi hari ke-5.
sukses, satu atau lebih folikel akan tumbuh dan berkembang hingga mencapai
kematangan. Secara parallel, estrogen dalam serum akan meningkat secara
progresif dan pada akhirnya akan menginduksi LH surge dan ovulasi.
Kesimpulannya, clomiphene bekerja dengan menstimulasi mekanisme endokrin
normal yang menentukan axis hypothalamus-pituitary-ovarian feedback.
Indikasi Terapi Clomiphene
Clomiphene citrate adalah pilihan obat tradisional untuk induksi ovulasi
pada wanita infertil dengan anovulasi dengan fungsi thyroid normal, level
prolactin normal, dan tidak ada galactorrhea, yang juga menunjukkan adanya
bukti produksi estrogen endogen sebagaimana ditentukan oleh hasil evaluasi
klinis (oligomenorrhea, mucus cervix estrogenic), penentuan serum estradiol
(>40 pg/ml), atau melalui respon menstruasi yang normal terhadap challenge
progestational (WHO grup II).
Dengan mempertimbangkan lokasi aksinya di hypothalamus, tidak
mengagetkan bila clomiphene secara khusus tidak efektif untuk wanita dengan
hipogonadisme hipogonadotropik (WHO grup I). Level FSH yang rendah atau
normal pada wanita dengan amenorrhea hipothalamik, meskipun dengan level
estrogen
yang
rendah,
menunjukkan
adanya
abnormalitas
fungsi
axis
peningkatan
pelepasan FSH,
maka penurunan
negative feedback
dari
penurunan level estrogen oleh clomiphene pun tidak akan efektif. Terapi alternatif
yang biasanya dibutuhkan adalah stimulasi langsung pituitary (GnRH pulsatile
eksogen) atau stimulasi langsung ovarium (gonadotropin eksogen).
64
semua sama bila terapi dimulai dimanapun antara hari ke-2 siklus dan hari ke-5
siklus. Pada wanita amenorrhea, terapi dapat dimulai segera setelah dibuktikan
tidak ada kehamilan. Dosis clomiphene yang dibutuhkan untuk menginduksi
ovulasi terkait dengan berat badan namun tidak dapat diprediksi dengan tepat
untuk setiap individu.
terapi clomiphene yang lebih tinggi, hasil yang dicapai hampir sama dengan
wanita yang kurus. Belum ada parameter klinis ataupun laboratoris yang terbukti
65
Terapi biasanya dimulai dengan tablet tunggal 50 mg per hari selama 5 hari
interval dan kemudian ditingkatkan, dengan penambahan 50 mg, pada siklus
selanjutnya hingga dicapai ovulasi. Sebagian besar wanita yang berespon
terhadap clomiphene, mencapai ovulasi pada level dosis 50 mg (52%) atau 100
mg (22%). Dosis yang lebih rendah (12.5-25 mg/hari) dapat dipertimbangkan
pada wanita yang telah terbukti sebelumnya sensitif terhadap obat ini atau wanita
dengan kista ovarium yang besar sehingga terapi dihentikan. Meskipun belum
disetujui oleh FDA, dosis yang lebih tinggi (150-250 mg/hari) terkadang dapat
sukses saat dosis yang lebih rendah mengalami kegagalan (150 mg=12%; 200
mg=7%; 250 mg=5%). Terapi dengan dosis hingga 150 mg masih dianggap
beralasan sebelum mempertimbangkan alternatif terapi yang lebih agresif.
66
Chapter 27. Pilihannya dapat bervariasi dan harus didasarkan pada kebutuhan
dan pilihan dari wanita yang menjalaninya.
Metode yang sama yang digunakan untuk diagnosis anovulasi, dapat
digunakan untuk mengevaluasi respon terhadap terapi. Pencatatan BBT
merupakan
metode
yang
sederhana
dan
tidak
mahal,
namun
dapat
membosankan bila dilakukan dalam waktu lama. Level progesterone >3 ng/ml
dianggap sebagai bukti telah terjadinya ovulasi, meskipun waktu yang tepat tetap
menjadi kunci untuk memberikan interpretasi yang benar.
wanita anovulasi, LH surge biasanya terjadi pada hari 5-12 setelah terapi
berakhir, seringkali pada hari ke-16 atau 17 dari siklus, bila clomiphene diberikan
pada hari 5-9. Hasil biopsy endometrium berupa endometrium fase sekresi
menandakan bahwa baru saja terjadi ovulasi, namun besarnya biaya, resiko, dan
ketidaknyamanan yang terjadi tidak sesuai bila tujuannya hanya untuk
mengetahui ovulasi. USG trans-vaginal serial dapat mendemonstrasikan ukuran
dan jumlah folikel yang berkembang dan menyediakan bukti presumtif terjadinya
ovulasi, namun sekali lagi, besarnya biaya dan kebutuhan logistik membatasi
penggunaannya hanya pada wanita di mana metode lain telah gagal
mendapatkan informasi.
masa
lalu,
dilakukan
pemeriksaan
pelvis
setiap
bulan
untuk
67
lanjut bila ada gejala yang menunjukkan adanya kista besar atau ovarium yang
membesar abnormal, namun studi klinis dan pengalaman mengindikasikan
bahwa pemeriksaan fisik dasar atau USG tidaklah diperlukan. Namun demikian,
kontrol reguler tetap harus dipertahankan untuk meninjau progress terapi dan
untuk memastikan bahwa evaluasi lebih lanjut mungkin diperlukan tanpa
penundaan lagi.
Hasil Terapi Clomiphene
Clomiphene akan menginduksi ovulasi dengan sukses pada sekitar 80%
wanita yang telah dipilih dengan sesuai. Kemungkinan respon akan menurun
sesuai usia, index massa tubuh, dan adanya hiperandrogenemia pada wanita
anovulasi. Menariknya, wanita amenorrhea memiliki tingkat konsepsi yang lebih
tinggi daripada wanita oligomenorrhea, mungkin karena wanita infertil yang
mengalami menstruasi mungkin juga berovulasi, meskipun jarang, dan mungkin
juga memiliki faktor infertilitas lainnya.
Di antara para wanita infertil yang berovulasi sebagai respon terhadap
terapi clomiphene, cycle fecundability secara keseluruhan mendekati 15%.
Pada wanita tanpa faktor infertilitas lainnya, cycle fecundability dapat mencapai
22%, setara dengan hasil pada pasangan normal setelah penghentian
kontrasepsi dan pada pasangan dengan faktor infertilitas pada pria yang
menjalani terapi inseminasi donor. Tingkat kehamilan kumulatif 70-75%
diharapkan dapat terjadi setelah 6-9 siklus terapi.
dapat
meningkatkan
durasi
fase
luteal,
konsentrasi
serum
progesterone, dan cycle fecundability. Hasil yang dicapai oleh terapi clomiphene
pada pasangan dengan infertilitas tak terjelaskan, didiskusikan mendetail di
Chapter 27. Terapi clomiphene empiris tunggal hanya memiliki manfaat relatif
sedikit, menghasilkan cycle fecundability sekitar 5% dan hanya satu kehamilan
tambahan untuk setiap 40 siklus terapi. Kombinasi antara terapi clomiphene dan
68
IUI menghasilkan cycle fecundability antara 8-10% dan sekitar tambahan satu
kehamilan untuk setiap 15-20 siklus terapi.
Efek Samping Clomiphene
Terapi clomiphene secara umum dapat ditoleransi dengan baik. Efek
samping kecil sering terjadi, namun jarang yang persisten atau berat hingga
memerlukan penghentian terapi. Clomiphene memang beresiko, namun jarang
menyebabkan komplikasi yang serius.
Hot flushes sementara pada interval terapi yang pendek, terjadi pada
sekitar 10% dari wanita yang menjalani terapi ini. Karena clomiphene
menyebabkan kesalahan persepsi sentral bahwa level estrogen endogen rendah,
maka juga dapat menyebabkan gejala vasomotor. Mood swing relatif sering
terjadi. Efek samping lain yang ringan dan lebih jarang terjadi adalah nyeri tekan
payudara, nyeri atau rasa tertekan pada pelvis dan mual. Gangguan visual
(penglihatan kabur atau ganda, scotomata, sensitivitas terhadap cahaya) jarang
terjadi (prevalensi <2%) dan reversible, namun ada sebuah laporan tunggal
mengenai
adanya
optic
neuropathy,
yang
bila
terjadi,
maka
dapat
Mucus cerviks
Bukti-bukti yang didapat dari penelitian terkontrol menunjukkan bahwa
kualitas dan kuantitas produksi mucus cervix pada siklus terapi clomiphene
dapat dikurangi. Efek tersebut tergantung dosis dan lebih terjadi bila interval
69
antara akhir terapi dengan terjadinya ovulasi terlalu pendek, namun hal
tersebut juga tidak konsisten, karena mungkin seringkali efek tersebut hilang
oleh level serum estradiol yang lebih tinggi akibat perkembangan multifolikel
yang diinduksi oleh clomiphene atau karena sensitivitas end-organ lebih besar
pada beberapa individu.
mucus cervix sudah tidak dilakukan pada praktik klinis karena penelitian
terkontrol telah mendemonstrasikan bahwa pemeriksaan post coitus (tes
tradisional untuk faktor cervix) hanya memiliki sedikit nilai prediktif dan karena
regimen terapi modern untuk infertilitas persisten saat ini telah memasukkan
IUI secara rutin (terapi paling efektif untuk faktor infertilitas cervical, bila ada).
namun
tidak
ada
relevansi
langsung
yang
didapatkan.
Tamoxifen
memiliki aksi induksi ovulasi mirip dengan clomiphene namun memiliki efek
agonis estrogen yang lebih besar terhadap endometrium. Letrozole adalah
aromatase inhibitor yang menginduksi ovulasi dengan menurunkan negative
feedback estrogen ke sentral melalui inhibisi produksi estrogen, dan bukan
70
pertanyaan
bermunculan
mengenai
resiko
kemungkinan
Kehamilan ganda
Resiko utama yang terkait dengan clomiphene adalah peningkatan
kemungkinan untuk mendapatkan kehamilan ganda. Peningkatan sekresi FSH
akibat induksi clomiphene hanya bersifat sementara, dan mekanisme seleksi
normal masih bekerja untuk mendapatkan hanya satu folikel mature pada
sebagian besar siklus terapi wanita anovulasi. Meski demikian, terjadinya
perkembangan multifolikel sangat sering, dan resiko kehamilan ganda
meningkat hingga 5-8%. Hampir semua kehamilan ganda yang terjadi setelah
siklus terapi clomiphene adalah kembar dua, sedangkan kembar tiga atau
lebih jarang namun pernah terjadi.
adalah salah satu alasan lain untuk melakukan terapi dengan dosis
clomiphene paling rendah yang paling efektif; dosis yang lebih tinggi tidak
akan memperbaiki hasil dan hanya beresiko menimbulkan superovulasi dan
71
Abortus
Studi yang lebih awal menyimpulkan bahwa insiden abortus spontan pada
kehamilan yang dihasilkan melalui terapi clomiphene mungkin mengalami
peningkatan, namun sejumlah studi lain menyebutkan bahwa tingkat abortus
tidak berbeda dengan yang terjadi pada kehamilan spontan.
72
kanker
payudara.
Meski
demikian,
terapi
clomiphene
supresif
preeliminari
(kontrasepsi
oral),
agen
sensitisasi
insulin
menemukan
bahwa
terapi
kombinasi
clomiphene
dengan
dengan
menggunakan
prednisone
(5
mg/hari),
atau
74
bahwa terapi kombinasi clomiphene dan glukokortikoid paling efektif untuk wanita
yang memiliki peningkatan konsentrasi serum dehydroepiandrosterone sulfate
(DHAS), namun penelitian lain menemukan bahwa terapi tersebut juga efektif
pada wanita dengan level DHAS normal, dan pada wanita resisten clomiphene
yang tidak diseleksi apapun.
Pada sebuah penelitian random terbesar yang melibatkan lebih dari 200
wanita infertil anovulatoar yang resisten clomiphene, lebih dari 80% yang
menerima terapi kombinasi clomiphene (200 mg/hari siklus hari 5-9) dan
dexamethasone (2 mg/hari siklus hari 5-14) dapat mengalami ovulasi,
dibandingkan dengan hanya 20% yang dicapai oleh kontrol yang diberikan
clomiphene dan placebo; tingkat kehamilan kumulatif pada wanita yang
menerima dexamethasone (40%) adalah 10 kali lebih tinggi daripada yang
menerima placebo (4%). Mekanisme aksi glukokortikoid masih belum jelas,
namun
tampaknya
melibatkan
lebih
dari
sekedar
supresi
androgen.
75
Pada kondisi ini, hCG lebih baik ditunda hingga folikel pre-ovulasi
mencapai atau melebihi diameter 20 mm. Ovulasi terjadi 34-46 jam setelah
injeksi hCG, sehingga IUI biasanya dilakukan sekitar 36 jam kemudian.
Bila LH surge tidak dapat terdeteksi, terapi adjuvant hCG jadi tidak bernilai
dan hanya akan menambah biaya serta ketidaknyamanan. Beberapa penelitian
telah membandingkan outcome dari siklus induksi clomiphene saat IUI dilakukan
setelah terjadi LH surge endogen dengan yang setelah injeksi hCG eksogen.
Hasilnya tidak lebih baik saat menggunakan hCG, dan pada beberapa kasus
justru lebih buruk. Ide bahwa meskipun hCG tidak diperlukan dalam induksi
ovulasi namun masih diperlukan untuk memastikan atau meningkatkan kualitas
fungsi luteal, juga tidak didukung oleh data-data yang ada. Pada siklus ovulasi
76
spontan, terapi hCG yang menambah LH surge endogen tidak berefek terhadap
durasi
fase
luteal
ataupun
terhadap
konsentrasi
serum
estrogen
dan
progesterone; hal yang sama didapatkan dari siklus ovulasi yang diinduksi oleh
clomiphene. Kesimpulannya, terapi adjuvant hCG paling baik hanya terbatas
pada sedikit wanita yang memerlukan IUI dan berhasil berovulasi namun LH
surge-nya pada pertengahan siklus tidak dapat terdeteksi.
Terapi Supresif Preeliminari
Dengan mempertimbangkan bahwa anovulasi merefleksikan adanya
disfungsi axis hypothalamus-pituitary-ovarium, maka sangat beralasan untuk
berpikir bahwa sebuah interval dengan terapi supresi preeliminer mungkin dapat
membantu untuk mengembalikan harmoni dan fungsi ovulasi, setidaknya untuk
sementara waktu.
77
(5%
atau
lebih)
akan
menurunkan
hiperinsulinemia
dan
rasio
glukosa
puasa
tehadap
insulin
puasa
sudah
tidak
direkomendasikan lagi; oral glucose tolerance test saat ini merupakan metode
pemeriksaan yang paling dipercaya. Kami percaya bahwa semua wanita
anovulatoir yang hipoandrogenik harus diperiksa toleransi glukosanya dan
resistensi insulinnya dengan pemeriksaan level insulin dan level glukosa 2 jam
setelah pemberian 75 gram glukosa oral.
Normal
Impaired (terganggu)
78
NIDDM
200 mg/dl
Interpretasi respon insulin 2 jam
Resistensi insulin sangat mungkin
100-150 IU/ml
Resistensi insulin
151-300 IU/ml
Resistensi insulin berat
>300 IU/ml
uptake
glukosa
perifer.
Troglitazone,
rosiglitazone,
dan
Pada
diabetes, obat-obat tersebut akan menurunkan level gula darah, namun pada
non-diabetes, obat ini hanya akan menurunkan level insulin.
Baik metformin
Metformin
Sejumlah studi memeriksa efek metformin pada tingkat ovulasi pada wanita
anovulatoir dengan polycystic ovary syndrome.
Sebagian besar
penelitian berukuran relatif kecil, yang meliputi tidak lebih dari 20 wanita pada
setiap terapinya, dan tidak ada studi yang membandingkan kelompok dengan
anggota >50 orang. Meskipun hampir seluruh penelitian terbatas pada wanita
overweight (BMI 25-29.9) dan obese (BMI 30) namun beberapa juga
mengikutkan wanita kurus, namun tetap saja BMI rata-rata melebihi 25 pada
79
dan
clomiphene
mencapai
ovulasi
sekitar
4-9
kali
lipat
80
sedikit waktu yang hilang pada percobaan terapi. Selain itu, bilapun terapi
metformin gagal untuk mengembalikan siklus ovulasi, maka terapi ini dapat
diharapkan untuk meningkatkan sensitivitas terhadap clomiphene, sehingga
membantu menghindari pembiayaan dan resiko yang lebih besar dari terapi
gonadotropin
eksogen.
Bukti
menunjukkan
bahwa
terapi
metformin
strategi
induksi
ovulasi
lini
pertama.
Peneliti
lain
tetap
Thiazolidinedione
Pengalaman dengan terapi thiazolidinedione pada polycystic ovary
syndrome lebih terbatas. Troglitazone digunakan pada terapi masa lalu,
hingga ditarik dari pasaran tahun 2000 setelah berbagai laporan mengenai
kerusakan liver bermunculan, pada beberapa kasus bahkan menyebabkan
kematian atau membutuhkan transplantasi liver.
utama adalah peningkatan berat badan dan retensi cairan. Meski demikian,
sama seperti troglitazone, agen-agen ini mungkin memiliki toksisitas terhadap
hepar dan direkomendasikan untuk melakukan monitoring enzim liver selama
tahun pertama terapi.
Keseluruhan, data-data
82
sebelumnya
diberikan
clomiphene.
Terapi
letrozole/hCG
sukses
menginduksi ovulasi pada 3 dari 4 wanita yang resisten clomiphene, namun juga
gagal pada 2 dari 8 wanita yang sebelumnya berovulasi sebagai respon terhadap
clomiphene. Aromatase inhibitor masih membutuhkan lebih banyak penelitian
namun saat ini penggunaannya pada wanita anovulatoir yang resisten
clomiphene dan efikasinya sebagai alternatif lini pertama terhadap terapi
clomiphene, masih harus ditegaskan lagi.
Laparoskopic Ovarian Drilling
Saat pertama kali diperkenalkan pada tahun 1939, surgical ovarian wedge
resection merupakan terapi pertama yang ditetapkan untuk wanita infertil
83
anovulatoir dengan polycystic ovary syndrome. Prosedur ini tidak lagi digunakan
di kemudian hari saat dimungkinkan melakuka induksi ovulasi secara medis
menggunakan clomiphene dan gonadotropin.
merupakan versi kontemporer dari prosedur klasik operasi tersebut di atas dan
menjadi pilihan terapi lain untuk wanita anovulatoir hiperandrogenik yang resisten
clomiphene. Teknik ini melibatkan proses multifocal ovarian cautery, diatermi,
atau vaporisasi laser (sekitar 10-20 lokasi setiap ovarium) yang bertujuan
menurunkan konsentrasi androgen baik pada ovarium maupun secara sistemik
dengan mengablasi beberapa stroma hipertrofik pada ovarium dengan
polycystic. Memang, serum testosterone post operasi biasanya mengalami
penurunan, setidaknya selama beberapa waktu; konsentrasi inhibin juga
menurun; dan kedua perubahan tersebut tampaknya berkontribusi dalam
peningkatan level FSH.
kehamilan 6-12 bulan setelah ovarian drilling tidak berbeda dengan stimulasi
gonadotropin 3-6 siklus (OR=1.27, CI=0.77-2.09) dan saat hasil dari 6 bulan post
operasi dibandingkan dengan hasil setelah 6 siklus induksi ovulasi oleh
gonadotropin, tingkat kehamilan kumulatif lebih rendah pada terapi operasi
(OR=0.48,
CI=0.28-0.81).
Meski
demikian,
sebagaimana
diharapkan,
84
85
Sejak dimulai 20 tahun lalu, preparat FSH urin yang lebih murni telah
dikembangkan dengan menghilangkan LH dari ekstrak urine menggunakan
kolom immunoafinitas yang mengandung antibody anti-hCG. Preparat awal dari
FSH urin murni (75 IU) mengandung tidak lebih dari 1 IU lH namun mengandung
sejumlah besar protein urine, dan hanya dapat diberikan intramuskuler. Produk
yang lebih murni saat ini hanya mengandung <0.001 IU LH dan mengandung
protein urine yang jauh lebih rendah, dan dapat diadministrasi sub kutan. Lebih
dari 10 tahun yang lalu, produksi rekombinan FSH manusia secara in vitro telah
dapat dilakukan melalui genetic engineering. Ringkasnya, proses tersebut
melibatkan introduksi gen yang mengkode subunit I dan I2 FSH ke genome
ovary cell line dari hamster Cina yang kemudian mensintesis dan mensekresikan
glycosylated bioactive dimeric FSH yang kemudian dimurnikan dengan
immunokromatografi menggunakan antibody monoclonal spesifik anti-FSH.
Preparat FSH rekombinan mengandung lebih sedikit isoform FSH asam yang
memiliki paruh waktu lebih pendek daripada FSH yang berasal dari urine
manusia, namun dapat menstimulasi sekresi estrogen secara lebih efisien.
Keuntungan dari FSH rekombinan antara lain tidak adanya protein urine, suplai
yang lebih konsisten, dan lebih sedikit variasi aktivitas biologis.
Di masa lalu dan saat ini, dengan sifat struktural dan biologis yang mirip
dengan LH, hCG digunakan untuk menstimulasi LH surge untuk menginduksi
ovulasi pada siklus dengan stimulasi gonadotropin eksogen saat perkembangan
folikel telah mencapai kematangan. Meskipun hCG yang diekstraksi dari urine
wanita hamil dan jaringan plasenta masih digunakan secara luas, sudah tersedia
bentuk rekombinan hCG, yang diproduksi dengan teknik yang mirip dengan
rekombinan FSH. Produk ini tersedua di US sejak 2001, dan berkembang cukup
populer. Meskipun pertanyaan terkait potensi dan ekuivalensi dosis dari hCG
rekombinan dengan hCG urine masih ada, studi-studi saat ini mengindikasikan
bahwa 250 g produk rekombinan memberikan hasil yang setara dengan 500010.000 hCG urine.
Bentuk rekombinan dari LH manusia yang memiliki aktivitas fisikokimia,
imunologis, dan biologis yang setara dengan LH pituitary manusia, telah
dikembangkan dan diterima penggunaannya di Eropa sejak tahun 2000.
Pengalaman klinis dengan LH rekombinan masih cukup terbatas, namun
tampaknya akan segera berkembang di masa yang akan datang.
86
aksi
spesifik
dari
masing-masing
gonadotropik
terhadap
Hipogonadisme Hipogonadotropik
Wanita
dengan
hipogonadisme
hipogonadotropik
(amenorrhea
hipothalamik, WHO grup I) adalah kandidat yang paling jelas untuk dilakukan
induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen. Clomiphene dan medikasi
lainnya biasanya tidak efektif karena aksinya memerlukan axis hypothalamuspituitary-ovarium yang intak dan berfungsi baik. Dalam beberapa hal, terapi
gonadotropin pada wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik dapat
dilihat sebagai terapi hormonal yang ditujukan untuk menstimulasi siklus
ovulasi normal sedangkan fertilitas menjadi prioritas.
Pada wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik, obat pilihan adalah
menotropin karena mengandung FSH dan LH. Meskipun pertumbuhan folikel
dan maturasi oocyte dapat distimulasi hanya dengan FSH, LH juga
dibutuhkan dalam steroidogenesis, luteinisasi, dan ovulasi normal; level LH
endogen
biasanya
inadekuat.
Wanita
dengan
hipogonadisme
87
unifolikel, harus tetap diingat karena wanita hipogonadal adalah wanita fertil
normal dan beresiko tinggi mengalami kehamilan ganda.
Kualitas fungsi luteal setelah induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen
pada
wanita
dengan
hipogonadisme
hipogonadotropik
membutuhkan
penting
tampaknya
memberikan
tidak
untuk
diketahui
efek
buruk
bahwa
hiperprolaktinemia
sebagai
respon
terhadap
gonadotropin eksogen.
hipogonadisme
hipogonadotropik,
sekresi
88
banyak kasus, level LH relatif tinggi. Pada populasi wanita tersebut, terapi
akan melapiskan bolus gonadotropin eksogen terhadap sekresi FSH dan LH
endogen yang tidak menentu. Preparat FSH yang dimurnikan memberikan
keuntungan teoretis dibandingkan menotropins konvensional karena dapat
menghindari resiko peningkatan hipersekresi LH endogen. Meski demikian,
dalam prakteknya, tidak ada bukti bahwa FSH yang dimurnikan memiliki
efikasi yang lebih besar daripada hMG, dan keduanya sama-sama dapat
digunakan. Sejumlah penelitian random terkontrol telah membandingkan
terapi FSH urine yang dimurnikan dengan terapi hMG untuk induksi ovulasi
terhadap wanita anovulatoir dengan polycystic ovary syndrome yang resisten
clomiphene. Sebuah meta-analisis yang mencakup 14 penelitian seperti itu
menemukan bahwa FSH urine yang dimurnikan lebih tidak menyebabkan
hiperstimulasi ovarium dibandingkan hMG (OR=0.20, CI=0.08-0.46), namun
tidak ada kelebihan selain itu. Sebuah analisis yang sama terhadap kombinasi
data dari 4 penelitian yang membandingkan rekombinan FSH terhadap FSH
urine yang dimurnikan, tidak menemukan adanya perbedaan pada tingkat
ovulasi (OR=1.19, CI=0.78-1.80), tingkat kehamilan (OR=0.95, CI=0.64-1.41),
tingkat abortus (OR=1.26, CI=0.59-2.70), tingkat kehamilan ganda (OR=0.44,
CI=0.16-1.21), ataupun insiden sindroma hiperstimulasi ovarium (OR=1.55,
CI=0.50-4.84).
Sebagaimana wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik, wanita
anovulatoir dengan polycystic ovary syndrome yang resisten clomiphene
secara umum akan berespon terhadap stimulasi gonadotropin dengan dosis
yang relatif rendah. Pada banyak wanita yang sangat sensitif, rentang
terapeutik sangatlah sempit sehingga dosis yang sedikit lebih tinggi
dibandingkan
wanita
yang
tidak
sensitif
sudah
akan
menghasilkan
beberapa
penyesuaian
kecil.
Ovulasi
unifolikular
tetap
89
nanti) dan pada wanita lainnya yang terbukti memiliki fungsi luteal yang buruk
meskipun induksi ovulasi telah sukses, mungkin dapat diberikan terapi suportif
untuk fase luteal. Karena tingginya resiko sindroma hiperstimulasi ovarium
yang terkait dengan hCG, terapi progesterone lebih dipilih bila memang
dibutuhkan.
dapat
digunakan
untuk
menstimulasi
perkembangan dan ovulasi terhadap lebih dari satu ovum mature sebagai
usaha untuk meningkatkan cycle fecundability pada wanita subfertil dengan
usia yang lebih tua dan pada wanita dengan infertilitas tak terjelaskan;
superovulasi paling efektif bila dikombinasikan dengan IUI yang dilakukan
tepat pada waktunya (Chapter 27). Dalam konteksi ini, biasanya diberikan
gonadotropin eksogen dengan dosis harian awal yang lebih tinggi, dan karena
wanita tersebut telah berovulasi normal dan tidak mengalami endokrinopati,
maka dapat digunakan preparat gonadotropin apapun. Meskipun memang
diinginkan untuk terjadi superovulasi, namun tetap dibutuhkan monitoring
yang teliti untuk menghindari stimulasi berlebihan. Resiko kehamilan ganda
bahkan lebih besar daripada induksi ovulasi pada wanita anovulatoir yang
resisten clomiphene, yang merupakan hal wajar karena memang diinginkan
terjadinya superovulasi. Support fase luteal tidak diperlukan karena kontribusi
kombinasi dari dua atau lebih corpus luteum mungkin dapat diharapkan untuk
mendapatkan konsentrasi serum progesterone fase luteal yang suprafisiologis (tinggi).
Regimen Terapi Gonadotropin Eksogen
Konseling dan instruksi yang teliti penting untuk kesuksesan terapi
gonadotropin. Pasangan harus benar-benar familiar dengan medikasi yang
diberikan, metode persiapannya dan injeksinya, kebutuhan akan kunjungan dan
komunikasi rutin untuk memantau respon terapi, serta biaya, prognosis, dan
resiko yang terkait dengan terapi gonadotropin eksogen.
Studi retrospektif awal telah menentukan bahwa terapi harian, yang
disesuaikan sesuai dengan respon klinis, merupakan regimen yang paling efektif.
Dosis dan durasi terapi gonadotropin yang diperlukan untuk menginduksi ovulasi,
sangat bervariasi antar wanita, terkadang bahkan antar siklus dalam wanita yang
sama, dan harus ditentukan secara empiris. Meskipun banyak wanita sangat
sensitif terhadap gonadotropin dengan dosis relatif rendah (75-225 IU/hari),
90
namun yang lain memerlukan stimulasi dengan dosis yang lebih besar (300-450
IU/hari). Meskipun terdapat hubungan langsung antara berat badan dan
kebutuhan dosis, batas respon untuk individu secara spesifik tidak dapat
diprediksi dengan tepat, bahkan pada wanita obese. Rencana terapi juga harus
mempertimbangkan tujuan yang diinginkan, yakni ovulasi unifolikuler atau
superovulasi. Tidak dapat terlalu ditekankan bahwa induksi ovulasi yang aman
dan efektif dengan gonadotropin eksogen, tergantung hanya pada pengalaman
dan keputusan klinis dari klinisi yang melakukannya.
Regimen Step Up
Baik pada wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik (WHO grup I)
maupun wanita anovulatoir yang resisten clomiphene (WHO grup II), usaha
awal untuk menginduksi ovulasi harus dimulai dengan dosis harian yang
rendah (75 IU/hari) dalam regimen terapi step up (meningkat) yang didesain
untuk menetukan batas respon efektif. Setelah 4-7 hari stimulasi, level serum
estradiol, dengan atau tanpa USG transvaginal, dapat diperiksa untuk
menentukan
respon
pertama.
Selanjutnya,
dosis
gonadotropin
dapat
dosis
inisial
gonadotropin
yang
diberikan
harus
91
92
random
terkontrol,
yang
membandingkan
terapi
93
terakhir, folikel terbesar akan secara umum tetap berfungsi, paling mungkin
karena ekspresi reseptor LH pada folikel tersebut memungkinkan mereka
untuk tetap menangkap LH endogen meskipun dalam dosis rendah, dan
bersamaan dengan itu, terjadi penurunan level estrogen dan folikel kecil mulai
berhenti berfungsi dan beregresi. Stimulasi berkelanjutan dengan hCG atau
rekombinan LH dosis rendah setelah penurunan atau penghentian terapi FSH
94
cukup menjanjikan.
hipogonadotropik atau polycystic ovary syndrome, terapi LH rekombinan (225450 IU/hari) selama fase akhir perkembangan folikel dapat menurunkan
jumlah folikel yang berkembang. Pada wanita dengan ovulasi normal yang
tersupresi GnRH agonis, yang diterapi dengan FSH 150 IU/hari selama 7 hari,
sejumlah regimen terapi yang melibatkan kombinasi penurunan FSH (50, 25,
0 IU) dan peningkatan hCG (50, 100, 200 IU) telah diketahui dapat
mendukung perkembangan folikel besar dan mempercepat regresi folikel
kecil. Sedangkan untuk memilih apakah akan digunakan hCG ataukah LH
rekombinan, dapat dipertimbangkan bahwa paruh waktu hCG yang lebih
panjang dapat memberikan aktivitas LH yang lebih stabil di antara injeksi
harian yang diberikan. Menariknya, terapi hCG dosis rendah selama masa
akhir
perkembangan
folikel
tampaknya
memiliki
efek
kecil
terhadap
teliti
dengan
pemeriksaan
serum
estradiol
dan
USG
ovarium
95
Dosis yang telah dipilih kemudian diadministrasikan pada pasien, respon ovarium
diperiksa dan dianalisis sesuai kebutuhan dan harapan, dan dosis gonadotropin
kemudian dipertahankan atau diubah, dilakukan re-evaluasi, dan disesuaikan
kembali sesuai kebutuhan. Pada kondisi normal, axis hypothalamus-pituitaryovarium melakukan tugas yang sama, yaitu secara konstan dan berulang,
memperbaiki dan mengkoordinasikan level stimulasi gonadotropin sesuai dengan
respon ovarium. Sebaliknya, klinisi hanya dapat melakukan tugas tersebut tidak
lebih dari satu kali setiap hari. Tidak mengagetkan bila hasil yang dicapai jauh
lebih kasar.
96
Ultrasonografi
USG ovarium dapat menentukan ukuran dan jumlah folikel yang
berkontribusi terhadap level estrogen dalam serum. Pada siklus ovulasi
spontan, kelompok folikel antral dapat teridentifikasi pada siklus hari ke-5
sampai 7, folikel dominan kemudian muncul pada hari 8-12, tumbuh sekitar 13 mm setiap hari, pertumbuhan paling cepat pada 1-2 hari sebelum ovulasi,
dan folikel dominan berukuran sekitar 20-24 mm saat terjadi LH surge. Folikel
yang lebih kecil jarang melebihi diameter 14 mm. Pada 10% dari siklus
spontan, dapat terjadi perkembangan pada dua folikel pre-ovulasi.
Pada siklus dengan stimulasi gonadotropin eksogen, folikel-folikel dominan
mengalami pola pertumbuhan linier yang sama, namun mencapai maturitas
dengan diameter yang lebih kecil dan dengan ukuran yang bervariasi.
Kemungkinan
ovulasi
meningkat
sesuai
ukuran
diameter
folikel.
Sebagaimana hasil yang didapatkan dari USG serial yang dilakukan setelah
administrasi hCG, folikel dengan diameter 14 mm atau kurang, jarang sekali
mengalami ovulasi. Ovulasi terjadi pada 40% folikel dengan ukuran 15-16
mm, 70% pada folikel ukuran 17-18 mm, 80% pada folikel ukuran 19-20 mm,
dan semua folikel yang berukuran lebih besar dari itu akan terovulasi.
Rentang nilai ukuran folikel yang terlalu lebar saat maturitas, akan
menyulitkan pengambilan keputusan klinis. Resiko gestasi multipel meningkat
sesuai jumlah folikel yang mungkin akan terovulasi. Konsekuensinya, hCG
secara umum seharusnya tidak diberikan bila resiko ovulasi multiple sudah
tinggi sedangkan tujuan dari terapi adalah ovulasi unifolicular. Adanya
sejumlah besar folikel berukuran sedang dan kecil juga akan meningkatkan
resiko sindroma hiperstimulasi ovarium.
USG dasar untuk ovarium sebaiknya dilakukan di antara urutan siklus
stimulasi gonadotropin eksogen. Bila tidak terdapat residu kista ovarium yang
signifikan atau perbesaran masif, maka terapi dapat dimulai kembali dengan
segera tanpa perlu adanya siklus istirahat. Tingkat cycle fecundability dan
kehamilan kumulatif yang lebih tinggi didapatkan pada siklus terapi yang
dilakukan berurutan daripada siklus yang berselang-seling antara terapi dan
istirahat.
Bila pada USG dasar ditemukan satu atau lebih residu kista
ovarium, maka terapi selanjutnya lebih baik ditunda untuk sementara waktu.
Siklus stimulasi yang dilakukan dengan adanya kista pada ovarium biasanya
kurang sukses, mungkin karena folikel yang baru berkembang sulit dibedakan
dengan folikel kistik yang sedang teregresi, sehingga menyebabkan
97
tersebut
berbeda
secara
signifikan.
Pada
wanita
dengan
Namun,
sebagai perbandingan, cycle fecundity jauh lebih rendah pada wanita anovulatoir
yang resisten terhadap clomiphene. Secara keseluruhan, cycle fecundity berada
pada rentang 5% hingga 15%, dan tingkat konsepsi kumulatif berkisar antara 3060%;
dan
di
dalam
kelompok
ini,
wanita
dengan
anovulasi
kronik
98
Kehamilan Ganda
Kehamilan kembar dua telah meningkat lebih dari 50% dan kehamilan
triplet serta kehamilan kembar empat atau lebih lainnya telah meningkat lebih
dari empat kali lipat sejak tahun 1980. Kelahiran gestasi multifetus kembar
tiga atau lebih di US, telah meningkat hampir empat kali lipat pada wanita usia
30-39 tahun dan lebih dari sepuluh kali lipat pada wanita usia 40 tahun atau
lebih. Sekitar 20% dari peningkatan kelahiran kembar, umumnya kembar dua,
dapat dikaitkan dengan usia ibu yang sudah lanjut serta adanya trend sosial
99
untuk kehamilan usia lanjut (wanita tua lebih mungkin untuk mendapatkan
kehamilan ganda). Sisanya, termasuk gestasi multifetal tiga atau lebih,
merupakan akibat langsung dari penggunaan gonadotropin eksogen untuk
induksi ovulasi, superovulasi, dan ART (assisted reproductive technology).
Jumlah dari kehamilan ganda yang dikandung bahkan lebih besar karena
tidak terjadi penurunan kehamilan multifetus baik spontan maupun yang
diinginkan, pada statistik kelahiran.
Kehamilan ganda adalah kehamilan resiko tinggi pada usia berapapun,
karena seringkali terkomplikasi dengan kelahiran prematur, berat bayi lahir
rendah, diabetes gestasional, dan preeklamsia, serta terkait dengan tingginya
morbiditas dan mortalitas bayi. Manajemen klinis untuk kehamilan ganda
seringkali memerlukan perawatan di rumah sakit yang lama, operasi Caesar,
dan neonatal intensive care (NICU), yang terkait dengan pembiayaan
kesehatan yang sangat besar, baik untuk kedua pasangan maupun untuk
masyarakat.
ganda dan komplikasinya, saat ini telah melebihi semua pembiayaan terapi
untuk mendapatkan kehamilan tersebut. Pembiayaan sosial terkait dengan
kehamilan ganda juga tinggi dan termasuk peningkatan stress pada orang tua,
peningkatan depresi maternal, dan peningkatan kekerasan pada anak, serta
kemungkinan besar adanya masalah perilaku antar saudara. Beberapa faktor
yang berkontribusi terhadap resiko terjadinya kehamilan ganda sangat terkait
dengan terapi gonadotropin eksogen. Meskipun banyak perhatian di tahuntahun belakangan yang telah difokuskan pada praktik transfer embryo di pusat
ART, namun hanya kurang dari separuh kehamilan ganda (dengan terapi)
yang merupakan hasil fertilisasi in vitro. Mayoritas kehamilan ganda
merupakan hasil dari terapi gonadotropin eksogen untuk induksi ovulasi dan
superovulasi.
Gonadotropin eksogen merupakan terapi yang penting dengan indikasi
yang spesifik, dan dengan resiko yang amat nyata, termasuk kehamilan
ganda.
wanita
dengan
hipogonadisme
hipogonadotropik
dan
wanita
100
101
namun aplikasi dari kriteria tersebut juga akan menghambat 1/3 dari siklus
yang distimulasi oleh gonadotropin.
Dengan sedikit pengecualian di antara beberapa wanita anovulatoir, secara
umum terapi gonadotropin eksogen dapat diperbaiki untuk mencapai ovulasi
unifolikuler dengan resiko kehamilan ganda yang terbatas dan resiko
kehamilan lebih dari tiga yang minimal.
mungkin
dapat
menurunkan
resiko
ganda
terkait
terapi
mungkin lebih rendah daripada siklus stimulasi IVF yang memang telah
direncanakan sejak awal. Sedikit pengalaman dengan pilihan kedua untuk
mengaspirasi kelebihan folikel, sebelum administrasi hCG, untuk mencegah
ovulasi lebih dari 3 ovum, menunjukkan bahwa strategi ini secara efektif dapat
menurunkan resiko kehamilan ganda dan mungkin dapat menjadi alternatif
dari penundaan siklus.
Wanita yang mencapai kehamilan kembar tiga atau lebih, meskipun telah
menjalani semua usaha untuk menghindari komplikasi, harus memilih di
antara 3 pilihan yang sulit. Terminasi dari semua kehamilan sangatlah tidak
dapat diterima, khususnya pada pasangan yang sebelumnya benar-benar
infertil. Meneruskan kehamilan akan memberikan resiko kelahiran prematur
dan komplikasi lain terkait morbiditas dan mortalitas neonatus serta disabilitas
jangka panjang. Reduksi kehamilan ganda berarti mengorbankan sebagian
dari kehamilan untuk menyelamatkan semua, namun pada banyak orang, hal
tersebut bukan merupakan sebuah pilihan sama sekali, untuk berbagai alasan
baik personal, moral, etik, maupun agama.
102
satu-satunya
cara di
mana
menginginkannya.
103
hampir
semua
orang tidak
ovarium,
104
Wanita hamil
disebabkan
oleh
ascites
atau
hydrothorax.
Hemokonsentrasi,
105
kalsium
ke
ruang
intraseluler
(insulin/glukosa,
sodium
adanya
thromboemboli
106
menunjukkan
indikasi
untuk
yang ruptur
dengan perdarahan,
yang
yang
tidak
terlalu
familiar
dengan
patofisiologi
sindroma
hiperstimulasi ovarium.
Pengetahuan dan deteksi tepat mengenai faktor resiko dari hiperstimulasi
ovarium, penting untuk pencegahan. Peningkatan level serum estradiol yang
cepat, dengan konsentrasi >2.500 pg/ml, dan hasil observasi berupa adanya
sejumlah besar folikel ovarium berukuran kecil hingga sedang, merupakan
indikator
resiko
tinggi
dan
sinyal
untuk
lebih
berhati-hati.
Harus
tambahan hCG.
Kanker Payudara dan Ovarium
Bukti yang menunjukkan bahwa obat induksi ovulasi mungkin terkait
dengan peningkatan resiko kanker payudara atau ovarium, telah diulas saat
mendiskusikan resiko potensial yang dimiliki terapi clomiphene sebelumnya
pada chapter ini. Singkatnya, sebuah analisis terhadap hasil dari 8 studi case
control menemukan bahwa obat fertilitas yang digunakan pada wanita subfertil
nullipara, terkait dengan peningkatan insiden tumor ovarium serosa borderline
(OR=2.43, CI=1.01-5.88) namun tidak dengan kanker invasive (OR=1.60,
CI=0.90-2.87). Meskipun sebagian besar studi tidak menemukan bukti bahwa
obat fertilitas dapat meningkatkan resiko keseluruhan dari kanker payudara,
namun hasil dari satu studi case control menemukan bahwa penggunaan
107
108
hypothalamus
buatan.
Pada
wanita
dengan
hipogonadisme
Sebagaimana sering
109
besar, dosis dan durasi terapi GnRH eksogen yang dibutuhkan untuk
menginduksi ovulasi tergantung pada lingkungan endokrin pada tubuh seorang
wanita.
Pada wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik primer, dosis rendah
(2.5 g/pulse) dapat menginduksi ovulasi secara efektif, namun konsentrasi LH
fase folikuler mungkin tetap lebih rendah daripada normal dan konsentrasi
progesterone fase luteal seringkali juga menurun; kedua konsentrasi tersebut
umumnya akan normal bila digunakan GnRH dengan dosis yang lebih tinggi (5.0
g/pulse). Durasi terapi yang lebih lama biasanya diperlukan karena simpanan
gonadotropin pituitary yang tersedia sangatlah kurang akibat rendahnya sekresi
GnRH
endogen
sebelumnya.
Pada
wanita
dengan
hipogonadisme
110
GnRH mungkin merupakan hasil dari supresi level androgen intra-ovarium dan
perbaikan (peningkatan) rasio FSH/LH sebelum terapi GnRH dimulai.
Setelah dicapai ovulasi, terapi GnRH dapat dilanjutkan dengan frekuensi
pulse yang sama atau lebih lambat (setiap 120 hingga 240 menit). Meskipun
kedua konsentrasi tersebut dapat menstimulasi sekresi LH endogen yang cukup
untuk mendukung fungsi corpus luteum normal, namun frekuensi yang lebih
lambat akan lebih menyamai penurunan frekuensi pulse endogen yang terjadi
pada siklus normal selama fase luteal dan mungkin dapat membantu
menurunkan besarnya biaya terapi. Meski demikian, lebih mudah dan lebih
murah serta sama efektifnya bila terapi dihentikan setelah ovulasi terjadi dan
dilakukan support terhadap fase luteal dengan pemberian hCG dosis kecil (2.000
IU setiap 3 hari) atau dengan progesteron eksogen.
Monitoring Terapi GnRH Eksogen
Salah satu keuntungan dari terapi pompa GnRH dibandingkan terapi
gonadotropin eksogen, adalah bahwa monitoring tidak diperlukan bila efektifitas
terapi telah ditetapkan. Pengukuran estradiol dan USG ovarium berkala, dapat
dilakukan sebagai terapi monitoring untuk terapi yang sedang berjalan, namun
sebenarnya tidaklah diperlukan. Bukti obyektif dari ovulasi bisa didapatkan dari
pencatatan BBT atau pengukuran progesterone berkala. Bila diperlukan, waktu
ovulasi dapat diestimasi secara lebih akurat dengan memonitor ekskresi LH
dalam urine sebagaimana dilakukan pada siklus spontan serta siklus dengan
induksi clomiphene.
buruk
pada
polycystic
ovary
syndrome.
Pada
hipogonadisme
hipogonadotropik, cycle fecundity yang dicapai setara dengan wanita fertil normal
dan tingkat kehamilan kumulatif dapat mencapai 80% atau lebih setelah 6-12
siklus terapi. Pada . Pada polycystic ovary syndrome,cycle fecundability dan
tingkat kehamilan kumulatif yang dicapai lebih rendah, dan saat ovulasi dapat
111
Umumnya,
resiko kehamilan ganda pada siklus konsepsi dengan induksi GnRH setara
dengan siklus terapi clomiphene (5-8%) dan 40-75% lebih rendah daripada
resiko yang disebabkan oleh terapi gonadotropin eksogen pada wanita
anovulatoir (sekitar 15%).
112
menyerupai
dopamine
melalui
ikatannya
ke
reseptor
dopamine.
Konsentrasi bromocriptine dalam serum mencapai puncak 1-3 jam setelah dosis
oral bromociptine, dan sangat sedikit yang tetap berada di sirkulasi setelah 14
jam post administrasi; sebuah dosis oral 2.5 mg secara umum akan menurunkan
konsentrasi prolactin hingga selama 12 jam. Bila diadministrasikan intra vagina,
dosis bromocriptine yang sama mecapai efek puncak sekitar 10-12 jam
kemudian yang dipertahankan selama 12 jam kemudian. Cabergoline adalah
agonis dopamine kerja panjang dengan afinitas yang tinggi terhadap reseptor
dopamine. Cabergoline dosis tunggal secara efektif menghambat sekresi
prolactin selama 7 hari atau bahkan lebih.
113
agen agonis
dopamine
besarnya
tidak,
karena
konsekuensi
neuroendokrin
dari
adalah berlebihnya produksi bentuk biologis aktif dari prolactin yang tidak
terdeteksi pada semua sistem pemeriksaan imunologis dan sekresi prolactin
nocturnal yang sementara namun berlebihan inilah yang tidak terdeteksi di
pengambilan sampel darah acak.
Hingga 30% wanita dengan polycystic ovary syndrome dapat mengalami
hiperprolaktinemia ringan. Penurunan level inhibisi dopaminergic juga telah
diketahui sebagai penyebab dari peningkatan konsentrasi serum LH yang
terdapat pada wanita tersebut. Konsekuensinya, agonis dopamine juga telah
diajukan sebagai terapi adjuvant untuk wanita hiperprolaktinemik anovulatoir
dengan polycystic ovary syndrome yang memerlukan terapi gonadotropin
eksogen. Bukti menunjukkan bahwa pre-terapi dengan agonis dopamine dapat
melembutkan respon ovarium terhadap gonadotropin eksogen sehingga
diharapkan mampu menurunkan resiko kehamilan ganda dan hiperstimulasi
ovarium yang terkait dengan terapi gonadotropin eksogen.
114
115
Secara
umum,
terapi
agonis
dopamine
akan
menormalkan
dan
kali
lipatnya.
Setelah
penghentian
terapi
agonis
dopamine,
hiperprolaktinemia dan disfungsi menstrual yang ada akan kembali ada pada 7580% wanita.
Sebuah
penelitian
random
terkontrol
yang
melibatkan
wanita
116
memperbaiki ketaatan terapi. Bila banyak dosis oral yang tidak terabsorbsi atau
termetabolisme dengan cepat saat first pass melalui liver, absorbsi melalui
vagina lebih komplit dan tidak melalui metabolisme hepar. Konsekuensinya, hasil
terapi seringkali dicapai dengan dosis rendah saat obat tersebut diadministrasi
melalui vagina.
Resiko Terapi Agonis Dopamin
Tidak ada bukti bahwa agonis dopamine menyebabkan peningkatan resiko
abortus spontan atau defek lahir. Berbagai studi terhadap wanita yang
mengalami konsepsi dengan terapi ini tidak menemukan adanya peningkatan
abortus spontan atau anomaly kongenital pada kehamilan tersebut akibat terapi
dengan bromocriptine atau cabergoline.
117
CHAPTER 32
TEKNOLOGI REPRODUKSI YANG DIBANTU
(ASSISTED REPRODUCTIVE TECHNOLOGY)
tidak lagi. Konsekuensinya, metode invasive tersebut kini hanya memiliki indikasi
yang terbatas.
Tujuan dari chapter ini adalah memberikan ulasan untuk indikasi-indikasi
ART, metode paling banyak digunakan untuk stimulasi ovarium, pengambilan
oocyte, pengambilan sperma, fertilisasi, dan transfer embryo/gamet, dan hasil
serta komplikasi ART, dengan penekanan terhadap teknologi yang baru
dikembangkan serta area kontroversinya.
INDIKASI UNTUK IVF
IVF pertama kali dikembangkan untuk mengatasi infertilitas akibat penyakit
tuba yang tidak dapat diperbaiki, namun saat ini diaplikasikan dengan lebih luas
untuk hampir semua kasus infertilitas. IVF paling diindikasikan bila metode ini
diharapkan dapat mengatasi satu atau lebih penghalang fertilitas spesifik yang
tidak dapat diterapi; contoh yang paling jelas adalah penyakit tuba berat akibat
infeksi atau endometriosis berat sebelumnya serta faktor inferilitas berat pada
pria. IVF juga seringkali menjadi terapi terbaik untuk pasangan dengan banyak
faktor infertilitas karena metode ini secara efektif dapat mengatasi semua
penyebab infertilitas dalam satu waktu. IVF merupakan pilihan terapi utama
untuk wanita dengan subfertilitas terkait usia atau yang tidak dapat dijelaskan
dan merepresentasikan usaha akhir terapi untuk pasangan di mana semua terapi
lainnya telah gagal.
Pada wanita dengan kegagalan ovarium primer namun dalam kondisi sehat
pada usia reproduksi normal, IVF dengan menggunakan oocyte dari donor muda
biasanya sangat sukses. Untuk wanita dengan ovarium normal namun tidak
memiliki uterus secara fungsional (Mullerian agenesis, adhesi intrauterine berat,
histerektomi sebelumnya) dan wanita dengan gangguan medis di mana
kehamilan akan memberikan resiko yang besar, maka IVF dengan transfer
embryo ke donor rahim (rahim pinjaman) masih memberikan kemungkinan
didapatkannya keturunan. Pada pasangan yang membawa gangguan genetik
autosomal resesif atau terkait sex (sex-linked) atau translokasi kromosom
seimbang, maka IVF dengan PGD dapat digunakan untuk menghindari resiko
mencapai
kehamilan
dengan
anak
yang
terkena
gangguan
genetik
119
kegagalan IVF berulang yang tidak terjelaskan meskipun embryo yang ditransfer
tampak normal.
Infertilitas Akibat Faktor Tuba
Sebelum kemajuan IVF, wanita dengan obstruksi tuba bilateral yang tidak
dapat diperbaiki, biasanya steril, dan prognosis untuk wanita dengan obstruksi
distal dengan derajat yang lebih ringan biasanya cukup. Pada ART era modern,
terapi operasi telah menurun kepentingannya dan prognosis untuk wanita
dengan infertilitas akibat faktor tuba telah meningkat secara dramatis.
Keuntungan dan kerugian relatif dari operasi dan IVF dalam terapi untuk
infertilitas akibat faktor tuba dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pilihan di
antara keduanya, didiskusikan di Chapter 27, dan hanya sedikit disimpulkan di
sini.
setelah
IVF
hingga
separuhnya.
120
Meskipun
mekanisme
yang
tubal
cannulation
atau
laparoskopic
chromotubation,
yang
sukses
menggunakan
fluoroscopic
atau
hysteroscopic
tubal
121
Endometriosis Berat
Pilihan terapi untuk wanita infertil dengan endometriosis tahap lanjut
meliputi terapi operasi konservatif dan IVF.
123
lebih tua, wanita dengan faktor infertilitas penyerta lainnya, dan wanita yang
gagal diterapi dengan metode terapi lainnya, IVF masih menawarkan pilihan
terapi terbaik secara umum.
Infertilitas Akibat Faktor Pria
Kualitas semen yang buruk merupakan penyebab tunggal infertilitas pada
sekitar 20% pasangan infertil dan merupakan faktor penting pada 20-40%
pasangan lain dengan kegagalan reproduksi. Banyak pria infertil dengan
gangguan yang dapat diterapi secara medis ataupun operatif yang bila
didiagnosis dan diterapi dengan tepat, maka gangguan tersebut dapat diatasi
dan memungkinkan pria tersebut untuk mencapai konsepsi alami dengan partner
mereka. Pada pria lainnya, abnormalitas semen yang ringan namun penting,
dapat diatasi dengan IUI. Bila terapi tidak mungkin dilakukan atau mengalami
kegagalan dan inseminasi dengan sperma donor tidak menjadi pilihan yang
diterima, maka IVF dan ICSI dengan menggunakan sperma yang diisolasi dari
ejakulat atau diekstraksi dari epididymis atau testis dapat memberikan
kemungkinan kesuksesan yang realistis. Evaluasi dan terapi untuk faktor
infertilitas pada pria difokuskan pada Chapter 30. Diskusi di sini dibatasi pada
indikasi untuk ART.
Kemungkinan adanya faktor infertilitas meningkat pada pria dengan
ejakulat yang secara konsisten memiliki konsentrasi sperma <13.5 juta/ml,
motilitas progresif <32%, atau morfologi normal <9% (kriteria strict, WHO standar
III). Kemungkinan keseluruhan infertilitas pria meningkat sesuai peningkatan
jumlah parameter abnormal dalam rentang subfertil; kemungkinannya 2-3 kali
lipat lebih tinggi bila satu parameter abnormal, 5-7 kali lebih tinggi bila dua
parameter abnormal, dan 16 kali lebih tinggi bila 3 parameter abnormal.
Terapi
medis
atau
operatif
untuk
menormalkan
atau
setidaknya
memperbaiki kualitas semen yang buruk selalu menjadi pilihan pertama yang
paling sesuai, bila memungkinkan. Bila terapi tidak dapat dilakukan atau terbukti
tidak sukses, IUI pada waktu yang tepat dapat membantu untuk memperbaiki
cycle fecundity pada beberapa pasangan dengan faktor infertilitas pada pria.
Hasil terbaik dicapai bila jumlah total sperma motile >10 juta dan 14% atau lebih
sperma memiliki morfologi normal (kriteria strict; WHO standar III). Cycle
fecundity dari siklus terapi IUI menurun sesuai penurunan jumlah sperma motile
atau jumlah sperma dengan morfologi normal dan IUI jarang sukses bila sperma
124
yang diinseminasikan <1 juta sperma motile atau <4% sperma dengan morfologi
normal.
Kemungkinan sukses IUI juga menurun sesuai dengan peningkatan usia
partner wanita dan dengan adanya faktor infertilitas lain yang menyertai
(disfungsi ovulasi, faktor uterus dan faktor tuba). Bila IUI yang dilakukan pada
siklus spontan ataupun siklus yang diinduksi clomiphene (pada wanita
anovulatoir) mengalami kegagalan (setelah 3-4 siklus) atau bila usia partner
wanita >35 tahun, stimulasi gonadotropin eksogen akan dapat memperbaiki
cycle fecundity. Dengan mempertimbangkan semua variabel yang relevan, data
yang ada menunjukkan bahwa cycle fecundity memiliki rentang antara 3-10%
bila IUI dilakukan menggunakan sperma partner yang infertil, dan sekitar 3 kali
lebih tinggi (9-30%) bila digunakan sperma donor.
Bila IUI tidak mungkin untuk dilakukan, atau bila prognosis kesuksesan IUI
buruk, atau IUI terbukti gagal dan inseminasi donor terapeutik ditolak, maka IVF
dapat menjadi alternatif logis. Tingkat fertilisasi konvensional pada siklus IVF
secara umum buruk bila jumlah total sperma motile <3 juta atau bila jumlah
sperma
dengan
morfologi
normal
<4%.
Konsekuensinya,
saat
ini
125
fertilisasi dan penurunan tingkat kehamilan secara umum pada pasangan yang
telah gagal menjalani terapi dengan gonadotropin/IUI, yang menunjukkan bahwa
abnormalitas fertilisasi, gangguan perkembangan embryo fase awal, atau
abnormalitas implantasi bertanggung jawab untuk infertilitas tak terjelaskan pada
banyak pasangan.
Kegagalan Ovarium dan Penurunan Simpanan Ovarium
IVF menggunakan oocyte dari donor muda pertama kali dikembangkan
untuk wanita dengan kegagalan ovarium primer atau menopause. Saat ini, IVF
menggunakan donor oocyte paling banyak dilakukan pada wanita berusia >42
tahun dan pada wanita lain dengan hasil pemeriksaan simpanan (reserve)
ovarium mengindikasikan kemungkinan buruknya prognosis untuk sukses
dengan IVF bila menggunakan oocyte mereka sendiri (Chapter 27).
Wanita dengan ovarium yang tidak dapat diakses dan wanita dengan
rekurensi hasil embryo IVF yang buruk, juga merupakan kandidat untuk IVF
dengan donor oocyte.
Indikasi Lain untuk IVF
Wanita yang baru saja terdiagnosis kanker atau gangguan medis lain yang
membutuhkan terapi segera (kemoterapi, terapi radiasi) yang memiliki ancaman
serius terhadap fertilitasnya di masa depan, mungkin dapat menjadi kandidat
untuk IVF dan cryopreservation embryo sebelum terapi dimulai, bila kondisi
kesehatan dan waktunya memungkinkan. Penelitian saat ini terhadap metode
pembekuan oocyte atau jaringan ovarium memberikan kemungkinan sukses
yang besar untuk wanita-wanita tersebut dan wanita yang belum mencapai usia
reproduksi atau wanita yang tidak memiliki partner pria.
Wanita dengan ovarium normal namun tidak memiliki uterus fungsional
akibat anomaly kongenital (Mullerian agenesis), penyakit tahap lanjut (multiple
myeloma, adhesi intrauterine berat), atau riwayat histerektomi sebelumnya, dan
wanita dengan kondisi medis di mana kehamilan dapat memberikan resiko medis
yang serius, mungkin dapat berkesempatan untuk tetap memiliki keturunan
melalui IVF atau transfer embryo ke uterus dari rahim pinjaman.
Wanita dengan gangguan ovulasi (hipogonadisme hipogonadotropik,
polycystic ovary syndrome) secara umum dapat diterapi efektif dengan berbagai
medikasi induksi ovulasi (Chapter 31). Pada beberapa wanita anovulatoir yang
126
siklus yang dikonversikan setara dengan yang didapatkan dari siklus IVF yang
memang sejak awal diinginkan.
respon terhadap terapi namun tidak mengalami konsepsi, juga mungkin dapat
menjadi kandidat untuk IVF.
Wanita yang membawa resiko genetik atau gangguan yang mungkin akan
diturunkan pada keturunannya, mungkin dapat menjadi kandidat IVF dengan
dilakukannya diagnosis genetil pre-implantasi untuk mengidentifikasi dan
mengeksklusi embryo yang mengalami gangguan. Diagnosis genetik preimplantasu paling banyak digunakan pada pasangan yang membawa gangguan
genetik autosomal resesif dan gangguan genetik terkait sex (sex linked) atau
mengalami translokasi kromosom seimbang. Wanita yang membawa kelainan
genetik yang tidak dapat terdeteksi melalui diagnosis genetik pre-implantasi atau
yang menolak dilakukannya diagnosis genetik pre-implantasi, mungkin dapat
menjadi kandidat untuk IVF dengan donor oocyte. Makin banyak perhatian yang
diberikan
untuk
pengaplikasian
diagnosis
genetik
pre-implantasi
untuk
aneuploidy screening di antara embryo dari wanita dengan usia yang lebih tua,
wanita dengan abortus berulang, dan wanita dengan kegagalan IVF berulang
yang tak terjelaskan meskipun embryo yang ditransfer tampak normal.
FAKTOR-FAKTOR PROGNOSTIK
Kemungkinan kesuksesan IVF sangat terkait dengan beberapa faktor,
banyak di antaranya belum diketahui hingga siklus terapi benar-benar telah
berjalan (respon terhadap stimulasi) atau bahkan hingga siklus hampir selesai
(jumlah dan kualitas embryo). Sebelum siklus IVF dimulai, indikator prognosis
primer untuk sukses adalah usia maternal, simpanan ovarium, dan kapabilitas
reproduksi di masa lalu.
Wanita yang lebih muda dan wanita dengan simpanan ovarium normal,
lebih mungkin untuk mendapatkan kehamilan daripada wanita dengan usia lebih
127
tua dan wanita dengan penurunan simpanan ovarium. Wanita dengan kelahiran
hidup sebelumnya lebih mungkin untuk sukses daripada wanita nullipara; tingkat
kesuksesan juga lebih rendah untuk wanita dengan siklus IVF yang gagal
sebelumnya. Meski demikian, riwayat kehamilan yang tidak sukses sebelumnya
tidak mempengaruhi kemungkinan kesuksesan IVF.
Sebuah meta analysis dari penelitian terhadap hasil dari siklus IVF
menyimpulkan bahwa wanita dengan endometriosis memiliki prognosis yang
lebih buruk daripada wanita dengan faktor tuba lainnya. Meski demikian, data
tahunan nasional dari tingkat kesuksesan ART mengindikasikan bahwa untuk
semua diagnosis selain penurunan simpanan ovarium, tingkat kesuksesan IVF
hanya memiliki sedikit variasi berdasarkan sebab infertilitasnya. Semua wanita
merokok sangat dianjurkan untuk berhenti merokok sebelum dilakukannya IVF
karena merokok menurunkan kemungkinan kesuksesan hingga 50%.
Usia Maternal
Hubungan antara usia maternal dan fertilitas dan mekanisme fisiologis
yang bertanggung jawab untuk penurunan fertilitas terkait usia dan peningkatan
insiden abortus spontan, didiskusikan detail di Chapter 27 dan 28. Pada chapter
ini, fokus berada pada hubungan antara usia maternal dan hasil IVF.
Data dari studi longitudinal di komunitas Hutterite dan populasi nasional
lainnya (tanpa menggunakan kontrasepsi) mengindikasikan bahwa fertilitas pada
wanita berpuncak antara usia 20-24 tahun dan kemudian menurun dengan
konstan, sebesar 4-8% pada usia 25-29 tahun, 15-19% pada usia 30-34 tahun,
26-46% pada usia 35-39 tahun, dan hingga 95% setelah usia 40 tahun. Seiring
peningkatan usia maternal dan penurunan fertilitas, insiden abortus spontan juga
meningkat. Bukti dari banyak penelitian sangat mendukung kesimpulan bahwa
penyebab dari perubahan terkait usia pada kemampuan reproduktif adalah
meningkatnya prevalensi aneuploidy pada oocyte dengan usia tua akibat
gangguan mekanisme regulasi yang mengatur pembentukan dan fungsi spindle
meiosis.
Tingkat kesuksesan yang dicapai ART, seperti halnya tingkat fertilitas
alami, menurun seiring penambahan usia maternal. Jumlah oocyte yang diambil
dan embryo yang bisa hidup, juga makin rendah, tingkat fragmentasi embryo
makin tinggi, dan tingkat implantasi serta kelahiran hidup juga semakin rendah
pada wanita usia tua daripada wanita yang lebih muda. Tingkat kehamilan telah
128
meningkat selama 15 tahun belakangan untuk wanita di semua usia, namun data
nasional tahunan tentang tingkat kesuksesan ART di US sejak tahun 1989
secara konsisten menunjukkan bahwa usia merupakan satu indikator prognostik
yang paling penting. Secara umum, tingkat kehamilan dan tingkat lahir hidup
untuk siklus ART yang melibatkan oocyte segar non-donor atau embryo segar,
hanya sedikit bervariasi untuk wanita <32 tahun, namun menurun konstan seiring
pertambahan usia. Di data nasional tahun 2001, tingkat kelahiran hidup dari
setiap transfer embryo adalah 41.1% untuk wanita usia <35 tahun; 35.1% untuk
usia 35-37 tahun; 25.4% untuk usia 38-40 tahun; 14.5% untuk usia 41-42 tahun;
5.9% untuk usia 43 tahun; dan 2.9% untuk wanita usia 44 tahun atau lebih.
Simpanan Ovarium (Ovarian Reserve)
Konsep simpanan ovarium, secara umum didefinisikan sebagai ukuran dan
kualitas dari pool folikel ovarium yang tersisa, dan berbagai metode
pengukurannya, didiskusikan detail di Chapter 27. Jumlah total oocyte pada
sembarang wanita telah ditentukan secara genetik dan jumlahnya menurun,
tanpa bisa dihindari, selama masa hidup, dari sekitar 1-2 juta saat lahir hingga
menjadi sekitar 300.000 saat pubertas, 25.000 saat usia 37-38 tahun (saat fase
penghancuran folikel semakin cepat), dan <1.000 saat menopause.
Folikel
Peningkatan
129
FSH hari siklus 3 dan tes clomiphene citrate challenge merupakan metode yang
paling banyak digunakan. Pemeriksaan simpanan ovarium secara umum sangat
dapat dipercaya, namun tidak selalu sempurna. Standar yang kaku akan
beresiko memunculkan rekomendasi yang tidak sesuai untuk melakukan atau
tidak melakukan terapi, keduanya harus dihindari. Kecuali bila sangat tidak
normal, hasil tes harus digunakan untuk menjadi guide dan bukan untuk
menunda terapi.
130
ovarium abnormal, secara umum buruk, bahkan bila wanita tersebut masih
berusia muda. Untuk wanita dengan hasil tes normal, prognosis akan terkait
dengan usia; hasil tes normal tidak memperbaiki prognosis yang buruk (terkait
usia) pada wanita usia tua. Meskipun hasil dari pemeriksaan simpanan
ovarium mungkin bervariasi antar siklus, khususnya pada wanita usia tua
dengan
konsentrasi
FSH
tinggi,
namun
respon
terhadap
stimulasi
gonadotropin secara umum tetap sama. Wanita yang memiliki hasil tes normal
maupun abnormal secara umum berespon buruk, sehingga pemeriksaan
ulang pada wanita dengan hasil tes abnormal tidak memberikan nilai
tambahan. Sebaliknya, pemeriksaan berulang pada wanita yang lebih tua
dengan hasil tes awal normal mungkin lebih baik dilakukan sebelum terapi
dimulai.
EVALUASI SEBELUM IVF
Individu dan pasangan yang memiliki satu atau lebih indikasi yang telah
didiskusikan sebelumnya dan merupakan kandidat untuk IVF, memerlukan
evaluasi tambahan spesifik sebelum siklus terapi dimulai. Minimal, evaluasi
berikut ini direkomendasikan untuk dilakukan.
Ovarian Reserve (Simpanan Ovarium)
Pemeriksaan
simpanan
ovarium
memiliki
nilai
prognostik
dan
30).
Dapat
dilakukan
pembekuan
specimen
semen
untuk
132
Histerosalpingografi
yang dilakukan di awal proses evaluasi diagnostik mungkin sudah cukup bila
seluruhnya normal dan relatif baru (dalam 6 bulan). Bila cavum uteri diperiksa
pada jangka waktu sebelumnya yang lebih lama atau bahkan tidak pernah sama
sekali, dan bila terdapat alasan untuk menduga abnormalitas cavum uteri,
sonohisterografi atau histeroskopi dapat diindikasikan untuk dilakukan. Meskipun
beberapa peneliti menyarankan histeroskopi pre-eliminer rutin sebelum IVF,
sonohisterografi
lebih
mudah
untuk
dilakukan
dan
sensitivitas
serta
133
tinggi, tunggal ataupun dengan kombinasi dengan agonis atau antagonis GnRH).
Setiap agen memiliki keuntungan, kerugian, dan aplikasi masing-masing.
Pemilihan regimen stimulasi untuk setiap individu harus didasarkan pada usia,
respon terhadap stimulasi sebelumnya, serta simpanan ovarium.
Siklus Alami
Kelahiran pertama hasil dari IVF berasal dari oocyte yang diambil pada
siklus menstruasi alami tanpa stimulasi. IVF siklus alami tentu saja masih
memungkinkan, namun tingkat penundaan/pembatalannya tinggi (25-75%) dan
tingkat kesuksesan untuk setiap siklus adalah sangat rendah bila dibandingkan
hasil yang dicapai pada siklus dengan stimulasi ovarium. Bahkan bila
pengambilan oocyte dan fertilisasi telah sukses, siklus alami biasanya akan
menghasilkan hanya satu oocyte mature dan satu embryo. Tidak ada
kesempatan untuk memilih atau membekukan embryo yang ada dan tingkat
kesuksesan secara umum merefleksikan relative rendahnya efisiensi implantasi
dari satu embryo. IVF dengan siklus alami tetap merupakan pilihan bagi wanita
yang tidak berespon terhadap stimulasi ovarium (memproduksi hanya 1-2 folikel)
dan wanita dengan kondisi medis di mana resiko akibat stimulasi lebih baik
dihindari. hCG eksogen diadministrasikan bila folikel utama mencapai ukuran
yang konsisten dengan maturitas penuh, sehingga mengeliminasi kebutuhan
untuk melakukan monitoring berulang terhadap level serum LH endogen (untuk
mendeteksi LH surge) dan menentukan waktu optimum yang lebih baik untuk
pengambilan oocyte. Terapi adjuvant dengan antagonis GnRH mungkin dapat
membantu mencegah LH surge prematur dan untuk memperbaiki hasil yang
dicapai oleh IVF dengan siklus alami.
Obat induksi ovulasi akan menstimulasi perkembangan multifolikuler dan
memungkinkan
pengambilan
sejumlah
oocyte,
sehingga
menaikkan
134
normal, meskipun hasil telur (1-3) hanya sedikit lebih besar daripada siklus tanpa
stimulasi dan jauh lebih rendah pada siklus yang distimulasi dengan
gonadotropin eksogen. Tingkat pembatalan siklus lebih rendah daripada siklus
normal dan jumlah oocyte yang diambil, embryo yang ditransfer, dan tingkat
kehamilan lebih besar dari siklus normal.
eksogen
dosis
rendah,
lebih
efektif
dalam
menstimulasi
Harga obat
dan kebutuhan monitoring sedikit lebih tinggi, namun masih jauh lebih rendah
daripada standar regimen untuk long protocols yang melibatkan gonadotropin
dosis tinggi setelah sebelumnya dilakukan down regulation dengan agonis
GnRH kerja panjang. Meskipun lebih sedikit oocyte yang diperoleh dan lebih
sedikit embryo yang tersedia untuk transfer atau dibekukan, namun tingkat
kehamilan yang dicapai pada siklus transfer fresh tidak lebih rendah dan resiko
hiperstimulasi ovarium justru lebih rendah. Kekurangan utama dari regimen
stimulasi
sekuensial
clomiphene/gonadotropin
adalah
rendahnya
potensi
135
Pengenalan agen agonis GnRH kerja panjang di akhir tahun 1980an telah
merevolusi pendekatan stimulasi ovarium pada ART dengan menyediakan down
regulation terhadap sekresi gonadotropin pituitary endogen sehingga dapat
mencegah LH surge prematur selama stimulasi gonadotropin eksogen. Terapi
adjuvant dengan agonis GnRH menghilangkan kebutuhan untuk melakukan
pemeriksaan serum LH secara berkala dan menurunkan ketakutan akan
luteinisasi premtur yang sebelumnya menyebabkan penundaan siklus pada 20%
dari semua siklus IVF sebelum pengambilan oocyte. Karena kurang dari 2% dari
siklus yang terkomplikasi oleh LH surge prematur setelah dilakukan down
regulation dengan agonis GnRH, maka stimulasi dapat dilanjutkan hingga folikel
berukuran lebih besar dan lebih matang. Penelitian klinis kemudian menemukan
bahwa hasil telur dan tingkat kehamilan lebih tinggi secara signifikan daripada
hasil pada siklus yang distimulasi oleh gonadotropin eksogen tunggal. Selain itu,
terapi agonis GnRH menawarkan keuntungan tambahan berupa fleksibilitas
jadwal, sehingga memungkinkan program untuk mengkoordinasikan awal siklus
untuk sejumlah wanita dengan hanya merubah durasi supresi agonis GnRH.
Tidak mengagetkan bahwa long protocol dengan cepat menjadi regimen
stimulasi ovarium yang lebih dipilih untuk semua bentuk ART. Kerugian dari long
protocol hanyalah bahwa terapi agonis GnRH terkadang menurunkan respon
teerhadap stimulasi gonadotropin selanjutnya sehingga diperlukan peningkatan
dosis dan durasi terapi gonadotropin untuk menstimulasi perkembangan folikel.
Biaya kombinasi dari gonadotropin tambahan dan agonis itu sendiri juga
meningkatkan biaya total terapi. Namun demikian, karena agonis GnRH memiliki
lebih banyak manfaat daripada kerugian, maka long protocols tetap menjadi
regimen standar untuk stimulasi ovarium pada siklus ART untuk lebih dari satu
dekade.
Pada siklus umum, terapi GnRH agonis dimulai selama fase mid-luteal,
sekitar 1 minggu setelah ovulasi, pada waktu level gonadotropin endogen berada
atau di dekat titik nadir dan pelepasan akut dari simpanan gonadotropin pituitary
sebagai respon terhadap agonis, yang disebut sebagai flare, tidak akan
menstimulasi perkembangan folikel baru.
folikuler awal, namun waktu yang diperlukan untuk mencapai down regulation
pituitary lebih lama dan prevalensi timbulnya folikel cystic lebih tinggi. stimulasi
gonadotropin juga menghasilkan lebih banyak folikel dan oocyte bila terapi
agonis dimulai selama fase luteal, mungkin karena produksi androgen yang
136
injeksi
subkutan
atau
spray
intranasal)
dan
triptorelin
137
Idealnya, supresi efektif dari terapi agonis GnRH terhadap level serum
estradiol (<40 pg/ml) dan aktivitas folikel ovarium (pemeriksaan USG trans
vaginal tidak terlihat adanya kista folikuler >10-15 mm) harus sudah terjadi
sebelum stimulasi gonadotropin dimulai. Bahkan saat terapi agonis GnRH
dimulai selama fase mid luteal, beberapa wanita mungkin memerlukan durasi
terapi yang lebih lama untuk mencapai supresi atau bila tidak maka akan terjadi
perkembangan kista folikuler. Signifikansi dari hasil observasi ini masih
kontroversial. Beberapa peneliti menemukan bahwa kista baseline terkait dengan
buruknya respon terhadap stimulasi gonadotropin, penurunan jumlah oocyte dan
embryo, dan penurunan tingkat kesuksesan IVF secara umum, namun peneliti
lain tidak menemukan hal tersebut. Meskipun hasil yang didapatkan pada siklus
lengkap mungkin mirip dengan wanita dengan dan tanpa kista baseline, tingkat
penundaan siklus lebih tinggi pada wanita dengan kista. Secara keseluruhan,
sejumlah besar bukti yang ada menunjukkan bahwa wanita yang memerlukan
durasi terapi agonis GnRH yang lebih panjang untuk mencapai supresi atau
wanita yang mengalami perkembangan kista, lebih mungkin untuk berespon
buruk terhadap stimulasi gonadotropin; sehingga banyak kemungkinan untuk
terjadi ketidaksuksesan. Manajemen kista ovarium baseline juga masih
kontroversial. Aspirasi kista segera sebelum dimulai stimulasi tampaknya tidak
memberikan efek buruk terhadap respon selanjutnya terhadap stimulasi dan
mungkin akan meningkatkan respon folikuler pada ovarium yang diaspirasi,
namun mungkin tidak diindikasikan untuk wanita dengan ovarium kontralateral
yang normal.
Dosis inisial gonadotropin eksogen yang digunakan untuk menstimulasi
perkembangan folikel ovarium setelah sebelumnya dilakukan down regulation
dengan agonis GnRH, harus benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan wanita
138
secara individu. Dosis awal biasanya memiliki rentang antara 225-300 IU FSH
urine (uFSH), rekombinan FSH (rFSH), atau menotropins urine (hMG)/hari,
tergantung usia, hasil pemeriksaan simpanan ovarium, dan respon yang
didapatkan pada siklus superovulasi atau IVF sebelumnya. Baik step up
maupun step down dapat digunakan, namun biasanya lebih dipilih step down.
Semua
preparat
gonadotropin
kontemporer,
termasih
hCG,
dapat
Peralatan injeksi
yang baru-baru ini dikembangkan pasti akan segera memudahkan terapi dan
mengurangi ketidaknyamanan akibat injeksi berulang.
Saat diperkenalkan ke
praktik klinis, bentuk fFSH kerja panjang yang baru dikembangkan (diciptakan
dengan menyusun gen chimeric yang mengandung sekuens yang mengkode
peptide terminal C dari I2-hCG yang disatukan dengan I2-FSH) memiliki waktu
paruh 3 kali lebih lama daripada rFSH standar (95 vs 32 jam), yang memberikan
kemungkinan untuk memudahkan terapi dengan menurunkan jumlah injeksi yang
dibutuhkan. Kelahiran hidup pertama dari terapi tersebut telah dilaporkan.
Penelitian klinis dan meta analisis telah membandingkan hasil dari siklus
ART yang distimulasi dengan uFSH, rFSH, atau hMG, dengan atau tanpa preterapi agonis GnRH. Sebuah meta analisis yang mencakup 18 studi yang
membandingkan uFSH dan rFSH (hanya 1 yang menggunakan terapi agonis
GnRH) menemukan bahwa tingkat kehamilan klinis lebih tinggi pada wanita yang
diterapi rFSH (OR=1.29; CI=1.08-1.54). Meski demikian, analisis lain terhadap
kumpulan data dari 2 penelitian klinis besar yang membandingkan rFSH dengan
uFSH yang dimurnikan, menyimpulkan bahwa kedua preparat FSH tersebut
memiliki efikasi yang setara. Dua meta analisis berbeda yang membandingkan
uFSH dan hMG menemukan bahwa uFSH memberikan hasil yang lebih baik saat
digunakan sendirian, namun hasil yang sama didapatkan pada wanita yang
diberikan pre-terapi dengan agonis GnRH. Sebuah penelitian klinis random
terkontrol yang membandingkan rFSH dan hMG setelah dilakukan down
regulation dengan agonist GNRH menemukan tidak ada perbedaan dalam
tingkat kehamilan yang dicapai, namun sebuah meta analisis yang mencakup 5
penelitian dengan desain yang sama menemukan bahwa tingkat kehamilan klinis
lebih tinggi pada wanita yang diterapi hMG (OR=1.22; CI=1.03-1.44). Terakhir,
sebuah meta analisis lain menyimpulkan bahwa rFSH memberikan hasil yang
lebih baik daripada hMG pada long protocols. Tidak perlu dikatakan bahwa bukti
139
kuat yang menyatakan superioritas salah satu preparat gonadotropin saat ini
masih sangat kurang.
Kekhawatiran tetap ada mengenai kemungkinan terapi agonis GnRH akan
mensupresi level LH endogen hingga di bawah yang diperlukan untuk
perkembangan folikel normal, setidaknya pada beberapa wanita. Karena hanya
sekitar 1% dari reseptor LH yang harus terikat untuk mensupport steroidogenesis
folikel normal, maka sekresi LH yang rendah setelah down regulation dengan
agonis GnRH sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pada sebagian besar
wanita yang distimulasi dengan uFSH atau rFSH saja. Meski demikian,
konsentrasi LH juga dapat menjadi inadekuat pada wanita yang tersupresi
dengan kuat. Bukti bahwa kombinasi terapi LH rekombinan (rLH) dan rFSH dapat
memperbaiki respon pada wanita yang sebelumnya tidak berespon terhadap
rFSH saja, mendukung adanya spekulasi tersebut. Memang, level LH akan
sangat tersupresi (<1 IU/l) pada banyak wanita yang hanya diterapi dengan FSH,
dan pada siklus tersebut, dosis dan durasi gonadotropin yang diperlukan jadi
lebih tinggi dan konsentrasi puncak estradiol menjadi lebih rendah; sehingga
jumlah oocyte dan embryo mungkin juga berkurang. Bukti lain menunjukkan
bahwa tingkat fertilisasi, implantasi, dan kehamilan mungkin akan terpengaruh
bila level LH sangat amat rendah. Insiden adanya kehamilan biokimia dan
abortus pada awal kehamilan, juga tampak lebih tinggi pada konsepsi hasil siklus
ART dengan LH yang tersupresi dengan level luar biasa rendah. Bukti
mengindikasikan bahwa mungkin ada subkelompok wanita eugonadotropik yang
dapat mengambil manfaat dari pemberian suplemen hMG atau rLH selama
stimulasi ovarium. Meskipun belum ada kriteria terpercaya untuk mengidentifikasi
wanita tersebut, namun ada alasan bagus untuk mengantisipasi bahwa
penelitian lebih lanjut akan menentukan rentang konsentrasi LH yang akan
memberikan hasil optimal.
Respon terhadap stimulasi dimonitor dengan pengukuran serum estradiol
dan USG trans vaginal
berkala. Level serum estradiol pertama biasanya diambil pada hari 3-5 stimulasi
untuk menentukan apakah dosis gonadotropin yang dipilih memerlukan
penyesuaian. Selanjutnya, konsentrasi serum estradiol dan scan ovarium dapat
dilakukan setiap 1-3 hari, didasarkan pada kualitas respon dan kebutuhan untuk
mengevaluasi
efek
terhadap
penyesuaian
selanjutnya
terhadap
terapi
140
sildenafil.
hal
yang
Meskipun
rutin,
pengukuran
namun
pertumbuhan endometrium
penggunaannya
masih
meragukan.
141
Saat batas target respon telah ditemukan, maka hCG (5.000-10.000 IU)
diadministrasikan untuk menginduksi maturasi akhir dari folikel. Dosis ekuivalen
dari bentuk hCG rekombinan saat ini telah tersedia (250 g). Pada suatu waktu,
terdapat banyak kontroversi mengenai nilai prediktif konsentrasi serum
progesterone pada hari ketika hCG diadministrasikan. Banyak studi menemukan
bahwa tingkat kehamilan lebih rendah bila level progesterone melebihi 0.9-1.0
ng/ml, namun banyak penelitian lain yang tidak menemukan korelasi tersebut
atau bahkan hubungan yang bertolak belakang. Seiring waktu, semakin jelas
bahwa peningkatan ringan level progesterone di pertengahan siklus relative
sering terjadi pada wanita yang berespon baik terhadap terapi stimulasi
gonadotropin dan merupakan indikator progonosis buruk hanya pada wanita
dengan respon buruk. Percobaan untuk menunda administrasi hCG pada wanita
berespon buruk untuk memberikan kesempatan pada folikel yang berukuran
kecil untuk lebih matang, sepertinya tidak akan sukses dan justru kontraproduktif.
High Responder
Terkadang, stimulasi akan memicu respon folikel yang berlebihan, yang
ditandai dengan perbesaran ovarium masif, banyaknya jumlah folikel dengan
segala ukuran, dan peningkatan konsentrasi serum estradiol yang sangat
tinggi (>3.000 pg/ml). Dalam kondisi ini, resiko terjadinya sindroma
hiperstimulasi ovarium meningkat jauh lebih tinggi. Pilihan manajemen pada
high responder meliputi semua yang tersebut berikut ini:
o Pembatalan siklus
o Coasting di mana terapi agonis GnRH dilanjutkan namun tanpa pemberian
stimulasi gonadotropin lanjutan selama 1-3 hari, hCG diberikan setelah
o
tanda
dan
gejala
oocyte
klinis
dan
fertilisasi
berkembangnya
namun
sindroma
hiperstimulasi ovarium
Pembatalan siklus dan pembuatan siklus baru dengan menggunakan
regimen stimulasi yang lebih konservatif mungkin akan menurunkan biaya
secara keseluruhan dan memaksimalkan kemungkinan untuk sukses.
Prognosis untuk high responder pada siklus yang selanjutnya secara umum
sangat bagus. Supresi ganda dengan kontrasepsi oral (1x/hari untuk 25 hari)
142
dan agonis GnRH (leuprolide 1.0 mg subkutan/hari, dimulai pada pil hari-21)
dapat dengan sukses menurunkan respon terhadap stimulasi gonadotropin
dosis rendah selanjutnya (150 IU/hari, dimulai pada hari ketiga setelah onset
menstruasi) pada wanita tersebut. Coasting memungkinkan folikel besar
untuk terus tumbuh namun menghilangkan dukungan untuk perkembangan
folikel kecil dan intermedia. Meskipun sekitar 20-30% siklus dengan coasting
pada akhirnya dibatalkan, strategi ini mungkin dapat membantu menurunkan
resiko berkembangnya hiperstimulasi ovarium berat dan masih memberikan
kemungkinan untuk sukses. Penyelesaian siklus dan pembekuan semua
embryo dapat menyelamatkan siklus dan menghindari resiko hiperstimulasi
ovarium berkepanjangan yang lebih berat pada siklus konsepsi. Penundaan
transfer hingga gejala menghilang dan membekukan semua embryo bila
gejala tersebut adalah pilihan lain yang dapat dijalani.
Poor Responder
Tantangan yang diberikan oleh poor responder jauh lebih besar. Poor
responder
di
antaranya
termasuk
wanita
yang
siklus
sebelumnya
o
o
memicu respon folikuler yang lebih hebat, namun dosis >450 IU/hari secara
umum hanya memberikan sedikit manfaat. Sebagaimana didiskusikan
sebelumnya, penurunan dosis atau penghentian terapi agonis GnRH secara
keseluruhan akan membantu memperbaiki kualitas respon. Sebuah agonis
GnRH standar atau mikro-dosis yang disebut flare protocols akan
menstimulasi perbaikan respon pada banyak poor responder. Regimen
stimulasi yang menggunakan antagonis GnRH akan menghilangkan semua
143
efek supresi dari terapi agonis secara keseluruhan. Menariknya, bahkan terapi
sekuensial dengan clomiphene dan gonadotropin eksogen mungkin akan
menghasilkan perbaikan respon pada beberapa poor responder. Efikasi dari
flare protocol dan clomiphene mungkin merefleksikan sensitifitas yang lebih
besar terhadap bentuk FSH endogen, pada beberapa individu.
Protokol Stimulasi Sekuensial dengan Agonis GnRH dan Gonadotropin
Eksogen (Short/Flare Protocols)
Short/flare
protocols
adalah
regimen
stimulasi
alternatif
yang
memanfaatkan baik fase antagonistik awal yang singkat dari respon terhadap
agonis GnRH kerja panjang serta fase supresi selanjutnya dari sekresi
gonadotropin endogen yang diinduksi oleh terapi jangka panjang. Pada short
protocol standar, leuprolide acetate (1.0 mg/hari) diadministrasikan pada siklus
hari 2-4, dilanjutkan dengan dosis yang dikurangi (0.5 mg/hari), dan stimulasi
gonadotropin (150-450 IU/hari) dimulai ada siklus hari ke-3. Penyesuain tahap
lanjut dari dosis stimulasi gonadotropin, bila perlu, didasarkan pada respon dan
indikasi untuk administrasi hCG, sebagaimana pada long protocols. Meta
analisis awal yang mencakup 7 penelitian klinis yang membandingkan terapi
agonis GnRH kerja pendek dan panjang, menemukan bahwa kedua protocol
memberikan tingkat pembatalan siklus maupun tingkat kehamilan yang sama.
Review sistematik yang dilakukan sesudahnya yang mencakup 22 penelitian,
menyimpulkan bahwa tingkat kehamilan yang dicapai dengan long protocol
sedikit lebih tinggi daripada dengan flare protocol (OR=1.27; CI=1.04-1.56).
Meski begitu, studi yang tercakup dalam analisis tidak mengontrol faktor
diagnostik dan prognostik lainnya, sehingga hasilnya mungkin tidak dapat
diaplikasikan untuk semua wanita, dan khususnya untuk poor responder.
Faktanya, flare protocol standar secara umum memperbaiki respon folikuler dan
menurunkan tingkat pembatalan siklus pada poor responder, meskipun tingkat
kehamilan dan kelahiran hidup tetap relatif rendah. Penurunan fleksibilitas
penjadwalan terapi merupakan salah satu kerugian yang nyata dari flare
protocol, kecuali onset menstruasi diatur dengan terapi pre-eliminer dengan
kontrasepsi oral. Regimen terapi flare protocol standar juga sering terkait
dengan peningkatan serum progesterone dan level androgen yang signifikan,
mungkin karena terlambatnya rescue terhadap corpus luteum, yang mungkin
144
memiliki efek buruk terhadap kualitas oocyte dan tingkat fertilisasi serta
kehamilan.
sekresi
gonadotropin
pituitary
dengan
mendesensitisasi
GnRH
menawarkan
sejumlah
keuntungan
potensial
dibandingkan agonis GnRH. Pertama, durasi terapi untuk agen antagonis jauh
lebih pendek dibandingkan agen agonis. Karena tujuannya hanya untuk
mencegah LH surge endogen prematur dan efeknya terjadi dengan segera,
maka terapi antagonis dapat ditunda hingga tahap akhir perkembangan folikel
(setelah 5-7 hari stimulasi gonadotropin), setelah level estradiol mengalami
peningkatan, sehingga mengeliminasi gejala defisiensi estrogen yang dapat
muncul pada wanita yang menjalani terapi agonis. Kedua, karena semua efek
supresi yang mungkin dihasilkan oleh agonis pada respon ovarium terhadap
stimulasi gonadotropin juga tereliminasi, maka dosis dan durasi total dari
stimulasi gonadotropin yang dibutuhkan dapat diturunkan. Untuk alasan yang
sama, protocol stimulasi yang melibatkan antagonis akan memberikan manfaat
pada wanita poor responder saat dilakukan terapi dengan long protocol
standar. Ketiga, dengan mengeliminasi flare effect dari agonis, antagonis GnRH
146
folikulogenesis,
pembentukan
blastomere,
dan
perkembangan
endometrial.
Dua antagonis GnRH yang tersedia untuk penggunaan klinis, yakni
ganirelix dan cetrorelix, memiliki potensi dan efektivitas yang setara. Untuk
keduanya, dosis efektif minimum untuk mencegah LH surge prematur adalah
0.25 mg/hari, diadministrasikan subkutan. Baik ganirelix ataupun cetrorelix dapat
diadministrasikan dalam dosis kecil berkala (0.25 mg). Protocol terapi dapat
dipastikan untuk dimulai setelah 5-6 hari stimulasi gonadotropin, atau diatur
sesuai respon individu, di mana terapi dimulai saat folikel dominan telah
mencapai diameter sekitar 13-14 mm. Bukti menunjukkan bahwa regimen yang
disesuaikan secara individu secara umum membutuhkan dosis total yang lebih
rendah dan mungkin akan memberikan hasil keseluruhan yang lebih baik.
Alternatifnya, dosis tunggal yang lebih besar dari cetrorelix (3.0 mg) dapat
mencegah LH surge selama 96 jam secara efektif. Bila diberikan pada hari 6-7
stimulasi, maka interval supresi efektif akan mencakup hari administrasi hCG
pada sebagian besar wanita (75-90%); sisanya mungkin akan tetap menerima
dosis tambahan sebagaimana dibutuhkan (0.25 mg), berakhir pada hari
147
administrasi hCG. Dosis tunggal regimen terapi antagonis juga dapat ditunda
hingga folikel dominan mencapai diameter 13-14 mm.
Pre-terapi
estradiol
pada
fase
luteal
menurunkan
kecepatan
148
ovarium
saat
distimulasi
secara
agresif
menggunakan
merupakan
high
responder.
Penggunaan
antagonis
juga
149
ditunda hingga folikel dominan mencapai 14 mm atau lebih. Selain itu, bukti-bukti
mengindikasikan bahwa peningkatan eksposure LH selama perkembangan awal
folikel mungkin sifatnya merugikan dan menjadi predispose rendahnya tingkat
kehamilan. Secara teori, pre-terapi dengan kontrasepsi oral terbukti cukup
berguna dalam mensupresi level LH dan androgen sebelum stimulasi dimulai,
sehingga menurunkan eksposure LH selama fase awal perkembangan folikuler
serta menurunkan resiko peningkatan level LH sebelum dimulainya terapi
antagonis. Supresi pre-eliminer dengan kontrasepsi oral dan selanjutnya dengan
terapi antagonis, mungkin juga membantu untuk membatasi respon folikuler
terhadap stimulasi gonadotropin sambil tetap memberikan pilihan untuk
menggunakan agonis sebagai pemicu maturasi tahap akhir dari oocyte. Terapi
antagonis yang dimulai lebih awal mungkin juga memberikan keuntungan yang
sama. Pertimbangan-pertimbangan tersebut mengilustrasikan bahwa antagonis
GnRH bukanlah obat mujarab dan mungkin bukan pilihan terbaik untuk wanita
dengan polycystic ovary syndrome.
Kelompok lain yang mungkin dapat mengambil manfaat dari antagonis
GnRH adalah poor responder karena terapi antagonis menghilangkan semua
efek supresi yang mungkin diakibatkan oleh agonis kerja panjang pada respon
folikuler dan dapat mencegah LH surge prematur pada sebagian besar wanita
yang distimulasi dengan gonadotropin tunggal. Pengalaman awal dengan
menggunakan antagonis pada populasi khusus ini menunjukkan bahwa
penambahan
antagonis
terhadap
regimen
stimulasi
gonadotropin
tidak
menurunkan jumlah folikel, telur yang didapatkan, atau tingkat fertilisasi, dan
justru malah meningkatkan tingkat kehamilan. Pada penelitian non-random, poor
responder diterapi lagi dengan menggunakan long protocol standar atau
regimen stimulasi antagonis, dan ditemukan tingkat kehamilan yang setara,
namun dosis dan durasi total stimulasi gonadotropin yang diperlukan menjadi
jauh lebih pendek pada wanita yang menerima terapi agonis. Penelitian klinis
random yang membandingkan hasil yang didapat dengan agonis GnRH dosis
mikro flare protocol dengan regimen terapi antagonis, tidak memberikan
perbedaan tingkat kehamilan kecuali adanya perbedaan level puncak estrogen
pada wanita yang diterapi dengan antagonis. Pada studi lain terhadap poor
responder yang gagal mengalami kehamilan saat diterapi dengan flare protocol
standar, maka regimen terapi antagonis menhasilkan peningkatan jumlah
embryo, transfer, dan tingkat kehamilan dari setiap transfer. Logis untuk
150
antibiotik
profilaksis
(doksisiklin
100
mg,
cefoxitin
g),
151
dapat
membantu
menstabilkan
ovarium
yang
mobile
atau
152
153
padat yang mengandung sedikit sel cumulus serta terdapat vesikel germinal dan
nucleolus yang terlihat jelas; adanya disolusi dari vesikel germinal memberi
sinyal kelanjutan dari meiosis I.
Meskipun sebagian besar dari oocyte immature akan menjadi mature
seiring waktu dalam kultur (hingga 36 jam) dan seringkali dapat berfertilisasi,
namun embryo yang dihasilkan seringkali berkembang buruk dan menghasilkan
tingkat kehamilan yang relative buruk. Oocyte mature hanya memerlukan sedikit
inkubasi pre-eliminer dan normalnya dapat diinseminasikan dalam 4 jam setelah
pengambilan (rentangnya 2-8 jam). Oocyte mature juga menghasilkan tingkat
fertilisasi tertinggi. Tingkat pembelahan embryo yang berasal dari oocyte mature
dan immature cukup setara, namun embryo yang berasal dari oocyte immature
lebih mungkin untuk mengalami abnormalitas morfologi, dan bahkan embryo
dengan morfologi normal lebih jarang untuk berkembang ke tahap blastosis.
Transfer Sitoplasma dan Vesikel Germinal
Alasan bahwa disfungsi mitokondria dapat mengganggu perkembangan
dan implantasi normal pada beberapa wanita, maka telah dikembangkan
beberapa teknik di mana sejumlah kecil sitoplasma ditransfer dari donor oocyte
ke oocyte dari wanita infertil yang telah diseleksi. Meskipun kehamilan berasal
dari embryo yang telah diperlakukan sedemikian rupa, tidak ada bukti signifikan
yang mengindikasikan bahwa prosedur tersebut dapat memperbaiki potensi
perkembangan atau implantasi. Peneliti lain berspekulasi bahwa transplantasi
vesikel germinal dari oocyte immature wanita infertil ke oocyte yang telah dienukleasi dari donor fertil mungkin akan mengkompensasi defek fungsi
sitoplasma di oocyte. Meskipun transfer sitoplasma maupun vesikel germinal
dapat menghasilkan keturunan genetik, namun efikasi dan keamanan dari
prosedur ini masih belum jelas.
FERTILISASI
Fertilisasi dapat dicapai menggunakan mikroinseminasi konvensional atau
dengan ICSI bila terdapat/diduga terdapat faktor infertilitas pria dan terdapat
pertimbangan adanya fertilisasi yang buruk atau gagal. Faktanya, faktor pria saat
ini merupakan diagnosis tunggal yang paling banyak didapatkan untuk pasangan
yang menjalani IVF. Dalam ringkasan nasional tingkat kesuksesan ART di US
154
untuk tahun 2001, 19% dari semua siklus dikerjakan untuk indikasi faktor pria
dan faktor pria merupakan salah satu dari berbagai faktor infertilitas ganda pada
18% lainnya dari seluruh siklus. Pada sekitar 80% pasangan dengan faktor
infertilitas pada pria yang menyelesaikan sebuah siklus IVF, juga dilakukan ICSI.
Sampel semen harus didapatkan melalui masturbasi segera sebelum atau
setelah pengambilan oocyte. Dua metode yang paling sering digunakan dalam
persiapan sperma sebelum fertilisasi, yakni prosedur swim up dan sentrifugasi
gradient densitas, dijelaskan secara detail pada chapter 30. Kedua metode
tersebut dapat dengan sukses mengisolasi sebuah populasi sperma dengan
motilitas tinggi untuk inseminasi, dan sentrifugasi gradient densitas bahkan
tampaknya juga dapat memilih sperma dengan morfologi yang normal dan
dianggap sebagai pilihan yang lebih baik bila parameter semen abnormal.
Sperma yang telah diisolasi kemudian diinkubasikan pada media yang
disuplementasi dengan protein konsentrasi tinggi selama 0.5 hingga 4 jam untuk
mencapai kapasitasi.
Secara umum, setiap oocyte diinkubasikan dengan 50.000 hingga 100.000
sperma motile dengan interval 12-18 jam dalam suhu 370C dalam karbondioksida
5% di udara dengan kelembapan relatif 98%. Reaksi akrosom, yang penting
untuk memungkinkan sperma menembus zona pellucida, diinisiasi melalui kontak
antara sperma dan zona. Selanjutnya, penetrasi sperma akan memicu reaksi
kortikal yang melibatkan eksositosis granula kortikal dari ooplasma dan
menyebabkan zona pellucida menjadi relatif sulit untuk dipenetrasi oleh lebih dari
satu sperma (polyspermia). IVF konvensional dapat mencapai tingkat fertilisasi
antara 50 hingga 70%.
Penetrasi sperma juga mengaktivasi oocyte dan menstimulasi pembelahan
meiotic kedua, sehingga menghasilkan segregasi chromatid antara oocyte dan
badan polar kedua. Oocyte kemudian dievaluasi untuk terjadinya fertilisasi pada
sekitar 18 jam setelah inseminasi. Oocyte yang terfertilisasi normal menghasilkan
dua nuclei yang berbeda, satu berasal dari oocyte dan lainnya berasal dari
sperma, dan 2 badan polar di ruang perivitellina. Zygot-zygot yang terbentuk
harus diinspeksi dengan seksama untuk melihat adanya pronuclei lebih karena
embryo poliploid mungkin akan dapat membelah normal dan tidak terdeteksi
hingga perkembangan tahap lanjut. Poliploidi dapat diobservasi pada sekitar 510% embryo secara keseluruhan, namun jauh lebih sering terjadi pada oocyte
immature (hingga 30%) daripada oocyte mature (1-2%). Di samping polyspermia,
155
156
kongenital atau vasal aplasia dalam bentuk yang lebih ringan, dan partner
wanitanya, harus menjalani skrining terhadap adanya mutasi gen cystic fibrosis
sebelum menjalani segala usaha untuk mencapai kehamilan melalui ART untuk
menentukan kemungkinan resiko transmisi cystic fibrosis dan aplasia vassal ke
keturunannya. Pria dengan azoospermia non-obstruksi atau oligospermia berat
(<5 juta/ml) harus menjalani karyotyping dan skrining untuk kemungkinan adanya
mikrodelesi kromosom Y.
yang
ditujukan
untuk
mengontrol
sphincter
agen
interna
157
158
beberapa alasan. Pertama, hingga 1/3 pria dengan azoospermia nonobstruktif dapat memiliki sperma di ejakulatnya pada hari perencanaan
pengambilan dan tidak lagi memerlukan TESE. Kedua, sperma yang diambil
dari pria dengan azoospermia non-obstruktif mungkin tidak motile atau bahkan
tidak viabel setelah dilakukan pembekuan dan pencairan dan ICSI
menggunakan sperma immotile memeberikan hasil yang lebih buruk daripada
bila dilakukan dengan sperma motile. Terakhir, kemungkinan kesuksesan
pengambilan sperma viabel untuk ICSI sangat menurun bila TESE dilakukan
segera setelah biopsy testis atau TESE sebelumnya. Karena TESE
menghasilkan sperma viabel hanya pada sekitar separuh pria dengan
azoospermia non obstruktif, maka sperma donor yang cocok harus sudah
tersedia bila sewaktu-waktu diperlukan. Bila melakukan TESE pada waktu
yang dekat dengan pengambilan oocyte terbukti sulit, maka TESE elektif
dapat dilakukan dan sperma yang terambil dibekukan; resikonya adalah
mungkin tidak terdapat sperma viabel setelah proses pencairan kecuali dalam
jumlah relative kecil, dan sperma donor dapat digunakan bila diperlukan.
Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)
Teknik
fertilisasi
dengan
bantuan
dikembangkan
untuk
mengatasi
159
160
beberapa center melakukan ICSI pada setidaknya satu bagian oocyte yang
diambil dari wanita dengan infertilitas yang tidak terjelaskan. ICSI juga mungkin
menghasilkan tingkat fertilisasi yang tinggi untuk oocyte yang dimatangkan
secara in vitro serta oocyte yang telah dibekukan sebelumnya, yang seringkali
memiliki zona yang lebih keras (resisten terhadap protease). ICSI dianjurkan
untuk mengurangi resiko transmisi agen infeksius seperti HIV dari pria dengan
seropositif ke partnernya yang seronegatif. Terakhir, rescue ICSI telah dilakukan
untuk menggunakan oocyte yang gagal terfertilisasi oleh IVF konvensional
namun dalam hal ini masih tidak efektif.
KULTUR EMBRYO
Meskipun banyak perhatian telah difokuskan pada formulasi media kultur,
komponen lain dari sistem kultur juga sama pentingnya dan hal tersebut di
antaranya adalah konsentrasi karbon dioksida (4-7%), volume inkubasi (10-50
l), ukuran kelompok embryo (1-4), dan tipe suplemen protein (serum albumin
manusia, albumin rekombinan, pengganti serum sintetis).
Sistem Co-culture
Media kultur standar diformulasikan untuk menyerupai cairan pada tuba
manusia; suplemen utama berupa pengganti serum atau protein maternal. Usaha
untuk menciptakan kondisi kultur yang optimal menghasilkan pengembangan
sistem co-culture di mana embryo diinkubasikan bersama garis keturunan sel
lainnya. Konsep awal adalah dengan menggunakan sel epithelial tuba, namun
pengambilan dan perkembangbiakannya tidak praktis. Meskipun sel uterus sapi
telah digunakan di masa lalu, regulasi FDA saat ini sangat membatasi
penggunaan sistem co-culture dari selain sumber autolog karena kekhawatiran
adanya potensi transmisi infeksi. Konsekuensinya, perhatian saat ini difokuskan
pada penggunaan sel-sel endometrium autolog. Hasil dari berbagai penelitian
klinis menunjukkan bahwa co-culture dapat bermanfaat untuk wanita yang
pernah gagal berkonsepsi melalui lebih dari 1x IVF, mungkin dengan berperan
dalam sekresi/scavenging. Meski demikian, nilai dari co-culture tetap sangat
kontroversial dan memerlukan penelitian tambahan dalam sebuah penelitian
klinis besar random.
Extended (Blastocyst) Culture
161
khususnya
karena
tidak
adanya
media
kultur
yang
dapat
yang
lebih
dapat
dipercaya
untuk
mengetahui
viabilitas
dan
potensi
steroid
yang
diakibatkan
oleh
hiperstimulasi,
yang
mungkin
Extended
culture
tidak
memperbaiki
kualitas
embryo
dan
potensi
dapat ditransfer.
Tingginya tingkat implantasi blastocyst memungkinkan transfer embryo
dengan jumlah yang lebih sedikit, namun tingkat kehamilan ganda setelah
dilakukannya transfer 2 blastocyst sama atau bahkan lebih tinggi daripada
tinggi merefleksikan seleksi yang lebih baik dari embryo yang paling viabel dan
hanya terdapat sedikit hal dari siklus extended culture yang menghasilkan sedikit
embryo atau embryo berkualitas buruk. Faktanya, tingkat implantasi yang rendah
dari embryo berkualitas buruk yang menunjukkan perkembangan lambat atau
tingkat fragmentasi yang tinggi, mungkin akan berkurang bila waktu kultur
diperpanjang, dan banyak dari embryo ini yang tidak dapat bertahan dalam kultur
yang lama. Meski demikian, laporan adanya perbaikan hasil transfer blastocyst
pada wanita dengan prognosis buruk (wanita dengan embryo sedikit/berkualitas
163
164
media sekuensial, maka tingkat implantasi menjadi lebih tinggi dan tingkat
kehamilan akan tetap sama meskipun proses transfer hanya menggunakan
embryo dengan jumlah yang lebih sedikit. Tidak ragu lagi bahwa perkembangan
dan aplikasi extended culture telah sangat memperluas pengetahuan dan
pemahaman kita terhadap perkembangan embryonal tahap awal, dan prosedur
tersebut melambangkan kemajuan yang sangat penting dalam ART. Meski
demikian, kultur dan transfer blastocyst sepertinya belum akan menjadi standar
kecuali atau hingga perbaikan hasil dari metode ini dapat dicapai secara luas.
Pre-Implantation
Genetic
Diagnosis
(PGD)/Diagnosis
Genetik
Pre-
Implantasi
PGD menawarkan kesempatan untuk pasangan yang memiliki kelainan
genetik berat untuk memiliki anak sehat tanpa terjadi masalah praktis dan etis
yang terkait dengan terminasi kehamilan setelah dilakukan diagnosis prenatal
tradisional
(chorionic
sampling,
amniocentesis).Kehamilan
pertama
pada
165
Analisis Kromosom
Untuk analisis kromosom, sel-sel yang diambil untuk PGD pertama kali
harus diproses untuk menghilangkan sitoplasma, menggunakan satu dari
beberapa metode. Fixed nuclei kemudian diekspose terhadap fluorescent
labeled DNA probe yang terhibridisasi dengan sekuens DNA komplementer
pada kromosom target, teknik yang dikenal sebagai fluorescence in situ
166
hybridization, atau FISH. Sinyal fluoresens yang diberi warna yang berbeda
dapat diobservasi menggunakan mikroskop yang menggunakan filter sesuai
panjang gelombang. Sebanyak 9 kromosom, termasuk yang terlibat pada
sebagian besar aneuploidy (X, Y, 13-16, 18, 21, 22) dapat diperiksa
menggunakan 2 analisis FISH sekuensial pada satu sel. FISH merupakan
metode paling mudah untuk menentukan jenis kelamin dan melakukan
skrining
untuk
aneuploidy
kromosom
yang
sering
terjadi.
Dengan
namun
embryo
dengan
morfologi
normal
dan
proses
skrining
aneuploidy dan transfer dari embryo euploid yang telah terseleksi, mungkin
dapat memperbaiki efisiensi implantasi dan menurunkan insiden abortus
spontan pada kehamilan dari IVF. Karena sebagian besar aneuploidy terjadi
dari oocyte, maka bahkan skrining dari badan kutub bisa memberikan
informasi. Pada wanita tua, wanita dengan abortus dini berulang, dan wanita
yang sebelumnya mengalami kegagalan siklus IVF meskipun embryo yang
ditransfer memiliki morfologi normal, merupakan para kandidat untuk skrining
adanya aneuploidy. Sayangnya, metode ini masih sulit dilakukan secara teknis
dan memiliki beberapa keterbatasan yang nyata.
o Wanita dengan usia lebih tua berespon lebih buruk terhadap stimulasi dan
o
kegagalan hibridisasi
FISH hanya menyediakan informasi mengenai ada atau tidaknya sebuah
segmen yang sangat kecil dari kromosom karena probe akan terhibridisasi
terhadap lokus spesifik atau terhadap centromere; aneuploidy parsial dapat
tidak terdeteksi
Fragmentasi nuclear pada biopsy blastomer sering terjadi dan mungkin
menyebabkan hilangnya kromosom dan kesalahan diagnosis aneuploidy.
167
pada manusia telah terakumulasi dengan cepat sebagai hasil dari Human
Genome Project, dan trend ini masih terus berlanjut.
Untuk mendeteksi penyakit monogenik, sel-sel ditempatkan dalam tabung
tes kecil untuk dilakukan analisis DNA menggunakan PCR. Secara umum,
nested PCR (2 set primer DNA dan 2 round PCR) lebih banyak dipilih karena
sensitifitasnya yang lebih besar. PCR terhadap sel tunggal biasanya efisien,
namun hingga 20% sel mungkin tidak memproduksi sinyal amplifikasi. Untuk
kelainan yang melibatkan banyak lokasi mutasi, maka dapat digunakan PCR
multiplex atau amplifikasi keseluruhan genome untuk memungkinkan analisis
simultan terhadap locus yang berbeda. Kegagalan yang dapat menghasilkan
diagnosis salah antara lain adalah kontaminasi oleh DNA asing dan allelic
drop out (kegagalan untuk beramplifikasi). Teknik yang teliti dan penggunaan
marker linkage (terikat) dapat membantu untuk memaksimalkan akurasi
diagnosis.
Setelah dilakukan amplifikasi DNA dengan PCR, sejumlah teknik dapat
digunakan untuk mendeteksi mutasi yang ingin diketahui. Sebagian besar
teknik melibatkan pemisahan produk hasil amplifikasi dengan elektroforesis
untuk dibandingkan secara langsung dengan DNA normal. Analisis restriksi
enzim
dapat
dilakukan
bila
sekuens
yang
berbeda
menghasilkan
169
untuk mendeteksi mutasi yang terkait dengan Fanconis anemia, dan pada
waktu yang sama, memilih donor dengan HLA yang sesuai untuk transplantasi
stem cell, adalah salah satu aplikasi yang menyebabkan berbagai pertanyaan
etis dan menghasilkan bermacam kontroversi.
mutagenesis),
maka
teknologi
ini
telah
digunakan
untuk
menciptakan hewan tanpa fungsi gen tertentu, disebut sebagai knock out,
untuk mempelajari fungsi gen dan spektrum penyakit. Stem cell dapat dibuat
dari embryo manusia pre-implantasi, namun proses ini harus merusak embryo
170
memproduksi
produk
gen
tertentu.
Kambing
transgenic
yang
TRANSFER EMBRYO
Meskipun telah diketahui bahwa embrio dapat ditransfer pada fase
apapun di awal perkembangan, sejak berbentuk fase zigot sampai blastocyst,
akan tetapi proses transfer paling sering dilakukan 3 hari setelah dilakukan
retrieval/pemulihan
dan
fertilisasi
oosit.
Keuntungan
dan
kerugian
dari
171
dalam
kanalis
servikalis
dapat
menyumbat
ujung
kateter
dan
yang
terjadi
akibat
proses
withdrawal/penarikan.
Pemeriksaan
172
memiliki selubung luar yang lunak dan bisa ditekuk. Kateter yang kaku dan
kateter dengan selubung luar yang keras lebih mudah dimasukkan tapi dapat
menimbulkan resiko trauma dan kontraksi uterus lebih besar dibanding jika
menggunakan kateter lunak, dimana kateter lunak lebih dapat mengikuti kontur
endoserviks dan endometrium. Meskipun kateter lunak umumnya memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan kateter kaku, tidak ada penelitian yang
membuktikan bahwa kateter lunak lebih superior. Syringe atau jarum suntik yang
dapat digunakan bersama kateter transfer juga memiliki desain dan karakteristik
performa yang bervariasi. Beberapa jenis syringe membutuhkan teknik injeksi
yang terkontrol cermat untuk menghindari ekspulsi mendadak sedangkan
beberapa jenis syringe lainnya memiliki penghisap dengan ujung yang dapat
ditekan dan
173
174
terbatasnya
pembuatan
keputusan
berdasar
karakteristik
terbaik
untuk
menentukan
jumlah
embrio
yang
dapat
ditransferkan pada wanita dengan usia dan karakter klinis yang bervariasi adalah
dari data yang dihasilkan dari program individu. Jika tidak ada data seperti ini,
Society for Assisted Reproductive Technology (SART) dan American Society for
Reproductive
Medicine
(ASRM)
memberikan
panduan.
Pertama
kali
dipublikasikan pada tahun 1998, panduan ini direvisi pada tahun 1999, dan
direvisi lagi pada tahun 2004, tiap kali dikarenakan adanya data klinis baru yang
menunjukkan perkembangan ART dimana makin sedikit jumlah embrio yang bisa
ditransferkan tanpa memberi efek samping akan meningkatkan kesuksesan
prosedur. Panduan yang dikeluarkan pada tahun 2004 akan dirangkumkan pada
tabel di bawah ini.
Guideline jumlah embrio yang ditransfer SART/ASRM 2004
Usia
Kondisi
< 35 th
dianjurkan
pada
mentransfer
pasien
dengan
175
35-37 th
38-40 th
> 40 th
Tidak tergantung
usia
prognosis
Ditentukan oleh usia donor
Siklus GIFT
Usia maternal dan kualitas embrio merupakan faktor yang paling penting
yang mempengaruhi potensi implantasi dari tiap embrio. Ketika didapatkan
embrio kualitas tinggi dengan jumlah berlebih yang memungkinkan untuk
dilakukan cryopreservation, maka dapat dilakukan seleksi yang lebih ketat,
sehingga jumlah embrio yang ditransfer bisa lebih sedikit agar didapatkan
efisiensi implantasi yang lebih tinggi.
blastocyst yang bisa ditransfer dibandingkan embrio yang berada dalam tahap
pembelahan. Wanita dengan prognosis paling baik (usia<35 th, riwayat siklus IVF
pertama atau sebelumnya berhasil, embrio kualitas baik) dengan resiko
kehamilan ganda tertinggi merupakan kandidat yang cocok untuk transfer embrio
tunggal. Secara keseluruhan, inti dari bukti-bukti penelitian ini adalah bahwa
keseimbangan optimal antara angka kehamilan dan resiko kehamilan ganda
dapat diperoleh dengan adanya kebijakan yang fleksibel tentang transfer embrio
berdasarkan usia maternal, kualitas embrio, dan avaibilitas embrio dengan
kelebihan kualitas tinggi.
Assisted Hatching
Penetasan blastocyst dari zona pellucida merupakan salah satu syarat
terjadinya implantasi. Pada kondisi kultur, embrio membuat suatu lubang bukaan
pada zona dan kemudian melepaskan diri dari zona, meninggalkan suatu zona
kosong, tapi pada kondisi in vivo, normalnya zona mamalia tidak mengalami
robekan dari dalam, melainkan meluruh. Bukti-bukti menunjukkan bahwa proses
penetasan in vivo dihasilkan dari interaksi embrio-uterus dengan embrio
mensekresikan aktivator zona lysins di dalam cairan uterus. Ketebalan dan
ketahanan relatif zona terhadap penghancuran enzim tergantung pada kualitas
embrio dan potensi implantasi.
176
Untuk
mengimbangi hal tersebut, sejumlah bukti yang ada menunjukkan bahwa teknik
penetasan terbantu ini dapat bermanfaat untuk individu tertentu. Meskipun
demikian, penetasan secara rutin atau universal tidak direkomendasikan,
terutama karena prosedur ini juga memiliki resiko. Proses penetasan dapat
177
itu,
perkembangan
dalam
cryobiology
telah
menjadikan
embryo
angka
kehamilan
kumulatif
tiap
retrieval/pemulihan.
Cryopreservation embrio juga merupakan strategi terapi yang efektif untuk wanita
dengan resiko sindroma hiperstimulasi ovarium.
Proses cryopreservation terdiri atas dua tahap, pembekuan dan pencairan.
Tujuan dari proses pembekuan adalah untuk menghindari kristalisasi es pada
cairan intraseluler yang dapat menyebabkan kerusakan seluler. Protokol
pembekuan bervariasi sesuai stadium perkembangan embrio dimana hal ini
mempengaruhi permeabilitas seluler. Pada semua proses pembekuan ini, cairan
seluler secara bertahap digantikan oleh cryoprotectant (dimethyl sulfoxide,
propanediol glyserol) secara osmosis dikarenakan peningkatan konsentrasi dari
cryopreservatif. Embrio kemudian disimpan dalam ampul atau vial dan
didinginkan pada suhu sekitar -30oC dan -110oC dalam suatu proses 1 langkah
yang telah diprogram dan kemudian disimpan dalam nitrogen cair. Fase pertama
dalam proses pembekuan merupakan proses yang cepat untuk mencegah
pembentukan kristal es (lebih cenderung terjadi dengan pendinginan yang
dilakukan bertahap)., dan fase kedua yang lebih bertahap. Setelah pencairan,
proses ini dibalik, embrio lewat secara bertahap melewati penurunan konsentrasi
cryoprotectant, dan dilanjutkan dengan proses kultur selama kurun waktu
tertentu sebelum masuk dalam proses transfer.
Hasil konsepsi dapat dibekukan pada tahap manapun, mulai dari zigot
hingga blastocyst, dan tetap dapat digunakan untuk setidaknya beberapa tahun.
Penelitian membandingkan angka survival embrio setelah mengalami pencairan,
angka implantasi, dan angka kehamilan pada embrio-embrio yang dibekukan
pada stadium-stadium perkembangan yang berbeda. Pda umumnya angka
survival embrio setelah mengalami pencairan memiliki rentang antara 50% dan
90% dan angka ini lebih tinggi pada penggunaan zigot dibanding penggunaan
178
embrio pada tahap pembelahan dan blastocyst. Angka implantasi (5-15%) dan
angka kehamilan (10-30%) setelah transfer zigot atau embrio tahap pembelahan
atau blastocyst yang telah mengalami proses pembekuan-pencairan sangat
bervariasi pada tiap-tiap hasil penelitian, tapi perbedaan di antaranya tidak terlalu
drastis. Secara keseluruhan, sebagian besar pusat penelitian (15-25%)
menyatakan bahwa angka keberhasilan pada siklus transfer menggunakan
embrio yang dibekukan dapat mencapai sekitar setengah hingga duapertiga dari
angka keberhasilan yang dicapai siklus yang menggunakan embrio segar,
setidaknya sebagian mungkin dikarenakan embrio yang dipakai untuk fresh
transfer merupakan embrio dengan kualitas tertinggi. Hasil yang didapatkan dari
menggunakan embrio hasil IVF konvensional dan ICSI sebanding. Embrio yang
dapat melanjutkan pembelahan dan bertahan lebih lama dalam proses kultur
lebih besar kemungkinannya untuk menghasilkan kehamilan. Embrio-embrio
yang dicryopreservation hasil dari siklus yang sukses memiliki angka kesuksesan
lebih tinggi dibanding embrio yang berasal dari siklus yang tidak sukses,
kemungkinan merefleksikan kualitas embrio yang lebih baik secara keseluruhan.
Terdapat dua strategi berbeda untuk memilih embrio mana yang akan
ditransfer. Salah satu cara dengan mencairkan embrio secara bertahapsampai
jumlah yang dibutuhkan untuk transfer tercapai.
yang
pertama
merupakan
metode
yang
paling
efisien
dalam
memanfaatkan embrio yang sudah ada, pada metode yang kedua tidak perlu
membuang embrio yang tidak dipilih untuk transfer, bahkan embrio hasil
pencairan kembali embrio yang dibekukan ulang dapat digunakan untuk
menghasilkan kehamilan. Seperti pada siklus fresh transfer, usia maternal dan
jumlah embrio yang ditransfer merupakan prediktor independen kelahiran hidup.
Bahkan di antara wanita berusia di bawah 30 tahun, transfer 3 embrio
memberikan angka kemungkinan lahir hidup lebih tinggi dibanding mentransfer
1-2 embrio, akan tetapi resiko hamil ganda juga menjadi lebih besar. Pada wanita
usia di bawah 40 tahun, insiden kelahiran ganda terjadi sekitar 16% pada kasus
transfer 2 embrio hasil pembekuan-pencairan.
Embrio hasil pembekuan-pencairan dapat ditransfer, dengan pengawasan,
pada wanita yang masih mengalami siklus dan dengan fungsi ovulasi normal.
Alternatifnya,bagi pasien yang tidak mengalami siklus atau untuk memudahkan
179
penjadwalan pada pasien yang mengalami siklus, transfer dapat dilakukan dalam
suatu siklus buatan dimana perkembangan endometrium dikontrol dengan
cermat oleh terapi bertahap progesteron dan estrogen eksogen yang terprogram.
Down-regulasi awal dengan agonis GnRH dapat digunakan, sebagaimana umum
diberikan pada resipien oosit donor, tapi hasil yang sama dapat dicapai dengan
cara lebih sederhana menggunakan terapi estrogen eksogen (oral micronized
estradiol 4-6 mg perhari atau transdermal estradiol 0,1-0,2 mg), diberikan pada
awal atau segera sebelum onset menstruasi. Regimen ini dapat menumpulkan
atau
mengeliminasi
peningkatan
FSH
dalam
siklus
dan
menghambat
180
Terapi
Progesteron (vaginal)
Pembanding
Placebo/tanpa terapi
Hasil
Tidak ada perbedaan
Progesteron (vaginal)
Dosis bervariasi
Progesteron (vaginal)
Progesteron (oral)
Progesteron (i.m)
Placebo/tanpa terapi
Progesteron (i.m)
Dosis bervariasi
Progesteron (i.m)
Progesteron (oral)
Progesteron (i.m)
Progesteron (vaginal)
181
kehamilan
klinis
dan
angka
hCG suplemen
Placebo/tanpa terapi
Progesteron (oral)
hCG suplemen
hCG suplemen
Progesteron (i.m)
hCG suplemen
Progesteron
progesteron+estrogen
Angka implantasi lebih tinggi
Titik berat dari bukti-bukti yang diberikan dari hasil penelitian tersebut
mengindikasikan
bahwa
suport
luteal
dengan
menggunakan
suplemen
bahwa
hasil
yang
diperoleh
melalui
metode
injeksi
intramuskular masih lebih baik dibanding progesteron vaginal. Data yang ada
saat ini masih belum cukup untuk memastikan manfaat penambahan estradiol
pada regimen suportif hCG atau progesteron. Lama waktu terapi yang optimal
masih belum dapat dipastikan. Dengan tidak adanya data yang memberikan
keterangan tentang hal tersebut, kebanyakan masih merekomendasikan untuk
melanjutkan terapi suportif luteal sampai kurang lebih usia gestasi mencapai 7
minggu (5 minggu setelah retrieva/retrieval/pemulihan), dengan melihat waktu
normal pergeseran luteal-plasenta.
182
HASIL IVF
Hasil metode IVF telah mengalami kemajuan dalam tahun-tahun terakhir
sejak perkenalan metode ini dalam dunia praktek klinis. Awalnya, IVF hanya
menawarkan sedikit kemungkinan keberhasilan dan hanya diaplikasikan pada
pasangan yang tidak memiliki pilihan metode lain atau telah mengalami
kegagalan dalam berbagai macam bentuk terapi sebelumnya. Seiring dengan
perkembangan teknologi dan peningkatan keberhasilannya, IVF menjadi suatu
pilihan yang nyata dan menarik untuk pasangan-pasangan infertil yang
jumlahnya makin meningkat. Munculnya ICSI menciptakan revolusi bentuk terapi
untuk faktor infertilitas pria yang parah dan berkontribusi besar dalam
perkembangan metode ART. Kini, ART sering dipakai sebagai pilihan pertama
dan terbaik untuk sebagian besar pasangan infertil.
Angka keberhasilan IVF dapat ditunjukkan dalam beberapa cara,
menggunakan numerator dan denominator yang berbeda. Dua numerator yang
paling utama adalah kehamilan dan kelahiran hidup; banyak pihak menganggap
bahwa kelahiran hidup merupakan numerator yang lebih relevan di antara
keduanya. Kurang lebih 18% kehamilan berakhir dengan : keguguran (15,5%),
aborsi terinduksi (0,9%), lahir mati (0,6%), atau kehamilan ektopik (0,7%). Angka
kehamilan atau kelahiran hidup dapat dikalkulasikan sebagai persentase
permulaan siklus, retrieval/pemulihan, dan transfer. Sekitar 14% siklus tidak
dapat dilanjutkan sebelum mencapai tahap retrieval/pemulihan dikarenakan
respon terhadap stimulus yang tidak adekuat (11,8%) atau berlebihan (0,5%),
penyakit medis yang menyertai (0,14%), atau alasan pribadi pasien (1,6%).
Untuk tahun 2000, SART/ASRM mencatat data yang diperoleh dari 383
program dimana diungkapkan bahwa dengan total 99,989 siklus ART yang
dilakukan di seluruh negeri pada tahun tersebut, terjadi peningkatan sebesar
13,5% dari tahun 1999. Di antara data-data ini, sebanyak 73.406 (73,4%) siklus
IVF yang menggunakan oosit segar, nondonor (46,6% dengan ICSI), mampu
menghasilkan 29,9% angka kelahiran perretrieval/pemulihan. Sebanyak 13.083
(13,1%) berupa siklus transfer embrio yang dibekukan, menghasilkan angka
kelahiran sebesar 20,4%. Pada tipe siklus lain yang dapat digunakan sebagai
pembanding, keseluruhan angka keberhasilan (kelahiran per retrieval/pemulihan)
meningkat sebesar 0,6% (atau 2,2% jika dibandingkan dengan tahun 1999).
Untuk tahun yang sama (2000), data dari badan pencatatan Eropa yang
melibatkan 22 negara dan 569 program menunjukkan bahwa telah dilakukan
183
menghasilkan
16,6%
angka
kehamilan
klinis
per
transfer.
Dibandingkan dengan tahun 1999, angka kehamilan klinis per transfer meningkat
sebesar 0,7%.
Selama rentang waktu 5 tahun antara 1996-2001 di US, angka kelahiran
per transfer pada siklus ART menggunakan oosit atau embrio segar nondonor
secara bertahap telah meningkat untuk semua kelompok usia. Angka kelahiran
hidup per transfer meningkat dari 33,6% menjadi 41,1% untuk wanita usia di
bawah 35 tahun, dari 29,0& meningkat jadi 35,1% untuk wanita berusia antara
35-37 tahun, dari 21,7% menjadi 25,4% pada wanita usia 38-40 tahun, dari
11,5% menjadi 14,5% untuk wanita berusia antara 41-42 th dan meningkat dari
5,4% menjadi 6,7% pada wanita berusia di atas 42 tahun.
Angka keberhasilan sedikit bervariasi terkait diagnosis dan penyebab
infertilitas. Meskipun definisi dari diagnosis dapat berbeda-beda pada tiap
program, keberhasilan pada subyek pasangan yang mengalami permasalahan
karena faktor tuba, disfungsi ovulasi, endometriosis, faktor pria, atau infertilitas
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya mencapai angka di atas rata.
Sebagaimana mungkin telah diduga, angka keberhasilan terendah terlihat pada
pasien dengan fungsi ovarium yang sudah sangat minim. Pasangan yang
memiliki masalah terkait faktor uterus, penyebab-penyebab lain, atau banyak
faktor penyebab infertilitas memiliki angka kesuksesan di bawah rata-rata. Di
semua kelompok usia, angka keberhasilan pada wanita dengan riwayat
melahirkan bayi hidup sebelumnya dan wanita yang baru pertama kali
melakukan siklus ART lebih tinggi dibandingkan dengan wanita nulipara dan
wanita yang memiliki riwayat kegagalan siklus ART sebelumnya. Meskipun
demikian, angka keberhasilan tidak turun drastis sampai 4 kali percobaan siklus
IVF.
Kehamilan Ganda
Resiko kehamilan ganda meningkat cukup tinggi pada siklus ART. Pada
tahun 2000, 35,0% dari semua kelahiran di US yang dihasilkan dari program ART
184
merupakan kelahiran ganda, dengan angka mencapai 10 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan angka kelahiran ganda di populasi umum yang hanya sebesar 3%;
30,7% dari kelahiran hidup merupakan bayi kembar dan 4,3% merupakan
kelahiran triplet atau di atasnya. Dengan semakin tinggi resiko maternal dan
neonatal terkait kehamilan ganda, semakin besarnya beban finansial dan sosial,
dan sejumlah faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap tingginya insiden
kelahiran ganda telah dijelaskan dengan lebih detail pada bagian 31. Sehingga,
diskusi pada bab ini terbatas pada isu-isu spesifik terkait kehamilan ganda
sebagai hasil program ART.
Peningkatan angka keberhasilan seiring dengan peningkatan jumlah
embrio yang ditransfer, sampai pada suatu titik dimana hanya akan
meningkatkan kemungkinan kehamilan ganda. Jumlah embrio pada titik batasan
yang dimaksudkan di sini didefinisikan sebagai batasan jumlah embrio maksimal
yang dapat ditransfer. Sebagaimana ditunjukkan dalam hasil revisi SART/ASRM
2004 tentang panduan jumlah embrio yang sudah diterangkan secara garis besar
pada bagian sebelumnya, jumlah embrio yang dapat ditransfer meningkat seiring
peningkatan usia. Berdasar data rekapitulasi nasional tentang hasil ART tahun
2001, ketika 1 embrio ditransfer, 99% akan menghasilkan kelahiran bayi tunggal.
Ketika 2 embrio ditransfer, maka 66,5% kemungkinan bayi lahir tunggal, 32,6%
bayi kembar, dan 0,9% kembar tiga atau lebih. Ketika 3 atau lebih embrio
ditransfer, kemungkinannya menjadi 62% lahir bayi tunggal, 32% bayi kembar,
dan 5% lahir kembar tiga atau lebih.
Usia dan seberapa banyak jumlah embrio yang dapat dihasilkan dan dapat
ditransfer hampir sama pentingnya dengan faktor jumlah embrio yang ditransfer
dalam memprediksi keberhasilan proses ini. Wanita pada usia lebih muda
cenderung memiliki potensi keberhasilan dan kelahiran ganda lebih tinggi. Data
rekapitulasi nasional 2001 tentang hasil ART dapat membantu memberikan
ilustrasi tentang hal ini.
Persentase Kelahiran Hidup per Transfer dan Kelahiran Ganda pada Wanita
Usia dibawah 35 Tahun dengan Embrio Berlebih yang Sesuai untuk
Cryopreservation, berdasar Jumlah Embrio yang ditransfer
Jumlah Embrio
1
Kelahiran Hidup
30,0%
Tunggal
100,0%
Twin
Triplet +
52,7%
59,3%
39,6%
1,2%
185
46,9%
53,4%
38,8%
7,8%
42,9%
49,1%
41,3%
9,6%
5+
43,1%
43,3%
46,8%
9,9%
187
lebih sering didapatkan pada wanita infertil yang mengandung setelah mendapat
induksi ovulasi atau IVF.
188
189
tingginya insiden kehamilan ganda akibat ART. Bayi tunggal yang lahir dengan
prosedur ART di US pada tahun 2000 juga lebih beresiko mengalami berat badan
lahir rendah, berat badan lahir sangat rendah, kelahiran preterm, dan berat
badan rendah baik pada kelahiran preterm atau aterm. Dua penelitian di Eropa
lainnya yang juga meneliti kelahiran tunggal yang dihasilkan dari program ART
telah menemukan peningkatan resiko sampai 3-5 kali lipat terjadinya
prematuritas dan berat badan lahir rendah. Pada salah satu penelitian tersebut,
resiko prematuritas meningkat pada kehamilan tunggal setelah IVF konvensional,
tapi tidak setelah metode ICSI dilakukan pada kasus infertilitas yang hanya
disebabkan oleh faktor pria, menunjukkan bahwa faktor uerus dan faktor
infertilitas lain dapat ikut berpengaruh pada munculnya resiko-resiko ini.
Beberapa
bahkan
menyatakan
bahwa
pemograman
epigenetik
yang
bahwa
prevalensi
Angelman
syndrome
(retardasi
mental,
190
ovarium
dianggap
steril
tanpa
bisa
dilakukan
apa-apa
untuk
191
dengan oosit donor juga didapat menggunakan teknik transfer tuba. Meskipun
konsepnya tegas, kebutuhan akan keberhasilan donasi ovum sangat banyak dan
rumit. Keunikan dari siklus IVF dengan oosit donor terkait dengan kebutuhan
mensinkronkan embrio dengan endometrium dan suport hormonal secara
eksogen pada kehamilan awal sampai perpindahan luteal-plasenta. Hal penting
lainnya yang harus diperhatikan adalah rekrutmen, pemilihan, dan skrining donor.
Indikasi
Ada 4 indikasi untuk donasi ovum IVF: kegagalan fungsi ovarium, penyakit
genetik, penurunan fungsi ovarium, dan inaccessible ovaries. Wanita dengan
kegagalan fungsi ovarium karena berbagai macam sebab (abnormalitas
kromosom X; idiopatic gonadal dysgenesis, atau penipisan jumlah oosit
prematur; riwayat operasi sebelumnya; riwayat radiasi atau kemoterapi; penyakit
autoimun) merupakan kandidat program ini. Begitu pula dengan wanita yang
membawa kelainan bawaan yang tidak dapat dilakuakn diagnosis genetik
preimplantasi atau menolak diagnosis genetik preimplantasi, dan wanita dengan
penurunan fungsi ovarium karena usia atau faktor lain yang memiliki prognosis
buruk jika melakukan prosedur IVF dengan oosit miliknya sendiri. Kasus jarang
dimana wanita dengan severe pelvic adhesive disease dan inaccessible ovaries
kadang juga ditemukan.
Evaluasi Resipien
Dengan beberapa pengecualian, evaluasi terapi awal dan skrining donor,
oosit, dan resipien pada prinsipnya sama dengan yang direkomendasikan
sebelumnya pada IVF konvensional. Konseling psikologis merupakan elemen
penting dalam evaluasi dan dapat membantu mengidentifikasi pasangan dengan
permasalahan mengenai ketakutan-ketakutan yang belum dipecahkan dan untuk
memastikan bahwa kedua pasangan telah berkomitmen penuh terhadap upaya
yang akan dilakukan.
Wanita dengan sindrom Turner dapat dimasukkan sebagai kandidat untuk
memperoleh donasi ovum dan berhak mendapatkan perhatian spesifik. Buktibukti penelitian mengindikasikan bahwa kehamilan dapat menimbulkan resiko
yang unik dan serius pada wanita dengan sindrom Turner yang mana sering
memiliki malformasi kardiovaskular melibatkan percabangan aorta. Seperti pada
wanita dengan sindrom Marfan, wanita dengan sindrom Turner memiliki resiko
192
terjadi diseksi aorta saat kehamilan lebih besar, diduga terkait peningkatan
kebutuhan kardiovaskular. Resiko kematian maternal akibat ruptur atau diseksi
aorta saat hamil sekitar 2% atau lebih. Wanita dengan sindrom turner yang ingin
menerima donasi oosit harus dievaluasi dengan cermat, termasuk pemeriksaan
echocardiografi, dimana jika ditemukan kelainan yang signifikan maka akan lebih
baik dikategorikan sebagai kontraindikasi untuk mendapatkan donasi oosit.
Secara umum, bahkan wanita dengan hasil pemeriksaan normal tetap harus
berhati-hati, karena diseksi aorta masih tetap dapat terjadi. Pasien yang memilih
untuk melanjutkan prosedur ini perlu observasi yang cermat dan reevaluasi
berulang selama masa kehamilan.
Regimen
estrogen
oral
193
atau
transdermal
didesain
untuk
memperoleh level serum yang mendekati level serum pada fase folikular akhir
pada siklus normal (200-400 pg/ml); pemberian estrogen vaginal dengan
dosis yang sama menunjukkan hasil konsentrasi serum dan jaringan yang
lebih tinggi. Durasi terapi estrogen cukup fleksibel dan dapat bervariasi dari
hanya 7 hari sampai 3 minggu atau lebih. Progesteron dapat diberikan secara
intramuskular dalam dosis yang didesain untuk mencapai konsentrasi serum
mendekati 20 ng/ml (25-50 mg per hari) atau diberikan pervagianl dalam
bentuk supositoria, tablet, atau gel (200-600 mg per hari). Pemberian secara
intramuskular menghasilkan konsentrasi serum yang lebih tinggi, tapi level
tertinggi pada jaringan endometrium diperoleh pada pemakaian progesteron
pervaginam.
Pada banyak program, resipien diteliti melalui suatu siklus terapi percobaan
untuk memastikan pasien memberikan respon yang adekuat terhadap terapi
regimen yang direncanakan. Metode dan lama waktu monitoring berbedabeda tergantung tiap program. Banyak yang melakukan pengukuran
ketebalan endometrium menggunakan transvaginal ultrasonographic, dengan
tujuan untuk mendapatkan ketebalan lebih dri 6-7 mm, sebagai batas minimal.
Pada beberapa wanita yang tidak memiliki ketebalan endometrium sesuai
yang diharapkan sebagai respon terhadap terapi regimen pengganti standar,
pemberian estrogen vaginal dapat membantu memicu proliferasi tambahan.
Beberapa ahli juga melakukan biopsi endometrium untuk melihat kondisi
histologi sebagai upaya untuk memastikan bahwa terapi yang akan dilakukan
dapat
mencapai
hasil
yang
diharapkanakan
tetapi
bukti
penelitian
Skrining Donor
194
sekresi
estrogen
dan
progesteron
195
untuk
memastikan
kestabilan
sampai
plasenta
mencapai
kapasitas
untuk menggantikan
fungsi
196
197
CRYOPRESERVASI
OOCYTE
198
(PRESERVASI
BEKU)
metode
ovarian
tissue
cryopreservation
dan
oocyte
atau
radioterapi.
Pasien
yang
harus
mendapatkan
terapi
oophorectomy untuk terapi tumor jinak juga dapat memanfaatkan prosedur ini.
Berdasarkan angka kesuksesan yang dicapai dengan penggunaan metode
autograft ovarium pada hewan secara orthotopic (transplantasi ke lokasi asal)
dan heterotopic (transplantasi ke lokasi di luar lokasi asal) saat ini beberapa
prosedur yang mirip pada manusia telah diteliti. Secara teori, transplantasi
autograft ovarium secara orthotopik memungkinkan terjadinya kehamilan alami
jika tuba falopii masih dalam keadaan intak. Menggunakan pendekatan ini, telah
didapatkan hasil berupa perkembangan folikel dan ovulasi sebagai respon
stimulasi gonadotropin eksogen. Transplantasi heterotopik pada lokasi di bawah
kulit lengan bawah dan abdomen juga telah dilaporkan berhasil. Pada kasus
yang kedua, resipien mengalami proses pengembalian fungsi oosit setelah
mendapatkan stimulasi gonadotropin eksogen dengan pemulihan oosit, yang
mana salah satunya mengalami pembuahan secara normal untuk mendapatkan
embrio yang mencapai stadium 4 sel. Sedikitnya ada satu resiko yang mungkin
muncul
dari
penggunaan
metode
ovarian
tissue
cryopreservation
dan
199
cryopreservation
masih
perlu
diinvestigasi
dan
tidak
boleh
digunakan
Oocyte Cryopreservation
Oocyte Cryopreservation merupakan pilihan metode penyimpanan gamet
yang
potensial
dilakukan.
Pembekuan
oosit
merupakan
alternatif
cara
Oosit
dalam
stadium
germinal
vesicle
lebih
tahan,
tapi
perkembangan dari oosit imatur menjadi oosit matur membutuhkan waktu yang
lebih panjang. Vitrifikasi merupakan suatu proses cryopreservation dimana
cryoprotectant digunakan dalam konsentrasi tinggi untuk mengokohkan struktur
sel hingga sel dalam kondisi mirip kaca tanpa membentuk es. Dengan
menggunakan metode ini, angka keselamatan sel setelah pencairan lebih tinggi,
dan angka keberhasilan fertilisasi oosit yang menjalani proses vitrifikasi dan
pencairan sudah mendekati angka keberhasilan fertilisasi dengan oosit segar.
Saat ini juga telah dilaporkan kasus kehamilan dan kelahiran manusia dari oosit
matur hasil vitrifikasi.
Adanya kemungkinan kromosom aneuploid atau abnormalitas lain sebagai
akibat kerusakan pada kumparan kromosom yang mengalami pembelahan
meiosis masih menjadi hal penting yang harus dipikirkan. Penelitian tambahan
perlu dilakukan untuk memastikan effikasi dan keamanan oosit yang divitrifikasi.
Meskipun angka kehamilan dengan menggunakan oosit yang dibekukan dan
dicairkan sudah meningkat, akan tetapi angka tersebut masih jauh di bawah
angka yang bisa dicapai dengan menggunakan prosedur IVF. Untuk pasien-
200
201
CHAPTER 33
KEHAMILAN EKTOPIK
KEHAMILAN EKTOPIK
Kehamilan ektopik masih menjadi penyebab penting untuk morbiditas dan
mortalitas maternal. Meski demikian, karena metode diagnosis modern saat ini
memungkinkan untuk dilakukan deteksi dini untuk hampir seluruh kasus
kehamilan ektopik, maka terapi kontemporer lebih bersifat konservatif dari pada
dulu. Fokus perhatian telah bergeser dari operasi emergensi untuk mengontrol
perdarahan yang mengancam jiwa menjadi terapi medis yang ditujukan untuk
menghindari operasi dan menjaga anatomi reproduksi dan kesuburan (fertilitas).
Chapter ini meninjau mengenai sejarah, epidemiologi, dan pathogenesis dari
kehamilan ektopik dan mendiskusikan metode diagnosis dan terapi terbaru.
RIWAYAT SEJARAH KEHAMILAN EKTOPIK
Manajemen modern untuk kehamilan ektopik merupakan salah satu dari
cerita sukses terbesar di dunia kedokteran. Kehamilan ektopik pertama kali
dijelaskan di abad ke 11, dan selama berabad-abad berikutnya, kehamilan
ektopik menjadi komplikasi fatal dari kehamilan. Di abad pertengahan, implantasi
ektopik dipandang sebagai akibat dari emosi yang berlebihan, biasanya berupa
rasa takut atau kaget, selama coitus di siklus konsepsi. Kehamilan ektopik yang
tidak mengalami ruptur pertama kali ditemui pada hasil otopsi dari jenazah
narapidana wanita yang dihukum mati pada tahun 1963. Kehamilan ektopik dan
infertilitas pertama kali dihubungkan di tahun 1972, dalam sebuah laporan
mengenai kehamilan ekstra-uterine pada seorang pelacur yang infertil. Di
pertengahan abad 19, observasi otopsi makin menguatkan dugaan bahwa
kehamilan ektopik mungkin terkait dengan infeksi pelvis, namun terapi masih
belum tersedia baik untuk infeksi maupun kehamilan ektopik.
Terapi awal ditujukan untuk mematikan janin ektopik dan dapat berupa
starvasi
(pembiaran
hingga
kelaparan),
pembersihan
dengan
pencahar,
202
203
dramatis pada wanita dengan kehamilan ektopik, efek dari metode modern untuk
proses diagnosis dan terapi yang dikembangkan selama 20 tahun terakhir, jauh
lebih hebat. Di akhir 1970an, sekitar 15% wanita dengan kehamilan ektopik,
datang dengan shock hipovolemik, namun di awal 1980an, jumlahnya turun
menjadi <5%. Bersamaan dengan itu, perhatian bergeser dari penyelamatan
kehidupan menjadi pemeliharaan fertilitas.
EPIDEMIOLOGI KEHAMILAN EKTOPIK
Prevalensi kehamilan ektopik meningkat dramatis selama beberapa
dekade terakhir. Data yang diambil dari National Hospital Discharge Survey
menunjukkan bahwa meskipun insiden kehamilan ektopik meningkat hampir 4
kali lipat antara tahun 1970 (4.5/1000 kehamilan) dan tahun 1989 (16/1000
kehamilan), namun resiko kematian terkait kehamilan ektopik menurun hingga
hampir 90% (dari 35.5 menjadi 3.8/10.000 kehamilan ektopik). Pada tahun 1989,
<2% dari keseluruhan kehamilan bersifat ektopik, namun komplikasi yang terkait
dengan hal tersebut masih merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu
terutama pada trimester pertama. Pada tahun 1992, dengan meningkatnya trend
ke arah manajemen operasi tanpa rawat inap dan manajemen medis terhadap
kehamilan ektopik, maka data dari National Hospital Discharge Survey dan
National Hospital Ambulatory Medical Care Survey dikombinasikan, dan
didapatkan estimasi insiden kehamilan ektopik yakni 19.7/1000 kehamilan yang
dilaporkan.
Usaha-usaha yang menentukan trend yang lebih baru mengenai insiden
kehamilan ektopik secara akurat, telah terbukti sia-sia karena jumlah kehamilan
ektopik yang ditangani secara medis tanpa rawat inap telah meningkat secara
dramatis dan tidak tercatat di dalam registrasi rumah sakit. Meski demikian,
dengan mempertimbangkan trend saat ini mengenai insiden infeksi menular
seksual, induksi ovulasi, ART (assisted reproductive technique), dan sterilisasi
tuba (yang kesemuanya merupakan faktor resiko kehamilan ektopik) dan akurasi
dari metode diagnosis kontemporer yang semakin tinggi (sehingga deteksi
kehamilan ektopik makin akurat), maka sangat mungkin bahwa insiden
kehamilan ektopik tetap meningkat.
Tingkat kehamilan ektopik lebih tinggi pada ras kulit hitam dan ras minoritas
lain dibandingkan ras kulit putih pada semua kelompok usia. Di semua ras,
tingkat kehamilan ektopik meningkat secara progresif seiring bertambahnya usia,
204
dan 3-4 kali lebih tinggi pada wanita usia 35-44 tahun bila dibandingkan wanita
usia 15-24 tahun.
Faktor Resiko
Banyak wanita yang mengalami kehamilan ektopik memiliki satu atau lebih
resiko yang dapat terdeteksi. Sebuah analisis komprehensif menggunakan
penelitian case control dan cohort, terhadap wanita dengan kehamilan intra
uterine dan wanita yang tidak hamil sebagai kontrol, telah sangat membantu
dalam menentukan kepentingan faktor-faktor resiko tersebut.
Faktor Resiko Kehamilan Ektopik
Riwayat operasi sebelumnya
4.7-21.0
Operasi tuba
Kehamilan ektopik
Odds Ratio
Gonorrhea
Chlamydia
Pelvic inflammatory disease
Infertilitas
Faktor gaya hidup
Merokok
Usia <18 tahun saat hubungan seksual
pertama
Vaginal douching (cuci vagina)
6.6-8.3
3.5-25.0
5.6
2.9
2.8-3.7
1.7-2.5
2.0-2.5
1.6-2.5
1.6
1.1-3.1
Aborsi sebelumnya
0.3-3.3
Spontan
Induksi
0.9-2.4
yang tidak melibatkan tuba fallopi, termasuk seksio caesaria, operasi ovarium,
appendectomy (tanpa rupture), dan terminasi kehamilan elektif, secara umum
tidak meningkatkan resiko kehamilan ektopik. Resiko terkait dengan prosedur
sterilisasi tuba, didiskusikan selanjutnya dalam bab metode kontrasepsi.
Kondisi Patologi Tuba dan Infeksi Pelvis
Resiko kehamilan ektopik meningkat setidaknya 3 kali lipat untuk wanita
dengan kelainan kondisi tuba. Pada sebagian besar kasus, kerusakan tuba
seringkali disebabkan oleh infeksi menular seksual, di mana yang paling sering
yakni gonorrhea dan chlamydia. Salpingitis menyebabkan keruskan pada
mukosa endosalpingeal, menyebabkan aglutinasi pada lipatan mukosa dan
adhesi
intralumen
yang
dapat
menghambat
migrasi
embryo,
sehingga
206
207
menunjukkan adanya hubungan antara agen kimia atau fisik lainnya dengan
kehamilan ektopik.
Usia yang muda saat hubungan seksual pertama dan jumlah partner
seksual juga terkait dengan sedikit peningkatan resiko kehamilan ektopik, diduga
karena tingginya kemungkinan eksposure terhadap penyakit menular seksual.
Sejumlah penelitian telah menemukan hubungan antara vaginal douching dan
kehamilan ektopik. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar vaginal
douching meningkatkan resiko infeksi ascending, dan peneliti lain mengatakan
bahwa wanita yang mengalami gejala infeksi genital lebih cenderung untuk
melakukan vaginal douching. Hubungan sebab akibat antara douching dan
kehamilan ektopik masih belum diketahui pasti.
Kontrasepsi
Insiden atau resiko mutlak kehamilan ektopik menurun dengan adanya
metode-metode kontrasepsi. Secara keseluruhan (semua metode), tingkat
kehamilan ektopik (tingkat kehamilan x proporsi kehamilan dengan implantasi
ektopik) lebih rendah dibandingkan wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi
(2.6 kehamilan ektopik/1000 wanita dalam 1 tahun).
Dari metode-metode kontrasepsi yang paling sering digunakan, metode
kontrasepsi oral dan vasectomy merupakan metode dengan insiden absolut
kehamilan ektopik yang paling rendah (0.005 kehamilan ektopik/1.000 wanita
setiap tahun). Meskipun tingkatannya juga termasuk rendah, namun insiden
kehamilan ektopik pada sterilisasi tuba 60 kali lebih tinggi (0.32/1.000 wanita tiap
tahun) dan insiden kehamilan ektopik pada IUD 200 kali lebih tinggi (1.02/1.000
wanita tiap tahun). Meski demikian, resiko kehamilan ektopik yang tinggi pada
IUD masih kurang dari separuh bila dibandingkan wanita tanpa kontrasepsi.
US Collaborative Review of Sterilization, yang melibatkan lebih dari 10.000
wanita yang menjalani sterilisasi tuba, menemukan bahwa probabilitas kumulatif
selama 10 tahun untuk terjadinya kehamilan setelah dilakukan sterilisasi adalah
18.5 dari 1.000 prosedur. Data dari penelitian cohort yang sama dan penelitian
lain menunjukkan bahwa sekitar 1/3 dari keseluruhan kehamilan akibat
kegagalan sterilisasi bersifat ektopik. Keseluruhan resiko kumulatif selama 10
tahun untuk kehamilan ektopik setelah dilakukan sterilisasi tuba adalah sekitar
7.3 dari 1000 prosedur, namun resiko bervariasi sesuai metode operasi.
Koagulasi bipolar terkait dengan resiko yang paling tinggi (17.1/1.000 prosedur)
208
dan post partum partial salpingectomy memiliki resiko paling rendah (1.5/1.000
prosedur). Untuk semua metode selain post partum partial salpingectomy,
probabilitas kehamilan ektopik lebih tinggi untuk wanita yang menjalani prosedur
di bawah 30 tahun dibandingkan wanita yang berusia lebih tinggi. Probabilitas
kumulatif selama 10 tahun untuk kehamilan ektopik pada wanita yang menjalani
prosedur koagulasi bipolar sebelum usia 30 tahun (31.9/1000 prosedur) >25 kali
lebih tinggi dari pada wanita dengan post partum partial salpingectomy di semua
usia. Untuk kombinasi semua metode, hanya sekitar 20% dari kehamilan yang
terjadi dalam 3 tahun setelah prosedur sterilisasi tuba yang bersifat ektopik,
namun lebih dari 60% kehamilan yang terjadi setelah 4 tahun atau lebih bersifat
ektopik.
Sebagian besar data yang tersedia terkait resiko kehamilan ektopik yang
berhubungan dengan IUD, didapatkan dari penelitian-penelitian lama yang
melibatkan IUD yang saat ini sudah tidak digunakan. Hanya ada 2 IUD yang saat
ini dipasarkan di US, yakni copper bearing device-IUD dan levonorgestrel (LNG)
IUD. Keduanya sangat efektif dalam mencegah kehamilan intrauterine dan
kehamilan ektopik dengan tingkat kehamilan kumulatif selama 5 tahun yang
setara dengan wanita yang menjalani sterilisasi tuba (0.5-1%). Meskipun begitu,
bila terjadi kehamilan dengan IUD masih berada dalam rahim, maka resiko
kehamilan ektopik menjadi tinggi. Logikanya, IUD memberikan perlindungan
yang lebih baik terhadap implantasi intrauterine dibandingkan ekstrauterine.
Konsekuensinya, sejumlah besar kehamilan yang terjadi akan bersifat ektopik.
Pada satu penelitian terhadap 64 kehamilan pada wanita dengan LNG-IUD,
hampir separuh di antaranya bersifat ektopik.
Kehamilan ektopik, secara anekdot, dilaporkan terjadi setelah pemberian
kontrasepsi oral emergensi. Secara teori, agen-agen progestasional dapat
menghambat motilitas tuba dan menjadi predisposisi untuk implantasi ektopik,
namun tidak satupun dari regimen kontrasepsi oral emergensi yang saat ini
digunakan dapat meningkatkan resiko kehamilan ektopik.
209
Secara keseluruhan, 70% dari kehamilan ektopik berlokasi di ampulla tuba, 12%
di isthmus, 11% di fimbria, dan 2% di segmen interstitial (cornu). Kehamilan
ektopik di tempat lain sangat jarang, sekitar 3% dari keseluruhan implantasi
ektopik berada di ovarium dan sejumlah kecil lainnya berlokasi di cervix dan
abdomen. Apapun yang mengganggu mekanisme transport tuba normal, dapat
menyebabkan kehamilan ektopik. Pada studi histopatologis, perubahan post
inflamasi (salpingitis kronis, salpingitis isthmica nodosa) telah ditemukan pada
hingga 90% dari tuba fallopi pada wanita dengan kehamilan ektopik.
Abnormalitas lain yang ditemukan adalah diverticula dan foci transformasi
desidua yang persisten. Kondisi patologis tuba dapat menetap meskipun telah
dilakukan terapi konservatif, medis, atau operatif, dan dapat menjadi predisposisi
terjadinya rekurensi. Implantasi ektopik itu sendiri dapat makin merusak tuba,
tergantung dari seberapa luas invasi trofoblas.
Histopatologi dari kehamilan ektopik bervariasi sesuai dengan lokasi
implantasi. Pada separuh dari kehamilan ektopik pada ampulla, proliferasi
trofoblas terjadi seluruhnya di dalam lumen, dan lapisan muscularis tetap intak.
Pada separuh kasus sisanya, trofoblas berpenetrasi ke dinding tuba dan
berproliferasi di jaringan ikat longgar antara lapisan muscularis dan serosa. Pada
sebagian besar kasus, ilatasi segmental dari ampulla tuba sebagian besar terdiri
dari darah yang terkoagulasi dan bukan trofoblast. Sebaliknya, implantasi ektopik
di isthmus tuba seringkali berpenetrasi ke dinding tuba sejak masa awal
kehamilan, kemungkinan karena di isthmus lebih banyak segmen muscular yang
tidak dapat terdistensi. Semua kehamilan ektopik tidak ditakdirkan untuk
mengalami rupture. Faktanya, banyak kasus akan mengalami kesembuhan
tanpa intervensi, khususnya dengan regresi spontan atau aborsi tuba (ekspulsi
melalui fimbria).
80%
Segmen ampulla
Segmen isthmus
12%
210
5%
Ujung fimbriae
Cornu dan interstitial
2%
1.4%
0.2%
0.2%
Abdominal
Ovarium
Cervix
Sejumlah
penelitian
menyebutkan
bahwa
prevalensi
abnormalitas
211
serum pasien
4.
Kehamilan Normal
212
Kehamilan Abnormal
Berkebalikan dengan kehamilan normal, pada kehamilan intrauterine yang
gagal atau pada kehamilan ektopik, konsentrasi I2-hCG relatif rendah bila
dibandingkan dengan usia gestasinya (bila dapat ditentukan dengan akurat)
atau hanya meningkat dengan kecepatan yang lebih lambat dibandingkan
kecepatan normal. Sayangnya, level I2-hCG juga dapat meningkat sesuai nilai
normal, setidaknya pada awalnya. Penentuan konsentrasi serum I2-hCG saja
tidak dapat membedakan kehamilan ektopik dengan kehamilan intrauterine
abnormal atau bahkan kehamilan uterine normal. Saat level hCG tidak
meningkat secara normal, atau bahkan turun, kehamilan hampir pasti tidak
viable (tidak dapat hidup), baik intrauterine maupun ektopik. Secara umum,
konsentrasi I2-hCG menurun secara lebih lambat pada kehamilan ektopik bila
dibandingkan dengan aborsi spontan. Probabilitas kehamilan ektopik menjadi
rendah (<10%) bila konsentrasinya menurun dengan cepat (separuh atau
lebih dalam 1-2 hari) dan menjadi tinggi (hampir 90%) saat konsentrasinya
menurun dengan sangat lambat (kurang dari separuh dalam waktu lebih dari 7
hari). Di antara kedua probabilitas tersebut, probabilitas kehamilan ektopik
tetap signifikan (30%). Konsentrasi I2-hCG yang meningkat sesuai nilai normal
memberikan kemungkinan yang kecil untuk kehamilan ektopik, namun tidak
menghilangkan kemungkinan kehamilan ektopik.
Kehamilan Ganda
Saat resiko terjadinya gestasi multiple relatif tinggi, contohnya pada
kehamilan yang dihasilkan dari stimulasi ovarium atau IVF, konsentrasi serum
213
I2-hCG serial lebih sulit untuk diinterpretasi karena standar normal pada
kehamilan normal tunggal mungkin tidak dapat digunakan. Pada sebagian
besar kasus kehamilan ganda, level I2-hCG lebih tinggi daripada normal, yang
merefleksikan kombinasi dari keseluruhan gestasi, namun peningkatannya
sesuai dengan pola normal. Meski demikian, reduksi kehamilan spontan
sering terjadi pada kehamilan ganda dan kehamilan heterotopik juga tidak
jarang terjadi pada kasus kehamilan dengan stimulasi ovarium. Satu atau
lebih gestasi intrauterine yang berkembang normal dapat memproduksi level
hCG yang tinggi atau normal, namun hal tersebut tidak terjadi bila kehamilan
disertai kehamilan intrauterine yang gagal atau gestasi ektopik. Level I2-hCG
pada satu waktu akan merefleksikan produksi hCG gabungan dari seluruh
gestasi, baik normal atau abnormal dan intrauterine ataupun ektopik. Produksi
hCG normal dari gestasi intrauterine yang viable dapat dengan mudah
menutupi kontribusi kecil dari dari gestasi intrauterine yang abnormal.
Alternatifnya, penurunan level produksi hCG dari sebuah kegagalan
kehamilan intrauterine atau gestasi ektopik akan lebih lambat daripada waktu
yang diharapkan meskipun terdapat gestasi intrauterine yang menyertai.
Untuk
meningkatkan
kewaspadaan
terhadap
semua
kemungkinan,
Kehamilan Normal
Sebuah gestational sac merupakan penanda utama USG pada kehamilan
intrauterine fase awal. Sac tersebut terdiri dari sebuah pusat yang bersifat
sonolucent (hitam) dengan cincin echogenic yang tebal, yang dibentuk oleh
reaksi desidua di sekitarnya. Gestational sac khususnya dapat diobservasi
dalam 30-35 hari setelah onset menstruasi pada siklus konsepsi. Transduser
modern dengan frekuensi tinggi (>5 MHz) dapat mendeteksi gestational sac
214
pada waktu yang lebih awal dibandingkan probe dengan frekuensi yang lebih
rendah. Ketiadaan gestational sac intrauterine 38 hari atau lebih setelah onset
menstruasi atau 24 hari setelah konsepsi merupakan bukti kuat untuk dugaan
adanya kehamilan ektopik. Kriteria tersebut berguna bila riwayat menstruasi
tercatat dengan baik atau konsepsi terjadi dengan pengawasan ketat, namun
hanya memiliki nilai praktis yang rendah bila diaplikasikan secara luas,
kemungkinan
karena
perdarahan
ireguler
seringkali
terjadi
sehingga
Kehamilan Abnormal
USG memiliki nilai diagnostik lebih dari hanya sekedar mengenali ada atau
tidaknya
gestational
sac
intrauterine.
Bila
tidak
terdapat
kehamilan
intrauterine, maka pemeriksaan yang teliti terhadap regio adnexa dan cavum
Douglasi dapat memberikan tambahan informasi yang berguna. Bukti adanya
gestasi ekstrauterine dapat teridentifikasi hingga 80-90% dari seluruh
kehamilan ektopik. Hasil observasi berupa gestational sac dengan yolk sac,
embryo, atau aktivitas cardiac di luar uterus, menegakkan diagnosis
kehamilan ektopik dan dapat menjadi dasar bagi terapi segera. Sebuah
kompleks massa di adnexal (bukan sebuah kista sederhana) atau cairan di
Cavum Douglasi, meningkatkan kemungkinan dugaan kehamilan ektopik,
namun tidak dapat menjadi dasar terapi. Hasil-hasil lainnya bahkan tidak
memberikan kesimpulan apapun. Beberapa pakar mengatakan bahwa
pengukuran
ketebalan
endometrium
memiliki
nilai
prediktif
karena
peneliti
lain
telah
menemukan
215
banyak
variasi
ketebalan
216
217
KONSENTRASI PROGESTERONE
Konsentrasi serum progesterone secara umum pada kehamilan ektopik
lebih rendah dibandingkan pada kehamilan intrauterine Konsentrasi serum
progesterone secara umum pada kehamilan ektopik lebih rendah dibandingkan
pada kehamilan intrauterine yang viable. Penjelasan yang paling mungkin adalah
218
karena produksi hCG yang lebih rendah pada kehamilan ektopik. hCG yang
disekresi oleh gestasi ektopik secara kimia dan biologi sama dengan hCG yang
disekresi oleh kehamilan intrauterine, namun tingkat produksinya lebih lambat,
terutama karena trofoblas ektopik berproliferasi lebih lambat dan kurang aktif
secara biologis. Produksi progesterone oleh corpus luteum di awal kehamilan
diregulasi terutama oleh tingkat perubahan konsentrasi hCG. Pada kondisi
normal, peningkatan level hCG secara eksponensial menyebabkan reseptor
LH/hCG terikat secara maksimal sehingga memberikan stimulasi maturasi
corpus luteum dan terjadi peningkatan jumlah reseptor yang tersedia.
Sebaliknya, hanya sedikit kehamilan ektopik yang memiliki tingkat produksi hCG
normal untuk jangka panjang. Konsekuensinya, sekresi progesterone mungkin
akan meningkat secara normal di awal kehamilan namun sangat lambat,
sehingga konsentrasinya dalam serum lebih rendah. Belum ada bukti yang
mendukung hipotesis alternatif bahwa fungsi luteal yang buruk pada kehamilan
ektopik disebabkan karena penurunan atau tidak adanya produksi faktor-faktor
feto-placental trophic lainnya, yang berbeda dari hCG.
Level progesterone dalam serum yang terkait dengan kehamilan
intrauterine fase awal baik normal maupun abnormal serta dengan kehamilan
ektopik, memiliki variasi yang luas dan terkadang tumpang tindih. Meski
demikian, konsentrasi progesterone dalam serum dapat memberikan informasi
prognostik tambahan yang mungkin berguna dalam evaluasi pada beberapa
wanita dengan dugaan kehamilan ektopik. Probabilitas kehamilan intrauterine
yang viable meningkat sesuai konsentrasi progesterone dalam serum. Level
konsentrasi >20 ng/mL hampir selalu mengindikasikan kehamilan intrauterine
normal. Sebaliknya, konsentrasi <5 ng/mL hampir selalu mengindikasikan
kehamilan non-viable baik ektopik maupun intrauterine. Sayangnya, 50% dari
kehamilan ektopik, hampir 20% dari aborsi spontan, dan hampir 70% dari
kehamilan intrauterine yang viable memiliki level progesterone dalam serum
antara 5 hingga 20 ng/mL. Selain itu, karena pengecualian terhadap apa yang
ada dapat terjadi, maka tidak satupun dari kedua nilai tersebut yang sangat
bergantung pada individu. Hanya sekitar 0.3% wanita dengan kehamilan
intrauterine yang viable memiliki konsentrasi progesterone serum <5 ng/mL,
namun
sekitar
3%
dari
kehamilan
ektopik
yang
memiliki
konsentrasi
219
terhambat bila konsepsi merupakan hasil dari stimulasi ovarium. Pada kasus
tersebut, sering ditemukan level progesterone yang lebih tinggi karena stimulasi
biasanya menghasilkan lebih dari satu corpus luteum.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa level progesterone <5 ng/mL dapat
mengindentifikasi wanita yang dapat menjalani curettage dengan aman untuk
mencari villi chorionic untuk membedakan secara akurat kehamilan ektopik
dengan aborsi spontan. Kemungkinan dilakukannya intervensi yang tidak sesuai
terhadap kehamilan intrauterine normal dengan menggunakan pendekatan ini
memang sangat rendah (hanya sekitar 0.3%), namun bahkan resiko sekecil
itupun dianggap sangat tinggi.
Curettage Uterine
Bila USG tidak memberikan kesimpulan pasti dan konsentrasi I2-hCG
berada di atas zona diskriminasi, meningkat abnormal, atau bahkan menurun,
maka kemungkinan adanya kehamilan intrauterine yang viable telah secara
efektif tereksklusi, kecuali pada fase awal kehamilan ganda, dan hanya bila level
I2-hCG mengalami peningkatan.
Kemungkinan lainnya, seperti kehamilan ektopik dan kehamilan intrauterine
yang non-viable, dapat dibedakan dengan curettage uterus. Bila didapatkan villi
chorionic, maka mengeksklusi kehamilan ektopik, namun tidak mengeksklusi
kehamilan heterotopic. Ketiadaan villi meningkatkan kemungkinan kehamilan
ektopik, meskipun hal tersebut bisa didapatkan aborsi komplit yang baru saja
terjadi ataupun kegagalan teknik pengambilan atau pengenalan villi. Bila
dianggap terjadi kehamilan ektopik, tanpa dilakukan uterine curettage, maka
kesalahan diagnosis yang dapat menyebabkan ketidaktepatan terapi, dapat
terjadi
pada
hampir
40%
wanita.
Konsekuensinya,
uterine
curettage
I2-hCG
dalam
12-24
jam
220
setelah
curettage
memperkuat
221
diagnosis
tersebut
dalam
melakukan
skrining
terhadap
wanita
222
setiap 100 wanita yang menjalani skrining. Dengan melihat sekitar 2% latar
belakang terjadinya kehamilan ektopik dan mempertimbangkan peningkatan
insiden terkait dengan faktor resiko tertentu, skrining dapat dilakukan untuk
wanita dengan operasi tuba sebelumnya, riwayat kehamilan ektopik, atau wanita
dengan eksposure DES dalam rahim, dan wanita dengan kelainan tuba atau
mengalami kehamilan dengan IUD masih terpasang. Skrining kurang dapat
diterima bila dilakukan pada wanita dengan faktor resiko hanya berupa riwayat
infertilitas atau infeksi pelvis.
MANAJEMEN MENUNGGU (EXPECTANT)UNTUK KEHAMILAN EKTOPIK
Tidak semua dugaan kehamilan ektopik atau bahkan yang telah terbukti,
memerlukan terapi. Pada beberapa wanita, manajemen dengan menunggu
merupakan pilihan yang tepat dengan kemungkinan sukses yang tinggi. Pada
konteks ini, manajemen menunggu tidak sama dengan observasi sederhana
saja. Manajemen menunggu meliputi pengawasan hati-hati terhadap gejala
klinis, konsentrasi serum I2-hCG, dan USG transvagina. Intinya, manajemen
menunggu identik dengan manajemen yang direkomendasikan untuk wanita
dengan dugaan kehamilan ektopik namun dengan USG yang tidak dapat
disimpulkan dan level I2-hCG di bawah zona diskriminasi.
Bila tidak terjadi perubahan signifikan pada status klinis, wanita dengan
kehamilan ektopik (dugaan atau terbukti) dapat diobservasi selama level I2-hCG
menurun dengan teratur. Secara umum, sekitar 25% dari kehamilan ektopik
mengalami penurunan konsentrasi I2-hCG dan sekitar 70%-nya (sekitar 18% dari
seluruh kehamilan ektopik) akan mengalami resorbsi spontan tanpa terapi medis
atau operatif. Kemungkinan kesuksesan manajemen menunggu ini tinggi bila
tidak terdapat gestational sac dari USG dan level I 2-hCG relatif rendah. Bila
konsentrasi dasar I2-hCG kurang dari 1.000 IU/l dan terus menurun, maka hampir
90% dari kehamilan ektopik akan teregresi tanpa terapi. Manajemen menunggu
dapat sukses pada 60% wanita dengan penurunan konsentrasi I 2-hCG di bawah
2.000 IU/l, namun gagal pada lebih dari 90% konsentrasi >2.000 IU/l. Yang paling
penting, hasil jangka panjang (kehamilan intrauterine dan ektopik selanjutny)
setelah manajemen menunggu yang sukses, dapat diperbandingkan dengan
yang dicapai dengan terapi medis dan operatif.
TERAPI MEDIS UNTUK KEHAMILAN EKTOPIK
223
reductase,
sehingga
menurunkan
konsentrasi
simpanan
tetrahydrofolate, sebuah kofaktor penting untuk sintesis DNA dan RNA selama
multiplikasi sel. Jaringan dengan proliferasi cepat seperti trofoblas, sangat rentan
terhadap aksi agen tersebut.
Dengan pertimbangan bahwa methotrexate telah lama digunakan dengan
sukses untuk terapi penyakit trofoblas gestasional, maka obat ini merupakan
pilihan logis untuk terapi kehamilan ektopik. Bahkan pada wanita dengan fase
awal kehamilan intrauterine yang tidak diinginkan, terapi methotrexate dapat
menurunkan tingkat kenaikan level serum I2-hCG, sehingga hasilnya, konsentrasi
progesterone dan 17-hydroxyprogesterone juga menurun.
Indikator Prognosis
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menentukan karakteristik USG
dan biokimia yang mungkin dapat memprediksikan kesuksesan atau kegagalan
terapi medis untuk kehamilan ektopik. Ukuran gestational sac ekstrauterine, ada
atau tidaknya aktivitas jantung embryo, atau cairan di cavum Douglasi, dan
konsentrasi dasar serum I2-hCG dan progesterone, semuanya telah diperiksa
sebagai indikator prognosis yang potensial.
Karakteristik USG
Sebuah gestational sac ektopik atau massa berukuran lebih dari 3-4 cm
secara umum dianggap sebagai kontraindikasi relatif untuk terapi medis
dengan methotrexate. Hanya sedikit data untuk mendukung rekomendasi
224
Karakteristik Biokimia
Bila observasi USG memiliki nilai prognostik yang terbatas, maka
konsentrasi serum I2-hCG justru cukup berguna. Kemungkinan kegagalan
terapi medis terkait langsung dengan konsentrasi awal serum I 2-hCG, makin
tinggi level I2-hCG makin rendah kemungkinan sukses.
Korelasi antara serum I2-hCG dan kesuksesan terapi, dapat dimengerti.
Serum I2-hCG yang tinggi menandakan kehamilan ektopik fase lanjut yang
masih viable dan terus tumbuh. Sebaliknya konsentrasi I 2-hCG yang rendah
dan ketiadaan aktivitas jantung embryo terkait dengan kehamilan ektopik fase
225
sangat awal atau kehamilan ektopik yang gagal, sehingga sangat sensitif
terhadap methotrexate. Tidak mengagetkan, prevalensi aktivitas jantung
embryo meningkat sesuai peningkatan konsentrasi I2-hCG. Aktivitas jantung
hanya terdapat pada 5% kehamilan ektopik yang memiliki level I 2-hCG <5.000
IU/l, namun terdapat pada 27% kehamilan ektopik dengan konsentrasi I2-hCG
antara 5.000 hingga 10.000 IU/l, dan 41% pada konsentrasi I2-hCG antara
10.000 dan 15.000 IU/l, serta 50% pada konsentrasi I 2-hCG >15.000 IU/l.
Korelasi antara konsentrasi I2-hCG dan aktivitas jantung embryo menjelaskan
mengapa terapi medis seringkali gagal bila terdapat aktivitas jantung.
Konsentrasi I2-hCG
<1.000 IU/l
1.000-1.999 IU/l
2.000-4.999 IU/l
5.000-9.999 IU/l
10.000-14.999 IU/l
>15.000 IU/l
Hari 1
Regimen Dosis-Multipel
Pemeriksaan I -hCG, CBC, hitung platelet, tes
2
Methotrexate
Leukovorin
Methotrexate
Leukovorin
Pemeriksaan I2-hCG
226
Hari 5
Methotrexate
Hari 6
Pemeriksaan I2-hCG
Leukovorin
Hari 7
Pemeriksaan I -hCG
Methotrexate
Hari 8
Pemeriksaan I -hCG
Leukovorin
Hari 1
Methotrexate
Pemeriksaan I2-hCG
Pemeriksaan I2-hCG, CBC, hitung platelet, tes
Mingguan
50 mg/m2 i.m
227
lanjut dari level I2-hCG mengindikasikan untuk pemberian dosis kedua atau dosis
selanjutnya dengan protokol terapi dan follow up yang sama.
Hasil Terapi Methotrexate
Terapi methotrexate sistemik dengan dosis tunggal dan multiple, belum
pernah diperbandingkan secara langsung pada penelitian, namun keduanya
mencapai tingkat kesuksesan yang tinggi (75-95%) pada sejumlah serial kasus
independen. Sebuah penelitian meta-analisis yang membandingkan terapi dosis
tunggal dengan dosis multipel, mengkombinasikan data dari 26 penelitian
terpisah yang melibatkan 1.327 kasus kehamilan ektopik yang diterapi dengan
methotrexate sistemik (regimen dosis tunggal: 1.067 wanita; regimen dosis
multiple: 260 wanita). Meskipun tidak sepenuhnya definitif dan terbebas dari bias,
penelitian ini setidaknya mendapatkan dua hasil observasi yang berguna.
Pertama adalah, hasil dari terapi baik dosis tunggal (kesuksesan 88.1%)
dan dosis multiple (kesuksesan 92.7%) cukup bagus. Meski demikian, bila dilihat
dari perspektif sebaliknya, tingkat kegagalan untuk terapi dosis tunggal (127 dari
1.067=11.9%) lebih tinggi secara signifikan (Odds ratio 1.71, CI=1.04-2.82) dari
pada dosis multiple (19 dari 260=7.3%). Setelah dilakukan penyesuaian untuk
indikator-indikator prognostik lainnya (konsentrasi serum I2-hCG dan aktivitas
jantung embryonal), peningkatan resiko kegagalan terapi dosis tunggal bahkan
lebih mencengangkan (Odds ratio 4.74, CI=1.77-12.62).Perbedaan kasar pada
tingkat kesuksesan antara kedua regimen terapi tersebut (sekitar 5%), dapat
dibandingkan dengan observasi pada penelitian-penelitian lain dan menunjukkan
bahwa untuk setiap 20 wanita yang diterapi dengan terapi dosis multiple,
setidaknya dapat dihindarkan satu prosedur operatif tambahan. Kedua adalah,
terapi dosis tunggal seringkali melibatkan lebih dari satu dosis methotrexate
(15%) dan regimen dosis multiple seringkali memerlukan kurang dari 4 dosis
(50%). Tingkat kesuksesan lebih tinggi didapatkan pada wanita yang diberikan
terapi dosis tunggal kedua dan lebih rendah pada wanita memerlukan lebih dari 4
dosis terapi dosis multiple. Observasi ini menunjukkan bahwa regimen terapi
medis
yang
optimal
masih
belum
didapatkan,
namun
mungkin
dapat
228
Kriteria absolut
o Hemodinamik stabil
o Tidak ada bukti perdarahan intra-abdomen akut
o Komitmen untuk mengikuti perawatan follow up
o Tidak ada kontraindikasi untuk terapi methotrexate
Kriteria relatif
o Gejala minimal atau tidak ada (nyeri)
o Konsentrasi serum I2-hCG <10.000 IU/l
o Tidak ada aktivitas jantung embryonal
o Massa gestasi ektopik berdiameter <4 cm
4 kriteria yang pertama adalah yang paling penting. Di antara 4 kriteria
yang kedua, kriteria nomer 1 merupakan pertimbangan praktis, di mana sangat
sulit untuk memberikan terapi medis pada wanita dengan nyeri hebat atau terus
menerus.
kriteria
selanjutnya
memprediksikan
tingginya
probabilitas
229
sesuai dengan kriteria absolut di atas atau memiliki kontraindikasi terhadap terapi
methotrexate, bukan merupakan kandidat untuk diberikan terapi medis.
Kontraindikasi untuk terapi methotrexate adalah:
Menyusui
Kondisi imunodefisiensi
Alkoholisme atau ada bukti penyakit liver kronis (peningkatan transaminase)
Penyakit ginjal (peningkatan serum creatinine)
Abnormalitas hematologis (anemia berat, leukopenia, thrombocytopenia)
Hipersensitivitas terhadap methotrexate
Penyakit paru aktif
Ulkus peptikum
dan
operasi
invasif,
namun
juga
memiliki
kekurangan.
Bila
230
nyeri
hebat
atau
tidak
tertahankan
setelah
pemberian
terapi
231
isthmus tuba memiliki resiko rupture yang lebih tinggi, namun tidak dapat secara
akurat dengan implantasi ampulla tanpa melakukan laparoskopi. Untungnya,
rupture tuba tampaknya tidak menyebabkan efek samping secara independen
terhadap fertilitas atau kehamilan selanjutnya.
Terapi Medis Lokal dengan Injeksi Langsung
Methotrexate juga dapat diberikan dengan injeksi lokal langsung (1 mg/kg)
ke gestational sac ektopik dengan guiding laparoskopi atau USG. Metode ini
memberikan methotrexate dengan konsentrasi tinggi ke tempat implantasi dan
methotrexate akan mencapai konsentrasi dalam sirkulasi yang setara dengan
terapi sistemik. Banyak pengalaman dengan injeksi lokal langsung methotrexate
telah dikumpulkan, terutama di Eropa. Secara umum, hasilnya tampak tidak
konsisten, namun dapat disetarakan dengan hasil yang dicapai oleh terapi
sistemik. Injeksi lokal langsung juga lebih invasive, lebih mahal, dan memerlukan
skill teknik yang lebih tinggi. Dengan kerugian tersebut, dan tidak ada
keuntungan yang lebih besar, terapi methotrexate sistemik lebih dipilih.
Pengalaman dengan injeksi lokal langsung dengan medikasi lain (kalium
klorida,
glukosa
hyperosmolar)
masih
terbatas.
Secara
umum,
efikasi,
terapi
dengan
Rh
(D)
immunoglobulin
umumnya
232
maternal hingga 2.5 ml). Karena efek samping dan komplikasi dari terapi ini yang
jarang terjadi, secara keseluruhan keuntungan terapi lebih tinggi daripada resiko
yang mungkin terjadi.
TERAPI OPERASI UNTUK KEHAMILAN EKTOPIK
Hingga akhir-akhir ini, sebagian besar kehamilan ektopik ditangani secara
operatif dan salpingectomy merupakan operasi yang paling sering dilakukan.
Karena metode diagnosis dini terhadap kehamilan ektopik tak terganggu telah
muncul dan digunakan secara luas, terapi operasi secara bertahap bergeser ke
prosedur yang lebih konservatif seperti salpingostomy dan reseksi segmental.
Bahkan, sebagian besar operasi masih dilakukan melalui laparotomy. Tidak lama
setelahnya, operasi laparoskopik menjadi terapi standar untuk kehamilan ektopik
tak terganggu. Dengan instrumentasi yang tersedia saat ini, bahkan sebagian
besar dari kehamilan ektopik terganggu dapat ditangani dengan sukses melalui
laparoskopi.
Untuk penanganan kehamilan ektopik, laparoskopi memiliki beberapa
manfaat dibandingkan laparotomy: kehilangan darah lebih sedikit, adhesi lebih
sedikit, waktu operasi lebih singkat, waktu rawat inap lebih singkat (biasanya <24
jam),
penurunan
kebutuhan
pemberian
analgesik
post
operasi,
dan
233
Salpingostomi dapat dilakukan dengan sukses pada sekitar 80% wanita, dan
sisanya terjadi perdarahan persisten yang memerlukan salpingectomy. Prosedur
salpingostomy yang gagal biasanya terkait dengan konsentrasi I2-hCG yang
tinggi, mungkin karena hal tersebut menandakan kehamilan ektopik fase lanjut
yang memiliki neovaskularisasi tinggi.
Ekspresi (pendorongan keluar) melalui fimbria pada kehamilan ektopik
beresiko menyebabkan kerusakan yang lebih besar pada tuba dan paling baik
dilakukan hanya untuk kehamilan ektopik yang telah terprotrusi melalui
fimbriae.Adanya propagasi (perjalanan) subserosasl khusus pada kehamilan
ektopik di ampulla menjelaskan mengapa pendorongan ke fimbria (untuk ektopik
yang terletak di proksimal) tidak direkomendasikan. Kehamilan ektopik di isthmus
paling baik ditangani dengan eksisi segmental, diikuti dengan re-anastomosis
microsurgical tubo-tubal (segera atau nanti). Lumen dari segmen isthmus tuba
fallopi jauh lebih sempit daripada ampulla, sehingga lebih mungkin mengalami
kerusakan akibat salpingostomy, dan rentan mengalami obstruksi post operasi.
Segmen yang terkena hanya perlu dieksisi kemudian dipastikan perdarahan
berhenti.
Terapi operasi konservatif tidak selalu menjadi pilihan yang terbaik atau
paling sesuai. Pada kondisi tertentu, salpingectomy menjadi pilihan yang lebih
tepat. Pada semua kasus, setiap usaha harus dilakukan untuk menjaga kondisi
ovarium. Indikasi satu-satunya untuk dilakukan salpingo-oophorectomy (yang
jarang terjadi) adalah perdarahan yang tidak dapat dikontrol dengan cara
konservatif apapun.
Indikasi salpingectomy:
234
ektopik yang lebih rendah daripada wanita dengan kondisi patologis pada tuba
kontralateralnya.
Terapi operasi konservatif berhasil (tidak memerlukan terapi tambahan)
dilakukan pada sekitar 90% wanita dengan kehamilan ektopik tak terganggu.
Kombinasi hasil dari 3 penelitian random menunjukkan bahwa operasi
konservatif sedikit kurang sukses bila dikerjakan dengan laparoskopi bila
dibandingkan laparotomy (RR 0.90, CI=0.83-0.97), karena insiden dari trofoblas
persisten lebih tinggi. Untuk wanita yang menginginkan untuk tetap fertil di masa
selanjutnya, tingkat patensi tuba (80-90%), kehamilan intrauterine (55-75%), dan
rekurensi kehamilan ektopik (10-15%) sama untuk laparoskopi maupun
laparotomy.
Kehamilan Ektopik Persisten
Kehamilan ektopik persisten merupakan komplikasi paling sering pada
terapi operasi konservatif untuk kehamilan ektopik. Fenomena ini pertama kali
diketahui pada tahun 1979. Insiden mengenai kehamilan ektopik persisten yang
dilaporkan sangat bervariasi mulai dari 3% hingga hampir 30%, sebagian karena
adanya perbedaan definisi (peningkatan serum I2-hCG post operasi vs
pertumbuhan berkelanjutan yang memerlukan terapi tambahan). Para dokter
harus selalu waspada akan kemungkinan tersebut karena kehamilan ektopik
yang tidak terdeteksi sering kali rupture selama periode post operasi.
Faktor resiko terjadinya kehamilan ektopik persisten masih belum diketahui
pasti. Insiden kehamilan ektopik persisten tampaknya tinggi pada terapi operasi
laparoskopik dibandingkan laparotomy. Resiko kehamilan ektopik persisten
mungkin meningkat bila operasi dilakukan pada fase awal (sebelum usia gestasi
6 minggu) dan dilakukan pada kehamilan ektopik yang kecil (diameter <2 cm)
yang mungkin lebih sulit untuk diidentifikasi dan dieksisi dengan sempurna.
Peneliti lain mengatakan bahwa resiko kehamilan ektopik persisten terkait
langsung dengan konsentrasi awal I2-hCG, namun belum diketahui hubungan
yang konsisten antara kedua hal tersebut.
Cara paling efektif untuk mengidentifikasi kehamilan ektopik persisten
adalah dengan monitor level serum I2-hCG pada masa post operasi.
Rekomendasi yang ada bervariasi mulai dari setiap 3 hari hingga 2 minggu. Hari
pertama post operasi, konsentrasi serum I2-hCG memiliki nilai prediktif yang
signifikan; makin tinggi penurunannya dari nilai sebelum operasi, maka makin
235
236
237
dari seluruh kehamilan abdomen yang dapat dikenali sebelum terjadi perdarahan
intraabdomen. Operasi emergensi merupakan terapi pilihan, kecuali pada kasus
jarang di mana kehamilan abdominal telah mencapai fase lanjut dengan janin
yang viable. Bila secara teknik dapat dilakukan, maka plasenta harus diambil,
karena komplikasi (perdarahan, abses, sepsis, obstruksi usus, kista cairan
amnion, hipofibrinogenemia) sangat sering terjadi. Saat pengambilan placenta
tidak dapat dilakukan secara teknis, maka terapi methotrexate diberikan untuk
mempercepat degenerasi plasenta, namun efikasinya masih belum terbukti.
Kehamilan Ovarium
Kehamilan ovarium terjadi pada kurang dari 3% dari seluruh kehamilan
ektopik. Tanda dan gejala sama dengan kehamilan ektopik tuba. Faktanya,
karena kehamilan ektopik ovarium seringkali tertutup dengan corpus luteum yang
mengalami perdarahan saat operasi, diagnosis seringkali dibuat oleh ahli
patologi setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi terhadap specimen yang
dieksisi selama operasi. Meskipun, bersifat sangat akademis, diagnosis
kehamilan ovarium memiliki kriteria spesifik: (1) tuba ipsilateral intak, terpisah
jelas dari ovarium; (2) sebuah gestational sac menutupi posisi ovarium; (3)
sebuah gestational sac terhubung ke uterus melalui ligament ovarium; dan (4)
jaringan ovarium di dinding gestational sac. Terapi untuk semua kehamilan
ektopik ovarium adalah operasi, karena alasannya sudah jelas, namun mungkin
sejumlah kehamilan ektopik yang saat ini diterapi secara medis merupakan
implantasi ovarium.
Kehamilan Interstitial
Tidak lebih dari 2% kehamilan ektopik tuba berimplantasi di segmen
interstitial, yang terletak di dalam dinding uterus dan berukuran panjang 1-2 cm.
Menariknya, sejumlah wanita dengan kehamilan ektopik interstitial memiliki
riwayat kehamilan ektopik ipsilateral atau salpingectomy sebelumnya. Kehamilan
hasil dari IVF juga memiliki resiko yang tinggi untuk terjadinya kehamilan ektopik
interstitial. Pada sebuah penelitian serial terhadap 32 kehamilan interstitial yang
dikumpulkan oleh Society for Reproductive Surgeons, 13 di antaranya
merupakan kehamilan ektopik rekuren, 12 dari kehamilan ektopik rekuren
tersebut
merupakan
wanita
dengan
riwayat
salpingectomy
238
ipsilateral
terjadi
keraguan,
dapat
dilakukan
laparoskopi
untuk
benar-benar
dulu,
terapi
tradisional
untuk
kehamilan
interstitial
adalah
memberikan
kemungkinan
diberikannya
terapi
medis
dengan
mengalami
rupture
sewaktu-waktu,
maka
terapi
operasi
primer
239
terapi
medis
konservatif.
Histerektomi
direkomendasikan
untuk
kehamilan cervical fase lanjut pada trimester kedua atau trimester ketiga dan
untuk manajemen terhadap perdarahan tak terkontrol.
240