Anda di halaman 1dari 240

CHAPTER 30

INFERTILITAS PRIA

INFERTILITAS PRIA
Pemahaman kita terhadap fungsi reproduksi pria dan pentingnya faktor pria
dalam infertilitas, telah berkembang dengan sangat signifikan selama dekade
terakhir. Di masa lalu, faktor wanita menjadi fokus primer perhatian dan faktor
pria dianggap sebagai penyebab infertilitas yang relatif jarang. Kita sekarang
mengetahui bahwa abnormalitas pada laki-laki merupakan penyebab tunggal
pada sekitar 20% pasangan infertil dan merupakan faktor penting pada 20-40%
pasangan dengan kegagalan reproduksi.
Banyak pria infertil disebabkan oleh gangguan yang dapat dikoreksi secara
medis ataupun operatif, yang bila terdiagnosis dan diterapi dengan tepat, maka
dapat memungkinkan pria tersebut berkonsepsi secara normal dengan
pasangannya. Pada beberapa kasus lainnya, abnormalitas semen yang ringan
namun penting, dapat diatasi dengan inseminasi intrauterine (IUI). Saat semua
usaha tersebut gagal atau tidak dapat dilakukan, maka proses assisted
reproductive technologies (ART) atau disebut bayi tabung, masih dapat
memberikan kemungkinan untuk sukses. In vitro fertilization (IVF) dengan
intracytoplasmic sperm injection (ICSI) yakni injeksi langsung sel sperma tunggal
ke oocyte mature, telah menawarkan kesempatan yang realistis untuk menjadi
ayah bagi pada banyak laki-laki yang sebelumnya infertil. Inseminasi buatan
dengan menggunakan sperma donor, yang merupakan pilihan satu-satunya bagi
banyak pasangan dengan infertilitas pria, tetap merupakan strategi terapi yang
penting dan sangat efektif, namun saat ini dianggap sebagai terapi lini terakhir.
Dokter-dokter yang menangani pasangan infertil harus tahu bagaimana
melakukan evaluasi dasar terhadap fungsi reproduksi laki-laki dan bagaimana
mengenali para lelaki yang memerlukan evaluasi yang lebih ekstensif atau
canggih serta terapi yang lebih canggih pula. Chapter ini menjelaskan regulasi
fungsi testicular, mendiskusikan analisis semen dan tes-tes lain untuk fungsi
sperma, menjelaskan penyebab infertilitas pria, dan meninjau konsep saat ini
mengenai terapi infertilitas pria.

REGULASI FUNGSI TESTIS


Testis memiliki dua komponen yang berbeda, yakni tubulus seminiferous
(tempat spermatogenesis) dan sel-sel Leydig (sumber testosterone). Tubulus
seminiferous terdiri dari germ cells yang disebut spermatogonia dan sel-sel
Sertoli. Tight junction (ikatan yang erat) antar sel-sel Sertoli membentuk sebuah
barrier (pembatas) difus yang disebut blood testis barrier (mirip dengan blood
brain barrier) yang memproteksi germ cells dari antigen, antibody, dan toksin
lingkungan. Tubulus seminiferous bersifat avaskuler, dan meregulasi molekul
yang masuk dengan difusi. Sel-sel Leydig berlokasi di jaringan ikat yang berada
di antara tubulus seminiferous.
Setelah terjadi migrasi germ cell ke genital ridge selama embryogenesis,
terdapat sekitar 300.000 spermatogonia di setiap gonad.

Setiap sel tersebut

menjalani pembelahan mitosis serial dan saat pubertas, terdapat sekitar 600 juta
sel di setiap testis.

Proliferasi terus menerus selama dewasa menghasilkan

produksi sekitar 100-200 juta sel sperma setiap hari dan lebih dari 1 triliun
selama masa hidup normal. Saat spermatogenesis dimulai, spermatogonia
diploid (46 kromosom) tumbuh menjadi spermatocyte primer sebelum memasuki
fase meiosis. Pembelahan meiosis pertama menghasilkan 2 spermatocyte
sekunder haploid (23 kromosom), yang masing-masing menghasilkan 2
spermatid selama pembelahan meiosis kedua. Selanjutnya, setiap spermatid
menjalani proses pematangan menjadi spermatozoa matang. Sekitar separuh
dari semua sperma yang potensial tersebut hilang selama proses meiosis.
Proses spermatogenesis diarahkan oleh gen-gen yang terletak pada
kromosom Y dan membutuhkan waktu sekitar 70 hari untuk menyelesaikannya.
Kemudian diperlukan 12-21 hari lagi untuk mentransport sperma dari testis
melalui

epididymis

ke

duktus

ejakulatorius.

Selama

perjalanan

melalui

epididymis, sperma mengalami pematangan lebih lanjut sehingga memiliki


kapasitas untuk melakukan motilitas.
Panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan dan transit sperma
berarti bahwa hasil analisis semen merefleksikan kondisi-kondisi yang terjadi
beberapa minggu sebelumnya.
Semen terdiri dari sekret-sekret yang diproduksi oleh prostat, vesikula
seminalis, dan vasa deferentia distal.

Fungsi testis normal memerlukan peran kerja dari kedua gonadotropin dari
pituitary, yakni follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH).
LH menstimulasi sel-sel Leydig di interstitium testis untuk mensintesis dan
mensekresi testosterone (sekitar 5-10 mg per hari). Aksi LH secara tidak
langsung dibantu oleh FSH, yang menginduksi pemunculan reseptor LH di selsel Leydig testis. Testosterone disekresikan baik ke sirkulasi maupun ke lumen
tubulus seminiferous, di mana testosterone terkonsentrasi sangat tinggi hingga
ke level yang dibutuhkan untuk mendukung spermatogenesis di epithelium
germinal dan maturasi sperma di epididymis; konsentrasi dalam testis 50-100 kali
lebih tinggi daripada di darah. Aksi-aksi testosterone dalam mendukung
spermatogenesis

dimediasi

oleh

sel-sel

Sertoli

yang

melapisi

tubulus

seminiferous dan mengandung reseptor androgen. FSH berikatan dengan selsel Sertoli dan menstimulasi produksi ABP, androgen binding protein, yang

berfungsi menjaga konsentrasi testosterone lokal yang tinggi yang dibutuhkan


untuk spermatogenesis.
Peningkatan level serum testosterone memberikan feedback inhibisi
terhadap sekresi LH, yang beraksi baik pada level hypothalamus untuk
memperlambat denyut pelepasan GnRH (gonadotropic releasing hormone) dari
hypothalamus serta pada level pituitary untuk menurunkan sensitivitas
gonadotropin dari pituitary terhadap stimulasi GnRH. Banyak penelitian yang
melibatkan infuse testosterone, estradiol, atau dihydrotestosterone (yang tidak
dapat dikonversi menjadi estrogen) atau administrasi antagonis estrogen pada
pria normal, pada individu dengan insensitivitas androgen, pada pria dengan
idiopathic hypogonadotrophic hypogonadism telah terbukti bahwa testosterone
memberikan efek feedback negatif terhadap sekresi LH baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui konversi estradiol di otak.
Berkebalikan dengan efek terhadap sekresi LH, level fisiologis testosterone
tidak mensupresi sekresi FSH. Regulasi sekresi FSH dari pituitary lebih dikontrol
oleh inhibin. Level FSH meningkat secara bertahap setelah dilakukan
orchiectomy, sebuah observasi yang pada akhirnya menemukan inhibin. InhibinB disintesis dan disekresi oleh sel-sel Sertoli sebagai respon terhadap stimulasi
FSH dan secara spesifik menghambat sekresi FSH di pituitary; inhibin A tidak
diproduksi dengan jumlah yang signifikan pada pria.

Sekresi inhibin-B oleh sel Sertoli dimodulasi secara tidak langsung oleh LH
melalui testosterone, yang menghambat ekspresi gen inhibin-B di sel Sertoli.
Tidak diragukan lagi, mekanisme regulasi autokrin/parakrin lain yang melibatkan
produksi growth factor lokal dan hormon peptida juga berperan dalam proses
tersebut, seperti sebuah interaksi yang komplek yang bekerja pada folikel
ovarium. Sel-sel Sertoli pada testis analog dengan sel-sel granulosa di ovarium
dan sel-sel Leydig setara fungsinya dengan sel-sel theca.

Sejauh

mana

FSH

dan

LH

diperlukan

untuk

mengawali

dan

mempertahankan proses spermatogenesis, masih sulit untuk ditentukan karena


observasi yang dilakukan terhadap berbagai kondisi alami maupun kondisi yang
diinduksi

oleh

eksperimen

telah

menghasilkan

bukti-bukti

yang

saling

bertentangan. Adanya sperma di ejakulat pria dengan mutasi inactivating pada


subunit I2 gen LH dan pada pria lain dengan defisiensi LH menunjukkan bahwa
FSH

saja

dapat

menginisiasi

spermatogenesis,

meskipun

terdapat

kemungkinkan yang belum bisa dieksklusi seperti adanya beberapa residu


aktivitas LH atau produksi testosterone melalui sel Leydig yang terstimulasi FSH
melalui sel-sel Sertoli. Sebaliknya, rendahnya level produksi sperma pada lakilaki dengan mutasi inactivating di reseptor FSH dan berbagai bentuk defisiensi
FSH lainnya, menunjukkan bahwa produksi testosterone yang didorong oleh LH
saja tidak dapat menginisiasi spermatogenesis, meskipun masih terdapat
kemungkinan adanya residu aktivitas FSH dengan adanya konsentrasi FSH
tinggi di sirkulasi. Bukti bahwa testosterone eksogen dosis tinggi dapat
menstimulasi spermatogenesis secara sempurna pada monyet yang immatur,
meskipun pada level yang rendah, menunjukkan bahwa FSH bukan merupakan
kebutuhan mutlak, namun penjelasan yang didapatkan dari penelitian terhadap
pria azoospermia dengan mutasi subunit I2 gen FSH menunjukkan kesimpulan
yang berkebalikan.
Kebutuhan

untuk

mempertahankan

spermatogenesis

juga

sama

kontroversialnya. Observasi pada monyet di mana FSH eksogen dapat


mempertahankan volume testis dan jumlah spermatogonia setelah dilakukan
supresi total terhadap sekresi gonadotropin menggunakan antagonis GnRH,
menunjukkan bahwa FSH saja dapat mempertahankan spermatogenesis pada
primata, setidaknya dalam beberapa kondisi. Deskripsi dari sebuah individu unik
dengan mutasi activating pada reseptor FSH (berfungsi meskipun tidak ada
stimulasi FSH) dan level inhibin-B yang normal (marker untuk fungsi sel Sertoli
yang distimulasi FSH) yang menjalani hypophysectomy untuk pengambilan
tumor pituitary jinak (menghilangkan semua sekresi gonadotropin endogen) dan
tetap fertil selama hanya menerima terapi penggantian dengan testosterone
eksogen fisiologis (normalnya tidak adekuat untuk mendukung spermatogenesis
pada laki-laki yang dilakukan hypophysectomy), menunjukkan sebuah ilustrasi
pentingnya

FSH

dalam

mempertahankan

spermatogenesis.

Sebaliknya,

pengembalian fertilitas setelah diberikan terapi dengan hCG eksogen saja pada

pria azoospermic dengan defisiensi gonadotropin (level FSH dan LH dua-duanya


rendah) menunjukkan bahwa produksi testosterone yang distimulasi LH mungkin
cukup untuk mempertahankan spermatogenesis.
Tidak peduli apakah produksi testosterone dengan stimulasi FSH atau LH
saja cukup untuk menginisiasi atau mempertahankan spermatogenesi, keduanya
diperlukan untuk produksi sperma yang normal secara kualitatif dan kuantitatif.
Pentingnya FSH telah terdemonstrasi pada berbagai penelitian pada primata
non-manusia dan pria yang menjalani supresi selektif terhadap FSH dengan
imunisasi terhadap FSH atau dengan pemberian terapi hCG eksogen kronis
dosis tinggi. Supresi FSH menginduksi abnormalitas semen baik secara kualitatif
maupun kuantitatif, yang dapat dikembalikan dengan terapi simultan dengan
FSH eksogen namun tidak dengan testosterone eksogen.

Selain itu, pada

penelitian kontrasepsi pada pria yang menggunakan testosterone dosis tinggi


tunggal atau dengan kombinasi dengan levonorgestrel untuk mensupresi
spermatogenesis, hanya para pria dengan supresi FSH hingga tidak terdeteksi
lagi yang menjadi azoospermia. Pentingnya testosterone dalam spermatogenesis
terbukti dari observasi di mana FSH saja tidak dapat menginduksi proliferasi
epithel seminiferous pada monyet pre-pubertal, namun hanya terapi dengan FSH
dan hCG yang dapat meningkatkan volume testis dan jumlah sel Sertoli dan
spermatogonia.

Juga,

pada

pria

dengan

idiopathic

hypogonadotropic

hypogonadism (karena ketiadaan stimulasi GnRH), stimulasi GnRH eksogen


berkala atau kombinasi antara FSH dan LH atau FSH dan hCG eksogen yang
dapat menginduksi spermatogenesis dan mencapai fertilitas, namun terapi
dengan FSH saja atau dengan kombinasi dengan testosterone dosis rendah
(tidak cukup untuk mencapai konsentrasi lokal testosterone yang tinggi untuk
mendukung spermatogenesis) tidak dapat menginduksi spermatogenesis.

PENUAAN DAN FUNGSI REPRODUKSI PRIA


Meskipun proses penuaan memiliki efek merugikan terhadap fungsi
reproduksi pria, efek dari penuaan tidak terlalu jelas bila dibandingkan pada
wanita.

Kualitas semen dan fertilitas pria serta produksi androgen dan level

testosterone dalam serum menurun secara gradual seiring pertambahan usia.


Penuaan dan Fertilitas Pria

Hubungan antara usia dan fertilitas pada pria lebih sulit untuk ditentukan
daripada

wanita,

umumnya

karena

perbedaan

fundamental

dalam

gametogenesis di antara kedua jenis kelamin. Pada wanita, jumlah oocyte saat
lahir menurun seiring dengan pertambahan usia hingga mencapai penghentian
secara fungsional pada menopause, dan fertilitas menurun seiring jumlah oocyte
yang tersisa. Pada pria, pembelahan mitosis pada spermatogonia di sepanjang
hidup akan terus mengisi suplai germ cell dan spermatogenesis berlanjut dengan
baik hingga usia tua, sehingga memungkinkan pria untuk bereproduksi bahkan
pada usia sangat tua. Meskipun fertilitas pada pria tidak tampak menurun seiring
pertambahan usia, efek-efek dari pertambahan usia tidak terlalu berbeda.
Masalah ini menjadi penting saat ini karena makin banyak jumlah pria yang
memilih untuk memiliki anak pada usia tua. Di US, tingkat kelahiran dengan pria
berusia antara 35 45 tahun meningkat hampir 30% antara tahun 1980
(68.2/1.000 pria) dan tahun 2000 (88.3/1.000).
Volume semen, mortilitas sperma, dan proporsi sperma yang normal
secara morfologis akan menurun secara bertahap seiring pertambahan usia,
namun tidak untuk konsentrasi sperma.

Meski demikian, karakteristik semen

secara umum serta parameter endokrin yang ada tidak secara akurat
memprediksikan kapasitas fertilisasi. Sebuah studi cohort terhadap hampir 100
pria usia 22-80 tahun dengan riwayat fertilitas yang tidak diketahui, menunjukkan
bahwa terjadi penurunan volume semen (-0.03 ml pertahun), motilitas total (0.7% pertahun), motilitas progresif (-3.1% pertahun), dan hitung total jumlah
sperma (-4.7% pertahun). Studi lain yang meneliti hubungan antara usia dan
kualitas semen di antara 400 pasangan pria dari wanita yang ingin mendapatkan
kehamilan melalui IVF dengan donor oocyte, menemukan bahwa hitung total
sperma motile menurun sekitar 2.5 juta sperma per tahun.
Seimbang dengan hal tersebut, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa
tingkat kehamilan menurun dan waktu yang dibutuhkan untuk konsepsi
meningkat seiring pertambahan usia pada pria. Pada penelitian mengenai efek
usia partner pria terhadap tingkat kehamilan, usia partner wanita dan penurunan
frekuensi coitus dengan makin meningkatnya usia sudah jelas dan menjadi faktor
penting yang mempengaruhi. Di antara sedikit studi dengan kontrol terhadap
usia wanita, tingkat kehamilan untuk pria >50 tahun, 23-38% lebih rendah
daripada pria usia 30 tahun. Untuk lelaki yang berusaha untuk memiliki anak,
probabilitas kemungkinan terjadinya kehamilan dalam 1 tahun adalah sekitar

50% lebih rendah di usia >35 tahun daripada <25 tahun. Hasil dari sebuah
penelitian di Inggris (dengan penyesuaian usia partner dan frekuensi coitus)
menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk konsepsi, 5 kali lipat lebih
lama untuk pria usia >45 tahun daripada pria <25 tahun, bahkan saat analisis
dilakukan dengan membatasi pria dengan partner muda. Dua studi lainnya
menyimpulkan bahwa fertilitas pria mungkin mulai menurun di akhir usia 30an.
Meskipun data yang didapatkan dari siklus IVF resipien donor oocyte (di mana
semua oocyte donor masih muda dan sehat) menunjukkan tidak adanya bukti
perubahan terkait usia pada tingkat fertilisasi dan kelahiran hidup, namun usia
rata-rata pria pada studi tersebut adalah <42 tahun (rentang 22-64 tahun).
Terdapat beberapa mekanisme biologis yang mungkin berkontribusi
terhadap penurunan fertilitas pria seiring usia. Yang pertama adalah mekanisme
yang melibatkan perubahan seluler atau fisiologis pada traktus reproduksi pria.
Testis dan prostate mengalami perubahan morfologis seiring penuaan yang
mungkin mempengaruhi produksi sperma dan properti biokimia dari semen.
Studi otopsi terhadap pria yang meninggal karena kecelakaan telah menemukan
terjadinya penyempitan dan sclerosis tubulus seminiferous, penurunan aktivitas
spermatogenik, dan penurunan germ cell serta sel Leydig seiring peningkatan
usia. Mekanisme yang kedua adalah perubahan pada axis hypothalamuspituitary-testicular seiring dengan pertambahan usia. Level FSH rata-rata pada
pria meningkat setelah usia 30 tahun, yang menunjukkan bahwa lingkungan
endokrin mulai berubah pada pertengahan usia kehidupan. Penurunan volume
semen mungkin terkait dengan penurunan produksi cairan yang distimulasi
androgen di prostat dan vesikula seminalis karena penurunan level testosterone
seiring pertambahan usia. Mekanisme ketiga, abnormalitas jumlah dan struktur
kromosom sel sperma meningkat frekuensinya seiring usia. Pria dengan usia
yang lebih tua cenderung merokok bila dibandingkan pria muda (dengan
akumulasi waktu yang lebih lama) dan lebih lama terekspose gonadotoksin yang
menyebabkan

kerusakan

DNA.

Juga

terdapat

beberapa

bukti

yang

menunjukkan bahwa peningkatan usia pria dapat meningkatkan resiko abortus


spontan pada wanita muda. Apapun mekanismenya, penurunan fertilitas seiring
usia pada pria (pada pasangan sehat) menunjukkan bahwa overproduksi sperma
normal tidak sepenuhnya mengimbangi efek dari peningkatan usia. Meski begitu,
karena hanya sedikit atau bahkan tidak terdapat penurunan fertilitas pria yang
terukur pada usia <45-50 tahun, maka data yang ada mengindikasikam bahwa

faktor pria hanya berkontribusi kecil terhadap keseluruhan penurunan fertilitas


terhadap usia.
Defisiensi Androgen pada Pria Tua
Level testosterone dalam serum menurun pada pria seiring meningkatnya
usia. Level sex hormone binding globulin (SHBG) dan level estrogen juga dapat
meningkat terkait dengan peningkatan obesitas abdominal. Pada beberapa pria
>50 tahun, konsentrasi androgen yang rendah di sirkulasi dapat menyebabkan
gejala dan tanda klinis defisiensi androgen yang disebut andropause. Gejala
defisiensi androgen meliputi penurunan libido dengan atau tanpa disfungsi
ereksi, penurunan kekuatan, energi atau stamina, iritabilitas dan persepsi akan
rendahnya kualitas hidup, dan perubahan fungsi kognitif. Gejala ini dapat disertai
dengan perubahan fisik seperti osteopenia dan osteoporosis, penurunan massa
otot, penurunan adipositas visceral, atrofi testis, dan gynecomastia.

Saat ini

telah tersedia kuesioner yang telah divalidasi untuk proses evaluasi pria pada
usia tua.
Pria dengan gejala atau tanda defisiensi androgen memerlukan evaluasi
berupa pengukuran level total testosterone dalam serum, idealnya pada jam-jam
pagi hari untuk meminimalkan pengaruh ritme sirkadian sekresi testosterone
yang bersifat pulsatile. Total testosterone dalam serum tidak hanya mencakup
free testosterone, namun juga testosterone yang berikatan dengan albumin dan
SHBG. Bioavailable testosterone adalah jumlah dari free testosterone dan
testosterone yang terikat albumin dan pengukurannya sangat terkait dengan
densitas mineral tulang serta fungsi seksual dan kognitif pada studi epidemiologi.
Karena level testosterone total dalam serum terkadang dapat salah interpretasi,
beberapa pakar lebih memilih untuk menghitung free testosterone atau
bioavailable testosterone, namun akurasi dari pemeriksaan free testosterone
telah dipertanyakan (Chapter 13) dan pemeriksaan ini tidak tersedia luas. Index
free testosterone (FTI) yang dihitung dari pengukuran testosterone total dan
SHBG (testosterone total/SHBG) memberikan pengukuran langsung jumlah
bioavailable testosterone. Sebuah konsensus para pakar menyebutkan bahwa
konsentrasi

testosterone

total

di

bawah

200

ng/dl

merupakan

bukti

hipogonadisme yang memerlukan terapi pada pria dengan gejala; konsentrasi


antara 200-400 ng/dl mungkin akan bermanfaat jika diberikan terapi; dan level
yang lebih tinggi dari 400 ng/dl dapat mengeksklusi kemungkinan defisiensi

10

androgen. Level bioavailable testosterone di bawah rentang normal untuk pria


muda normal atau FTI kurang dari 0.153 juga dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis defisiensi androgen. Pada laki-laki dengan defisiensi
androgen, level serum LH yang normal atau rendah menandakan adanya
hipogonadisme

sekunder

yang

memerlukan

evaluasi

tambahan

berupa

pemeriksaan prolactin dan MRI untuk mendeteksi adanya lesi massa di


hypothalamus atau pituitary.
Pria di atas usia 50 tahun yang memiliki bukti klinis dan laboratoris
defisiensi androgen, merupakan kandidat untuk terapi androgen. Resiko yang
potensial terjadi di antaranya retensi cairan, gynecomastia, peningkatan massa
sel darah merah, perburukan sleep apnea, memicu penyakit prostate jinak atau
sub-maligna, dan peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler. Berdasarkan hal
tersebut, kontraindikasi absolut untuk terapi androgen yakni kanker prostate yang
telah terbukti klinis, kanker payudara (saat ini atau sebelumnya), peningkatan
hematocrit (55% atau lebih), dan sensitivitas terhadap formulasi androgen
eksogen apapun. Obstructive sleep apnea berat, hematocrit >52%, dan kondisi
medis yang dapat meningkatkan retensi cairan (contoh: gagal jantung kongestif)
merupakan kontraindikasi relatif untuk terapi androgen.
Semua formulasi komersial testosterone dapat digunakan dalam terapi
androgen. Terapi androgen meliputi parenteral testosterone ester (75 mg/minggu
atau 150 mg/2 minggu), testosterone dalam bentuk implant (225 mg setiap 4-6
bulan), skin patches scrotal (1 patch/hari) atau non-scrotal (5 mg, 1 patch/hari),
atau testosterone gel (5 g/hari).

Saat ini, masih belum terdapat data yang

menunjukkan bahwa salah satu dari formulasi tersebut lebih unggul dari yang
lain. Tujuan terapi adalah untuk meningkatkan konsentrasi testosterone dalam
serum hingga di atas konsentrasi sebelum terapi, tanpa melebihi nilai normal
pada pria dewasa muda . Dehydroepiandrosterone dapat dikonversikan menjadi
testosterone dan sudah tersedia secara komersial sebagai suplemen diet oral
yang sehat; dosis standar (50-100 mg/hari) secara umum tidak meningkatkan
konsentrasi testosterone dalam serum, meskipun dosis yang lebih tinggi dapat
meningkatkannya.
Terapi androgen harus dimonitor karena resiko kesehatan serta manfaat
terapi jangka panjang, belum diketahui.

Pemeriksaan fisik dasar (payudara,

jantung, paru, prostat), pemeriksaan serum PSA (prostate specific antigen), dan
hitung darah lengkap, harus dilakukan; biopsy prostate direkomendasikan bila

11

hasil colok dubur atau pemeriksaan serum PSA hasilnya abnormal. Dalam 3
bulan setelah terapi dimulai, pria yang menerima terapi androgen harus
menjalani evaluasi peningkatan berat badan dan tanda-tanda adanya edema
perifer, gynecomastia atau nyeri tekan payudara, gangguan tidur, dan
pembesaran prostate. Monitoring yang direkomendasikan juga termasuk
pemeriksaan hemoglobin atau hematocrit dan serum PSA. Peningkatan cepat
kadar serum PSA (>1 ng/ml) segera setelah dimulainya terapi menunjukkan
adanya kemungkinan kanker prostate yang tidak terdeteksi dan dapat menjadi
alasan untuk menghentikan terapi sementara dilakukan pemeriksaan prostate
secara teliti. Testosterone di sirkulasi juga harus diperiksa untuk memastikan
bahwa terapi berhasil mencapai target konsentrasi, namun respon klinis subyektif
mungkin berupakan penanda terbaik untuk efektifitas dari terapi androgen
empiris. Pria dengan respon klinis bagus, tidak ada efek samping, dan level
testosterone normal, dapat melanjutkan terapi, namun harus kembali menjalani
evaluasi setelah 6 bulan dan selanjutnya setiap 1 tahun. Tetap harus dipikirkan
bahwa respon klinis juga dapat merefleksikan reaksi placebo. Bila osteoporosis
menjadi salah satu indikasi untuk dilakukan terapi, bone mineral density juga
harus dievaluasi ulang setidaknya 1-2 tahun setelah terapi dimulai.
EVALUASI INFERTILITAS PRIA
Infertilitas pada pria dapat disebabkan oleh berbagai faktor penyebab.
Beberapa

penyebab

seperti

obstruksi

duktus

dan

hipogonadotropik

hipogonadisme, dapat dideteksi dengan tepat dan diterapi secara efektif.


Sedangkan penyebab lainnya seperti kegagalan testis primer, dapat dideteksi
namun tidak dapat diterapi. Sayangnya, infertilitas pada pria sebagian besar
bersifat idiopatik. Meskipun jarang, infertilitas pria mungkin juga merupakan
indikasi awal adanya kondisi medis serius yang tersembunyi. Evaluasi terhadap
pria infertil harus diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan berikut:

Untuk mengidentifikasi dan mengoreksi penyebab spesifik dari infertilitas, bila

memungkinkan
Untuk mengidentifikasi individu dengan infertilitas yang tidak dapat dikoreksi

namun dapat diatasi dengan IUI atau penggunaan berbagai bentuk ART
Untuk mengidentifikasi individu dengan abnormalitas genetik yang dapat
mempengaruhi kesehatan dari keturunannya yang didapat melalui proses ART

12

Untuk mengidentifikasi indivisu dengan infertilitas yang tidak dapat dikoreksi


serta tidak dapat diatasi dengan ART, untuk dipertimbangkan melakukan

adopsi atau penggunaan donor sperma


Untuk mengidentifikasi individu dengan kondisi medis serius yang belum
terdeteksi, yang mungkin memerlukan perhatian medis khusus.

Indikasi Evaluasi
Evaluasi terhadap partner pria harus dimulai dengan waktu yang sama
dengan evaluasi partner wanita yakni secara umum bila kehamilan gagal terjadi
dalam 1 tahun dengan hubungan seksual reguler tanpa proteksi. Evaluasi dapat
dilakukan lebih awal untuk pria bila diketahui terdapat faktor resiko infertilitas,
pria dengan partner berusia 35 tahun atau lebih (di mana penting untuk
mengidentifikasi semua faktor infertilitas yang potensial secepat dan seefisien
mungkin), dan pria yang memiliki alasan untuk mempertanyakan fertilitasnya.
Untuk evaluasi terhadap pria, bagian paling penting dari penggalian riwayat
dan pemeriksaan fisik meliputi hal-hal berikut:

Penggalian riwayat
o Durasi infertilitas dan riwayat fertilitas sebelumnya
o Frekuensi coitus dan adanya disfungsi seksual
o Semua hasil evaluasi atau terapi infertilitas sebelumnya
o Penyakit masa anak dan masa pertumbuhan
o Riwayat operasi sebelumnya, indikasi dan hasilnya, serta penyakit sistemik

(diabetes mellitus, penyakit saluran napas atas)


o Riwayat sebelumnya atau eksposure terhadap infeksi menular seksual
o Eksposure terhadap toksin lingkungan, termasuk panas
o Medikasi dan alergi saat ini
o Pekerjaan, merokok, alcohol, obat lain
Pemeriksaan fisik
o Pemeriksaan penis, termasuk lokasi dari meatus urethra
o Palpasi testis dan pemeriksaan ukuran kedua testis
o Keadaan dan konsistensi vasa dan epididymis
o Adakah varicocele
o Karakteristik seksual sekunder, termasuk bentuk tubuh, distribusi rambut,
o

dan perkembangan payudara


Pemeriksaan colok dubur
Riwayat cryptorchidism atau mumps orchitis, meningkatkan kemungkinan

adanya atrofi testis. Onset dan tingkat dari perkembangan seksual sekunder
dapat menjadi penanda kemungkinan endokrinopati. Obstruksi duktus dapat

13

disebabkan oleh infeksi menular seksual. Diabetes mellitus (disfungsi bladder


neck sehingga menyebabkan ejakulasi retrograde) dan cystic fibrosis (sangat
terkait dengan kelainan kongenital berupa ketiadaan vas deferens) merupakan
kondisi-kondisi medis yang dapat mengganggu fertilitas pria. Perbaikan hernia
inguinal, transplantasi ginjal, dan operasi skrotum beresiko menyebabkan injury
yang tidak terdeteksi terhadap vas deferens.

Operasi retroperitoneal dapat

mengganggu pathway neuron dan menyebabkan disfungsi ejakulasi; yang


merupakan efek yang sama pada pemberian alfa blocker, phentolamine,
methyldopa, guanethidine, atau reserpine.
Bila

evaluasi

infertilitas

dilakukan

oleh

seorang

ginekolog,

maka

pemeriksaan fisik pada pria dapat ditunda untuk dilakukan analisis semen
terlebih dahulu, bila tidak terdapat riwayat abnormalitas genital, trauma, operasi,
atau disfungsi seksual.

Meski demikian, riwayat reproduksi abnormal atau

analisis semen yang abnormal merupakan indikasi untuk dilakukannya evaluasi


formal tambahan yang dapat dilakukan oleh ginekolog yang telah terlatih dan
berpengalaman, namun seringkali sebagian besar dilakukan oleh urologis atau
spesialis reproduksi pria lainnya.
Penyebab Infertilitas pada Pria
Daftar dari penyebab infertilitas pada pria yang telah diketahui, sangatlah
banyak, namun dapat dibagi ke dalam 3 kategori utama: abnormalitas produksi
sperma, abnormalitas fungsi sperma, dan obstruksi sistem duktus.
Abnormalitas produksi sperma bisa disebabkan oleh kegagalan testis
primer

(hypergonadotropic

hypogonadism)

akibat

abnormalitas

genetik

(Klinefelter syndrome, Y chromosome microdeletion) atau kerusakan langsung


terhadap anatomi testis (cryptorchidism, varicocele), infeksi (mumps orchitis),
atau gonadotoksin. Stimulasi gonadotropin yang inadekuat akibat penyebab
genetik (isolated gonadotropin deficiency), efek langsung dan tidak langsung dari
tumor hypothalamus atau pituitary, atau penggunaan androgen eksogen (supresi
terhadap sekresi gonadotropin) merupakan penyebab lain dari produksi sperma
yang buruk. Abnormalitas fungsi sperma mungkin terkait dengan antibody
antisperma, inflamasi traktus genitalis (prostatitis), varicocele, kegagalan reaksi
acrosome, abnormalitas biokimia (spesies oksigen reaktif), atau adanya masalah
pada ikatan sperma (dengan zona pellucida) atau penetrasi. Obstruksi pada
sistem ductal dapat diakibatkan oleh vasektomi, ketiadaan vas deferens bilateral

14

kongenital, atau dari obstruksi kongenital maupun dapatan di epididymis atau


duktus ejakulatorius. Sayangnya, sebagian besar infertilitas pada pria bersifat
idiopatik, yang merefleksikan masih sedikitnya pemahaman kita mengenai
mekanisme yang mengatur fungsi testis.
Gonadotoksin
Eksposure lingkungan yang relevan termasuk di antaranya panas, rokok,
radiasi, logam berat, larutan organik, dan pestisida. Peningkatan sedang pada
temperatur skrotum dapat memberikan efek buruk terhadap spermatogenesis,
dan suatu penyakit dengan febris dapat menyebabkan penurunan densitas dan
motilitas sperma yang dramatik dan sementara. Secara teori, sumber panas dari
lingkungan, termasuk celana dalam yang terlalu ketat, mandi dan spa air hangat,
dan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan waktu duduk yang lama (contoh:
mengemudi jarak jauh) dapat menurunkan fertilitas, namun belum ada yang
pernah diteliti secara klinis. Merokok atau penggunaan ganja, alkohol, atau
kokain berlebihan dapat menurunkan kualitas semen dan level testosterone.
Beberapa obat (cimetidine, spironolactone, nitrofurantoin, sulfasalazine,
erythromycin, tetracycline, dan agen-agen kemoterapi) dapat memiliki efek
gonadotoksik; sehingga bila dibutuhkan terapi antibiotika maka cephalosporin,
penicillin, quinolone, dan trimethoprim sulfametoxazole merupakan pilihan yang
relatif aman. Semua efek samping dari sebagian besar obat bersifat reversibel
saat pemakaian dihentikan, namun efek yang didapatkan dari penggunaan
steroid anabolik dapat bertahan lama atau permanen.
ANALISIS SEMEN
Bila terdapat faktor infertilitas pria, maka hampir selalu terdeteksi melalui
analisis semen yang abnormal, meskipun faktor lain (disfungsi seksual) juga
dapat terlibat bahkan saat kualitas semen normal. Evaluasi awal untuk faktor
infertilitas pada pria setidaknya harus meliputi 2 analisis semen yang baik yang
didapatkan setidaknya dengan rentang waktu 4 minggu. Parameter dalam
pemeriksaan semen dapat bervariasi seiring waktu, bahkan untuk pria fertil, dan
juga dapat bervariasi sesuai musim. Dengan mempertimbangkan tujuan umum
adalah untuk mendapatkan kualitas semen sesuai waktu, maka diperlukan lebih
dari 1 kali analisis; karena sampel semen tunggal hanya menunjukkan sebuah
poin estimasi yang mungkin tidak representatif. Dengan sedikit pengecualian,

15

kualitas semen normal dapat secara efektif mengeksklusi faktor-faktor penting


dalam infertilitas pria pada kondisi tidak terdapat keluhan atau kecurigaan
disfungsi seksual. Sebaliknya, parameter semen abnormal menunjukkan
perlunya tambahan evaluasi endokrin, urologi, dan genetik.
Pengumpulan Semen
Harus disediakan instruksi standar yang mendetail mengenai proses
pengumpulan semen, termasuk harus ada periode abstinen (tidak melakukan
hubungan seksual) selama 2-3 hari. Makin pendek interval abstinen maka makin
rendah volume semen dan densitas sperma namun secara umum hanya berefek
kecil atau bahkan tidak berefek sama sekali terhadap motilitas atau morfologi
sperma. Interval abstinen yang lebih panjang makin meningkatkan volume
semen dan densitas sperma, namun juga meningkatkan proporsi sperma yang
mati, immotile (tidak bergerak), serta sperma dengan morfologi abnormal.
Idealnya, spesimen semen harus dikumpulkan melalui masturbasi ke sebuah
kontainer yang bersih. Semen dapat dikumpulkan saat intercourse (hubungan
seksual) dengan menggunakan kondom silastik dengan desain khusus yang
tidak mengandung agen spermisida seperti pada kondom lama yang digunakan
dalam kontrasepsi; meski demikian, hal ini mungkin tidak diperlukan karena
pabrik-pabrik telah menghentikan produksi kondom yang dilapisi dengan
nonoxynol-9, yang merupakan respon terhadap kemungkinan adanya hubungan
antara spermisida dengan transmisi HIV. Pengumpulan semen setelah
withdrawal (pencabutan penis) selama intercourse memberikan resiko hilangnya
bagian awal dari spesimen yang secara umum mengandung konsentrasi sperma
paling tinggi. Bila memungkinkan, spesimen semen harus diambil di ruang privat
di dalam atau di dekat laboratorium. Bila dibutuhkan, spesimen dapat dilakukan
pengambilan di rumah namun harus disimpan dalam suhu ruang atau suhu tubuh
selama transport. Apapun metode pengumpulannya, sampel semen harus
diperiksa dalam 1 jam setelah pengumpulan.
Nilai Referensi Normal
Nilai referensi normal yang saat ini digunakan didasarkan pada
perbandingan nilai hasil observasi partner pria pada pasangan fertil dan partner
pria pada pasangan infertil tanpa eksklusi spesifik terhadap faktor infertilitas
partner wanita, sehingga tidak selalu merepresentasikan rentang rata-rata pada

16

pria fertil.

Sayangnya, terdapat banyak nilai yang tumpang tindih pada

parameter yang diobservasi pada pria fertil dan infertil. Rentang referensi normal
tidak secara pasti merepresentasikan nilai minimal absolut yang dibutuhkan
untuk konsepsi; banyak pria fertil dengan nilai di luar rentang normal dan banyak
pria infertil berada dalam rentang nilai normal. Nilai di luar rentang normal
menunjukkan faktor infertilitas pada pria tersebut mungkin memerlukan
tambahan evaluasi klinis atau laboratoris, namun setiap parameter harus
dipertimbangkan secara keseluruhan.

Densitas sperma yang sedikit rendah

mungkin hanya memiliki sedikit signifikansi bila volume semen, motilitas sperma
dan proporsi sperma yang abnormal, masih dalam rentang normal. Sebaliknya,
densitas sperma yang normal memiliki kepentingan yang besar bila volume
semen sangat rendah atau terjadi ketidaknormalan yang besar pada proporsi
sperma yang motil/normal. Secara keseluruhan, kemungkinan infertilitas pada
pria makin meningkat dengan makin banyaknya jumlah parameter utama analisis
semen (konsentrasi, motilitas, morfologi) yang berada di rentang sub-fertil;
kemungkinannya adalah 2-3 kali lebih tinggi bila salah satu dari tiga tersebut
abnormal, 5-7 kali lebih tinggi bila terdapat dua yang abnormal, dan 16 kali lebih
tinggi bila ketiganya abnormal.
Meskipun prosedur detail untuk analisis semen telah ditentukan oleh WHO,
metode dan akurasi dari analisis semen sangat bervariasi karena dikerjakan oleh
dokter di tempat praktek, rumah sakit, serta laboratorium khusus andrology.
Idealnya, untuk memastikan hasil yang akurat dan dapat dipercaya, analisis
semen harus dilakukan di laboratorium yang telah ditentukan melalui program
quality control yang sesuai dengan standar Clinical Laboratory Improvement
Amendments. WHO merekomendasikan nilai referensi normal sebagai berikut:

17

Analisis Semen: Nilai Referensi Normal


Volume
1.5-5.0 ml
pH
>7.2
Viskositas (kekentalan)
<3 (skala 0-4)
Konsentrasi sperma
>20 juta/ml
Jumlah total sperma
>40 juta/ejakulat
Persen motilitas
>50%
Gerak arah ke depan
>2 (skala 0-4)
Morfologi normal
>50% normal
>30% normal
>14% normal
Sel-sel bulat (round cells)
<5 juta/ml
Aglutinasi sperma
<2 (skala 0-3)

Seiring perjalanan waktu, metode dan nilai referensi normal untuk


menentukan konsentrasi dan motilitas sperma telah sedikit berubah, namun
untuk morfologi sperma benar-benar telah berubah secara substansial. Dengan
menggunakan standar yang lebih baru dan ketat, bahkan pria fertil memiliki
sperma normal yang relatif sedikit. Alasan untuk perubahan pada standar
morfologi dan relevansi klinisnya didiskusikan pada bagian Morfologi Sperma.
Volume dan pH dari Cairan Ejakulat
Volume ejakulat yang sedikit atau bahkan tidak ada, menunjukkan
kemungkinan adanya kegagalan emisi, pengumpulan yang tidak sempurna,
masa abstinen yang terlalu pendek, ketiadaan vas deferens bilateral kongenital,
obstruksi duktus ejakulatorius, hipogonadisme, atau ejakulasi retrograde.
Parameter

pemeriksaan

semen

lainnya

dapat

membantu

membedakan

penyebab dari hal-hal tersebut.


Mayoritas volume semen berasal dari vesikula seminalis yang memiliki asal
embryologi sama dengan vasa deferentia. Sekret dari vesikula seminalis bersifat
alkaline (basa) dan mengandung fruktosa. Karena vesikula seminalis mengalami
hypoplasia atau bahkan tidak ada sama sekali pada pria dengan ketiadaan vas
deferens bilateral kongenital, maka secara umum hanya diproduksi sedikit
ejakulat dengan sifat asam (pH <7.2) yang hanya sedikit atau tidak mengandung
fruktosa, di mana hal tersebut merefleksikan proporsi yang lebih besar dari
sekret prostate yang asam pada cairan ejakulat. Pria dengan obstruksi duktus
ejakulatorius memproduksi ejakulat dengan karakteristik yang sama karena
duktus ejakulatorius dibentuk oleh penyatuan vasa dengan duktus saat keluar

18

dari vesikula seminalis, di bagian proksimal dari prostate; konsentrasi fruktosa


pada semen menurun sesuai dengan makin beratnya obstruksi pada duktus
ejakulatorius. Saat kedua duktus ejakulatorius terobstruksi total, semen menjadi
bersifat asam (hanya mengandung sekret prostate) dan tidak mengandung
fruktosa ataupun sperma sama sekali. Pria dengan hipogonad baik primer
ataupun sekunder karena kegagalan testis, juga hanya menghasilkan volume
ejakulat yang sedikit karena sekresi dari vesikula seminalis dan prostate hanya
dapat distimulasi oleh androgen, maka volume semen menurun saat level
androgen rendah.
Pemeriksaan urinalisis post ejakulasi dapat mendeteksi adanya ejakulasi
retrograde dan harus dipertimbangkan bila volume ejakulat <1 ml kecuali bila
terdapat hipogonadisme, ketiadaan vas deferens bilateral kongenital, masalah
dalam pengumpulan ejakulat, atau interval abstinen yang pendek. Urinalisis post
ejakulasi meliputi beberapa prosedur di antaranya adalah sentrifugasi selama 10
menit dengan putaran tidak kurang dari 300g, yang diikuti pemeriksaan
mikroskopik terhadap butir-butir endapan (400x perbesaran). Pada pria dengan
volume semen rendah atau tidak ada serta pada azoospermia (tidak ada sperma
pada ejakulat), observasi adanya sperma pada hasil urinalisis post ejakulasi
menandakan adanya ejakulasi retrograde. Harus terdapat sejumlah besar
sperma pada urinalisis pada pria dengan oligospermia dengan volume ejakulat
rendah sebelum membuat diagnosis ejakulasi retrograde karena sperma yang
ditemukan di urine mungkin hanyalah sperma yang terbawa dari urethra selama
urinasi.
Konsentrasi Sperma dan Hitung Sperma Total
Azoospermia didefinisikan sebagai tidak adanya sperma pada pemeriksaan
mikroskopik standar. Prevalensi azoospermia adalah sekitar 1% dari seluruh pria
dan 10-15% dari seluruh pria dengan infertilitas. Untuk menegakkan diagnosis,
spesimen semen harus disentrifugasi dengan kecepatan tinggi (3000g selama 15
menit) dan butir-butir endapannya diperiksa dengan perbesaran tinggi (400x),
dan ketiadaan sperma harus dipastikan pada dua pemeriksaan yang terpisah.
Azoospermia secara umum diklasifikasikan menjadi obstruktif (produksi sperma
normal) atau non-obstruktif (penurunan atau tidak ada spermatogenesis).
Azoospermia obstruktif dapat disebabkan oleh sumbatan di manapun di
sistem duktus mulai dari duktulus efferentes hingga duktus duktus ejakulatorius

19

akibat infeksi berat, injury iatrogenic selama operasi skrotum atau inguinal, atau
anomaly kongenital (ketiadaan vas deferens bilateral kongenital); sekitar 40%
pria azoospermia memiliki penyebab obstruktif. Azoospermia non-obstruktif
disebabkan oleh penyakit testis intrinsik (kegagalan testis primer) atau
endokrinopati dan kondisi lain yang mensupresi spermatogenesis (kegagalan
testis sekunder). Pria dengan azoospermia non-obstruktif dapat memproduksi
sperma dengan level yang rendah yang tidak cukup untuk mendorong transport
epididymis dan memasukkan sperma ke cairan ejakulat. Pemeriksaan yang teliti
terhadap sampel semen yang telah disentrifugasi akan dapat mengidentifikasi
sperma dalam ejakulat pada 1/3 pria yang sebelumnya didiagnosis dengan
azoospermia obstruktif. Observasi tersebut sangat signifikan secara praktis
karena pada pria yang dari ejakulatnya bisa didapatkan sperma dalam jumlah
sedang, mungkin tidak membutuhkan operasi untuk memperoleh sperma untuk
IVF (testicular sperm extraction/TESE).
Oligospermia didefinisikan sebagai densitas sperma yang <20 juta/ml dan
disebut oligospermia berat bila konsentrasi sperma <5 juta/ml. Kemungkinan
terjadinya konsepsi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi sperma
hingga 40-50 juta/ml, namun di atas nilai tersebut, kemungkinannya tidak lagi
meningkat. Hasil dari sebuah penelitian besar di US yang membandingkan
parameter pemeriksaan semen pada pria fertil dan infertil, keduanya dengan
partner wanita yang normal, menunjukkan bahwa kemungkinan infertilitas pria
meningkat sekitar 5 kali lipat (5.3, CI=3.3-8.3) saat densitas sperma <13.5
juta/ml. Pada penelitian yang lebih dulu dilakukan di Eropa dengan desain yang
sama, densitas sperma yang merepresentasikan persentil sepuluh dari pria fertil
adalah

14

juta/ml.

Oligospermia

dapat

terkait

dengan

varicocele,

hipogonadisme, atau mikrodelesi spesifik pada segmen kromosom Y. Evaluasi


endokrin dan genetik harus dilakukan pada pria dengan oligospermia berat.
Hitung total sperma didapatkan dari pengalian volume semen dengan
konsentrasi sperma. Hitung total sperma dapat normal pada pria oligospermia
saat volume semennya tinggi, dan juga normal saat volume rendah namun
densitasnya tinggi. Kedua parameter tersebut sangat fluktuatif dan harus
dipertimbangkan bersamaan dalam menilai kualitas semen. Sejumlah penelitian
telah menunjukkan bahwa hitung sperma rata-rata pada pria telah menurun
konstan selama beberapa dekade belakang, yang meningkatkan kecurigaan
bahwa hal tersebut disebabkan oleh toksin lingkungan dan kimia yang memiliki

20

aktivitas seperti estrogen (xenoestrogen). Meski demikian, sejumlah penelitian


lainnya, tidak menemukan adanya perubahan yang signifikan. Yang paling
penting, prevalensi infertilitas tidak meningkat secara signifikan dalam interval
yang sama, yang mengindikasikan bahwa penurunan kualitas semen yang
terjadi, tidak memiliki efek klinis secara global.
Motilitas Sperma dan Gerak Maju ke Depan, Hitung Total Sperma Motil, dan
Viabilitas Sperma
Motilitas sperma diestimasikan sebagai persentase dari populasi sperma
total yang menunjukkan pergerakan. Gerak maju ke depan secara umum
dikelompokkan secara bertingkat dengan skala 0-4 dan seringkali dilaporkan
sebagai persentase sperma dengan gerak cepat (grade 3-4), gerak lambat
(grade 2), dan gerak non-progresif (grade 0-1). Total gerak ke depan secara
umum merepresentasikan estimasi persentase sperma yang memiliki gerak maju
yang berguna (grade 2-4). Kemungkinan terjadinya konsepsi meningkat dengan
peningkatan motilitas hingga sekitar 60%. Berdasarkan sebuah studi besar di
US, kemungkinan infertilitas pria meningkat sekitar 5 kali lipat (OR 5.6; CI=3.58.3) saat motilitas <32%. Pada penelitian lain, batas yang memisahkan antara
pria fertil dan infertil adalah 45% dan persentil 10 th motilitas untuk pria fertil
adalah 28%.
Jumlah total sperma motile dihitung dari jumlah total sperma dengan
persentase sperma dengan gerak progresif sehingga merepresentasikan
estimasi

jumlah

total

sperma

aktif

pada

cairan

ejakulat.

Dengan

memperhitungkan kemungkinan kehilangan selama pemrosesan sampel semen


untuk IUI (hingga sekitar 50%), jumlah total sperma motile dapat digunakan
untuk mengestimasi kemungkinan jumlah total sperma motile yang ada, yang
berkorelasi dengan kemungkinan kehamilan yang dapat dicapai dengan IUI pada
terapi infertilitas pada pria.
Secara

umum,

motilitas

sperma

yang

buruk

(asthenospermia)

menunjukkan adanya disfungsi testis. Asthenospermia telah dikaitkan dengan


adanya antibody anti sperma (resiko agregasi), infeksi traktus genitalia (leukosit
pada semen), obstruksi parsial duktus ejakulatorius atau pada re-anastomosis
vasektomi, varicocele, dan interval abstinen yang terlalu lama.
Sejumlah besar sperma viable namun non-motile, menunjukkan adanya
immotile cilia syndrome yang sangat jarang terjadi, di mana terjadi abnormalitas

21

struktural pada ekor sperma dan sperma tidak dapat berflagelasi. Cilia dari
saluran respirasi biasanya juga mengalami abnormalitas, sehingga individu
dengan sindrom ini infertil dan sangat beresiko terhadap infeksi traktus
respiratorius kronis. Bila disertai dengan situs inversus, immotile cilia syndrome
ini dikenal sebagai Kartagener syndrome. Diagnosis dibuat dengan melakukan
pemeriksaan sperma menggunakan mikroskop elektron.
Bila tidak ditemukan sperma motile, dapat dilakukan pemeriksaan viabilitas
sperma untuk membedakan sperma non-motile yang viable dengan sperma mati.
Metode ini dilakukan dengan cara mencampurkan semen segar dengan pewarna
supravital (eosin Y atau trypan blue); sperma dengan fungsi membran intak, tidak
akan menyerap zat warna. Metode lain, yakni hypo-osmotic sperm swelling test,
dengan menginkubasikan sperma pada cairan hipo-osmolar; di mana ekor
sperma dengan fungsi membran normal akan menggembung dan bergulung
karena cairan ditransport di sepanjang membran. Pada pria dengan sperma
motile sedikit atau tidak ada, hypo-osmotic swelling test dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sperma non motile yang masih hidup untuk dilakukan ICSI.
Morfologi Sperma
Morfologi sperma merefleksikan kualitas spermatogenesis. Abnormalitas
morfologi (teratospermia) dikategorisasikan sesuai lokasinya, yakni kepala, leher
(midpiece), dan ekor. Cytoplasmic droplet di leher sperma yang menutupi lebih
dari separuh area kepala sperma yang normal juga merepresentasikan defek
spesifik lainnya. Sperma yang diklasifikasikan normal harus normal pada semua
aspek. Teratospermia terkait dengan adanya varicocele dan kegagalan testis baik
primer maupun sekunder. Teratospermia dapat terjadi tanpa abnormalitas
lainnya, ataupun terjadi bersama dengan abnormalitas pada konsentrasi dan
motilitas sperma.
Kriteria terbaru dari WHO (1999) untuk evaluasi morfologi sperma sangat
mirip dengan kriteria Kruger (Tygergerg) atau strictcriteria, yang berasal dari
usaha-usaha untuk mengindentifikasi prediktor-prediktor untuk fertilisasi pada
siklus

IVF.

Bila

morfologi

strict(kesempurnaan)

normal,

persentase

yang

sperma

sperma

efisiensi

normal

dinilai

fertilisasi

secara

berdasarkan
in

vitro

morfologis.

terkait

Tingkat

standar
dengan
fertilisasi

konvensional paling tinggi pada persentase sperma normal 14%, dan sangat
rendah (7-8%) saat <4% sperma memiliki morfologi normal, dan nilai

22

intermediate (pertengahan) ada di antara keduanya. Penelitian-penelitian


selanjutnya mengkonfirmasi nilai prediksi morfologi sperma yang sempurna
dalam IVF.Morfologi sperma yang sempurna (strict) merepresentasikan prediktor
terbaik untuk fungsi sperma (kapasitas untuk membuahi oocyte mature).
Konsekuensinya, teratospermia (0-4% sperma normal dengan kriteria strict) saat
ini telah diterima secara luas sebagai indikasi untuk fertilisasi buatan dengan
ICSI pada siklus IVF.
Sangat logis untuk mengantisipasi, bahwa bila morfologi sperma strict
dapat memprediksikan efisien fertilisasi dalam kondisi optimal in vitro, maka hal
tersebut juga dapat memprediksi kemungkinan kesuksesan fertilisasi in vivo dan
membantu membedakan pria fertil dan infertil. Sejumlah studi telah memeriksa
parameter semen pada pasangan dengan faktor infertilitas yang tak diketahui,
yang berusaha hamil, atau membandingkan parameter semen dari pria fertil dan
infertil.

Di

antara

penelitian-penelitian

tersebut,

dua

penelitian

hanya

memasukkan pria dengan partner yang tidak memiliki faktor infertilitas (fungsi
ovulasi dan anatomi reproduksi normal). Bila konsentrasi dan motilitas progresif
dari sperma sangat bernilai dalam membedakan pria fertil dan infertil, maka
morfologi sperma yang sempurna (sebagaimana dideskripsikan sebagai individu
dengan pelatihan dan pengalaman yang ekstensif) telah muncul sebagai hal
yang paling bernilai dalam menentukan fertilitas. Pada dua studi yang lebih
besar, kemungkinan infertilitas pria meningkat sekitar 4 kali lipat (3.8, CI=3.0-5.0)
saat morfologi sperma normal yang strict<9%.

Nilai batas 9% memiliki

sensitifitas sebesar 43% dan spesifisitas sebesar 81% dalam mengidentifikasi


pria infertil. Dengan menurunkan nilai batas menjadi 5%, sensitivitas turun
menjadi hanya 19% namun spesifisitas naik hingga 94%. Pada penelitian lebih
kecil dengan desain yang sama, nilai batas untuk morfologi normal yang
mengidentifikasi pria infertil adalah 10% dan nilai ini terkait dengan persentil 10 th
untuk pria fertil yakni 5%.
Kemampuan dari morfologi sperma strict dalam membedakan fertil dan
infertil mungkin memiliki beberapa relevansi klinis, khususnya untuk pasangan
dengan faktor infertilitas pria (oligospermia atau asthenospermia) atau infertilitas
yang tidak terjelaskan (fungsi ovulasi normal, anatomi reproduksi wanita normal,
densitas dan motilitas sperma normal). Pada pasangan dengan faktor infertilitas
pria tunggal namun ringan , IUI (dengan atau tanpa stimulasi ovarium)
merupakan pilihan terapi yang sudah jelas, dan pada pasangan dengan

23

infertilitas yang tidak terjelaskan, superovulasi dan IUI atau IVF dapat
memberikan kemungkinan yang besar untuk sukses mendapatkan kehamilan.
Sejumlah

studi

telah

memeriksa

hubungan

antara

cycle

fecundability

(kemungkinan untuk hamil dalam satu siklus menstruasi) dengan morfologi


sperma yang sempurna pada pasangan dengan faktor infertilitas pada pria atau
dengan infertilitas yang tidak terjelaskan. Sebagian besar, namun tidak semua,
menyimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya konsepsi dengan IUI meningkat
seiring

dengan

proporsi

morfologi

sperma

normal

dan

secara

umum

kemungkinannya sangat rendah saat morfologi sperma yang sempurna <5%.


Meskipun belum ada nilai batas untuk morfologi sperma normal yang
mengeksklusi kemungkinan kehamilan dengan manajemen menunggu atau
dengan IUI, hubungan morfologi sperma normal dan cycle fecundability dengan
IUI dapat menjadi pertiimbangan dan diskusi dalam merencakan terapi untuk
pasangan dengan faktor infertilitas pria dan infertilitas yang tidak terjelaskan.
Pertimbangan lain yang juga penting adalah usia partner wanita, durasi
infertilitas, dan perbandingan antara biaya, logistik, resiko, dan prognosis yang
terkait dengan strategi terapi alternative, termasuk IVF dengan dan tanpa ICSI.
Penting

untuk

ditekankan

bahwa

morfologi

sperma

yang

strict,

sebagaimana parameter pemeriksaan semen lainnya, memiliki nilai yang


bervariasi antar spesimen dari berbagai individu, di antara para ahli teknologi di
laboratorium, serta di antara laboratorium-laboratorium yang menyediakan
pemeriksaan.
untuk

Sebuah program kontrol kualitas yang ketat dapat membantu

memastikan

akurasi

dan

konsistensi.

Sayangnya,

hanya

sedikit

laboratorium yang melakukan analisis semen rutin yang memiliki volume tes
yang cukup serta personel yang terlatih dan berpengalaman, yang diperlukan
untuk menjaga pemeriksaan yang valid terhadap morfologi sperm yang
sempurna. Berdasarkan hal tersebut, standar WHO yang lama untuk morfologi
sperma (1987. 1992) yang mengklasifikasikan lebih banyak sperma sebagai
normal masih banyak digunakan pada analisis semen rutin di banyak
laboratorium rumah sakit. Hasil dari analisis semen yang dilakukan oleh selain
laboratorium khusus andrologi adalah invalid. Meskipun nilai morfologi yang
dilaporkan secara umum tidak bernilai besar, namun volume semen, konsentrasi
sperma, dan motilitas sperma sangat informatif dan dapat membantu
mengidentifikasi pasangan dengan faktor infertilitas pada pria. Meski demikian,
dengan mempertimbangkan signifikansi prognostiknya, analisis semen yang

24

lebih canggih yang mencakup morfologi sperma yang sempurna, bila tersedia,
akan menghasilkan pertimbangan yang lebih serius sebelum melakukan terapi
untuk pasangan dengan faktor infertilitas pada pria atau infertilitas yang tidak
terjelaskan.

Sel-sel Bulat (Round cells) dan Leukocytospermia


Sel-sel epithel, sel-sel prostate, sperma imatur (spermatogonia, spermatid
bulat, spermatocyte), dan leukosit, semua akan tampak sebagai round cells, dan
tidak dapat dibedakan dalam analisis semen rutin. Bila penghitungan round cells
melebihi 5 juta/ml, maka harus dilakukan evaluasi tambahan untuk membedakan
leukosit dari sel sperma immature dan untuk mengidentifikasi pria dengan
leukocytospermia

sebenarnya

(>1

juta

leukosit/ml)

dengan

pria

yang

memerlukan evaluasi tambahan untuk infeksi atau inflamasi traktus genitalia.


Banyak variasi pemeriksaan pengecatan khusus, tes biokimia, dan teknik
immunohistokimia, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi proporsi round
cells yang berupa leukosit. Meskipun leukocytospermia telah diketahui sebagai
penyebab dari motilitas dan fungsi sperma yang buruk, penelitian-penelitian yang
lebih baru masih belum dapat menemukan hubungan antara leukocytospermia
pada pria dengan prostatitis kronis dan parameter semen yang abnormal. Meski
demikian,

leukocytospermia

secara

umum

dianggap

sebagai

indikasi

dilakukannya kultur semen (Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum,


Chlamydia).

Saat kultur dilakukan, penis harus dibersihkan dengan hati-hati

menggunakan betadine sebelum pengambilan sampel untuk mengurangi


kemungkinan kontaminasi flora kulit.

Dengan alasan yang tidak diketahui,

leukocytospermia yang tidak terkait dengan infeksi atau inflamasi juga bisa
ditemukan di semen pada pria dengan injury spinal cord.
Aglutinasi Sperma dan Antibodi Antisperma
Blood testis barrier normalnya melindungi sperma dari sistem imunitas
(sperma mulai berkembang setelah imunokompetensi tercapai), namun bila
blood testis barrier terganggu dan sperma terekspose darah, maka dapat terjadi
respon antigenic.

Faktor-faktor resiko untuk antibody antisperma antara lain

obstruksi duktus, infeksi genital sebelumnya, torsio atau trauma testis, dan reanastomosis vaso-vasostomy atau vaso-epididimostomy. Antibody antisperma

25

dapat ditemukan dalam serum, namun bukti menunjukkan bahwa hal tersebut
tidak mempunyai efek klinis. Antibody yang berikatan dengan sperma mungkin
relevan secara klinis karena dapat mengganggu motilitas atau mencegah
fertilisasi.
Sperma yang tertumpuk atau teraglutinasi, mirip dengan asthenospermia,
dapat menjadi tanda adanya antibody antisperma, namun jarang ditemui.
Beberapa pakar juga menghubungkan infertilitas yang tidak terjelaskan sebagai
indikasi untuk melakukan pemeriksaan antibody antisperma. Dua pemeriksaan
yang paling sering digunakan untuk deteksi antibody antisperma menggunakan
beads atau partikel latex yang dilengkapi dengan antibody (dibuat untuk
menempel pada antibody manusia) yang dapat berikatan dengan antibody di
permukaan sperma.

Sayangnya, batas untuk hasil positif pada tes, yang

memiliki kepentingan secara klinis, masih belum ditentukan. Selain itu, level
antibodi dapat berfluktuasi meski tidak dilakukan terapi.
Tingkat kehamilan dilaporkan lebih rendah pada pria dengan antibody
antisperma dibandingkan pria tanpa antibody antisperma, dan di antara para pria
dengan antibody antisperma, tingkat kehamilan lebih rendah lagi bila >50%
sperma terikat dengan antibody. Antibody antisperma terkait dengan hasil tes
postcoitus yang buruk, namun tes postcoitus saat ini tidak lagi dilakukan karena
tidak ada nilai yang terbukti (Chapter 27). Karena IUI merupakan terapi yang
paling populer dan efektif untuk antibody antisperma (sebagaimana untuk faktor
infertilitas cervical) dan IUI telah menjadi elemen inti untuk sebagian besar terapi
infertilitas yang tidak terjelaskan selain IVF (Chapter 27), hasil dari pemeriksaan
antibody antisperma, sebagaimana hasil dari pemeriksaan post coitus, jarang
sekali memberikan informasi yang mempengaruhi keputusan terapi atau
prognosis. Pemeriksaan antibody antisperma jarang dilakukan karena jika IUI
gagal atau IVF tidak dapat dilakukan, maka ICSI masih dapat mengatasi efek
dari antibody antisperma.

Viskositas Semen
Viskositas atau kekentalan sampel semen dievaluasi secara rutin dan
diklasifikasikan dalam Grade 0-4. Hiperviskositas cairan semen relatif jarang dan
penyebabnya belum masih benar-benar dimengerti. Yang tidak mengagetkan

26

adalah, hiperviskositas terkait dengan asthenospermia. Meskipun infeksi traktus


genitalia

dan

antibody

antisperma

telah

dianggap

sebagai

penyebab

hiperviskositas semen, namun penelitian lain belum menemukan hubungan


antara kedua hal tersebut. Sebagaimana abnormalitas pada pH dan level
fruktosa, peningkatan viskositas semen mungkin menandakan adanya disfungsi
pada kelenjar asesori (prostate dan vesikula seminalis), namun pada prakteknya,
parameter ini hanya memiliki kepentingan yang kecil.
TES FUNGSI SPERMA
Meskipun

semua

parameter

utama

dalam

pemeriksaan

semen

(konsentrasi, motilitas, morfologi) memiliki efek terhadap fertilitas saat benarbenar ditemukan abnormal, namun parameter tersebut tidak secara langsung
mewakili atau menjawab pertanyaan yang paling penting: Dapatkan sperma
secara efektif berikatan, berpenetrasi, dan memfertilisasi ovum dari pasangan
wanita?. Morfologi sperma yang sempurna berguna dalam pengukuran tidak
langsung terhadap fungsi sperma dalam hubungannya dengan tingkat fertilisasi
in vitro, namun parameter tersebut hanya tersedia terbatas di luar laboratorium
khusus andrologi yang terkait dengan pusat IVF.
Sayangnya, meskipun telah berkembang banyak tes dan prosedur yang
didesain untuk mengevaluasi pelekatan dengan zona pellucida, penetrasi ke
membran oocyte, atau pelepasan enzim acrosome, kita masih belum memiliki
tes tervalidasi yang dapat diandalkan untuk evaluasi fungsi sperma. Karena kita
masih belum mengerti, belum dapat memeriksa, dan belum memiliki cara untuk
mengatasi abnormalitas fungsi sperma, perhatian diarahkan ke ICSI karena
injeksi sperma langsung dapat secara efektif mengatasi abnormalitas fungsi
sperma. Meski demikian, kebutuhan akan adanya tes fungsi sperma yang dapat
diandalkan masih tetap ada, karena IVF dan ICSI bukan merupakan pilihan
praktis untuk banyak pasangan infertil, dan semuanya ingin menggunakan waktu
dan sumber daya yang tersedia dalam cara seefisien dan seefektif mungkin.
Waktu dan biaya terkait dengan terapi dengan IUI mungkin dapat dihindari bila
terdapat bukti bagus yang mengindikasikan bahwa hanya ICSI-lah yang dapat
memberikan kemungkinan sukses yang besar.
Pemeriksaan Penetrasi Sperma

27

Zona pellucida di sekitar oocyte menghalangi masuknya lebih dari satu


sperma dan fertilisasi oleh sperma dari spesies yang berbeda, namun bila
dihilangkan dengan pencernaan enzimatik, sperma dari spesies lain dapat
berpenetrasi ke oocyte. Pada pemeriksaan penetrasi sperma, ovum yang bebas
zona dikumpulkan dari golden hamster dengan superovulasi yang diinkubasikan
dengan sperma manusia (yang telah dicuci) dan proprosi ovum yang terpenetrasi
atau jumlah penetrasi sperma dari setiap telur oleh sperma pria yang diduga
infertil dibandingkan dengan hasil observasi pada inkubasi parallel menggunakan
sperma pria fertil. Secara teori, tes ini mengevaluasi 4 fungsi spesifik dari
sperma: kapasitasi, reaksi akrosom, penyatuan dengan oolemma, dan
dekondensasi di dalam sitoplasma ovum.
Sayangnya, hasil dari pemeriksaan penetrasi sperma cukup sensitif
terhadap berbagai kondisi kultur dan prosedur tes ini sulit untuk distandarisasi.
Tes bergantung pada reaksi akrosom spontan in vitro atau reaksi akrosom yang
diinduksi secara kimia.

Hasil tes juga bervariasi seiring waktu dan bahkan

terbukti bahwa donor sperma mungkin gagal melalukan penetrasi pada kondisi
tertentu.

Nilai prediktif dari pemeriksaan penetrasi sperma untuk IVF atau

konsepsi alami pada pasangan infertil sangat bervariasi di antara berbagai


penelitian, dan sebagian besar tergantung pada pengalaman dari laboratorium
masing-masing. Menariknya, hasil tes juga tidak secara konsisten terkait dengan
morfologi sperma yang sempurna (prediktor fertilisasi yang paling banyak
diterima). Mungkin yang paling penting adalah mengetahui bahwa tes ini tidak
praktis, mahal, lama, dan tidak tersedia luas.
Pemeriksaan Ikatan Zona Manusia
Penetrasi sperma terhadap ke dalam ovum tanpa zona dapat diperiksa
untuk mengetahui kemampuan sperma dalam mempenetrasi oocyte, namun
tidak dapat digunakan untuk menguji kemampuan sperma dalam berikatan
mempenetrasi zona pellucida. Sebaliknya, pemeriksaan ikatan zona manusia
menggunakan zona bisected (terbelah 2 bagian) dari jaringan ovarium yang
dieksisi dan membandingkan langsung antara sperma pria infertil dengan pria
fertil sebagai kontrol. Hasilnya telah digunakan untuk memprediksi fertilisasi
secara in vitro, namun ketersediaan zona manusia yang terbatas dan aspek
teknik dari tes ini, membuatnya tidak lebih hanya sebagai alat penelitian.

28

Analisis Sperma dengan Bantuan Komputer


Computer assisted sperm analysis (CASA) dikembangkan sebagai usaha
untuk mendapatkan evaluasi yang akurat, otomatis, dan obyektif terhadap
konsentrasi sperma dan karakteristik gerak (kecepatan dan gerakan kepala).
Teknologi telah menyediakan instrumen canggih untuk menghasilkan gambar
video untuk analisis; hasil tergantung dari metode persiapan sampel, frame rate
(kecepatan frame video), dan konsentrasi sperma. Saat ini, nilai prediktif pola
gerak sperma untuk fungsi sperma dan fertilitas, masih belum ditemukan, dan
belum ada keuntungan yang melebihkan CASA dibandingkan analisis semen
rutin manual.
Reaksi Acrosin dan Acrosome
Acrosome adalah struktur yang terikat pada membrane yang berlokasi di
ujung kepala sperma, mengandung enzim proteolitik yang penting untuk
penetrasi zona pellucida (Chapter 7), dan acrosine adalah salah satu dari enzim
tersebut. Sperma dari pria infertil memiliki peningkatan prevalensi hilangnya
acrosome spontan dan penurunan reaktivitas acrosome sebagai respon terhadap
teerapi dengan calcium ionophore. Meski demikian, relevansi klinis dari
pemeriksaan acrosin dan reaktivitas acrosome abnormal secara in vitro masih
harus diteliti lagi.
Tes Biokimia
Tes biokimia untuk fungsi sperma antara lain pemeriksaan creatine
phosphokinase

dan

reactive

oxygen

species

pada

sperma.

Creatine

phosphokinase merupakan enzim penting yang terlibat dalam pembuatan,


transport, dan penggunaan energi dalam sperma. Penelitian mengenai level atau
bentuk dari enzim tersebut dalam sperma pria fertil dan infertil telah
mendapatkan hasil yang bertentangan.
Metabolisme oksigen normal akan menghasilkan reactive oxygen species
yang mungkin bersifat toksin bila berlebihan. Pada pria fertil maupun infertil,
leukosit merupakan sumber utama reactive oxygen species; namun sel sperma
sendiri juga memproduksi reactive oxygen species. Peningkatan level reactive
oxygen species didapatkan pada semen dari pria infertil dan diduga merupakan
penyebab dari infertilitas yang tak terjelaskan. Peroksidasi terhadap membrane
lipid sperma dan produksi peroksida asam lemak yang toksik dapat mengganggu

29

fungsi

sperma.

Reactive

oxygen

species

dapat

dideteksi

dengan

chemiluminescent probes, namun saat ini hanya digunakan dalam penelitian.


EVALUASI ENDOKRIN
Gangguan endokrin yang melibatkan axis hypothalamic-pituitary-testicular
telah diketahui dengan baik, namun hal tersebut bukan merupakan penyebab
umum infertilitas pada pria dan sangat jarang terjadi pada pria dengan hasil
pemeriksaan parameter semen normal. Indikasi untuk dilakukannya evaluasi
endokrin pada pria infertil di antaranya hasil analisis semen abnormal
(khususnya konsentrasi sperma <10 juta/ml), disfungsi seksual (penurunan
libido, impotensi), dan gejala atau temuan klinis lain yang mengarah ke
endokrinopati spesifik. Evaluasi endokrin dasar untuk pria infertil meliputi
pemeriksaan kadar FSH dan testosterone total di mana hal tersebut dapat
mendeteksi sebagian besar endokrinopati dengan kelainan klinis yang signifikan.
Bila level testosterone total rendah (<300 ng/ml) maka pemeriksaan harus
diulang

untuk

mengkonfirmasi

temuan

tersebut,

dan

harus

dilakukan

pemeriksaan free testosterone, LH, dan prolactin. Level FSH, LH, dan
testosterone secara keseluruhan dapat membantu membedakan berbagai
kondisi klinis.

Pada pria dengan hypogonadisme hipogonadotropik, secara

umum ketiga hormon tersebut sangat rendah kadarnya. Pada pria dengan
spermatogenesis abnormal, level FSH mungkin normal atau tinggi dan level LH
dan testosterone normal. Pria dengan kegagalan testis menunjukkan level FSH
dan LH yang tinggi serta konsentrasi testosterone yang rendah atau normal. Pria
dengan tumor pituitary yang mensekresikan prolactin secara umum memiliki
konsentrasi gonadotropin yang normal atau rendah, testosterone rendah, dan
level prolactin yang tinggi. Pada pria dengan hipogonadisme hipogonadotropik,
dengan atau tanpa hiperprolactinemia, maka diindikasikan untuk pemeriksaan
MRI di region hypothalamus-pituitary untuk mengeksklusi kemungkinan lesi
massa.
Bila dibandingkan dengan pria fertil, banyak pria infertil dengan
oligospermia berat dapat mengalami penurunan rasio testosterone/estradiol, dan
terapi dengan aromatase inhibitor dapat menormalkan kembali nilai rasio
tersebut dan meningkatkan kualitas semen. Data ini menunjukkan bahwa
beberapa pria dengan oligospermia berat (<5 juta/ml), level testosterone rendah
(<300 ng/dl), dan konsentrasi gonadotropin yang normal, mungkin mengalami

30

endokrinopati yang masih dapat diatasi. Berdasarkan hal tersebut, evaluasi


endokrin dapat diperluas hingga meliputi pemeriksaan estradiol dan kalkulasi
rasio testosterone (ng/dl) terhadap estradiol (pg/ml); di mana rasio <10
menunjukkan bahwa pasien tersebut masih dapat diterapi dengan aromatase
inhibitor.

EVALUASI UROLOGI
Bila belum dilakukan sebelumnya, parameter semen dengan hasil yang
sangat abnormal merupakan indikasi dilakukannya pemeriksaan fisik menyeluruh
oleh ahli urologi atau spesialis reproduksi pria lainnya; beberapa pria juga
mungkin memerlukan evaluasi urologi lanjutan.
Pada pria normal, testis berkonsistensi keras dan bervolume sekitar 15-25
ml. Testis yang kecil dan lunak menunjukkan adanya kegagalan testis. Meskipun
pria dengan kegagalan testis primer akibat Klinefelter syndrome (47, XXY)
biasanya tinggi dan eunuchoid (memiliki karakter pria dan wanita) dengan
ginekomastia dan testis kecil, namun fenotipnya bervariasi. Pria dengan
kegagalan testis sekunder akibat hipogonadisme hipogonadotropik juga mungkin
mengalami virilisaasi inkomplit, bentuk tubuh eunuchoid, dan testis kecil. Bentuk
endokrinopati kongenital akibat kegagalan migrasi neuron GnRH selama
embryogenesis dan, bila disertai anosmia, diketahui sebagai Kallman syndrome.
Penuhnya epididymis menandakan adanya obstruksi pada pria dengan
azoospermia. Diagnosis dari ketiadaan vas deferens bilateral kongenital
ditegakkan melalui pemeriksaan fisik saja dan tidak memerlukan eksplorasi atau
sonografi skrotum. Palpasi spermatic cord (posisi berdiri dan telentang, dengan
dan tanpa Valsava) mungkin dapat mendeteksi adanya dilatasi abnormal dari
vena testis yang disebut sebagai varicocele; sekitar 35% pria dengan infertilitas
primer dan hingga 80% pria dengan infertilitas sekunder mengalami varicocele.
Varicocele menyebabkan penurunan ukuran testis, kualitas semen, dan fungsi
sel

Leydig,

serta

digradasi

berdasarkan

keparahannya

(Grade

1-3).

Pemeriksaan colok dubur dapat menentukan ukuran simetrisitas prostate dan


mungkin dapat mendeteksi adanya kista di garis tengah atau dilatasi vesikula
seminalis yang menandakan adanya obstruksi duktus ejakulatorius.
Ultrasonografi

31

Ultrasonografi trans-rectal diindikasikan untuk menegakkan diagnosis pada


obstruksi duktus ejakulatorius pada pria dengan oligospermia berat atau
azoospermia, vasa yang palpable, volume ejakulat rendah, dan volume testis
normal, khususnya bila semen bersifat asam dan hanya sedikit atau tidak
mengandung fruktosa. Vasografi menjadi metode alternatif untuk diagnosis
obstruksi duktus ejakulatorius, namun USG trans-rectal lebih tidak invasif dan
dapat menghindari injury pembuluh darah. Bila didapatkan kista garis tengah,
dilatasi vesikula seminalis, atau duktus ejakulatorius menunjukkan namun belum
memastikan diagnosis obstruksi duktus ejakulatorius. Sebaliknya, ketiadaan dari
kondisi-kondisi tersebut tidak mengeksklusi kemungkinan obstruksi. Aspirasi
vesikula seminalis dan vesiculography dengan guiding USG trans-rectal
menyediakan kesempatan untuk membuat diagnosis definitive; sperma-sperma
yang terambil dapat diawetkan beku untuk digunakan dalam IVF dengan ICSI.
Terapi definitive memerlukan reseksi duktus ejakulatorius trans-urethra.
USG trans-scrotal dapat membantu mengklarifikasikan temuan fisik yang
belum pasti dan untuk mengkonfirmasi adanya massa scrotum. USG transscrotal mungkin juga dapat mendeteksi varicocele yang tidak teraba namun
belum ada bukti yang menunjukkan kepentingannya secara klinis.
USG renal diindikasikan untuk pria dengan unilateral atau bilateral vassal
agenesis. Sekitar 25% pria dengan unilateral vassal agenesis dan 10% dari pria
dengan ketiadaan vas deferens bilateral kongenital memiliki unilateral renal
agenesis.
Biopsi Testis
Pada pria azoospermia, biopsy testis dapat dilakukan untuk tujuan
diagnosis maupun prognostik. Pria dengan peningkatan serum FSH tidak
memerlukan biopsy diagnostic karena tingginya konsentrasi FSH merupakan
diagnosis untuk spermatogenesis yang abnormal. Meskipun biopsy dapat
dilakukan untuk menentukan kemungkinan sperma yang dapat diambil untuk IVF
dengan ICSI, hasilnya mungkin tidak terlalu membantu karena produksi sperma
dapat terbatas pada fokus yang spesifik dalam testis. Sebaliknya, biopsy
diagnostic diindikasikan untuk pria azoospermia dengan ukuran testis normal,
setidaknya satu vas deferens teraba, dan level serum FSH normal, karena FSH
normal tidak menjamin bahwa spermatogenesis normal. Saat biopsy dilakukan,
sebagian jaringan testis dapat dibekukan untuk digunakan dalam siklus terapi

32

IVF/ICSI di masa depan untuk menghindari prosedur kedua. Hasil biopsy berupa
spermatogenesis normal menunjukkan adanya obstruksi yang pada beberapa
kondisi harus ditentukan melalui operasi eksplorasi dengan atau tanpa vasografi.
EVALUASI GENETIK
Abnormalitas genetik dapat menyebabkan infertilitas melalui gangguan
pada produksi atau transport sperma. Saat ini, yang paling relevan dengan
infertilitas pada pria dan terapinya antara lain: (1) mutasi pada gen cystic fibrosis
transmembrane conductance regulator (CFTR) yang sangat terkait dengan
ketiadaan vas deferens bilateral kongenital; (2) anomali kromosom yang
menyebabkan disfungsi testis (Klinefelter syndrome: 47 XXY); dan (3)
mikrodelesi kromosom Y yang terkait dengan abnormalitas spermatogenesis.
Kondisi-kondisi ini memiliki implikasi yang lebih jauh selain azoospermia dan
oligospermia berat karena pria dengan kondisi tersebut dapat memberikan
beberapa konsekuensi untuk keturunnya. Idealnya, konseling genetik harus
dilakukan baik sebelum maupun setelah pemeriksaan genetik.
Mutasi Gen Cystic Fibrosis
Spektrum kondisi aplasia vasal tidak hanya meliputi ketiadaan vas deferens
bilateral kongenital, namun juga ketiadaan vas deferens unilateral, ketiadaan vas
deferens atau epididymis bilateral parsial, dan obstruksi epididymis. Hubungan
antara ketiadaan vas deferens bilateral kongenital dengan mutasi gen CFTR
sangat kuat; hampir semua pria dengan cystic fibrosis mengalami ketiadaan vas
deferens bilateral kongenital dan setidaknya 2/3 dari pria dengan ketiadaan vas
deferens bilateral kongenital mengalami mutasi pada CFTR. Gen tersebut
mengkode protein yang terlibat dalam pembentukan vesikula seminalis dan
sistem duktus traktus reproduksi pada pria. Meskipun sekitar 4% dari pria
Kaukasia membawa mutasi gen CFTR, kondisi klinis berupa ketiadaan vas
deferens bilateral kongenital lebih jarang terjadi karena kemungkinannya kecil
pada individu heterozigot. Spekulasi umum yang berkembang, serta asumsi
klinis yang ada, adalah bahwa semua pria dengan bukti ketiadaan vas deferens
bilateral kongenital mungkin mengalami mutasi tersebut, beberapa di antaranya
memiliki frekuensi carrier yang rendah dan belum dapat sepenuhnya dimengerti.
Pria dengan ketiadaan vas deferens bilateral kongenital atau bentuk vasal
aplasia lain yang lebih ringan, dan partner wanita mereka, harus menjalani

33

skrining

untuk

mutasi

CFTR

sebelum

dilakukan

upaya-upaya

untuk

mendapatkan kehamilan melalui ART untuk menentukan resiko munculnya cystic


fibrosis dan ketiadaan vas deferens bilateral kongenital pada keturunannya.
Anomali-anomali Kromosom
Prevalensi keseluruhan anomali kromosom pada pria infertil adalah sekitar
7% dan berbanding terbalik dengan konsentrasi sperma; prevalensinya paling
tinggi pada pria azoospermia (10-15%), rendah pada pria oligospermia (5%), dan
sangat rendah pada pria dengan kualitas semen normal (<1%). Sejauh ini,
anomali kromosom yang paling sering terjadi pada pria infertil adalah Klinefelter
syndrome (47 XXY, 46 XY/47 XXY) yang merupakan 2/3 dari seluruh
abnormalitas kromosom pada pria infertil. Abnormalitas struktur kromosom
(translokasi, inversi) menjadi penyebab utama untuk sisanya. Partner wanita dari
pria-pria dengan anomali kromosom sangat beresiko mengalami keguguran atau
kelahiran anak dengan aneuploidy dan anomali kongenital. Pemeriksaan
karyotyping (kromosom) harus dilakukan pada pria dengan azoospermia nonobstruktif atau oligospermia berat (<5 juta/ml) sebelum sperma digunakan untuk
IVF dengan ICSI. Biopsy embryo dan diagnosis genetik pre-implantasi dengan
fluorescence in situ hybridization atau teknik lain untuk mengevaluasi komposisi
kromosom, dapat dilakukan untuk mengidentifikasi embryo normal yang sesuai
untuk dilakukan transfer.
Mikrodelesi Kromosom Y
Sekitar 7% dari pria infertil dengan azoospermia dan oligospermia berat,
mengalami mikrodelesi pada bagian kromosom Y yang tidak dapat terdeteksi
oleh pemeriksaan karyotyping standar namun dapat diidentifikasi oleh teknik
genetik yang lebih canggih.

Sebagian besar mikrodelesi ini terjadi di regio

lengan panjang dari kromosom Y (Yq11), yang disebut AZF (Azoospermic factor)
a (proximal), b (central), dan c (distal), yang tampaknya mengandung gen-gen
yang penting dalam spermatogenesis normal. Banyak pria dengan mikrodelesi
pada regio AZFc hanya mengalami oligospermia berat, dan pria yang
azoospermia secara umum masih dapat memproduksi sperma yang cukup untuk
diambil melalui biopsy testis. Sebaliknya, prognosis untuk pengambilan sperma
pada pria dengan mikrodelesi pada AZFa atau AZFb, cukup buruk. Mikrodelesi

34

pada sebuah regio baru yakni AZFd terkait dengan spermatogenesis normal dan
signifikansi klinisnya tidak diketahui.
Anak dari pria dengan mikrodelesi kromosom Y diduga mewarisi defek
tersebut serta konsekuensi klinisnya. Skrining untuk mikrodelesi kromosom Y
harus dilakukan pada semua pria dengan azoospermia atau oligospermia (<5
juta/ml) non obstruktif yang merupakan kandidat untuk dilakukannya IVF dengan
ICSI.
Struktur Chromatin Sperma
Sejumlah besar pria infertil memiliki level kerusakan DNA yang lebih tinggi,
dan bukti terbaru menunjukkan bahwa pria-pria tersebut memiliki prognosis yang
buruk untuk masalah fertilitas, bahkan saat semua parameter pemeriksaan
semen-nya normal. Pria dengan parameter semen abnormal seringkali memiliki
level fragmentasi DNA yang tinggi, namun pria dengan parameter semen yang
seluruhnya normal juga dapat mengalaminya. Pemeriksaan baru untuk struktur
kromatin sperma merupakan tes yang memeriksa proporsi sperma dengan DNA
yang terfragmentasi dan keluasan kerusakan DNA. Tes ini masih belum
diaplikasikan di praktek namun nantinya dapat digunakan sebagai alat diagnostik
dan prognostik yang berguna dalam evaluasi infertilitas pada pria.
TERAPI MEDIS UNTUK INFERTILITAS PRIA
Dengan sedikit pengecualian yang penting, infertilitas pada pria secara
umum tidak disetujui untuk dilakukan terapi medis. Evaluasi yang teliti dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi pria dengan kondisi yang dapat diterapi yang
mungkin bermanfaat bila diberikan terapi medis.
Hipogonadisme Hipogonadotropik
Pria dengan kegagalan testis sekunder terkait dengan hipogonadisme
hipogonadotropik, merepresentasikan satu kelompok infertilitas di mana terapi
medis dapat dilakukan dengan sukses, setelah penyebabnya diketahui. Pada
sebagian besar pria yang mengalaminya, defisiensi gonadotropin tunggal
sifatnya kongenital dan terkait dengan pubertas yang abnormal akibat tidak
adanya sekresi atau sekresi pulsatile abnormal dari GnRH hypothalamus;
endokrinopati mungkin disebabkan oleh faktor genetik, akibat dari kegagalan
migrasi neuronal GnRH selama embryogenesis (Kallman syndrome) atau

35

idiopatik.

Bila onset penyakit terjadi setelah pubertas, pria tersebut akan

tervirilisasi namun mengalami hipogonad, impoten, dan azoospermia.


Meskipun jarang, hipogonadisme hipogonadotropik post pubertas juga
dapat terjadi akibat tumor hipotalamik atau pituitary atau akibat proses inflamasi
(sarcoidosis, hemochromatosis, hipophysitis auto imun).
dengan

hipogonadisme

hipogonadotropik

post

Di antara para pria

pubertal,

tumor

pituitary,

khususnya prolactinoma, merupakan penyebab yang paling sering. Pria dengan


prolactinoma sering datang dengan impotensi dan defisiensi androgen.
Berkebalikan dengan mikroadenoma yang sering terjadi pada wanita, tumor pada
laki-laki seringkali lebih besar (makroadenoma). Hipogonadisme terkait dengan
lesi massa hypothalamic atau pituitary dapat terjadi akibat hiperprolactinemia dan
disrupsi sekresi pulsatile GnRH atau dari efek langsung terhadap pituitary melalui
penekanan terhadap gonadotrop pituitary.
a. GnRH pulsatile eksogen
Pria dengan hipogonadisme hipogonadotropik yang tidak terkait dengan
hiperprolactinemia atau lesi massa hipothalamik atau pituitary dapat diterapi
dengan terapi GnRH pulsatile eksogen, yang secara umum diberikan sub
kutan melalui pompa infus portable yang dapat deprogram pulsatile dengan
dosis tertitrasi sesuai individu, untuk mempertahankan serum level LH normal
pada pria dewasa.

Terapi dengan GnRH pulsatile eksogen dapat dengan

sukses mengembalikan level sekresi gonadotropin ke normal sehingga dapat


menginduksi produksi testosterone dan spermatogenesis. Meskipun hal ini
merupakan terapi yang sangat spesifik untuk pria dengan defisiensi sekresi
GnRH endogen, terapi GnRH pulsatile eksogen mahal, tidak nyaman, dan
mungkin memerlukan beberapa waktu sebelum dicapai hasil yang diinginkan.
Level normal gonadotropin dalam serum dapat dicapai dalam 1 minggu atau
lebih setelah terapi dimulai dan konsentrasi normal testosterone dalam serum
dapat

dicapai

dalam

beberapa

minggu,

namun

stimulasi

terhadap

spermatogenesis memerlukan waktu yang lebih lama. Bukti adanya


spermatogenesis mungkin baru dapat dilihat dalam 1 tahun setelah terapi
dengan GnRH pulsatile eksogen dimulai, namun mungkin diperlukan terapi
selama 2 tahun untuk mencapai pertumbuhan testis, spermatogenesis, dan
fertilitas yang maksimal; pria dengan endokrinopati yang muncul setelah
pubertas secara umum berespon lebih cepat daripada pria dengan defisiensi
GnRH kongenital.
36

b. Gonadotropin eksogen
Karena perhatian terhadap keterlambatan pubertas muncul terlebih dahulu
sebelum perhatian terhadap fertilitas, sebagian besar dari pria dengan
hipogonadisme hipogonadotropik awalnya diterapi dengan hCG (untuk
menstimulasi produksi testosterone oleh sel Leydig) atau testosterone
eksogen; yang keduanya sama-sama dapat menginduksi perkembangan
seksual

sekunder,

namun

keduanya

tidak

dapat

menginisiasi

dan

mempertahankan spermatogenesis normal. Sebaliknya, hCG saja (5.000 IU


3x/minggu)

seringkali

dapat,

namun

tidak

selalu,

mengembalikan

spermatogenesis pada laki-laki dengan hipogonadisme hipogonadotropik


dengan onset dewasa. Pada pria dengan hipogonadisme hipogonadotropik
kongenital dan pria dengan endokrinopati yang beronset post pubertal yang
tidak berespon dengan terapi hCG tunggal, maka spermatogenesis normal
dapat diinduksi dengan terapi kombinasi hGC dengan human menopausal
gonadotropin (hMG, yang mengandung FSH dan LH) atau FSH murni (450
IU/minggu terbagi dalam 2-3 dosis); terapi dengan testosterone dan FSH
eksogen tidak efektif karena tidak dapat menghasilkan testosterone intra testis
dengan konsentrasi tinggi yang diperlukan untuk spermatogenesis normal.
Saat spermatogenesis telah tercapai dengan kombinasi terapi dengan hCG
dan FSH/hMG, spermatogenesis selanjutnya dapat dipertahankan dengan
hCG tunggal selama interval waktu tertentu, meskipun kualitas semen akan
menurun kembali tanpa terapi FSH.
c. Agonis dopamine
Hipogonadisme hipogonadotropik akibat hiperprolactinemia secara umum
jarang terjadi pada pria infertil (sekitar 1%) namun dapat diberikan terapi
agonis dopamine bila telah benar-benar teridentifikasi. Terapi dengan
bromocriptine atau carbagoline dapat secara efektif mengembalikan level
prolactine dan testosterone normal, dan selanjutnya dapat memperbaiki libido,
potensi, kualitas semen, dan fertilitas pada pria dengan hipogonadisme
hiperprolactinemia. Peningkatan level testosterone dan potensi bisa dicapai
dalam sekitar 3-6 bulan setelah didapatkan level prolactin yang normal;
perubahan pada kualitas semen secara umum butuh waktu lebih lama.
Perbaikan kualitas semen mungkin bisa diharapkan, namun tidak semua pria
dapat mencapai parameter semen normal.

Pada pria infertil eugonadal

dengan hiperprolactinemia ringan, agonis dopamine dapat mengembalikan

37

level prolactin namun hanya memiliki sedikit efek terhadap kualitas semen.
Meskipun level prolaktin sedikit lebih tinggi pada pria infertil dibandingkan pria
fertil, belum ada bukti yang mengindikasikan bahwa terapi agonis dopamine
untuk

pria

euprolactinemia

dengan

oligospermia

idiopatik

atau

asthenospermia, dapat memperbaiki kualitas semen ataupun infertilitas.


Hipogonadisme Eugonadotropik
Pria dengan oligospermia berat (<5 juta/ml), level testosterone yang
rendah (<300 ng/dl), dan rasio testosterone (ng/dl)/estradiol (pg/ml) yang
abnormal (<10) mungkin akan bermanfaat bila diberikan terapi dengan
aromatase inhibitor. Pada pria tersebut, terapi (testolactone 50-100 mg 2x/hari,
anatrozole 1 mg/hari) dapat menormalkan rasio dan memperbaiki kualitas
semen.
Hipogonadisme Hipergonadotropik
Belum ada bukti bahwa segala bentuk terapi medis dapat memperbaiki
kualitas semen dan fertilitas pada pria dengan hipogonadisme hipergonadotropik.
Untuk pria dengan kegagalan spermatogenik komplit, satu-satunya pilihan terapi
adalah inseminasi dengan sperma donor atau adopsi. Untuk pria dengan
oligospermia berat, IVF dengan ICSI masih dapat memberikan beberapa
kemungkinan sukses, namun direkomendasikan untuk melakukan evaluasi
genetik sebelumnya.
Ejakulasi Retrograde
Pria dengan ejakulasi retrograde mungkin bisa diatasi dengan terapi medis
menggunakan simpatomimetik (imipramine 25 mg 2x/hari atau 50 mg sebelum
tidur;

pseudoephedrine

60

mg

atau

ephedrine

25-50

mg

4x/hari;

phenylpropanolamine 50-75 mg 2x/hari), yang bertujuan mengontrol sphincter


interna. Alternatif lain, sperma dapat diambil secara langsung dari vesika urinaria
langsung setelah masturbasi; untuk hasil terbaik, pH dan osmolalitas urine (300380 mOsm/l) harus dikontrol secara hati-hati dengan alkalinisasi urine (natrium
bikarbonat 650 mg 4x/hari, dimulai 1-2 hari sebelum pengambilan sperma) dan
pengaturan intake cairan. Bila usaha ini terbukti tidak nyaman atau tidak efektif,
vesika urinaria dapat dikosongkan dan diisi dengan medium buffered (cairan
penyangga) sekitar 100 ml segera sebelum ejakulasi. Pada pria dengan
kegagalan ejakulasi, mungkin diperlukan elektroejakulasi. Bila didapatkan
38

sperma motile dalam jumlah yang cukup, maka dapat dilakukan IUI atau bila
tidak bisa, dapat dilakukan IVF dengan ICSI.
Leukocytospermia
Meskipun leukocytospermia dikaitkan dengan abnormalitas parameter
semen lainnya, dan terapi antibiotik (doxycycline, trimethoprim-sulfametoxazole)
diindikasikan untuk pria dengan gejala infeksi traktus genitalia, terapi tersebut
tidak memperbaiki parameter semen pada pria dengan leukocytospermia
asimtomatik dan seringkali gagal untuk menurunkan jumlah leukosit ke level
normal (<1 juta/ml).

Leukocytospermia seringkali bersifat episodik dan tidak

dapat secara akurat memprediksikan infeksi traktus genitalia, dan hanya sedikit
bukti yang menunjukkan bahwa leukocytospermia memiliki efek buruk terhadap
fertilitas. Sehingga, terapi yang lebih baik dibatasi untuk pria dengan bukti
adanya infeksi traktus genitalia.
Oligospermia, Asthenospermia, dan Teratospermia Idiopatik
Sebagian besar pria infertil adalah eugonadotropik, tervirilisasi normal, dan
sehat, namun memiliki densitas sperma yang rendah atau abnormalitas semen
lainnya dengan penyebab yang tidak diketahui. Subfertilitas idiopatik sering
terjadi pada pria dan banyak terapi medis yang telah dilakukan di mana
androgen, gonadotropin, dan antiestrogen yang mendapat perhatian paling
besar. Sayangnya, belum ada terapi medis yang terbukti efektif untuk
memperbaiki parameter semen ataupun fertilitas pada pria dengan subfertilitas
idiopatik.
a. Androgen
Terapi androgen
spermatogenesis,

diberikan

secara

dengan

langsung

tujuan

dengan

untuk

meningkatkan

menstimulasi
konsentrasi

androgen intra-testicular atau secara tidak langsung dengan peningkatan


rebound sekresi gonadotropin pituitary setelah adanya interval supresi akibat
induksi androgen. Meski demikian, hasil meta analisis terhadap 11 penelitian
klinis yang melibatkan hampir 1000 orang pria menunjukkan bahwa terapi
tersebut tidak sepenuhnya dapat memperbaiki parameter semen maupun
fertilitas.
b. Gonadotropin
Hasil dari penelitian yang melibatkan penggunaan FSH eksogen untuk
menstimulasi spermatogenesis secara langsung, masih banyak yang

39

bertentangan.

Ada dua penelitian terhadap pria subfertil yang tidak

menemukan adanya bukti bahwa terapi tersebut dapat memperbaiki kualitas


semen dan fertilitas, namun ada beberapa penelitian lain yang menunjukkan
bahwa FSH eksogen dapat meningkatkan kualitas semen pada pria dengan
oligospermia idiopatik di mana hasil pemeriksaan biopsy testis menunjukkan
adanya hipospermatogenesis dan level FSH serta inhibin-B normal.
c. Antiestrogen
Terapi empiris (3-6 bulan) dengan clomiphene citrate (25 mg/hari) atau
tamoxifen

(20 mg/hari)

secara umum

dilakukan

untuk

menstimulasi

peningkatan sekresi gonadotropin pituitary dan spermatogenesis pada pria


dengan subfertilitas idiopatik. Hasil dari berbagai studi tidak konsisten satu
sama lain.
Saat beberapa terapi tampaknya bisa memberikan manfaat untuk
beberapa pria, masih belum ada metode yang terpercaya untuk membedakan
pria yang akan berespon dan pria yang tidak akan berespon terhadap terapi.
Secara umum, terapi antiestrogen tidaklah efektif. Sebuah penelitian random
yang dilakukan oleh WHO dengan melibatkan hampir 200 pria dan lebih dari
1.300 bulan observasi, tidak menemukan adanya perbedaan di antara para
pria yang diterapi dengan clomiphene atau placebo. Selain itu, meta analisis
dari 10 penelitian yang melibatkan lebih dari 700 pria menyimpulkan bahwa
bukti yang ada tidak cukup untuk mengindikasikan bahwa terapi estrogen
dapat memperbaiki kualitas semen ataupun fertilitas.
INSEMINASI INTRA-UTERINE
Inseminasi buatan telah digunakan dalam terapi pasangan infertil hampir
selama 200 tahun dan telah diterima sebagai bentuk terapi untuk laki-laki dengan
hipospadia, ejakulasi retrograde, impotensi neurologis, dan disfungsi seksual.
Inseminasi

buatan

juga

digunakan

untuk

mengatasi

oligospermia,

asthenospermia, volum ejakulasi yang sedikit, antibody antisperma, dan faktor


cervical. Inseminasi terapeutik menggunakan sperma donor telah dilakukan dan
menjadi terapi yang sangat efektif untuk infertilitas pada pria yang berat dan tidak
dapat dikoreksi, gangguan genetik turunan pada pria, dan wanita single atau
lesbian yang menginginkan kehamilan.

Sebelum kemajuan IVF atau ICSI,

inseminasi donor terapeutik merupakan satu-satunya pilihan terapi yang tersedia


untuk pasangan dengan infertilitas berat pada pria, dan tetap sangat efektif
bahkan bila terjadi kegagalan pada ART.

40

Inseminasi buatan dapat dilakukan dengan mendepositkan sperma ke os


cervical atau secara langsung ke uterus, namun saat ini secara universal hampir
semua melakukannya dengan IUI, untuk beberapa alasan. Pertama, untuk
mengatasi keterbatasan akibat rendahnya densitas atau motilitas sperma,
inseminasi cervical tidak memberikan keuntungan yang lebih daripada hubungan
seks biasa. Kedua, karena potensi terjadinya reaksi terhadap protein,
prostaglandin, dan bakteri pada semen, sangat membatasi volume semen dan
jumlah sperma yang dapat diarahkan ke traktus genitalia wanita bagian atas,
maka IUI dengan konsentrat sperma yang telah dicuci (tidak ada plasma semen)
dapat mengarahkan sperma paling banyak dari sebuah ejakulat. Yang paling
penting, IUI memberikan hasil yang secara umum lebih baik daripada inseminasi
cervical. Pada sebuah meta-analisis terhadap 12 penelitian terpisah yang
melibatkan hampir 700 wanita dan lebih dari 2000 siklus inseminasi, tingkat
kehamilan secara keseluruhan setiap siklus adalah 18% untuk wanita yang
menjalani IUI, dibandingkan dengan angka 5% pada wanita yang menjalani
inseminasi cervical; dengan mempertimbangkan bahwa hanya 10 penelitian yang
menggunakan sperma donor yang dibekukan, tingkat kehamilan per siklus pada
IUI lebih dari dua kali lipat dibandingkan inseminasi cervical (2.63, CI=1.85-3.73).
Analisis yang pernah terlebih dulu dilakukan pada 7 penelitian, menghasilkan
kesimpulan yang sama (2.4, CI=1.5-3.8).
Sulit untuk mengukur efektifitas IUI dengan menggunakan sperma dari pria
infertil karena hampir semua laporan hasil siklus IUI juga mencakup pasangan
dengan berbagai faktor infertilitas dan telah menjalani terapi kombinasi IUI
dengan stimulasi ovarium empiris. Terdapat banyak data dari penelitian
retrospektif mengenai hasil siklus inseminasi terapeutik (IUI dengan atau tanpa
stimulasi ovarium), namun hasil yang dicapai dengan menggunakan sperma
partner yang infertil tidak dapat diharapkan sama dengan yang menggunakan
donor sperma normal.

Dengan mempertimbangkan semua variabel yang

relevan, data-data yang tersedia menunjukkan bahwa cycle fecundability


(kemungkinan untuk hamil dalam 1 siklus menstruasi) memiliki rentang antara 310% bila IUI dilakukan menggunakan sperma partner yang infertil, dan menjadi
sekitar 3 kali lebih tinggi (9-30%) bila digunakan sperma donor.
Dari manapun sperma yang digunakan, apakah dari sperma partner yang
infertil atau donor sperma yang dibekukan, metode persiapan sperma, waktu dan
teknik IUI, serta pengaruh faktor infertilitas lainnya terhadap prognosis, secara

41

umum sama. Jumlah, motilitas, dan morfologi donor sperma yang dibekukan
secara umum tidak membatasi kesuksesan karena donor sperma menjalani
seleksi ketat untuk masalah kualitas semen, bila menggunakan sperma partner
yang infertil, maka parameter dari semen tersebut pasti akan mempengaruhi
prognosis kesuksesan IUI.
Parameter Semen dan Prognosis
Tidak

mengagetkan

bahwa

kemungkinan

kesuksesan

IUI

yang

menggunakan sperma partner yang infertil, dalam beberapa hal, sangat


bergantung pada keparahan abnormalitas semen. Densitas, motilitas, dan
morfologi sperma semuanya berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan.
a. Jumlah Total Sperma Motile
Kemungkinan kesuksesan IUI meningkat sesuai jumlah total sperma motile
yang diinseminasikan. Hasil terbaik dicapai saat jumlah total sperma motile
melebihi batas 10 juta. Jumlah yang lebih tinggi lagi tidak menaikkan tingkat
kesuksesan, dan IUI sangat jarang berhasil bila total sperma motile yang
diinseminasikan <1 juta. Dengan mengkombinasikan hasil yang didapat dari 2
ejakulat yang didapatkan dalam 2 kesempatan berbeda (terpisah setidaknya 4
jam) dapat meningkatkan jumlah sperma yang tersedia dari pria dengan
oligospermia.
b. Morfologi Sperma yang Sempurna/Ketat (Strict)
Sebagaimana diduga, karena nilai prediktif dari morfologi sperma yang
sempurna telah ditetapkan untuk mengukur kesuksesan fertilisasi in vitro
konvensional, maka persentase morfologi sperma yang normal, sebagaimana
kriteria strict, tampaknya juga memiliki nilai prediktif untuk IUI. Sejumlah
penelitian telah memeriksa korelasi antara morfologi sperma strict dengan
hasil siklus IUI. Meskipun tidak semuanya menemukan ada hubungan di
antara keduanya, sebagian besar menemukan ada korelasi yang kuat.
Seperti hasil yang didapatkan dari siklus IVF, kemungkinan kesuksesan IUI
meningkat seiring dengan meningkatnya persentase morfologi sperma yang
normal. Tingkat kesuksesan IUI paling tinggi saat 14% atau lebih sperma
memiliki morfologi yang normal; kesuksesan sedang dicapai pada angka 414%; dan secara umum sangat buruk bila <4% sperma yang normal.
Sehingga, secara umum, pasangan dengan faktor infertilitas pada pria
termasuk teratospermia berat (sperma normal <4%), lebih baik dinasihatkan

42

untuk menggunakan sumber daya yang tersedia menjalani IVF dan ICSI bila
memungkinkan.
Faktor Prognostik Lain
Tidak perlu dikatakan bahwa prognosis kesuksesan IUI dalam terapi faktor
infertilitas pada pria paling baik bila tidak terdapat faktor infertilitas lainnya.
Secara khusus, prognosis sangat dipengaruhi oleh usia partner wanita,
konsistensi, dan kualitas fungsi ovulasi partner wanita, dan kondisi anatomi
reproduksi partner wanita. Sejauh mana faktor-faktor tambahan ini harus
dievaluasi sebelum dilakukan IUI, tergantung dari individu masing-masing.
a. Usia Maternal
Usia maternal merupakan variabel pokok pada semua pasangan infertil.
Bahkan bila pun digunakan sperma donor, kemungkinan kesuksesan menurun
seiring dengan pertambahan usia ibu. Cycle fecundability dan tingkat
kehamilan kumulatif (7 siklus) pada usia 35 tahun yang diinseminasi dengan
donor sperma (0.20, 88%) sebanding dengan yang didapatkan dari pasangan
fertil normal namun menurun pada wanita usia antara 35-40 tahun (0.12, 65%)
dan wanita >40 tahun (0.60, 42%). Pemeriksaan reservoir ovarium (Chapter
27) dapat dipertimbangkan bila usia partner wanita >35 tahun, memiliki
riwayat

keluarga

dengan

menopause

dini,

riwayat

operasi

ovarium,

kemoterapi, atau radiasi, atau bila partner wanita adalah perokok atau
memiliki riwayat respon yang buruk atau bahkan tidak berespon terhadap
stimulasi gonadotropin eksogen. Wanita dengan reservoir ovarium yang buruk
memiliki kemungkinan sukses yang rendah dengan IVF dan kesimpulannya,
juga memiliki kemungkinan sukses yang rendah dengan IUI.
b. Fungsi Ovulasi
Setidaknya, cukup bijaksana untuk melakukan pemeriksaan fungsi ovulasi
dengan tujuan yang obyektif bila rencana terapi tidak termasuk stimulasi
ovarium empiris. Gangguan ovulasi sering terjadi, bahkan pada wanita yang
menjalani terapi inseminasi donor. Induksi ovulasi menaikkan tingkat
kesuksesan terapi inseminasi donor untuk wanita dengan gangguan ovulasi,
meskipun cycle fecundability tetap rendah daripada wanita dengan siklus
ovulasi spontan.
c. Faktor Uterus dan Tuba

43

Hysterosalpingography (HSG) direkomendasikan untuk wanita di atas usia


35 tahun dan saat riwayat medis atau pemeriksaan fisik memunculkan
kecurigaan adanya endometriosis atau faktor infertilitas pada uterus atau tuba
karena IUI jarang sukses pada pasangan dengan kombinasi antara faktor
infertilitas pada pria dengan faktor infertilitas pada tuba; IVF dengan atau
tanpa ICSI, biasanya merupakan pilihan terapi yang lebih baik. Bila tidak ada
kecurigaan tersebut di atas, rendah kemungkinan untuk mendapatkan hasil
HSG yang abnormal. Bila tidak dilakukan sebelum terapi dimulai, HSG juga
direkomendasikan untuk wanita yang gagal mengalami konsepsi setelah 4-6
siklus terapi inseminasi donor. Laparoskopi dan histeroskopi tidak diperlukan
pada sebagian besar wanita, namun dapat dilakukan untuk wanita dengan
hasil HSG abnormal atau terdapat tanda dan gejala penyakit pelvic berat.
Stimulasi Ovarium Empiris
Stimulasi ovarium empiris dengan clomiphene citrate atau gonadotropin
eksogen, seringkali dikombinasikan dengan IUI dalam terapi untuk pasangan
dengan faktor infertilitas pada pria, berdasarkan observasi terhadap cycle
fecundability yang ternyata lebih tinggi setelah terapi tersebut dikombinasikan
dari pada terapi IUI atau stimulasi ovarium saja, pada pasangan dengan
infertilitas tak terjelaskan. Meskipun manfaat yang ditambahkan oleh stimulasi
ovarium saat IUI dilakukan dengan menggunakan sperma partner yang infertil
masih belum dibuktikan, data yang didapatkan dari beberapa laporan kasus
besar siklus terapi inseminasi donor telah memberikan beberapa pandangan
yang berguna.
Cycle fecundability dari siklus ovulasi spontan tidak berbeda dengan siklus
terapi inseminasi donor yang disertai stimulasi ovarium dengan clomiphene (613%), yang menunjukkan bahwa stimulasi clomiphene hanya memiliki sedikit
atau bahkan tidak memiliki nilai tambah. Hal ini mungkin, namun belum terbukti,
karena terapi clomiphene dapat memberi manfaat terbatas pada siklus untuk
mencapai perkembangan multifollicular dan ovulasi. Sebaliknya, stimulasi
gonadotropin eksogen meningkatkan cycle fecundability pada terapi inseminasi
donor sekitar 2 kali lipat (14-24%). Meski demikian, resiko (ovulasi multiple,
hiperstimulasi ovarium), harga, dan kebutuhan logistik terkait terapi gonadotropin
juga lebih tinggi.
Hasil yang didapatkan dari beberapa laporan kasus besar menunjukkan
bahwa stimulasi gonadotropin eksogen meningkatkan cycle fecundability pada
44

siklus terapi inseminasi donor, khususnya karena secara umum kombinasi


tersebut dilakukan hanya setelah inseminasi dengan siklus spontan terbukti tidak
sukses. Hasil yang sama atau bahkan lebih baik, didapatkan setelah stimulasi
gonadotropin, meskipun perbandingannya terbias oleh terapi kombinasi karena
populasi yang diteliti telah diketahui memiliki penurunan fertilitas secara intrinsik.
Pada sebuah penelitian random, cycle fecundability pada siklus yang distimulasi
gonadotropin (14%) dua kali lipat lebih tinggi daripada siklus yang distimulasi
clomiphene (6%). Kesimpulannya, stimulasi gonadotropin juga dapat diharapkan
memperbaiki cycle fecundability pada terapi IUI menggunakan sperma dari
partner infertil.

Meski begitu, karena buruknya kualitas sperma partner yang

infertil menjadi faktor keterbatasan, maka stimulasi gonadotropin memiliki nilai


yang rendah bila dibandingkan dengan siklus terapi inseminasi donor.
Bila fungsi ovulasi normal, terapi dengan IUI saja sudah cukup sesuai. Bila
terjadi kegagalan IUI baik dengan siklus spontan maupun siklus terinduksi
clomiphene (sekitar 3-4 siklus) atau bila partner wanita berusia >35 tahun, maka
stimulasi

gonadotropin

eksogen

akan

dapat

memperbaiki

kemungkinan

kesuksesan.
Persiapan Sperma untuk IUI
Banyak metode untuk mengekstraksi sperma dari seminal plasma untuk
prosedur IUI. Metode yang paling sering digunakan termasuk teknik pencucian
konvensional, prosedur swim up, dan sentrifugasi gradient densitas.
yang terbaik sangat bervariasi tergantung kualitas sampel semen.

Pilihan

Hasil dari

sebuah penelitian random yang membandingkan tingkat kehamilan yang dicapai


melalui IUI dengan berbagai metode persiapan sperma menunjukkan bahwa
prosedur swim up dan sentrifugasi gradient densitas memberikan kemungkinan
sukses yang lebih besar daripada pencucian sperma konvensional. Studi lain
menemukan bahwa sentrifugasi gradient densitas memberikan hasil yang lebih
baik daripada pencucian konvensional saat spesimen inseminasi mengandung
<20 juta sperma. Hasil yang dicapai dari IUI menggunakan sperma donor yang
diawetkan secara beku tidaklah berbeda, tidak peduli apakah sperma
dipersiapkan sebelum pembekuan atau setelah pencairan.
Baik metode pencucian konvensional maupun metode swim up membuat
sperma tetap berhubungan dengan sperma yang mati/rusak dan leukosit, yang
memproduksi reactive oxygen species yang mungkin dapat menyebabkan

45

kerusakan oksidatif terhadap membrane dan motilitas sperma. Sedangkan


metode lain yang lebih canggih daripada pencucian konvensional ataupun
metode swim up yang dapat digunakan dalam persiapan sperma (sentrifugasi
gradient densitas, filtrasi kaca wool, dll), dan yang dapat digunakan sering kali
saat persiapan sperma untuk IVF, metode-metode tersebut tidak diperlukan
untuk IUI.
Pencucian Sperma
Metode paling sederhana dalam pencucian sperma meliputi dilusi sampel
semen yang telah dicairkan dalam medium buffered (tersedia dari sejumlah
penyuplai komersial) dalam sebuah tabung steril (1:1-1:3, tergantung volume),
kemudian dilanjutkan dengan sentrifugasi kecepatan rendah (200-300g selama
sekitar 10 menit) dan pembuangan supernatant. Setelah 2 siklus atau lebih,
endapan terakhir dire-suspensikan dalam volume kecil (sekitar 0.5 ml) pada
medium inseminasi. Pencucian sperma menghasilkan sejumlah besar sperma,
namun spesimen paling akhir yang dihasilkan juga mengandung sperma mati
dan abnormal serta debris seluler lainnya. Bila viabilitas atau motilitas sperma
sangat rendah atau konsentrasi round cells dalam semen sangat tinggi, perlu
dipertimbangan

metode-metode

untuk

mengeksklusinya

dari

spesimen

inseminasi.
a. Swim Up (Teknik Berenang ke Atas)
Metode swim up untuk persiapan sperma hanya menambahkan beberapa
langkah terhadap metode pencucian konvensional. Endapan akhir dengan
lembut dilapisi dengan 0.5-1 ml medium segar dan diinkubasikan pada suhu
370C selama 30-60 menit, sehingga memungkinkan sebagian besar dari
sperma motile untuk berenang ke atas ke supernatant. Metode ini
menghasilkan spesimen yang lebih bersih, membuah sperma mati dan debris
seluler lainnya, namun juga menghasilkan jumlah sperma yang lebih rendah
(meskipun dengan motilitas tinggi) sehingga, tidak dianjurkan dilakukan bila
konsentrasi sperma sudah sangat rendah.
b. Sentrifugasi berdasarkan Gradien (Perbedaan) Densitas
Metodologi khusus dalam sentrifugasi gradient densitas melibatkan
pelapisan ejakulat caira ke sebuah kolom media dengan densitas yang lebih
tinggi yang berlapis untuk menghasilkan gradient densitas yang makin
meningkat dari atas hingga ke bawah kolom, kemudian dilanjutkan dengan
46

sentrifugasi kecepatan rendah selama 15-30 menit. Sperma yang paling


motile akan menyeberangi gradient lebih cepat dan dapat diambil dari
endapan lunak di bawah kolom. Metode ini juga dapat menyeleksi populasi
sperma dengan morfologi normal. Sebagaimana yang terjadi pada prosedur
swim up, sperma yang didapatkan jauh lebih rendah daripada metode
pencucian konvensional.
Waktu dan Teknik
Untuk alasan yang jelas dan hasil yang terbaik, IUI harus dilakukan
bersamaan dengan waktu ovulasi baik spontan maupun dengan induksi.
Sperma

normal

dapat

hidup

dalam

traktus

reproduksi

wanita

dan

mempertahankan kemampuan untuk memfertilisasi telur setidaknya selama 3


hari, namun sebuah oocyte hanya dapat difertilisasi dengan sukses selama 1224 jam setelah dilepaskan. Pada pasangan fertil normal, kemungkinan terjadinya
konsepsi meningkat secara progresif dalam interval 5-6 hari dan puncaknya saat
intercourse dilakukan satu hari sebelum atau pada hari ovulasi. Masa hidup
sperma normal di traktus genitalia wanita, sebagian terkait dengan retensinya di
mucus cervix, yang dapat terlewati oleh IUI.

Meskipun belum terbukti, ada

alasan untuk percaya bahwa sperma mungkin memiliki masa hidup fungsional
yang lebih rendah setelah IUI. Secara logika, jumlah dan motilitas yang lebih
rendah dari sperma partner yang infertil mungkin akan memberikan lebih banyak
keterbatasan. Cryopreservation (awet beku) merusak sperma dan bahkan
sperma donor yang telah dicairkan dari kebekuan akan kehilangan viabilitas dan
motilitas lebih cepat daripada sperma normal segar. Waktu untuk dilakukannya
IUI dalam terapi faktor infertilitas pria, jauh lebih penting dalam menentukan
kesuksesan daripada waktu untuk dilakukannya intercourse alami pada
pasangan infertil, tidak peduli apakah yang digunakan adalah sperma dari
partner infertil ataukah sperma donor yang dibekukan.
Berbagai metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi ovulasi dan
untuk memastikan bahwa IUI dilakukan dengan waktu yang tepat, dideskripsikan
pada Chapter 27; hanya metode yang paling banyak digunakan saja dan
hubungannya dengan waktu ovulasi saja yang dirangkum dengan singkat di sini.
Ovulasi secara umum dapat diharapkan terjadi pada hari sebelum peningkatan
suhu basal tubuh di pertengahan siklus (basal body temperature/BBT) atau 1426 jam setelah kenaikan LH di urine pertama kali terdeteksi. Pada siklus natural
dan dengan stimulasi clomiphene, metode yang paling praktis dan dapat
47

dipercaya untuk menentukan waktu IUI yakni dengan monitoring LH urine dimulai
sekitar 3 hari sebelum ovulasi dan inseminasi dilakukan pada hari setelah
adanya LH surge. Bila ovulasi distimulasi dengan injeksi hCG eksogen pada
siklus natural ataupun yang distimulasi, IUI secara umum paling baik dilakukan
34-40 jam kemudian.
Segera sebelum IUI dilakukan, direkomendasikan untuk menghilangkan
kelebihan mucus di pucuk kateter yang dapat menyumbat kateter. Pucuk dari
kateter inseminasi kemudian dimasukkan ke ostium cervix dan dimasukkan
perlahan ke cavum uteri. Telah tersedia bermacam-macam kateter khusus
dengan bermacam tingkat kekakuan yang tersedia secara komersial dan dapat
digunakan. Desain dengan sheath luar yang lebih kaku dan dapat digulung
dengan kateter yang lebih fleksibel dan tidak traumatic di dalamnya, merupakan
yang paling baik digunakan. Spesimen inseminasi (sekitar 0.5 ml) harus
dimasukkan perlahan selama 10-30 detik. Meskipun tidak ada data mengenai hal
tersebut, telah menjadi standar untuk membiarkan pasien tetap dalam posisi
telentang sekitar 15 menit setelah inseminasi.

Jumlah Inseminasi
Meskipun sejumlah pakar mengatakan bahwa dua inseminasi (12 dan 34
jam setelah induksi ovulasi dengan hCG) akan menghasilkan cycle fecundability
yang lebih tinggi daripada IUI tunggal, penelitian lain dengan desain yang sama
tidak menemukan keuntungan seperti yang disebutkan tadi. Sebuah meta
analisis terhadap 3 penelitian parallel yang melibatkan hampir 400 pasangan
menyimpulkan bahwa data yang tersedia tidak cukup untuk mencapai sebuah
kesimpulan pasti. Dua penelitian terhadap cycle fecundability setelah terapi
inseminasi donor, menyimpulkan bahwa dua inseminasi tidak lebih efektif
daripada satu inseminasi.
Sebagian besar wanita yang mengejar terapi inseminasi donor, adalah
wanita fertil dan dapat berkonsepsi dalam 4-6 siklus inseminasi; cycle
fecundability menurun hingga 2/3 setelahnya. Tingkat konsepsi kumulatif
hingga 12 siklus inseminasi mencapai 75-80%, namun 50% lebih rendah untuk
wanita dengan faktor infertilitas lainnya. Saat dikombinasikan dengan stimulasi
gonadotropin, inseminasi donor dapat sukses pada lebih dari separuh pasangan
yang mencapai superovulasi hingga 3 siklus. Sebagaimana diharapkan, tingkat

48

kesuksesan inseminasi dengan sperma partner yang infertil lebih rendah secara
signifikan, namun masih mendekati 30% setelah 6 siklus terapi. Jumlah siklus
terapi yang dilakukan harus mempertimbangkan pengaruh dari usia partner
wanita, adanya faktor infertilitas lainnya, durasi infertilitas, kualitas spesimen
inseminasi, dan jumlah folikel pre-ovulasi yang matur saat dilakukan stimulasi
ovarium empiris.
Pertimbangan Tambahan terkait Sperma Donor
Secara umum, bank sperma berbasis komersial dan berbasis universitas
merekrut donor muda yang sehat yang memiliki karakteristik fisik yang sesuai
dan kualitas semen yang sangat bagus. Meski demikian, penting untuk
dimengerti bahwa meskipun bank sperma secara umum mengikuti guideline
yang diberikan oleh American Society for Reproductive Medicine, namun mereka
tetap, saat ini, memiliki regulasi sendiri. Dalam pemilihan bank sperma, harus
dipertimbangkan apakah bank tersebut telah menjalankan guideline yang ada.
Guideline saat ini mensyaratkan skrining prospektif yang ekstensif terhadap
sperma donor sebelum diterima. Kualitas semen, termasuk evaluasi viabilitas
dan motilitas sperma setelah percobaan pembekuan dan pencairan, akan
mengeksklusi sekitar 75% dari seluruh kandidat. Riwayat kesehatan personal
dan pemeriksaan fisik, riwayat kesehatan keluarga, skrining genetik terhadap
cystic fibrosis dan status carrier lainnya (tergantung etnis), dan skrining untuk
infeksi menular seksual (sifilis, gonorrhea, Chlamydia, cytomegalovirus, hepatitis
B dan C, HIV tipe I dan II, dan human T-lymphocytic virus (HTLV) tipe I dan II,
akan mengeksklusi sekitar 5-10% kandidat lainnya. Donor sperma harus
diskrining secara berulang untuk infeksi menular seksual dalam interval tertentu.
Praktek bank sperma berubah selamanya setelah tahun 1985 setelah terjadi
serokonversi HIV pada 4 dari 8 wanita yang diinseminasi dengan sperma yang
telah dibekukan dari seorang carrier HIV asimtomatik (kemudian disebut HTLVIII). Saat ini, spesimen sperma harus dikarantina dan tidak boleh dibuka untuk
digunakan kecuali spesimen tersebut telah dikarantina sebelumnya sekurangnya
180 hari sebelum hasil tes paling baru menyatakan HIV negatif. Bahkan
meskipun sudah mengikuti guideline yang ada secara ketat, semen manusia
tidak

pernah

dapat

aman

sepenuhnya.

Meskipun

mungkin

kecil,

kemungkinannya tetap ada bahwa sperma donor yang dibekukan mengandung

49

mikroorganisme lain yang secara umum tidak dimasukkan sebagai infeksi


menular seksual atau virus lain yang belum diketahui.
Idealnya, tingkat cycle fecundability yang spesifik terhadap donor, yang
mungkin sangat bervariasi, juga harus ditentukan setelah dilakukan sejumlah
inseminasi. Meski demikian, informasi ini secara umum belum tersedia, terutama
karena outcome dari inseminasi donor sangat sulit untuk dilacak dengan akurat
dan bervariasi antar resipien, tergantung dari usia dan ada atau tidaknya faktor
infertilitas lainnya. Karena tidak adanya informasi mengenai hal tersebut, sangat
beralasan untuk memilih alternatif donor lain setelah 4-6 siklus inseminasi gagal,
bila tidak terdapat faktor infertilitas lainnya.
Meskipun kualitas spesimen sperma donor yang dibekukan secara umum
dapat dipercaya, namun seharusnya tidak diasumsikan.

Spesimen sperma

donor yang dibekukan secara umum tidak meliputi semua sperma dalam sebuah
ejakulat; khususnya ada satu porsi yang dipersiapkan dari masing-masing
sampel, tergantung kualitasnya.

Satu studi menemukan variasi 10 kali lipat

dalam jumlah sperma motile pada spesimen acak yang diambil dari 7 bank
sperma komersial (4.3-39 juta).

Sebagaimana bila menggunakan sperma

partner infertil, kemungkinan kesuksesan terapi inseminasi dengan sperma donor


akan meningkat seiring peningkatan jumlah sperma motile di spesimen dan
paling besar bila jumlahnya >20 juta.

Sebagian besar bank sperma

menggaransikan jumlah minimal sperma motile di setiap specimen, namun


garansi ini tidak selalu tercapai dan hanya berimplikasi berupa pengembalian
biaya pembayaran bila tidak tercapai.

Konsekuensinya, penting untuk

menentukan jumlah sperma motile setelah pencairan sampel sperma donor dan
mencari sumber alternatif bila kualitasnya menurun di bawah standar (10 juta
sperma motile).

TERAPI OPERASI UNTUK INFERTILITAS PRIA


Meskipun IVF dengan ICSI saat ini telah bermanfaat untuk menangani
faktor infertilitas pada pria bahkan dalam bentuk paling berat, termasuk obstruksi
traktus reproduksi yang tidak dapat diperbaiki dan azoospermia non-obstruktif,
namun biaya dan resiko yang ada masih besar. Untuk pria dengan azoospermia
obstruktif atau varicocele, terapi operasi spesifik dapat menjadi alternatif yang
berguna, namun kuncinya adalah pada pemilihan pasien yang selektif.

50

Vasovasostomy dan Vasoepididimostomy


Sekitar setengah juta pria Amerika menjalani vasectomy setiap tahun dan
sekitar 2-6% dari pria yang telah menjalani vasektomi pada akhirnya ingin
mengembalikan kembali prosedur yang sudah dijalani. Azoospermia obstruktif
dapat terjadi akibat injury iatrogenik pada vas deferens, biasanya selama operasi
perbaikan hernia.
Pada sebagian besar pria yang telah menjalani vasektomi, microsurgical
vasovasostomy atau vasoepididymostomy dapat mengembalikan patensi sistem
ductal dan mengembalikan sperma ke ejakulat. Bila pemeriksaan mikroskopis
dari cairan di ujung testis dan vas deferens tidak menemukan adanya sperma
bahkan setelah lavage, dapat dilakukan vasoepididymostomy. Bila sperma
ditemukan di cairan vas deferens setidaknya di satu sisi, microsurgical
vasovasostomy dapat mengembalikan sperma ke ejakulat pada hampir seluruh
pria yang telah menjalani vasectomy; obstruksi yang terjadi setelah patensi awal
dapat terjadi pada hingga 12% pria. Selama lebih dari 2 tahun setelah
vasovasostomy, tingkat kehamilan dapat diharapkan berada pada rentang 5060%, tergantung apakah terdapat faktor infertilitas lainnya. Kemungkinan
kehamilan sedikit menurun seiring waktu sejak vasectomy, namun tidak secara
dramatis; pada sebagian besar pria, operasi memberikan hasil yang setara atau
bahkan lebih baik daripada IVF dan ICSI. Operasi ulang mungkin memberikan
hasil yang sama bila usaha pertama tidak sukses secara teknik. Bila
dibandingkan dengan vasovasostomy, vasoepididymostomy seringkali kurang
sukses, dengan tingkat patensi antara 50% dan 85%, tingkat kehamilan antara
40-50%,

dan

terdapat

kemungkinan

besar

re-oklusi,

tergantung

lokasi

anastomosis. Cryopreservation sperma yang diambil saat operasi pembalikan


vasectomy menawarkan kesempatan pada pria dengan kegagalan prosedur,
untuk mendapatkan kehamilan dengan IVF dan ICSI tanpa diperlukan intervensi
lebih jauh.
Reseksi Duktus Ejakulatorius Trans-Urethra
Obstruksi duktus ejakulatorius seringkali bersifat kongenital, namun juga
dapat terjadi akibat prostatitis kronis atau kompresi oleh kista prostate atau kista
duktus vesikula seminalis dan mungkin dapat diperbaiki dengan reseksi transurethra. Aspirasi trans-rectal dengan guiding USG pada kista atau dilatasi duktus

51

ejakulatorius atau vesikula seminalis dan pemeriksaan mikroskopis dari aspirat


tersebut bisa mendapatkan sperma yang dapat dibekukan. Pengenalan indigo
carmine dye yang didilusikan di kontras radiografi dan X-ray membantu
menentukan lesi dan mengkonfirmasi kesuksesan operasi reseksi. Saat tidak
ada sperma yang ditemukan, dapat dilakukan vasografi, dan bila telah
terkonfirmasi adanya obstruksi duktus ejakulatorius, maka mungkin juga terdapat
obstruksi epididymis.

Pada kondisi tersebut, aspirasi sperma dari epididymis

dengan microsurgical atau biopsy testis dan pembekuan sperma untuk IVF dan
ICSI, secara umum dapat menjadi pilihan terapi yang lebih baik daripada
epididimovasostomy dan reseksi duktus ejakulatorius trans-urethra secara
bersamaan.
Reseksi trans-urethra terhadap obstruksi duktus ejakulatorius dapat
meningkatkan volume semen pada sekitar 2/3 pria dan mengembalikan sperma
ke ejakulat pada sekitar dari pria dengan azoospermia. Hasil yang lebih baik
didapatkan pada pria dengan kista garis tengah dan pria dengan obstruksi
parsial daripada pria dengan obstruksi komplit. Mengingat IVF dan ICSI
merupakan alternatif terapi yang jelas untuk reseksi urethral, namun operasi
yang sukses dapat memungkinkan banyak pria untuk berkonsepsi secara alami
atau melalui IUI tanpa memerlukan ART.
Perbaikan Varicocele
Prevalensi varicocele adalah sekitar 15% dari populasi pria normal dan
sekitar 40% dari pria infertil. Bukti-bukti yang ada mengindikasikan bahwa
varicocele memiliki efek buruk terhadap spermatogenesis.

Patofisiologi yang

terlibat masih belum jelas, namun secara luas dipercaya melibatkan reflux vena
dan peningkatan suhu testis karena spermatogenesis jelas sangat sensitif
terhadap suhu. Karena hanya varicocele yang dapat diraba saja yang terbukti
terkait dengan infertilitas, maka peralatan diagnosis lain (USG scrotal,
thermografi, USG Doppler, radionuclide scanning, dan venografi spermatic)
secara umum tidak diperlukan untuk pria infertil tanpa varicocele yang teraba.
USG scrotal mungkin berguna bila hasil pemeriksaan fisik tidak meyakinkan dan
venografi spermatik dapat membantu menentukan lokasi vena spermatik yang
mengalami reflux yang terjadi atau tetap ada setelah perbaikan.
Perbaikan varicocele terutama diindikasikan untuk pria dengan varicocele
yang teraba dan parameter semen yang abnormal, yang memiliki partner dengan

52

fertilitas normal atau infertilitas yang masih dapat diperbaiki atau ada ketertarikan
pada fertilitas di masa depan. Pria remaja dengan varicocele unilateral atau
bilateral yang disertai dengan penurunan ukuran testis, mungkin juga merupakan
kandidat untuk varicocelectomy; sedangkan pria dengan ukuran testis normal
harus tetap diikuti dengan teliti untuk mendeteksi adanya penurunan ukuran
testis atau kualitas semen. Senada dengan hal tersebut, pria muda dengan
varicocele yang teraba dan semen yang normal, memiliki resiko disfungsi testis
progresif dan harus diawasi untuk mendeteksi adanya bukti penurunan kualitas
semen.
Pilihan terapi untuk pria dengan kualitas semen abnormal yang terkait
dengan varicocele yang teraba, antara lain perbaikan operatif, IUI, dan IVF
dengan atau tanpa ICSI. Pilihan terbaik di antara pilihan tersebut tergantung dari
usia partner wanita dan adanya faktor infertilitas lain. Varicocelectomy
menawarkan keuntungan yang potensial berupa kesembuhan permanen dan
konsepsi alami. Bahkan bila terdapat indikasi dilakukannnya IVF dari partner
wanita, perbaikan varicocele tetap dapat dipertimbangkan karena operasi dapat
mengembalikan sperma ke ejakulat dari beberapa pria dengan azoospermia nonobstruktif.
Varicocele

dapat

diperbaiki

dengan

berbagai

pendekatan

operasi

(retroperitoneal, inguinal, subinguinal, laparoskopik) atau dengan embolisasi


perkutan.

Belum satu metodepun yang terbukti lebih bagus dari yang lain.

Sebagian besar spesialis reproduksi lebih memilih perbaikan microsurgical di


inguinal atau subinguinal.

Embolisasi perkutan untuk varicocele memerlukan

keahlian dalam teknik radiologi intervensi dan tidak tersedia secara universal.
Terapi operasi mengkoreksi sekitar 90% varicocele; hasil yang dicapai dengan
embolisasi bahkan lebih besar lagi.
Kualitas semen meningkat setelah dilakukan perbaikan varicocele dan pria
dengan varicocele besar secara umum merasakan perbaikan yang signifikan.
Hasil yang dicapai dari perbaikan varicocele bervariasi sangat luas dan bukti
adanya perbaikan fertilitas masih kurang. Hasil dari dua penelitian random pada
pria dengan varicocele yang teraba, parameter semen abnormal, dan partner
wanita normal, mungkin menjadi bukti yang paling informatif. Pada salah satu
penelitian, 60% yang menjalani perbaikan melalui operasi, mendapatkan
kehamilan dengan partner mereka selama 1 tahun pertama post operasi,
dibandingkan hanya dengan 10% kontrol yang tidak diterapi; setelah perbaikan

53

operatif terhadap varicocele pada pria fertil yang sebelumnya tidak diterapi, 40%
pasangannya mendapatkan kehamilan pada tahun setelahnya. Pada penelitian
kedua, pria yang menjalani perbaikan varicocele mengalami perbaikan
parameter semen dibandingkan kontrol yang tidak diterapi, namun partner
mereka tidak mendapatkan kehamilan. Satu manfaat potensial tambahan dari
varicocelectomy juga harus disebutkan. Bahkan bila perbaikan varicocele tidak
diikuti dengan konsepsi yang terjadi alami, perbaikan pada parameter semen
saja sudah cukup untuk dilakukannya IUI, di mana IVF tidak perlu dilakukan atau
untuk melakukan IVF dengan fertilisasi konvensional tanpa ICSI.
Orchipexy
Cryptorchidism terkait dengan tingginya insiden infertilitas meski hanya
bersifat unilateral; saat kedua testis mengalami undesensus, pasti terjadi
azoospermia. Terkadang, testis yang mengalami undesensus tidak terdeteksi
hingga dewasa; bila testis kontralateral normal, maka fertilitas bisa tetap ada.
Bahkan pada pria dewasa dengan cryptorchidisme bilateral, orchipexy dapat
menghasilkan spermatogenesis dan fertilitas; setidaknya, orchipexy dapat
menjaga produksi hormon testicular.

Stimulasi Vibrasi dan Elektroejakulasi


Pria dengan gangguan neurologis yang mengenai sistem simpatis,
seringkali mengalami disfungsi atau bahkan ketiadaan emisi. Contohnya adalah
pria dengan spinal cord injury, demyelinating neuropathies, diabetes, dan pria
yang menjalani diseksi nodus limfe retroperitoneal. Pada sebagian besar kasus,
ejakulasi dapat dicapai dengan stimulasi vibrasi, dan pada yang tidak berespon,
dapat digunakan elektroejakulasi untuk mendapatkan sperma motile untuk IUI
atau IVF dan ICSI. Karena bisa terjadi ejakulasi retrograde, teknik tambahan
untuk pengambilan sperma dari vesika urinaria juga harus ditambahkan.
TEKNOLOGI REPRODUKSI DENGAN BANTUAN
IVF dan ICSI telah merevolusi terapi terhadap infertilitas pada pria.
Sebagaimana dilakukannya sejak awalnya, IVF melibatkan inseminasi dari setiap
oocyte dengan 2-6 juta sperma; konsekuensinya, metode ini memiliki
keterbatasan untuk diaplikasikan bila partner pria mengalami oligospermia berat.

54

Dengan perbaikan teknik seiring waktu, jumlah sperma motile yang digunakan
untuk inseminasi diturunkan menjadi 50.000-100.000 untuk setiap oocyte,
sehingga membuka kesempatan ART untuk pasangan dengan infertilitas pada
partner pria.

Kemajuan ICSI kemudian makin memperluas kapabilitas untuk

mengatasi bahkan bentuk paling berat dari infertilitas pria. Saat ini, faktor pria
merupakan diagnosis tunggal yang paling banyak didapatkan di antara pasangan
yang menjalani IVF. Ringkasan nasional tingkat kesuksesan ART di US untuk
tahun 2001 menyimpulkan bahwa 19% dari semua siklus dilakukan dengan
indikasi infertilitas pria dan pada 18% siklus lainnya, faktor pria merupakan satu
dari banyak faktor infertilitas gabungan. Pada hampir 80% pasangan dengan
faktor infertilitas pada pria yang menjalani IVF, juga dilakukan ICSI. Secara
umum, hasil yang didapatkan dari IVF pada pasangan dengan faktor infertilitas
pada pria, dengan atau tanpa ICSI, setara dengan hasil pada pasangan dengan
indikasi lain untuk dilakukannya IVF.
Meskipun ICSI sekarang diterapkan dengan bebas pada siklus IVF, bahkan
pada pasangan tanpa faktor infertilitas pada pria, sebenarnya ICSI secara
spesifik diindikasikan untuk pasangan dengan faktor infertilitas pria yang berat di
mana sangat mungkin terjadi kegagalan atau fertilisasi yang buruk. Bila hanya
sedikit atau tidak ada sperma yang viable yang dapat diambil dari ejakulat, ada
sejumlah teknik pengambilan sperma yang dapat digunakan untuk IVF dan ICSI.
Bahkan bila sejumlah besar dapat terambil, ICSI masih dapat dilakukan karena
sperma yang didapatkan dari sistem reproduksi yang telah terobstruksi kronis
biasanya memiliki motilitas yang buruk dan penurunan kapasitas fertilisasi.
Aspirasi Sperma dari Epididimys
Sperma bisa didapatkan melalui aspirasi microsurgical epididymis pada
saat dilakukan vasoepididymostomy atau sebagai sebuah prosedur tunggal pada
pria dengan ketiadaan vas deferens bilateral kongenital atau obstruksi yang tidak
dapat dikoreksi. Teknik ini melibatkan insisi pada tubulus yang terdilatasi,
mengarah ke proksimal secara perlahan, bila perlu, hingga didapatkan adanya
sperma. Sperma dikumpulkan ke dalam micropipette melalui aksi kapiler dengan
kompresi lembut pada testis dan epididymis kemudian dimasukkan ke dalam
kontainer yang berisi sedikit media kultur IVF.

Sperma yang telah terambil

dibekukan dalam berbagai porsi untuk digunakan dalam siklus IVF, bila
diperlukan.

55

Aspirasi sperma epididymis percutaneous menggunakan fine needle (jarum


halus) juga telah dilakukan dengan sukses untuk mendapatkan sperma dan
memperoleh kehamilan, namun teknik ini kurang dapat dipercaya karena
terkadang hanya didapatkan sejumlah kecil sperma yang tidak mencukupi untuk
dibekukan, dan tingkat kehamilan yang didapatkan secara umum lebih rendah
daripada teknik operasi terbuka.
Ekstraksi dan Aspirasi Sperma dari Testis
Pada pria dengan azoospermia non-obstruktif dan pria yang menjalani
aspirasi sperma epididymis namun gagal atau tidak dapat dilakukan sama sekali,
maka sperma bisa didapatkan mellui 3 teknik. Ekstraksi sperma testis dengan
open microsurgical menghasilkan sejumlah besar sperma yang berpotensi untuk
dibekukan. Percutaneous core biopsy atau aspirasi testis juga telah dijelaskan
dan paling dapat dilakukan untuk pria dengan spermatogenesis normal namun
terjadi azoospermia obstruktif.
Dengan menggunakan teknik open microsurgical, sperma dapat diambil
dari sebagian besar pria. Perbesaran akan menurunkan resiko injury terhadap
suplai darah testis, meningkatkan kemungkinan didapatkannya specimen biopsy
yang bebas darah, dan memungkinkan identifikasi tubulus dengan kaliber besar
yang lebih menghasilkan sperma. Kehamilan normal telah dapat dicapai pada
pria dengan kegagalan testis baik kongenital maupun dapatan, azoospermia post
kemoterapi, dan Klinefelter syndrome.
Resiko Genetik Terkait ICSI
Karena ICSI mungkin telah melewati proteksi keamanan alami yang
berguna untuk mencegah fertilisasi oleh sperma dengan DNA abnormal atau
rusak, maka ada alasan untuk memikirkan bahwa anak yang lahir melalui ICSI
mungkin mengalami peningkatan resiko anomaly kromosom dan anomaly
kongenital mayor lainnya, kanker, atau infertilitas. Sebagian besar penelitian,
namun tidak semua, telah gagal mengidentifikasi adanya kenaikan insiden
malformasi kongenital mayor di antara anak yang lahir melalui ICSI (di luar yang
terkait dengan IVF konvensional), mungkin karena embryo yang berasal dari
DNA paternal yang rusak, tidak akan terimplantasi dan secara alami terbuang.
Apapun itu, analisis karyotyping dan delesi kromosom Y tetap harus dilakukan
pada semua pria dengan faktor infertilitas yang berat yang merupakan kandidat

56

untuk IVF dengan ICSI dan diperlukan evaluasi tambahan lain untuk menentukan
apakah terdapat resiko yang mempengaruhi anak yang lahir melalui ICSI.

57

CHAPTER 31
INDUKSI OVULASI

INDUKSI OVULASI
Meskipun tampaknya sudah sering dilakukan saat ini, atau bahkan rutin,
kemampuan untuk menginduksi ovulasi dan mendapatkan kehamilan pada
wanita infertil anovulasi masih merupakan salah satu dari pencapaian terbesar
dalam endokrinologi reproduktif. Dahulu masih terbatas hanya pada clomiphene
citrate, namun terapi induksi ovulasi saat ini sudah jauh lebih berkembang dan
mencakup berbagai agen yang dapat digunakan untuk mengembalikan siklus
ovulasi atau bila perlu, untuk menstimulasi perkembangan folikel ovarium dan
ovulasi secara langsung.
Bila anovulasi merupakan satu-satunya faktor infertilitas, prognosis untuk
terjadinya kehamilan sangatlah bagus karena strategi induksi ovulasi modern
sangatlah efektif. Bila anovulasi disebabkan oleh penyebab spesifik yang masih
dapat diatasi, induksi ovulasi dapat mencapai tingkat kehamilan yang setara
dengan yang didapatkan pada populasi normal. Bila penyebab yang spesifik
tidak dapat ditentukan, sebagaimana pada sebagian besar wanita anovulasi,
maka induksi ovulasi dapat menjadi titrasi tambahan yang terorganisasi dan
empiris yang ditujukan untuk mengidentifikasi regimen terapi yang dapat
diberikan dengan sukses, sesuai pertimbangan resiko dan biaya.

Bila terapi

gagal mencapai ovulasi atau dapat menginduksi ovulasi namun gagal mencapai
kehamilan, biasanya dapat dilakukan terapi yang lebih agresif dengan hasil yang
seringkali sukses, namun tentu dengan biaya dan resiko yang jauh lebih besar.
Faktanya, hampir semua wanita infertil akibat anovulasi, dapat diinduksi untuk
mencapai ovulasi. Sayangnya, banyak di antaranya tidak mencapai konsepsi,
untuk alasan-alasan yang belum pasti.
Anovulasi merupakan penyebab utama infertilitas, dan para dokter yang
merawat para pasangan infertil harus memiliki pengertian yang mendalam
mengenai berbagai pilihan terapi, indikasi, serta resikonya. Dengan berpedoman
pada tujuan tersebut, chapter ini meninjau prinsip-prinsip yang mengatur terapi
tradisional serta strategi terapi yang lebih modern, hasil yang dapat dicapai, serta
resiko yang terkait dengan terapi tersebut.

58

DIAGNOSIS ANOVULASI
Untuk memulai semua diskusi mengenai induksi ovulasi disumsikan bahwa
diagnosis anovulasi telah benar-benar ditegakkan. Wanita dengan menstruasi
ireguler, tidak dapat diprediksi, atau jarang, tidak memerlukan tes diagnosis yang
spesifik untuk membuktikan apa yang sudah jelas. Bila diduga terdapat
anovulasi, namun masih belum dapat dipastikan, dapat dilakukan pencatatan
basal body temperature (BBT) atau pengukuran progesterone dalam waktu yang
sesuai untuk mengkonfirmasi kecurigaan klinis secara obyektif. Kedua metode
tersebut didiskusikan mendetail di Chapter 27 dan hanya dirangkum dengan
singkat di sini. Tes lain yang lebih canggih untuk ovulasi adalah monitoring
terhadap ekskresi hormone LH di urine untuk mendeteksi LH surge di
pertengahan siklus dan pemeriksaan USG trans-vagina serial, yang dapat
berguna saat ovulasi telah berhasil diinduksi, namun tidak diperlukan untuk
diagnosis ovulasi.
Siklus ovulasi khususnya terkait dengan pola klasik biphasic dari basal
body temperature (BBT), yang apabila ada, maka tidak sulit untuk dikenali. Pola
BBT yang kacau, di mana tidak terdapat pergeseran thermogenic di pertengahan
siklus atau interval kenaikan temperature yang berkepanjangan sebelum onset
menstruasi, sangat mengarahkan ke anovulasi. Pencatatan biphasic di mana
menstruasi secara konsisten dimulai sebelum hari ke-12 setelah peningkatan
BBT di pertengahan siklus, menunjukkan durasi fase luteal yang pendek, yang
merupakan bentuk disfungsi ovulasi yang lebih tak kentara, namun juga
penting.Meski relatif jarang, pada beberapa wanita dengan ovulasi normal
memiliki BBT yang tidak tampak biphasic. Bila menstruasi reguler, bisa diprediksi,
dan memiliki karakteristik yang konsisten, namun BBT tidak sepenuhnya
biphasic, dapat dilakukan evaluasi dengan metode yang lebih obyektif sebelum
membuat diagnosis anovulasi.
Bila dilakukan pada waktu yang tepat, pengukuran serum progesterone
merupakan tes yang paling sederhana dan dapat dipercaya untuk mengetahui
fungsi ovulasi. Konsentrasi progesterone <3 ng/ml menunjukkan adanya
anovulasi, kecuali bila dilakukan pengambilan sesaat setelah ovulasi atau sesaat
sebelum onset menstruasi, di mana memang biasanya levelnya lebih rendah.
Dengan mempertimbangkan bahwa siklus ovulasi normal dapat berlangsung 2535 hari dan fase luteal dapat berlangsung sekitar 14 hari, level serum

59

progesterone biasanya paling baik diambil pada saat atau setelah hari-21, sekitar
1 minggu sebelum onset menstruasi, di mana konsentrasinya seharusnya
mendekati atau telah mencapai puncak.
Berkebalikan dengan pendapat dan praktik umum, hari ke-21 dari siklus
bukan selalu waktu yang terbaik untuk memeriksa konsentrasi serum
progesterone dan level batas yang mengindikasikan adanya ovulasi bukanlah 10
ng/ml. Hari ke-21 dari siklus merepresentasikan waktu yang bagus untuk
pengukuran progesterone hanya pada wanita dengan siklus menstruasi reguler
yang berlangsung sekitar 28 hari. Dengan alasan ini, pengukuran progesterone
yang dilakukan 7 hari sebelum onset menstruasi menjadi petunjuk yang lebih
baik.

Konsentrasi serum progesterone di fase mid-luteal >10 ng/ml jelas

mengindikasikan fungsi luteal yang normal, namun tidak bila fase luteal yang
terjadi sangatlah pendek. Level progesterone <10 ng/ml dapat sepenuhnya
normal, bahkan bila dalam fase mid-luteal, karena sekresi progesterone corpus
luteum bersifat pulsatile dan pengambilan sampel secara random dapat
bertepatan dengan penurunan progesterone di level sirkulasi.
EVALUASI SEBELUM INDUKSI OVULASI
Penyebab anovulasi sangatlah banyak dan bervariasi. Penyakit thyroid,
hiperprolactinemia, penyakit adrenal, tumor pituitary atau ovarium, gangguan
makan, penurunan berat badan atau olahraga ekstrim, polycystic ovary
syndrome, dan obesitas, merupakan hal-hal yang sering terkait dengan disfungsi
ovulasi. Bila memungkinkan, terapi harus ditujukan untuk mengatasi penyebab
utama, bila penyebab utama tersebut dapat ditentukan karena terapi spesifik
memiliki kemungkinan sukses yang besar, dan banyak kondisi akan berdampak
terhadap kesehatan dalam jangka panjang bila tidak dideteksi dan diterapi.
Semua wanita yang mengalami anovulasi, setidaknya harus menjalani
beberapa evaluasi awal untuk mengeksklusi adanya kondisi patologis yang
penting yang memerlukan perhatian sebelum dimulai terapi dan untuk
mengidentifikasi bentuk terapi yang akan mencapai kesuksesan paling besar.
Chapter 11 menjelaskan tentang penyebab dan manajemen amenorrhea dan
galactorrhea. Chapter 12 dan 13 mendiskusikan patofisiologi dan terapi
polycystic ovary syndrome dan hirsutisme. Chapter 15 mendeskripsikan evaluasi
untuk perdarahan uterus disfungsional. Setidaknya, skrining untuk hipotiroidisme
(TSH) dan hiperprolaktinemia (serum prolactin dan pemeriksaan teliti untuk

60

mendeteksi galactorrhea) penting untuk dilakukan karena kedua gangguan


tersebut lebih baik diterapi dengan medikasi selain clomiphene. Karena kondisi
anovulasi kronis terkait dengan peningkatan resiko hyperplasia endometrium dan
neoplasia endometrium, maka juga harus dipertimbangkan untuk dilakukan
pengambilan sampel endometrium, tergantung riwayat menstruasi.
Klasifikasi Gangguan Ovulasi
Setelah

mengevaluasi

penyebab

anovulasi,

semua

wanita

dapat

diklasifikasikan berdasarkan deskripsi umum dari gangguan ovulasi sesuai


kriteria WHO. Anovulasi hiperprolactinemia dianggap sebagai kriteria ke-IV dan
terpisah secara khusus.

Grup I: Kegagalan Hipothalamus-Pituitary


Klasifikasi ini meliputi wanita dengan amenorrhea hipothalamik, termasuk
yang terkait dengan stress, penurunan berat badan, olahraga, anorexia
nervosa dan variannya; Kallman syndrome; dan defisiensi gonadotropin,
namun tidak mencakup wanita dengan lesi massa hypothalamus atau
pituitary. Wanita dengan kegagalan hypothalamus-pituitary akan mengalami
hipogonadisme hipogonadotropik dengan level FSH dan estrogen yang

rendah namun dengan konsentrasi prolactin normal.


Grup II: Disfungsi Hipothalamus-Pituitary
Klasifikasi ini termasuk wanita dengan amenorrhea atau oligomenorrhea,
dengan atau tanpa hiperandrogenisme; wanita dengan polycystic ovary klasik
dan anovulasi juga termasuk dalam kategori ini. Wanita dengan disfungsi
hypothalamus-pituitary memiliki kadar FSH, estrogen, dan prolaktin yang

normal.
Grup III: Kegagalan Ovarium
Klasifikasi ini meliputi wanita dengan amenorrhea dan peningkatan
konsentrasi serum FSH, yang mengindikasikan kegagalan ovarium.

Evaluasi Faktor Infertilitas Lainnya


Anovulasi dapat memberikan berbagai penjelasan mengenai infertilitas,
namun tidak selalu menjadi satu-satunya faktor infertilitas. Sebelum memulai
segala bentuk induksi ovulasi, setidaknya harus dilakukan satu kali skrining
analisis semen karena faktor pria memberikan kontribusi penting pada 20-40%
pasangan infertil. Deteksi dini terhadap adanya faktor pria dapat membantu
mengurangi kesia-siaan waktu, kerja, dan biaya serta frustasi.

61

Evaluasi awal tambahan berupa histerosalpingografi (HSG) atau USG


transvagina dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pada wanita dengan riwayat
infeksi pelvis atau operasi sebelumnya, kehamilan ektopik, inflammatory bowel
disease, nyeri pelvis atau gejala lain endometriosis, atau pemeriksaan fisik
abnormal. Bila tidak terdapat faktor-faktor resiko tersebut, kemungkinan
didapatkannya hasil HSG abnormal adalah rendah dan HSG dapat ditunda untuk
tidak dilakukan pada wanita muda dan pada wanita yang tidak memerlukan
induksi ovulasi yang kompleks dan mahal. Pada wanita tua dengan kesempatan
yang rendah, penting untuk memeriksa secara obyektif semua faktor infertilitas
yang relevan sebelum dimulai terapi apapun, untuk memastikan bahwa
penggunaan waktu benar-benar bermanfaat. Pada wanita yang memerlukan
induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen, maka biaya, logistik, dan resiko
yang ada harus dipertimbangkan melalui evaluasi pre-eliminer yang hati-hati,
bahkan pada pasien dengan resiko abnormalitas anatomis yang rendah. HSG
dan USG transvaginal pre-eliminer direkomendasikan bila riwayat medis dan
pemeriksaan fisik mengarahkan kecurigaan adanya faktor infertilitas pada uterus
atau tuba, pada wanita usia >35 tahun, dan bila induksi ovulasi memerlukan
terapi dengan gonadotropin eksogen. Laparoskopi dan histeroskopi tidak
diperlukan pada sebagian besar wanita, namun sangat sesuai untuk wanita
dengan hasil HSG abnormal atau terdapat tanda dan gejala penyakit pelvis
berat.
INDUKSI OVULASI DENGAN CLOMIPHENE CITRATE
Clomiphene citrate pertama kali disintesis tahun 1956, diperkenalkan untuk
penelitian klinis pada tahun 1960, dan diterima pemakaian klinisnya di US pada
tahun 1967. Pada penelitian klinis tahap awal, 80% wanita anovulasi yang
diterapi clomiphene dapat mencapai ovulasi dan separuh dari wanita yang telah
mencapai ovulasi tersebut, dapat mencapai konsepsi. Pengalaman klinis yang
dikumpulkan bertahun-tahun kemudian tetap konsisten sesuai dengan hasil
penelitian pertama tersebut.
Farmakologi Clomiphene
Clomiphene adalah derivate dari triphenylethylene non-steroid dengan
kemampuan agonis dan antagonis estrogen. Meski demikian, pada hampir
semua kondisi, clomiphene bersifat sebagai antagonis murni atau anti-estrogen;

62

kemampuan estrogeniknya yang lemah hanya tampak secara klinis bila level
estrogen endogen sangat rendah. Clomiphene dibuang melalui liver dan
diekskresikan di feces; sekitar 85% akan tereliminasi dalam 1 minggu, namun
sisanya akan tetap berada di sirkulasi untuk waktu yang lebih lama. Clomiphene
merupakan campuran rasemik dari dua stereoisomer yang berbeda yakni
enclomiphene (dulu dikenal sebagai cis-clomiphene) dan zuclomiphene (dulu
dikenal sebagai trans-clomiphene). Enclomiphene merupakan isomer yang lebih
poten dan yang bertanggung jawab untuk aksi induksi ovulasi. Masa paruh
enclomiphene relatif pendek, sehingga konsentrasinya dalam serum meningkat
dan turun dengan cepat selama dan sesudah terapi. Zuclomiphene dieliminasi
dengan lebih lambat; level dalam serum masih dapat terdeteksi selama beberapa
minggu setelah pemberian dosis tunggal dan mungkin dapat terakumulasi secara
perlahan setelah pemberian beberapa siklus, namun tidak ada bukti yang
menyatakan bahwa residu zuclomiphene memiliki efek klinis atau konsekuensi
yang penting.

Mekanisme Aksi
Karena

strukturnya

mirip

dengan

estrogen,

maka

clomiphene

berkompetensi dengan estrogen untuk mengikat reseptor estrogen di nucleus sel


sepanjang sistem reproduksi.

Meski demikian, tidak seperti estrogen,

clomiphene tetap terikat untuk beberapa waktu dan menurunkan konsentrasi


reseptor dengan cara mengganggu proses re-cycling dari reseptor. Di level
hypothalamus, penurunan reseptor estrogen akan mencegah interpretasi akurat
63

level estrogen di sirkulasi; level estrogen di sirkulasi dianggap lebih rendah dari
sebenarnya. Penurunan negative feedback dari estrogen akan mengubah pola
sekresi GnRH dan menstimulasi peningkatan pelepasan gonadotropin pituitary,
yang kemudian akan meningkatkan perkembangan folikel ovarium.
Bila diberikan pada wanita ovulasi, clomiphene akan meningkatkan
frekuensi denyut GnRH, namun bila diberikan pada wanita anovulasi dengan
polycystic ovary syndrome di mana frekuensi denyut GnRH sudah tinggi, maka
clomiphene akan meningkatkan amplitude dari denyut GnRH (bukan frekuensi).
Level serum FSH dan LH akan meningkat selama terapi clomiphene dan
menurun kembali setelah selesai terapi hari ke-5.

Pada siklus terapi yang

sukses, satu atau lebih folikel akan tumbuh dan berkembang hingga mencapai
kematangan. Secara parallel, estrogen dalam serum akan meningkat secara
progresif dan pada akhirnya akan menginduksi LH surge dan ovulasi.
Kesimpulannya, clomiphene bekerja dengan menstimulasi mekanisme endokrin
normal yang menentukan axis hypothalamus-pituitary-ovarian feedback.
Indikasi Terapi Clomiphene
Clomiphene citrate adalah pilihan obat tradisional untuk induksi ovulasi
pada wanita infertil dengan anovulasi dengan fungsi thyroid normal, level
prolactin normal, dan tidak ada galactorrhea, yang juga menunjukkan adanya
bukti produksi estrogen endogen sebagaimana ditentukan oleh hasil evaluasi
klinis (oligomenorrhea, mucus cervix estrogenic), penentuan serum estradiol
(>40 pg/ml), atau melalui respon menstruasi yang normal terhadap challenge
progestational (WHO grup II).
Dengan mempertimbangkan lokasi aksinya di hypothalamus, tidak
mengagetkan bila clomiphene secara khusus tidak efektif untuk wanita dengan
hipogonadisme hipogonadotropik (WHO grup I). Level FSH yang rendah atau
normal pada wanita dengan amenorrhea hipothalamik, meskipun dengan level
estrogen

yang

rendah,

menunjukkan

adanya

abnormalitas

fungsi

axis

hypothalamic-pituitary-ovarium; karena bila fungsi tersebut normal, seharusnya


FSH tinggi.

Bila konsentrasi estrogen yang rendah tidak dapat menstimulasi

peningkatan

pelepasan FSH,

maka penurunan

negative feedback

dari

penurunan level estrogen oleh clomiphene pun tidak akan efektif. Terapi alternatif
yang biasanya dibutuhkan adalah stimulasi langsung pituitary (GnRH pulsatile
eksogen) atau stimulasi langsung ovarium (gonadotropin eksogen).

64

Defisiensi Fase Luteal


Karena corpus luteum berasal dari folikel ovarium, maka kapasitas
fungsionalnya sebagian bergantung pada perkembangan folikel sebelum
ovulasi. Sehingga, defisiensi fase luteal (didiskusikan detail di chapter 27)
dianggap sebagai bentuk ringan dari disfungsi ovulasi. Bentuk paling jelas
dan berat dari defisiensi fase luteal, durasi fase luteal yang pendek, terkait
dengan level FSH fase folikuler yang rendah. Sehingga clomiphene citrate
dapat menjadi terapi yang logis dan efektif untuk terapi kondisi tersebut.
Memang, level progesterone lebih tinggi pada siklus ovulasi yang diinduksi
oleh clomiphene daripada siklus spontan normal, mungkin karena terjadi
optimalisasi perkembangan folikel pre-ovulasi dan juga karena terapi dapat
menghasilkan lebih dari satu corpus luteum.

Infertilitas Tak Terjelaskan


Terapi clomiphene citrate secara umum terbatas untuk wanita dengan
disfungsi ovulasi, tapi juga dapat dilakukan untuk wanita dengan ovulasi
normal namun dengan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan, khususnya
mereka yang tidak ingin atau tidak dapat menjalani terapi yang lebih agresif.
Efikasi terapi clomiphene pada wanita dengan infertilitas yang tak terjelaskan
dapat dilihat dari koreksi terhadap defisiensi fase luteal yang tidak terdeteksi
atau pada terjadinya superovulasi dari lebih dari satu ovum. Terapi
clomiphene empiris paling efektif bila dikombinasikan dengan inseminasi
intrauterine (IUI), sebagai usaha untuk meningkatkan jumlah ovum dan
sperma.

Regimen Terapi Clomiphene


Clomiphene diadministrasi per oral, secara khusus dimulai pada hari ke-3
hingga ke-5 setelah onset menstruasi (baik spontan ataupun diinduksi oleh
progestin).

Tingkat ovulasi dan konsepsi serta hasil akhir berupa kehamilan

semua sama bila terapi dimulai dimanapun antara hari ke-2 siklus dan hari ke-5
siklus. Pada wanita amenorrhea, terapi dapat dimulai segera setelah dibuktikan
tidak ada kehamilan. Dosis clomiphene yang dibutuhkan untuk menginduksi
ovulasi terkait dengan berat badan namun tidak dapat diprediksi dengan tepat
untuk setiap individu.

Meskipun wanita obese seringkali memerlukan dosis

terapi clomiphene yang lebih tinggi, hasil yang dicapai hampir sama dengan
wanita yang kurus. Belum ada parameter klinis ataupun laboratoris yang terbukti

65

berguna dalam memprediksi kebutuhan dosis clomiphene yang dibutuhkan untuk


menginduksi ovulasi.

Terapi biasanya dimulai dengan tablet tunggal 50 mg per hari selama 5 hari
interval dan kemudian ditingkatkan, dengan penambahan 50 mg, pada siklus
selanjutnya hingga dicapai ovulasi. Sebagian besar wanita yang berespon
terhadap clomiphene, mencapai ovulasi pada level dosis 50 mg (52%) atau 100
mg (22%). Dosis yang lebih rendah (12.5-25 mg/hari) dapat dipertimbangkan
pada wanita yang telah terbukti sebelumnya sensitif terhadap obat ini atau wanita
dengan kista ovarium yang besar sehingga terapi dihentikan. Meskipun belum
disetujui oleh FDA, dosis yang lebih tinggi (150-250 mg/hari) terkadang dapat
sukses saat dosis yang lebih rendah mengalami kegagalan (150 mg=12%; 200
mg=7%; 250 mg=5%). Terapi dengan dosis hingga 150 mg masih dianggap
beralasan sebelum mempertimbangkan alternatif terapi yang lebih agresif.

Monitoring Terapi Clomiphene


Efektifitas terapi clomiphene dapat dan harus dievaluasi secara obyektif
dengan menggunakan salah satu metode yang tersedia sesuai penjelasan di

66

Chapter 27. Pilihannya dapat bervariasi dan harus didasarkan pada kebutuhan
dan pilihan dari wanita yang menjalaninya.
Metode yang sama yang digunakan untuk diagnosis anovulasi, dapat
digunakan untuk mengevaluasi respon terhadap terapi. Pencatatan BBT
merupakan

metode

yang

sederhana

dan

tidak

mahal,

namun

dapat

membosankan bila dilakukan dalam waktu lama. Level progesterone >3 ng/ml
dianggap sebagai bukti telah terjadinya ovulasi, meskipun waktu yang tepat tetap
menjadi kunci untuk memberikan interpretasi yang benar.

Tes yang lebih

canggih untuk mengetahui ovulasi akan memerlukan kebutuhan biaya dan


logistik yang lebih besar, yang sebenarnya tidak perlu dilakukan hanya dengan
tujuan untuk mengetahui apakah ovulasi sudah terjadi, namun dapat dilakukan
pada wanita yang telah mencapai induksi ovulasi sebelumnya.
Paket tes komersial yang dapat mengidentifikasi LH surge di urine pada
pertengahan siklus, dapat membantu menentukan bukan hanya apakah ovulasi
telah terjadi, namun juga kapan ovulasi terjadi dan menentukan panjangnya fase
luteal secara akurat.

Pada siklus ovulasi dengan induksi clomiphene pada

wanita anovulasi, LH surge biasanya terjadi pada hari 5-12 setelah terapi
berakhir, seringkali pada hari ke-16 atau 17 dari siklus, bila clomiphene diberikan
pada hari 5-9. Hasil biopsy endometrium berupa endometrium fase sekresi
menandakan bahwa baru saja terjadi ovulasi, namun besarnya biaya, resiko, dan
ketidaknyamanan yang terjadi tidak sesuai bila tujuannya hanya untuk
mengetahui ovulasi. USG trans-vaginal serial dapat mendemonstrasikan ukuran
dan jumlah folikel yang berkembang dan menyediakan bukti presumtif terjadinya
ovulasi, namun sekali lagi, besarnya biaya dan kebutuhan logistik membatasi
penggunaannya hanya pada wanita di mana metode lain telah gagal
mendapatkan informasi.

Pada pasangan dengan infertilitas yang tidak

terjelaskan yang menjalani terapi kombinasi clomiphene dan IUI, maka


pemeriksaan USG transvagina dapat membantu menentukan apakah terapi telah
sukses dalam menghasilkan lebih dari satu folikel mature pre-ovulasi. Sebuah
studi yang membandingkan cycle fecundability pada siklus yang diinduksi
clomiphene yang dimonitor dengan BBT, ekskresi LH urine atau USG
transvaginal, tidak menemukan manfaat yang jelas dari ketiga metode tersebut.
Di

masa

lalu,

dilakukan

pemeriksaan

pelvis

setiap

bulan

untuk

mengeksklusi kemungkinan adanya perbesaran ovarium residual yang signifikan


sebelum dimulai siklus baru terapi clomiphene. Penting untuk menunda terapi

67

lanjut bila ada gejala yang menunjukkan adanya kista besar atau ovarium yang
membesar abnormal, namun studi klinis dan pengalaman mengindikasikan
bahwa pemeriksaan fisik dasar atau USG tidaklah diperlukan. Namun demikian,
kontrol reguler tetap harus dipertahankan untuk meninjau progress terapi dan
untuk memastikan bahwa evaluasi lebih lanjut mungkin diperlukan tanpa
penundaan lagi.
Hasil Terapi Clomiphene
Clomiphene akan menginduksi ovulasi dengan sukses pada sekitar 80%
wanita yang telah dipilih dengan sesuai. Kemungkinan respon akan menurun
sesuai usia, index massa tubuh, dan adanya hiperandrogenemia pada wanita
anovulasi. Menariknya, wanita amenorrhea memiliki tingkat konsepsi yang lebih
tinggi daripada wanita oligomenorrhea, mungkin karena wanita infertil yang
mengalami menstruasi mungkin juga berovulasi, meskipun jarang, dan mungkin
juga memiliki faktor infertilitas lainnya.
Di antara para wanita infertil yang berovulasi sebagai respon terhadap
terapi clomiphene, cycle fecundability secara keseluruhan mendekati 15%.
Pada wanita tanpa faktor infertilitas lainnya, cycle fecundability dapat mencapai
22%, setara dengan hasil pada pasangan normal setelah penghentian
kontrasepsi dan pada pasangan dengan faktor infertilitas pada pria yang
menjalani terapi inseminasi donor. Tingkat kehamilan kumulatif 70-75%
diharapkan dapat terjadi setelah 6-9 siklus terapi.

Karena fertilitas biologis

menurun secara progresif seiring meningkatnya usia, maka perpanjangan terapi


clomiphene tidak sesuai bila dilakukan pada wanita >35 tahun. Bila kehamilan
tidak tercapai dalam 3-6 siklus ovulasi yang diinduksi clomiphene, maka evaluasi
terhadap infertilitas harus diperluas hingga secara spesifik dapat dilakukan
eksklusi faktor-faktor infertilitas lainnya yang belum terevaluasi atau untuk
merubah keseluruhan strategi terapi bila evaluasi yang dilakukan sudah lengkap.
Bila digunakan sebagai terapi untuk wanita dengan defisiensi fase luteal,
clomiphene

dapat

meningkatkan

durasi

fase

luteal,

konsentrasi

serum

progesterone, dan cycle fecundability. Hasil yang dicapai oleh terapi clomiphene
pada pasangan dengan infertilitas tak terjelaskan, didiskusikan mendetail di
Chapter 27. Terapi clomiphene empiris tunggal hanya memiliki manfaat relatif
sedikit, menghasilkan cycle fecundability sekitar 5% dan hanya satu kehamilan
tambahan untuk setiap 40 siklus terapi. Kombinasi antara terapi clomiphene dan

68

IUI menghasilkan cycle fecundability antara 8-10% dan sekitar tambahan satu
kehamilan untuk setiap 15-20 siklus terapi.
Efek Samping Clomiphene
Terapi clomiphene secara umum dapat ditoleransi dengan baik. Efek
samping kecil sering terjadi, namun jarang yang persisten atau berat hingga
memerlukan penghentian terapi. Clomiphene memang beresiko, namun jarang
menyebabkan komplikasi yang serius.
Hot flushes sementara pada interval terapi yang pendek, terjadi pada
sekitar 10% dari wanita yang menjalani terapi ini. Karena clomiphene
menyebabkan kesalahan persepsi sentral bahwa level estrogen endogen rendah,
maka juga dapat menyebabkan gejala vasomotor. Mood swing relatif sering
terjadi. Efek samping lain yang ringan dan lebih jarang terjadi adalah nyeri tekan
payudara, nyeri atau rasa tertekan pada pelvis dan mual. Gangguan visual
(penglihatan kabur atau ganda, scotomata, sensitivitas terhadap cahaya) jarang
terjadi (prevalensi <2%) dan reversible, namun ada sebuah laporan tunggal
mengenai

adanya

optic

neuropathy,

yang

bila

terjadi,

maka

dapat

dipertimbangkan untuk menghentikan terapi dan mencari metode lain untuk


induksi ovulasi.
Efek Antiestrogenik Perifer dari Clomiphene
Selama bertahun-tahun, sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa
perbedaan antara tingkat ovulasi dengan tingkat kehamilan yang dicapai dengan
terapi clomiphene merupakan akibat dari efek antiestrogenik clomiphene di lokasi
perifer sistem reproduksi yang tidak diinginkan dan tidak dapat dihindari. Efek
samping clomiphene terhadap endocervix, endometrium, ovarium, ovum, dan
embryo telah diketahui, namun belum ada bukti obyektif yang mengindikasikan
bahwa efek-efek tersebut terjadi atau memiliki konsekuensi klinis yang penting
pada sebagian besar wanita.

Mucus cerviks
Bukti-bukti yang didapat dari penelitian terkontrol menunjukkan bahwa
kualitas dan kuantitas produksi mucus cervix pada siklus terapi clomiphene
dapat dikurangi. Efek tersebut tergantung dosis dan lebih terjadi bila interval
69

antara akhir terapi dengan terjadinya ovulasi terlalu pendek, namun hal
tersebut juga tidak konsisten, karena mungkin seringkali efek tersebut hilang
oleh level serum estradiol yang lebih tinggi akibat perkembangan multifolikel
yang diinduksi oleh clomiphene atau karena sensitivitas end-organ lebih besar
pada beberapa individu.

Apapun itu, semua efek samping yang mungkin

disebabkan oleh clomiphene terhadap mucus cervix saat ini masih


diperdebatkan.

Pada tahun-tahun belakangan, bahkan evaluasi terhadap

mucus cervix sudah tidak dilakukan pada praktik klinis karena penelitian
terkontrol telah mendemonstrasikan bahwa pemeriksaan post coitus (tes
tradisional untuk faktor cervix) hanya memiliki sedikit nilai prediktif dan karena
regimen terapi modern untuk infertilitas persisten saat ini telah memasukkan
IUI secara rutin (terapi paling efektif untuk faktor infertilitas cervical, bila ada).

Pertumbuhan dan Perkembangan Endometrium


Telah dilaporkan adanya inhibisi terhadap pertumbuhan endometrium yang
dimediasi estrogen akibat terapi clomiphene. Meski demikian, efek ini minor
atau tidak sepenuhnya terjadi pada mayoritas wanita yang menjalani terapi
clomiphene. Dengan beberapa pengecualian, ketebalan puncak endometrium
pre-ovulasi pada siklus induksi clomiphene tetap berada dalam rentang
normal sama seperti siklus ovulasi spontan. Perubahan lain yang lebih tidak
terlihat pada morfologi endometrium akibat induksi clomiphene telah
dilaporkan,

namun

tidak

ada

relevansi

langsung

yang

didapatkan.

Clomiphene mungkin memang dapat menghambat pertumbuhan endometrium


pada beberapa wanita, dan dengan alasan yang sama, clomiphene dapat
menghambat produksi mucus cervix; namun kedua efek tersebut sama-sama
inkonsisten dan tidak memiliki signifikansi klinis, umumnya jarang, dan
biasanya tertutupi oleh level estrogen yang lebih tinggi pada siklus dengan
induksi clomiphene, dan tidak penting kecuali pada individu-individu yang
mengalami pertumbuhan endometrium yang sangat buruk (ketebalan puncak
pre-ovulasi <6 mm).
Pada individu dengan ketebalan endometrium yang selalu buruk meskipun
dengan siklus induksi clomiphene yang tampaknya normal, dapat diberikan
terapi alternatif yang logis dengan tamoxifen atau letrozole.

Tamoxifen

memiliki aksi induksi ovulasi mirip dengan clomiphene namun memiliki efek
agonis estrogen yang lebih besar terhadap endometrium. Letrozole adalah
aromatase inhibitor yang menginduksi ovulasi dengan menurunkan negative
feedback estrogen ke sentral melalui inhibisi produksi estrogen, dan bukan
70

berperan sebagai antagonis reseptor estrogen sehingga tidak memiliki efek


antiestrogenik.

Ovarium dan Embryo


Meskipun clomiphene dapat menghambat produksi hormone steroid oleh
sel kultur dari burung, sapi, dan sel granulosa/luteal manusia secara in vitro,
namun konsentrasi serum estrogen dan progesterone pada siklus yang
diinduksi clomiphene lebih tinggi, bukan lebih rendah, daripada konsentrasi
estrogen dan progesterone pada siklus ovulasi spontan. Clomiphene juga
memiliki efek buruk terhadap fertilisasi ovum dan perkembangan embryo tikus
in vitro. Meski demikian, penelitian terhadap wanita-wanita menunjukkan
bahwa konsentrasi serum enclomiphene dan zuclomiphene tidak pernah
mendekati level yang dapat menyebabkan efek tersebut, bahkan setelah
beberapa siklus terapi yang berkelanjutan.

Resiko Terapi Clomiphene


Berbagai

pertanyaan

bermunculan

mengenai

resiko

kemungkinan

munculnya kehamilan ganda, anomaly kongenital, dan kemungkinan efek buruk


lainnya terkait terapi clomiphene.

Kehamilan ganda
Resiko utama yang terkait dengan clomiphene adalah peningkatan
kemungkinan untuk mendapatkan kehamilan ganda. Peningkatan sekresi FSH
akibat induksi clomiphene hanya bersifat sementara, dan mekanisme seleksi
normal masih bekerja untuk mendapatkan hanya satu folikel mature pada
sebagian besar siklus terapi wanita anovulasi. Meski demikian, terjadinya
perkembangan multifolikel sangat sering, dan resiko kehamilan ganda
meningkat hingga 5-8%. Hampir semua kehamilan ganda yang terjadi setelah
siklus terapi clomiphene adalah kembar dua, sedangkan kembar tiga atau
lebih jarang namun pernah terjadi.

Resiko gestasi multifetus yang tinggi

adalah salah satu alasan lain untuk melakukan terapi dengan dosis
clomiphene paling rendah yang paling efektif; dosis yang lebih tinggi tidak
akan memperbaiki hasil dan hanya beresiko menimbulkan superovulasi dan

kehamilan ganda dengan semua komplikasi antenatal dan neonatal.


Anomaly kongenital
Tidak ada bukti yang substansial bahwa terapi clomiphene meningkatkan
resiko umum defek kelahiran atau anomaly secara khusus. Beberapa seri

71

laporan kasus besar telah memeriksa pertanyaan tersebut dan mendapatkan


kesimpulan yang sama. Pernyataan awal yang menyatakan bahwa resiko
defek neural tube mungkin lebih tinggi pada kehamilan yang didapatkan
dengan terapi clomiphene tidak terkonfirmasi oleh penelitian-penelitian yang
lebih baru. Sebuah studi kecil mengenai outcome kehamilan pada wanita
yang tidak sengaja terekspose clomiphene selama trimester pertama
kehamilan juga tidak menemukan adanya bukti teratogenesitas.

Abortus
Studi yang lebih awal menyimpulkan bahwa insiden abortus spontan pada
kehamilan yang dihasilkan melalui terapi clomiphene mungkin mengalami
peningkatan, namun sejumlah studi lain menyebutkan bahwa tingkat abortus
tidak berbeda dengan yang terjadi pada kehamilan spontan.

Sindroma Hiperstimulasi Ovarium


Insiden sindroma hiperstimulasi ovarium pada siklus induksi clomiphene
sulit untuk ditentukan karena definisi dari sindroma ini sendiri sangat
bervariasi di antara berbagai penelitian.

Secara umum, hiperstimulasi

ovarium ringan (ketidaknyamanan abdomen sementara, mual ringan, muntah,


diare, distensi abdomen) tidak jarang terjadi, namun hanya diperlukan
manajemen observasi. Bila induksi ovulasi dilakukan sesuai pola kenaikan
yang direkomendasikan untuk mendapatkan dosis efektif minimum, maka
resiko hiperstimulasi ovarium berat (perbesaran ovarium masif, peningkatan
berat badan masif, nyeri abdomen berat, mual dan muntah yang tidak
berhenti, ascites masif, oliguria) sangat jarang sekali terjadi.

Kanker Payudara dan Ovarium


Hasil dari dua studi epidemiologi menunjukkan bahwa resiko kanker
ovarium mungkin meningkat pada wanita yang terekspose dengan obat
penginduksi ovulasi. Penelitian pertama merupakan penelitian case control,
yang menyimpulkan bahwa resiko kanker ovarium hampir 3 kali untuk semua
wanita yang diterapi, namun metodologi studi ini banyak dikritik karena
berbagai alasan. Kecacatan yang paling penting adalah bahwa studi tersebut
membandingkan wanita infertil yang diterapi terhadap wanita fertil, dan bukan
dengan wanita infertil yang tidak diterapi, meskipun infertilitas dan nulliparitas
telah diketahui sebagai salah satu faktor resiko untuk kanker ovarium.
Tampaknya tidak terdapat peningkatan resiko kanker ovarium pada wanita
yang diterapi dan memperoleh kehamilan, kecuali pada wanita yang tidak

72

memperoleh kehamilan. Penelitian kedua juga merupakan penelitian case


control yang menemukan bahwa resiko tumor ovarium meningkat pada wanita
yang diterapi clomiphene selama 12 siklus atau lebih, dan penelitian ini juga
dikritik secara luas, terutama karena penelitian ini memasukkan kanker dari
semua tipe dan tumor dengan potensi keganasan yang rendah meskipun
patofisiologinya berbeda.
Studi selanjutnya mendapatkan hasil yang menggembirakan. Sebuah
kumpulan analisis terhadap hasil dari 8 studi case control menemukan bahwa
obat fertilitas yang digunakan pada wanita nullipara subfertil terkait dengan
sedikit peningkatan insiden tumor ovarium serosa borderline (OR=2.43,
CI=1.01-5.88) namun tidak untuk kanker invasif (OR=1.60, CI=0.90-2.87).
Meskipun sebagian besar penelitian tidak menemukan bukti bahwa
penggunaan obat fertilitas dapat meningkatkan keseluruhan resiko kanker
payudara, hasil dari satu studi case control menunjukkan bahwa penggunaan
jangka panjang atau berulang dari gonadotropin eksogen (6 siklus atau lebih),
dapat meningkatkan resiko, tapi tidak dengan clomiphene.
Beberapa wanita harus diberikan konseling bahwa belum ditemukan
hubungan sebab akibat antara obat induksi ovulasi dengan kanker ovarium
maupun

kanker

payudara.

Meski

demikian,

terapi

clomiphene

berkepanjangan umumnya sia-sia dan harus selalu dihindari, terutama karena


hanya memberikan harapan sukses yang kecil.

PILIHAN TERAPI SETELAH GAGAL DENGAN CLOMIPHENE


Istilah clomiphene failure pertama kali harus didefinisikan dengan spesifik.
Pada konteks saat ini, clomiphene failure menjelaskan kegagalan ovulasi
sebagai respon terhadap terapi clomiphene, namun bukan kegagalan konsepsi
meskipun ovulasi dengan induksi clomiphene telah sukses. Kegagalan konsepsi
merupakan indikasi yang jelas untuk dilakukannya evaluasi tambahan mengenai
adanya faktor infertilitas lainnya yang belum diketahui. Bila sudah dilakukan, dan
tetap terjadi infertilitas persisten, maka dianggap sebagai infertilitas tak
terjelaskan.
Meskipun sebagian besar wanita yang terseleksi akan sukses mengalami
ovulasi sebagai respon terhadap clomiphene, banyak pula wanita yang tidak
sukses. Stimulasi langsung ovarium dengan gonadotropin eksogen, merupakan
terapi alternatif yang paling jelas, namun bukan satu-satunya pilihan terapi yang
bisa dipertimbangkan. Banyak wanita infertil anovulatoar yang resisten
73

clomiphene, dapat berespon terhadap regimen terapi alternatif atau terapi


kombinasi. Pilihan lain di antaranya pemanjangan durasi terapi clomiphene (710 hari vs standar terapi 5 hari), terapi adjuvant dengan glukokortikoid atau hCG,
terapi

supresif

preeliminari

(kontrasepsi

oral),

agen

sensitisasi

insulin

(metformin), aromatase inhibitor (letrozole), dan terapi kombinasi. Untuk


beberapa wanita, operasi modern yang setara dengan reseksi sayap ovarium
klasik, disebut dengan ovarian drilling (pengeboran ovarium), juga dapat
dipertimbangkan. Penting untuk memahami strategi-strategi induksi ovulasi yang
jarang dilakukan tersebut, karena banyak pasangan yang enggan atau tidak
mampu untuk menjalani terapi gonadotropin setelah dikonseling masalah biaya,
kebutuhan logistik, dan resiko.
Kegagalan untuk berespon terhadap satu atau lebih terapi tersebut, bukan
merupakan syarat penggunaan terapi gonadotropin eksogen. Terapi-terapi
tersebut merupakan alternatif yang berguna dengan harga lebih murah dan
resiko lebih kecil. Meski demikian, untuk pasangan yang tidak ingin atau tidak
mampu menjalani terapi gonadotropin, terapi-terapi tersebut di atas, menjadi
pilihan terakhir bila terapi clomiphene telah gagal. Pemilihan terapi-terapi
tersebut tidaklah selalu sulit, namun harus mempertimbangkan beberapa elemen
spesifik dari riwayat kesehatan pasien, hasil evaluasi laboratorium, dan hasil
observasi dari siklus terapi clomiphene yang sebelumnya mengalami kegagalan.
Rangkaian Terapi Clomiphene yang Diperpanjang
Hingga 50% wanita yang resisten terhadap terapi clomiphene yang tidak
berespon dengan standar 5 hari terapi (150 mg/hari), mungkin dapat berovulasi
dengan durasi terapi clomiphene yang lebih panjang (7-10 hari terapi).
Clomiphene dan Glukokortikoid
Sejumlah studi telah memeriksa efikasi dari terapi adjuvant dengan
kortikosteroid pada wanita anovulatoar yang resisten terhadap clomiphene dan
semuanya

menemukan

bahwa

terapi

kombinasi

clomiphene

dengan

glukokortikoid dapat menginduksi ovulasi dengan sukses pada banyak wanita


yang tidak berespon hanya dengan clomiphene tunggal. Baik terapi kontinyu
maupun regimen terapi yang terbatas pada fase folikuler (siklus hari 5-14) telah
dideskripsikan,

dengan

menggunakan

prednisone

(5

mg/hari),

atau

dexamethasone (0.5-2 mg/hari). Bila beberapa penelitian telah menyimpulkan

74

bahwa terapi kombinasi clomiphene dan glukokortikoid paling efektif untuk wanita
yang memiliki peningkatan konsentrasi serum dehydroepiandrosterone sulfate
(DHAS), namun penelitian lain menemukan bahwa terapi tersebut juga efektif
pada wanita dengan level DHAS normal, dan pada wanita resisten clomiphene
yang tidak diseleksi apapun.
Pada sebuah penelitian random terbesar yang melibatkan lebih dari 200
wanita infertil anovulatoar yang resisten clomiphene, lebih dari 80% yang
menerima terapi kombinasi clomiphene (200 mg/hari siklus hari 5-9) dan
dexamethasone (2 mg/hari siklus hari 5-14) dapat mengalami ovulasi,
dibandingkan dengan hanya 20% yang dicapai oleh kontrol yang diberikan
clomiphene dan placebo; tingkat kehamilan kumulatif pada wanita yang
menerima dexamethasone (40%) adalah 10 kali lebih tinggi daripada yang
menerima placebo (4%). Mekanisme aksi glukokortikoid masih belum jelas,
namun

tampaknya

melibatkan

lebih

dari

sekedar

supresi

androgen.

Kemungkinan lain yakni efek langsung terhadap oocyte yang sedang


berkembang dan efek tidak langsung terhadap intrafollicular growth factor dan
sitokin yang mungkin bekerja sinergis dengan FSH. Apapun itu, terapi adjuvant
dengan glukokortikoid dapat diberikan untuk 3-6 siklus bila terbukti sukses,
namun harus dihentikan bila tidak sukses. Tidak ada bukti bahwa terapi
glukokortikoid menghasilkan efek samping atau resiko buruk bila digunakan
sesuai dosis dan durasi yang diindikasikan.
Clomiphene dan hCG
Meskipun masih sedikit data yang mendemonstrasikan nilainya, hCG
eksogen telah umum digunakan sebagai pengganti LH surge untuk menginduksi
ovulasi pada siklus yang diinduksi clomiphene, khususnya bila akan dilakukan
IUI, sebagaimana dilakukan pada pasangan dengan infertilitas tak terjelaskan
dan pada pasangan dengan faktor infertilitas pria lainnya. Terapi adjuvant hCG
dapat berguna, namun memiliki indikasi yang terbatas, kerugian yang jelas, dan
konsekuensi yang mungkin terjadi.
Pada wanita anovulatoir yang gagal untuk berovulasi dengan terapi
clomiphene tunggal, pemberian terapi adjuvant dengan hCG didasarkan pada
premis bahwa terapi clomiphene dapat sukses menstimulasi pematangan folikel
pre-ovulasi namun gagal untuk menginduksi LH surge endogen untuk
menginduksi ovulasi. Secara fisiologis, dan dalam praktus, scenario tersebut
paling tidak mungkin.

Selain itu, pemeriksaan USG trans-vaginal serial

75

diperlukan untuk mendemonstrasikan fenomena tersebut dan untuk memastikan


bahwa stimulus ovulasi diberikan pada waktu yang tepat. Bila diberikan secara
prematur dan tidak mempedulikan apapun, sebelum folikel dominan cukup
matang untuk berespon, hCG lebih akan menginduksi atresia dan bukan ovulasi.
Pertanyaan kapan waktu untuk memberikan hCG, tetap menjadi dilema. Studi
klinis mengindikasikan bahwa diameter puncak folikel preovulasi pada siklus
ovulasi yang diinduksi oleh clomiphene berkisar antara 18-30 mm (rata-rata 25
mm). Dengan mempertimbangkan bahwa folikel pre ovulasi tumbuh sekitar 2
mm per hari seiring makin dekat pada kematangan, maka intervalnya sekitar 6
hari. Normalnya, folikel pre ovulasi akan memicu stimulus ovulasinya sendiri
pada puncak kematangan dengan menghasilkan dan menjaga level estrogen
yang diperlukan untuk menginduksi LH surge. Waktu untuk LH surge spontan,
selalu optimal, namun dengan pemberian hCG, akan menjadi waktu tebaktebakan.
Saat dibutuhkan terapi kombinasi clomiphene dengan IUI, inseminasi
paling baik dilakukan pada hari setelah terdeteksi adanya LH surge spontan,
dengan menggunakan salah satu dari produk yang telah banyak tersedia saat
ini, karena ovulasi umumnya terjadi 14-26 jam setelah deteksi LH surge pada
urine. Meski demikian, batas terendah untuk deteksi LH biasanya antara 20-40
IU/l dan banyak wanita dengan ovulasi mencapai puncak LH di bawah 40 IU/l
atau mengalami surge dengan durasi pendek yang mungkin tidak terdeteksi;
sehingga hasil negatif palsu tidak jarang terjadi. hCG eksogen dapat berguna
pada beberapa wanita yang memerlukan IUI, namun berulang kali gagal untuk
mendeteksi LH surge meskipun bukti obyektif menunjukkan induksi ovulasi telah
sukses.

Pada kondisi ini, hCG lebih baik ditunda hingga folikel pre-ovulasi

mencapai atau melebihi diameter 20 mm. Ovulasi terjadi 34-46 jam setelah
injeksi hCG, sehingga IUI biasanya dilakukan sekitar 36 jam kemudian.
Bila LH surge tidak dapat terdeteksi, terapi adjuvant hCG jadi tidak bernilai
dan hanya akan menambah biaya serta ketidaknyamanan. Beberapa penelitian
telah membandingkan outcome dari siklus induksi clomiphene saat IUI dilakukan
setelah terjadi LH surge endogen dengan yang setelah injeksi hCG eksogen.
Hasilnya tidak lebih baik saat menggunakan hCG, dan pada beberapa kasus
justru lebih buruk. Ide bahwa meskipun hCG tidak diperlukan dalam induksi
ovulasi namun masih diperlukan untuk memastikan atau meningkatkan kualitas
fungsi luteal, juga tidak didukung oleh data-data yang ada. Pada siklus ovulasi

76

spontan, terapi hCG yang menambah LH surge endogen tidak berefek terhadap
durasi

fase

luteal

ataupun

terhadap

konsentrasi

serum

estrogen

dan

progesterone; hal yang sama didapatkan dari siklus ovulasi yang diinduksi oleh
clomiphene. Kesimpulannya, terapi adjuvant hCG paling baik hanya terbatas
pada sedikit wanita yang memerlukan IUI dan berhasil berovulasi namun LH
surge-nya pada pertengahan siklus tidak dapat terdeteksi.
Terapi Supresif Preeliminari
Dengan mempertimbangkan bahwa anovulasi merefleksikan adanya
disfungsi axis hypothalamus-pituitary-ovarium, maka sangat beralasan untuk
berpikir bahwa sebuah interval dengan terapi supresi preeliminer mungkin dapat
membantu untuk mengembalikan harmoni dan fungsi ovulasi, setidaknya untuk
sementara waktu.

Ide ini konsisten dengan hasil observasi klinis terhadap

beberapa siklus menstruasi yang menjadi normal segera setelah penghentian


kontrasepsi oral pada beberapa wanita yang sebelumnya mengalami pola
menstruasi abnormal. Banyak klinisi telah lama menggunakan kontrasepsi oral
secara empiris untuk mensupresi level androgen yang seringkali meningkat pada
wanita anovulatoir yang resisten terhadap clomiphene, dan saat ini telah ada
data yang mendukung praktek tersebut. Penelitian-penelitian pada wanita
anovulatoir yang sebelumnya resisten clomiphene, menunjukkan bahwa interval
2 bulan dengan menggunakan kontrasepsi oral dapat menekan serum LH dan
level androgen secara efektif sehingga tingkat ovulasi melebihi 70% dan tingkat
kehamilan kumulatif lebih dari 50% dapat dicapai dengan terapi clomiphene
segera setelahnya.
Agonis GnRH kerja panjang, baik tunggal maupun dengan kombinasi
dengan kontrasepsi oral, dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang sama.
Terapi supresi kombinasi agonis GnRH dengan kontrasepsi oral (6 bulan)
mencapai reduksi serum LH dan konsentrasi androgen yang lebih besar dan
lebih lama daripada terapi dengan kontrasepsi oral tunggal, dan juga mencegah
gejala defisiensi estrogen yang dapat terjadi bila agonis GnRH digunakan sendiri.
Siklus ovulasi spontan akan kembali segera setelah terapi supresi, bahkan
mungkin dapat menyingkirkan kemungkinan kebutuhan akan terapi clomiphene.
Agen Sensitisasi Insulin

77

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia saat ini telah diketahui sebagai


karakteristik umum dari polycystic ovary syndrome dan merupakan faktor
penyebab penting dari hiperandrogenisme dan anovulasi kronis yang menandai
penyakit tersebut. Wanita infertil anovulatoir dengan polycystic ovary syndrome
dan hiperinsulinemia juga lebih resisten terhadap terapi clomiphene. Obesitas
akan makin memperberat resistensi insulin yang ada.

Pada wanita infertil

anovulatoir yang obese dengan polycystic ovary syndrome, penurunan berat


badan

(5%

atau

lebih)

akan

menurunkan

hiperinsulinemia

dan

hiperandrogenisme dan seringkali dapat mengembalikan siklus ovulasi. Pada


sebuah penelitian, 60 dari 67 wanita obese anovulatoir (90%) yang telah
mengalami penurunan berat badan sekitar 10 kg/m2 melalui program diet dan
olahraga, kembali mengalami ovulasi spontan dan 52 (78%) diantaranya
akhirnya mencapai kehamilan, dan 18 (27%) diantaranya tanpa intervensi.
Target yang sesuai adalah BMI <27 (lihat nomogram untuk kalkulasi BMI,
Chapter 19). Penting untuk ditekankan bahwa penurunan berat badan tidak lebih
dari 5% dapat memberikan efek yang menguntungkan.
Hampir semua wanita anovulatoir obese dan banyak wanita anovulatoir
tanpa obesitas dengan polycystic ovary syndrome memiliki resistensi insulin. Hal
tersebut akan menyebabkan compensatory hyperinsulinemia, yang dapat
berkontribusi pada hiperandrogenisme ovarian dan juga mengganggu ovulasi
secara langsung. Meskipun tampaknya tidak perlu, observasi terhadap
hiperinsulinemia menyediakan bukti obyektif untuk konseling. Beberapa ahli juga
menyatakan bahwa semua wanita anovulatoir obese dengan polycystic ovary
syndrome harus diskrining apakah terdapat impaired glucose tolerance dan
diabetes, dengan cara mengukur level glukosa puasa dan level glukosa 2 jam
setelah diberikan 75 gram glukosa oral. Karena banyaknya variasi, saat ini
pengukuran

rasio

glukosa

puasa

tehadap

insulin

puasa

sudah

tidak

direkomendasikan lagi; oral glucose tolerance test saat ini merupakan metode
pemeriksaan yang paling dipercaya. Kami percaya bahwa semua wanita
anovulatoir yang hipoandrogenik harus diperiksa toleransi glukosanya dan
resistensi insulinnya dengan pemeriksaan level insulin dan level glukosa 2 jam
setelah pemberian 75 gram glukosa oral.

Normal
Impaired (terganggu)

Interpretasi respon glukosa 2 jam


<140 mg/dl
140-199 mg/dl

78

NIDDM

200 mg/dl
Interpretasi respon insulin 2 jam
Resistensi insulin sangat mungkin
100-150 IU/ml
Resistensi insulin
151-300 IU/ml
Resistensi insulin berat
>300 IU/ml

Deteksi peran patofisiologis resistensi insulin pada polycystic ovary


syndrome telah meningkatkan perhatian dalam penggunaan agen sensitisasi
insulin dalam terapi penyakit tersebut.

Metformin adalah sebuah agen oral

hipoglikemik dari kelas biguinade yang beraksi terutama dengan menurunkan


gluconeogenesis hepar, namun juga menurunkan absorbsi glukosa usus dan
meningkatkan

uptake

glukosa

perifer.

Troglitazone,

rosiglitazone,

dan

pioglitazone adalah agen hipoglikemik oral dari kelas thiazolidinedione yang


beraksi terutama dengan meningkatkan sensitifitas insulin perifer.

Pada

diabetes, obat-obat tersebut akan menurunkan level gula darah, namun pada
non-diabetes, obat ini hanya akan menurunkan level insulin.

Baik metformin

maupun thiazolidinedione telah digunakan dalam penelitian klinis pada wanita


dengan polycystic ovary syndrome.

Efeknya terhadap level dan sensitivitas

insulin, konsentrasi androgen, dan kapasitas klinis dan metabolik lainnya


dijelaskan di Chapter 12. Hasil dari penelitian mengenai efikasinya sebagai agen
induksi ovulasi yang akan dibahas di sini.

Metformin
Sejumlah studi memeriksa efek metformin pada tingkat ovulasi pada wanita
anovulatoir dengan polycystic ovary syndrome.

Sebagian besar penelitian

tersebut berdesain observasi, namun beberapa merupakan penelitian random


terkontrol, di antaranya beberapa membandingkan metformin dengan placebo
atau tanpa terapi. Sedangkan yang lain membandingkan antara terapi
metformin dan clomiphene dengan terapi clomiphene tunggal pada wanita
yang sebelumnya resisten clomiphene atau pada wanita yang tidak terseleksi
yang keduanya dengan polycystic ovary syndrome.

Sebagian besar

penelitian berukuran relatif kecil, yang meliputi tidak lebih dari 20 wanita pada
setiap terapinya, dan tidak ada studi yang membandingkan kelompok dengan
anggota >50 orang. Meskipun hampir seluruh penelitian terbatas pada wanita
overweight (BMI 25-29.9) dan obese (BMI 30) namun beberapa juga
mengikutkan wanita kurus, namun tetap saja BMI rata-rata melebihi 25 pada

79

seluruh penelitian (rentang 25.5-37.6). Mayoritas wanita yang diikutkan dalam


penelitian, namun tidak semua, memiliki hirsutisme atau hiperandrogenemia.
Regimen terapi metformin sedikit bervariasi, mulai dari 1.500 mg hingga 1.700
mg/hari (500-850 mg, 2-3x/hari).
Sebagian besar penelitian, namun tidak semua, telah menyimpulkan
bahwa terapi metformin tunggal dapat menginduksi ovulasi pada wanita
anovulatoir dengan polycystic ovary syndrome. Tingkat ovulasi pada wanita
yang diterapi metformin sangat bervariasi pada bermacam-macam penelitian,
mulai dari rendah yakni 8% hingga tinggi yakni 82%; secara umum, tingkat
ovulasi adalah sekitar 40%. Sebuah meta analisis terhadap 7 penelitian yang
melibatkan total 310 wanita dengan polycystic ovary syndrome menemukan
bahwa wanita yang diterapi dengan metformin 4 kali lebih mungkin untuk
berovulasi daripada wanita yang hanya menerima placebo atau tanpa terapi
(OR=3.88, CI=2.25-6.69).
Menariknya, tidak ada studi yang memperbandingkan secara langsung
antara metformin dengan clomiphene pada wanita anovulatoir dengan
polycystic ovary syndrome yang tidak diseleksi. Semua studi yang melibatkan
penggunaan clomiphene telah membandingkan terapi kombinasi kedua agen
dengan terapi clomiphene tunggal pada wanita yang sebelumnya diterapi,
pada wanita sensitif clomiphene, atau pada wanita yang gagal berovulasi
sebagai respon terhadap metformin, clomiphene, atau keduanya saat
digunakan tunggal. Perbedaan pada populasi pasien dan desain studi makin
memperumit usaha untuk mengkombinasikan data guna keperluan analisis.
Meski demikian, tidak peduli bagaimana penelitian-penelitian tersebut
dikombinasikan dan dianalisis, hasil akhirnya tetap sama. Terapi kombinasi
metformin

dan

clomiphene

mencapai

ovulasi

sekitar

4-9

kali

lipat

dibandingkan terapi clomiphene tunggal dan seringkali dapat menginduksi


ovulasi saat terapi clomiphene sebelumnya gagal. Secara umum, 70-90%
wanita anovulatoir dengan polycystic ovary syndrome yang diterapi dengan
metformin akan berovulasi spontan atau setelah penambahan clomiphene.
Karena sebagian besar wanita dengan polycystic ovary syndrome
mengalami resistensi insulin dan terapi metformin dapat mengembalikan
siklus ovulasi pada banyak wanita, obat ini saat ini disetujui sebagai pilihan
terapi lini pertama untuk wanita infertil anovulatoir dengan polycystic ovary
syndrome. Anjuran ditekankan bahwa pasien yang berespon, secara umum
akan mengalaminya dalam interval yang relatif pendek (2-3 bulan), sehingga

80

sedikit waktu yang hilang pada percobaan terapi. Selain itu, bilapun terapi
metformin gagal untuk mengembalikan siklus ovulasi, maka terapi ini dapat
diharapkan untuk meningkatkan sensitivitas terhadap clomiphene, sehingga
membantu menghindari pembiayaan dan resiko yang lebih besar dari terapi
gonadotropin

eksogen.

Bukti

menunjukkan

bahwa

terapi

metformin

menurunkan resiko abortus dan diabetes gestasional pada wanita dengan


polycystic ovary syndrome sehingga makin mendukung penggunaannya
sebagai

strategi

induksi

ovulasi

lini

pertama.

Peneliti

lain

tetap

mempertahankan pendapat bahwa clomiphene lebih efektif dan tetap


merupakan pilihan pertama yang paling sesuai untuk induksi ovulasi, dan
memandang metformin sebagai simpanan yang baik untuk digunakan sebagai
terapi adjuvant pada wanita anovulatoir yang resisten clomiphene karena
insiden efek samping yang relatif tinggi dan biaya yang lebih besar. Kedua
perspektif tersebut memiliki manfaat masing-masing, dan saat ini kedua
strategi terapi tersebut dapat digunakan.
Terapi metformin umumnya menyebabkan efek samping gastrointestinal
seperti mual, muntah, kram abdomen, dan diare yang bisa cukup berat
sampai harus dilakukan pembatasan dosis atau penghentian terapi. Karena
efek samping cenderung tergantung pada dosis dan akan menghilang seiring
waktu, terapi ini paling baik dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan
bertahap setiap minggu sesuai toleransi. Komplikasi terapi metformin yang
jarang terjadi adalah lactic acidosis, meskipun tinjauan sistematik belakangan
ini mulai mempertanyakan hubungan antara keduanya. Wanita dengan resiko
tertinggi adalah wanita dengan kondisi hipoksemia kronis terkait gangguan
kardiovaskuler, ginjal, hepar, atau paru, dan usia tua.

Thiazolidinedione
Pengalaman dengan terapi thiazolidinedione pada polycystic ovary
syndrome lebih terbatas. Troglitazone digunakan pada terapi masa lalu,
hingga ditarik dari pasaran tahun 2000 setelah berbagai laporan mengenai
kerusakan liver bermunculan, pada beberapa kasus bahkan menyebabkan
kematian atau membutuhkan transplantasi liver.

Sebuah penelitian besar

random terkontrol yang melibatkan 300 wanita dengan polycystic ovary


syndromemendeskripsikan adanya ovulasi dari separuh wanita yang diterapi
troglitazone (300 atau 600 mg/hari); di antaranya yang mendapat dosis lebih
tinggi, 57% berovulasi di lebih dari separuh dari siklus mereka, dibandingkan
pada hanya 12% di antara yang menerima placebo. Pada penelitian klinis
81

kecil yang melibatkan wanita anovulatoir dengan resistensi terhadap


clomiphene, wanita tersebut berovulasi (83%) sebagai respon terhadap terapi
troglitazone saja atau dengan kombinasi clomiphene, dan 7 (39%) di
antaranya mengalami konsepsi.
Rosiglitazone dan pioglitazone adalah dua medikasi baru dari kelas
thiazolidinedione yang saat ini digunakan sebagai terapi diabetes mellitus tipe
2.

Kedua obat tersebut umumnya ditoleransi dengan baik, efek samping

utama adalah peningkatan berat badan dan retensi cairan. Meski demikian,
sama seperti troglitazone, agen-agen ini mungkin memiliki toksisitas terhadap
hepar dan direkomendasikan untuk melakukan monitoring enzim liver selama
tahun pertama terapi.

Bila metformin adalah obat kategori B dan aman

digunakan selama kehamilan, rosiglitazone dan pioglitazone adalah obat


golongan C dengan bukti teratogenesitas pada hewan.
Pada satu studi random terkontrol terhadap rosiglitazone pada wanita
anovulatoir dengan polycystic ovary syndrome yang resisten terhadap
clomiphene, sebanyak 56% sukses berovulasi, 4 dari 12 (33%) sebagai
respon terhadap terapi rosiglitazone tunggal (4 mg, 2x/hari) dan 10 dari 13
(77%) sebagai respon terapi kombinasi dengan clomiphene (50-100 mg).
Meskipun hanya bersifat preeliminari, data-data ini konsisten dengan apa
yang didapat dari studi sebelumnya dengan troglitazone dan memberikan
hasil yang menjanjikan.

Studi lain telah meneliti mengenai efek terapi

pioglitazone terhadap siklus menstruasi pada wanita dengan polycystic ovary


syndrome.

Sebuah studi pilot yang melibatkan 18 wanita obese dengan

polycystic ovary syndrome menemukan bahwa terapi pioglitazone dapat


mengembalikan siklus menstruasi pada 10 dari 12 (83%) wanita dengan
hiperinsulinemia yang telah diketahui sebelum terapi dan pada 2 dari 6 (33%)
wanita dengan level insulin sebelum terapi normal. Sebuah penelitian
deskriptif kecil lainnya menyimpulkan bahwa terapi kombinasi metformin dan
pioglitazone mengembalikan siklus menstruasi reguler pada wanita yang
gagal berespon terhadap terapi metformin tunggal.

Keseluruhan, data-data

tersebut menunjukkan bahwa rosiglitazone dan pioglitazone dapat berguna


sebagai pilihan terapi untuk induksi ovulasi pada wanita dengan polycystic
ovary syndrome.
Letrozole

82

Meskipun pengalaman penggunaan letrozole masih sangat terbatas, obat


dari golongan aromatase inhibitor ini mungkin menjadi pilihan potensial lainnya
untuk wanita anovulatoir yang resisten clomiphene. Menariknya, obat ini telah
dianjurkan sebagai alternatif lini pertama terhadap terapi clomiphene dalam
induksi ovulasi.

Bila clomiphene menstimulasi sekresi FSH endogen dengan

menurunkan negative feedback estrogen ke sentral melalui antagonism terhadap


reseptor estrogen, letrozole juga menstimulasi FSH dengan cara menghambat
produksi estrogen perifer. Secara teori, letrozole mungkin dapat memberikan
keuntungan lebih dibanding clomiphene, terutama karena letrozole tidak memiliki
efek antiestrogen perifer langsung seperti efek clomiphene terhadap beberapa
individu. Pada satu-satunya penelitian random terkontrol yang membandingkan
letrozole (2.5 mg/hari hari siklus 3-7) dan clomiphene (50 mg/hari hari siklus 3-7),
yang dilakukan terhadap wanita ovulatoir normal, didapatkan data kemiripan
ketebalan puncak endometrium meskipun terdapat level estrogen yang jauh lebih
rendah pada wanita yang menerima letrozole.
Pada sebuah studi deskriptif kecil yang melibatkan 4 wanita yang gagal
berovulasi dan 8 wanita yang berovulasi namun mengalami proliferasi
endometrium yang buruk selama terapi clomiphene (50-100 mg), didapatkan
bahwa terapi letrozole (2.5 mg/hari, hari siklus 3-7) dapat menginduksi ovulasi
dengan sukses pada 9 dari 12 wanita saat hCG eksogen diberikan untuk
meningkatkan LH surge endogen atau untuk menstimulasi ovulasi saat folikel
preovulasi telah mencapai atau melebihi ukuran diameter 20 mm. Sebagaimana
studi sebelumnya terhadap wanita ovulatoir, proliferasi endometrium hasilnya
sama dan normal meskipun level puncak estrogen 60-75% lebih rendah daripada
saat

sebelumnya

diberikan

clomiphene.

Terapi

letrozole/hCG

sukses

menginduksi ovulasi pada 3 dari 4 wanita yang resisten clomiphene, namun juga
gagal pada 2 dari 8 wanita yang sebelumnya berovulasi sebagai respon terhadap
clomiphene. Aromatase inhibitor masih membutuhkan lebih banyak penelitian
namun saat ini penggunaannya pada wanita anovulatoir yang resisten
clomiphene dan efikasinya sebagai alternatif lini pertama terhadap terapi
clomiphene, masih harus ditegaskan lagi.
Laparoskopic Ovarian Drilling
Saat pertama kali diperkenalkan pada tahun 1939, surgical ovarian wedge
resection merupakan terapi pertama yang ditetapkan untuk wanita infertil

83

anovulatoir dengan polycystic ovary syndrome. Prosedur ini tidak lagi digunakan
di kemudian hari saat dimungkinkan melakuka induksi ovulasi secara medis
menggunakan clomiphene dan gonadotropin.

Laparoskopic ovarian drilling

merupakan versi kontemporer dari prosedur klasik operasi tersebut di atas dan
menjadi pilihan terapi lain untuk wanita anovulatoir hiperandrogenik yang resisten
clomiphene. Teknik ini melibatkan proses multifocal ovarian cautery, diatermi,
atau vaporisasi laser (sekitar 10-20 lokasi setiap ovarium) yang bertujuan
menurunkan konsentrasi androgen baik pada ovarium maupun secara sistemik
dengan mengablasi beberapa stroma hipertrofik pada ovarium dengan
polycystic. Memang, serum testosterone post operasi biasanya mengalami
penurunan, setidaknya selama beberapa waktu; konsentrasi inhibin juga
menurun; dan kedua perubahan tersebut tampaknya berkontribusi dalam
peningkatan level FSH.

Sebagaimana prosedur operasi klasik, resiko utama

terkait laparoskopic ovarian drilling adalah pembentukan adhesi adnexa post


operasi yang mungkin menurunkan tingkat fertilitas secara umum, meski resiko
dan keparahan adhesi lebih rendah; dan laparoskopi kedua untuk melihat
adanya adhesi serta prosedur adhesiolysis tampaknya tidak dibutuhkan atau
tidak berguna.
Pada sejumlah studi observasi tanpa kontrol, 40-90% wanita mengalami
ovulasi setelah laparoskopic ovarian drilling dan setidaknya separuhnya
mencapai konsepsi.

Pada wanita yang benar-benar resisten clomiphene,

ovarian drilling mungkin dapat memperbaiki sensitivitas terhadap clomiphene


atau memperbaiki respon terhadap gonadotropin eksogen meskipun prosedur
tersebut mungkin tidak mengembalikan siklus ovulasi spontan. Bila ingin
mempertimbangkan laparoskopic ovarian drilling sebagai pilihan terapi terhadap
wanita infertil anovulatoir yang resisten clomiphene, data paling relevan berasal
dari penelitian random terkontrol yang membandingkan terapi operasi dengan
induksi ovulasi menggunakan gonadotropin eksogen.

Secara umum, tingkat

kehamilan 6-12 bulan setelah ovarian drilling tidak berbeda dengan stimulasi
gonadotropin 3-6 siklus (OR=1.27, CI=0.77-2.09) dan saat hasil dari 6 bulan post
operasi dibandingkan dengan hasil setelah 6 siklus induksi ovulasi oleh
gonadotropin, tingkat kehamilan kumulatif lebih rendah pada terapi operasi
(OR=0.48,

CI=0.28-0.81).

Meski

demikian,

sebagaimana

diharapkan,

laparoskopic ovarian drillingmenghasilkan kehamilan ganda yang jauh lebih

84

sedikit daripada terapi gonadotropin (OR=0.16, CI=0.03-0.98); tingkat abortus


terkait terapi operasi setara dengan terapi medis.
Laparoskopic ovarian drilling merupakan pilihan terapi yang masuk akal
untuk wanita infertil anovulatoir yang resisten terhadap clomiphene, namun efek
terapi yang hanya sementara, resiko adhesi post operasi, dan resiko teoretis
adanya efek samping terhadap ovarium, memerlukan pertimbangan dan diskusi
yang hati-hati dan teliti. Prosedur ini paling baik dilakukan untuk wanita yang
tidak mau menerima besarnya resiko dan biaya terkait terapi gonadotropin.
INDUKSI OVULASI DENGAN GONADOTROPIN EKSOGEN
Gonadotropin eksogen telah digunakan selama lebih dari 40 tahun untuk
menginduksi ovulasi pada wanita dengan defisiensi gonadotropin dan yang tidak
berespon terhadap terapi lain yang tidak terlalu kompleks. Potensi medikasi ini
sangatlah efektif, namun juga sangat mahal dan mengandung resiko besar
seperti kehamilan ganda dan sindroma hiperstimulasi ovarium. Konsekuensinya,
gonadotropin eksogen hanyan boleh digunakan oleh dokter yang telah memiliki
ketrampilan dan pengalaman yang diperlukan untuk menjamin terapi tersebut
aman dan efektif.
Persiapan Gonadotropin
Preparat gonadotropin eksogen yang digunakan untuk induksi ovulasi
adalah dalam 3 macam bentuk: urinary, purified (dimurnikan) urinary, dan
formulasi rekombinan. Selama hampir 30 tahun, gonadotropin eksogen yang
tersedia hanyalah human menopausal gonadotropin (hMG, menotropins),
sebuah ekstrak yang diambil dari urine wanita post menopause yang
mengandung jumlah FSH dan LH yang sama (75 IU) setiap ampul/vial dan
diberikan melalui injeksi intramuscular. Menotropin urin juga mengandung hCG
dalam jumlah kecil yang bervariasi namun dapat dideteksi, sebagian besar dari
hCG itu ditambahkan selama proses pemabrikan untuk memberikan sejumlah
aktivitas LH yang sesuai, namun beberapa lainnya hCG berasal dari sumber lain.
Ekstrak gonadotropin yang relatif kasar seperti hMG tradisional, juga
mengandung sejumlah besar protein urin yang tidak spesifik, yang mungkin
dapat bersifat antigenik.

Preparat hMG kontemporer sudah lebih dimurnikan

daripada yang lama dan dapat diberikan subkutan.

85

Sejak dimulai 20 tahun lalu, preparat FSH urin yang lebih murni telah
dikembangkan dengan menghilangkan LH dari ekstrak urine menggunakan
kolom immunoafinitas yang mengandung antibody anti-hCG. Preparat awal dari
FSH urin murni (75 IU) mengandung tidak lebih dari 1 IU lH namun mengandung
sejumlah besar protein urine, dan hanya dapat diberikan intramuskuler. Produk
yang lebih murni saat ini hanya mengandung <0.001 IU LH dan mengandung
protein urine yang jauh lebih rendah, dan dapat diadministrasi sub kutan. Lebih
dari 10 tahun yang lalu, produksi rekombinan FSH manusia secara in vitro telah
dapat dilakukan melalui genetic engineering. Ringkasnya, proses tersebut
melibatkan introduksi gen yang mengkode subunit I dan I2 FSH ke genome
ovary cell line dari hamster Cina yang kemudian mensintesis dan mensekresikan
glycosylated bioactive dimeric FSH yang kemudian dimurnikan dengan
immunokromatografi menggunakan antibody monoclonal spesifik anti-FSH.
Preparat FSH rekombinan mengandung lebih sedikit isoform FSH asam yang
memiliki paruh waktu lebih pendek daripada FSH yang berasal dari urine
manusia, namun dapat menstimulasi sekresi estrogen secara lebih efisien.
Keuntungan dari FSH rekombinan antara lain tidak adanya protein urine, suplai
yang lebih konsisten, dan lebih sedikit variasi aktivitas biologis.
Di masa lalu dan saat ini, dengan sifat struktural dan biologis yang mirip
dengan LH, hCG digunakan untuk menstimulasi LH surge untuk menginduksi
ovulasi pada siklus dengan stimulasi gonadotropin eksogen saat perkembangan
folikel telah mencapai kematangan. Meskipun hCG yang diekstraksi dari urine
wanita hamil dan jaringan plasenta masih digunakan secara luas, sudah tersedia
bentuk rekombinan hCG, yang diproduksi dengan teknik yang mirip dengan
rekombinan FSH. Produk ini tersedua di US sejak 2001, dan berkembang cukup
populer. Meskipun pertanyaan terkait potensi dan ekuivalensi dosis dari hCG
rekombinan dengan hCG urine masih ada, studi-studi saat ini mengindikasikan
bahwa 250 g produk rekombinan memberikan hasil yang setara dengan 500010.000 hCG urine.
Bentuk rekombinan dari LH manusia yang memiliki aktivitas fisikokimia,
imunologis, dan biologis yang setara dengan LH pituitary manusia, telah
dikembangkan dan diterima penggunaannya di Eropa sejak tahun 2000.
Pengalaman klinis dengan LH rekombinan masih cukup terbatas, namun
tampaknya akan segera berkembang di masa yang akan datang.

86

Ketersediaan FSH, LH, dan hCG rekombinan, memperluas pengertian kita


mengenai

aksi

spesifik

dari

masing-masing

gonadotropik

terhadap

perkembangan folikel dan maturasi oocyte. Gonadotropin rekombinan memiliki


kapabilitas untuk menyesuaikan regimen stimulasi ovarium sesuai kebutuhan
individu wanita dalam usaha mengoptimalkan kualitas oocyte dan cycle
fecundability. Sayangnya, kita belum memiliki kemampuan untuk menentukan
kebutuhan tersebut dengan akurat. Tampaknya, regimen stimulasi gonadotropin
di masa depan akan menggunakan kombinasi dari gonadotropin rekombinan
yang berubah-ubah sesuai lingkungan hormonal individu, mungkin bahkan
sesuai dengan siklus stimulasi, namun saat ini regimen terapi generik yang ada
sudah cukup.
Indikasi Terapi Gonadotropin Eksogen
Semua diskusi mengenai induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen
pertama kali harus menentukan beberapa situasi klinis yang berbeda di mana
terapi ini mungkin untuk digunakan karena pilihan preparat dan regimen terapi
gonadotropin mungkin dapat bervariasi sesuai dengan tipe gangguan ovulasi dan
harus sesuai dengan kebutuhan individu tersebut.

Hipogonadisme Hipogonadotropik
Wanita
dengan
hipogonadisme

hipogonadotropik

(amenorrhea

hipothalamik, WHO grup I) adalah kandidat yang paling jelas untuk dilakukan
induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen. Clomiphene dan medikasi
lainnya biasanya tidak efektif karena aksinya memerlukan axis hypothalamuspituitary-ovarium yang intak dan berfungsi baik. Dalam beberapa hal, terapi
gonadotropin pada wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik dapat
dilihat sebagai terapi hormonal yang ditujukan untuk menstimulasi siklus
ovulasi normal sedangkan fertilitas menjadi prioritas.
Pada wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik, obat pilihan adalah
menotropin karena mengandung FSH dan LH. Meskipun pertumbuhan folikel
dan maturasi oocyte dapat distimulasi hanya dengan FSH, LH juga
dibutuhkan dalam steroidogenesis, luteinisasi, dan ovulasi normal; level LH
endogen

biasanya

inadekuat.

Wanita

dengan

hipogonadisme

hipogonadotropik secara umum berespon terhadap stimulasi gonadotropin


pada dosis yang relatif rendah meskipun terapi harus dimonitor dengan rutin
dan disesuaikan berdasarkan respon terapi.

87

Tujuan utama, yakni ovulasi

unifolikel, harus tetap diingat karena wanita hipogonadal adalah wanita fertil
normal dan beresiko tinggi mengalami kehamilan ganda.
Kualitas fungsi luteal setelah induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen
pada

wanita

dengan

hipogonadisme

hipogonadotropik

membutuhkan

beberapa evaluasi spesifik. Meskipun tidak selalu diperlukan, dukungan fase


luteal dengan hCG tambahan (2.000-2.500 IU setiap 3-4 hari) atau
progesterone mungkin diperlukan untuk mengkompensasi rendahnya level
sekresi LH endogen yang terbukti tidak cukup untuk mensupport fungsi luteal
normal. Perdarahan spotting pre-menstruasi atau fase luteal yang sangat
pendek menunjukkan adanya kemungkinan tersebut. Beberapa telah
menemukan bahwa terapi tambahan dengan hCG dapat memperbaiki cycle
fecundability, namun nilainya belum ditetapkan secara pasti, mungkin karena
level LH endogen sangat bervariasi di antara para wanita dengan
hipogonadisme hipogonadotropik dan hanya pada wanita dengan konsentrasi
LH sangat rendah (<3 IU/l) yang dapat memperoleh manfaat dari dukungan
fase luteal. Karena hCG tambahan juga meningkatkan resiko sindroma
hiperstimulasi ovarium, terapi paling baik dilakukan untuk wanita dengan bukti
adanya fungsi luteal yang buruk setelah induksi ovulasi.
Beberapa wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik sekunder
terkait hiperprolactinemia dapat menjadi kandidat untuk terapi gonadotropin
eksogen karena mereka tidak dapat mentoleransi terapi dopamine agonis.
Konsekuensinya,

penting

tampaknya

memberikan

tidak

untuk

diketahui

efek

buruk

bahwa

hiperprolaktinemia

sebagai

respon

terhadap

gonadotropin eksogen.

Anovulasi Resisten terhadap Clomiphene


Bila terapi clomiphene gagal untuk mencapai ovulasi, gonadotropin
eksogen adalah pilihan terapi yang sudah jelas. Semua terapi alternatif
ataupun ajuvan yang telah didiskusikan sebelumnya juga dapat dipilih untuk
menghindari besarnya biaya, kebutuhan logistik, dan resiko dari terapi
gonadotropin, namun kegagalan strategi-strategi tersebut bukan syarat untuk
menggunakan gonadotropin.
Pada wanita dengan

hipogonadisme

hipogonadotropik,

sekresi

gonadotropin endogen sangatlah rendah dan terapi menotropin memberikan


stimulasi gonadotropin yang hanya efektif terhadap ovarium. Sebaliknya,
konsentrasi serum gonadotropin pada wanita anovulatoir dengan polycystic
ovary syndrome yang resisten clomiphene (WHO grup II) adalah normal; pada

88

banyak kasus, level LH relatif tinggi. Pada populasi wanita tersebut, terapi
akan melapiskan bolus gonadotropin eksogen terhadap sekresi FSH dan LH
endogen yang tidak menentu. Preparat FSH yang dimurnikan memberikan
keuntungan teoretis dibandingkan menotropins konvensional karena dapat
menghindari resiko peningkatan hipersekresi LH endogen. Meski demikian,
dalam prakteknya, tidak ada bukti bahwa FSH yang dimurnikan memiliki
efikasi yang lebih besar daripada hMG, dan keduanya sama-sama dapat
digunakan. Sejumlah penelitian random terkontrol telah membandingkan
terapi FSH urine yang dimurnikan dengan terapi hMG untuk induksi ovulasi
terhadap wanita anovulatoir dengan polycystic ovary syndrome yang resisten
clomiphene. Sebuah meta-analisis yang mencakup 14 penelitian seperti itu
menemukan bahwa FSH urine yang dimurnikan lebih tidak menyebabkan
hiperstimulasi ovarium dibandingkan hMG (OR=0.20, CI=0.08-0.46), namun
tidak ada kelebihan selain itu. Sebuah analisis yang sama terhadap kombinasi
data dari 4 penelitian yang membandingkan rekombinan FSH terhadap FSH
urine yang dimurnikan, tidak menemukan adanya perbedaan pada tingkat
ovulasi (OR=1.19, CI=0.78-1.80), tingkat kehamilan (OR=0.95, CI=0.64-1.41),
tingkat abortus (OR=1.26, CI=0.59-2.70), tingkat kehamilan ganda (OR=0.44,
CI=0.16-1.21), ataupun insiden sindroma hiperstimulasi ovarium (OR=1.55,
CI=0.50-4.84).
Sebagaimana wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik, wanita
anovulatoir dengan polycystic ovary syndrome yang resisten clomiphene
secara umum akan berespon terhadap stimulasi gonadotropin dengan dosis
yang relatif rendah. Pada banyak wanita yang sangat sensitif, rentang
terapeutik sangatlah sempit sehingga dosis yang sedikit lebih tinggi
dibandingkan

wanita

yang

tidak

sensitif

sudah

akan

menghasilkan

hiperstimulasi. Terapi juga harus dimonitor dengan ketat dan seringkali


memerlukan

beberapa

penyesuaian

kecil.

Ovulasi

unifolikular

tetap

merupakan tujuan utama, namun seringkali sulit untuk dicapai. Resiko


terjadinya kehamilan ganda sangat tinggi, dan resiko hiperstimulasi ovarium
lebih besar daripada wanita dengan hipogonadisme.
Support fase luteal jarang diperlukan setelah dilakukan induksi ovulasi
dengan gonadotropin pada wanita dengan polycystic ovary syndromekarena
level LH endogen biasanya sudah lebih dari cukup untuk mempertahankan
fungsi luteal normal. Meski demikian, pada wanita yang juga menjalani terapi
GnRH agonis untuk mensypresi sekresi gonadotropin endogen (didiskusikan

89

nanti) dan pada wanita lainnya yang terbukti memiliki fungsi luteal yang buruk
meskipun induksi ovulasi telah sukses, mungkin dapat diberikan terapi suportif
untuk fase luteal. Karena tingginya resiko sindroma hiperstimulasi ovarium
yang terkait dengan hCG, terapi progesterone lebih dipilih bila memang
dibutuhkan.

Infertilitas Tak Terjelaskan


Gonadotropin
eksogen

dapat

digunakan

untuk

menstimulasi

perkembangan dan ovulasi terhadap lebih dari satu ovum mature sebagai
usaha untuk meningkatkan cycle fecundability pada wanita subfertil dengan
usia yang lebih tua dan pada wanita dengan infertilitas tak terjelaskan;
superovulasi paling efektif bila dikombinasikan dengan IUI yang dilakukan
tepat pada waktunya (Chapter 27). Dalam konteksi ini, biasanya diberikan
gonadotropin eksogen dengan dosis harian awal yang lebih tinggi, dan karena
wanita tersebut telah berovulasi normal dan tidak mengalami endokrinopati,
maka dapat digunakan preparat gonadotropin apapun. Meskipun memang
diinginkan untuk terjadi superovulasi, namun tetap dibutuhkan monitoring
yang teliti untuk menghindari stimulasi berlebihan. Resiko kehamilan ganda
bahkan lebih besar daripada induksi ovulasi pada wanita anovulatoir yang
resisten clomiphene, yang merupakan hal wajar karena memang diinginkan
terjadinya superovulasi. Support fase luteal tidak diperlukan karena kontribusi
kombinasi dari dua atau lebih corpus luteum mungkin dapat diharapkan untuk
mendapatkan konsentrasi serum progesterone fase luteal yang suprafisiologis (tinggi).
Regimen Terapi Gonadotropin Eksogen
Konseling dan instruksi yang teliti penting untuk kesuksesan terapi
gonadotropin. Pasangan harus benar-benar familiar dengan medikasi yang
diberikan, metode persiapannya dan injeksinya, kebutuhan akan kunjungan dan
komunikasi rutin untuk memantau respon terapi, serta biaya, prognosis, dan
resiko yang terkait dengan terapi gonadotropin eksogen.
Studi retrospektif awal telah menentukan bahwa terapi harian, yang
disesuaikan sesuai dengan respon klinis, merupakan regimen yang paling efektif.
Dosis dan durasi terapi gonadotropin yang diperlukan untuk menginduksi ovulasi,
sangat bervariasi antar wanita, terkadang bahkan antar siklus dalam wanita yang
sama, dan harus ditentukan secara empiris. Meskipun banyak wanita sangat
sensitif terhadap gonadotropin dengan dosis relatif rendah (75-225 IU/hari),
90

namun yang lain memerlukan stimulasi dengan dosis yang lebih besar (300-450
IU/hari). Meskipun terdapat hubungan langsung antara berat badan dan
kebutuhan dosis, batas respon untuk individu secara spesifik tidak dapat
diprediksi dengan tepat, bahkan pada wanita obese. Rencana terapi juga harus
mempertimbangkan tujuan yang diinginkan, yakni ovulasi unifolikuler atau
superovulasi. Tidak dapat terlalu ditekankan bahwa induksi ovulasi yang aman
dan efektif dengan gonadotropin eksogen, tergantung hanya pada pengalaman
dan keputusan klinis dari klinisi yang melakukannya.

Regimen Step Up
Baik pada wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik (WHO grup I)
maupun wanita anovulatoir yang resisten clomiphene (WHO grup II), usaha
awal untuk menginduksi ovulasi harus dimulai dengan dosis harian yang
rendah (75 IU/hari) dalam regimen terapi step up (meningkat) yang didesain
untuk menetukan batas respon efektif. Setelah 4-7 hari stimulasi, level serum
estradiol, dengan atau tanpa USG transvaginal, dapat diperiksa untuk
menentukan

respon

pertama.

Selanjutnya,

dosis

gonadotropin

dapat

dipertahankan atau ditingkatkan, sesuai indikasi. Saat serum estradiol mulai


meningkat, USG ovarium untuk menentukan jumlah dan ukuran folikel yang
berkembang, menjadi penting dan frekuensi evaluasi dinaikkan menjadi setiap
1-2 hari. Bila diameter dari folikel utama mencapai 15-18 mm, hCG
diadministrasikan untuk memicu pelepasan ovum; ovulasi secara umum
diharapkan terjadi sekitar 36-48 jam kemudian. Pada stimulasi siklus
selanjutnya,

dosis

inisial

gonadotropin

yang

diberikan

harus

mempertimbangkan batas respon dan pola perkembangan folikuler dari siklus


sebelumnya.
Karena wanita dengan polycystic ovary syndrome seringkali sangat sensitif
terhadap stimulasi gonadotropin dosis rendah, maka umumnya dapat
dilakukan evaluasi yang lebih awal dan lebih sering. Wanita-wanita tersebut
biasanya memiliki sejumlah besar folikel antral kecil yang berespon terhadap
stimulasi FSH (recruitable follicle). Hiperstimulasi ovarium, resiko kehamilan
ganda yang lebih tinggi, dan biaya serta ketidaknyamanan terkait siklus yang
tertunda biasanya dapat dihindari dengan memberikan regimen terapi lowslow (rendah dan lambat) yang menggunakan dosis rendah (37.5-75 IU/hari),
dengan kenaikan kecil, dan durasi waktu yang lebih lama. Meskipun sebagian

91

besar stimulasi gonadotropin memiliki masa interval 7-12 hari, stimulasi


dengan dosis rendah pada wanita dengan polycystic ovary syndrome, dapat
berlangsung lebih lama. Wanita resisten insulin mungkin lebih tidak sensitif
terhadap stimulasi gonadotropin daripada yang tidak resisten. Terapi
metformin sebelum dan selama stimulasi gonadotropin dapat membantu
memperbaiki respon terapi, membatasi jumlah folikel kecil yang berkembang,
dan menurunkan kemungkinan penundaan siklus akibat stimulasi berlebihan,
namun tidak pada semua wanita.
Berkebalikan dengan induksi ovulasi pada wanita anovulatoir, tujuan dari
stimulasi gonadotropin pada wanita dengan subfertilitas terkait usia atau
wanita dengan infertilitas tak terjelaskan adalah untuk meningkatkan efisiensi
reproduksi melalui superovulasi, yakni perkembangan dan ovulasi lebih dari
satu ovum. Konsekuensinya, biasanya digunakan dosis harian gonadotropin
eksogen yang lebih tinggi dan frekuensi monitoringnya juga lebih sering.

Regimen Step Down


Pendekatan alternatif step down untuk stimulasi gonadotropin didesain
untuk lebih mendekati pola konsentrasi serum FSH pada siklus ovulasi
spontan. Terapi dimulai dengan dosis tinggi (150-225 IU/hari) dan diturunkan
bertahap setelahnya sebagai usaha untuk menghasilkan perkembangan yang
berkelanjutan terhadap folikel dominan yang lebih sensitif saja dan
menghilangkan dukungan untuk folikel kecil yang kurang sensitif. Dengan
pertimbangan bahwa banyak wanita anovulatoir sangat sensitif terhadap
stimulasi gonadotropin eksogen dosis rendah, maka metode step down
paling baik diterapkan hanya setelah batas respon ditetapkan pada satu atau
lebih siklus stimulasi sebelumnya. meski begitu, dua pendekatan tersebut
dapat dikombinasikan dengan efektif, pertama dengan menaikkan dosis
gonadotropin secara bertahap hingga terjadi respon terapi, dan kemudian
dosis diturunkan saat folikel dominan telah muncul.

Terapi Sekuensial dengan Clomiphene dan Gonadotropin


Wanita anovulatoir yang resisten clomiphene dan wanita dengan infertilitas
tak terjelaskan, dapat mengambil manfaat dari terapi sekuensial clomiphene
dan gonadotropin. Siklus khusus ini melibatkan rangkaian terapi clomiphene
standar (50-100 mg/hari), diikuti dengan pemberian FSH atau hMG dosis
rendah (75 IU/hari) dimulai di hari terakhir terapi clomiphene atau pada hari
setelahnya; terapi ini dimonitor dan disesuaikan sesuai kebutuhan individu

92

sebagaimana pada siklus stimulasi gonadotropin. Pada sebagian besar,


namun tidak semua, studi, menyebutkan bahwa cycle fecundity (kemungkinan
untuk mendapatkan kelahiran hidup) pada siklus terapi sekuensial hampir
mendekati atau setara dengan yang dicapai dengan terapi gonadotropin
tunggal. Pada semua penelitian, dosis dan durasi terapi gonadotropin serta
besarnya biaya monitoring secara signifikan menurun 50% atau lebih.
Logikanya, terapi sekuensial secara umum berguna hanya pada wanita yang
berespon pada clomiphene, setidaknya sampai tahap tertentu. Bila tidak,
terapi tidak akan efektif hingga dimulainya terapi gonadotropin.

Terapi Adjuvan dengan Agonis GnRH


Peningkatan level LH endogen pada banyak wanita anovulatoir dengan
polycystic ovary syndrome yang resisten clomiphene, merupakan faktor resiko
terjadinya luteinisasi folikel prematur selama stimulasi gonadotropin eksogen,
dan telah terbukti sebagai faktor resiko pada tingginya insiden abortus
spontan pada wanita yang mencapai konsepsi. Terapi pre-eliminer dengan
agonis GnRH sebelum stimulasi gonadotropin eksogen akan mensupresi level
LH endogen, dan pelanjutan terapi agonis GnRH selama stimulasi oleh
gonadotropin eksogen akan mencegah luteinisasi prematur. Resiko bahwa
supresi LH yang diinduksi residu agonis GnRH akan menghasilkan fungsi
luteal yang buruk setelah induksi ovulasi, tampaknya hanyalah sebatas teori.
Penelitian-penelitian klinis tak-random telah menyimpulkan bahwa terapi
kombinasi GnRH agonis dengan gonadotropin eksogen dapat memperbaiki
cycle fecundity pada wanita anovulatoir yang resisten clomiphene. Namun,
penelitian-penelitian

random

terkontrol,

yang

membandingkan

terapi

kombinasi GnRH agonis dengan gonadotropin eksogen untuk menstimulasi


dengan terapi gonadotropin tunggal, gagal untuk mendemonstrasikan adanya
perbedaan padacycle fecundity atau insiden hiperstimulasi ovarium. Terapi
adjuvant dengan GnRH agonis juga tidak terbukti memberikan keuntungan
untuk wanita subfertil yang juga menerima gonadotropin untuk menginduksi
superovulasi dan bahkan mungkin akan meningkatkan jumlah dan durasi
stimulasi gonadotropin yang dibutuhkan, setidaknya pada beberapa kasus.
Meskipun kombinasi terapi agonis GnRH dan gonadotropin eksogen
merupakan standar yang telah ditetapkan untuk mengontrol hiperstimulasi
ovarium pada siklus IVF, namun terapi ini belum memiliki bukti keunggulan
dibandingkan terapi gonadotropin tunggal untuk induksi ovulasi.

93

Regimen Baru Terapi Gonadotropin


Peran utama dari LH terhadap perkembangan folikel baru diketahui
beberapa tahun belakangan. Pada siklus ovulasi normal, tahap akhir dari
perkembangan folikel pre-ovulasi akan tetap berlangsung hingga lengkap
padahal level FSH sudah mulai menurun konstan. Penjelasan tradisional
terhadap kondisi ini adalah karena folikel dominan dengan ukurannya yang
besar, dengan massa cell granulosa, kandungan reseptor FSH, dan
perkembangan mikrovaskulernya, maka folikel ini akan lebih sensitif terhadap
FSH dan dapat terus berkembanga meski kadar FSH turun, sedangkan folikel
yang lebih kecil, lebih tidak sensitif, akan berhenti berkembang. Meskipun
pendapat tersebut ada benarnya, kita sekarang tahu bahwa seleksi folikel dan
tahap akhir maturasi folikel lebih bergantung pada level LH yang rendah di
sirkulasi. Selain menstimulasi produksi androgen theca sebagai substrat untuk
sintesis estrogen, LH juga menstimulasi sel granulosa melalui reseptor LH
yang diinduksi oleh FSH dan estrogen pada folikel besar, namun tidak pada
folikel kecil. LH kemudian menjadi stimulus utama untuk tahap akhir maturasi
folikel, dan pada saat bersamaan, penurunan konsentrasi FSH akan
menyebabkan atresia pada folikel kecil yang lebih bergantung pada FSH.
Paradigma baru ini telah memberikan sebuah pendekatan baru untuk induksi
ovulasi yang mungkin memberikan nilai khusus bagi wanita infertil anovulatoir
dengan polycystic ovary syndrome di mana regimen terapi yang ada masih
terlalu sering menyebabkan perkembangan multifolikel dan hiperstimulasi
ovarium.
hCG atau rekombinan LH dosis rendah dapat secara selektif mendukung
pertumbuhan folikel besar dan secara simultan mempercepat regresi folikel
kecil. Pada rentang tertentu, pemberian regimen terapi gonadotropin step
down, di mana jumlah stimulasi FSH diturunkan secara gradual, dapat
menghasilkan fenomena tersebut. Praktek coasting di mana stimulasi FSH
dihilangkan bersamaan selama tahap akhir perkembangan folikel juga
memberikan efek yang sama namun lebih baik.

Pada kondisi tersebut

terakhir, folikel terbesar akan secara umum tetap berfungsi, paling mungkin
karena ekspresi reseptor LH pada folikel tersebut memungkinkan mereka
untuk tetap menangkap LH endogen meskipun dalam dosis rendah, dan
bersamaan dengan itu, terjadi penurunan level estrogen dan folikel kecil mulai
berhenti berfungsi dan beregresi. Stimulasi berkelanjutan dengan hCG atau
rekombinan LH dosis rendah setelah penurunan atau penghentian terapi FSH

94

akan memberikan keuntungan maksimal terhadap aksi LH yang berbeda


terhadap folikel besar (membantu proses pematangan) dan folikel kecil
(mempercepat regresi), keduanya dengan cara menurunkan FSH dan
menstimulasi peningkatan konsentrasi androgen intrafolikel.
Meskipun pengalaman dengan FSH sekuensial dan hCG atau rekombinan
LH dosis rendah masih cukup terbatas, hasil dari penelitian preeliminari yang
didapatkan,

cukup menjanjikan.

Pada wanita dengan hipogonadisme

hipogonadotropik atau polycystic ovary syndrome, terapi LH rekombinan (225450 IU/hari) selama fase akhir perkembangan folikel dapat menurunkan
jumlah folikel yang berkembang. Pada wanita dengan ovulasi normal yang
tersupresi GnRH agonis, yang diterapi dengan FSH 150 IU/hari selama 7 hari,
sejumlah regimen terapi yang melibatkan kombinasi penurunan FSH (50, 25,
0 IU) dan peningkatan hCG (50, 100, 200 IU) telah diketahui dapat
mendukung perkembangan folikel besar dan mempercepat regresi folikel
kecil. Sedangkan untuk memilih apakah akan digunakan hCG ataukah LH
rekombinan, dapat dipertimbangkan bahwa paruh waktu hCG yang lebih
panjang dapat memberikan aktivitas LH yang lebih stabil di antara injeksi
harian yang diberikan. Menariknya, terapi hCG dosis rendah selama masa
akhir

perkembangan

folikel

tampaknya

memiliki

efek

kecil

terhadap

konsentrasi progesterone atau testosterone di sirkulasi, setidaknya pada


wanita normal, yang menunjukkan bahwa resiko terjadinya luteinisasi
prematur atau efek samping lain adalah rendah. Dengan menginduksi regresi
pada folikel kecil, terapi tersebut juga membantu menurunkan resiko
hiperstimulasi ovarium terkait dengan terapi gonadotropin eksogen.
Rangkaian terapi optimal dan jumlah relatif dari FSH dan LH/hCG untuk
diberikan, masih belum ditentukan, dan sepertinya akan bervariasi sesuai
tujuan terapi dan kondisi endokrinologi setiap wanita, namun tampaknya
regimen terapi gonadotropin yang baru dan lebih efektif akan muncul dalam
waktu dekat.
Monitoring Terapi Gonadotropin
Untuk mencapai ovulasi namun juga menghindari hiperstimulasi ovarium
dan meminimalkan resiko kehamilan ganda, terapi gonadotropin harus dimonitor
secara

teliti

dengan

pemeriksaan

serum

estradiol

dan

USG

ovarium

berkala.Pada hakikatnya, para dokter menggantikan peran hypothalamus dan


pituitary dalam feedback loop selama terapi dengan gonadotropin eksogen.

95

Dosis yang telah dipilih kemudian diadministrasikan pada pasien, respon ovarium
diperiksa dan dianalisis sesuai kebutuhan dan harapan, dan dosis gonadotropin
kemudian dipertahankan atau diubah, dilakukan re-evaluasi, dan disesuaikan
kembali sesuai kebutuhan. Pada kondisi normal, axis hypothalamus-pituitaryovarium melakukan tugas yang sama, yaitu secara konstan dan berulang,
memperbaiki dan mengkoordinasikan level stimulasi gonadotropin sesuai dengan
respon ovarium. Sebaliknya, klinisi hanya dapat melakukan tugas tersebut tidak
lebih dari satu kali setiap hari. Tidak mengagetkan bila hasil yang dicapai jauh
lebih kasar.

Level Serum Estradiol


Untuk mengetahui respon ovarium terhadap stimulasi dan menyediakan
informasi yang efisien, maka gonadotropin diberikan di sore hari, antara pukul
5 sore hingga 8 malam, dan pemeriksaan serum estradiol dilakukan pada pagi
hari. Hasil biasanya dapat dibaca pada tengah hari, sehingga pada sore hari,
dapat diberitahukan pada wanita yang menjalani terapi mengenai instruksi
terbaru terkati dosis dan durasi terapi serta jadwal evaluasi selanjutnya.
Secara umum, folikel dengan diameter <10 mm memproduksi estrogen dalam
jumlah kecil dan folikel yang lebih besar mensekresi estrogen dalam jumlah
yang semakin meningkat seiring pertumbuhan. Biasanya, level estradiol
meningkat dalam kecepatan eksponensial yang konstan; kadarnya meningkat
dua kali lipat setiap 2-3 hari hingga tercapai perkembangan puncak dari
folikel. Peningkatan yang terlalu cepat atau terlalu lambat menandakan perlu
dilakukannya peningkatan atau penurunan level stimulasi.
Pada siklus ovulasi normal, level estrogen mencapai puncak antara 200400 pg/ml sesaat sebelum LH surge. Level estrogen yang setara dengan nilai
tersebut seharusnya juga terdapat pada siklus ovulasi yang distimulasi oleh
gonadotropin, untuk setiap folikel matur yang berhasil diketahui. Pengambilan
keputusan klinis juga harus mempertimbangkan jumlah dan ukuran folikel
yang lebih kecil serta kontribusi kolektifnya terhadap konsentrasi estradiol
dalam serum. Tidak mengagetkan bahwa cycle fecundability meningkat
seiring peningkatan level estradiol. Sayangnya, hal ini juga disertai
peningkatan resiko kehamilan ganda dan hiperstimulasi ovarium. Dengan
regimen stimulasi gonadotropin yang tersedia saat ini, hasil terbaik didapatkan
bila puncak konsentrasi estradiol berada antara 500 dan 1500 pg/ml;
kehamilan sangat jarang terjadi pada konsentrasi <200 pg/ml.

96

Ultrasonografi
USG ovarium dapat menentukan ukuran dan jumlah folikel yang
berkontribusi terhadap level estrogen dalam serum. Pada siklus ovulasi
spontan, kelompok folikel antral dapat teridentifikasi pada siklus hari ke-5
sampai 7, folikel dominan kemudian muncul pada hari 8-12, tumbuh sekitar 13 mm setiap hari, pertumbuhan paling cepat pada 1-2 hari sebelum ovulasi,
dan folikel dominan berukuran sekitar 20-24 mm saat terjadi LH surge. Folikel
yang lebih kecil jarang melebihi diameter 14 mm. Pada 10% dari siklus
spontan, dapat terjadi perkembangan pada dua folikel pre-ovulasi.
Pada siklus dengan stimulasi gonadotropin eksogen, folikel-folikel dominan
mengalami pola pertumbuhan linier yang sama, namun mencapai maturitas
dengan diameter yang lebih kecil dan dengan ukuran yang bervariasi.
Kemungkinan

ovulasi

meningkat

sesuai

ukuran

diameter

folikel.

Sebagaimana hasil yang didapatkan dari USG serial yang dilakukan setelah
administrasi hCG, folikel dengan diameter 14 mm atau kurang, jarang sekali
mengalami ovulasi. Ovulasi terjadi pada 40% folikel dengan ukuran 15-16
mm, 70% pada folikel ukuran 17-18 mm, 80% pada folikel ukuran 19-20 mm,
dan semua folikel yang berukuran lebih besar dari itu akan terovulasi.
Rentang nilai ukuran folikel yang terlalu lebar saat maturitas, akan
menyulitkan pengambilan keputusan klinis. Resiko gestasi multipel meningkat
sesuai jumlah folikel yang mungkin akan terovulasi. Konsekuensinya, hCG
secara umum seharusnya tidak diberikan bila resiko ovulasi multiple sudah
tinggi sedangkan tujuan dari terapi adalah ovulasi unifolicular. Adanya
sejumlah besar folikel berukuran sedang dan kecil juga akan meningkatkan
resiko sindroma hiperstimulasi ovarium.
USG dasar untuk ovarium sebaiknya dilakukan di antara urutan siklus
stimulasi gonadotropin eksogen. Bila tidak terdapat residu kista ovarium yang
signifikan atau perbesaran masif, maka terapi dapat dimulai kembali dengan
segera tanpa perlu adanya siklus istirahat. Tingkat cycle fecundability dan
kehamilan kumulatif yang lebih tinggi didapatkan pada siklus terapi yang
dilakukan berurutan daripada siklus yang berselang-seling antara terapi dan
istirahat.

Bila pada USG dasar ditemukan satu atau lebih residu kista

ovarium, maka terapi selanjutnya lebih baik ditunda untuk sementara waktu.
Siklus stimulasi yang dilakukan dengan adanya kista pada ovarium biasanya
kurang sukses, mungkin karena folikel yang baru berkembang sulit dibedakan
dengan folikel kistik yang sedang teregresi, sehingga menyebabkan

97

kesalahan interpretasi. Meskipun banyak pakar percaya bahwa terapi supresi


dengan sebuah siklus kontrasepsi oral dapat mempercepat regresi residu
kista ovarium, namun belum terdapat bukti bahwa terapi tersebut lebih unggul
dibandingkan dengan hanya melakukan observasi saja.
Penelitian terhadap pertumbuhan endometrium pada siklus ovulasi yang
diinduksi oleh gonadotropin eksogen menunjukkan bahwa pemeriksaan USG
terhadap ketebalan endometrium juga bermanfaat. Cycle fecundity meningkat
sesuai peningkatan ketebalan endometrium, yang memang terkait dengan
konsentrasi serum estradiol. Hanya sedikit kehamilan yang terjadi bila
ketebalan endometrium <7 mm pada hari ovulasi (yang diinduksi oleh hCG).
Hasil dari Terapi Gonadotropin Eksogen
Meskipun terapi gonadotropin eksogen dapat dengan sukses menginduksi
terjadinya ovulasi pada lebih dari 90% wanita dengan hipogonadisme
hipogonadotropik (WHO grup I) serta pada wanita anovulatoir yang resisten
clomiphene (WHO grup II), namun tingkat kehamilan yang dicapai pada kedua
populasi

tersebut

berbeda

secara

signifikan.

Pada

wanita

dengan

hipogonadisme hipogonadotropik, cycle fecundity adalah sekitar 25%, setara


atau bahkan lebih besar daripada wanita fertil normal dan tingkat kehamilan
kumulatif dengan 6 siklus stimulasi gonadotropin mencapai 90%.

Namun,

sebagai perbandingan, cycle fecundity jauh lebih rendah pada wanita anovulatoir
yang resisten terhadap clomiphene. Secara keseluruhan, cycle fecundity berada
pada rentang 5% hingga 15%, dan tingkat konsepsi kumulatif berkisar antara 3060%;

dan

di

dalam

kelompok

ini,

wanita

dengan

anovulasi

kronik

hiperandrogenik memiliki prognosis yang paling buruk. Meskipun hasil secara


umum tidak berubah seiring dengan durasi infertilitas atau paritas, namun tingkat
kehamilan jauh lebih rendah pada wanita usia >35 tahun daripada wanita dengan
usia yang lebih muda.
Insiden gestasi multifetus meningkat pesat pada kehamilan yang dihasilkan
dari ovulasi dengan induksi gonadotropin eksogen, bahkan pada wanita
anovulatoir di mana tujuan terapi seharusnya adalah ovulasi unifolikuler. Sekitar
1 dari 80 (1.25%) kehamilan spontan dan 5-8% dari kehamilan yang diterapi
dengan clomiphene adalah kehamilan ganda, namun hampir 15% dari semua
kehamilan dengan induksi gonadotropin eksogen pada wanita anovulatoir adalah
kehamilan ganda. Tidak mengagetkan bahwa insiden gestasi multiple di antara
para wanita subfertil yang menerima stimulasi gonadotropin yang bertujuan untuk

98

menghasilkan superovulasi, bahkan lebih tinggi dan dapat mendekati 30%


dengan hampir 1/3 dari jumlah tersebut merupakan kehamilan ganda dengan
kualitas tinggi (sekitar 10% dari seluruhnya). Frekuensi kehamilan ganda yang
lebih tinggi setelah pemberian terapi gonadotropin, jelas merupakan akibat dari
ovulasi multiple baik sengaja maupun tidak. Menariknya, meski demikian,
terdapat beberapa bukti yang menyebutkan bahwa frekuensi normal dari kembar
monozigot (0.3-0.4%) mungkin akan meningkat hingga 3 kali lipat pada
kehamilan dari hasil induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen.
Keseluruhan insiden dari abortus spontan pada siklus konsepsi yang
diinduksi gonadotropin adalah sekitar 20-25%, lebih tinggi daripada yang diamati
secara klinis (15%). Tingginya prevalensi wanita usia lanjut dan obesitas di
antara para wanita yang menerima terapi gonadotropin tampaknya juga berperan
terhadap insiden abortus yang tinggi, namun tingkat abortus juga berbeda sesuai
indikasi terapi. Secara umum, tingkat abortus lebih rendah pada wanita dengan
hipogonadisme hipogonadotropik dan jauh lebih tinggi pada wanita anovulatoir
yang resisten clomiphene, namun hasil ini tidak didapatkan pada semua studi.
Sebagaimana terapi clomiphene, tidak ada bukti bahwa terapi gonadotropin
terkait dengan peningkatan prevalensi anomaly kongenital.
Resiko Terapi Gonadotropin Eksogen
Selain besarnya biaya dan kebutuhan logistik, terapi gonadotropin endogen
juga memiliki beberapa resiko yang signifikan.

Resiko terbesar adalah

kehamilan ganda dan sindroma hiperstimulasi ovarium. Keduanya tidak dapat


dihindari secara keseluruhan, bahkan oleh klinisi yang paling berpengalaman
sekalipun, namun kedua resiko tersebut dapat dikurangi dengan manajemen
yang teliti. Karena setiap terapi yang kompleks memiliki resiko intrinsik yang
signifikan, maka konseling pre-terapi harus dilakukan dengan seksama.

Kehamilan Ganda
Kehamilan kembar dua telah meningkat lebih dari 50% dan kehamilan
triplet serta kehamilan kembar empat atau lebih lainnya telah meningkat lebih
dari empat kali lipat sejak tahun 1980. Kelahiran gestasi multifetus kembar
tiga atau lebih di US, telah meningkat hampir empat kali lipat pada wanita usia
30-39 tahun dan lebih dari sepuluh kali lipat pada wanita usia 40 tahun atau
lebih. Sekitar 20% dari peningkatan kelahiran kembar, umumnya kembar dua,
dapat dikaitkan dengan usia ibu yang sudah lanjut serta adanya trend sosial
99

untuk kehamilan usia lanjut (wanita tua lebih mungkin untuk mendapatkan
kehamilan ganda). Sisanya, termasuk gestasi multifetal tiga atau lebih,
merupakan akibat langsung dari penggunaan gonadotropin eksogen untuk
induksi ovulasi, superovulasi, dan ART (assisted reproductive technology).
Jumlah dari kehamilan ganda yang dikandung bahkan lebih besar karena
tidak terjadi penurunan kehamilan multifetus baik spontan maupun yang
diinginkan, pada statistik kelahiran.
Kehamilan ganda adalah kehamilan resiko tinggi pada usia berapapun,
karena seringkali terkomplikasi dengan kelahiran prematur, berat bayi lahir
rendah, diabetes gestasional, dan preeklamsia, serta terkait dengan tingginya
morbiditas dan mortalitas bayi. Manajemen klinis untuk kehamilan ganda
seringkali memerlukan perawatan di rumah sakit yang lama, operasi Caesar,
dan neonatal intensive care (NICU), yang terkait dengan pembiayaan
kesehatan yang sangat besar, baik untuk kedua pasangan maupun untuk
masyarakat.

Faktanya, kombinasi jumlah pembiayaan untuk kehamilan

ganda dan komplikasinya, saat ini telah melebihi semua pembiayaan terapi
untuk mendapatkan kehamilan tersebut. Pembiayaan sosial terkait dengan
kehamilan ganda juga tinggi dan termasuk peningkatan stress pada orang tua,
peningkatan depresi maternal, dan peningkatan kekerasan pada anak, serta
kemungkinan besar adanya masalah perilaku antar saudara. Beberapa faktor
yang berkontribusi terhadap resiko terjadinya kehamilan ganda sangat terkait
dengan terapi gonadotropin eksogen. Meskipun banyak perhatian di tahuntahun belakangan yang telah difokuskan pada praktik transfer embryo di pusat
ART, namun hanya kurang dari separuh kehamilan ganda (dengan terapi)
yang merupakan hasil fertilisasi in vitro. Mayoritas kehamilan ganda
merupakan hasil dari terapi gonadotropin eksogen untuk induksi ovulasi dan
superovulasi.
Gonadotropin eksogen merupakan terapi yang penting dengan indikasi
yang spesifik, dan dengan resiko yang amat nyata, termasuk kehamilan
ganda.
wanita

Gonadotropin seharusnya dilakukan untuk induksi ovulasi pada


infertil

dengan

hipogonadisme

hipogonadotropik

dan

wanita

anovulatoir yang resisten clomiphene serta untuk menginduksi superovulasi


pada wanita subfertil dengan usia lebih tua dan wanita dengan infertilitas tak
terjelaskan, termasuk wanita yang mengalami ovulasi sebagai respon terapi
namun gagal untuk berkonsepsi. Bila ingin menghindari resiko yang tidak
perlu, maka tujuan terapi (ovulasi unifolikuler vs superovulasi) haruslah tetap

100

diingat; karena hanya sedikit indikasi untuk superovulasi pada wanita


anovulatoir namun tidak memiliki faktor infertilitas lainnya.
Banyak wanita infertil yang ingin menjalani terapi yang lebih agresif hanya
karena terapi tersebut memberikan kesempatan sukses yang lebih besar, dan
mereka sulit untuk menerima bahwa terapi apapun sebenarnya bisa sukses.
Bahkan pada wanita yang ingin menghindari resiko berlebihan juga biasanya
sulit untuk menerima rekomendasi untuk menunda siklus terapi, sehingga
lebih memilih untuk mengorbankan waktu dan sumber daya yang dimiliki.
Tekanan finansial akan memberikan beban terberat bahkan untuk pasien yang
paling ingin menghindari resiko serta dokter yang menangani. Pertimbangan
biaya akan mewarnai perspektif dan mempengaruhi keputusan terapi,
menggoda setiap pihak yang terlibat untuk menerima resiko yang sebenarnya
ingin mereka hindari dan akhirnya akan mereka sesali. Beberapa pasangan
tanpa anak bahkan berharap mendapatkan anak kembar, namun sebagian
besar dari mereka menjadi lebih hati-hati setelah dikonseling dengan
seksama, dan tidak ada yang menginginkan anak kembar tiga atau lebih.
Kehamilan ganda merupakan resiko intrinsik dari superovulasi yang
sengaja diinduksi. Pada siklus IVF, resiko kehamilan ganda terkait dengan
jumlah embryo yang ditransfer, yang berada dalam kontrol pasien maupun
dokter yang menangani. Namun, jumlah embryo yang mungkin akan
terimplantasi sangat sulit untuk diprediksi atau dikontrol pada siklus
superovulasi. Resiko ini mungkin secara logika dapat diturunkan bila ovulasi
tidak diinduksi bila level estradiol atau jumlah folikel yang matur sudah
banyak. Sayangnya, parameter terhadap respon terapi yang memberikan
keseimbangan terbaik antara peningkatan cycle fecundity dengan resiko
terjadinya kehamilan ganda dan hiperstimulasi ovarium, masih belum
ditetapkan dan masih tetap kontroversial. Resiko kehamilan ganda meningkat
seiring peningkatan konsentrasi serum estradiol serta jumlah total folikel
ovarium yang berkembang, dan menurun seiring peningkatan usia ibu, namun
tidak terkait dengan jumlah folikel pre-ovulasi yang berukuran besar.
Beberapa pakar mengusulkan berbagai kriteria penghentian siklus yang
mungkin dapat digunakan untuk mengarahkan terapi dan membatasi resiko
kehamilan ganda. Meskipun hanya ada sedikit keraguanuntuk menunda
pemberian hCG bila serum estradiol naik hingga di atas 900-1400 pg/ml atau
USG menunjukkan adanya 4-6 folikel dengan ukuran lebih dari 10-14 mm,

101

namun aplikasi dari kriteria tersebut juga akan menghambat 1/3 dari siklus
yang distimulasi oleh gonadotropin.
Dengan sedikit pengecualian di antara beberapa wanita anovulatoir, secara
umum terapi gonadotropin eksogen dapat diperbaiki untuk mencapai ovulasi
unifolikuler dengan resiko kehamilan ganda yang terbatas dan resiko
kehamilan lebih dari tiga yang minimal.
mungkin

dapat

menurunkan

resiko

Strategi konservatif superovulasi


kehamilan

ganda

terkait

terapi

gonadotropin, namun semua terapi yang tujuannya adalah untuk mencapai


ovulasi multifolikuler tidak dapat menghindar dari konsekuensi tersebut.
Penting untuk diketahui bahwa terapi superovulasi menjadi ada terutama
karena pertimbangan akan kepraktisan metode tersebut sehingga membuat
banyak orang menghindari alternatif IVF. Pada semua kemungkinan,
superovulasi akan semakin ditinggalkan bila IVF dapat dilakukan pada semua
yang membutuhkan.
Saat stimulasi ovulasi melebihi target terapi, pilihan manajemen selain
penundaan siklus antara lain adalah konversi ke metode IVF dan aspirasi
trans vagina dari folikel yang berlebihan tersebut. Sayangnya, metode IVF
hanya tersedia pada pusat yang menawarkan IVF. Sebagian besar pasangan
relatif tidak memiliki persiapan untuk perubahan rencana terapi dan persiapan
biaya tambahan yang mungkin akan dibutuhkan.

Prognosis untuk sukses

mungkin lebih rendah daripada siklus stimulasi IVF yang memang telah
direncanakan sejak awal. Sedikit pengalaman dengan pilihan kedua untuk
mengaspirasi kelebihan folikel, sebelum administrasi hCG, untuk mencegah
ovulasi lebih dari 3 ovum, menunjukkan bahwa strategi ini secara efektif dapat
menurunkan resiko kehamilan ganda dan mungkin dapat menjadi alternatif
dari penundaan siklus.
Wanita yang mencapai kehamilan kembar tiga atau lebih, meskipun telah
menjalani semua usaha untuk menghindari komplikasi, harus memilih di
antara 3 pilihan yang sulit. Terminasi dari semua kehamilan sangatlah tidak
dapat diterima, khususnya pada pasangan yang sebelumnya benar-benar
infertil. Meneruskan kehamilan akan memberikan resiko kelahiran prematur
dan komplikasi lain terkait morbiditas dan mortalitas neonatus serta disabilitas
jangka panjang. Reduksi kehamilan ganda berarti mengorbankan sebagian
dari kehamilan untuk menyelamatkan semua, namun pada banyak orang, hal
tersebut bukan merupakan sebuah pilihan sama sekali, untuk berbagai alasan
baik personal, moral, etik, maupun agama.

102

Untuk sebagian besar orang,

pilihan antara resiko dengan melanjutkan kehamilan tersebut dan reduksi


kehamilan, memberikan dilemma yang paling sulit.

Pasangan yang pada

akhirnya memilih melakukan reduksi kehamilan, akan mengalami pergulatan


emosi yang hebat. Kecemasan yang sebelumnya turun dengan adanya
diagnosis kehamilan, menjadi meningkat sangat tinggi saat diketahui adanya
kehamilan ganda, menurun beberapa saat setelah konsultasi sebelum
dilakukannya reduksi, kemudian meningkat tajam saat dilakukannya prosedur,
dan turun kembali setelah selesai prosedur. Bila melihat masa lalu, 2/3 dari
pasangan tersebut merasakan suatu nyeri emosional akut, stress, dan
ketakutan, dan hampir 20% melaporkan rasa bersalah dan kemarahan.
Pada hampir semua kasus, reduksi kehamilan ganda dilakukan secara
transabdomen dengan guiding USG antara usia gestasi 11 dan 14 minggu.
Pada usia gestasi tersebut, kemungkinan terjadinya reduksi spontan sudah
tidak ada dan dapat dilakukan skrining kasar untuk mengetahui kemungkinan
anomaly struktural dan tanda-tanda aneuploidy untuk mengarahkan proses
seleksi fetus yang akan dilakukan reduksi.

Belum ada penelitian random

terkontrol yang membandingkan outcome maternal dan neonatal pada


kehamilan ganda tiga atau lebih yang dilakukan manajemen observasi dengan
yang dilakukan manajemen reduksi, dan tampaknya tidak akanpernah ada.
Sebuah laporan dari register internasional yang mencakup lebih dari 3.500
reduksi yang dilakukan pada 11 pusat mengindikasikan bahwa reduksi
kehamilan ganda memiliki tingkat pregnancy loss total sekitar 10% dengan 4%
berupa kelahiran prematur pada usia gestasi 25-28 minggu (prematuritas
berat). Kedua hasil tersebut dapat dibandingkan dengan hasil yang
didapatkan dari laporan berkala kehamilan ganda yang tidak direduksi.
Outcome sangat terkait dengan jumlah fetus baik sebelum maupun setelah
dilakukan reduksi dan membaik sesuai dengan pengalaman operator.
Outcome yang lebih baik didapatkan pada kehamilan triplet (6% pregnancy
loss, 3% prematuritas berat) daripada kehamilan quadruplet dan kehamilan
ganda lebih dari empat (12-22%; 4-11%) dan membaik seiring penurunan
jumlah fetus yang tersisa mulai dari 3 (20%; 6.5%), 2 (9%; 4%) dan 1 (9%;
1.6%). Reduksi kehamilan multifetus merupakan manajemen yang efektif
untuk mengatasi komplikasi kehamilan kembar tiga atau lebih, namun
merupakan

satu-satunya

cara di

mana

menginginkannya.

103

hampir

semua

orang tidak

Ovarian Hyperstimulation Syndrome


Sindroma hiperstimulasi ovarium merupakan komplikasi iatrogenik dari
induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen. Gangguan ini juga terkadang
didapatkan pada siklus yang diinduksi dengan clomiphene. Sindroma
hiperstimulasi ovarium pada kehamilan spontan merupakan kasus yang
jarang terjadi, yang secara umum dikaitkan dengan suatu kondisi yang
ditandai dengan konsentrasi hCG suprafisiologi (gestasi multiple, kehamilan
mola). Kasus sindroma hiperstimulasi ovarium yang berulang pada kehamilan
tunggal spontan pada seorang individu dan keluarganya telah ditemukan dan
terkait dengan mutasi germline pada reseptor FSH yang mengakibatkan
hilangnya spesifisitas ligand dan ligand dapat teraktivasi oleh hCG.
Sindroma hiperstimulasi ovarium memiliki spektrum patofisiologi yang luas
mulai dari penyakit yang ringan hingga berat. Sindroma ini sendiri biasanya
self-limited dan sembuh spontan dalam beberapa hari, namun pada beberapa
orang dapat menetap selama siklus konsepsi. Tanda utama sindroma
hiperstimulasi ovarium adalah peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
menyebabkan perpindahan cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler, yang
mungkin dimediasi oleh peningkatan sekresi substansi vasoaktif oleh ovarium
termasuk vascular endothelial growth factor, elemen-elemen sistem reninangiotensin, dan sitokin lainnya.
Faktor resiko untuk sindroma hiperstimulasi ovarium antara lain usia muda,
berat badan rendah, polycystic ovary syndrome, pemberian gonadotropin
pada dosis tinggi, dan riwayat hiperstimulasi sebelumnya. Resiko makin
meningkat seiring dengan peningkatan serum estradiol dan jumlah folikel
ovarium yang berkembang dan saat dosis tambahan hCG diberikan setelah
ovulasi untuk mendukung fase luteal.Sindroma hiperstimulasi ovarium secara
tradisional diklasifikasikan ke dalam kategori ringan, sedang, dan berat,
namun mungkin paling baik dipandang sebagai sebuah rangkaian kesatuan
dengan berbagai jumlah dan keparahan gejala yang berbeda.
Penyakit yang ringan ditandai dengan perbesaran

ovarium,

ketidaknyamanan di abdomen bawah, mual dan muntah ringan, diare, dan


distensi abdomen, dan hal ini terjadi pada 1/3 dari siklus superovulasi. Secara
umum, hanya diperlukan analgesik oral dan konseling untuk mengingatkan
wanita yang mengalami tentang gejala dan tanda bila penyakit berkembang
makin progresif; intercourse mungkin akan menyebabkan nyeri dan sebaiknya
dihindari untuk mencegah resiko ruptur ovarium.

104

Gejala yang persisten atau makin memburuk atau adanya ascites,


merupakan tanda dari perburukan penyakit dan memerlukan terapi dengan
antiemetik serta analgesik oral yang lebih poten. Manajemen rawat jalan
masih dapat dilakukan namun harus dilakukan monitoring yang teliti terhadap
berat badan dan frekuensi urine setiap hari, pemeriksaan klinis berkala untuk
mendeteksi ascites, dan pemeriksaan laboratorium untuk evaluasi hematokrit,
elektrolit, dan creatinine serum. Intake cairan oral harus dipertahankan tidak
kurang dari 1 L/hari; minuman suplemen elektrolit komersial secara umum
dapat ditoleransi dengan baik, dan dapat menjaga keseimbangan elektrolit.
Aktivitas fisik yang berlebih sebaiknya dihindari untuk mencegah resiko torsio
ovarium, namun aktivitas fisik ringan lebih baik daripada hanya sekedar bed
rest yang dapat meningkatkan resiko thromboemboli. Peningkatan berat
badan lebih dari 4 kg/hari dan penurunan frekuensi urine merupakan indikasi
untuk dilakukannya evaluasi klinis dan laboratoris ulang.

Wanita hamil

dengan sindroma hiperstimulasi ovarium membutuhkan monitoring ketat


karena peningkatan level hCG yang cepat akan meningkatkan resiko progress
penyakit menjadi lebih berat. Keparahan gejala, nyeri yang persisten, atau
pertimbangan sosial, dapat menjadi indikasi rawat inap.
Bentuk yang berat dari sindroma ini jarang terjadi, insidennya sekitar 1%.
Tanda khasnya antara lain nyeri hebat, peningkatan berat badan dengan
cepat, ascites yang tegang, instabilitas hemodinamik, kesulitan respirasi,
oliguria progresif, dan abnormalitas laboratorium. Hipotensi dapat disebabkan
karena penurunan volume vaskuler, oliguria terjadi akibat penurunan perfusi
renal karena rendahnya volume vaskuler atau karena ascites, dan dyspnea
dapat

disebabkan

oleh

ascites

atau

hydrothorax.

Hemokonsentrasi,

penurunan perfusi perifer, dan inaktivitas fisik, dapat meningkatkan resiko


thromboemboli. Gagal ginjal, adult respiratory distress syndrome, perdarahan
akibat rupture ovarium, dan fenomena thromboemboli merupakan komplikasi
yang mengancam jiwa dari syndrome hiperstimulasi ovarium.
Rawat inap untuk melakukan monitoring teliti dan terapi agresif, harus
dilakukan pada wanita dengan nyeri abdomen hebat atau tanda peritoneal,
mual dan muntah tiada henti, oliguria berat, ascites yang tegang, dyspnea
atau tachypnea, pingsan atau rasa berputar, hiponatremia berat (natrium <135
mEq/l) atau hyperkalemia berat (kalium >5 mEq/l), hemokonsentrasi
(hematocrit >45%), atau fungsi ginjal abnormal (serum creatinine >1.2 mg/dl;

105

creatinine clearance <50 ml/menit) atau fungsi liver abnormal (peningkatan


trans-aminase).
Manajemen yang dianjurkan selama rawat inap meliputi evaluasi berkala
tanda vital; berat badan setiap hari; pengukuran lingkar abdomen dan
keseimbangan cairan; pemeriksaan chest X-ray dan echocardiogram bila
dicurigai terdapat efusi pleura atau pericardial; pulse oxymetry pada wanita
dengan gejala pulmoner; dan pemeriksaan hematokrit, elektrolit, fungsi renal,
serta fungsi liver secara berkala. Manajemen cairan intravena harus dapat
mengembalikan volume plasma efektif namun tidak berlebihan sehingga tidak
menambah akumulasi cairan ekstravaskuler. Setelah rehidrasi awal, cairan
harus diberikan sesuai volume terendah yang dibutuhkan untuk menjaga
produksi urine adekuat dan mengurangi hemokonsentrasi. Karena adanya
kecenderungan terjadi hiponatremia, maka cairan salin lebih dipilih daripada
Ringer lactat. Bila salin gagal memenuhi kebutuhan, maka dapat dilakukan
infusi albumin lambat (albumin 25%; 50-100 gram dalam interval 4-12 jam)
sebagai plasma expander. Penggunaan diuretik sebelum waktunya atau
secara berlebihan, terbukti kontraproduktif. Pemberian cairan intravena dapat
diturunkan secara substansial setelah terjadi diuresis dan intake oral dapat
dimulai kembali. Hyperkalemia mungkin memerlukan terapi spesfik untuk
memindahkan

kalsium

ke

ruang

intraseluler

(insulin/glukosa,

sodium

bikarbonat) atau untuk mencegah disritmia jantung (kalsium glukonas).


Paracentesis dengan guiding USG dapat sangat bermanfaat bagi wanita
dengan nyeri akibat ascites, gangguan pulmoner, ataupun oliguria yang tidak
berespon terhadap manajemen cairan. Cairan harus diambil secara bertahap
untuk mencegah konsekuensi perpindahan cairan yang tiba-tiba, dan dapat
diulang bila perlu. Pada beberapa wanita dengan kasus efusi pleura bilateral
persisten atau efusi berat, yang jarang terjadi, mungkin diperlukan
thoracentesis untuk mengurangi gejala pulmoner. Direkomendasikan untuk
memberikan stocking penyangga vena full length serta perlu dipertimbangan
kemungkinan memberikan terapi heparin (5.000 unit setiap 12 jam) pada
pasien dengan hemokonsentrasi berat.
Bila gejala-gejala yang ada membuat pasien tidak mampu bergerak, maka
dapat dilakukan penggunaan intermittent pneumatic compression device
untuk mengurangi resiko thrombosis. Tanda dan gejala klinis yang
menandakan

adanya

thromboemboli

106

menunjukkan

indikasi

untuk

dilakukannya pemeriksaan diagnostik tambahan dan terapi antikoagulasi bila


diagnosis telah terkonfirmasi.
Pada kasus sindroma hiperstimulasi ovarium yang paling berat, mungkin
diperlukan perawatan intensif untuk mengatasi thromboemboli, gagal ginjal,
atau penurunan fungsi paru. Wanita dengan hiperstimulasi berat dan torsio
ovarium

atau kista ovarium

yang ruptur

dengan perdarahan,

yang

memerlukan manajemen operasi, memberikan tantangan tersendiri bagi ahli


anestesi

yang

tidak

terlalu

familiar

dengan

patofisiologi

sindroma

hiperstimulasi ovarium.
Pengetahuan dan deteksi tepat mengenai faktor resiko dari hiperstimulasi
ovarium, penting untuk pencegahan. Peningkatan level serum estradiol yang
cepat, dengan konsentrasi >2.500 pg/ml, dan hasil observasi berupa adanya
sejumlah besar folikel ovarium berukuran kecil hingga sedang, merupakan
indikator

resiko

tinggi

dan

sinyal

untuk

lebih

berhati-hati.

Harus

dipertimbangkan untuk menunda siklus dan memberikan stimulasi yang lebih


tidak agresif pada siklus yang selanjutnya. Penurunan stimulasi dengan tidak
memberikan stimulasi gonadotropin dan menunda administrasi hCG selama
1-3 hari hingga level estradiol tetap (tidak naik) atau turun, dapat mengurangi
resiko hiperstimulasi. Dosis hCG yang lebih rendah (5.000 IU) juga mungkin
dapat membantu mengurangi resiko. Alternatifnya, agonis GnRH dapat
digunakan sebagai pemicu LH surge endogen dan menginduksi ovulasi,
sehingga dapat menghindari durasi aksi yang panjang serta stimulasi dari
hCG. Bila dirasa perlu untuk memberikan dukungan pada fase luteal, maka
dapat diberikan progesterone eksogen melalui injeksi (50 mg/hari) atau
melalui vagina (supositoria 100 mg atau el 8%/hari) sebagai pengganti dosis

tambahan hCG.
Kanker Payudara dan Ovarium
Bukti yang menunjukkan bahwa obat induksi ovulasi mungkin terkait
dengan peningkatan resiko kanker payudara atau ovarium, telah diulas saat
mendiskusikan resiko potensial yang dimiliki terapi clomiphene sebelumnya
pada chapter ini. Singkatnya, sebuah analisis terhadap hasil dari 8 studi case
control menemukan bahwa obat fertilitas yang digunakan pada wanita subfertil
nullipara, terkait dengan peningkatan insiden tumor ovarium serosa borderline
(OR=2.43, CI=1.01-5.88) namun tidak dengan kanker invasive (OR=1.60,
CI=0.90-2.87). Meskipun sebagian besar studi tidak menemukan bukti bahwa
obat fertilitas dapat meningkatkan resiko keseluruhan dari kanker payudara,
namun hasil dari satu studi case control menemukan bahwa penggunaan
107

gonadotropin yang berkepanjangan atau berulang (6 siklus atau lebih)


mungkin akan meningkatkan resiko kanker payudara. Secara umum, data
yang ada cukup menggembirakan. Tidak ada hubungan sebab akibat antara
terapi gonadotropin eksogen dengan kanker payudara atau ovarium yang
telah ditemukan, meskipun studi jangka panjang masih harus dilakukan, dan
terapi berkepanjanga sebaiknya dihindari bila hanya memberikan harapan
kecil untuk sukses.
INDUKSI OVULASI DENGAN GNRH EKSOGEN
Terapi GnRH eksogen pulsatile telah digunakan untuk induksi ovulasi
dengan sukses sejak tahun 1980. Dibandingkan metode lainnya, terapi GnRH
memiliki beberapa keuntungan dan kerugian. Metode ini mudah digunakan, tidak
memerlukan monitoring yang ekstensif dan mahal, dan memiliki resiko rendah
untuk terjadinya kehamilan ganda dan hiperstimulasi ovarium. Meski demikian,
karena terapi GnRH memerlukan kateter in-dwelling intravena selama 2-3
minggu atau lebih, banyak wanita takut apabila jarum kateter mengalami
pemindahan posisi atau terjadi masalah teknis lainnya, sehingga banyak wanita
enggan menggunakan terapi ini atau bahkan menolak sama sekali.
Farmakologi dan Fisiologi dari Terapi GnRH Eksogen
GnRH sintetik tersedia dalam bentuk kristalin, yang setelah dilakukan
rekonstitusi dalam pelarut aqueous, akan tetap stabil selama setidaknya 3
minggu di suhu ruangan. GnRH diadministrasikan dengan cara kontinyu namun
pulsatile (dengan denyutan) menggunakan mini-pump (pemompa mini) yang
portable, yang harus dipakai terus menerus, siang malam, dan memerlukan
beberapa cara untuk menjaganya selama mandi dan tidur. Meskipun obat ini
dapat diadministrasikan secara intravena atau subkutan, namun rute intravena
hanya memerlukan dosis yang lebih rendah sehingga memerlukan pembiayaan
yang lebih rendah (2.5-5.0 vs 15-20 g/pulsasi), lebih fisiologis, dan lebih efektif.
Obat ini dimetabolisme dengan cepat dan memiliki paruh waktu akhir sekitar 1040 menit setelah diadministrasikan intravena. Dibandingkan dengan puncak
singkat di level serum yang merupakan hasil dari administrasi intravena dan
secara efektif menyamai pola normal sekresi GnRH hypothalamus yang pulsatile,
terapi subkutan menghasilkan level serum stimulasi GnRH yang rendah namun
kontinyu tanpa adanya puncak konsentrasi yang jelas.

108

Hakikatnya, terapi GnRH eksogen intravena pulsatile merepresentasikan


sebuah

hypothalamus

buatan.

Pada

wanita

dengan

hipogonadisme

hipogonadotropik, dengan sekresi GnRH endogen pulsatile yang rendah atau


bahkan tidak ada sama sekali, terapi ini dapat mengembalikan ritme GnRH
pulsatile yang normal. Pada wanita dengan bentuk disfungsi ovulasi lainnya,
terapi ini akan memberikan ritme normal kepada sekresi GnRH endogen yang
memiliki pola abnormal. Yang paling penting, terapi GnRH pulsatile eksogen
secara umum hanya menstimulasi level sekresi gonadotropin yang normal
secara fisiologi dan memungkinkan terjadinya modulasi feedback normal
terhadap respon pituitary oleh steroid dan peptide ovarium. Konsekuensinya,
rekrutmen, seleksi, pertumbuhan, dan perkembangan folikel pada wanita yang
menggunakan pompa GnRH berproses seperti layaknya siklus menstruasi
normal.
Indikasi Terapi GnRH Eksogen
Wanita infertil anovulatoir dengan hipogonadisme hipogonadotropik
adalah kandidat terbaik untuk dilakukannya induksi ovulasi dengan GnRH
eksogen karena terapi ini sifatnya spesifik, fisiologis, dan sangat efektif; di mana
pompa GnRH menyediakan satu-satunya sinyal instruksi yang mungkin diterima
gonadotrop pituitary. Meskipun obat ini juga dapat digunakan pada wanita
dengan gangguan ovulasi, biasanya kurang efektif, mungkin karena pituitary
memiliki kesulitan yang lebih besar dalam menginterpretasikan sinyal yang
bercampur dari stimuli GnRH endogen dan eksogen.

Sebagaimana sering

didapatkan pada wanita dengan polycystic ovary syndrome, peningkatan BMI


(>24), serum LH (>15 IU/l), serum testosterone (>100 ng/dl), dan insulin puasa
(>15 U/ml) terkait dengan rendahnya tingkat ovulasi sebagai respon terhadap
GnRH eksogen dan rendahnya tingkat kehamilan untuk setiap siklus ovulasi.
Pompa GnRH juga efektif untuk wanita dengan hiperprolaktinemia dan
menawarkan alternatif terhadap terapi gonadotropin eksogen bila terapi agonis
dopamine gagal atau tidak dapat dilakukan.
Regimen Terapi GnRH Eksogen
GnRH eksogen paling efektif bila diberikan intravena dengan dosis rendah
(2.5-5.0 g/pulse) dengan interval yang konstan (setiap 60-90 menit). Wanita
yang gagal berovulasi mungkin akan berespon terhadap dosis yang lebih tinggi

109

(10-20 g). Sebagaimana halnya terapi clomiphene dan gonadotropin eksogen,


terapi ini harus dimulai dengan dosis rendah dan dosis ditingkatkan secara
bertahap sesuai kebutuhan individu karena resiko kehamilan ganda akan
meningkat seiring peningkatan dosis pulse.

Pada ruang lingkup yang lebih

besar, dosis dan durasi terapi GnRH eksogen yang dibutuhkan untuk
menginduksi ovulasi tergantung pada lingkungan endokrin pada tubuh seorang
wanita.
Pada wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik primer, dosis rendah
(2.5 g/pulse) dapat menginduksi ovulasi secara efektif, namun konsentrasi LH
fase folikuler mungkin tetap lebih rendah daripada normal dan konsentrasi
progesterone fase luteal seringkali juga menurun; kedua konsentrasi tersebut
umumnya akan normal bila digunakan GnRH dengan dosis yang lebih tinggi (5.0
g/pulse). Durasi terapi yang lebih lama biasanya diperlukan karena simpanan
gonadotropin pituitary yang tersedia sangatlah kurang akibat rendahnya sekresi
GnRH

endogen

sebelumnya.

Pada

wanita

dengan

hipogonadisme

hipogonadotropik sekunder idiopatik, terapi harus dimulai dengan GnRH dosis


rendah (2.5 g/pulse); dosis yang lebih tinggi (5.0 g/pulse) akan menyebabkan
tingginya level estradiol dan LH pada fase folikular dan luteal, fase folikuler yang
lebih pendek, follikulogenesis multipel, dan tingginya resiko kehamilan ganda,
mungkin karena sifat dasar dari pituitary atau ovarium memang memiliki
sensitifitas yang lebih besar terhadap terapi GnRH.
Respon endokrin pada wanita dengan polycystic ovary syndrome terhadap
terapi GnRH pulsatile eksogen (5.0 g/pulse) sangatlah abnormal, namun dapat
dinormalisasi dengan pre-terapi menggunakan agonis GnRH dengan masa kerja
panjang (administrasi subkutan setiap hari, bukan diberikan dalam injeksi depot)
selama 6-8 minggu segera sebelum memulai terapi GnRH pulsatile eksogen.
Tanpa pre-terapi dengan agonis GnRH, level FSH, LH, dan estradiol pada fase
folikuler dan konsentrasi estradiol pada fase luteal semuanya meningkat secara
abnormal. Setelah dilakukan down-regulation pre-eliminer dengan memberikan
agonis GnRH, karakteristik endokrin dari siklus yang terinduksi akan lebih
berkembang dan mendekati karakteristik endokrin dari siklus ovulasi spontan
pada wanita normal. Apabila terapi down regulation dengan agonis GnRH tidak
diberikan sebelum siklus sesudahnya, maka respon terhadap terapi GnRH
eksogen akan kembali abnormal. Keuntungan dari pre-terapi dengan agonis

110

GnRH mungkin merupakan hasil dari supresi level androgen intra-ovarium dan
perbaikan (peningkatan) rasio FSH/LH sebelum terapi GnRH dimulai.
Setelah dicapai ovulasi, terapi GnRH dapat dilanjutkan dengan frekuensi
pulse yang sama atau lebih lambat (setiap 120 hingga 240 menit). Meskipun
kedua konsentrasi tersebut dapat menstimulasi sekresi LH endogen yang cukup
untuk mendukung fungsi corpus luteum normal, namun frekuensi yang lebih
lambat akan lebih menyamai penurunan frekuensi pulse endogen yang terjadi
pada siklus normal selama fase luteal dan mungkin dapat membantu
menurunkan besarnya biaya terapi. Meski demikian, lebih mudah dan lebih
murah serta sama efektifnya bila terapi dihentikan setelah ovulasi terjadi dan
dilakukan support terhadap fase luteal dengan pemberian hCG dosis kecil (2.000
IU setiap 3 hari) atau dengan progesteron eksogen.
Monitoring Terapi GnRH Eksogen
Salah satu keuntungan dari terapi pompa GnRH dibandingkan terapi
gonadotropin eksogen, adalah bahwa monitoring tidak diperlukan bila efektifitas
terapi telah ditetapkan. Pengukuran estradiol dan USG ovarium berkala, dapat
dilakukan sebagai terapi monitoring untuk terapi yang sedang berjalan, namun
sebenarnya tidaklah diperlukan. Bukti obyektif dari ovulasi bisa didapatkan dari
pencatatan BBT atau pengukuran progesterone berkala. Bila diperlukan, waktu
ovulasi dapat diestimasi secara lebih akurat dengan memonitor ekskresi LH
dalam urine sebagaimana dilakukan pada siklus spontan serta siklus dengan
induksi clomiphene.

Hasil Terapi GnRH Eksogen


Secara keseluruhan, tingkat ovulasi sebagai respon terhadap terapi GnRH
pulsatile endogen, masih bervariasi antara 50% dan 80%, dan cycle fecundability
memiliki rentang antara 10% hingga 30% untuk setiap siklus ovulasi. Hasil
terbaik didapatkan pada wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik dan
paling

buruk

pada

polycystic

ovary

syndrome.

Pada

hipogonadisme

hipogonadotropik, cycle fecundity yang dicapai setara dengan wanita fertil normal
dan tingkat kehamilan kumulatif dapat mencapai 80% atau lebih setelah 6-12
siklus terapi. Pada . Pada polycystic ovary syndrome,cycle fecundability dan
tingkat kehamilan kumulatif yang dicapai lebih rendah, dan saat ovulasi dapat

111

diinduksi dengan sukses, maka pre-terapi dengan agonis GnRH dapat


meningkatkan tingkat ovulasi.
Secara umum, terapi GnRH pulsatile dapat mencapai tingkat ovulasi dan
kehamilan yang setara dengan atau bahkan melebihi harapan dari yang
diperlihatkan oleh terapi gonadotropin eksogen pada wanita dengan polycystic
ovary syndrome. Meski demikian, bagaimana kedua terapi dapat dibandingkan
pada wanita anovulatoir eugonadotropik yang resisten clomiphene, menjadi
sebuah pertanyaan klinis yang paling relevan dengan jawaban yang masih belum
jelas karena belum ada penelitian yang mempelajari efikasi relatif kedua terapi
tersebut pada kondisi tersebut. Pada sebuah penelitian random terkontrol kecil,
di mana terapi GnRH pulsatile (10-20 g/90 menit) yang diberikan setelah
supresi dengan agonis GnRH (nafarelin 400 g/hari selama 3 minggu atau lebih),
telah dibandingkan secara langsung dengan terapi clomiphene citrate (50-100
mg/hari, siklus hari 3-7) sebagai strategi induksi kehamilan, dan hasilnya adalah
tingkat ovulasi dan kehamilan yang sama di antara kedua kelompok tersebut
pada lebih dari 2-3 siklus terapi. Data ini menekankan kembali bahwa regimen
induksi ovulasi yang lebih komplek dan mahal seperti yang melibatkan terapi
GnRH pump atau terapi gonadotropin eksogen sebaiknya hanya dilakukan untuk
wanita yang gagal berovulasi dengan terapi clomiphene citrate.
Selain hanya membutuhkan sedikit monitoring, atau bahkan tidak sama
sekali, setelah regimen terapi efektif telah ditetapkan, keuntungan lain yang
dimiliki oleh terapi GnRH pulsatile dibandingkan terapi gonadotropin eksogen
adalah bahwa terapi ini jarang menghasilkan perkembangan dan ovulasi multipel
folikel; sehingga resiko terjadinya gestasi multipel lebih rendah dan resiko
hiperstimulasi ovarium juga hampir tidak ada. Pada sebuah serial kasus terbesar
yang mencakup 100 kehamilan pada 600 siklus dengan stimulasi GnRH pada
hampir 300 wanita dengan berbagai gangguan ovulasi, hanya terdapat 4
kehamilan ganda (4%, 1 triplet dan 3 kembar dua) dan tidak terdapat kasus
hiperstimulasi ovarium sedang hingga berat. Pada sebagian besar penelitian lain
yang serupa, insiden kehamilan ganda bervariasi antara 7-9%.

Umumnya,

resiko kehamilan ganda pada siklus konsepsi dengan induksi GnRH setara
dengan siklus terapi clomiphene (5-8%) dan 40-75% lebih rendah daripada
resiko yang disebabkan oleh terapi gonadotropin eksogen pada wanita
anovulatoir (sekitar 15%).

112

Insiden umum abortus spontan pada siklus konsepsi induksi GnRH


eksogen adalah sekitar 30%. Sebagaimana hasil yang didapatkan dari sebagian
besar penelitian hasil terapi gonadotropin eksogen, tingkat abortus paling rendah
terjadi pada wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik (<20%) dan paling
tinggi pada wanita dengan polycystic ovary syndrome (>40%).
Bila diamati bersama, hasil yang dicapai dengan terapi GnRH pulsatile
eksogen mendukung pandangan bahwa meskipun clomiphene citrate tetap
menjadi obat pilihan untuk induksi ovulasi pada wanita anovulatoir (kecuali
wanita dengan hipogonadisme hipogonadotropik), namun GnRH pulsatile (bukan
gonadotropin eksogen), juga dapat menjadi pilihan untuk wanita yang resisten
clomiphene. Sayangnya, hanya sedikit klinisi yang memiliki pengalaman dengan
metode ini dan hanya sedikit wanita yang tertarik dengan metode ini.

INDUKSI OVULASI DENGAN AGONIS DOPAMIN


Hiperprolaktinemia dan terapinya menggunakan agonis dopamine, dapat
dipertimbangkan bilamana terkait dengan amenorrhea (Chapter 11). Detail yang
relevan dari diskusi tersebut dirangkum kembali dengan singkat di sini dalam
sebuah diskusi yang diperluas yang berfokus pada penggunaan agonis
dopamine untuk induksi ovulasi.
Farmakologi dan Mekanisme Aksi Agonis Dopamin
Dua agonis dopamine yang paling banyak digunakan dalam klinis adalah
bromocriptine dan cabergoline. Keduanya merupakan ergot alkaloid dengan aksi
yang

menyerupai

dopamine

melalui

ikatannya

ke

reseptor

dopamine.

Konsentrasi bromocriptine dalam serum mencapai puncak 1-3 jam setelah dosis
oral bromociptine, dan sangat sedikit yang tetap berada di sirkulasi setelah 14
jam post administrasi; sebuah dosis oral 2.5 mg secara umum akan menurunkan
konsentrasi prolactin hingga selama 12 jam. Bila diadministrasikan intra vagina,
dosis bromocriptine yang sama mecapai efek puncak sekitar 10-12 jam
kemudian yang dipertahankan selama 12 jam kemudian. Cabergoline adalah
agonis dopamine kerja panjang dengan afinitas yang tinggi terhadap reseptor
dopamine. Cabergoline dosis tunggal secara efektif menghambat sekresi
prolactin selama 7 hari atau bahkan lebih.

113

Seperti dopamine hypothalamus endogen,

agen agonis

dopamine

menghambat sekresi prolactine pituitary lactotrope secara langsung. Dengan


menurunkan level serum prolactin hingga ke rentang normal, agen agonis
dopamine akan memungkinkan axis hipothalamik-pituitary-ovarium untuk lepas
dari pengaruh supresif hiperprolactinemia terhadap sekresi GnRH pulsatile dan
beroperasi kembali secara normal, sehingga mengembalikan fungsi ovulasi.
Karena adenoma pituitary yang mensekresikan prolactin tetap sensitif terhadap
aksi dopamine, agen agonis dopamine efektif untuk wanita dengan atau tanpa
adenoma pituitary.
Indikasi Terapi Agonis Dopamin
Agonis dopamine adalah pilihan terapi wanita hiperprolactinemia infertil
dengan disfungsi ovulasi yang ingin mencapai kehamilan. Meskipun beberapa
wanita hiperprolaktinemia dapat berespon terhadap terapi clomiphene, namun
sebagian

besarnya

tidak,

karena

konsekuensi

neuroendokrin

dari

hiperprolaktinemia secara umum mengganggu mekanisme di mana clomiphene


memberikan aksi terapeutiknya.
Terapi agonis dopamine dapat sangat efektif pada wanita dengan
galactorrhea namun level serum prolactin normal. Dengan sedikit pengecualian,
adanya galactorrhea dianggap sebagai indikator adanya sekresi prolactine yang
berlebihan.

Penjelasan yang mungkin dari adanya hiperprolactinemia occult

adalah berlebihnya produksi bentuk biologis aktif dari prolactin yang tidak
terdeteksi pada semua sistem pemeriksaan imunologis dan sekresi prolactin
nocturnal yang sementara namun berlebihan inilah yang tidak terdeteksi di
pengambilan sampel darah acak.
Hingga 30% wanita dengan polycystic ovary syndrome dapat mengalami
hiperprolaktinemia ringan. Penurunan level inhibisi dopaminergic juga telah
diketahui sebagai penyebab dari peningkatan konsentrasi serum LH yang
terdapat pada wanita tersebut. Konsekuensinya, agonis dopamine juga telah
diajukan sebagai terapi adjuvant untuk wanita hiperprolaktinemik anovulatoir
dengan polycystic ovary syndrome yang memerlukan terapi gonadotropin
eksogen. Bukti menunjukkan bahwa pre-terapi dengan agonis dopamine dapat
melembutkan respon ovarium terhadap gonadotropin eksogen sehingga
diharapkan mampu menurunkan resiko kehamilan ganda dan hiperstimulasi
ovarium yang terkait dengan terapi gonadotropin eksogen.

114

Regimen Terapi Agonis Dopamin


Karena banyak wanita hiperprolaktinemik yang sangat sensitif terhadap
agonis dopamine dosis rendah, terapi secara umum harus dimulai dengan dosis
rendah dan dinaikkan secara bertahap hingga dosis yang diperlukan untuk
mengembalikan dan mempertahankan euprolaktinemia telah tercapai. Meskipn
dosis yang diperlukan pada akhirnya secara kasar berkaitan dengan derajat
hiperprolaktinemia, banyak wanita dengan level prolactin yang sangat tinggi
masih berespon terhadap agonis dopamine dengan dosis yang relatif rendah.
Dosis agonis dopamine yang diperlukan untuk mempertahankan euprolaktinemia
seringkali lebih rendah daripada yang diperlukan untuk mencapainya pada awal
terapi.
Dengan bromocriptine, terapi biasanya dimulai dengan dosis 1.25-2.5 mg,
diberikan saat akan tidur agar lebih efektif mensupresi peningkatan sekresi
prolactin nocturnal. Dosis awal rendah juga membantu meminimalkan frekuensi
dan keparahan efek samping gastrointestinal dan kardiovaskuler yang terkait
dengan stimulasi reseptor dopamine. Level prolactin menurun dan menjadi stabil
segera setelah terapi dimulai dan pengukuran prolactin berkala akan dapat
menunjukkan efektifitas dosis yang diberikan sedikitnya dalam waktu 1 minggu.
Bila diperlukan, dapat ditambahkan dosis kedua, yang diberikan bersamaan
dengan sarapan atau makan siang. Meskipun sebagian besar wanita berespon
terhadap bromocriptine dengan dosis 2.5-5 mg/hari, beberapa wanita mungkin
memerlukan hingga 10 mg/hari.
Terapi cabergoline biasanya dimulai dengan dosis 0.25 mg 2x/minggu,
ditingkatkan bertahan setelahnya selama sekitar 4 minggu hingga tercapai dosis
efektif. Sebagian besar wanita mencapai level prolactin normal dengan dosis 0.51 mg/minggu; dosis lebih besar dari 2 mg/minggu jarang sekali dibutuhkan.
Cabergoline telah terbukti efektif pada 70-85% wanita hiperprolaktinemia yang
resisten atau tidak dapat mentoleransi terapi bromocriptine.
Terapi gonadotropin eksogen dan terapi GnRH pulsatile eksogen adalah
alternatif strategi induksi ovulasi yang efektif untuk wanita yang tidak berespon
terhadap agonis dopamine, baik diberikan tunggal maupun dengan kombinasi
bersama clomiphene.
Hasil Terapi Agonis Dopamin

115

Secara

umum,

terapi

agonis

dopamine

akan

menormalkan

dan

mempertahankan level prolactin normal pada sekitar 60-85% wanita dengan


hiperprolaktinemia. Siklus menstruasi akan kembali pada 70-90% wanita,
biasanya dalam 6-8 minggu setelah terapi dimulai, dan siklus ovulasi kembali
dalam 50-75% wanita yang diterapi baik dengan ataupun tanpa tumor.
Kemungkinan kesuksesan terapi lebih rendah untuk wanita dengan peningkatan
level prolactin yang sangat tinggi (>100 ng/ml) daripada wanita dengan level
prolactin yang lebih rendah. Sekresi payudara biasanya menghilang dalam
sekitar 6 minggu dan hilangnya galactorrhea sama sekali bisa dicapai dalam
waktu

kali

lipatnya.

Setelah

penghentian

terapi

agonis

dopamine,

hiperprolaktinemia dan disfungsi menstrual yang ada akan kembali ada pada 7580% wanita.
Sebuah

penelitian

random

terkontrol

yang

melibatkan

wanita

hiperprolaktinemik amenorrhea menemukan bahwa cabergoline lebih efektif


daripada bromocriptine dalam mencapai dan mempertahankan level prolactine
normal, mengembalikan fungsi menstruasi dan ovulasi, juga ditoleransi dengan
lebih baik; ketaatan terapi mingguan (cabergoline) juga lebih baik daripada
ketaatan terhadap regimen harian yang diberikan 2x/hari (bromocriptine).
Efek Samping Agonis Dopamin
Secara umum, efek samping dari terapi agonis dopamine sering terjadi,
namun umumnya juga dapat ditoleransi dengan baik dan paling berat terjadi
pada 2 minggu pertama terapi. Karena bromocriptine menstimulasi baik reseptor
dopamine D1 maupun D2, sebagian besar wanita akan mengalami sedikit efek
samping adrenergic, di mana yang paling sering adalah pusing, mual, muntah,
hidung buntu, dan hipotensi orthostatic. Meskipun cabergoline memiliki efek
samping yang mirip, biasanya lebih jarang dan lebih ringan, mungkin karena
tingginya afinitas obat ini terhadap reseptor D2. Efek samping berat yang hingga
memerlukan penghentian terapi terjadi pada 12% wanita yang diterapi dengan
bromocriptine dan 3% yang diterapi dengan cabergoline.
Efek samping bisa diminimalisir dengan memulai terapi dengan dosis
rendah, ditingkatkan bertahap setelahnya, sesuai dosis yang dibutuhkan dan
ditoleransi. Administrasi obat bersama snack atau makanan juga akan
memperbaiki toleransi terhadap obat. Bila diperlukan, administrasi vagina dari
bromocriptine dan cabergoline dapat membantu menurunkan efek samping dan

116

memperbaiki ketaatan terapi. Bila banyak dosis oral yang tidak terabsorbsi atau
termetabolisme dengan cepat saat first pass melalui liver, absorbsi melalui
vagina lebih komplit dan tidak melalui metabolisme hepar. Konsekuensinya, hasil
terapi seringkali dicapai dengan dosis rendah saat obat tersebut diadministrasi
melalui vagina.
Resiko Terapi Agonis Dopamin
Tidak ada bukti bahwa agonis dopamine menyebabkan peningkatan resiko
abortus spontan atau defek lahir. Berbagai studi terhadap wanita yang
mengalami konsepsi dengan terapi ini tidak menemukan adanya peningkatan
abortus spontan atau anomaly kongenital pada kehamilan tersebut akibat terapi
dengan bromocriptine atau cabergoline.

117

CHAPTER 32
TEKNOLOGI REPRODUKSI YANG DIBANTU
(ASSISTED REPRODUCTIVE TECHNOLOGY)

ASSISTED REPRODUCTIVE TECHNOLOGY


Assisted reproductive technology (ART) meliputi semua teknik yang
melibatkan manipulasi langsung terhadap oocyte di luar tubuh. Bentuk ART
paling awal yang masih sering digunakan adalah in vitro fertilization (IVF), namun
terdapat sejumlah teknik lainnya yang termasuk dalam ART. Kesuksesan ART
modern telah merevolusi baik evaluasi maupun terapi terhadap infertilitas.
Beberapa terapi tradisional telah ditinggalkan dan saat ini hanya memiliki aplikasi
yang terbatas karena ART jauh lebih efektif. Trend ini pasti akan terus berlanjut.
IVF melibatkan langkah-langkah yang sangat terkoordinasi, dimulai dengan
hiperstimulasi ovarium terkontrol dengan menggunakan gonadotropin eksogen,
yang diikuti dengan pengambilan oocyte dari ovarium dengan guiding USG
transvagina, kemudian dilakukan fertilisasi di laboratorium, dan transfer embryo
trans-cervical menuju uterus. Anak pertama yang merupakan hasil IVF dilahirkan
di tahun 1978. Beberapa tahun setelahnya, teknik ini terus berkembang dan
terus diperbaiki serta diperluas. ART saat ini juga meliputi metode bantuan
fertilisasi dengan intracytoplasmic sperm incjection (ICSI) menggunakan sperma
yang diambil dari ejakulat atau diambila dengan microsurgical epididymal sperm
aspiration (MESA) atau testicular sperm extraction (TESE); assisted embryo
hatching; dan diagnosis genetik pre-implantasi. Pada sebagian besar kasus, IVF
digunakan untuk membantu pasangan infertil untuk mencapai kehamilan dengan
anak biologis mereka sendiri, namun IVF juga dapat menggunakan sperma
donor, oocyte donor, dan gestational surrogate (rahim pinjaman), baik digunakan
terpisah maupun dalam kombinasi, sesuai kondisi.
Bentuk lain ART melibatkan transfer tuba berupa oocyte dan sperma
(gamete intrafallopian transfer/GIFT), zygote (zygote intrafallopian transfer/ZIFT),
atau embryo (tubal embryo transfer/TET) melalui laparoskopi. Pada tahun-tahun
belakangan, teknik yang lebih invasive menawarkan beberapa keuntungan
dibandingkan IVF tradisional untuk beberapa pasangan infertil, namun saat ini
118

tidak lagi. Konsekuensinya, metode invasive tersebut kini hanya memiliki indikasi
yang terbatas.
Tujuan dari chapter ini adalah memberikan ulasan untuk indikasi-indikasi
ART, metode paling banyak digunakan untuk stimulasi ovarium, pengambilan
oocyte, pengambilan sperma, fertilisasi, dan transfer embryo/gamet, dan hasil
serta komplikasi ART, dengan penekanan terhadap teknologi yang baru
dikembangkan serta area kontroversinya.
INDIKASI UNTUK IVF
IVF pertama kali dikembangkan untuk mengatasi infertilitas akibat penyakit
tuba yang tidak dapat diperbaiki, namun saat ini diaplikasikan dengan lebih luas
untuk hampir semua kasus infertilitas. IVF paling diindikasikan bila metode ini
diharapkan dapat mengatasi satu atau lebih penghalang fertilitas spesifik yang
tidak dapat diterapi; contoh yang paling jelas adalah penyakit tuba berat akibat
infeksi atau endometriosis berat sebelumnya serta faktor inferilitas berat pada
pria. IVF juga seringkali menjadi terapi terbaik untuk pasangan dengan banyak
faktor infertilitas karena metode ini secara efektif dapat mengatasi semua
penyebab infertilitas dalam satu waktu. IVF merupakan pilihan terapi utama
untuk wanita dengan subfertilitas terkait usia atau yang tidak dapat dijelaskan
dan merepresentasikan usaha akhir terapi untuk pasangan di mana semua terapi
lainnya telah gagal.
Pada wanita dengan kegagalan ovarium primer namun dalam kondisi sehat
pada usia reproduksi normal, IVF dengan menggunakan oocyte dari donor muda
biasanya sangat sukses. Untuk wanita dengan ovarium normal namun tidak
memiliki uterus secara fungsional (Mullerian agenesis, adhesi intrauterine berat,
histerektomi sebelumnya) dan wanita dengan gangguan medis di mana
kehamilan akan memberikan resiko yang besar, maka IVF dengan transfer
embryo ke donor rahim (rahim pinjaman) masih memberikan kemungkinan
didapatkannya keturunan. Pada pasangan yang membawa gangguan genetik
autosomal resesif atau terkait sex (sex-linked) atau translokasi kromosom
seimbang, maka IVF dengan PGD dapat digunakan untuk menghindari resiko
mencapai

kehamilan

dengan

anak

yang

terkena

gangguan

genetik

tersebut.Perhatian terhadap penggunaan IVF dan PGD makin besar untuk


mengidentifikasi dan mengeksklusi embryo aneuploidy pada wanita dengan usia
reproduksi lanjut, wanita dengan riwayat abortus berulang, dan wanita dengan

119

kegagalan IVF berulang yang tidak terjelaskan meskipun embryo yang ditransfer
tampak normal.
Infertilitas Akibat Faktor Tuba
Sebelum kemajuan IVF, wanita dengan obstruksi tuba bilateral yang tidak
dapat diperbaiki, biasanya steril, dan prognosis untuk wanita dengan obstruksi
distal dengan derajat yang lebih ringan biasanya cukup. Pada ART era modern,
terapi operasi telah menurun kepentingannya dan prognosis untuk wanita
dengan infertilitas akibat faktor tuba telah meningkat secara dramatis.
Keuntungan dan kerugian relatif dari operasi dan IVF dalam terapi untuk
infertilitas akibat faktor tuba dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pilihan di
antara keduanya, didiskusikan di Chapter 27, dan hanya sedikit disimpulkan di
sini.

Obstruksi Tuba Distal


Masih beralasan untuk mempertimbangkan dan melakukan operasi
rekonstruksi tuba pada wanita muda dengan penyakit oklusi tuba distal ringan
atau adhesi perituba karena tingkat kehamilan post operasi dapat melebihi
50%. Meski demikian, IVF saat ini merupakan pilihan terapi untuk wanita
infertil dengan penyakit tuba distal berat, kecuali bila terdapat konflik etis dan
religius terkait metode tersebut.

Hasil yang dicapai terapi operasi sangat

bervariasi (10-35%) namun tingkat kesuksesan secara umum lebih rendah


daripada IVF dan resiko terjadinya kehamilan ektopik lebih besar (5-20%).
IVF juga merupakan terapi terbaik untuk wanita yang tetap infertil setelah satu
tahun atau lebih dari operasi tuba yang sukses (kemungkinan sukses
menurun secara progresif seiring bertambahnya waktu post operasi), untuk
wanita yang lebih tua dengan derajat penyakit tuba distal yang signifikan
(cycle fecundity tetap rendah setelah operasi tuba distal dan waktunya
terbatas), serta untuk wanita dengan obstruksi tuba distal berulang (usaha
berulang untuk mengkoreksi penyakit oklusi tuba distal jarang sukses).
Meskipun wanita dengan penyakit tuba distal yang berat secara umum
bukan merupakan kandidat untuk prosedur rekonstruksi tuba, namun mungkin
operasi yang dilakukan sebelum IVF dapat bermanfaat. Akumulasi bukti
mengindikasikan bahwa communicating hydrosalphinges (patensi proximal
dan oklusi distal) menurunkan kemungkinan tingkat kehamilan dan kelahiran
hidup

setelah

IVF

hingga

separuhnya.

120

Meskipun

mekanisme

yang

bertanggung jawab masih belum diketahui, observasi menunjukkan bawah


kesuksesan IVF lebih rendah bila resipien dari donor oocyte menderita
hydrosalphinges daripada resipien dengan tuba fallopi normal, yang
menunjukkan lokasi aksi endometrium. Cairan hydrosalphingeal adalah
eksudat inflamasi dan mungkin memiliki efek toksik terhadap embryo atau
endometrium atau mungkin memiliki efek gangguan mekanis terhadap
implantasi.

Pre-eliminary laparoskopic salpingectomy memperbaiki tingkat

kesuksesan IVF dan perlu dipertimbangkan dengan serius untuk semua


wanita dengan hydrosalping unilateral atau bilateral yang akan dilakukan IVF.
Wanita dengan hidrosalping besar yang terlihat melalui USG trans-vagina
mungkin akan menjadi yang paling bermanfaat bila dilakukan pre-eliminary
salpingectomy. Strategi terapi lainnya (aspirasi trans-vagina pada saat
pengambilan oocyte, salpingostomy, oklusi tuba proksimal) memerlukan
evaluasi tambahan untuk memeriksa efektifitasnya.

Obstruksi Tuba Proksimal


Pentingnya usaha untuk menentukan diagnosis oklusi tuba proksimal yang
sebenarnya, tidak dapat terlalu ditekankan karena sering terjadi diagnosis
positif palsu dari pemeriksaan histerosalpingografi (HSG). Fluoroscopic
selective

tubal

cannulation

atau

laparoskopic

chromotubation,

yang

dilanjutkan dengan hysteroscopic selective tubal catheterization and perfusion


bila terjadi kegagalan chromotubation, dapat membantu menegakkan
diagnosis definitif dan terapi.
Meskipun obstruksi tuba proksimal bilateral seringkali dapat diterapi
dengan

sukses

menggunakan

fluoroscopic

atau

hysteroscopic

tubal

cannulation atau berbagai teknik operasi microsurgical tradisional lain, IVF


masih merupakan terapi alternatif yang jelas dapat dilakukan bila operasi tidak
berhasil secara teknis, terdapat kontraindikasi relatif (salpingitis isthmica
nodosa), atau infertiltias tetap ada hingga 6-12 bulan post operasi.

Obstruksi Tuba Bipolar


IVF merupakan terapi yang paling baik dan paling logis untuk wanita
dengan obstruksi tuba bipolar (proksimal dan distal) karena tingkat

kesuksesan yang dicapai melalui operasi sangatlah buruk.


Sterilisasi Tuba Sebelumnya
Sekitar 1 juta wanita di US menjalani prosedur sterilisasi tuba elektif setiap
tahun. Hingga 70% dari wanita tersebut akhirnya menyesali keputusannya,
sebagian besar karena mereka akhirnya menjalani hubungan atau kehilangan

121

anaknya, dan sekitar 1% ingin mengembalikan kondisi sterilisasi yang


dijalaninya. Wanita muda, yang tidak dilakukan dikonseling mengenai semua
pilihan kontrasepsinya atau yang keputusannya dipengaruhi oleh pihak ketiga,
serta wanita yang menjalani prosedur sterilisasi segera setelah kelahiran atau
aborsi elektif lebih mungkin mengalami penyesalan. Meskipun microsurgical
tubal re-anastomosis sangat efektif pada kandidat yang telah dipilih dengan
baik, IVF tetap merupakan alternatif dari terapi operasi, khususnya untuk
wanita dengan prognosis operatif yang buruk, dan wanita yang lebih memilih
untuk menghindari operasi, dan wanita yang hanya menginginkan satu
kehamilan tambahan.
Endometriosis
Hubungan antara endometriosis dan infertilitas dan mekanisme yang
mungkin menjelaskan hubungan tersebut dijelaskan panjang lebar di Chapter 29.
Bukti terbaik bahwa endometriosis dapat menurunkan fertilitas, dapat dari
percobaan terapi yang menunjukkan adanya penurunan fecundity bulanan pada
wanita dengan endometriosis minimal dan ringan yang menerima inseminasi
donor terapeutik atau terapi empiris dengan stimulasi gonadotropin eksogen dan
inseminasi intrauterine (IUI) dengan sperma partner, dan dari hasil observasi
bahwa cycle fecundity meningkat setelah terapi laparoskopik. Rendahnya
keseluruhan tingkat kesuksesan IVF juga didapatkan pada wanita dengan
endometriosis, meskipun tidak pada semua penelitian. Bila diamati bersama,
hasil observasi ini mendukung kesimpulan bahwa endometriosis menurunkan
fertilitas yang terkait secara kasar dengan keparahan penyakit.
Mekanisme yang diusulkan mengenai bagaimana endometriosis dapat
menurunkan fertilitas, antara lain adalah distorsi anatomi adnexa yang
mengganggu penangkapan ovum yang efektif, mengganggu perkembangan
oocyte atau embryogenesis awal, dan menurunkan reseptivitas endometrium.
Mekanisme pertama memang logis, setidaknya pada wanita dengan penyakit
tahap lanjut. IVF memang menawarkan kemungkinan untuk mengatasi semua
masalah anatomis, namun tampaknya tidak akan mengatasi dua problem yang
disebut kedua dan ketiga. Oocyte donor dari wanita sehat memberikan hasil
yang sama pada resipien dengan atau tanpa endometriosis, namun oocyte dari
wanita dengan endometriosis memberikan hasil yang lebih buruk daripada yang
berasal dari donor sehat terhadap resipien yang bebas endometrium. Embryo
yang berasal oocyte yang diambil dari wanita dengan endometriosis juga
122

memiliki lebih sedikit blastomer dan beresiko mengalami tingginya insiden


penghentian dan abnormalitas perkembangan morfologi daripada embryo yang
berasal dari oocyte wanita tanpa endometrium. Hasil ini menunjukkan bahwa
rendahnya tingkat implantasi dan kehamilan yang didapatkan pada wanita
dengan endometriosis lebih mungkin disebabkan oleh abnormalitas kualitas
oocyte dan kualitas embryogenesis, dan bukan karena penurunan reseptivitas
endometrium.

Endometriosis Berat
Pilihan terapi untuk wanita infertil dengan endometriosis tahap lanjut
meliputi terapi operasi konservatif dan IVF.

Belum ada penelitian klinis

random yang membandingkan kedua terapi tersebut secara langsung. Untuk


wanita dengan gejala yang berat, operasi merupakan pilihan terapi pertama
yang paling logis. Data dari beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa
tingkat kehamilan kumulatif dalam 1-3 tahun setelah terapi operasi secara
umum bagus dan setara dengan hasil IVF, sekitar 50% untuk wanita dengan
endometrioma dan sekitar 30% untuk wanita dengan obliterasi komplit cavum
Douglasi. Setelah terapi operasi, pilihan antara terapi observasi atau terapi
empiris dan IVF harus didasarkan pada usia, hasil operasi, dan keparahan
dari faktor infertilitas lainnya.
Wanita infertil asimtomatik dengan endometriosis tahap lanjut, termasuk
wanita dengan endometrioma ovarium, mungkin dapat diterapi operatif atau
langsung dengan IVF. Selain adanya beberapa tentangan, tidak ada bukti
memberatkan yang mengindikasikan bahwa endometrioma memiliki efek
samping terhadap respon stimulasi ovarium ataupun hasil dari IVF. Meski
demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa perpanjangan terapi
dengan agonis GnRH sebelum dilakukannya IVF, mungkin akan memperbaiki
hasil pada wanita dengan penyakit tahap lanjut. Endometrioma dapat
ditinggalkan begitu saja tanpa terapi atau diaspirasi segera setelah
pengambilan oocyte. Pada kedua pilihan tersebut, resiko berkembangnya
abses ovarium setelah pengambilan oocyte mungkin meningkat.

Endometriosis Minimal dan Ringan


Pilihan terapi untuk wanita asimtomatik dengan atau diduga menderita
endometriosis minimal atau ringan, dan tidak terdapat faktor infertilitas lain,
antara lain manajemen observasi, terapi operasi, terapi empiris dengan
clomiphene atau gonadotropin eksogen dan IUI, serta IVF. Pada wanita yang

123

lebih tua, wanita dengan faktor infertilitas penyerta lainnya, dan wanita yang
gagal diterapi dengan metode terapi lainnya, IVF masih menawarkan pilihan
terapi terbaik secara umum.
Infertilitas Akibat Faktor Pria
Kualitas semen yang buruk merupakan penyebab tunggal infertilitas pada
sekitar 20% pasangan infertil dan merupakan faktor penting pada 20-40%
pasangan lain dengan kegagalan reproduksi. Banyak pria infertil dengan
gangguan yang dapat diterapi secara medis ataupun operatif yang bila
didiagnosis dan diterapi dengan tepat, maka gangguan tersebut dapat diatasi
dan memungkinkan pria tersebut untuk mencapai konsepsi alami dengan partner
mereka. Pada pria lainnya, abnormalitas semen yang ringan namun penting,
dapat diatasi dengan IUI. Bila terapi tidak mungkin dilakukan atau mengalami
kegagalan dan inseminasi dengan sperma donor tidak menjadi pilihan yang
diterima, maka IVF dan ICSI dengan menggunakan sperma yang diisolasi dari
ejakulat atau diekstraksi dari epididymis atau testis dapat memberikan
kemungkinan kesuksesan yang realistis. Evaluasi dan terapi untuk faktor
infertilitas pada pria difokuskan pada Chapter 30. Diskusi di sini dibatasi pada
indikasi untuk ART.
Kemungkinan adanya faktor infertilitas meningkat pada pria dengan
ejakulat yang secara konsisten memiliki konsentrasi sperma <13.5 juta/ml,
motilitas progresif <32%, atau morfologi normal <9% (kriteria strict, WHO standar
III). Kemungkinan keseluruhan infertilitas pria meningkat sesuai peningkatan
jumlah parameter abnormal dalam rentang subfertil; kemungkinannya 2-3 kali
lipat lebih tinggi bila satu parameter abnormal, 5-7 kali lebih tinggi bila dua
parameter abnormal, dan 16 kali lebih tinggi bila 3 parameter abnormal.
Terapi

medis

atau

operatif

untuk

menormalkan

atau

setidaknya

memperbaiki kualitas semen yang buruk selalu menjadi pilihan pertama yang
paling sesuai, bila memungkinkan. Bila terapi tidak dapat dilakukan atau terbukti
tidak sukses, IUI pada waktu yang tepat dapat membantu untuk memperbaiki
cycle fecundity pada beberapa pasangan dengan faktor infertilitas pada pria.
Hasil terbaik dicapai bila jumlah total sperma motile >10 juta dan 14% atau lebih
sperma memiliki morfologi normal (kriteria strict; WHO standar III). Cycle
fecundity dari siklus terapi IUI menurun sesuai penurunan jumlah sperma motile
atau jumlah sperma dengan morfologi normal dan IUI jarang sukses bila sperma

124

yang diinseminasikan <1 juta sperma motile atau <4% sperma dengan morfologi
normal.
Kemungkinan sukses IUI juga menurun sesuai dengan peningkatan usia
partner wanita dan dengan adanya faktor infertilitas lain yang menyertai
(disfungsi ovulasi, faktor uterus dan faktor tuba). Bila IUI yang dilakukan pada
siklus spontan ataupun siklus yang diinduksi clomiphene (pada wanita
anovulatoir) mengalami kegagalan (setelah 3-4 siklus) atau bila usia partner
wanita >35 tahun, stimulasi gonadotropin eksogen akan dapat memperbaiki
cycle fecundity. Dengan mempertimbangkan semua variabel yang relevan, data
yang ada menunjukkan bahwa cycle fecundity memiliki rentang antara 3-10%
bila IUI dilakukan menggunakan sperma partner yang infertil, dan sekitar 3 kali
lebih tinggi (9-30%) bila digunakan sperma donor.
Bila IUI tidak mungkin untuk dilakukan, atau bila prognosis kesuksesan IUI
buruk, atau IUI terbukti gagal dan inseminasi donor terapeutik ditolak, maka IVF
dapat menjadi alternatif logis. Tingkat fertilisasi konvensional pada siklus IVF
secara umum buruk bila jumlah total sperma motile <3 juta atau bila jumlah
sperma

dengan

morfologi

normal

<4%.

Konsekuensinya,

saat

ini

oligoasthenospermia berat atau teratospermia berat telah diterima sebagai salah


satu indikasi fertilisasi buatan dengan ICSI. Evaluasi genetik tambahan
diindikasikan untuk pria dengan oligospermia (konsentrasi sperma <5 juta/ml)
yang spermanya dapat digunakan untuk ICSI.
Infertilitas Tak Terjelaskan
Insiden infertilitas tak terjelaskan memiliki rentang antara 10% hingga 30%
di antara populasi infertil, tergantung dari kriteria diagnosis yang digunakan.
Untuk wanita dengan infertilitas tak terjelaskan, maka berikut adalah pilihan
terapi beserta cycle fecundity secara umum dari masing-masing terapi:
manajemen observasi (1.3-4.1%), IUI (3.8%), terapi empiris dengan clomiphene
(5.6%) atau gonadotropin eksogen (7.7%), terapi kombinasi IUi dan clomiphene
(8.3%) atau gonadotropin (17.1%), serta IVF (28.5%). Sebagaimana diduga,
tingkat kesuksesan dari semua bentuk terapi akan menurun progresif sesuai
peningkatan usia partner wanita.
Di antara pasangan-pasangan dengan infertilitas tak terjelaskan, IVF
merupakan terapi pilihan, bahkan merupakan pilihan terakhir untuk beberapa
pasangan. Sejumlah peneliti telah mengobservasi tingginya insiden kegagalan

125

fertilisasi dan penurunan tingkat kehamilan secara umum pada pasangan yang
telah gagal menjalani terapi dengan gonadotropin/IUI, yang menunjukkan bahwa
abnormalitas fertilisasi, gangguan perkembangan embryo fase awal, atau
abnormalitas implantasi bertanggung jawab untuk infertilitas tak terjelaskan pada
banyak pasangan.
Kegagalan Ovarium dan Penurunan Simpanan Ovarium
IVF menggunakan oocyte dari donor muda pertama kali dikembangkan
untuk wanita dengan kegagalan ovarium primer atau menopause. Saat ini, IVF
menggunakan donor oocyte paling banyak dilakukan pada wanita berusia >42
tahun dan pada wanita lain dengan hasil pemeriksaan simpanan (reserve)
ovarium mengindikasikan kemungkinan buruknya prognosis untuk sukses
dengan IVF bila menggunakan oocyte mereka sendiri (Chapter 27).
Wanita dengan ovarium yang tidak dapat diakses dan wanita dengan
rekurensi hasil embryo IVF yang buruk, juga merupakan kandidat untuk IVF
dengan donor oocyte.
Indikasi Lain untuk IVF
Wanita yang baru saja terdiagnosis kanker atau gangguan medis lain yang
membutuhkan terapi segera (kemoterapi, terapi radiasi) yang memiliki ancaman
serius terhadap fertilitasnya di masa depan, mungkin dapat menjadi kandidat
untuk IVF dan cryopreservation embryo sebelum terapi dimulai, bila kondisi
kesehatan dan waktunya memungkinkan. Penelitian saat ini terhadap metode
pembekuan oocyte atau jaringan ovarium memberikan kemungkinan sukses
yang besar untuk wanita-wanita tersebut dan wanita yang belum mencapai usia
reproduksi atau wanita yang tidak memiliki partner pria.
Wanita dengan ovarium normal namun tidak memiliki uterus fungsional
akibat anomaly kongenital (Mullerian agenesis), penyakit tahap lanjut (multiple
myeloma, adhesi intrauterine berat), atau riwayat histerektomi sebelumnya, dan
wanita dengan kondisi medis di mana kehamilan dapat memberikan resiko medis
yang serius, mungkin dapat berkesempatan untuk tetap memiliki keturunan
melalui IVF atau transfer embryo ke uterus dari rahim pinjaman.
Wanita dengan gangguan ovulasi (hipogonadisme hipogonadotropik,
polycystic ovary syndrome) secara umum dapat diterapi efektif dengan berbagai
medikasi induksi ovulasi (Chapter 31). Pada beberapa wanita anovulatoir yang

126

diterapi dengan gonadotropin eksogen, induksi ovulasi terbukti sulit dilakukan


dan secara konsisten menghasilkan stimulasi ovarium yang berlebihan dan
penundaan siklus akibat tingginya resiko sindroma hiperstimulasi ovarium dan
gestasi multipel lebih dari 3. Alternatif dari penundaan siklus adalah konversi
siklus untuk berusaha mendapatkan IVF.

Tingkat kesuksesan pada sebuah

siklus yang dikonversikan setara dengan yang didapatkan dari siklus IVF yang
memang sejak awal diinginkan.

Wanita anovulatoir yang berovulasi sebagai

respon terhadap terapi namun tidak mengalami konsepsi, juga mungkin dapat
menjadi kandidat untuk IVF.
Wanita yang membawa resiko genetik atau gangguan yang mungkin akan
diturunkan pada keturunannya, mungkin dapat menjadi kandidat IVF dengan
dilakukannya diagnosis genetil pre-implantasi untuk mengidentifikasi dan
mengeksklusi embryo yang mengalami gangguan. Diagnosis genetik preimplantasu paling banyak digunakan pada pasangan yang membawa gangguan
genetik autosomal resesif dan gangguan genetik terkait sex (sex linked) atau
mengalami translokasi kromosom seimbang. Wanita yang membawa kelainan
genetik yang tidak dapat terdeteksi melalui diagnosis genetik pre-implantasi atau
yang menolak dilakukannya diagnosis genetik pre-implantasi, mungkin dapat
menjadi kandidat untuk IVF dengan donor oocyte. Makin banyak perhatian yang
diberikan

untuk

pengaplikasian

diagnosis

genetik

pre-implantasi

untuk

aneuploidy screening di antara embryo dari wanita dengan usia yang lebih tua,
wanita dengan abortus berulang, dan wanita dengan kegagalan IVF berulang
yang tak terjelaskan meskipun embryo yang ditransfer tampak normal.

FAKTOR-FAKTOR PROGNOSTIK
Kemungkinan kesuksesan IVF sangat terkait dengan beberapa faktor,
banyak di antaranya belum diketahui hingga siklus terapi benar-benar telah
berjalan (respon terhadap stimulasi) atau bahkan hingga siklus hampir selesai
(jumlah dan kualitas embryo). Sebelum siklus IVF dimulai, indikator prognosis
primer untuk sukses adalah usia maternal, simpanan ovarium, dan kapabilitas
reproduksi di masa lalu.
Wanita yang lebih muda dan wanita dengan simpanan ovarium normal,
lebih mungkin untuk mendapatkan kehamilan daripada wanita dengan usia lebih

127

tua dan wanita dengan penurunan simpanan ovarium. Wanita dengan kelahiran
hidup sebelumnya lebih mungkin untuk sukses daripada wanita nullipara; tingkat
kesuksesan juga lebih rendah untuk wanita dengan siklus IVF yang gagal
sebelumnya. Meski demikian, riwayat kehamilan yang tidak sukses sebelumnya
tidak mempengaruhi kemungkinan kesuksesan IVF.
Sebuah meta analysis dari penelitian terhadap hasil dari siklus IVF
menyimpulkan bahwa wanita dengan endometriosis memiliki prognosis yang
lebih buruk daripada wanita dengan faktor tuba lainnya. Meski demikian, data
tahunan nasional dari tingkat kesuksesan ART mengindikasikan bahwa untuk
semua diagnosis selain penurunan simpanan ovarium, tingkat kesuksesan IVF
hanya memiliki sedikit variasi berdasarkan sebab infertilitasnya. Semua wanita
merokok sangat dianjurkan untuk berhenti merokok sebelum dilakukannya IVF
karena merokok menurunkan kemungkinan kesuksesan hingga 50%.
Usia Maternal
Hubungan antara usia maternal dan fertilitas dan mekanisme fisiologis
yang bertanggung jawab untuk penurunan fertilitas terkait usia dan peningkatan
insiden abortus spontan, didiskusikan detail di Chapter 27 dan 28. Pada chapter
ini, fokus berada pada hubungan antara usia maternal dan hasil IVF.
Data dari studi longitudinal di komunitas Hutterite dan populasi nasional
lainnya (tanpa menggunakan kontrasepsi) mengindikasikan bahwa fertilitas pada
wanita berpuncak antara usia 20-24 tahun dan kemudian menurun dengan
konstan, sebesar 4-8% pada usia 25-29 tahun, 15-19% pada usia 30-34 tahun,
26-46% pada usia 35-39 tahun, dan hingga 95% setelah usia 40 tahun. Seiring
peningkatan usia maternal dan penurunan fertilitas, insiden abortus spontan juga
meningkat. Bukti dari banyak penelitian sangat mendukung kesimpulan bahwa
penyebab dari perubahan terkait usia pada kemampuan reproduktif adalah
meningkatnya prevalensi aneuploidy pada oocyte dengan usia tua akibat
gangguan mekanisme regulasi yang mengatur pembentukan dan fungsi spindle
meiosis.
Tingkat kesuksesan yang dicapai ART, seperti halnya tingkat fertilitas
alami, menurun seiring penambahan usia maternal. Jumlah oocyte yang diambil
dan embryo yang bisa hidup, juga makin rendah, tingkat fragmentasi embryo
makin tinggi, dan tingkat implantasi serta kelahiran hidup juga semakin rendah
pada wanita usia tua daripada wanita yang lebih muda. Tingkat kehamilan telah

128

meningkat selama 15 tahun belakangan untuk wanita di semua usia, namun data
nasional tahunan tentang tingkat kesuksesan ART di US sejak tahun 1989
secara konsisten menunjukkan bahwa usia merupakan satu indikator prognostik
yang paling penting. Secara umum, tingkat kehamilan dan tingkat lahir hidup
untuk siklus ART yang melibatkan oocyte segar non-donor atau embryo segar,
hanya sedikit bervariasi untuk wanita <32 tahun, namun menurun konstan seiring
pertambahan usia. Di data nasional tahun 2001, tingkat kelahiran hidup dari
setiap transfer embryo adalah 41.1% untuk wanita usia <35 tahun; 35.1% untuk
usia 35-37 tahun; 25.4% untuk usia 38-40 tahun; 14.5% untuk usia 41-42 tahun;
5.9% untuk usia 43 tahun; dan 2.9% untuk wanita usia 44 tahun atau lebih.
Simpanan Ovarium (Ovarian Reserve)
Konsep simpanan ovarium, secara umum didefinisikan sebagai ukuran dan
kualitas dari pool folikel ovarium yang tersisa, dan berbagai metode
pengukurannya, didiskusikan detail di Chapter 27. Jumlah total oocyte pada
sembarang wanita telah ditentukan secara genetik dan jumlahnya menurun,
tanpa bisa dihindari, selama masa hidup, dari sekitar 1-2 juta saat lahir hingga
menjadi sekitar 300.000 saat pubertas, 25.000 saat usia 37-38 tahun (saat fase
penghancuran folikel semakin cepat), dan <1.000 saat menopause.

Folikel

kompeten memproduksi inhibin-B yang memberikan efek negative feedback


pada sekresi FSH pituitary.

Seiring pertambahan usia, pool folikel yang

mengerut mensekresikan lebih sedikit inhibin B sehingga level FSH meningkat


secara progresif, yang paling terlihat pada fase folikel awal.

Peningkatan

konsentrasi FSH antar siklus akan menstimulasi rekrutmen folikel sehingga


terjadi lebih awal dari seharusnya sehingga menyebabkan kematangan folikel
lebih awal dari siklus, dan terjadi peningkatan serum estradiol lebih awal, fase
folikuler yang lebih pendek, dan pemendekan keseluruhan waktu siklus.
Mekanisme fisiologis terkait usia ini membentuk dasar dari semua pemeriksaan
kontemporer terhadap simpanan (reserve) ovarium.
Pemeriksaan simpanan ovarium dapat membantu memprediksi respon
terhadap stimulasi gonadotropin eksogen dan kemungkinan kesuksesan IVF
serta telah diteriman luas sebagai sebuah elemen penting dalam proses evaluasi
untuk kandidat IVF. Dengan mempertimbangkan harga, kebutuhan logistik, dan
resiko, maka informasi prognostik yang akurat sangat membantu pasangan yang
akan menjalani IVF. Sejumlah metode untuk memeriksa simpanan ovarium telah

129

dijelaskan (Chapter 27).

Pada praktik klinis, pemeriksaan konsentrasi serum

FSH hari siklus 3 dan tes clomiphene citrate challenge merupakan metode yang
paling banyak digunakan. Pemeriksaan simpanan ovarium secara umum sangat
dapat dipercaya, namun tidak selalu sempurna. Standar yang kaku akan
beresiko memunculkan rekomendasi yang tidak sesuai untuk melakukan atau
tidak melakukan terapi, keduanya harus dihindari. Kecuali bila sangat tidak
normal, hasil tes harus digunakan untuk menjadi guide dan bukan untuk
menunda terapi.

Serum FSH Siklus Hari 3


Banyak penelitian yang telah mendokumentasikan hubungan antara level
FSH di siklus hari-3 dengan hasil IVF. Seiring peningkatan level FSH, maka
puncak level estradiol yang dicapai selama stimulasi, jumlah oocyte yang
terambil, serta kemungkinan terjadinya kehamilan dan kelahiran hidup akan
menurun. Sayangnya, nilai batas kritis untuk abnormalitas konsentrasi FSH
siklus hari-3, tidak mudah untuk ditentukan karena banyaknya sistem
pemeriksaan yang berbeda dengan antibody dan standar yang berbeda
sehingga menghasilkan nilai FSH yang bervariasi. Idealnya, hubungan antara
level serum FSH dan hasil IVF harus ditemtukan di dalam setiap pusat terapi.
Dengan sistem pemeriksaan yang paling banyak digunakan di US, maka level
FSH siklus hari-3 >10-15 IU/l dianggap tidak normal.

Serum Estradiol Siklus Hari 3


Level estradiol di awal fase folikler memberikan informasi tambahan yang
berguna. Konsentrasi di atas 75-80 pg/ml merefleksikan perkembangan
folikuler lanjut yang khas untuk wanita dengan penurunan simpanan ovarium
dan, seperti halnya peningkatan level FSH di siklus hari-3, level estradiol juga
dapat memprediksikan kemungkinan penurunan kesuksesan IVF. Karena
peningkatan awal konsentrasi serum estradiol akan mensupresi level FSH
yang menunjukkan rendahnya simpanan ovarium, maka baik pemeriksaan
FSH maupun estradiol pada siklus hari-3, dua-duanya sangat informatif.

Tes Clomiphene Citrate Challenge


Clomiphene citrate challenge test merupakan pemeriksaan yang provokatif
dan lebih sensitif untuk simpanan ovarium. Tes ini meliputi pemeriksaan serum
FSH dan estradiol pada siklus hari-3, dan ditambahkan pemeriksaan serum
FSH siklus hari-10 setelah terapi dengan clomiphene citrate (100 mg/hari,

130

siklus hari 5-9).

Peningkatan level FSH pada siklus hari-10 (lebih dari 2

standar deviasi di atas rata-rata) adalah abnormal. Bukti menunjukkan bahwa


pada wanita usia tua, terjadi perekrutan folikel dengan ukuran yang lebih kecil
dan pada wanita lainnya terjadi penurunan sekresi inhibin-B dan estradiol
akibat penurunan simpanan ovarium, sehingga terjadi penurunan inhibisi
negative feedback terhadap produksi FSH pituitary oleh induksi clomiphene,
yang terkadang mengakibatkan level FSH yang luar biasa tinggi pada siklus
hari-10 bahkan saat level FSH basal di hari-3 normal.
Peningkatan level FSH hari-3 atau hasil tes clomiphene challenge
memprediksikan prognosis buruk untuk IVF, tidak peduli berapapun usia
maternal. Penelitian ini dan penelitian lain mengindikasikan bahwa usia dan
hasil pemeriksaan simpanan ovarium merupakan prediktor independen untuk
hasil IVF.

Prognosis untuk wanita dengan hasil pemeriksaan simpanan

ovarium abnormal, secara umum buruk, bahkan bila wanita tersebut masih
berusia muda. Untuk wanita dengan hasil tes normal, prognosis akan terkait
dengan usia; hasil tes normal tidak memperbaiki prognosis yang buruk (terkait
usia) pada wanita usia tua. Meskipun hasil dari pemeriksaan simpanan
ovarium mungkin bervariasi antar siklus, khususnya pada wanita usia tua
dengan

konsentrasi

FSH

tinggi,

namun

respon

terhadap

stimulasi

gonadotropin secara umum tetap sama. Wanita yang memiliki hasil tes normal
maupun abnormal secara umum berespon buruk, sehingga pemeriksaan
ulang pada wanita dengan hasil tes abnormal tidak memberikan nilai
tambahan. Sebaliknya, pemeriksaan berulang pada wanita yang lebih tua
dengan hasil tes awal normal mungkin lebih baik dilakukan sebelum terapi
dimulai.
EVALUASI SEBELUM IVF
Individu dan pasangan yang memiliki satu atau lebih indikasi yang telah
didiskusikan sebelumnya dan merupakan kandidat untuk IVF, memerlukan
evaluasi tambahan spesifik sebelum siklus terapi dimulai. Minimal, evaluasi
berikut ini direkomendasikan untuk dilakukan.
Ovarian Reserve (Simpanan Ovarium)
Pemeriksaan

simpanan

ovarium

memiliki

nilai

prognostik

dan

direkomendasikan untuk semua wanita yang merencanakan IVF. Karena respon


ovarium berbanding terbalik dengan level serum FSH hari-3, maka hasilnya juga
131

dapat mengarahkan pemilihan di antara regimen-regimen terapi yang ada serta


dosis gonadotropin yang digunakan untuk stimulasi.
Faktor Pria
Bahkan bila evaluasi diagnostik awal telah menunjukkan parameter yang
benar-benar normal, analisis semen tetap harus diulang sesaat sebelum dimulai
siklus untuk memastikan bahwa kualitas semen tidak berubah akibat adanya
demam atau penyebab lainnya. Meskipun beberapa peneliti menyarankan kultur
semen rutin sebelum IVF untuk memberikan proteksi terhadap resiko
kontaminasi, beberapa peneliti lain membatasi evaluasi rutin tersebut hanya
untuk pria dengan leukocytospermia. Evaluasi morfologi sperma, sebagaimana
kriteria strict (Standar III WHO), juga dapat membantu menentukan apakah
fertilisasi dengan bantuan ICSI mungkin dapat disarankan untuk dilakukan
(Chapter

30).

Dapat

dilakukan

pembekuan

specimen

semen

untuk

merencanakan siklus IVF bila terdapat alasan untuk mengantisipasi kecemasan


yang ekstrim atau kesulitan lain dalam mendapatkan specimen segar pada hari
pengambilan oocyte. Meskipun tingkat fertilisasi yang dicapai oleh sperma beku
yang dicairkan mungkin akan lebih rendah daripada sperma segar, namun
tingkat kehamilan yang dicapai tetap sebanding.

Skrining Penyakit Infeksi


Bila beberapa peneliti menyarankan pemeriksaan rutin untuk infeksi
Chlamydia yang tidak terdeteksi yang mungkin menurunkan kesuksesan IVF
atau meningkatkan resiko abortus spontan pada siklus konsepsi, maka peneliti
lain membatasi pemeriksaan tersebut hanya untuk wanita dengan faktor
infertilitas pada tuba atau faktor resiko lainnya atau merekomendasikan terapi
pre-eliminer rutin untuk kedua partner yang sedang berada dalam rangkaian
terapi doksisiklin oral.
Skrining rutin kedua partner untuk adanya infeksi virus HIV, hepatitis B
(HbsAg), dan hepatitis C (antibody hepatitis C) sangat direkomendasikan, untuk
proteksi terhadap staf medis dan laboratoris, proteksi terhadap fetus yang
mungkin dihasilkan dari IVF, dan proteksi terhadap resiko kontaminasi silang dari
embryo yang dibekukan dalam penyimpanan.

132

Transfer Embryo Tiruan


Sebuah transfer embryo tiruan atau percobaan seharusnya dilakukan untuk
menentukan kedalaman cavum uteri dan teknik yang dapat dilakukan untuk
mentransfer embryo dengan sukses dan tanpa trauma. Observasi harus dicatat
dan dipetakan untuk menjadi referensi di hari dilakukannya transfer embryo.
Hasil dari penelitian random terkontrol mengindikasikan bahwa transfer embryo
tiruan dapat memperbaiki hasil IVF dengan menurunkan insiden transfer embryo
yang sulit.
Evaluasi Uterus
Karena myoma submukosa atau polip endometrium dapat mengganggu
implantasi atau memiliki efek buruk terhadap hasil kehamilan, cavum uteri harus
dievaluasi secara seksama sebelum siklus IVF dimulai.

Histerosalpingografi

yang dilakukan di awal proses evaluasi diagnostik mungkin sudah cukup bila
seluruhnya normal dan relatif baru (dalam 6 bulan). Bila cavum uteri diperiksa
pada jangka waktu sebelumnya yang lebih lama atau bahkan tidak pernah sama
sekali, dan bila terdapat alasan untuk menduga abnormalitas cavum uteri,
sonohisterografi atau histeroskopi dapat diindikasikan untuk dilakukan. Meskipun
beberapa peneliti menyarankan histeroskopi pre-eliminer rutin sebelum IVF,
sonohisterografi

lebih

mudah

untuk

dilakukan

dan

sensitivitas

serta

spesifisitasnya setara dengan histeroskopi dalam mendeteksi abnormalitas


dalam cavum uteri. Dalam waktu yang sama, teknik tersebut mampu untuk
mendeteksi adanya hidrosalping atau endometrioma ovarium yang mungkin
memerlukan perhatian berbeda sebelum dimulai IVF.
REGIMEN STIMULASI OVARIUM
Regimen stimulasi ovarium yang ideal untuk IVF seharusnya memiliki
tingkat kemungkinan penundaan yang rendah, harga obat minimal, resiko dan
efek samping yang rendah, memerlukan monitoring yang hanya sebatas
kebutuhan praktis, dan memiliki tingkat kehamilan tunggal maksimal, namun saat
ini belum ditemukan. Beberapa regimen telah dijelaskan sebelumnya, mulai dari
tanpa stimulasi (siklus alami), stimulasi minimal (clomiphene citrate), atau
stimulasi minimal (terapi sekuensial dengan clomiphene citrate dan gonadotropin
eksogen dosis rendah), hingga stimulasi agresif (gonadotropin eksogen dosis

133

tinggi, tunggal ataupun dengan kombinasi dengan agonis atau antagonis GnRH).
Setiap agen memiliki keuntungan, kerugian, dan aplikasi masing-masing.
Pemilihan regimen stimulasi untuk setiap individu harus didasarkan pada usia,
respon terhadap stimulasi sebelumnya, serta simpanan ovarium.
Siklus Alami
Kelahiran pertama hasil dari IVF berasal dari oocyte yang diambil pada
siklus menstruasi alami tanpa stimulasi. IVF siklus alami tentu saja masih
memungkinkan, namun tingkat penundaan/pembatalannya tinggi (25-75%) dan
tingkat kesuksesan untuk setiap siklus adalah sangat rendah bila dibandingkan
hasil yang dicapai pada siklus dengan stimulasi ovarium. Bahkan bila
pengambilan oocyte dan fertilisasi telah sukses, siklus alami biasanya akan
menghasilkan hanya satu oocyte mature dan satu embryo. Tidak ada
kesempatan untuk memilih atau membekukan embryo yang ada dan tingkat
kesuksesan secara umum merefleksikan relative rendahnya efisiensi implantasi
dari satu embryo. IVF dengan siklus alami tetap merupakan pilihan bagi wanita
yang tidak berespon terhadap stimulasi ovarium (memproduksi hanya 1-2 folikel)
dan wanita dengan kondisi medis di mana resiko akibat stimulasi lebih baik
dihindari. hCG eksogen diadministrasikan bila folikel utama mencapai ukuran
yang konsisten dengan maturitas penuh, sehingga mengeliminasi kebutuhan
untuk melakukan monitoring berulang terhadap level serum LH endogen (untuk
mendeteksi LH surge) dan menentukan waktu optimum yang lebih baik untuk
pengambilan oocyte. Terapi adjuvant dengan antagonis GnRH mungkin dapat
membantu mencegah LH surge prematur dan untuk memperbaiki hasil yang
dicapai oleh IVF dengan siklus alami.
Obat induksi ovulasi akan menstimulasi perkembangan multifolikuler dan
memungkinkan

pengambilan

sejumlah

oocyte,

sehingga

menaikkan

kemungkinan fertilisasi, jumlah embryo yang tersedia untuk diseleksi dan


ditransfer, dan kemungkinan untuk sukses.
Clomiphene Citrate
Stimulasi minimal menggunakan clomiphene citrate dapat digunakan untuk
meningkatkan jumlah folikel yang berkembang. Seringkali, clomiphene (100
mg/hari) diberikan selama 5-8 hari, dimulai pada siklus hari-3. Obat menginduksi
perkembangan 2 atau lebih folikel pada sebagian besar wanita dengan ovulasi

134

normal, meskipun hasil telur (1-3) hanya sedikit lebih besar daripada siklus tanpa
stimulasi dan jauh lebih rendah pada siklus yang distimulasi dengan
gonadotropin eksogen. Tingkat pembatalan siklus lebih rendah daripada siklus
normal dan jumlah oocyte yang diambil, embryo yang ditransfer, dan tingkat
kehamilan lebih besar dari siklus normal.

Sebagaimana siklus alami, hCG

eksogen diadministrasikan bila folikel dominan telah mencapai ukuran yang


konsisten dengan maturitas penuh dan antagonis GnRH dapat digunakan untuk
mencegah LH surge endogen yang prematur. Hasil dari penelitian klinis acak
yang membandingkan outcome pada siklus dengan stimulasi clomiphene dengan
IVF siklus alami mengindikasikan bahwa terapi clomiphene tidak memiliki efek
samping terhadap pertumbuhan dan perkembangan endometrium. Pada tahuntahun belakangan, karena rendahnya biaya dan kebutuhan monitoring, stimulasi
clomiphene telah menarik perhatian dari para pasangan yang menginginkan
regimen terapi IVF yang friendly.
Terapi Sekuensial dengan Clomiphene Citrate dan Gonadotropin Eksogen
Terapi sekuensial menggunakan clomiphene (100 mg untuk 5 hari) dan
gonadotropin

eksogen

dosis

rendah,

lebih

efektif

dalam

perkembangan multifolikuler daripada terapi clomiphene tunggal.

menstimulasi
Harga obat

dan kebutuhan monitoring sedikit lebih tinggi, namun masih jauh lebih rendah
daripada standar regimen untuk long protocols yang melibatkan gonadotropin
dosis tinggi setelah sebelumnya dilakukan down regulation dengan agonis
GnRH kerja panjang. Meskipun lebih sedikit oocyte yang diperoleh dan lebih
sedikit embryo yang tersedia untuk transfer atau dibekukan, namun tingkat
kehamilan yang dicapai pada siklus transfer fresh tidak lebih rendah dan resiko
hiperstimulasi ovarium justru lebih rendah. Kekurangan utama dari regimen
stimulasi

sekuensial

clomiphene/gonadotropin

adalah

rendahnya

potensi

reproduksi secara keseluruhan (kehamilan total yang dihasilkan dari embryo


segar maupun yang sebelumnya dibekukan, berasal dari siklus stimulasi
tunggal). Penambahan antagonis GnRH terhadap regimen terapi secara efektif
menghilangkan resiko kecil adanya LH surge prematur, namun juga menambah
biaya.
Stimulasi dengan Gonadotropin Eksogen setelah Down Regulation
dengan Agonis GnRH Kerja Panjang (Long Protocols)

135

Pengenalan agen agonis GnRH kerja panjang di akhir tahun 1980an telah
merevolusi pendekatan stimulasi ovarium pada ART dengan menyediakan down
regulation terhadap sekresi gonadotropin pituitary endogen sehingga dapat
mencegah LH surge prematur selama stimulasi gonadotropin eksogen. Terapi
adjuvant dengan agonis GnRH menghilangkan kebutuhan untuk melakukan
pemeriksaan serum LH secara berkala dan menurunkan ketakutan akan
luteinisasi premtur yang sebelumnya menyebabkan penundaan siklus pada 20%
dari semua siklus IVF sebelum pengambilan oocyte. Karena kurang dari 2% dari
siklus yang terkomplikasi oleh LH surge prematur setelah dilakukan down
regulation dengan agonis GnRH, maka stimulasi dapat dilanjutkan hingga folikel
berukuran lebih besar dan lebih matang. Penelitian klinis kemudian menemukan
bahwa hasil telur dan tingkat kehamilan lebih tinggi secara signifikan daripada
hasil pada siklus yang distimulasi oleh gonadotropin eksogen tunggal. Selain itu,
terapi agonis GnRH menawarkan keuntungan tambahan berupa fleksibilitas
jadwal, sehingga memungkinkan program untuk mengkoordinasikan awal siklus
untuk sejumlah wanita dengan hanya merubah durasi supresi agonis GnRH.
Tidak mengagetkan bahwa long protocol dengan cepat menjadi regimen
stimulasi ovarium yang lebih dipilih untuk semua bentuk ART. Kerugian dari long
protocol hanyalah bahwa terapi agonis GnRH terkadang menurunkan respon
teerhadap stimulasi gonadotropin selanjutnya sehingga diperlukan peningkatan
dosis dan durasi terapi gonadotropin untuk menstimulasi perkembangan folikel.
Biaya kombinasi dari gonadotropin tambahan dan agonis itu sendiri juga
meningkatkan biaya total terapi. Namun demikian, karena agonis GnRH memiliki
lebih banyak manfaat daripada kerugian, maka long protocols tetap menjadi
regimen standar untuk stimulasi ovarium pada siklus ART untuk lebih dari satu
dekade.
Pada siklus umum, terapi GnRH agonis dimulai selama fase mid-luteal,
sekitar 1 minggu setelah ovulasi, pada waktu level gonadotropin endogen berada
atau di dekat titik nadir dan pelepasan akut dari simpanan gonadotropin pituitary
sebagai respon terhadap agonis, yang disebut sebagai flare, tidak akan
menstimulasi perkembangan folikel baru.

Terapi juga dapat dimulai di fase

folikuler awal, namun waktu yang diperlukan untuk mencapai down regulation
pituitary lebih lama dan prevalensi timbulnya folikel cystic lebih tinggi. stimulasi
gonadotropin juga menghasilkan lebih banyak folikel dan oocyte bila terapi
agonis dimulai selama fase luteal, mungkin karena produksi androgen yang

136

distimulasi LH dan level androgen di sirkulasi lebih efektif tersupresi selama


folikulogenesis. Karena hasil telur lebih besar, jumlah embryo yang tersedia juga
meningkat. Konsekuensinya, kemungkinan untuk mendapatkan jumlah embryo
yang optimal untuk transfer dan untuk dibekukan juga lebih besar. Terapi agonis
GnRH mungkin dijadwalkan untuk dimulai di siklus hari-21 (dengan asumsi
bahwa siklus normal berdurasi 28 hari), namun monitoring BBT atau ekskresi LH
urine untuk menentukan kapan ovulasi terjadi dapat membantu untuk
memastikan bahwa terapi dimulai tepat pada fase luteal (sekitar 8 hari setelah
LH surge atau peningkatan BBT), sebagaimana diinginkan.
Di US, dua terapi agonis GnRH yang paling banyak digunakan adalah
leuprolide acetate (diadminstrasi dengan injeksi subkutan) dan nafarelin acetate
(diadministrasi dengan nasal spray). Di tempat lain, busereline acetate
(diadministrasi

injeksi

subkutan

atau

spray

intranasal)

dan

triptorelin

(diadministrasikan subkutan) juga sering digunakan, dan semua tampaknya


efektif. Untuk leuprolide, regimen terapi biasanya dimulai dengan dosis 1.0
mg/hari selama 10 hari atau hingga onset menstruasi atau stimulasi
gonadotropin, diturunkan menjadi 0.5 mg/hari hingga administrasi hCG
selanjutnya. Untuk nafarelin, dosis awal biasanya 400 g 2x/hari, diturunkan
hingga 200 g saat stimulasi dimulai. Sebuah dosis tunggal dari depot agonis
GnRH kerja panjang (leuprolide, goserelin) memberikan kenyamanan terapi yang
lebih besar, namun bukti mengindikasikan bahwa dosis total dan durasi stimulasi
gonadotropin yang diperlukan jauh lebih besar bila bentuk depot digunakan.
Pada wanita yang tidak berespon (respon rendah) terhadap stimulasi regimen
terapi agonis GnRH harian standar, penurunan dosis agonis hingga separuh atau
lebih atau penghentian terapi agonis lebih awal (setelah 5 hari stimulasi
gonadotropin) atau secara komplit (saat stimulasi dimulai) dapat membantu
memperbaiki respon dan hasil terapi secara keseluruhan.

137

Idealnya, supresi efektif dari terapi agonis GnRH terhadap level serum
estradiol (<40 pg/ml) dan aktivitas folikel ovarium (pemeriksaan USG trans
vaginal tidak terlihat adanya kista folikuler >10-15 mm) harus sudah terjadi
sebelum stimulasi gonadotropin dimulai. Bahkan saat terapi agonis GnRH
dimulai selama fase mid luteal, beberapa wanita mungkin memerlukan durasi
terapi yang lebih lama untuk mencapai supresi atau bila tidak maka akan terjadi
perkembangan kista folikuler. Signifikansi dari hasil observasi ini masih
kontroversial. Beberapa peneliti menemukan bahwa kista baseline terkait dengan
buruknya respon terhadap stimulasi gonadotropin, penurunan jumlah oocyte dan
embryo, dan penurunan tingkat kesuksesan IVF secara umum, namun peneliti
lain tidak menemukan hal tersebut. Meskipun hasil yang didapatkan pada siklus
lengkap mungkin mirip dengan wanita dengan dan tanpa kista baseline, tingkat
penundaan siklus lebih tinggi pada wanita dengan kista. Secara keseluruhan,
sejumlah besar bukti yang ada menunjukkan bahwa wanita yang memerlukan
durasi terapi agonis GnRH yang lebih panjang untuk mencapai supresi atau
wanita yang mengalami perkembangan kista, lebih mungkin untuk berespon
buruk terhadap stimulasi gonadotropin; sehingga banyak kemungkinan untuk
terjadi ketidaksuksesan. Manajemen kista ovarium baseline juga masih
kontroversial. Aspirasi kista segera sebelum dimulai stimulasi tampaknya tidak
memberikan efek buruk terhadap respon selanjutnya terhadap stimulasi dan
mungkin akan meningkatkan respon folikuler pada ovarium yang diaspirasi,
namun mungkin tidak diindikasikan untuk wanita dengan ovarium kontralateral
yang normal.
Dosis inisial gonadotropin eksogen yang digunakan untuk menstimulasi
perkembangan folikel ovarium setelah sebelumnya dilakukan down regulation
dengan agonis GnRH, harus benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan wanita

138

secara individu. Dosis awal biasanya memiliki rentang antara 225-300 IU FSH
urine (uFSH), rekombinan FSH (rFSH), atau menotropins urine (hMG)/hari,
tergantung usia, hasil pemeriksaan simpanan ovarium, dan respon yang
didapatkan pada siklus superovulasi atau IVF sebelumnya. Baik step up
maupun step down dapat digunakan, namun biasanya lebih dipilih step down.
Semua

preparat

gonadotropin

kontemporer,

termasih

diadministrasikan secara subkutan, daripada intramuskuler.

hCG,

dapat

Peralatan injeksi

yang baru-baru ini dikembangkan pasti akan segera memudahkan terapi dan
mengurangi ketidaknyamanan akibat injeksi berulang.

Saat diperkenalkan ke

praktik klinis, bentuk fFSH kerja panjang yang baru dikembangkan (diciptakan
dengan menyusun gen chimeric yang mengandung sekuens yang mengkode
peptide terminal C dari I2-hCG yang disatukan dengan I2-FSH) memiliki waktu
paruh 3 kali lebih lama daripada rFSH standar (95 vs 32 jam), yang memberikan
kemungkinan untuk memudahkan terapi dengan menurunkan jumlah injeksi yang
dibutuhkan. Kelahiran hidup pertama dari terapi tersebut telah dilaporkan.
Penelitian klinis dan meta analisis telah membandingkan hasil dari siklus
ART yang distimulasi dengan uFSH, rFSH, atau hMG, dengan atau tanpa preterapi agonis GnRH. Sebuah meta analisis yang mencakup 18 studi yang
membandingkan uFSH dan rFSH (hanya 1 yang menggunakan terapi agonis
GnRH) menemukan bahwa tingkat kehamilan klinis lebih tinggi pada wanita yang
diterapi rFSH (OR=1.29; CI=1.08-1.54). Meski demikian, analisis lain terhadap
kumpulan data dari 2 penelitian klinis besar yang membandingkan rFSH dengan
uFSH yang dimurnikan, menyimpulkan bahwa kedua preparat FSH tersebut
memiliki efikasi yang setara. Dua meta analisis berbeda yang membandingkan
uFSH dan hMG menemukan bahwa uFSH memberikan hasil yang lebih baik saat
digunakan sendirian, namun hasil yang sama didapatkan pada wanita yang
diberikan pre-terapi dengan agonis GnRH. Sebuah penelitian klinis random
terkontrol yang membandingkan rFSH dan hMG setelah dilakukan down
regulation dengan agonist GNRH menemukan tidak ada perbedaan dalam
tingkat kehamilan yang dicapai, namun sebuah meta analisis yang mencakup 5
penelitian dengan desain yang sama menemukan bahwa tingkat kehamilan klinis
lebih tinggi pada wanita yang diterapi hMG (OR=1.22; CI=1.03-1.44). Terakhir,
sebuah meta analisis lain menyimpulkan bahwa rFSH memberikan hasil yang
lebih baik daripada hMG pada long protocols. Tidak perlu dikatakan bahwa bukti

139

kuat yang menyatakan superioritas salah satu preparat gonadotropin saat ini
masih sangat kurang.
Kekhawatiran tetap ada mengenai kemungkinan terapi agonis GnRH akan
mensupresi level LH endogen hingga di bawah yang diperlukan untuk
perkembangan folikel normal, setidaknya pada beberapa wanita. Karena hanya
sekitar 1% dari reseptor LH yang harus terikat untuk mensupport steroidogenesis
folikel normal, maka sekresi LH yang rendah setelah down regulation dengan
agonis GnRH sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pada sebagian besar
wanita yang distimulasi dengan uFSH atau rFSH saja. Meski demikian,
konsentrasi LH juga dapat menjadi inadekuat pada wanita yang tersupresi
dengan kuat. Bukti bahwa kombinasi terapi LH rekombinan (rLH) dan rFSH dapat
memperbaiki respon pada wanita yang sebelumnya tidak berespon terhadap
rFSH saja, mendukung adanya spekulasi tersebut. Memang, level LH akan
sangat tersupresi (<1 IU/l) pada banyak wanita yang hanya diterapi dengan FSH,
dan pada siklus tersebut, dosis dan durasi gonadotropin yang diperlukan jadi
lebih tinggi dan konsentrasi puncak estradiol menjadi lebih rendah; sehingga
jumlah oocyte dan embryo mungkin juga berkurang. Bukti lain menunjukkan
bahwa tingkat fertilisasi, implantasi, dan kehamilan mungkin akan terpengaruh
bila level LH sangat amat rendah. Insiden adanya kehamilan biokimia dan
abortus pada awal kehamilan, juga tampak lebih tinggi pada konsepsi hasil siklus
ART dengan LH yang tersupresi dengan level luar biasa rendah. Bukti
mengindikasikan bahwa mungkin ada subkelompok wanita eugonadotropik yang
dapat mengambil manfaat dari pemberian suplemen hMG atau rLH selama
stimulasi ovarium. Meskipun belum ada kriteria terpercaya untuk mengidentifikasi
wanita tersebut, namun ada alasan bagus untuk mengantisipasi bahwa
penelitian lebih lanjut akan menentukan rentang konsentrasi LH yang akan
memberikan hasil optimal.
Respon terhadap stimulasi dimonitor dengan pengukuran serum estradiol
dan USG trans vaginal

yang memberikan gambaran folikel ovarium, secara

berkala. Level serum estradiol pertama biasanya diambil pada hari 3-5 stimulasi
untuk menentukan apakah dosis gonadotropin yang dipilih memerlukan
penyesuaian. Selanjutnya, konsentrasi serum estradiol dan scan ovarium dapat
dilakukan setiap 1-3 hari, didasarkan pada kualitas respon dan kebutuhan untuk
mengevaluasi

efek

terhadap

penyesuaian

selanjutnya

terhadap

terapi

gonadotropin. Sebagian besar wanita memerlukan stimulasi total selama 7-12

140

hari. Secara umum, tujuannya adalah untuk mendapatkan setidaknya 2 folikel


yang berukuran 17-18 mm, idealnya juga disertai dengan beberapa folikel
berukuran 14-16 mm, dan konsentrasi serum estradiol yang konsisten dengan
ukuran dan maturitas oocyte secara keseluruhan (sekitar 200 pg/ml untuk setiap
folikel berukuran 14 mm atau lebih). Penting untuk dicatat bahwa nilai batas ini
hanya menyediakan guideline kasar karena pengukuran folikel akan berbeda
antar observer serta antar peralatan yang digunakan. Terdapat banyak jenis
pemeriksaan estradiol dalam klinis yang juga berbeda dalam hal karakteristik.
Yang penting, setiap program harus secara empiris menentukan nilai batasnya
sendiri, berdasarkan pengalamannya sendiri.
Biasanya, perkembangan endometrium juga dimonitoring selama proses
stimulasi dengan mengukur ketebalan endometrium atau disebut stripe.
Meskipun banyak studi telah meneliti nilai prognostik dari ketebalan dan
echotexture endometrium dari siklus ART, isu ini masih tetap kontroversial.
Banyak peneliti mengatakan bahwa hasil paling baik didapatkan bila ukuran
ketebalan endometrium adalah 8-9 mm atau lebih atau tampak sebagai
trilaminar, dan prognosis akan buruk bila endometrium kurang dari 6-7 mm atau
tampak homogen pada hari dilakukannya administrasi hCG. Meski demikian,
sejumlah peneliti lain gagal untuk menemukan adanya korelasi yang jelas antara
ketebalan endometrium atau tampakan endometrium dengan hasil yang
didapatkan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa pertumbuhan endometrium
yang berlebihan (>14 mm) juga merupakan indikator prognosis buruk, namun
anggapan tersebut telah disangkal. Satu kelompok terapi telah melaporkan
bahwa terapi sildenafil intra vagina (inhibitor phosphodiesterase 5 spesifik yang
dapat meningkatkan efek vasodilatasi dari NO terhadap otot polos vaskuler)
dapat secara efektif meningkatkan proliferasi endometrium dan mencapai tingkat
implantasi dan kehamilan yang tinggi pada wanita yang sebelumnya gagal untuk
mengalami konsepsi meskipun telah dilakukan transfer embryo dengan kualitas
bagus, yang mungkin disebabkan karena buruknya pertumbuhan endometrium
(<9 mm). Peneliti lain telah meragukan laporan tersebut dan mempertanyakan
efikasi dari
merupakan

sildenafil.
hal

yang

Meskipun
rutin,

pengukuran

namun

pertumbuhan endometrium

penggunaannya

masih

meragukan.

Konsekuensinya, perubahan regimen stimulasi dan penundaan siklus yang


hanya didasarkan pada ketebalan atau tampakan endometrium, sulit untuk
dilakukan.

141

Saat batas target respon telah ditemukan, maka hCG (5.000-10.000 IU)
diadministrasikan untuk menginduksi maturasi akhir dari folikel. Dosis ekuivalen
dari bentuk hCG rekombinan saat ini telah tersedia (250 g). Pada suatu waktu,
terdapat banyak kontroversi mengenai nilai prediktif konsentrasi serum
progesterone pada hari ketika hCG diadministrasikan. Banyak studi menemukan
bahwa tingkat kehamilan lebih rendah bila level progesterone melebihi 0.9-1.0
ng/ml, namun banyak penelitian lain yang tidak menemukan korelasi tersebut
atau bahkan hubungan yang bertolak belakang. Seiring waktu, semakin jelas
bahwa peningkatan ringan level progesterone di pertengahan siklus relative
sering terjadi pada wanita yang berespon baik terhadap terapi stimulasi
gonadotropin dan merupakan indikator progonosis buruk hanya pada wanita
dengan respon buruk. Percobaan untuk menunda administrasi hCG pada wanita
berespon buruk untuk memberikan kesempatan pada folikel yang berukuran
kecil untuk lebih matang, sepertinya tidak akan sukses dan justru kontraproduktif.

High Responder
Terkadang, stimulasi akan memicu respon folikel yang berlebihan, yang
ditandai dengan perbesaran ovarium masif, banyaknya jumlah folikel dengan
segala ukuran, dan peningkatan konsentrasi serum estradiol yang sangat
tinggi (>3.000 pg/ml). Dalam kondisi ini, resiko terjadinya sindroma
hiperstimulasi ovarium meningkat jauh lebih tinggi. Pilihan manajemen pada
high responder meliputi semua yang tersebut berikut ini:
o Pembatalan siklus
o Coasting di mana terapi agonis GnRH dilanjutkan namun tanpa pemberian
stimulasi gonadotropin lanjutan selama 1-3 hari, hCG diberikan setelah
o

level estradiol mencapai kadar sedang


Melanjutkan dengan pengambilan

membekukan semua embryo sebagai pengganti transfer


Menunda transfer hingga 5 hari setelah pengambilan oocyte, sambil
mengobservasi

tanda

dan

gejala

oocyte

klinis

dan

fertilisasi

berkembangnya

namun

sindroma

hiperstimulasi ovarium
Pembatalan siklus dan pembuatan siklus baru dengan menggunakan
regimen stimulasi yang lebih konservatif mungkin akan menurunkan biaya
secara keseluruhan dan memaksimalkan kemungkinan untuk sukses.
Prognosis untuk high responder pada siklus yang selanjutnya secara umum
sangat bagus. Supresi ganda dengan kontrasepsi oral (1x/hari untuk 25 hari)
142

dan agonis GnRH (leuprolide 1.0 mg subkutan/hari, dimulai pada pil hari-21)
dapat dengan sukses menurunkan respon terhadap stimulasi gonadotropin
dosis rendah selanjutnya (150 IU/hari, dimulai pada hari ketiga setelah onset
menstruasi) pada wanita tersebut. Coasting memungkinkan folikel besar
untuk terus tumbuh namun menghilangkan dukungan untuk perkembangan
folikel kecil dan intermedia. Meskipun sekitar 20-30% siklus dengan coasting
pada akhirnya dibatalkan, strategi ini mungkin dapat membantu menurunkan
resiko berkembangnya hiperstimulasi ovarium berat dan masih memberikan
kemungkinan untuk sukses. Penyelesaian siklus dan pembekuan semua
embryo dapat menyelamatkan siklus dan menghindari resiko hiperstimulasi
ovarium berkepanjangan yang lebih berat pada siklus konsepsi. Penundaan
transfer hingga gejala menghilang dan membekukan semua embryo bila
gejala tersebut adalah pilihan lain yang dapat dijalani.

Poor Responder
Tantangan yang diberikan oleh poor responder jauh lebih besar. Poor
responder

di

antaranya

termasuk

wanita

yang

siklus

sebelumnya

menghasilkan oocyte 3 atau kurang, atau dibatalkan karena observasi


terhadap 3 (atau kurang) folikel berukuran 16 mm atau lebih, folikel dominan
tunggal, atau level puncak serum estradiol <500 pg/ml. Pada wanita tersebut,
regimen stimulasi alternatif yang lebih agresif dapat diberikan dan terdapat
beberapa pilihan yang dapat dipilih:
o Long protocol dimulai dengan stimulasi gonadotropin dosis tinggi
o Penurunan dosis agonis GnRH atau penghentian terapi agonis segera
o

sebelum atau segera sesudah terapi stimulasi gonadotropin dimulai


Regimen terapi pendek agonis GnRH pada fase folikular menggunakan

o
o

protocol flare dosis mikro/standar


Menggunakan antagonis GnRH (bukan agonis jangka panjang)
Terapi sekuensial dengan clomiphene citrate dan gonadotropin eksogen
Stimulasi gonadotropin dengan dosis yang lebih tinggi mungkin akan

memicu respon folikuler yang lebih hebat, namun dosis >450 IU/hari secara
umum hanya memberikan sedikit manfaat. Sebagaimana didiskusikan
sebelumnya, penurunan dosis atau penghentian terapi agonis GnRH secara
keseluruhan akan membantu memperbaiki kualitas respon. Sebuah agonis
GnRH standar atau mikro-dosis yang disebut flare protocols akan
menstimulasi perbaikan respon pada banyak poor responder. Regimen
stimulasi yang menggunakan antagonis GnRH akan menghilangkan semua

143

efek supresi dari terapi agonis secara keseluruhan. Menariknya, bahkan terapi
sekuensial dengan clomiphene dan gonadotropin eksogen mungkin akan
menghasilkan perbaikan respon pada beberapa poor responder. Efikasi dari
flare protocol dan clomiphene mungkin merefleksikan sensitifitas yang lebih
besar terhadap bentuk FSH endogen, pada beberapa individu.
Protokol Stimulasi Sekuensial dengan Agonis GnRH dan Gonadotropin
Eksogen (Short/Flare Protocols)
Short/flare

protocols

adalah

regimen

stimulasi

alternatif

yang

memanfaatkan baik fase antagonistik awal yang singkat dari respon terhadap
agonis GnRH kerja panjang serta fase supresi selanjutnya dari sekresi
gonadotropin endogen yang diinduksi oleh terapi jangka panjang. Pada short
protocol standar, leuprolide acetate (1.0 mg/hari) diadministrasikan pada siklus
hari 2-4, dilanjutkan dengan dosis yang dikurangi (0.5 mg/hari), dan stimulasi
gonadotropin (150-450 IU/hari) dimulai ada siklus hari ke-3. Penyesuain tahap
lanjut dari dosis stimulasi gonadotropin, bila perlu, didasarkan pada respon dan
indikasi untuk administrasi hCG, sebagaimana pada long protocols. Meta
analisis awal yang mencakup 7 penelitian klinis yang membandingkan terapi
agonis GnRH kerja pendek dan panjang, menemukan bahwa kedua protocol
memberikan tingkat pembatalan siklus maupun tingkat kehamilan yang sama.
Review sistematik yang dilakukan sesudahnya yang mencakup 22 penelitian,
menyimpulkan bahwa tingkat kehamilan yang dicapai dengan long protocol
sedikit lebih tinggi daripada dengan flare protocol (OR=1.27; CI=1.04-1.56).
Meski begitu, studi yang tercakup dalam analisis tidak mengontrol faktor
diagnostik dan prognostik lainnya, sehingga hasilnya mungkin tidak dapat
diaplikasikan untuk semua wanita, dan khususnya untuk poor responder.
Faktanya, flare protocol standar secara umum memperbaiki respon folikuler dan
menurunkan tingkat pembatalan siklus pada poor responder, meskipun tingkat
kehamilan dan kelahiran hidup tetap relatif rendah. Penurunan fleksibilitas
penjadwalan terapi merupakan salah satu kerugian yang nyata dari flare
protocol, kecuali onset menstruasi diatur dengan terapi pre-eliminer dengan
kontrasepsi oral. Regimen terapi flare protocol standar juga sering terkait
dengan peningkatan serum progesterone dan level androgen yang signifikan,
mungkin karena terlambatnya rescue terhadap corpus luteum, yang mungkin

144

memiliki efek buruk terhadap kualitas oocyte dan tingkat fertilisasi serta
kehamilan.

Protokol ultra-short dengan menggunakan agonis GnRH merupakan


variasi dari flare protocol di mana agonis diadministrasikan selama 3 hari untuk
menstimulasi respon flare namun kemudian dihentikan; terapi dilanjutkan dengan
gonadotropin eksogen tunggal. Sebagaimana diharapkan, LH surge prematur
lebih sering terjadi pada siklus yang distimulasi dengan standar short protocol
atau long protocol karena down regulation dari sekresi gonadotropin endogen
memerlukan waktu terapi agonis yang lebih lama. Protokol stimulasi agonis
GnRH ultra-short memberikan hasil yang lebih inferior daripada hasil yang
didapatkan dari long/short protocol sehingga jarang diaplikasikan.
Regimen kontrasepsi oral-agonis GnRH mikrodosis, merupakan variasi lain
dari short protocol yang melibatkan supresi ovarium selama 14-21 hari dengan
kontrasepsi oral (1 pil/hari), yang diikuti oleh terapi leuprolide mikrodosis (40 g
2x/hari) yang dimulai pada hari 3 setelahnya, dan stimulasi gonadotropin dosis
tinggi (300-450 IU/hari) dimulai pada hari 3 terapi leuprolide. Indikasi untuk
penyesuaian dosis gonadotropin lanjutan dan administrasi hCG sama seperti
yang sebelumnya dijelaskan. Protokol kontrasepsi oral-flare protocol dosis mikro
tampaknya menawarkan keuntungan yang signifikan dibandingkan short
protocol standar. Khususnya, regimen ini tidak menginduksi peningkatan serum
progesterone atau konsentrasi androgen, mungkin karena dosis dari agonis
GnRH yang diadministrasikan jauh lebih rendah, namun juga mungkin
disebabkan oleh terapi kontrasepsi oral yang mengeliminasi kemungkinan
adanya corpus luteum yang tertinggal. Protocol kontrasepsi oral-GnRH agonis
dosis mikro mungkin memiliki nilai tersendiri untuk poor responder di mana
terapi ini dapat menstimulasi peningkatan dramatis serum FSH (tidak terkait
145

terapi gonadotropin eksogen) dan untuk memberikan tingkat pembatalan yang


rendah, serum estradiol puncak yang tinggi, tingkat transfer yang tinggi, dan
yang paling penting untuk meningkatkan tingkat kehamilan.

Stimulasi dengan Gonadotropin Eksogen dengan Tambahan Agonis GnRH

Pengenalan antagonis GnRH yang relatif baru ke praktek klinis telah


menyediakan pilihan lain untuk stimulasi ovarium pada ART. Berkebalikan
dengan agonis kerja panjang yang pada awalnya menstimulasi dan kemudian
menghambat

sekresi

gonadotropin

pituitary

dengan

mendesensitisasi

gonadotrop terhadap GnRH melalui down regulation reseptor, agen antagonis


GnRH bekerja dengan mengeblok reseptor GnRH dengan pola yang tergantung
dosis dan tidak memiliki flare effect; sehingga supresi gonadotropin terjadi
hampir segera setelah dimulai terapi.
Antagonis

GnRH

menawarkan

sejumlah

keuntungan

potensial

dibandingkan agonis GnRH. Pertama, durasi terapi untuk agen antagonis jauh
lebih pendek dibandingkan agen agonis. Karena tujuannya hanya untuk
mencegah LH surge endogen prematur dan efeknya terjadi dengan segera,
maka terapi antagonis dapat ditunda hingga tahap akhir perkembangan folikel
(setelah 5-7 hari stimulasi gonadotropin), setelah level estradiol mengalami
peningkatan, sehingga mengeliminasi gejala defisiensi estrogen yang dapat
muncul pada wanita yang menjalani terapi agonis. Kedua, karena semua efek
supresi yang mungkin dihasilkan oleh agonis pada respon ovarium terhadap
stimulasi gonadotropin juga tereliminasi, maka dosis dan durasi total dari
stimulasi gonadotropin yang dibutuhkan dapat diturunkan. Untuk alasan yang
sama, protocol stimulasi yang melibatkan antagonis akan memberikan manfaat
pada wanita poor responder saat dilakukan terapi dengan long protocol
standar. Ketiga, dengan mengeliminasi flare effect dari agonis, antagonis GnRH
146

dapat menghindari resiko terjadinya kista folikuler. Terakhir, resiko hiperstimulasi


ovarium berat terkait penggunaan antagonis tampaknya juga lebih rendah bila
dibandingkan agonis.
Antagonis GnRH juga memiliki beberapa kerugian potensial. Saat
diadministrasikan dalam dosis harian kecil, maka penting untuk menekankan
kepatuhan yang ketat terhadap dosus yang diberikan. Antagonis juga
mensupresi sekresi gonadotropin endogen lebih sempurna daripada agonis. Bila
level LH yang rendah selama terapi agonis biasanya sudah cukup untuk
mensuport steroidogenesis folikuler normal selama penggunaan uFSH atau
rFSH sebagai terapi stimulasi, konsentrasi LH yang bahkan lebih rendah akibat
terapi antagonis mungkin tidak seperti itu. Memang, level serum estradiol akan
tetap datar atau menurun saat terapi antagonis dimulai. Meskipun pertumbuhan
folikuler tampaknya tidak terpengaruh, namun banyak peneliti lebih memilih
untuk menambah atau mengganti hMG dosis rendah (75 IU) pada waktu yang
sama. Ketiga, terdapat bukti yang mendukung bahwa tingkat kehamilan pada
siklus terapi antagonis mungkin sedikit lebih rendah daripada siklus yang
menggunakan agonis pada long protocol, yang mungkin disebabkan karena
antagonis GnRH dapat mempengaruhi program mitosis pada sel yang terlibat
dalam

folikulogenesis,

pembentukan

blastomere,

dan

perkembangan

endometrial.
Dua antagonis GnRH yang tersedia untuk penggunaan klinis, yakni
ganirelix dan cetrorelix, memiliki potensi dan efektivitas yang setara. Untuk
keduanya, dosis efektif minimum untuk mencegah LH surge prematur adalah
0.25 mg/hari, diadministrasikan subkutan. Baik ganirelix ataupun cetrorelix dapat
diadministrasikan dalam dosis kecil berkala (0.25 mg). Protocol terapi dapat
dipastikan untuk dimulai setelah 5-6 hari stimulasi gonadotropin, atau diatur
sesuai respon individu, di mana terapi dimulai saat folikel dominan telah
mencapai diameter sekitar 13-14 mm. Bukti menunjukkan bahwa regimen yang
disesuaikan secara individu secara umum membutuhkan dosis total yang lebih
rendah dan mungkin akan memberikan hasil keseluruhan yang lebih baik.
Alternatifnya, dosis tunggal yang lebih besar dari cetrorelix (3.0 mg) dapat
mencegah LH surge selama 96 jam secara efektif. Bila diberikan pada hari 6-7
stimulasi, maka interval supresi efektif akan mencakup hari administrasi hCG
pada sebagian besar wanita (75-90%); sisanya mungkin akan tetap menerima
dosis tambahan sebagaimana dibutuhkan (0.25 mg), berakhir pada hari

147

administrasi hCG. Dosis tunggal regimen terapi antagonis juga dapat ditunda
hingga folikel dominan mencapai diameter 13-14 mm.

Secara individual, hasil dari penelitian klinis random yang membandingkan


protocol terapi antagonis dengan long protocol standar menemukan bahwa
kedua regimen stimulasi tersebut menghasilkan tingkat kehamilan yang setara.
Namun, sebuah meta analisis terhadap data dari 5 penelitian serupa
menemukan bahwa tingkat kehamilan klinis 5% lebih rendah pada siklus terapi
antagonis meskipun dilakukan transfer embryo berkualitas bagus dengan jumlah
yang sama. Secara umum, dosis dan durasi total stimulasi gonadotropin yang
diperlukan, level puncak estradiol, dan jumlah folikel serta oocyte juga lebih
rendah pada siklus antagonis.
Stimulasi gonadotropin dengan dosis yang lebih tinggi mungkin dapat
membantu untuk meningkatkan jumlah folikel dan oocyte pada siklus terapi
antagonis. Strategi lainnya melibatkan terapi pre-eliminer dengan estradiol oral
micronized selama fase luteal dari siklus yang distimulasi sebelumnya (4.0
mg/hari sejak siklus hari-20, berakhir pada hari sebelum stimulasi gonadotropin
dimulai).

Pre-terapi

estradiol

pada

fase

luteal

menurunkan

kecepatan

pertumbuhan dan perbedaan ukuran folikel akibat stimulasi, dan meningkatkan


jumlah folikel matur, oocyte, serta embryo pada siklus terapi antagonis.
Perbaikan dinamika folikuler ini sama dengan yang dicapai melalui down
regulation dengan agonis GnRH pada long protocol dan mungkin dapat
membantu menaikkan tingkat kesuksesan ke level yang sama. Peningkatan
rebound dari level FSH endogen yang terjadi setelah penghentian terapi

148

estradiol mungkin juga akan bersinergi dengan gonadotropin eksogen untuk


memicu perkembangan mutifolikuler.
Penjelasan untuk tingkat kehamilan yang sedikit lebih rendah pada siklus
terapi antagonis, masih belum jelas. Kemungkinan, namun sepertinya tidak,
bahwa antagonis GnRH dapat memberikan efek buruk terhadap oocyte, embryo,
ataupun endometrium. Lebih mungkin bila hasil awal penelitian tersebut
hanyalah merefleksikan kurangnya pengalaman dan akan membaik seiring
waktu dan perbaikan regimen terapi lebih jauh seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Banyak keuntungan yang awalnya diharapkan didapatkan dari
antagonis GnRH, saat ini telah terealisasi. Apakah antagonis akan sepenuhnya
menggantikan agonis dan menjadi standar dari regimen stimulasi ART, masih
belum pasti, namun antagonis telah dipandang memiliki potensi besar untuk
wanita dengan polycystic ovary syndrome dan wanita dengan poor respond
terhadap stimulasi setelah dilakukan terapi dengan agonis.
Wanita dengan polycystic ovary syndrome secara karakteristik memiliki
sekresi LH tinggi dan memiliki resiko mengalami LH surge prematur saat diterapi
dengan regimen induksi ovulasi standar, khususnya bila wanita tersebut obese.
Wanita dengan polycystic ovary syndrome juga mengalami peningkatan resiko
hiperstimulasi

ovarium

saat

distimulasi

secara

agresif

menggunakan

gonadotropin eksogen. Baik agonis maupun antagonis dapat mensupresi


peningkatan konsentrasi LH di sirkulasi, namun kelompok folikel yang lebih kecil
ditemukan pada siklus antagonis yang mungkin membantu menurunkan resiko
hiperstimulasi ovarium pada wanita dengan polycystic ovary syndrome yang
cenderung

merupakan

high

responder.

Penggunaan

antagonis

juga

menyediakan kesempatan untuk menggunakan agonis daripada hCG untuk


menginduksi maturasi akhir oocyte, sehingga lebih menurunkan resiko sindroma
hiperstimulasi ovarium. Bila injeksi bolus tunggal dari agonis (leuprolide 0.5 mg,
triptorelin 0.2 mg) dapat memicu LH surge fisiologi yang berlangsung <24 jam,
diikuti dengan peningkatan FSH akut, maka level hCG tetap tinggi selama
beberapa hari dan menstimulasi konsentrasi estradiol dan progesterone yang
sangat tinggi.
Regimen terapi antagonis saat ini juga memiliki kerugian potensial untuk
wanita dengan polycystic ovary syndrome. Level LH yang tinggi pada wanita
tersebut akan tetap tinggi hingga dimulainya terapi antagonis. Konsekuensinya,
level LH dapat meningkat secara prematur, khususnya bila terapi antagonis

149

ditunda hingga folikel dominan mencapai 14 mm atau lebih. Selain itu, bukti-bukti
mengindikasikan bahwa peningkatan eksposure LH selama perkembangan awal
folikel mungkin sifatnya merugikan dan menjadi predispose rendahnya tingkat
kehamilan. Secara teori, pre-terapi dengan kontrasepsi oral terbukti cukup
berguna dalam mensupresi level LH dan androgen sebelum stimulasi dimulai,
sehingga menurunkan eksposure LH selama fase awal perkembangan folikuler
serta menurunkan resiko peningkatan level LH sebelum dimulainya terapi
antagonis. Supresi pre-eliminer dengan kontrasepsi oral dan selanjutnya dengan
terapi antagonis, mungkin juga membantu untuk membatasi respon folikuler
terhadap stimulasi gonadotropin sambil tetap memberikan pilihan untuk
menggunakan agonis sebagai pemicu maturasi tahap akhir dari oocyte. Terapi
antagonis yang dimulai lebih awal mungkin juga memberikan keuntungan yang
sama. Pertimbangan-pertimbangan tersebut mengilustrasikan bahwa antagonis
GnRH bukanlah obat mujarab dan mungkin bukan pilihan terbaik untuk wanita
dengan polycystic ovary syndrome.
Kelompok lain yang mungkin dapat mengambil manfaat dari antagonis
GnRH adalah poor responder karena terapi antagonis menghilangkan semua
efek supresi yang mungkin diakibatkan oleh agonis kerja panjang pada respon
folikuler dan dapat mencegah LH surge prematur pada sebagian besar wanita
yang distimulasi dengan gonadotropin tunggal. Pengalaman awal dengan
menggunakan antagonis pada populasi khusus ini menunjukkan bahwa
penambahan

antagonis

terhadap

regimen

stimulasi

gonadotropin

tidak

menurunkan jumlah folikel, telur yang didapatkan, atau tingkat fertilisasi, dan
justru malah meningkatkan tingkat kehamilan. Pada penelitian non-random, poor
responder diterapi lagi dengan menggunakan long protocol standar atau
regimen stimulasi antagonis, dan ditemukan tingkat kehamilan yang setara,
namun dosis dan durasi total stimulasi gonadotropin yang diperlukan menjadi
jauh lebih pendek pada wanita yang menerima terapi agonis. Penelitian klinis
random yang membandingkan hasil yang didapat dengan agonis GnRH dosis
mikro flare protocol dengan regimen terapi antagonis, tidak memberikan
perbedaan tingkat kehamilan kecuali adanya perbedaan level puncak estrogen
pada wanita yang diterapi dengan antagonis. Pada studi lain terhadap poor
responder yang gagal mengalami kehamilan saat diterapi dengan flare protocol
standar, maka regimen terapi antagonis menhasilkan peningkatan jumlah
embryo, transfer, dan tingkat kehamilan dari setiap transfer. Logis untuk

150

mengharapkan bahwa hasil yang dicapai dengan regimen stimulasi alternative


pada poor responder akan tetap tidak terlalu bagus, namun pengalaman awal
dengan protocol antagonis menunjukkan bahwa regimen terapi antagonis sama
efektifnya dengan regimen lain yang lebih kompleks dan mahal.
PENGAMBILAN OOCYTE
Pengambilan oocyte secara umum dilakukan sekitar 36 jam setelah
administrasi hCG. Interval yang sedikit lebih panjang tidak secara substansial
menambah resiko ovulasi atau berefek buruk terhadap kualitas oocyte, tingkat
fertilisasi, atau hasil keseluruhan dari siklus down regulation agonis GnRH,
namun pengambilan yang lebih awal akan menghasilkan oocyte mature yang
lebih sedikit.
Bila dahulu pengambilan oocyte dilakukan melalui laparoskopi, saat ini
aspirasi dengan guiding USG transvagina di bawah sedasi intravena sudah
menjadi terapi standar. Meskipun sedasi yang dalam dapat digunakan (propofol),
sebagian besar wanita dapat mentoleransi prosedur dengan sangat baik dengan
menggunakan sedasi intravena (sadar) dengan protocol yang melibatkan agen
narkotik kerja singkat (fentanyl) dan benzodiazepine (midazolam), yang
diadministrasikan dengan dosis kecil, sesuai kebutuhan. Monitoring konstan
dengan pencatatan tekanan darah otomatis dan pulse oxymetry penting untuk
memastikan bahwa sedasi benar-benar dipertahankan dan tidak berlebihan.
Agen antidote spesifik untuk narkotik (naloxone) dan benzodiazepine (flumazenil)
juga harus tersedia.
Terapi

antibiotik

profilaksis

(doksisiklin

100

mg,

cefoxitin

g),

diadministrasikan intravena 30-60 menit sebelum pengambilan, sering dilakukan


namun masih kontroversial karena rendahnya insiden infeksi akibat pengambilan
oocyte (0.3-0.6%). Alternatifnya, dapat diberikan antibiotik oral segera setelah
prosedur selesai dilakukan (tetrasiklin, doksisiklin), dan hanya memberikan
antibiotik intravena untuk wanita dengan resiko infeksi yang tinggi (riwayat PID,
endometrioma).
Antiseptic (povidone iodine) bersifat toksik untuk oocyte, dan bukti yang
terbatas menunjukkan bahwa penggunaan antiseptic terkait dengan rendahnya
tingkat kehamilan. Bila ingin mempersiapkan vagina sebelum pengambilan,
maka dapat dilakukan irigasi berulang dengan saline saja, karena secara umum
sudah cukup untuk membersihkan vagina. Vesika urinaria dapat menjadi

151

terdistensi akibat administrasi cairan intravena dan harus dikosongkan segera


sebelum pengambilan. Karena prosedur pengambilan biasanya cukup cepat,
maka tidak diperlukan kateter indwelling.
Probe USG vagina (5-7 MHz) dalam pembungkus plastik yang steril
dengan jarum guide yang menempel, digunakan untuk memberikan gambar
ovarium dan untuk menyesuaikan gambarannya dengan folikel dengan diameter
terbesar. Sebuah jarum disposable yang didesain spesial 16-17 G, digunakan
untuk memasuki setiap folikel, dan kemudian untuk mengaspirasi cairan folikuler
dan oocyte. Dengan tekanan vakum yang sesuai (100-200 mmHg), folikel akan
dengan cepat kolaps, namun tidak mengobstruksi lumen jarum. Beberapa klinisi
memilih untuk membilas dan kemudian melakukan aspirasi ulang untuk folikel
besar, namun teknik ini tidak memiliki manfaat tambahan dan justru memperlama
waktu operatif dan kebutuhan analgesic. Meminimalkan sudut yang tersapu
dengan jarum di dalam ovarium dapat membatasi ketidaknyamanan dan trauma
ovarium. Secara umum, semua folikel dalam ovarium yang lebih besar dari 10
mm dapat diaspirasi tanpa lebih dari 1 sampai 2 entry yang terpisah di setiap sisi.
Pembilasan jarum dan pelekatan tube dengan media setelah setiap kali
penarikan akan membantuk memaksimalkan oocyte yang didapatkan. Tekanan
abdomen

dapat

membantu

menstabilkan

ovarium

yang

mobile

atau

memindahkan ovarium ke lokasi yang lebih nyaman untuk melakukan aspirasi.


Ovarium yang melekat pada uterus posterior seringkali lebih mudah untuk
didekati dari sisi kontralateral namun mungkin sulit untuk dimasuki tanpa
meluruskan posisi uterus. Lebih bijak untuk membiarkan saja beberapa folikel,
khususnya bila jumlah oocyte yang diambil telah mencukupi.
Empty follicle syndrome, yakni kegagalan untuk mendapatkan oocyte
meskipun terjadi perkembangan multifolikuler yang normal, terjadi pada 0.5-2%
siklus. Fenomena ini mungkin terjadi bila hCG diadministrasi lebih lama dari
jadwal atau bahkan terlupakan sama sekali, atau akibat penurunan aktivitas
biologis pada beberapa preparat hCG yang tersedia, namun penyebab
sebenarnya masih merupakan misteri. Konsentrasi serum hCG 36 jam setelah
injeksi umumnya berada pada rentang antara 100 dan 300 IU/l. Pada beberapa
kasus, siklus dapat diselamatkan dengan melakukan pengambilan kedua
beberapa jam kemudian, dengan atau tanpa dosis hCG tambahan, sesuai
indikasi dari konsentrasi serum hCG.

152

Komplikasi serius dari pengambilan oocyte jarang terjadi. Perdarahan


vagina pada lokasi puncture relatif sering terjadi (8%) dan biasanya dapat
dikontrol dengan bebat tekan dalam waktu singkat, namun terkadang mungkin
memerlukan penjahitan. Perdarahan akut dari ovarium dan perdarahan atau
hematom akibat injury ke uterus, ovarium, atau pembuluh darah iliaka sangat
jarang terjadi (0.04-0.07%) namun mungkin memerlukan terapi operatif. Insiden
infeksi pelvis post operasi cukup rendah bahkan tanpa terapi antibiotic profilaksis
(0.3-0.6%) dan hampir separuhnya adalah abses tubo-ovarian, yang terjadi 1-6
minggu setelah pengambilan. Wanita dengan endometrioma dan wanita dengan
riwayat salpingitis memiliki resiko paling tinggi. Komplikasi lain yang telah
dilaporkan antara lain rupture kista dermoid, laserasi vena sakralis, dan
osteomyelitis lumbo-sacralis.
Maturasi Oocyte
Hingga 20-30% dari oocyte yang terambil mungkin masih immature saat
pengambilan, yang merefleksikan bermacam-macamnya ukuran folikel dalam
satu kelompok saat hCG diadministrasikan. Pemeriksaan akurat terhadap
maturitas oocyte penting untuk menentukan waktu fertilisasi, bahkan bila akan
dilakukan ICSI.
Seperti LH surge pada siklus alami, hCG memicu kelanjutan meiosis pada
oocyte primer yang sebelumnya berhenti pada profase I pembelahan meiosis
pertama. Oocyte mature secara umum dapat dilihat melalui ekspansi massa
cumulus, pencahayaan sel-sel corona, ukuran dan kohesifitas sel granulosa,
serta bentuk dan warna oocyte. Bila massa cumulus diambil selama persiapan
ICSI, maka oocyte dapat juga dievaluasi berdasarkan ada atau tidaknya badan
kutub pertama dan vesikel germinal (membrane nucleus).
Oocyte mature (metaphase II) telah mengeluarkan badan kutub pertama
dan berada dalam fase istirahat dari meiosis II. Sel-sel cumulus biasanya
membesar dan terluteinisasi serta corona radiata memberikan pola sunburst.
Oocyte yang berada pada metaphase I dengan maturitas sedang, tidak memiliki
badan kutub dan memiliki sel cumulus yang lebih padat, namun vesikel germinal
dan nucleolus telah menghilang. Oocyte metaphase I memerlukan waktu
tambahan dalam media kultur sebelum fertilisasi dan harus diperiksa secara
berkala untuk memastikan bahwa telah terjadi pengeluaran badan kutub
pertama. Oocyte profase I masih sangat immature dan memiliki corona yang

153

padat yang mengandung sedikit sel cumulus serta terdapat vesikel germinal dan
nucleolus yang terlihat jelas; adanya disolusi dari vesikel germinal memberi
sinyal kelanjutan dari meiosis I.
Meskipun sebagian besar dari oocyte immature akan menjadi mature
seiring waktu dalam kultur (hingga 36 jam) dan seringkali dapat berfertilisasi,
namun embryo yang dihasilkan seringkali berkembang buruk dan menghasilkan
tingkat kehamilan yang relative buruk. Oocyte mature hanya memerlukan sedikit
inkubasi pre-eliminer dan normalnya dapat diinseminasikan dalam 4 jam setelah
pengambilan (rentangnya 2-8 jam). Oocyte mature juga menghasilkan tingkat
fertilisasi tertinggi. Tingkat pembelahan embryo yang berasal dari oocyte mature
dan immature cukup setara, namun embryo yang berasal dari oocyte immature
lebih mungkin untuk mengalami abnormalitas morfologi, dan bahkan embryo
dengan morfologi normal lebih jarang untuk berkembang ke tahap blastosis.
Transfer Sitoplasma dan Vesikel Germinal
Alasan bahwa disfungsi mitokondria dapat mengganggu perkembangan
dan implantasi normal pada beberapa wanita, maka telah dikembangkan
beberapa teknik di mana sejumlah kecil sitoplasma ditransfer dari donor oocyte
ke oocyte dari wanita infertil yang telah diseleksi. Meskipun kehamilan berasal
dari embryo yang telah diperlakukan sedemikian rupa, tidak ada bukti signifikan
yang mengindikasikan bahwa prosedur tersebut dapat memperbaiki potensi
perkembangan atau implantasi. Peneliti lain berspekulasi bahwa transplantasi
vesikel germinal dari oocyte immature wanita infertil ke oocyte yang telah dienukleasi dari donor fertil mungkin akan mengkompensasi defek fungsi
sitoplasma di oocyte. Meskipun transfer sitoplasma maupun vesikel germinal
dapat menghasilkan keturunan genetik, namun efikasi dan keamanan dari
prosedur ini masih belum jelas.

FERTILISASI
Fertilisasi dapat dicapai menggunakan mikroinseminasi konvensional atau
dengan ICSI bila terdapat/diduga terdapat faktor infertilitas pria dan terdapat
pertimbangan adanya fertilisasi yang buruk atau gagal. Faktanya, faktor pria saat
ini merupakan diagnosis tunggal yang paling banyak didapatkan untuk pasangan
yang menjalani IVF. Dalam ringkasan nasional tingkat kesuksesan ART di US

154

untuk tahun 2001, 19% dari semua siklus dikerjakan untuk indikasi faktor pria
dan faktor pria merupakan salah satu dari berbagai faktor infertilitas ganda pada
18% lainnya dari seluruh siklus. Pada sekitar 80% pasangan dengan faktor
infertilitas pada pria yang menyelesaikan sebuah siklus IVF, juga dilakukan ICSI.
Sampel semen harus didapatkan melalui masturbasi segera sebelum atau
setelah pengambilan oocyte. Dua metode yang paling sering digunakan dalam
persiapan sperma sebelum fertilisasi, yakni prosedur swim up dan sentrifugasi
gradient densitas, dijelaskan secara detail pada chapter 30. Kedua metode
tersebut dapat dengan sukses mengisolasi sebuah populasi sperma dengan
motilitas tinggi untuk inseminasi, dan sentrifugasi gradient densitas bahkan
tampaknya juga dapat memilih sperma dengan morfologi yang normal dan
dianggap sebagai pilihan yang lebih baik bila parameter semen abnormal.
Sperma yang telah diisolasi kemudian diinkubasikan pada media yang
disuplementasi dengan protein konsentrasi tinggi selama 0.5 hingga 4 jam untuk
mencapai kapasitasi.
Secara umum, setiap oocyte diinkubasikan dengan 50.000 hingga 100.000
sperma motile dengan interval 12-18 jam dalam suhu 370C dalam karbondioksida
5% di udara dengan kelembapan relatif 98%. Reaksi akrosom, yang penting
untuk memungkinkan sperma menembus zona pellucida, diinisiasi melalui kontak
antara sperma dan zona. Selanjutnya, penetrasi sperma akan memicu reaksi
kortikal yang melibatkan eksositosis granula kortikal dari ooplasma dan
menyebabkan zona pellucida menjadi relatif sulit untuk dipenetrasi oleh lebih dari
satu sperma (polyspermia). IVF konvensional dapat mencapai tingkat fertilisasi
antara 50 hingga 70%.
Penetrasi sperma juga mengaktivasi oocyte dan menstimulasi pembelahan
meiotic kedua, sehingga menghasilkan segregasi chromatid antara oocyte dan
badan polar kedua. Oocyte kemudian dievaluasi untuk terjadinya fertilisasi pada
sekitar 18 jam setelah inseminasi. Oocyte yang terfertilisasi normal menghasilkan
dua nuclei yang berbeda, satu berasal dari oocyte dan lainnya berasal dari
sperma, dan 2 badan polar di ruang perivitellina. Zygot-zygot yang terbentuk
harus diinspeksi dengan seksama untuk melihat adanya pronuclei lebih karena
embryo poliploid mungkin akan dapat membelah normal dan tidak terdeteksi
hingga perkembangan tahap lanjut. Poliploidi dapat diobservasi pada sekitar 510% embryo secara keseluruhan, namun jauh lebih sering terjadi pada oocyte
immature (hingga 30%) daripada oocyte mature (1-2%). Di samping polyspermia,

155

poliploidi mungkin dapat disebabkan oleh digyni akibat kesalahan spindle


meiosis atau kegagalan untuk mengeluarkan badan kutub, yang merupakan
suatu kejadian yang paling berhubungan dengan oocyte imatur, oocyte tua, dan
oocyte post mature. Proses fertilisasi memerlukan waktu sekitar 24 jam dan
berakhir dengan pembelahan mitosis persama.
Teknik Pengambilan Sperma
Bila tidak terdapat ejakulat (aspermia) atau hanya sangat sedikit sperma di
ejakulat (azoospermia), maka sejumlah metode dapat digunakan untuk
mengambil sperma yang akan digunakan untuk fertilisasi. Sperma donor dapat
digunakan, bila desain atau kemungkinan usaha untuk mendapatkan sperma
pada hari pengambilan oocyte mengalami kegagalan. Pria dengan kegagalan
ejakulasi tidak memiliki ejakulat ataupun ejakulasi retrograde. Kegagalan
ejakulasi dapat diakibatkan oleh disfungsi neurologi atau injury terhadap traktus
simpatis yang mengontrol emisi dan ejakulasi (spinal cord injury, diabetes
mellitus, multiple sclerosis, operasi retroperitoneal) atau dapat berasal dari
gangguan psikogenik. Azoospermia mungkin berkaitan dengan adanya obstruksi
duktus (azoospermia obstruktif) atau diakibatkan oleh sindroma sel Sertoli
tunggal, penghentian maturasi, atau hipospermatogenesis (azoospermia non
obstruktif). Evaluasi diagnostik untuk pria aspermia dan azoospermia telah
dijelaskan pada Chapter 30.
Di masa lalu, pria dengan azoospermia non obstruktif dianggap steril dan
tidak dapat diterapi dengan apapun kecuali dengan penggunaan sperma donor.
Meski demikian, specimen biopsy testis dari para pria tersebut seringkali
menunjukkan adanya sperma. Hal ini menunjukkan adanya produksi sperma
dengan level rendah yang tidak dapat melewati transit epididymis untuk
mencapai ejakulat. Teori konvensional menyatakan bahwa sperma harus
melewati traktus reproduksi pria untuk mendapatkan kemampuan untuk dapat
membuahi oocyte, namun kesuksesan ICSI dengan menggunakan sperma testis
atau epididymis justru membuktikan hal yang sebaliknya. Bahkan sperma yang
sangat immature (round spermatid nuclear injection/ROSNI) telah digunakan
untuk mencapai fertilisasi, meskipun dengan kesuksesan yang terbatas.
Penting untuk menekankan kembali bahwa evaluasi dan konseling genetik
diindikasikan untuk pria dengan abnormalitas semen berat sebelum sperma
mereka digunakan untuk ICSI. Pria dengan ketiadaan vas deferens bilateral

156

kongenital atau vasal aplasia dalam bentuk yang lebih ringan, dan partner
wanitanya, harus menjalani skrining terhadap adanya mutasi gen cystic fibrosis
sebelum menjalani segala usaha untuk mencapai kehamilan melalui ART untuk
menentukan kemungkinan resiko transmisi cystic fibrosis dan aplasia vassal ke
keturunannya. Pria dengan azoospermia non-obstruksi atau oligospermia berat
(<5 juta/ml) harus menjalani karyotyping dan skrining untuk kemungkinan adanya
mikrodelesi kromosom Y.

Pengambilan Sperma pada Pria dengan Ejakulasi Retrograde


Pria dengan ejakulasi retrograde dapat diterapi dengan
simpatomimetik

yang

ditujukan

untuk

mengontrol

sphincter

agen
interna

(imipramine 25 mg 2x/hari atau 50 mg saat akan tidur; pseudoephedrine 60


mg, ephedrine 25-50 mg 4x/hari, phenylpropanolamine 50-75 mg 2x/hari). Bila
terapi tersebut terbukti tidak sukses, maka sperma dapat diambil secara
langsung dari vesika urinaria setelah masturbasi; hasil terbaik dicapi bila pH
dan osmolalitas urine (300-380 mOsm/l) dikontrol dengan seksama dengan
mengalkalinisasi urine (natrium bikarbonat 650 mg 4x/hari, dimulai 1-2 hari
sebelum pengambilan sperma) dan mengontrol intake cairan. Alternatifnya,
vesika urinaria bisa diisi dengan medium buffer segera sebelum ejakulasi.

Stimulasi Vibrasi dan Elektroejakulasi


Pada pria dengan kegagalan ejakulasi psikogenik atau injury spinal cord di
bawah T6, stimulasi vibrasi dapat terbukti sukses. Rectal probe electrical
stimulation (electroejaculation) direkomendasikan untuk pria yang gagal
dengan stimulasi vibrasi dan pria dengan operasi retroperitoneal sebelumnya.
Ejakulasi terinduksi mungkin bisa retrograde dan pengambilan sperma dapat
dilakukan dengan cara yang disebutkan sebelumnya. Karena elektroejakulasi
seringkali menghasilkan asthenospermia dan teratospermia, maka seringkali

juga dibutuhkan ICSI.


Aspirasi Sperma Epididimal
Sperma bisa didapatkan melalui microsurgical epididymal sperm aspiration
(MESA) pada saat dilakukan prosedur vasoepididymostomy atau sebagai
prosedur tunggal pada pria dengan ketiadaan vas deferens bilateral
kongenital atau obstruksi yang tidak dikoreksi. Teknik ini melibatkan insisi
pada tubulus yang terdilatasi, mengarah ke proksimal secara perlahan, bila
perlu, hingga didapatkan adanya sperma. Sperma dikumpulkan ke dalam
micropipette melalui aksi kapiler dengan kompresi lembut pada testis dan

157

epididymis kemudian dimasukkan ke dalam kontainer yang berisi sedikit


media kultur IVF. Bila memungkinkan secara logistik, sperma dapat digunakan
segera untuk ICSI. Alternatifnya, sperma yang telah terambil dibekukan dalam
berbagai porsi untuk digunakan dalam siklus IVF, bila diperlukan.
Aspirasi sperma epididymis percutaneous menggunakan fine needle (jarum
halus) juga telah dilakukan dengan sukses untuk mendapatkan sperma dan
memperoleh kehamilan, namun teknik ini kurang dapat dipercaya karena
terkadang hanya didapatkan sejumlah kecil sperma yang tidak mencukupi
untuk dibekukan, dan tingkat kehamilan yang didapatkan secara umum lebih
rendah daripada teknik operasi terbuka.

Testicular Sperm Extraction and Aspiration


Pada pria dengan azoospermia non-obstruktif dan pria yang menjalani
aspirasi sperma epididymis namun gagal atau tidak dapat dilakukan sama
sekali, maka sperma bisa didapatkan mellui 3 teknik. Ekstraksi sperma testis
dengan open microsurgical menghasilkan sejumlah besar sperma yang
berpotensi untuk dibekukan. Percutaneous core biopsy atau aspirasi testis
juga telah dijelaskan dan paling dapat dilakukan untuk pria dengan
spermatogenesis normal namun terjadi azoospermia obstruktif.
Dengan menggunakan teknik open microsurgical, sperma dapat diambil
dari sebagian besar pria. Perbesaran akan menurunkan resiko injury terhadap
suplai darah testis, meningkatkan kemungkinan didapatkannya specimen
biopsy yang bebas darah, dan memungkinkan identifikasi tubulus dengan
kaliber besar yang lebih menghasilkan sperma. Kehamilan normal telah dapat
dicapai pada pria dengan kegagalan testis baik kongenital maupun dapatan,
azoospermia post kemoterapi, dan Klinefelter syndrome. Meski demikian,
pengambilan sperma pada pria dengan azoospermia non obstruksi dapat sulit
dan memerlukan biopsy berulang. Mikrodiseksi melalui insisi yang lebih besar
lebih efektif daripada biopsy acak dan mengambil lebih sedikit jaringan. Bila
prosedur TESE awal gagal untuk mendapatkan sperma atau tidak terdapat
sisa sperma testicular yang dibekukan, maka dapat dilakukan prosedur ulang
dengan sukses.
Pada pria dengan azoospermia non obstruktif, TESE secara umum paling
baik dilakukan pada hari atau satu hari sebelum pengambilan oocyte dan tidak
lebih awal dari 6 bulan setelah prosedur biopsy atau TESE sebelumnya, untuk

158

beberapa alasan. Pertama, hingga 1/3 pria dengan azoospermia nonobstruktif dapat memiliki sperma di ejakulatnya pada hari perencanaan
pengambilan dan tidak lagi memerlukan TESE. Kedua, sperma yang diambil
dari pria dengan azoospermia non-obstruktif mungkin tidak motile atau bahkan
tidak viabel setelah dilakukan pembekuan dan pencairan dan ICSI
menggunakan sperma immotile memeberikan hasil yang lebih buruk daripada
bila dilakukan dengan sperma motile. Terakhir, kemungkinan kesuksesan
pengambilan sperma viabel untuk ICSI sangat menurun bila TESE dilakukan
segera setelah biopsy testis atau TESE sebelumnya. Karena TESE
menghasilkan sperma viabel hanya pada sekitar separuh pria dengan
azoospermia non obstruktif, maka sperma donor yang cocok harus sudah
tersedia bila sewaktu-waktu diperlukan. Bila melakukan TESE pada waktu
yang dekat dengan pengambilan oocyte terbukti sulit, maka TESE elektif
dapat dilakukan dan sperma yang terambil dibekukan; resikonya adalah
mungkin tidak terdapat sperma viabel setelah proses pencairan kecuali dalam
jumlah relative kecil, dan sperma donor dapat digunakan bila diperlukan.
Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)
Teknik

fertilisasi

dengan

bantuan

dikembangkan

untuk

mengatasi

kebutuhan sperma untuk mempenetrasi zona pellucida. Sejumlah metode telah


dijelaskan, namun kesuksesan ICSI telah melebihi semua metode lainnya.
Metode yang lebih awal, seperti pengeboran zona (menggunakan mikropipet dan
larutan Tyrode asam atau laser), diseksi zona parsial (membuka zona dengan
jarum mikro), dan insersi atau inseminasi sub zona (injeksi sperma di bawah
zona di ruang perivitellina), masih membuat sperma berinteraksi dengan
oolemma dan tidak mencegah fertilisasi polispermik, namun ICSI telah
menyelesaikan beberapa masalah tersebut.
Pada prosedur ICSI, sperma tunggal yang telah terseleksi pertama kali
diimobilisasi dengan menekan ekor sperma menggunakan pipet injeksi (diameter
dalam 5-7 m), dan kemudian ditarik ke dalam pipet. Oocyte distabilisasi,
biasanya dengan posisi badan polar pada jam 6 hingga 12 dan sperma
dimasukkan pada saat posisi di jam 3. Pipet menembus zona dan oolemma dan
kemudian sperma diinjeksikan langsung ke ooplasma. ICSI tidak membuat
sperma harus menjalani reaksi akrosom atau bergabung dengan membrane
oosyte sebagaimana teerjadi pada fertilisasi alami. Disrupsi mekanik pada

159

ooplasma dan membrane sperma, yang difasilitasi oleh prosedur imobilisasi


sperma dan aspirasi lembut dan injeksi ulang sperma pada sitoplasma oocyte,
semuanya akan memicu terjadinya aktivasi oocyte. Pada sebagian besar kasus,
ICSI mencapai tingkat fertilisasi yang setara dengan IVF konvensional bila tidak
ada faktor infertilitas pada pria (50-70%).
Beberapa peneliti menemukan bahwa embryo yang dihasilkan dari ICSI
mungkin lebih beresiko mengalami fragmentasi atau kemungkinan kecil
mengalami blastulasi, namun beberapa peneliti lain tidak menemukan adanya
perbedaan tersebut. Perbedaan teknik mungkin mempengaruhi efisiensi
fertilisasi dan perkembangan embryo dan mungkin dapat menjelaskan
ketidaksesuaian tersebut. Karena spindle meiosis kedua memiliki posisi yang
berubah-ubah dan tidak selalu terletak tepat di bawah badan polar pertama,
maka ICSI mungkin dapat merusak spindle meiosis bahkan bila area di sekitar
badan polar pertama telah dihindari. Sebuah sistem optic polar yang
menggambarkan spindle meiosis mungkin dapat membantu mengurangi resiko
kerusakan spindle. Dalam persiapan untuk ICSI, sperma motile diinkubasikan
dalam media dengan viskositas tinggi yang mengandung polimer sintetik, yakni
polyvinylpyrrolidone (PVP), dan sejumlah kecil dari polimer ini juga ikut
terinjeksikan bersama sperma. Namun tidak ada bukti bahwa PVP memiliki efek
merugikan pada oocyte atau embryo.
Indikasi ICSI
Indikasi utama untuk ICSI adalah faktor infertilitas pada pria. Batas
parameter semen berbeda antar beberapa pusat, namun khususnya meliputi
oligospermia berat (<5 juta/ml), asthenospermia (<5% motilitas progresif), atau
teratospermia (<4% bentuk normal kriteria strict). ICSI juga diindikasikan saat
sperma diambil dengan prosedur operasi (karena jumlah sperma mature relative
terbatas) atau rencana terapi yang akan dilakukan meliputi diagnosis genetik preimplantasi (karena inseminasi konvensional dapat menghasilkan lebih banyak
sperma yang menempel di zona yang dapat mengkontaminasi sampel untuk
diagnosis dengan PCR), dan untuk pasangan yang sebelumnya mengalami
kegagalan dengan IVF konvensional. Kondisi lain di mana terdapat alasan untuk
mengantisipasi rendahnya efisiensi fertilisasi atau kegagalan fertilisasi, juga
dapat dipandang sebagai indikasi untuk melakukan ICSI. Untuk melindungi dari
kemungkinan konsekuensi abnormalitas fungsi sperma yang tidak terdeteksi,

160

beberapa center melakukan ICSI pada setidaknya satu bagian oocyte yang
diambil dari wanita dengan infertilitas yang tidak terjelaskan. ICSI juga mungkin
menghasilkan tingkat fertilisasi yang tinggi untuk oocyte yang dimatangkan
secara in vitro serta oocyte yang telah dibekukan sebelumnya, yang seringkali
memiliki zona yang lebih keras (resisten terhadap protease). ICSI dianjurkan
untuk mengurangi resiko transmisi agen infeksius seperti HIV dari pria dengan
seropositif ke partnernya yang seronegatif. Terakhir, rescue ICSI telah dilakukan
untuk menggunakan oocyte yang gagal terfertilisasi oleh IVF konvensional
namun dalam hal ini masih tidak efektif.
KULTUR EMBRYO
Meskipun banyak perhatian telah difokuskan pada formulasi media kultur,
komponen lain dari sistem kultur juga sama pentingnya dan hal tersebut di
antaranya adalah konsentrasi karbon dioksida (4-7%), volume inkubasi (10-50
l), ukuran kelompok embryo (1-4), dan tipe suplemen protein (serum albumin
manusia, albumin rekombinan, pengganti serum sintetis).
Sistem Co-culture
Media kultur standar diformulasikan untuk menyerupai cairan pada tuba
manusia; suplemen utama berupa pengganti serum atau protein maternal. Usaha
untuk menciptakan kondisi kultur yang optimal menghasilkan pengembangan
sistem co-culture di mana embryo diinkubasikan bersama garis keturunan sel
lainnya. Konsep awal adalah dengan menggunakan sel epithelial tuba, namun
pengambilan dan perkembangbiakannya tidak praktis. Meskipun sel uterus sapi
telah digunakan di masa lalu, regulasi FDA saat ini sangat membatasi
penggunaan sistem co-culture dari selain sumber autolog karena kekhawatiran
adanya potensi transmisi infeksi. Konsekuensinya, perhatian saat ini difokuskan
pada penggunaan sel-sel endometrium autolog. Hasil dari berbagai penelitian
klinis menunjukkan bahwa co-culture dapat bermanfaat untuk wanita yang
pernah gagal berkonsepsi melalui lebih dari 1x IVF, mungkin dengan berperan
dalam sekresi/scavenging. Meski demikian, nilai dari co-culture tetap sangat
kontroversial dan memerlukan penelitian tambahan dalam sebuah penelitian
klinis besar random.
Extended (Blastocyst) Culture

161

Meskipun kelahiran manusia pertama dengan IVF merupakan hasil dari


transfer blastocyst, sebagian besar transfer yang dilakukan setelahnya
melibatkan tahap pembelahan embryo yang lebih muda (hari 2 atau 3 setelah
fertilisasi),

khususnya

karena

tidak

adanya

media

kultur

yang

dapat

mempertahankan embryo selama perkembangan fase kompaksi (morula) dan


tahap blastocyst. Meski demikian, dalam beberapa tahun terakhir, hasil
identifikasi regulator kunci dan pengertian yang lebih besar akan kebutuhan
fisiologis yang terus berubah dari embryo yang terus tumbuh, telah membantu
perkembangan apa yang saat ini disebut media sekuensial dengan komposisi
bervariasi sesuai tahap perkembangan embryo. Bila embryo pre-kompaksi
memerlukan pyruvate dan asam amino non-esensial (ditemukan dengan
konsentrasi tinggi di oviduct) sebagai nutrient, maka embryo post kompaksi lebih
menggunakan glukosa dan asam amino esensial (ditemukan dengan konsentrasi
tinggi di uterus).
Keuntungan dan kerugian relatif dari extended culture dan transfer
blastocyst telah memunculkan debat aktif yang masih berlangsung. Keuntungan
yang paling banyak disebutkan dari extended culture adalah sebagai berikut:

Memungkinkan pemeriksaan yang lebih baik terhadap viabilitas yang

sebenarnya, setelah aktivasi genome embryonik


Memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi dan mengeksklusi embryo

dengan potensi perkembangan terbatas


Mensikronisasikan tahap perkembangan embryo dengan lingkungannya

secara lebih baik


Menurunkan eksposure embryo terhadap lingkungan endokrin yang abnormal
Menurunkan resiko ekspulsi embryo karena kontraksi uterus
Memperluas kesempatan diagnosis genetik pre-implantasi bila diindikasikan
Menghasilkan tingkat implantasi yang lebih tinggi, sehingga memungkinkan
transfer embryo dengan jumlah yang lebih sedikit
Beberapa anjuran menekankan bahwa extended culture merupakan tes

yang

lebih

dapat

dipercaya

untuk

mengetahui

viabilitas

dan

potensi

perkembangan karena hanya sedikit gen embryonal yang telah terekspresi


sebelum tahap 8-sel dan pemeriksaan kualitas yang telalu awal, hampir selalu
berkaitan hanya dengan kualitas oocyte. Embryo post kompaksi juga memiliki
transporting epithelium sehingga dapat meregulasi fisiologi intraselulernya dan
beradaptasi dengan lingkungannya dengan lebih baik. Meskipun tahap embryo
pronuclear dan pembelahan dapat beradaptasi terhadap lingkungan yang relatif
buruk, tetap hidup, dan terimplan dengan sukses, namun hal-hal tersebut dapat
162

menyebabkan stress yang akan menurunkan viabilitas. Extended culture dapat


membantu meminimalisir efek samping buruk dari peningkatan gonadotropin dan
hormone

steroid

yang

diakibatkan

oleh

hiperstimulasi,

yang

mungkin

mempengaruhi mekanisme implantasi dan kontraktilitas uterus. Fakta bahwa


implantasi blastocyst memiliki tingkat yang lebih tinggi (30-36%) daripada embryo
tahap pembelahan (12-20%) dipandang sebagai bukti paling kuat dari
superioritas kultur dan transfer blastocyst. Meski demikian, hanya sekitar 50%
oocyte terfertilisasi yang berkembang hingga tahap blastocyst, bahkan dalam
media sekuensial.
Namun tidak semua setuju dengan trend dari extended culture. Para
peneliti yang tidak setuju menyatakan bahwa kultur blastocyst memiliki kerugian
sebagai berikut:

Extended

culture

tidak

memperbaiki

kualitas

embryo

dan

potensi

perkembangan, namun anya memfasilitasi seleksi embryo yang paling sesuai


untuk transfer dan tidak memiliki nilai tambahan dalam siklus yang hanya

menghasilkan embryo dalam jumlah sedikit atau berkualitas buruk


Embryo dengan kualitas yang lebih rendah yang mungkin dapat terimplantasi
pada hari ke-3, dapat gagal mencapai tahap blastocyst in vitro dan extended
culture meningkatkan resiko di mana tidak ada embryo sama sekali yang

dapat ditransfer.
Tingginya tingkat implantasi blastocyst memungkinkan transfer embryo
dengan jumlah yang lebih sedikit, namun tingkat kehamilan ganda setelah
dilakukannya transfer 2 blastocyst sama atau bahkan lebih tinggi daripada

tingkat kehamilan ganda dari transfer embryo pada tahap pembelahan


Sebagian besar embryo akan berprogress ke tahap blastocyst dan implant
dapat diidentifikasi pada hari-3, yang memperjelas kebutuhan akan extended
culture.
Sebagian besar peneliti percaya bahwa tingkat implantasi blastocyst yang

tinggi merefleksikan seleksi yang lebih baik dari embryo yang paling viabel dan
hanya terdapat sedikit hal dari siklus extended culture yang menghasilkan sedikit
embryo atau embryo berkualitas buruk. Faktanya, tingkat implantasi yang rendah
dari embryo berkualitas buruk yang menunjukkan perkembangan lambat atau
tingkat fragmentasi yang tinggi, mungkin akan berkurang bila waktu kultur
diperpanjang, dan banyak dari embryo ini yang tidak dapat bertahan dalam kultur
yang lama. Meski demikian, laporan adanya perbaikan hasil transfer blastocyst
pada wanita dengan prognosis buruk (wanita dengan embryo sedikit/berkualitas

163

buruk dan kegagalan siklus berulang sebelumnya) menunjukkan bahwa


extended culture mungkin memiliki beberapa nilai intrinsik. Yang paling
mengejutkan, dan mengecewakan, adalah fakta bahwa kultur blastocyst belum
berhasil memenuhi janjinya untuk menurunkan insiden kehamilan ganda,
terutama karena hanya sedikit wanita yang mau ditransfer hanya dengan satu
blastocyst saja.
Banyak peneliti menyarankan bahwa analisis yang seksama terhadap
embryo tahap awal dapat mengidentifikasi embryo yang nantinya dapat
mencapai tahap blastocyst. Saat ini banyak bukti substansial yang menunjukkan
bahwa embryo dengan pembelahan dini, yakni yang mencapai tahap 2-sel dalam
25-27 jam setelah inseminasi/ICSI, sangat mungkin untuk mencapai tahap
embryo 8-sel pada hari ke-3 dan tahap blastocyst pada hari ke-5. Embryo yang
mencapai tahap 8-sel di awal hari ke-3 dan hanya mengalami sedikit
fragmentasi, dapat memberikan tingkat implantasi yang setara dengan
blastocyst. Meskipun demikian, bukti memang mendukung bahwa extended
culturememang memungkinkan proses seleksi embryo yang lebih baik; embryo
dengan kualitas terbaik pada hari ke-3 menjadi blastocyst dengan kualitas terbaik
pada hari 5 pada 50-60% siklus. Akhirnya, banyak laporan dengan hasil yang
beruba-ubah mengenai cryopreservation blastocyst, meningkatkan kekhawatiran
bahwa extended culture mungkin akan secara signifikan menurunkan potensi
untuk mencapai kehamilan tambahan dengan menggunakan embryo beku.
Meski demikian, seiring dengan makin berkembanga dan majunya teknik yang
digunakan, kekhawatiran tersebut menghilang.
Di saat beberapa peneliti telah menganjurkan aplikasi rutin dari prosedur
extended culture, sebagian besar peneliti lain masih menggunakan teknik ini
hanya untuk pasien dengan prognosis terbaik, yakni bila proses transfer 1 atau 2
blastocyst dapat diharapkan untuk menghasilkan kemungkinan sukses yang
sangat tinggi dengan resiko yang sangat kecil untuk kemungkinan terjadinya
kehamilan ganda. Sebuah meta analisis terhadap 10 penelitian yang
membandingkan transfer embryo hari 3 dan hari 5 menemukan bahwa secara
keseluruhan tidak terdapat perbedaan signifikan antara tingkat implantasi,
kehamilan, kelahiran hidup, aborsi, kehamilan ganda, ataupun kehamilan ganda
lebih dari 3, serta tingkat pembatalan transfer yang tinggi pada siklus yang
melibatkan extended culture. Meski begitu, banyak dari penelitian yang tidak
menggunakan media sekuensial dan apabila penelitian tersebut menggunakan

164

media sekuensial, maka tingkat implantasi menjadi lebih tinggi dan tingkat
kehamilan akan tetap sama meskipun proses transfer hanya menggunakan
embryo dengan jumlah yang lebih sedikit. Tidak ragu lagi bahwa perkembangan
dan aplikasi extended culture telah sangat memperluas pengetahuan dan
pemahaman kita terhadap perkembangan embryonal tahap awal, dan prosedur
tersebut melambangkan kemajuan yang sangat penting dalam ART. Meski
demikian, kultur dan transfer blastocyst sepertinya belum akan menjadi standar
kecuali atau hingga perbaikan hasil dari metode ini dapat dicapai secara luas.
Pre-Implantation

Genetic

Diagnosis

(PGD)/Diagnosis

Genetik

Pre-

Implantasi
PGD menawarkan kesempatan untuk pasangan yang memiliki kelainan
genetik berat untuk memiliki anak sehat tanpa terjadi masalah praktis dan etis
yang terkait dengan terminasi kehamilan setelah dilakukan diagnosis prenatal
tradisional

(chorionic

sampling,

amniocentesis).Kehamilan

pertama

pada

manusia setelah dilakukan PGD (dilakukan untuk menyeleksi embryo wanita


pada pasangan dengan resiko kelainan genetik X-linked) dilaporkan pada tahun
1990. Pada tahun-tahun berikutnya, indikasi untuk PGD telah jauh berkembang
dan terus berkembang. PGD saat ini tidak hanya digunakan untuk menentukan
jenis kelamin, namun juga untuk mendeteksi abnormalitas numerik kromosom
(aneuploidy) dan abnormalitas struktural kromosom (translokasi, inversi), serta
kelainan genetik turunan (cystic fibrosis, thalassemia, hemophilia, Duchenne
muscular dystrophy, dll). Teknologi ini sangat menyenangkan dan memiliki
banyak keuntungan yang menjanjikan. Meski begitu, metode yang saat ini ada,
secara teknik sangat menantang dan beresiko menyebabkan beberapa potensi
kesalahan. Konsekuensinya, diagnosis prenatal konvensional direkomendasikan
untuk mengkonfirmasi akurasi dari PGD.
Perlengkapan dan teknik yang dibutuhkan untuk PGD sama seperti ICSI
dan prosedur terkait lainnya (pengeboran zona, diseksi parsial dari zona).
Setelah dilakukan pembukaan zona, 1-2 sel diekstraksi dengan mikropipet dan
diproses dengan berbagai cara tergantung dari sifat kelainan yang dicari. PGD
dapat dilakukan pada badan kutub yang diambil dari oocyte sebelum fertilisasi
(diagnosis prekonsepsi) atau dilakukan terhadap blastomere yang diambil dari
embryo sebelum transfer. Satu keuntungan dari diagnosis prekonsepsi adalah
bahwa badan kutub tidak terlibat dalam perkembangan embryo selanjutnya,

165

sehingga pengambilannya hanya sedikit beresiko terhadap embryo. Juga, karena


oocyte bukan sebuah individu, maka diagnosis prekonsepsi tidak terlalu
menyebabkan pertentangan religious ataupun etis. Sayangnya, diagnosis
prekonsepsi tidak praktis dan memerlukan pengambilan bertahap dari badan
kutub pertama dan kedua untuk menghindari kesalahan diagnosis. Meskipun
sebagian besar aneuploidy berasal dari kesalahan pada meiosis I, peristiwa
rekombinasi tidak memungkinkan komposisi oocyte untuk disumpulkan hanya
dari badan kutub pertama saja. Abnormalitas juga dapat terjadi pada meiosis II,
sehingga memerlukan pemeriksaan badan kutub kedua. Bahkan dengan itu,
kesalahan mitosis dan kelainan genetik dari faktor paternal setelahnya, masih
belum dapat terdeteksi, dan bila analisis terhadap badan kutub masih tidak
meyakinkan, maka perlu dilakukan biopsy embryo. Tekanan kumulatif dari proses
pemeriksaan tersebut mungkin bahkan melebihi stress yang dihasilkan dari
biopsy tunggal terhadap embryo pada fase pembelahan.
Pendekatan yang paling banyak dilakukan pada PGD adalah biopsy
embryo saat fase pembelahan, biasanya dilakukan pada hari 3 setelah fertilisasi
(tahap 6-8 sel) sebelum embryo memadat dan blastomere menempel lebih erat.
Meskipun biopsy blastomere tidak memiliki efek buruk yang jelas terhadap
perkembangan embryo, data-data yang tersedia masih belum meyakinkan.
Untuk meningkatkan akurasi diagnosis, secara umum direkomendasikan
pengambilan 2 blastomere karena sekitar 50% embryo fase pembelahan
mengalami mosaicism. Biopsy embryo juga dapat dilakukan beberapa hari
kemudian, yakni pada hari ke-5 setelah fertilisasi pada tahap blastocyst.
Blastocyst memiliki lebih banyak sel untuk dilakukan analisis genetik dan jarang
mengalami injury saat biopsy, namun pengambilan pada blastocyst ini hanya
memberikan sedikit waktu untuk analisis karena embryo harus segera ditransfer.
Meskipun embryo yang telah dibiopsi lebih sensitif terhadap tekanan pembekuan
dan pencairan, namun modifikasi teknik cryopreservation telah dapat mengatasi
hal-hal tersebut.

Analisis Kromosom
Untuk analisis kromosom, sel-sel yang diambil untuk PGD pertama kali
harus diproses untuk menghilangkan sitoplasma, menggunakan satu dari
beberapa metode. Fixed nuclei kemudian diekspose terhadap fluorescent
labeled DNA probe yang terhibridisasi dengan sekuens DNA komplementer
pada kromosom target, teknik yang dikenal sebagai fluorescence in situ
166

hybridization, atau FISH. Sinyal fluoresens yang diberi warna yang berbeda
dapat diobservasi menggunakan mikroskop yang menggunakan filter sesuai
panjang gelombang. Sebanyak 9 kromosom, termasuk yang terlibat pada
sebagian besar aneuploidy (X, Y, 13-16, 18, 21, 22) dapat diperiksa
menggunakan 2 analisis FISH sekuensial pada satu sel. FISH merupakan
metode paling mudah untuk menentukan jenis kelamin dan melakukan
skrining

untuk

aneuploidy

kromosom

yang

sering

terjadi.

Dengan

menggunakan break-point specific probe atau kombinasi centromeric dan


telomeric probe, FISH juga dapat membedakan embryo dengan kromosom
normal, seimbang dan tidak seimbang, pada pasangan yang mengalami
translokasi keseimbangan kromosom.
Aneuploidy sering terjadi pada hasil konsepsi manusia, sebagian besar
akibat kesalahan meiosis pada oocyte akibat usia ibu yang terlalu tua.
Meskipun aneuploidy lebih sering terjadi pada embryo dengan morfologi
abnormal,

namun

embryo

dengan

morfologi

normal

dan

proses

perkembangan normal dapat bersifat aneuploidy. Logikanya,

skrining

aneuploidy dan transfer dari embryo euploid yang telah terseleksi, mungkin
dapat memperbaiki efisiensi implantasi dan menurunkan insiden abortus
spontan pada kehamilan dari IVF. Karena sebagian besar aneuploidy terjadi
dari oocyte, maka bahkan skrining dari badan kutub bisa memberikan
informasi. Pada wanita tua, wanita dengan abortus dini berulang, dan wanita
yang sebelumnya mengalami kegagalan siklus IVF meskipun embryo yang
ditransfer memiliki morfologi normal, merupakan para kandidat untuk skrining
adanya aneuploidy. Sayangnya, metode ini masih sulit dilakukan secara teknis
dan memiliki beberapa keterbatasan yang nyata.
o Wanita dengan usia lebih tua berespon lebih buruk terhadap stimulasi dan
o

hanya memproduksi sedikit oocyte dan embryo


Prevalensi mosaicism embryo juga meningkat seiring peningkatan usia ibu

dan mengganggu akurasi dari PGD


Sumber kesalahan lain adalah penumpukan sinyal fluoresens dan

kegagalan hibridisasi
FISH hanya menyediakan informasi mengenai ada atau tidaknya sebuah
segmen yang sangat kecil dari kromosom karena probe akan terhibridisasi
terhadap lokus spesifik atau terhadap centromere; aneuploidy parsial dapat

tidak terdeteksi
Fragmentasi nuclear pada biopsy blastomer sering terjadi dan mungkin
menyebabkan hilangnya kromosom dan kesalahan diagnosis aneuploidy.

167

Hibridisasi genom komparatif adalah teknologi baru berbasis PCR yang


menawarkan kesempatan untuk men-skrining bukan hanya beberapa, namun
semua kromosom dalam sel. DNA yang akan dites (diekstrak dari blastomere)
dan DNA sebagai referensi normal (diekstrak dari limfosit) pertama kali
diamplifikasikan kemudian dilabeli dengan fluorochrome dengan warna
berbeda (hijau dan merah), dan secara simultan dihibridisasikan ke kromosom
template pada fase metafase dari limfosit pria normal; rasio fluoresensi
hijau/merah merefleksikan jumlah salinan relatif dari setiap kromosom pada
DNA yang dites, dibandingkan dengan DNA normal. Sayangnya, waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan analisis tersebut sangat membatasi aplikasi
teknik ini dalam PGD. Perbaikan lebih lanjut yang meliputi pengurangan waktu
hibridisasi atau penggunaan DNA microarray daripada kromosom metaphase
sebagai template untuk hibridisasi genom komparatif (FISH dan chip analisis)
akan memungkinkan analisis yang lebih cepat, sesuai waktu transfer
blastocyst.
Secara umum, hasil dari pemeriksaan PGD menggunakan FISH maupun
hibridisasi genom komparatif telah mendemonstrasikan bahwa hanya sekitar
35-45% embryo yang normal untuk semua kromosom yang diperiksa. Data
yang didapatkan dari sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa wanita
dengan usia lebih tua dan wanita dengan riwayat abortus berulang akan
memproduksi lebih banyak embryo aneuploidy daripada wanita dengan usia
lebih muda dan wanita dengan riwayat reproduksi normal. Meskipun transfer
dari embryo yang telah diseleksi dengan PGD dapat memperbaiki tingkat
implantasi dan menurunkan tingkat abortus pada wanita dengan resiko tinggi
terjadinya abortus, namun efek paling utama dari skrining aneuploidy pada
PGD terhadap kelahiran hidup masih belum jelas. Skrining aneuploidy pada
wanita yang lebih tua dan wanita dengan abortus berulang, mungkin dapat
dilakukan bila terdapat indikasi spesifik lain untuk dilakukan IVF, namun hasil
yang dicapai dengan PGD sejauh ini tidak mengindikasikan untuk melakukan
skrining. Meski begitu, pasti akan terjadi perbaikan lebih jauh pada teknologi
dan perluasan aplikasi PGD.

Deteksi Gangguan pada Gen Tunggal


Bila telah diketahui, PGD dapat mendeteksi mutasi gen spesifik yang
menyebabkan penyakit. Lebih dari 50 kelainan autosomal resesif dan
dominan saat ini telah teridentifikasi. Pengetahuan mengenai penyakit genetik
168

pada manusia telah terakumulasi dengan cepat sebagai hasil dari Human
Genome Project, dan trend ini masih terus berlanjut.
Untuk mendeteksi penyakit monogenik, sel-sel ditempatkan dalam tabung
tes kecil untuk dilakukan analisis DNA menggunakan PCR. Secara umum,
nested PCR (2 set primer DNA dan 2 round PCR) lebih banyak dipilih karena
sensitifitasnya yang lebih besar. PCR terhadap sel tunggal biasanya efisien,
namun hingga 20% sel mungkin tidak memproduksi sinyal amplifikasi. Untuk
kelainan yang melibatkan banyak lokasi mutasi, maka dapat digunakan PCR
multiplex atau amplifikasi keseluruhan genome untuk memungkinkan analisis
simultan terhadap locus yang berbeda. Kegagalan yang dapat menghasilkan
diagnosis salah antara lain adalah kontaminasi oleh DNA asing dan allelic
drop out (kegagalan untuk beramplifikasi). Teknik yang teliti dan penggunaan
marker linkage (terikat) dapat membantu untuk memaksimalkan akurasi
diagnosis.
Setelah dilakukan amplifikasi DNA dengan PCR, sejumlah teknik dapat
digunakan untuk mendeteksi mutasi yang ingin diketahui. Sebagian besar
teknik melibatkan pemisahan produk hasil amplifikasi dengan elektroforesis
untuk dibandingkan secara langsung dengan DNA normal. Analisis restriksi
enzim

dapat

dilakukan

bila

sekuens

yang

berbeda

menghasilkan

penghilangan atau penambahan lokasi restriksi, contohnya sickle cell disease.


Untuk mendeteksi mutasi yang tidak mengenai lokasi restriksi, dapat
digunakan primer DNA dengan didesain yang spesifik untuk mengamplifikasi
sekuens normal atau abnormal untuk menentukan ada atau tidaknya mutasi.
Fluorescent PCR merupakan sebuah modifikasi yang berguna untuk
mendeteksi mutasi delesi (I-F508 mutasi cystic fibrosis), mutasi insersi (Tay
Sachs Disease mutasi 1278ins4), dan mutasi yang melibatkan banyak lokus.
Real time PCR merupakan metode yang memungkinkan pengukuran
berkelanjutan dari akumulasi produk amplifikasi spesifik dan mengeliminasi
kebutuhan untuk elektroforesis. Liquid chromatography dapat digunakan untuk
mensekuensi produk PCR secara langsung.
Selain penyakit genetik yang mematikan, PGD juga dapat digunakan untuk
mendeteksi mutasi yang merupakan predisposisi penyakit tertentu (penyakit
Alzheimer onset muda, familial adenomatous polyposis coli, mutasi tumor
suppressor gene), meskipun hubungan sebab-akibat secara langsung belum
diketahui antara mutasi dan penyakit tersebut. Daftar indikasi yang mungkin
untuk dilakukannya PGD telah bertambah dengan cepat. Penggunaan PGD

169

untuk mendeteksi mutasi yang terkait dengan Fanconis anemia, dan pada
waktu yang sama, memilih donor dengan HLA yang sesuai untuk transplantasi
stem cell, adalah salah satu aplikasi yang menyebabkan berbagai pertanyaan
etis dan menghasilkan bermacam kontroversi.

Teknologi Terkait Masa Depan


Secara bersama-sama, kemajuan ART, kemajuan pengetahuan mengenai
penyakit genetik, dan kemajuan dalam biologi molekuler, telah membuat PGD
modern menjadi mungkin. Sangat mungkin akan terjadi banyak terobosan
teknologi dan proses diagnostik yang lebih maju lagi, namun para pelopor
dalam bidang ini memiliki tanggung jawab penting dalam bidang sosial dan
etis yang harus ditemui di sepanjang perjalanannya.
Cloning melibatkan pembuatan salinan yang sama persis dengan aslinya.
Pemisahan sebuah embryo pada tahap pembelahan dan membiarkan sel
untuk tumbuh menjadi embryo individu merupakan salah satu bentuk
sederhana dari cloning. Transfer nucleus sel somatic, di mana nucleus dari sel
somatic ditransplantasikan ke oocyte yang telah dienukleasi, merupakan
teknologi yang digunakan untuk menciptakan domba cloning yang sangat
terkenal, Dolly. Cloning terapeutik didefinisikan sebagai penggunaan transfer
nuclear sel somatic untuk meregenerasikan sel, jaringan, atau bahkan organ
yang dapat membantu penyembuhan penyakit. Reproductive cloning,
pembuatan salinan yang sama persis dengan individu yang sudah ada, masih
merupakan hal yang tidak dapat diterima secara moral maupun etis pada
sebagian besar kelompok masyarakat. Banyaknya problem kesehatan dari
hewan hasil cloning menunjukkan bahwa proses ini tidak aman.
Stem cell adalah sel totipotent dari embryo tahap awal yang memiliki
potensi untuk berdiferensiasi menjadi semua tipe sel dalam tubuh. Dengan
proses genetic engineering, stem cell dapat digunakan untuk membuat
jaringan atau organ dengan karakteristik genetik yang baru. Sel yang telah
berubah juga dapat dimasukkan ke blastocyst untuk memperoleh keturunan
yang memiliki sel hasil engineering. Bila germ cell berasal dari sel yang telah
berubah, maka karakteristik genetik yang baru tersebut dapat diturunkan.
Memang, dengan memasukkan stem cell yang memiliki mutasi spesifik
(targeted

mutagenesis),

maka

teknologi

ini

telah

digunakan

untuk

menciptakan hewan tanpa fungsi gen tertentu, disebut sebagai knock out,
untuk mempelajari fungsi gen dan spektrum penyakit. Stem cell dapat dibuat
dari embryo manusia pre-implantasi, namun proses ini harus merusak embryo

170

yang ada. Konsekuensinya, banyak kelompok masyarakat yang menolak,


secara etis maupun religiusitas, mengenai prosedur penggunaan stem cell
dari manusia.
Gene therapy, atau transgenesis, melibatkan introduksi dari gen asing ke
pronuclei dari embryo yang baru terfertilisasi (zygot), yang kemudian
bergabung ke genome embryo dan diekspresikan. Embryo atau hewan
transgenik dapat digunakan sebagai model untuk mempelajari fungsi dan
interaksi gen. Teknologi ini dapat digunakan untuk membuat sel atau hewan
yang

memproduksi

produk

gen

tertentu.

Kambing

transgenic

yang

memproduksi human plasminogen activator pada susunya, telah diekstraksi


untuk tujuan terapi. Meski demikian, proses ini tidak efisien dan tidak mudah
dikontrol. Gen yang diinjeksikan mungkin tidak berfungsi atau mungkin
terinsersi pada lokasi yang akan mengganggu fungsi genom lainnya.
Teknologi transgenic, saat ini, belum dapat diaplikasikan pada manusia.

TRANSFER EMBRYO
Meskipun telah diketahui bahwa embrio dapat ditransfer pada fase
apapun di awal perkembangan, sejak berbentuk fase zigot sampai blastocyst,
akan tetapi proses transfer paling sering dilakukan 3 hari setelah dilakukan
retrieval/pemulihan

dan

fertilisasi

oosit.

Keuntungan

dan

kerugian

dari

memperpanjang waktu kultur telah didiskusikan sebelumnya.


Sistem yang membagi tingkatan kualitas embrio bervariasi pada tiap
program, akan tetapi gambaran morfologi yang digunakan sebagai dasar
pengelompokan tingkatan tetap sama yaitu jumlah sel, bentuk dan kesimetrisan
blastomer, panjang fragmentasi sitoplasma di ruang perivitelline, dan kecepatan
pembelahan. Idealnya, pada hari ketiga stadium pembelahan embrio telah
didapatkan 8 blastomer dengan ukuran yang sama dan tidak didapatkan
fragmentasi sitoplasmik. Embrio dengan kualitas yang buruk akan menghasilkan
lebih sedikit sel, blastomer dengan ukuran yang tidak sama satu sama lain, atau
derajat fragmentasi yang bervariasi.
Teknik Transfer
Gambaran dasar metode transfer embrio tidak mengalami perubahan yang
signifikan sejak prosedur ini pertama kali dikenalkan pada tahun 1984. Meskipun

171

bagaimana pengaruh teknik transfer mempengaruhi hasil prosedur sulit untuk


diteliti, banyak ahli medis percaya bahwa memperhatikan teknik transfer sama
pentingnya dengan kualitas embrio itu sendiri544. Kebanyakan, tapi tidak semua,
penelitian-penelitian menunjukkan angka kehamilan pada proses transfer yang
mudah lebih tinggi dibanding pada proses transfer yang sulit. Pengukuran ini
tergolong subyektif dan sulit untuk dikuantifikasikan, tapi bukan berarti tidak valid.
Terdapat masalah-masalah yang potensial terjadi pada transfer embrio.
Mukus

dalam

kanalis

servikalis

dapat

menyumbat

ujung

kateter

dan

menyebabkan embrio tertahan di dalam kateter atau menyebabkan salah


penempatan embrio. Mukus serviks juga dapat menjadi sumber kontaminasi
bakteri pada rongga endometrium, memberikan dampak yang merugikan.
Meskipun banyak yang setuju bahwa mukus serviks yang banyak sebaiknya
dihilangkan sebelum proses transfer, tapi tidak ada bukti bahwa melakukan
lavage serviks yang keras dapat menolong. Ditemukannya darah pada ujung
kateter setelah proses transfer menunjukkan kemungkinan adanya trauma fokal
pada mukosa endoserviks atau endometrium dan hal ini dikatakan terkait dengan
penurunan angka kehamilan. Kadang kala, embrio tertahan di dalam kateter dan
harus ditransfer ulang; masih belum jelas apakah prosedur transfer yang kedua
ini akan menurunkan angka keberhasilan. Embrio dapat keluar akibat kontraksi
uterus atau secara tidak sengaja mengalami relokasi atau terbuang karena
menempel di bagian luar kateter atau berpindah lokasi karena terkena tekanan
negatif

yang

terjadi

akibat

proses

withdrawal/penarikan.

Pemeriksaan

mikroskopik pada kateter segera setelah penarikan kembali kateter membantu


mengidentifikasi adanya embrio yang tertahan di dalam kateter yang mungkin
membutuhkan prosedur transfer kedua.
Sebaiknya, sebisa mungkin dihindari adanya kontraksi uterus saat
dilakukan transfer embrio. Analisis akurat dari hasil scan real-time ultrasound
menunjukkan bahwa angka implantasi dan kehamilan menurun ketika frekuensi
kontraksi miometrium meningkat. Manipulasi yang dilakukan terkait adanya
kesulitan saat proses transfer atau penggunaan tenaculum serviks dapat
menstimulasi kontraksi uterus yang dapat mendorong embrio naik ke tuba falopii
atau turun ke serviks.
Kateter transfer memiliki desain yang bervariasi. Terjapat jenis yang relatif
kaku atau yang cukup lunak, jenis yang memiliki bukaan pada ujung akhirnya
atau jenis dengan bukaan di sisi tepi kateter; banyak juga jenis kateter yang

172

memiliki selubung luar yang lunak dan bisa ditekuk. Kateter yang kaku dan
kateter dengan selubung luar yang keras lebih mudah dimasukkan tapi dapat
menimbulkan resiko trauma dan kontraksi uterus lebih besar dibanding jika
menggunakan kateter lunak, dimana kateter lunak lebih dapat mengikuti kontur
endoserviks dan endometrium. Meskipun kateter lunak umumnya memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan kateter kaku, tidak ada penelitian yang
membuktikan bahwa kateter lunak lebih superior. Syringe atau jarum suntik yang
dapat digunakan bersama kateter transfer juga memiliki desain dan karakteristik
performa yang bervariasi. Beberapa jenis syringe membutuhkan teknik injeksi
yang terkontrol cermat untuk menghindari ekspulsi mendadak sedangkan
beberapa jenis syringe lainnya memiliki penghisap dengan ujung yang dapat
ditekan dan

dapat menyebabkan kondisi yang tidak diharapkan berupa

reaspirasi embrio setelah tekanan dilepaskan. Untuk mencegah aliran balik


medium yang ditransfer sebagai akibat aksi kapiler, dapat dilakukan reinjeksi
setelah penarikan kembali kateter sekitar 1 cm.
Volume media transfer yang lebih besar (lebih dari 50 L) atau udara di
atas kolom media dapat meningkatkan resiko embrio terdorong keluar dari uterus
atau masuk ke tuba falopii. Konsentrasi protein dan viskositas media transfer
tampaknya tidak mempengaruhi hasil akhir prosedur ini. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa hasil terbaik akan didapat jika ujung kateter tidak
menyentuh fundus dan proses transfer dilakukan pada ketinggian sekitar 0,5-1
cm lebih rendah. Transfer pada posisi yang lebih tinggi di fundus dapat
meningkatkan resiko kehamilan ektopikdan transfer pada posisi yang lebih
rendah memungkinkan terjadinya implantasi serviks.
Melakukan transfer percobaan (trial) sebelum dimulainya siklus dapat
membantu mengidentifikasi wanita dengan stenosis servikal atau memiliki angled
cervicouterine junction akut yang mana pada kasus-kasus ini proses transfer
secara teknik sulit dilakukan. Beberapa penelitian menyarankan bahwa, ketika
dibutuhkan, lebih baik dilatasi serviks dilakukan sebelum memulai siklus; jarak
waktu antara proses dilatasi dan proses transfer yang pendek menyebabkan
endometrium tidak sempat menjalani masa penyembuhan akibat trauma atau
kontaminasi bakteri dimana hal ini terkait dengan rendahnya angka kehamilan
yang signifikan. Dilatasi menggunakan laminaria sebagai lanjutan dari siklus
terapi juga efektif dilakukan. Ketika proses transfer tetap dirasa sulit meskipun
sudah menggunakan teknik-teknik persiapan ini, stylet lentur dapat membantu

173

memasukkan selubung luar kateter lunak ke dalam ostium servikal internal,


kemudian stylet dapat ditarik kembali dan digantikan dengan soft inner catether
yang mengandung embrio. Meskipun jarang diperlukan, transfer embrio
transmiometrium dibawah panduan ultrasound juga dapat dilakukan. Meskipun
demikian, metode ini tampaknya menghasilkan angka kehamilan yang lebih
rendah, dimana diduga karena metode ini menstimulasi peningkatan kontraksi
uterus.
Transfer embrio di bawah panduan ultrasound transabdomen memiliki
beberapa keuntungan dibanding blind technique(tanpa panduan). Panduan
ultrasound membantu memfasilitasi insersi kateter lunak, mengkonfirmasi
penempatan kateter yang tepat, dan menghindari trauma tidak diharapkan pada
fundus endometrium. Urine pada kandung kemih berguna memfiksasi arah
menuju cervico-uterine junction. Posisi dan orientasi uterus seringkali berubah
pada waktu antara proses mock transfer(transfer tiruan/percobaan) dan actual
transfer(transfer sebenarnya), kebanyakan karena pengaruh dari ovarium yang
membesar. Jika digabungkan, faktor-faktor ini dapat menjelaskan mengapa pada
beberapa clinical trial yang sebanding tampak angka kehamilan yang lebih tinggi
pada transfer yang dipandu ultrasound dibanding blind transfer.
Beberapa penelitian dilakukan untuk menentukan apakah ada perbedaan
angka kehamilan setelah prosedur IVF yang dilakukan oleh dokter yang
melakukan proses transfer setelah sebelumnya mengontrol variabel-variabel
yang diketahui dapat mempengaruhi hasil prosedur ini. Sementara beberapa
berpendapat bahwa faktor dokter dapat mempengaruhi hasil prosedur sebagian
yang lain mengatakan bahwa tidak ada korelasi seperti yang disebutkan
sebelumnya jika melihat hasil pada dokter-dokter dibandingkan dalam populasi
pasien ideal. Meskipun sudah umum bahwa pasien diposisikan dalam kondisi
istirahat dengan rentang waku yang berbeda-beda setelah transfer embrio,
hanya sedikit bukti yang mengindikasikan bahwa hal ini berpengaruh.
Tujuan dari transfer embrio adalah untuk mengirimkan embrio ke uterus
dengan cara yang akurat dan tidak menimbulkan trauma. Sebisa mungkin
mukus, darah, dan kontraksi uterus dihilangkan. Transfer percobaan yang
dilakukan lebih dulu dapat membantu mengidentifikasi wanita yang mungkin
membutuhkan dilatasi serviks dulu sebelum mulai diterapi, dan berdasar
penelitian, transfer dalam volume kecil menggunakan kateter lunak di bawah
panduan ultrasound menunjukkan hasil yang paling baik.

174

Guidelines Transfer Embryo


Tujuan IVF adalah untuk memaksimalkan angka kehamilan sementara,
pada saat yang sama, meminimalkan kehamilan ganda, terutama kehamilan
ganda tingkat tinggi. Keberhasilan prosedur ini cenderung meningkat seiring
semakin banyak jumlah embrio yang ditransfer, sampai pada titik dimana hanya
akan meningkatkan resiko kehamilan ganda. Regulasi ketat tentang jumlah
embrio yang ditransfer, sebagaimana ditentukan oleh hukum di beberapa negara,
ternyata mampu menurunkan angka kehamilan ganda tetapi tidak mengeliminasi
kehamilan ganda tingkat tinggi. Bagaimanapun, regulasi yang ketat juga
menyebabkan

terbatasnya

pembuatan

keputusan

berdasar

karakteristik

individual pasien (usia, jumlah dan kualitas embrio, kemungkinan dilakukan


kriopresevasi, dan hasil akhir dari siklus sebelumnya) atau penyesuaian berdasar
data klinis baru. Regulasi yang dikeluarkan oleh badan pencatatan data di US
tersebut dengan mengabaikan kondisi-kondisi unik tiap individu pasien
menyebabkan turunnya angka kesempatan kehamilan pada banyak wanita.
Panduan

terbaik

untuk

menentukan

jumlah

embrio

yang

dapat

ditransferkan pada wanita dengan usia dan karakter klinis yang bervariasi adalah
dari data yang dihasilkan dari program individu. Jika tidak ada data seperti ini,
Society for Assisted Reproductive Technology (SART) dan American Society for
Reproductive

Medicine

(ASRM)

memberikan

panduan.

Pertama

kali

dipublikasikan pada tahun 1998, panduan ini direvisi pada tahun 1999, dan
direvisi lagi pada tahun 2004, tiap kali dikarenakan adanya data klinis baru yang
menunjukkan perkembangan ART dimana makin sedikit jumlah embrio yang bisa
ditransferkan tanpa memberi efek samping akan meningkatkan kesuksesan
prosedur. Panduan yang dikeluarkan pada tahun 2004 akan dirangkumkan pada
tabel di bawah ini.
Guideline jumlah embrio yang ditransfer SART/ASRM 2004
Usia

Jumlah embrio yang ditransfer

Kondisi

< 35 th

Tidak lebih dari 2, kecuali pada


kondisi-kondisi luar biasa
Lebih
embrio,

dianjurkan
pada

mentransfer
pasien

dengan

175

Siklus IVF pertama, embrio dengan kelebihan


kualitas tinggi untuk dilakukan cryopreservation,

35-37 th
38-40 th
> 40 th

Tidak tergantung
usia

prognosis paling baik


2
Tidak lebih dari 3
Tidak lebih dari 3
Tidak lebih dari 4
Tidak lebih dari 5
Embrio tambahan, sesuai indikasi

riwayat sukses pada siklus IVF sebelumnya


Prognosis lebih dapat diharapkan
Semua selain kondisi di atas
Prognosis lebih dapat diharapkan
Semua selain kondisi di atas

prognosis
Ditentukan oleh usia donor
Siklus GIFT

prognosis tidak diharapkan


Siklus oosit donor
Jumlah oosit lebih banyak 1 dari jumlah embrio

Kegagalan siklus berulang sebelumnya,

Usia maternal dan kualitas embrio merupakan faktor yang paling penting
yang mempengaruhi potensi implantasi dari tiap embrio. Ketika didapatkan
embrio kualitas tinggi dengan jumlah berlebih yang memungkinkan untuk
dilakukan cryopreservation, maka dapat dilakukan seleksi yang lebih ketat,
sehingga jumlah embrio yang ditransfer bisa lebih sedikit agar didapatkan
efisiensi implantasi yang lebih tinggi.

Untuk alasan yang sama, lebih sedikit

blastocyst yang bisa ditransfer dibandingkan embrio yang berada dalam tahap
pembelahan. Wanita dengan prognosis paling baik (usia<35 th, riwayat siklus IVF
pertama atau sebelumnya berhasil, embrio kualitas baik) dengan resiko
kehamilan ganda tertinggi merupakan kandidat yang cocok untuk transfer embrio
tunggal. Secara keseluruhan, inti dari bukti-bukti penelitian ini adalah bahwa
keseimbangan optimal antara angka kehamilan dan resiko kehamilan ganda
dapat diperoleh dengan adanya kebijakan yang fleksibel tentang transfer embrio
berdasarkan usia maternal, kualitas embrio, dan avaibilitas embrio dengan
kelebihan kualitas tinggi.
Assisted Hatching
Penetasan blastocyst dari zona pellucida merupakan salah satu syarat
terjadinya implantasi. Pada kondisi kultur, embrio membuat suatu lubang bukaan
pada zona dan kemudian melepaskan diri dari zona, meninggalkan suatu zona
kosong, tapi pada kondisi in vivo, normalnya zona mamalia tidak mengalami
robekan dari dalam, melainkan meluruh. Bukti-bukti menunjukkan bahwa proses
penetasan in vivo dihasilkan dari interaksi embrio-uterus dengan embrio
mensekresikan aktivator zona lysins di dalam cairan uterus. Ketebalan dan
ketahanan relatif zona terhadap penghancuran enzim tergantung pada kualitas
embrio dan potensi implantasi.

176

Penetasan terbantu merupakan suatu istilah yang digunakan untuk


mendeskripsikan macam-macam teknik buatan yang bertujuan untuk menipiskan
dan membuka zona. Prosedur ini memang difokuskan terutama untuk
meningkatkan potensi implantasi tapi di samping itu juga dapat ditujukan untuk
membuang fragmen sitoplasma dari rongga perivitelline yang mungkin dapat
mengganggu implantasi. Beragam metode telah digunakan untuk penetasan
terbantu, termasuk pengeboran zona dengan larutan asidif Tyrodesdiseksi
parsial zona dengan glass microneedle, laser photoablation, penipisan
menggunakan enzim, dan penggunaan piezomicomanipulator.
Pemikiran bahwa penetasan terbantu dapat meningkatkan keberhasilan
proses implantasi dan meningkatkan angka kehamilan berasal dari hasil
pengamatan dimana angka efisiensi implantasi lebih tinggi pada embrio yang
mendapat perlakuan zona drilling saat paparan awal dengan proses pembuahan
terkait. Hasil dari penelitian-penelitian terkait sangat bervariasi dimana beberapa
menunjukkan bahwa penetasan terbantu memberikan hasil yang lebih baik pada
individu dengan prognosis buruk (usia maternal lanjut, riwayat siklus IVF
sebelumnya gagal, morfologi embrio yang buruk, zona yang menebal),
sedangkan sebagian yang lain mengamati manfaat-manfaat yang dapat
didemonstrasikan, terutama ketika proses penetasan lebih luas diaplikasikan.
Suatu meta-analisis data gabungan dari berbagai macam random trial
melibatkan lebih dari 2500 wanita menemukan bahwa proses penetasan terbantu
meningkatkan angka kehamilan klinis (OR=1.63; CI=1.27-2,09), terutama pada
wanita dengan riwayat sebelumnya mengalami kegagalan siklus IVF (OR=2,33;
CI=1,63-3,34), dan mungkin dapat bermanfaat bagi wanita dengan usia lebih tua
(usia lebih dari 36 tahun). Meskipun demikian, dari analisis terpisah data angka
kelahiran menemukan bahwa secara keseluruhan tidak ada keuntungan yang
bermakna dari penggunaan prosedur ini(OR=1.21; CI=0.82-1,78).
Bervariasinya hasil dari sejumlah percobaan dengan bermacam teknik
penetasan embrio yang berbeda menyebabkan tidak ada suatu kesimpulan
paten terkait seberapa besar manfaat proses penetasan terbantu.

Untuk

mengimbangi hal tersebut, sejumlah bukti yang ada menunjukkan bahwa teknik
penetasan terbantu ini dapat bermanfaat untuk individu tertentu. Meskipun
demikian, penetasan secara rutin atau universal tidak direkomendasikan,
terutama karena prosedur ini juga memiliki resiko. Proses penetasan dapat

177

menyebabkan kerusakan pada embrio dan dapat meningkatkan resiko hamil


kembar monozigot sampai 3x lipat setelah proses penetasan terbantu.
CRYOPRESERVASI (PRESERVASI BEKU) EMBRYO
Kehamilan pertama sebagai hasil dari transfer embrio manusia yang
mengalami cryopreservation pertama kali dilaporkan pada tahun 1983. Sejak
saat

itu,

perkembangan

dalam

cryobiology

telah

menjadikan

embryo

cryopreservation sebagai bagian inti ari ART modern. Kesuksesan dengan


menggunakan siklus transfer embrio beku secara signifikan meningkatkan
keseluruhan

angka

kehamilan

kumulatif

tiap

retrieval/pemulihan.

Cryopreservation embrio juga merupakan strategi terapi yang efektif untuk wanita
dengan resiko sindroma hiperstimulasi ovarium.
Proses cryopreservation terdiri atas dua tahap, pembekuan dan pencairan.
Tujuan dari proses pembekuan adalah untuk menghindari kristalisasi es pada
cairan intraseluler yang dapat menyebabkan kerusakan seluler. Protokol
pembekuan bervariasi sesuai stadium perkembangan embrio dimana hal ini
mempengaruhi permeabilitas seluler. Pada semua proses pembekuan ini, cairan
seluler secara bertahap digantikan oleh cryoprotectant (dimethyl sulfoxide,
propanediol glyserol) secara osmosis dikarenakan peningkatan konsentrasi dari
cryopreservatif. Embrio kemudian disimpan dalam ampul atau vial dan
didinginkan pada suhu sekitar -30oC dan -110oC dalam suatu proses 1 langkah
yang telah diprogram dan kemudian disimpan dalam nitrogen cair. Fase pertama
dalam proses pembekuan merupakan proses yang cepat untuk mencegah
pembentukan kristal es (lebih cenderung terjadi dengan pendinginan yang
dilakukan bertahap)., dan fase kedua yang lebih bertahap. Setelah pencairan,
proses ini dibalik, embrio lewat secara bertahap melewati penurunan konsentrasi
cryoprotectant, dan dilanjutkan dengan proses kultur selama kurun waktu
tertentu sebelum masuk dalam proses transfer.
Hasil konsepsi dapat dibekukan pada tahap manapun, mulai dari zigot
hingga blastocyst, dan tetap dapat digunakan untuk setidaknya beberapa tahun.
Penelitian membandingkan angka survival embrio setelah mengalami pencairan,
angka implantasi, dan angka kehamilan pada embrio-embrio yang dibekukan
pada stadium-stadium perkembangan yang berbeda. Pda umumnya angka
survival embrio setelah mengalami pencairan memiliki rentang antara 50% dan
90% dan angka ini lebih tinggi pada penggunaan zigot dibanding penggunaan

178

embrio pada tahap pembelahan dan blastocyst. Angka implantasi (5-15%) dan
angka kehamilan (10-30%) setelah transfer zigot atau embrio tahap pembelahan
atau blastocyst yang telah mengalami proses pembekuan-pencairan sangat
bervariasi pada tiap-tiap hasil penelitian, tapi perbedaan di antaranya tidak terlalu
drastis. Secara keseluruhan, sebagian besar pusat penelitian (15-25%)
menyatakan bahwa angka keberhasilan pada siklus transfer menggunakan
embrio yang dibekukan dapat mencapai sekitar setengah hingga duapertiga dari
angka keberhasilan yang dicapai siklus yang menggunakan embrio segar,
setidaknya sebagian mungkin dikarenakan embrio yang dipakai untuk fresh
transfer merupakan embrio dengan kualitas tertinggi. Hasil yang didapatkan dari
menggunakan embrio hasil IVF konvensional dan ICSI sebanding. Embrio yang
dapat melanjutkan pembelahan dan bertahan lebih lama dalam proses kultur
lebih besar kemungkinannya untuk menghasilkan kehamilan. Embrio-embrio
yang dicryopreservation hasil dari siklus yang sukses memiliki angka kesuksesan
lebih tinggi dibanding embrio yang berasal dari siklus yang tidak sukses,
kemungkinan merefleksikan kualitas embrio yang lebih baik secara keseluruhan.
Terdapat dua strategi berbeda untuk memilih embrio mana yang akan
ditransfer. Salah satu cara dengan mencairkan embrio secara bertahapsampai
jumlah yang dibutuhkan untuk transfer tercapai.

Cara yang kedua adalah

dengan mencairkan sejumlah besar embrio, kemudian menyeleksi embrio yang


memiliki morfologi paling baik setelah dikembangkan dalam kultur. Meskipun
metode

yang

pertama

merupakan

metode

yang

paling

efisien

dalam

memanfaatkan embrio yang sudah ada, pada metode yang kedua tidak perlu
membuang embrio yang tidak dipilih untuk transfer, bahkan embrio hasil
pencairan kembali embrio yang dibekukan ulang dapat digunakan untuk
menghasilkan kehamilan. Seperti pada siklus fresh transfer, usia maternal dan
jumlah embrio yang ditransfer merupakan prediktor independen kelahiran hidup.
Bahkan di antara wanita berusia di bawah 30 tahun, transfer 3 embrio
memberikan angka kemungkinan lahir hidup lebih tinggi dibanding mentransfer
1-2 embrio, akan tetapi resiko hamil ganda juga menjadi lebih besar. Pada wanita
usia di bawah 40 tahun, insiden kelahiran ganda terjadi sekitar 16% pada kasus
transfer 2 embrio hasil pembekuan-pencairan.
Embrio hasil pembekuan-pencairan dapat ditransfer, dengan pengawasan,
pada wanita yang masih mengalami siklus dan dengan fungsi ovulasi normal.
Alternatifnya,bagi pasien yang tidak mengalami siklus atau untuk memudahkan

179

penjadwalan pada pasien yang mengalami siklus, transfer dapat dilakukan dalam
suatu siklus buatan dimana perkembangan endometrium dikontrol dengan
cermat oleh terapi bertahap progesteron dan estrogen eksogen yang terprogram.
Down-regulasi awal dengan agonis GnRH dapat digunakan, sebagaimana umum
diberikan pada resipien oosit donor, tapi hasil yang sama dapat dicapai dengan
cara lebih sederhana menggunakan terapi estrogen eksogen (oral micronized
estradiol 4-6 mg perhari atau transdermal estradiol 0,1-0,2 mg), diberikan pada
awal atau segera sebelum onset menstruasi. Regimen ini dapat menumpulkan
atau

mengeliminasi

peningkatan

FSH

dalam

siklus

dan

menghambat

perkembangan folikular dan menghambat ovulasi sampai 3 minggu pada wanita


yang mengalami siklus. Tingkat efektivitasnya dengan mudah dievaluasi dengan
cara mengukur konsentrasi serum progesteron pada malam hari terakhir
penggunaan terapi estrogen tunggal (kurang dari 1 ng/ml), dan jika hal ini telah
dipastikan, terapi progesteron dapat dimulai sesuai jadwal. Baik pada siklus
alami (hari-hari setelah ovulasi) dan siklus buatan (hari-hari dengan terapi
progesteron), waktu transfer disesuaikan dengan stadium perkembangan embrio
seperti pada resipien oosit donor (didiskusikan kemudian). Terapi terprogram
hanya dengan memberkan estrogen dan progesteron eksogen menunjukkan
hasil yang identik dengan hasil yang didapat dari oosit siklus alami dan setelah
mendapat supresi agonis GnRH.
BANTUAN (SUPPORT) SELAMA FASE LUTEAL
Hiperstimulasi ovarium terkontrol dengan gonadotropin eksogen umumnya
menghasilkan banyak corpus luteum yang mungkin menyimpan konsentrasi
serum suprafisiologis estradiol dan progesteron pada fase luteal dari siklus IVF.
Terapi pendamping dengan analog GnRH untuk mencegah munculnya LH surge
dan inisiasi LH prematur secara efektif menekan sekresi LH endogen, seperti
yang diiinginkan. Sayangnya, meskipun terapi agonis dan antagonis dihentikan
segera pada hari administrasi hCG, sisa supresi dari LH endogen tidak berhenti.
Level LH yang rendah diluar batas normal selama fase luteal bisa jadi tidak
cukup untuk menstimulasi dan mempertahankan level fungsi luteal yang
dibutuhkan untuk memicu maturasi endometrium tepat pada waktunya sebagai
persiapan implantasi atau untuk menyokong kehamilan ketika kehamilan itu
terjadi.

180

Sekresi LH endogen dapat tetap ditekan sampai selama kurang lebih 10


hari setelah terapi agonis GnRH kerja panjang dihentikan, dan fungsi luteal
seringkali tidak adekuat baik dalam segi jumlah maupun durasi. Meskipun
antagonis memiliki lama waktu kerja yang lebih pendek, akan tetapi konsekuensi
yang dihasilkan seringkali sama. Pada siklus GnRH antagonis dihasilkan level
estradiol dan progesteron terintegrasi yang rendah dan durasi fase luteal yang
pendek, terutama ketika menggunakan agonis GnRH untuk menstimulasi fase
akhir maturasi oosit dibanding menggunakan hCG. Dikarenakan tidak ada cara
untuk memprediksi siapa yang membutuhkan dan tidak membutuhkan suport
luteal pada siklus tertentu, salah satu dari bentuk terapi ini tetap harus diberikan
untuk semua.
Sejumlah percobaan telah membandingkan angka kehamilan klinis,
kehamilan yang sedang berjalan, dan kehamilan yang sudah berakhir dengan
kelahiran atau keguguran spontan antar kelompok-kelompok yang menerima
terapi dengan regimen penyokong fase luteal yang berbeda, yang memberikan
hasil yang bervariasi. Progesteron diberikan secara oral (300-800 mg per hari),
diberikan pervaginam dalam sediaan gel 8% (90 mg per hari), krim atau tablet
(100-600 mg per hari), dan secara injeksi intramuskular (25-50 mg per hari, 17hydroxyprogesterone, 341 mg tiap 3 hari). Dosis suplemen hCG telah umum
diberikan tiap 3 hari (1500-2500 IU). Bahkan pada data yang dihasilkan dari 30
randomized trials (semua melibatkan penggunaan agonis GnRH), yang telah
secara sistematik diteliti menggunakan metaanalisis, perbedaan signifikan yang
ditemukan hanya sedikit.

Terapi
Progesteron (vaginal)

Pembanding
Placebo/tanpa terapi

Hasil
Tidak ada perbedaan

Progesteron (vaginal)

Dosis bervariasi

Tidak ada perbedaan

Progesteron (vaginal)

Progesteron (oral)

Angka implantasi lebih tinggi

Progesteron (i.m)

Placebo/tanpa terapi

Angka implantasi,angka kehamilan klinis,


kehamilan yang sedang berjalan, dan
kehamilan yang sudah berakhir dengan

Progesteron (i.m)

Dosis bervariasi

kelahiran lebih tinggi

Progesteron (i.m)

Progesteron (oral)

Tidak ada perbedaan

Progesteron (i.m)

Progesteron (vaginal)

Tidak ada perbedaan


Angka

181

kehamilan

klinis

dan

angka

hCG suplemen

Placebo/tanpa terapi

kelahiran hidup lebih tinggi

Progesteron (oral)

Angka kehamilan klinis lebih tinggi

hCG suplemen

Angka kehamilan klinis dan kehamilan


Progesteron (vaginal)

yang sedang berjalan lebih tinggi

hCG suplemen

Progesteron (i.m)

Tidak ada perbedaan

hCG suplemen

Progesteron

Tidak ada perbedaan

progesteron+estrogen
Angka implantasi lebih tinggi
Titik berat dari bukti-bukti yang diberikan dari hasil penelitian tersebut
mengindikasikan

bahwa

suport

luteal

dengan

menggunakan

suplemen

progesteron eksogen atau hCG dapat menguntungkan bagi wanita yang


mendapat terapi GnRH analog dan gonadotropin eksogen. Secara teori, hCG
mungkin dapat lebih menguntungkan dibandingkan bentuk-bentuk suport luteal
lainnya karena hCG mampu menstimulus korpus luteum; Baik level estradiol
maupun progesteron sama-sama meningkat, bersama dengan faktor-faktor lain
yang memfasilitasi terjadinya implantasi. Meskipun demikian, pada suatu studi
pembanding, diketahui bahwa efikasinya tidak lebih besar dibandingkan
penggunaan progesteron, dan beberapa studi lain menunjukkan bahwa
suplemen hCG meningkatkan resiko sindrom hiperstimulasi ovarium. Oleh
karena itu, progesteron tampaknya menjadi pilihan yang lebih bijaksana.
Progesteron oral lebih nyaman diaplikasikan dan dengan demikian lebih banyak
dipilih, akan tetapi memiliki efek hipnotik sedatif dan masih belum jelas
efikasinya. Injeksi intramuskular meskipun menimbulkan rasa nyeri dan dapat
menyebabkan reaksi lokal atau munculnya abses steril, akan tetapi metode ini
juga dapat memberikan level serum progesteron yang paling tinggi. Meskipun
demikian, progesteron vaginal memberikan level progesteron pada jaringan lokal
yang lebih tinggi. Bagaimanapun, hasil metanalisis dan penelitian lain
mengindikasikan

bahwa

hasil

yang

diperoleh

melalui

metode

injeksi

intramuskular masih lebih baik dibanding progesteron vaginal. Data yang ada
saat ini masih belum cukup untuk memastikan manfaat penambahan estradiol
pada regimen suportif hCG atau progesteron. Lama waktu terapi yang optimal
masih belum dapat dipastikan. Dengan tidak adanya data yang memberikan
keterangan tentang hal tersebut, kebanyakan masih merekomendasikan untuk
melanjutkan terapi suportif luteal sampai kurang lebih usia gestasi mencapai 7
minggu (5 minggu setelah retrieva/retrieval/pemulihan), dengan melihat waktu
normal pergeseran luteal-plasenta.

182

HASIL IVF
Hasil metode IVF telah mengalami kemajuan dalam tahun-tahun terakhir
sejak perkenalan metode ini dalam dunia praktek klinis. Awalnya, IVF hanya
menawarkan sedikit kemungkinan keberhasilan dan hanya diaplikasikan pada
pasangan yang tidak memiliki pilihan metode lain atau telah mengalami
kegagalan dalam berbagai macam bentuk terapi sebelumnya. Seiring dengan
perkembangan teknologi dan peningkatan keberhasilannya, IVF menjadi suatu
pilihan yang nyata dan menarik untuk pasangan-pasangan infertil yang
jumlahnya makin meningkat. Munculnya ICSI menciptakan revolusi bentuk terapi
untuk faktor infertilitas pria yang parah dan berkontribusi besar dalam
perkembangan metode ART. Kini, ART sering dipakai sebagai pilihan pertama
dan terbaik untuk sebagian besar pasangan infertil.
Angka keberhasilan IVF dapat ditunjukkan dalam beberapa cara,
menggunakan numerator dan denominator yang berbeda. Dua numerator yang
paling utama adalah kehamilan dan kelahiran hidup; banyak pihak menganggap
bahwa kelahiran hidup merupakan numerator yang lebih relevan di antara
keduanya. Kurang lebih 18% kehamilan berakhir dengan : keguguran (15,5%),
aborsi terinduksi (0,9%), lahir mati (0,6%), atau kehamilan ektopik (0,7%). Angka
kehamilan atau kelahiran hidup dapat dikalkulasikan sebagai persentase
permulaan siklus, retrieval/pemulihan, dan transfer. Sekitar 14% siklus tidak
dapat dilanjutkan sebelum mencapai tahap retrieval/pemulihan dikarenakan
respon terhadap stimulus yang tidak adekuat (11,8%) atau berlebihan (0,5%),
penyakit medis yang menyertai (0,14%), atau alasan pribadi pasien (1,6%).
Untuk tahun 2000, SART/ASRM mencatat data yang diperoleh dari 383
program dimana diungkapkan bahwa dengan total 99,989 siklus ART yang
dilakukan di seluruh negeri pada tahun tersebut, terjadi peningkatan sebesar
13,5% dari tahun 1999. Di antara data-data ini, sebanyak 73.406 (73,4%) siklus
IVF yang menggunakan oosit segar, nondonor (46,6% dengan ICSI), mampu
menghasilkan 29,9% angka kelahiran perretrieval/pemulihan. Sebanyak 13.083
(13,1%) berupa siklus transfer embrio yang dibekukan, menghasilkan angka
kelahiran sebesar 20,4%. Pada tipe siklus lain yang dapat digunakan sebagai
pembanding, keseluruhan angka keberhasilan (kelahiran per retrieval/pemulihan)
meningkat sebesar 0,6% (atau 2,2% jika dibandingkan dengan tahun 1999).
Untuk tahun yang sama (2000), data dari badan pencatatan Eropa yang
melibatkan 22 negara dan 569 program menunjukkan bahwa telah dilakukan

183

279.267 siklus, menunjukkan adanya peningkatan sebesar 8% dari tahun 1999.


Di antara siklus-siklus yang dilakukan ini, sebanyak 226.937 (81,2%) berupa
siklus IVF yang menggunakan oosit segar, nondonor (44,0% dengan ICSI),
mampu menghasilkan 28,4% angka kehamilan klinis per transfer. Sebanyak
45.800 lainnya (20,2 %) berupa siklus transfer yang menggunakan embrio yang
dibekukan,

menghasilkan

16,6%

angka

kehamilan

klinis

per

transfer.

Dibandingkan dengan tahun 1999, angka kehamilan klinis per transfer meningkat
sebesar 0,7%.
Selama rentang waktu 5 tahun antara 1996-2001 di US, angka kelahiran
per transfer pada siklus ART menggunakan oosit atau embrio segar nondonor
secara bertahap telah meningkat untuk semua kelompok usia. Angka kelahiran
hidup per transfer meningkat dari 33,6% menjadi 41,1% untuk wanita usia di
bawah 35 tahun, dari 29,0& meningkat jadi 35,1% untuk wanita berusia antara
35-37 tahun, dari 21,7% menjadi 25,4% pada wanita usia 38-40 tahun, dari
11,5% menjadi 14,5% untuk wanita berusia antara 41-42 th dan meningkat dari
5,4% menjadi 6,7% pada wanita berusia di atas 42 tahun.
Angka keberhasilan sedikit bervariasi terkait diagnosis dan penyebab
infertilitas. Meskipun definisi dari diagnosis dapat berbeda-beda pada tiap
program, keberhasilan pada subyek pasangan yang mengalami permasalahan
karena faktor tuba, disfungsi ovulasi, endometriosis, faktor pria, atau infertilitas
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya mencapai angka di atas rata.
Sebagaimana mungkin telah diduga, angka keberhasilan terendah terlihat pada
pasien dengan fungsi ovarium yang sudah sangat minim. Pasangan yang
memiliki masalah terkait faktor uterus, penyebab-penyebab lain, atau banyak
faktor penyebab infertilitas memiliki angka kesuksesan di bawah rata-rata. Di
semua kelompok usia, angka keberhasilan pada wanita dengan riwayat
melahirkan bayi hidup sebelumnya dan wanita yang baru pertama kali
melakukan siklus ART lebih tinggi dibandingkan dengan wanita nulipara dan
wanita yang memiliki riwayat kegagalan siklus ART sebelumnya. Meskipun
demikian, angka keberhasilan tidak turun drastis sampai 4 kali percobaan siklus
IVF.
Kehamilan Ganda
Resiko kehamilan ganda meningkat cukup tinggi pada siklus ART. Pada
tahun 2000, 35,0% dari semua kelahiran di US yang dihasilkan dari program ART

184

merupakan kelahiran ganda, dengan angka mencapai 10 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan angka kelahiran ganda di populasi umum yang hanya sebesar 3%;
30,7% dari kelahiran hidup merupakan bayi kembar dan 4,3% merupakan
kelahiran triplet atau di atasnya. Dengan semakin tinggi resiko maternal dan
neonatal terkait kehamilan ganda, semakin besarnya beban finansial dan sosial,
dan sejumlah faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap tingginya insiden
kelahiran ganda telah dijelaskan dengan lebih detail pada bagian 31. Sehingga,
diskusi pada bab ini terbatas pada isu-isu spesifik terkait kehamilan ganda
sebagai hasil program ART.
Peningkatan angka keberhasilan seiring dengan peningkatan jumlah
embrio yang ditransfer, sampai pada suatu titik dimana hanya akan
meningkatkan kemungkinan kehamilan ganda. Jumlah embrio pada titik batasan
yang dimaksudkan di sini didefinisikan sebagai batasan jumlah embrio maksimal
yang dapat ditransfer. Sebagaimana ditunjukkan dalam hasil revisi SART/ASRM
2004 tentang panduan jumlah embrio yang sudah diterangkan secara garis besar
pada bagian sebelumnya, jumlah embrio yang dapat ditransfer meningkat seiring
peningkatan usia. Berdasar data rekapitulasi nasional tentang hasil ART tahun
2001, ketika 1 embrio ditransfer, 99% akan menghasilkan kelahiran bayi tunggal.
Ketika 2 embrio ditransfer, maka 66,5% kemungkinan bayi lahir tunggal, 32,6%
bayi kembar, dan 0,9% kembar tiga atau lebih. Ketika 3 atau lebih embrio
ditransfer, kemungkinannya menjadi 62% lahir bayi tunggal, 32% bayi kembar,
dan 5% lahir kembar tiga atau lebih.
Usia dan seberapa banyak jumlah embrio yang dapat dihasilkan dan dapat
ditransfer hampir sama pentingnya dengan faktor jumlah embrio yang ditransfer
dalam memprediksi keberhasilan proses ini. Wanita pada usia lebih muda
cenderung memiliki potensi keberhasilan dan kelahiran ganda lebih tinggi. Data
rekapitulasi nasional 2001 tentang hasil ART dapat membantu memberikan
ilustrasi tentang hal ini.
Persentase Kelahiran Hidup per Transfer dan Kelahiran Ganda pada Wanita
Usia dibawah 35 Tahun dengan Embrio Berlebih yang Sesuai untuk
Cryopreservation, berdasar Jumlah Embrio yang ditransfer
Jumlah Embrio
1

Kelahiran Hidup
30,0%

Tunggal
100,0%

Twin

Triplet +

52,7%

59,3%

39,6%

1,2%

185

46,9%

53,4%

38,8%

7,8%

42,9%

49,1%

41,3%

9,6%

5+

43,1%

43,3%

46,8%

9,9%

Beberapa pihak mendebat bahwa perpanjangan waktu kultur pada stadium


blastocyst untuk memfasilitasi pemilihan embrio dengan kualitas tertinggi
memberikan dampak potensial terhadap implantasi dan perkembangan embrio
dan dengan demikian dapat mereduksi jumlah embrio yang perlu ditanamkan
untuk memaksimalkan angka kesuksesan dan mengurangi resiko kelahiran
ganda. Untuk semua kelompok usia, angka kelahiran hidup per transfer dengan
penggunaan blastocyst (hari ke 5 setelah pembuahan) lebih tinggi dibanding
menggunakan embrio pada tahap pembelahan (hari ke 3 setelah pembuahan).
Angka persentasenya memiliki rentang antara 5-12% dan di bawahnya pada
wanita usia di bawah 35 tahun dan paling tinggi pada wanita usia di atas 42
tahun Ketika 2 blastocyst ditransfer, insiden terjadinya kehamilan ganda tingkat
tinggi secara nyata mengalami penurunan tapi tidak serta merta dapat
dihilangkan, karena angka kejadian kembar monozigot masih dapat meningkat
setelah transfer blastocyst, dan angka kejadian bayi lahir kembar juga tidak lebih
rendah doibandingkan yang dihasilkan oleh proses transfer dengan sejumlah
besar embrio tahap pembelahan.
Sebagaimana telah didiskusikan sebelumnya, panduan SART/ASRM
tentang jumlah embrio yang dapat ditransfer telah mengalami revisi sebanyak
dua kali (1999,2004) sejak pertama kali diisukan pada tahun 1998, sebagai
upaya mengurangi kejadian kehamilan ganda, terutama kehamilan ganda tingkat
tinggi. Jumlah rata-rata embrio yang dapat ditransfer di negara US mulai
menurun sejak tahun 1997, dengan penurunan yang paling tajam (11,1%) yang
tampak pada tahun 1998-1999. Berkebalikan dengan jumlah kehamilan dan
kelahiran hidup tiap transfer yang meningat secara pasti pada rentang waktu
antara tahun 1995 dan 2001, persentase kejadian kehamilan multipel tingkat
tinggi menurun tiap tahun, penurunan paling curam (20,8%) sekali lagi terjadi
pada tahun 1998 dan 1999. Sayangnya, persentase kehamilan kembar masih
tetap sama dalam jumlah yang relatif tinggi. Data ini mampu memberikan
dukungan positif terkait program ini, dan semoga, kecenderungan hasil positif ini
dapat terus berlanjut. Panduan yang paling baru , merekomendasikan bahwa
jumlah embrio yang ditransfer pada wanita usia kurang dari 35 tahun tidak boleh
lebih dari 2, dan bahkan mungkin hanya 1 yang ditransfer pada wanita yang
186

menunjukkan prognosis terbaik, dimana hal ini dapat membantu mereduksi


resiko munculnya kehamilan ganda tingkat tinggi dan juga menurunkan
persentase kehamilan kembar.
RESIKO-RESIKO IVF
Selain resiko kehamilan ganda, IVF juga meningkatkan resiko terjadinya
kehamilan ektopik dan sindrom hiperstimulasi ovarium. Kedua resiko ini tidak
tidak sering, tapi juga tidak jarang terjadi. Pertahanan terbaik untuk mencegah
resiko tersebut adalah dengan kewaspadaan dan pencarian seksama faktorfaktor predisposisi serta tanda dan gejala yang muncul di awal. Kekhawatiran
awal tentang kemungkinan adanya hubungan antara kanker ovarium dan obat
penginduksi ovulasi masih tetap ada walaupun telah sangat berkurang.
Pembahasan tentang kehamilan ektopik akan lebih difokuskan pada bab 33.
Sedangkan resiko hiperstimulasi ovarium maupun kanker ovarium juga telah
didiskusikan pada bab 31. Bab ini akan lebih memperhatikan peningkatan resiko
pada keturunan hasil IVF.
Kehamilan Ektopik
Resiko kehamilan ektopik meningkat setidaknya 2 kali lipat pada wanita
yang hamil dengan program ART. Meskipun mekanisme yang menyebabkan
munculnya hal ini masih belum dapat dijelaskan, migrasi alami ke dalam tuba
dan transfer embrio secara tidak sengaja langsung ke tuba merupakan
penjelasan yang paling logis. Wanita dengan infertilitas yang disebabkan oleh
faktor tuba atau memiliki riwayat hamil ektopik sebelumnya merupakan individu
dengan resiko tertinggi, diduga dikarenakan embrio yang bermigrasi atau
ditransfer ke tuba falopii cenderung tidak dapat kembali ke uterus sebelum
implantasi. Efek samping dari peningkatan hormon pada siklus IVF terhadap
fungsi tranport tuba juga mungkin menyebabkan kehamilan ektopik. Kelebihan
volume media yang ditransfer atau penempatan kateter yang terlalu dalam juga
dapat menjadi predisposisi terjadinya transfer ke tuba secara tidak sengaja.
Kesulitan teknik saat transfer juga telah diidentifikasi sebagai faktor resiko
independen lain. Kehamilan heterotopik, dimana satu atau lebih embrio
terimplantasi baik di dalam uterus maupun di tuba falopii , sangat jarang terjadi
pada kehamilan normal (sekitar 1 dari 10.000 kehamilan), akan tetapi hal ini jauh

187

lebih sering didapatkan pada wanita infertil yang mengandung setelah mendapat
induksi ovulasi atau IVF.

Sindroma Hiperstimulasi Ovarium


Sedikitnya dua dari banyak faktor resiko yang diketahui menyebabkan
sindrom hiperstimulasi ovarium berulang kali ditemukan pada siklus ART; yaitu
dosis gonadotropin eksogen yang lebih tinggi dan peningkatan level serum
estradiol yang absolut tinggi atau meningkat dengan cepat. Resiko meningkat
sesuai jumlah folikel ovarium yang berkembang dan jumlah oosit yang
dipulihkan. Resiko juga meningkat ketika dosis hCG yang lebih tinggi atau
berulang diberikan untuk menginduksi maturasi oosit terakhir atau untuk suport
luteal. Kehamilan, khususnya kehamilan ganda, meningkatkan kecenderungan,
durasi, dan keparahan hiperstimulasi ovarium.
Pada wanita dengan konsentrasi serum estradiol yang meningkat dengan
cepat atau dalam jumlah besar, menahan pemberian stimulasi gonadotropin lebih
lanjut dan menunda administrasi hCG sampai level hCG turun dapat membantu
memperbaiki siklus dan mengurangi resiko sindrom hiperstimulasi ovarium.
Coasting tampaknya tidak memberikan efek samping pada hasil IVF kecuali
diberikan dalam jangka panjang (lebih dari 3 hari).
Karena resiko hiperstimulasi ovarium meningkat dengan adanya paparan
hCG, dosis yang lebih rendah (5000 IU) akan lebih tepat diberikan pada wanita
dengan resiko tinggi mengalami sindroma hiperstimulasi ovarium. Meskipun
hanya berupa pilihan dalam proses stimulasi siklus yang melibatkan penggunaan
antagonis GnRH antagonis, agonis GnRH mungkin dapat lebih dipilih
dibandingkan hCG untuk memicu maturasi oosit terakhir. Lebih lagi, karena
resiko keseluruhan dari sindrom hiperstimulasi ovarium yang berat cenderung
lebih rendah pada siklus antagonis dibanding siklus agonis, maka regimen
antagonis mungkin merupakan regimen stimulus terbaik yang bisa diberikan
pada wanita dengan sindrom polikistik ovarii dan wanita dengan riwayat episode
hiperstimulasi ovarium sebelumnya. Tanpa memperhitungkan apakah hCG atau
agonis GnRH yang diberikan pada pertengahan siklus, suport luteal dengan
progesteron diperkirakan dapat lebih mereduksi resiko berkembangnya sindrom
hiperstimulasi ovarium dibandingkan suplemen hCG.

188

Onset munculnya gejala dapat muncul segera setelah retrieval/pemulihan,


atau dapat juga tertunda. Pada pasien dengan peningkatan gejala selama
beberapa hari segera sebelum

transfer embrio, perlu kebijaksanaan untuk

mempertimbangkan melakukan cryopreservation pada embrio dan menunda


transfer sampai gejala mereda. Meskipun angka kehamilan pada siklus transfer
dengan menggunakan embrio beku secara umum lebih rendah dibanding fresh
transfer cycle, keamanannya lebih terjamin ketika didapati resiko penyakit berat.
Faktanya, karena embrio terbaik yang sudah ditransfer juga akan dibekukan dan
adanya penyakit yang mendasari dapat memberikan efek buruk pada hasil,
angka kehamilan tidak menurun signifikan.
Terapi profilaksis dengan albumin intravena (20-50 gm) pada saat
retrieval/pemulihan oosit telah direkomendasikan untuk menurunkan kejadian
hiperstimulasi ovarium pada wanita dengan resiko tinggi. Hasil dari studi tentang
efektivitasnya telah tercampur aduk dan terapi dapat beresiko memperburuk
ascites atau reaksi alergi. Meskipun demikian, suatu metaanalisis melibatkan 5
random trial menyimpulakn bahwa albumin sebagai profilaksis menurunkan
resiko sindrom hiperstimulasi ovarium (OR=0,28; CI=0,11-0,73) dengan jumlah
yang perlu diterapi sebesar 18.689.
Keturunan dari IVF
Studi tentang keturunan hasil IVF telah menimbulkan pemikiran bahwa
anak berada dalam resiko yang lebih tinggi untuk mengalami defek saat lahir,
prematuritas, berat badan lahir rendah, perkembangan neurologis yang
terlambat, dan abnormalitas baik genetik maupun epigenetik.
Sementara kebanyakan penelitian pada anak yang lahir setelah proses
ART telah menemukan prevalensi malformasi kongenital yang mirip dengan
prevalensi kecacatan yang muncul pada populasi umum (2-3%), suatu studi
Australia menemukan peningkatan resiko defek mayor saat lahirsampai 2 kali
lipat pada anak-anak yang dihasilkan dari proses IVF konvensional atau ICSI,
dibanding pada populasi anak-anak yang dihasilkan dengan proses alamiah.
Anomali tertentu yang muncul pada anak-anak hasil ART meliputi defek neural
tube, atresia saluran pencernaan, omphalocele, dan hipospadia (setelah ICSI).
Beberapa studi mengindikasikan bahwa bayi yang dikandung via prosedur
ART berada dalam resiko yang lebih tinggi mengalami prematuritas dan berat
badan lahir rendah. Pengamatan tidak bisa hanya terfokus pada persoalan

189

tingginya insiden kehamilan ganda akibat ART. Bayi tunggal yang lahir dengan
prosedur ART di US pada tahun 2000 juga lebih beresiko mengalami berat badan
lahir rendah, berat badan lahir sangat rendah, kelahiran preterm, dan berat
badan rendah baik pada kelahiran preterm atau aterm. Dua penelitian di Eropa
lainnya yang juga meneliti kelahiran tunggal yang dihasilkan dari program ART
telah menemukan peningkatan resiko sampai 3-5 kali lipat terjadinya
prematuritas dan berat badan lahir rendah. Pada salah satu penelitian tersebut,
resiko prematuritas meningkat pada kehamilan tunggal setelah IVF konvensional,
tapi tidak setelah metode ICSI dilakukan pada kasus infertilitas yang hanya
disebabkan oleh faktor pria, menunjukkan bahwa faktor uerus dan faktor
infertilitas lain dapat ikut berpengaruh pada munculnya resiko-resiko ini.
Beberapa

bahkan

menyatakan

bahwa

pemograman

epigenetik

yang

menyimpang terhadap ekspresi gen pada kehamilan yang dihasilkan dari


program ART dapat memberikan efek buruk pada perkembangan janin.
Peningkatan prevalensi defek neurologis pada anak-anak yang lahir dari
hasil prosedur ART telah ditemukan, terutama kasus cerebral palsy, sangat
banyak ditemukan bersama dengan peningkatan frekuensi kehamilan ganda,
prematuritas, dan berat badan lahir rendah. Meskipun demikian, tidak ada
perbedaan perkembangan psikomotor pada usia 2 tahun yang dapat diukur
dapat dideteksi pada anak yang lahir dari proses IVF konvensional atau ICSI
dibandingkan populasi umum.
Insiden abnormalitas kromosom sex yang meningkat, walaupun tidak
terlalu besar (sekitar 1%) pada anak yang lahir setelah proses ICSI, mungkin
merefleksikan peningkatan prevalensi abnormalitas yang sama seperti pada pria
dengan oligospermia atau nonobstructive azoospermia yang parah dibanding
dengan prosedur ICSI itu sendiri dan prevalensi aneuploidi sperma epididimis
dan testis yang diambil dari pria dengan nonobstructive azoospermia dan pria
dengan karyotip perifer normal yang lebih tinggi. Terdapat sejumlah bukti yang
menunjukkan bahwa anak-anak hasil ART lebih beresiko mengalami kelainan
sebagai akibat kesalahan imprinting saat awal embriogenesis dimana parental
alel tertentu diekspresikan. Beberapa abnormalitas epigenetik dihasilkan dari
perubahan DNA yang stabil dibandingkan perubahan bertahap. Data awal
menunjukkan

bahwa

prevalensi

Angelman

syndrome

(retardasi

mental,

perkembangan motorik yang terhambat, keseimbangan yang buruk, pergerakan


abnormal, tidak bisa bicara) dan Beckwith-Wiedemann syndrome (makrosomi,

190

makroglosia, defek garis tengah dinding abdomen, predisposisi kanker


embrional), keduanya diakibatkan defek imprinting, dapat meningkat pada anakanak yang lahir setelah proses ART. Saat ini tidak ada hubungan sebab akibat
yang berhasil ditemukan, tapi hubungan keduanya merupakan sesuatu yang
harus diteliti lebih mendalam dan hati-hati.
Kekhawatiran tentang kesehatan dan kesejahteraan anak yang dihasilkan
dari prosedur ART merupakan sesuatu yang beralasan dan dapat dimengerti.
Data yang tersedia saat ini masih tidak dapat memberikan kesimpulan sehingga
penelitian yang lebih besar, lebih mendalam, dan hati-hati perlu dilakukan.
Kekhawatiran ini tidak boleh ditanggapi secara berlebihan tapi juga tidak boleh
diabaikan.
DONASI OOCYTE
Sampai sekitar 20 tahun yang lalu, wanita yang mengalami kegagalan
fungsi

ovarium

dianggap

steril

tanpa

bisa

dilakukan

apa-apa

untuk

mengubahnya, tapi perkembangan ART telah mengubah pandangan itu


selamanya. Pendonoran oosit kini memberikan harapan bagi wanita dengan
kegagalan ovarium prematur atau dengan penurunan fungsi ovarium yang cepat
berupa kemungkinan yang realistis untuk hamil.
Kehamilan pertama menggunakan oosit donor dilaporkan terjadi pada satu
orang wanita pada tahun 1983. Teknik aslinya melibatkan inseminasi buatan
intraservikal sperma dari pasangan pria dari wanita infertil pada sukarelawan
yang normal, lavage uterus selama interval waktu preimplantasi, dan transfer
embrio yang sudah dipulihkan ke dalam uterus wanita infertil yang telah
menerima regimen pengganti hormon yang didesain untuk menyesuaikan antara
endometrium dan perkembangan embrio. Berbagai masalah etik dan teknik
menyebabkan terbatasnya aplikasi metode ini. Pada tahun yang sama muncul
laporan pertama kehamilan yang terjadi dari hasil donasi ovum, IVF, dan transfer
ovum pada resipien yang masih mengalami siklus. Dalam tahun berikutnya,
dilaporkan kehamilan pertama yang berhasil yang dihasilkan dari donasi oosit
dan IVF pada wanita dengan kegagalan fungsi ovarium.
Pendonoran oosit kini banyak diperoleh dari prosedur IVF menggunakan
oosit yang dipulihkan dari donor muda yang sehat setelah hiperstimulasi ovarium
berhasil dikontrol dan ditemukan dengan sperma dari pasangan resipien, dengan
kemudian embrio yang dihasilkan ditransfer ke uterus resipien. Keberhasilan

191

dengan oosit donor juga didapat menggunakan teknik transfer tuba. Meskipun
konsepnya tegas, kebutuhan akan keberhasilan donasi ovum sangat banyak dan
rumit. Keunikan dari siklus IVF dengan oosit donor terkait dengan kebutuhan
mensinkronkan embrio dengan endometrium dan suport hormonal secara
eksogen pada kehamilan awal sampai perpindahan luteal-plasenta. Hal penting
lainnya yang harus diperhatikan adalah rekrutmen, pemilihan, dan skrining donor.
Indikasi
Ada 4 indikasi untuk donasi ovum IVF: kegagalan fungsi ovarium, penyakit
genetik, penurunan fungsi ovarium, dan inaccessible ovaries. Wanita dengan
kegagalan fungsi ovarium karena berbagai macam sebab (abnormalitas
kromosom X; idiopatic gonadal dysgenesis, atau penipisan jumlah oosit
prematur; riwayat operasi sebelumnya; riwayat radiasi atau kemoterapi; penyakit
autoimun) merupakan kandidat program ini. Begitu pula dengan wanita yang
membawa kelainan bawaan yang tidak dapat dilakuakn diagnosis genetik
preimplantasi atau menolak diagnosis genetik preimplantasi, dan wanita dengan
penurunan fungsi ovarium karena usia atau faktor lain yang memiliki prognosis
buruk jika melakukan prosedur IVF dengan oosit miliknya sendiri. Kasus jarang
dimana wanita dengan severe pelvic adhesive disease dan inaccessible ovaries
kadang juga ditemukan.
Evaluasi Resipien
Dengan beberapa pengecualian, evaluasi terapi awal dan skrining donor,
oosit, dan resipien pada prinsipnya sama dengan yang direkomendasikan
sebelumnya pada IVF konvensional. Konseling psikologis merupakan elemen
penting dalam evaluasi dan dapat membantu mengidentifikasi pasangan dengan
permasalahan mengenai ketakutan-ketakutan yang belum dipecahkan dan untuk
memastikan bahwa kedua pasangan telah berkomitmen penuh terhadap upaya
yang akan dilakukan.
Wanita dengan sindrom Turner dapat dimasukkan sebagai kandidat untuk
memperoleh donasi ovum dan berhak mendapatkan perhatian spesifik. Buktibukti penelitian mengindikasikan bahwa kehamilan dapat menimbulkan resiko
yang unik dan serius pada wanita dengan sindrom Turner yang mana sering
memiliki malformasi kardiovaskular melibatkan percabangan aorta. Seperti pada
wanita dengan sindrom Marfan, wanita dengan sindrom Turner memiliki resiko

192

terjadi diseksi aorta saat kehamilan lebih besar, diduga terkait peningkatan
kebutuhan kardiovaskular. Resiko kematian maternal akibat ruptur atau diseksi
aorta saat hamil sekitar 2% atau lebih. Wanita dengan sindrom turner yang ingin
menerima donasi oosit harus dievaluasi dengan cermat, termasuk pemeriksaan
echocardiografi, dimana jika ditemukan kelainan yang signifikan maka akan lebih
baik dikategorikan sebagai kontraindikasi untuk mendapatkan donasi oosit.
Secara umum, bahkan wanita dengan hasil pemeriksaan normal tetap harus
berhati-hati, karena diseksi aorta masih tetap dapat terjadi. Pasien yang memilih
untuk melanjutkan prosedur ini perlu observasi yang cermat dan reevaluasi
berulang selama masa kehamilan.

Perkembangan Endometrium Terkontrol


Pada siklus normal, pematangan endometrium melalui fase proliferasi dan
sekresi sangat diatur oleh perkembangan folikel, ovulasi, dan fungsi luteal;
sehingga normalnya antara perkembangan endometrium dan embrio sesuai
satu sama lain. Pada siklus donasi ovum, kesesuaian antara endometrium
dan embrio itu juga harus didapatkan. Window of endometrial receptivity,
suatu interval waktu selama proses implantasi normalnya terjadi, relatif sempit
dan hanya berkisar sekitar 3 hari, mungkin paling lama 5 hari. Awal dan durasi
implantation window dikontrol terutama oleh durasi paparan progesteron.
Lama waktu fase proliferasi sangat fleksibel dan dapat sangat bervariasi,
sebagaimana terjadi pada wanita yang mengalami oligo-ovulatory.
Untuk mencocokkan antara perkembangan endometrium dan embrio yang
akan ditransfer, resipien yang memiliki ovarium yang masih berfungsi, akan
menjalani proses down regulasi dengan agonis GnRH kerja panjang, terapi ini
tidak perlu diberikan pada wanita dengan kegagalan fungsi ovarium. Pada
kasus lain, regimen tiruan pengganti estrogen dan progesteron yang
terprogram digunakan untuk menstimulasi siklus alami dan memicu
pertumbuhan dan pematangan endometrium secara normal. Berbagai macam
regimen terapi telah berhasil digunakan untuk menghasilkan perkembangan
dan pematangan endometrium secara terkontrol.
Terapi estrogen dapat secara oral, transdermal, atau transvaginal. Tidak
satu jenis rute administrasi atau dosis terbukti lebih baik dibandingkan yang
lain, meskipun dengan bervariasinya konsentrasi serum estrogen yang
dihasilkan.

Regimen

estrogen

oral

193

atau

transdermal

didesain

untuk

memperoleh level serum yang mendekati level serum pada fase folikular akhir
pada siklus normal (200-400 pg/ml); pemberian estrogen vaginal dengan
dosis yang sama menunjukkan hasil konsentrasi serum dan jaringan yang
lebih tinggi. Durasi terapi estrogen cukup fleksibel dan dapat bervariasi dari
hanya 7 hari sampai 3 minggu atau lebih. Progesteron dapat diberikan secara
intramuskular dalam dosis yang didesain untuk mencapai konsentrasi serum
mendekati 20 ng/ml (25-50 mg per hari) atau diberikan pervagianl dalam
bentuk supositoria, tablet, atau gel (200-600 mg per hari). Pemberian secara
intramuskular menghasilkan konsentrasi serum yang lebih tinggi, tapi level
tertinggi pada jaringan endometrium diperoleh pada pemakaian progesteron
pervaginam.
Pada banyak program, resipien diteliti melalui suatu siklus terapi percobaan
untuk memastikan pasien memberikan respon yang adekuat terhadap terapi
regimen yang direncanakan. Metode dan lama waktu monitoring berbedabeda tergantung tiap program. Banyak yang melakukan pengukuran
ketebalan endometrium menggunakan transvaginal ultrasonographic, dengan
tujuan untuk mendapatkan ketebalan lebih dri 6-7 mm, sebagai batas minimal.
Pada beberapa wanita yang tidak memiliki ketebalan endometrium sesuai
yang diharapkan sebagai respon terhadap terapi regimen pengganti standar,
pemberian estrogen vaginal dapat membantu memicu proliferasi tambahan.
Beberapa ahli juga melakukan biopsi endometrium untuk melihat kondisi
histologi sebagai upaya untuk memastikan bahwa terapi yang akan dilakukan
dapat

mencapai

hasil

yang

diharapkanakan

tetapi

bukti

penelitian

menunjukkan bahwa metode tersebut tidak terlalu dapat menunjukkan


perbedaan berarti dan bahkan dapat menyesatkan.
Evaluasi Donor
Terbatasnya ketersediaan donor oosit yang sesuai merupakan hambatan
terbesar dalam mempertahankan keaktifan program donor oosit. Donor dapat
berupa anggota keluarga atau teman dekat resipien, tapi kebanyakan donor
merupakan donor anonim, sukarelawan muda yang sehat yang direkrut dari
populasi lokal.

Skrining Donor

194

American Society for Reproductive Medicine telah memberikan panduan


detail tentang metode skrining yang tepat terhadap kandidat pendonor oosit.
Semua pendonor harus berusia antara 21-34 tahun, telah melalui anamnesa
dan pemeriksaan fisik untuk mengeliminasi kemungkinan termasuk individu
dengan resiko tinggi menderita penyakit menular seksual atau penyakit yang
diturunkan secara genetik, dan telah menjalani tes prekonsepsi standard (tipe
golongan darah dan Rh, titer varisela dan rubella). Kandidat pendonor juga
harus diskrining terbebas dari penyakit infeksi menular seksual (sifilis,
hepatitis B, hepatitis C, gonorea, chlamidia, HIV 1, dan HIV 2). Evaluasi
psikologis oleh ahli kesehatan jiwa juga direkomendasikan. Skrining genetik
spesifik juga sebaiknya dilakukan sesuai indikasi ras dan etnik.
Sinkronisasi Embryo-Endometrium
Untuk memaksimalkan kemungkinan keberhasilan implantasi, transfer
embrio harus dilakukan pada waktu yang tepat. Untuk mendapatkan koordinasi
perkembangan embrio maupun endometrium yang selaras yang normalnya
terjadi pada siklus konsepsi alamiah, terapi progesteron mulai diberikan pada
resipien tepat pada hari donor menjalani proses retrieval/pemulihan. Untuk
embrio yang berusia dua hari (2 hari setelah retrieval/pemulihan dan
pembuahan), transfer dilakukan pada hari ketiga terapi progesteron, sedangkan
untuk embrio berusia 3 hari transfer dilakukan pada hari keempat terapi
progesteron, dan pada hari ke enam untuk embrio berusia lima hari. Meskipun
transfer window yang efektif bisa lebih dari satu hari, transfer yang sinkron akan
memberikan tingkat keamanan yang lebih besar dan mengkompensasi adanya
variasi kecepatan maturasi endometrium. Beberapa memilih untuk memulai
terapi progesteron satu haru sebelum oosit donor dipulihkan. Durasi pemberian
terapi estrogen awal yang fleksibel memberikan kemudahan dalam pembuatan
jadwal. Umumnya, terapi estrogen dimulai saat atau sesaat sebelum donor mulai
diberi stimulus, memberikan cukup waktu untuk mencapai derajat proliferasi
endometrium yang dibutuhkan sebelum oosit donor dipulihkan.
Support Luteal
Pada awal kehamilan normal, peningkatan level hCG yang cepat akan
menyelamatkan dan menstimulasi korpus luteum untuk tetap mempertahankan
level

sekresi

estrogen

dan

progesteron

195

untuk

memastikan

kestabilan

endometrium untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan embrionik


awal

sampai

plasenta

mencapai

kapasitas

untuk menggantikan

fungsi

endometrium tersebut. Resipien oosit tidak memiliki korpus luteum. Maka


konsekuensinya, suport luteal eksogen harus diberikan selama rentang waktu
yang diperlukan. Normalnya, transisi luteal-plasental terjadi antara usia
kehamilan 7 dan 9 minggu (tanggal menstruasi), antara 5 dan 7 minggu setelah
transfer embrio. Terapi eksogen estrogen dan progesteron, dengan demikian,
terus dilanjutkan sampai kehamilan usia 10 minggu, untuk memastikan
keamanan. Beberapa ahli memilih untuk memonitor konsentrasi serum estradiol
dan progesteron selama minggu-minggu awal kehamilan, menurunkan dois
terapi hormon eksogen sebanyak setengahnya ketika didapati gambaran
peningkatan level yang tajam, dan menghentikan terapi setelah 1 minggu
tambahan jika konsentrasi serum terus meningkat dalam batas normal.

Hasil Donasi Oocyte


Pengalaman dengan donasi oosit telah memberikan pandangan penting
tentang mekanisme yang terlibat dalam menghambat infertilitas wanita terkait
masalah usia. Model donasi oosit secara efektif memisahkan oosit dengan usia
uterus. Angka keberhasilan dengan IVF konvensional menurun seiring
bertambahnya usia, sebagia besar tampak dengan jelas setelah usia 35 tahun,
dan kehamilan yang optimal sudah jarang ditemukan pada usia di atas 42 tahun.
Sebaliknya, angka kelahiran hidup pada siklus donasi oosit tidak terlalu

196

bervariasi pada semua kelompok usia. Data-data ini menunjukkan bahwa


penurunan perkembangan potensi oosit yang menua merupakan faktor yang
membatasi.
Data dari rekapitulasi nasional US 2001 tentang hasil ART mengindikasikan
dari 7722 siklus donor oosit segar yang dilakukan di seluruh negeri pada semua
kelompok usia (sampai usia 46 tahun) 47,0% menghasilkan kelahiran hidup,
dengan rata-rata jumlah embrio yang ditransfer sebesar 2,9.Dari 3.028 transfer
embrio yang dibekukan yang berasal dari pendonor oosit, 27,3% menghasilkan
kelahiran hidup dengan rata-rata jumlah embrio yang ditransfer sebanyak 3,0.
GESTATIONAL SURROGACY (PEMINJAMAN RAHIM)
Gestational Surrogacy memberikan kemungkinan wanita tanpa uterus
fungsional memiliki kesempatan untuk mendapatkan keturunan genetik. Teknik
yang digunakan tidak berbeda dengan teknik yang diaplikasikan pada bentukbentuk lain ART, tapi memiliki isu etik, legal, dan psikososial yang lebih kompleks
Gestational Surrogacy merupakan suatu metode dimana embrio ditransfer
pada rahim wanita yang bersedia menggantikan wanita dari pasangan infertil
untuk hamil. Surrogacy merupakan pilihan bagi pasangan dimana pasangan
wanita tidak memiliki rahim (sebab kongenital, histerektomi), dengan rahim yang
rusak dan sudah tidak dapat diperbaiki lagi (malformasi kongenital, adhesi
intrauterin yang berat), atau kondisi medis tertentu dimana kehamilan
memberikan resiko mengancam jiwa. Host karier fleksibel, bisa saudara, teman,
atau seseorang yang tidak memiliki keterikatan pada pasangan yang mungkin
mendapatkan atau tidak mendapatkan kompensasi atas jasanya. Bagaimanapun
kondisinya, kandidat Gestational Surrogacy harus sudah pernah melahirkan dan
sudah menjalani evaluasi psikologi. Status legal dari Gestational Surrogacy
berbeda-beda antar tiap negara dan bahkan pada tempat-tempat yang sudah
mengenal prosedur ini, kontrak hukum formal masih dibutuhkan untuk
memformalisasikan persetujuan antara pasangan infertil ini dengan pihak
surrogate.
GIFT DAN ZIFT
GIFT dan ZIFT merupakan metode alternatif selain IVF dimana oosit dan
sperma (GIFT) atau zigot (ZIFT) tidak dimasukkan ke dalam uterus melainkan
dipindahkan ke tuba falopii dengan laparoskopi. Meskipun dulu kedua metode ini

197

sering dilakukan karena keduanya menunjukkan angka keberhasilan yang


secara signifikan lebih tinggi dibanding IVF pada wanita dengan anatomi tuba
normal, kini kedua prosedur ini relatif langka. Data gabungan dari US dan
Kanada sampai tahun 1995, mengindikasikan bahwa angka kelahiran pada
penggunakan siklus

GIFT (27,0%) dan ZIFT (27,9%) masih lebih tinggi

dibanding IVF (22,5%). Selama beberapa tahun setelahnya, angka keberhasilan


IVF secara bertahap meningkat dan mampu melampaui GIFT dan ZIFT. Oleh
karena itu, prosedur-prosedur itu kini hanya memiliki beberapa indikasi yang
dapat membenarkan digunakannya kedua metode tersebut mengingat besarnya
biaya dan resiko yang diakibatkan tindakan operasi. Pada tahun 2000,
SART/ASRM mencatat data yang mengindikasikan bahwa hanya 549 dari total
hampir 100.000 pelaksanaan siklus ART yang dilakukan di US melibatkan GIFT
(0,6%), menghasilkan angka kelahiran per retrieval/pemulihan sebesar 24,7%.
Sebanyak 763 siklus ZIFT dilakukan (0,8%) menghasilkan angka kelahiran per
retrieval/pemulihan sebesar 29,9%665. Secara keseluruhan angka kelahiran hidup
untuk penggunaan IVF konvensional pada tahun 2000 adalah 31,6%.
Pada prosedur GIFT, proses stimulasi dan retrieval/pemulihan oosit
dilakukan seperti pada siklus IVF konvensional. Segera setelahnya, dilakukan
laparoskopi dan oosit dan sperma ditarik ke dalam suatu kateter yang didesain
khusus (dipisahkan oleh udara) dan didepositkan ke dalam tuba falopii pada
lokasi 4 cm proksimal fimbria. Teknik yang digunakan pada ZIFT sama seperti
GIFT, kecuali bahwa prosedur IVF konvensional dilakukan lebih dulu di
laboratorium, dan zigot baru ditanamkan pada hari berikutnya. Saat ini, GIFT dan
ZIFT banyak digunakan pada wanita yang secara teknik tidak dapat menjalani
transfer uterin. Fertilisasi didokumentasikan pada ZIFT, sedangkan pada GIFT
tidak. Dengan GIFT, fertilisasi terjadi secara in vivo bukan in vitro. Karen alasan
itulah, GIFT menjadi pilihan satu-satunya untuk pasangan yang memiliki
pertentangan secara moral, etik, maupun keagamaan terhadap prosedur IVF
konvensional. Seperti yang mungkin sudah diperkirakan sebelumnya, resiko
kehamilan ektopik lebih besar pada penggunaan GIFT dan ZIFT dibandingkan
IVF konvensional; sedangkan resiko kehamilan ganda masih seimbang.
JARINGAN OVARIUM DAN

CRYOPRESERVASI

OOCYTE

198

(PRESERVASI

BEKU)

Ada beberapa cara untuk mempertahankan fertilitas pada wanita usia


reproduktif yang mengalami kemoterapi maupun radioterapi. Pada beberapa
kasus, ovarium dapat dikeluarkan dari area yang terkena radiasi. Terapi dengan
agonis GnRH telah diperkenalkan sebagai cara untuk melindungi gonad dari
pengaruh kemoterapi, akan tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan tentang
efikasi-nya. Meskipun metode embryo banking dinilai efektif, tetapi waktu yang
dibutuhkan untuk stimulasi dan pengembalian fungsi tidak mencukupi pada
sebagian besar kasus. Dengan pengetahuan tentang cryobiology yang makin
berkembang,

metode

ovarian

tissue

cryopreservation

dan

oocyte

cryopreservation makin mendapat perhatian.


Ovarian Tissue Preservation
Ovarian Tissue Cryopreservation dan auto-transplantation menawarkan
kemungkinan mengembalikan fungsi reproduksi wanita setelah mendapat
kemoterapi

atau

radioterapi.

Pasien

yang

harus

mendapatkan

terapi

oophorectomy untuk terapi tumor jinak juga dapat memanfaatkan prosedur ini.
Berdasarkan angka kesuksesan yang dicapai dengan penggunaan metode
autograft ovarium pada hewan secara orthotopic (transplantasi ke lokasi asal)
dan heterotopic (transplantasi ke lokasi di luar lokasi asal) saat ini beberapa
prosedur yang mirip pada manusia telah diteliti. Secara teori, transplantasi
autograft ovarium secara orthotopik memungkinkan terjadinya kehamilan alami
jika tuba falopii masih dalam keadaan intak. Menggunakan pendekatan ini, telah
didapatkan hasil berupa perkembangan folikel dan ovulasi sebagai respon
stimulasi gonadotropin eksogen. Transplantasi heterotopik pada lokasi di bawah
kulit lengan bawah dan abdomen juga telah dilaporkan berhasil. Pada kasus
yang kedua, resipien mengalami proses pengembalian fungsi oosit setelah
mendapatkan stimulasi gonadotropin eksogen dengan pemulihan oosit, yang
mana salah satunya mengalami pembuahan secara normal untuk mendapatkan
embrio yang mencapai stadium 4 sel. Sedikitnya ada satu resiko yang mungkin
muncul

dari

penggunaan

metode

ovarian

tissue

cryopreservation

dan

autotransplantasi adalah tertanamnya kembali sel tumor pada wanita dengan


keganasan. Selanjutnya tentu akan dilakukan penelitian yang fokus menentukan
kecocokan dengan pasien, cara pengambilan jaringan, dan protokol-protokol
pelaksanaan cryopreservation, akan tetapi sampai dapat ditentukan teknik yang
efektif dan ditentukan kemungkinan untuk sukses, metode ovarian tissue

199

cryopreservation

masih

perlu

diinvestigasi

dan

tidak

boleh

digunakan

sembarangan dengan alasan semata dapat digunakan untuk kesehatan wanita di


masa depan.

Oocyte Cryopreservation
Oocyte Cryopreservation merupakan pilihan metode penyimpanan gamet
yang

potensial

dilakukan.

Pembekuan

oosit

merupakan

alternatif

cara

pengawetan jaringan ovarium yang menarik untuk dipilih karena tidak


membutuhkan operasi dan dapat menggunakan regimen stimulant ovarium yang
sudah ada saat ini. Sayangnya, hanya sedikit dari pasien-pasien yang menderita
kanker memiliki cukup waktu untuk menjalani siklus stimulasi IVF hingga selesai
sebelum terapi dimulai. Lebih lagi, angka kehamilan setelah melakukan IVF
menggunakan oosit yang dicairkan umumnya sangat rendah. Meskipun
demikian, perkembangan tentang teknik baru ini telah menstimulasi munculnya
kembali ketertarikan tentang metode pembekuan oosit.
Oosit yang matur sangat rapuh dan mudah rusak dengan pembekuan
karena pengaruh factor ukuran, kandungan air di dalamnya, dan penyusunan
kromosom.

Oosit

dalam

stadium

germinal

vesicle

lebih

tahan,

tapi

perkembangan dari oosit imatur menjadi oosit matur membutuhkan waktu yang
lebih panjang. Vitrifikasi merupakan suatu proses cryopreservation dimana
cryoprotectant digunakan dalam konsentrasi tinggi untuk mengokohkan struktur
sel hingga sel dalam kondisi mirip kaca tanpa membentuk es. Dengan
menggunakan metode ini, angka keselamatan sel setelah pencairan lebih tinggi,
dan angka keberhasilan fertilisasi oosit yang menjalani proses vitrifikasi dan
pencairan sudah mendekati angka keberhasilan fertilisasi dengan oosit segar.
Saat ini juga telah dilaporkan kasus kehamilan dan kelahiran manusia dari oosit
matur hasil vitrifikasi.
Adanya kemungkinan kromosom aneuploid atau abnormalitas lain sebagai
akibat kerusakan pada kumparan kromosom yang mengalami pembelahan
meiosis masih menjadi hal penting yang harus dipikirkan. Penelitian tambahan
perlu dilakukan untuk memastikan effikasi dan keamanan oosit yang divitrifikasi.
Meskipun angka kehamilan dengan menggunakan oosit yang dibekukan dan
dicairkan sudah meningkat, akan tetapi angka tersebut masih jauh di bawah
angka yang bisa dicapai dengan menggunakan prosedur IVF. Untuk pasien-

200

pasien yang akan mendapatkan perawatan sterilisasi, oocyte cryopreservation


mungkin merupakan metode yang dapat diterima karena metode ini merupakan
satu dari sedikit pilihan yang ada. Meskipun demikian, sampai perkembangan
lebih lanjut dilakukan, penggunaan oocyte cryopreservation semata untuk
mencegah penuaan tidak direkomendasikan.

201

CHAPTER 33
KEHAMILAN EKTOPIK

KEHAMILAN EKTOPIK
Kehamilan ektopik masih menjadi penyebab penting untuk morbiditas dan
mortalitas maternal. Meski demikian, karena metode diagnosis modern saat ini
memungkinkan untuk dilakukan deteksi dini untuk hampir seluruh kasus
kehamilan ektopik, maka terapi kontemporer lebih bersifat konservatif dari pada
dulu. Fokus perhatian telah bergeser dari operasi emergensi untuk mengontrol
perdarahan yang mengancam jiwa menjadi terapi medis yang ditujukan untuk
menghindari operasi dan menjaga anatomi reproduksi dan kesuburan (fertilitas).
Chapter ini meninjau mengenai sejarah, epidemiologi, dan pathogenesis dari
kehamilan ektopik dan mendiskusikan metode diagnosis dan terapi terbaru.
RIWAYAT SEJARAH KEHAMILAN EKTOPIK
Manajemen modern untuk kehamilan ektopik merupakan salah satu dari
cerita sukses terbesar di dunia kedokteran. Kehamilan ektopik pertama kali
dijelaskan di abad ke 11, dan selama berabad-abad berikutnya, kehamilan
ektopik menjadi komplikasi fatal dari kehamilan. Di abad pertengahan, implantasi
ektopik dipandang sebagai akibat dari emosi yang berlebihan, biasanya berupa
rasa takut atau kaget, selama coitus di siklus konsepsi. Kehamilan ektopik yang
tidak mengalami ruptur pertama kali ditemui pada hasil otopsi dari jenazah
narapidana wanita yang dihukum mati pada tahun 1963. Kehamilan ektopik dan
infertilitas pertama kali dihubungkan di tahun 1972, dalam sebuah laporan
mengenai kehamilan ekstra-uterine pada seorang pelacur yang infertil. Di
pertengahan abad 19, observasi otopsi makin menguatkan dugaan bahwa
kehamilan ektopik mungkin terkait dengan infeksi pelvis, namun terapi masih
belum tersedia baik untuk infeksi maupun kehamilan ektopik.
Terapi awal ditujukan untuk mematikan janin ektopik dan dapat berupa
starvasi

(pembiaran

hingga

kelaparan),

pembersihan

dengan

pencahar,

perdarahan, dan bahkan terapi dengan strychnine. Usaha-usaha yang dilakukan


untuk merusak gestational sac ektopik dengan operasi atau memberikan arus

202

listrik seringkali menyebabkan sepsis dan kematian. Sebuah laporan tunggal


mengenai prosedur operasi abdominal untuk wanita dengan kehamilan ektopik
pertama kali muncul pada awal abad 17, namun tidak ada lagi hingga lebih dari
100 tahun kemudian. Prosedur operasi kehamilan ektopik yang pertama kali
diketahui di abad 18 dilakukan di Prancis tahun 1714. Di Amerika, John Bard dari
New York (1759) dan William Baynham dari Virginia (1791) merupakan orangorang yang pertama kali melakukan operasi abdominal untuk kehamilan ektopik.
Meskipun demikian, sepanjang 80 tahun pertama dari abad 18, hanya 5 dari 30
wanita yang menjalani operasi abdominal untuk kehamilan ektopik yang berhasil
bertahan hidup, sedangkan wanita yang tidak diterapi memiliki kemungkinan
hidup yang lebih tinggi (1 dari 3).
Pada tahun 1849, W. W. Harbert dari Kentucky menjadi orang pertama
yang mengusulkan intervensi pembedahan dini untuk menghindari perdarahan
fatal. Sayangnya, diagnosis untuk kehamilan ektopik terganggu, sebagian besar
datang terlambat. Pada tahun 1876, John Parry dari Philadelphia secara jelas
mendeskripsikan prognosis untuk wanita dengan kehamilan ektopik pada masa
tersebut.
Saat seseorang diberikan tanggung jawab dengan kasus tersebut, sudah
menjadi kewajibannya untuk memandang pasiennya yang menderita sebagai
sebuah kematian yang tak terhindarkan, kecuali dia, dengan beberapa tindakan
aktif, dapat merebut pasien itu kembali dari liang kubur yang telah
memanggilnya.
Setelah menyaksikan kematian dan otopsi dari beberapa wanita dengan
kehamilan ektopik, Robert Lawson Tait dari London menemukan sumber dan
cara untuk mengontrol perdarahan pada wanita dengan kehamilan ektopik
terganggu dan melakukan (untuk pertama kalinya) laparotomy dengan hati-hati
untuk meligasi pembuluh darah yang mengalami perdarahan di tahun 1884.
Dalam beberapa tahun berikutnya, Tait berhasil mendapatkan pengalaman yang
sangat besar dan sukses dengan prosedur tersebut.
Pada tahun-tahun berikutnya, kemajuan teknik asepsis, anestesi, antibiotik,
dan tranfusi darah, semuanya digabungkan untuk menyelamatkan hidup dari
banyak wanita, namun masih sering terjadi keterlambatan dalam diagnosis dan
intervensi. Bahkan selama paruh pertama abad 20, mortalitas maternal akibat
kehamilan ektopik di US berkisar antara 2-4%. Meskipun prosedur salpingectomy
dan transfusi darah yang dilakukan segera, dapat memperbaiki outcome secara

203

dramatis pada wanita dengan kehamilan ektopik, efek dari metode modern untuk
proses diagnosis dan terapi yang dikembangkan selama 20 tahun terakhir, jauh
lebih hebat. Di akhir 1970an, sekitar 15% wanita dengan kehamilan ektopik,
datang dengan shock hipovolemik, namun di awal 1980an, jumlahnya turun
menjadi <5%. Bersamaan dengan itu, perhatian bergeser dari penyelamatan
kehidupan menjadi pemeliharaan fertilitas.
EPIDEMIOLOGI KEHAMILAN EKTOPIK
Prevalensi kehamilan ektopik meningkat dramatis selama beberapa
dekade terakhir. Data yang diambil dari National Hospital Discharge Survey
menunjukkan bahwa meskipun insiden kehamilan ektopik meningkat hampir 4
kali lipat antara tahun 1970 (4.5/1000 kehamilan) dan tahun 1989 (16/1000
kehamilan), namun resiko kematian terkait kehamilan ektopik menurun hingga
hampir 90% (dari 35.5 menjadi 3.8/10.000 kehamilan ektopik). Pada tahun 1989,
<2% dari keseluruhan kehamilan bersifat ektopik, namun komplikasi yang terkait
dengan hal tersebut masih merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu
terutama pada trimester pertama. Pada tahun 1992, dengan meningkatnya trend
ke arah manajemen operasi tanpa rawat inap dan manajemen medis terhadap
kehamilan ektopik, maka data dari National Hospital Discharge Survey dan
National Hospital Ambulatory Medical Care Survey dikombinasikan, dan
didapatkan estimasi insiden kehamilan ektopik yakni 19.7/1000 kehamilan yang
dilaporkan.
Usaha-usaha yang menentukan trend yang lebih baru mengenai insiden
kehamilan ektopik secara akurat, telah terbukti sia-sia karena jumlah kehamilan
ektopik yang ditangani secara medis tanpa rawat inap telah meningkat secara
dramatis dan tidak tercatat di dalam registrasi rumah sakit. Meski demikian,
dengan mempertimbangkan trend saat ini mengenai insiden infeksi menular
seksual, induksi ovulasi, ART (assisted reproductive technique), dan sterilisasi
tuba (yang kesemuanya merupakan faktor resiko kehamilan ektopik) dan akurasi
dari metode diagnosis kontemporer yang semakin tinggi (sehingga deteksi
kehamilan ektopik makin akurat), maka sangat mungkin bahwa insiden
kehamilan ektopik tetap meningkat.
Tingkat kehamilan ektopik lebih tinggi pada ras kulit hitam dan ras minoritas
lain dibandingkan ras kulit putih pada semua kelompok usia. Di semua ras,
tingkat kehamilan ektopik meningkat secara progresif seiring bertambahnya usia,

204

dan 3-4 kali lebih tinggi pada wanita usia 35-44 tahun bila dibandingkan wanita
usia 15-24 tahun.
Faktor Resiko
Banyak wanita yang mengalami kehamilan ektopik memiliki satu atau lebih
resiko yang dapat terdeteksi. Sebuah analisis komprehensif menggunakan
penelitian case control dan cohort, terhadap wanita dengan kehamilan intra
uterine dan wanita yang tidak hamil sebagai kontrol, telah sangat membantu
dalam menentukan kepentingan faktor-faktor resiko tersebut.
Faktor Resiko Kehamilan Ektopik
Riwayat operasi sebelumnya

4.7-21.0

Operasi tuba
Kehamilan ektopik

Kondisi patologis dalam tuba


Eksposure diethylstilbestrol (DES) dalam uterus
Infeksi genital sebelumnya

Odds Ratio

Gonorrhea
Chlamydia
Pelvic inflammatory disease

Infertilitas
Faktor gaya hidup

Merokok
Usia <18 tahun saat hubungan seksual

pertama
Vaginal douching (cuci vagina)

6.6-8.3
3.5-25.0
5.6
2.9
2.8-3.7
1.7-2.5
2.0-2.5
1.6-2.5
1.6
1.1-3.1

Aborsi sebelumnya

0.3-3.3

Spontan
Induksi

0.9-2.4

Riwayat Operasi Sebelumnya


Operasi tuba meningkatkan resiko kehamilan ektopik setidaknya hingga 5
kali lipat. Bila operasi dilakukan untuk menangani kehamilan ektopik, resiko
terjadinya rekurensi adalah sekitar 10% hingga 27%, yakni sekitar 10 kali lebih
tinggi dibandingkan populasi umum. Wanita dengan kehamilan ektopik berulang
6 kali lebih mungkin telah menjalani operasi tuba sebelumnya dari pada wanita
yang hanya dengan 1 kali kehamilan ektopik. Operasi pelvis atau abdominal
205

yang tidak melibatkan tuba fallopi, termasuk seksio caesaria, operasi ovarium,
appendectomy (tanpa rupture), dan terminasi kehamilan elektif, secara umum
tidak meningkatkan resiko kehamilan ektopik. Resiko terkait dengan prosedur
sterilisasi tuba, didiskusikan selanjutnya dalam bab metode kontrasepsi.
Kondisi Patologi Tuba dan Infeksi Pelvis
Resiko kehamilan ektopik meningkat setidaknya 3 kali lipat untuk wanita
dengan kelainan kondisi tuba. Pada sebagian besar kasus, kerusakan tuba
seringkali disebabkan oleh infeksi menular seksual, di mana yang paling sering
yakni gonorrhea dan chlamydia. Salpingitis menyebabkan keruskan pada
mukosa endosalpingeal, menyebabkan aglutinasi pada lipatan mukosa dan
adhesi

intralumen

yang

dapat

menghambat

migrasi

embryo,

sehingga

mengakibatkan implantasi ektopik. Resiko kehamilan ektopik meningkat 2 kali


lipat untuk wanita dengan antibody Chlamydia di darah dan mayoritas wanita
dengan kehamilan ektopik memiliki antibody tersebut dengan kadar yang tinggi.
Secara keseluruhan, wanita dengan salpingitis memiliki resiko 4 kali lebih besar.
Setelah satu kali mengalami infeksi tuba, resiko kehamilan ektopik adalah sekitar
10% dan akan meningkat progresif bila terjadi infeksi kembali.
Eksposure Diethylstilbestrol dalam Rahim
Resiko kehamilan ektopik meningkat sekitar 5 kali lipat untuk wanita yang
telah terekspose diethylstilbestrol (DES) dalam Rahim. Sejumlah abnormalitas
anatomi tuba ditemukan pada wanita yang terekspose DES, termasuk antara lain
pemendekan dan bentuk tuba yang menggulung, konstriksi fimbriae, dan kista
paratuba, namun apakah abnormalitas ini terkait langsung dengan peningkatan
resiko kehamilan ektopik masih belum diketahui. Meskipun DES telah dilarang
digunakan sejak 1971 setelah diketahui menyebabkan vaginal clear cell
adenocarcinoma, wanita termuda yang pernah terekspose DES masih berada di
usia reproduktifnya dan mungkin sesekali dapat dijumpai.

Infertilitas dan Teknik Reproduksi yang Dibantu (Assisted Reproductive


Technique)
Resiko kehamilan ektopik meningkat sekitar 2 kali lipat pada wanita infertil.
Hubungan antara infertilitas dan infeksi pelvis sebelumnya serta dengan kondisi

206

patologis pada tuba, memberikan satu penjelasan penting. Obat-obat induksi


ovulasi juga dikaitkan dengan peningkatan resiko, namun apakah terdapat faktor
kelainan tuba yang menyertai ataukah terdapat perubahan karakteritik endokrin
akibat siklus yang terstimulasi, masih belum diketahui.
Resiko kehamilan ektopik meningkat sedikitnya 2 kali lipat pada wanita
yang mendapat kehamilan melalui ART (bayi tabung). Memang, sangat menarik
untuk diingat bahwa kehamilan pertama dicapai dengan fertilisasi in vitro (in vitro
fertilization/IVF) dan transfer embryonya ektopik. Meskipun mekanisme yang
menyebabkan hal tersebut masih belum diketahui, namun tampaknya proses
migrasi alami ke tuba dan transfer embryo langsung ke tuba secara tidak hatihati mungkin merupakan penjelasan yang logis untuk kondisi ini. Wanita dengan
infertilitas akibat masalah tuba atau dengan riwayat kehamilan ektopik
sebelumnya, memiliki resiko yang paling tinggi, diduga mungkin karena embryo
yang bermigrasi atau ditransfer ke tuba fallopi tidak kembali ke uterus sebelum
implantasi. Mungkin juga hal ini merupakan efek samping dari peningkatan level
hormon pada siklus IVF terhadap fungsi transport tuba. Tingginya volume media
transfer atau penempatan kateter yang terlalu dalam dapat menjadi faktor
predisposisi kegagalan transfer tuba. Secara teknik, proses transfer yang sulit
telah dikelompokkan sebagai faktor resiko tersendiri.
Kehamilan heterotopik, di mana satu atau lebih embryo terimplantasi di
uterus dan tuba fallopi, sangat jarang terjadi pada kehamilan spontan (sekitar 1
dari 10.000 kehamilan), namun jauh lebih sering pada wanita infertil yang hamil
setelah dilakukan induksi ovulasi atau IVF.
Faktor Gaya Hidup dan Lingkungan
Secara keseluruhan, resiko kehamilan ektopik meningkat setidaknya 2 kali
lipat pada wanita yang merokok. Dibandingkan wanita yang tidak pernah
merokok, resiko kehamilan ektopik meningkat sekitar 50% pada wanita yang dulu
merupakan perokok ringan (1-9 batang per hari) dan resiko meningkat progresif
dengan semakin banyaknya rokok yang dikonsumsi. Penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa mekanisme yang menyebabkan kehamilan ektopik pada
perokok antara lain adalah penurunan efisiensi dari kompleks oocyte-cumulus
saat penangkapan oocyte dan penurunan frekuensi gerak cilia tuba yang
diinduksi oleh komponen kimia dalam rokok. Belum terdapat bukti yang

207

menunjukkan adanya hubungan antara agen kimia atau fisik lainnya dengan
kehamilan ektopik.
Usia yang muda saat hubungan seksual pertama dan jumlah partner
seksual juga terkait dengan sedikit peningkatan resiko kehamilan ektopik, diduga
karena tingginya kemungkinan eksposure terhadap penyakit menular seksual.
Sejumlah penelitian telah menemukan hubungan antara vaginal douching dan
kehamilan ektopik. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar vaginal
douching meningkatkan resiko infeksi ascending, dan peneliti lain mengatakan
bahwa wanita yang mengalami gejala infeksi genital lebih cenderung untuk
melakukan vaginal douching. Hubungan sebab akibat antara douching dan
kehamilan ektopik masih belum diketahui pasti.
Kontrasepsi
Insiden atau resiko mutlak kehamilan ektopik menurun dengan adanya
metode-metode kontrasepsi. Secara keseluruhan (semua metode), tingkat
kehamilan ektopik (tingkat kehamilan x proporsi kehamilan dengan implantasi
ektopik) lebih rendah dibandingkan wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi
(2.6 kehamilan ektopik/1000 wanita dalam 1 tahun).
Dari metode-metode kontrasepsi yang paling sering digunakan, metode
kontrasepsi oral dan vasectomy merupakan metode dengan insiden absolut
kehamilan ektopik yang paling rendah (0.005 kehamilan ektopik/1.000 wanita
setiap tahun). Meskipun tingkatannya juga termasuk rendah, namun insiden
kehamilan ektopik pada sterilisasi tuba 60 kali lebih tinggi (0.32/1.000 wanita tiap
tahun) dan insiden kehamilan ektopik pada IUD 200 kali lebih tinggi (1.02/1.000
wanita tiap tahun). Meski demikian, resiko kehamilan ektopik yang tinggi pada
IUD masih kurang dari separuh bila dibandingkan wanita tanpa kontrasepsi.
US Collaborative Review of Sterilization, yang melibatkan lebih dari 10.000
wanita yang menjalani sterilisasi tuba, menemukan bahwa probabilitas kumulatif
selama 10 tahun untuk terjadinya kehamilan setelah dilakukan sterilisasi adalah
18.5 dari 1.000 prosedur. Data dari penelitian cohort yang sama dan penelitian
lain menunjukkan bahwa sekitar 1/3 dari keseluruhan kehamilan akibat
kegagalan sterilisasi bersifat ektopik. Keseluruhan resiko kumulatif selama 10
tahun untuk kehamilan ektopik setelah dilakukan sterilisasi tuba adalah sekitar
7.3 dari 1000 prosedur, namun resiko bervariasi sesuai metode operasi.
Koagulasi bipolar terkait dengan resiko yang paling tinggi (17.1/1.000 prosedur)

208

dan post partum partial salpingectomy memiliki resiko paling rendah (1.5/1.000
prosedur). Untuk semua metode selain post partum partial salpingectomy,
probabilitas kehamilan ektopik lebih tinggi untuk wanita yang menjalani prosedur
di bawah 30 tahun dibandingkan wanita yang berusia lebih tinggi. Probabilitas
kumulatif selama 10 tahun untuk kehamilan ektopik pada wanita yang menjalani
prosedur koagulasi bipolar sebelum usia 30 tahun (31.9/1000 prosedur) >25 kali
lebih tinggi dari pada wanita dengan post partum partial salpingectomy di semua
usia. Untuk kombinasi semua metode, hanya sekitar 20% dari kehamilan yang
terjadi dalam 3 tahun setelah prosedur sterilisasi tuba yang bersifat ektopik,
namun lebih dari 60% kehamilan yang terjadi setelah 4 tahun atau lebih bersifat
ektopik.
Sebagian besar data yang tersedia terkait resiko kehamilan ektopik yang
berhubungan dengan IUD, didapatkan dari penelitian-penelitian lama yang
melibatkan IUD yang saat ini sudah tidak digunakan. Hanya ada 2 IUD yang saat
ini dipasarkan di US, yakni copper bearing device-IUD dan levonorgestrel (LNG)
IUD. Keduanya sangat efektif dalam mencegah kehamilan intrauterine dan
kehamilan ektopik dengan tingkat kehamilan kumulatif selama 5 tahun yang
setara dengan wanita yang menjalani sterilisasi tuba (0.5-1%). Meskipun begitu,
bila terjadi kehamilan dengan IUD masih berada dalam rahim, maka resiko
kehamilan ektopik menjadi tinggi. Logikanya, IUD memberikan perlindungan
yang lebih baik terhadap implantasi intrauterine dibandingkan ekstrauterine.
Konsekuensinya, sejumlah besar kehamilan yang terjadi akan bersifat ektopik.
Pada satu penelitian terhadap 64 kehamilan pada wanita dengan LNG-IUD,
hampir separuh di antaranya bersifat ektopik.
Kehamilan ektopik, secara anekdot, dilaporkan terjadi setelah pemberian
kontrasepsi oral emergensi. Secara teori, agen-agen progestasional dapat
menghambat motilitas tuba dan menjadi predisposisi untuk implantasi ektopik,
namun tidak satupun dari regimen kontrasepsi oral emergensi yang saat ini
digunakan dapat meningkatkan resiko kehamilan ektopik.

PATOGENESIS IMPLANTASI EKTOPIK


Tuba fallopi sejauh ini merupakan tempat paling sering untuk terjadinya
implantasi ektopik, yakni sekitar 95% dari keseluruhan kehamilan ektopik.

209

Secara keseluruhan, 70% dari kehamilan ektopik berlokasi di ampulla tuba, 12%
di isthmus, 11% di fimbria, dan 2% di segmen interstitial (cornu). Kehamilan
ektopik di tempat lain sangat jarang, sekitar 3% dari keseluruhan implantasi
ektopik berada di ovarium dan sejumlah kecil lainnya berlokasi di cervix dan
abdomen. Apapun yang mengganggu mekanisme transport tuba normal, dapat
menyebabkan kehamilan ektopik. Pada studi histopatologis, perubahan post
inflamasi (salpingitis kronis, salpingitis isthmica nodosa) telah ditemukan pada
hingga 90% dari tuba fallopi pada wanita dengan kehamilan ektopik.
Abnormalitas lain yang ditemukan adalah diverticula dan foci transformasi
desidua yang persisten. Kondisi patologis tuba dapat menetap meskipun telah
dilakukan terapi konservatif, medis, atau operatif, dan dapat menjadi predisposisi
terjadinya rekurensi. Implantasi ektopik itu sendiri dapat makin merusak tuba,
tergantung dari seberapa luas invasi trofoblas.
Histopatologi dari kehamilan ektopik bervariasi sesuai dengan lokasi
implantasi. Pada separuh dari kehamilan ektopik pada ampulla, proliferasi
trofoblas terjadi seluruhnya di dalam lumen, dan lapisan muscularis tetap intak.
Pada separuh kasus sisanya, trofoblas berpenetrasi ke dinding tuba dan
berproliferasi di jaringan ikat longgar antara lapisan muscularis dan serosa. Pada
sebagian besar kasus, ilatasi segmental dari ampulla tuba sebagian besar terdiri
dari darah yang terkoagulasi dan bukan trofoblast. Sebaliknya, implantasi ektopik
di isthmus tuba seringkali berpenetrasi ke dinding tuba sejak masa awal
kehamilan, kemungkinan karena di isthmus lebih banyak segmen muscular yang
tidak dapat terdistensi. Semua kehamilan ektopik tidak ditakdirkan untuk
mengalami rupture. Faktanya, banyak kasus akan mengalami kesembuhan
tanpa intervensi, khususnya dengan regresi spontan atau aborsi tuba (ekspulsi
melalui fimbria).

Lokasi Implantasi Ektopik


Tuba fallopi

80%

Segmen ampulla
Segmen isthmus

12%
210

5%

Ujung fimbriae
Cornu dan interstitial

2%
1.4%
0.2%
0.2%

Abdominal
Ovarium
Cervix

Sejumlah

penelitian

menyebutkan

bahwa

prevalensi

abnormalitas

kromosom meningkat pada kehamilan ektopik dan abnormalitas genetik intrinsik


mungkin dalam beberapa hal dapat menjadi predisposisi terjadinya implantasi
ekstrauterine. Meski demikian, penelitian-penelitian yang lebih teliti tidak dapat
mengkonfirmasi penemuan ini. Faktanya, prevalensi aberasi kromosom di antara
kehamilan ektopik hampir identik dengan angka yang diharapkan terjadi (5%) bila
memperhitungkan usia ibu dan usia gestasi.
DIAGNOSIS KEHAMILAN EKTOPIK
Kehamilan ektopik terkait dengan tiga gejala utama (trias): menstruasi
terlambat, perdarahan vagina ireguler, dan nyeri perut bawah. Meski demikian,
gejala terkait dengan kehamilan ektopik lanjut atau kehamilan ektopik terganggu
(nyeri perut hebat dan hipotensi) saat ini sudah jarang ditemui. Untungnya,
sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik dapat dengan nyeri ringan atau
vaginal spotting beberapa hari sebelum ruptur tuba dan saat ini telah
teridentifikasi dengan tepat, utamanya karena peralatan diagnosis telah lebih
sensitif dan spesifik dibandingkan masa lalu.
Kesadaran yang lebih tinggi akan faktor resiko dan gejala awal, sangat
membantu untuk meningkatkan kecurigaan klinis adanya kehamilan ektopik dan
mengidentifikasi wanita yang memerlukan evaluasi yang tepat dan teliti.
Ketersediaan pemeriksaan yang sangat sensitif dan spesifik untuk subunit I2hCG (human chorionic gonadotropin) telah secara efektif mempersempit
diagnosis banding kehamilan ektopik hingga hanya mencakup problem-problem
terkait kehamilan termasuk ancaman aborsi, missed abortion, aborsi komplit, dan
aborsi inkomplit. Pada sebagian besar wanita, kombinasi dari satu atau lebih
pengukuran kadar I2-hCG dalam serum dan ultrasonography transvaginal dapat
menegakkan diagnosis kehamilan ektopik dalam jangka waktu yang pendek,
atau bahkan segera. Pengukuran serum progesterone dan uterine curettage
(setelah kehamilan intrauterine dipastikan tidak ada) juga memiliki nilai

211

diagnostik. Laparoskopi tetap merupakan pilihan terapi utama namun jarang


diperlukan dalam proses diagnosis.
Sejumlah algoritma diagnosis telah diusulkan untuk wanita yang diduga
mengalami kehamilan ektopik, namun seluruhnya didasarkan pada konsep dasar
yang sama. Evaluasi pre-hospital telah terbukti aman dan efektif. Bahkan saat
diagnosis telah ditegakkan, sebagian besar kasus tidak perlu dilakukan rawat
inap.
Konsentrasi Serum I2-hCG
hCG disekresi oleh syncytiotophoblast dan dapat terdeteksi pada serum ibu
mulai 8-10 hari setelah ovulasi dalam siklus konsepsi normal. Pada atau sekitar
waktu keterlambatan haid pertama, levelnya di serum berkisar antara 50-100
IU/l. Pengukuran modern untuk subunit I2-hCG sangat spesifik dan sensitif,
dengan batas deteksi <5 IU/L. Sehingga, wanita yang diduga mengalami
kehamilan ektopik, yang tidak benar-benar hamil, akan memiliki hasil tes negatif
(tidak ada hormone yang terdeteksi). Hasil negatif palsu (false negative) sangat
jarang, namun pernah ditemukan pada wanita dengan kehamilan ektopik. Hasil
positif palsu (false positive) juga sangat jarang, dan seringkali merupakan akibat
dari antibody heterophilic yang merupakan antibody endogen manusia yang
berikatan dengan antibody hewan (tikus, kelinci, kambing) yang digunakan dalam
sistem pemeriksaan immunometrik komersial sehingga memicu imunoreaktivitas
yang mirip hCG. Meskipun jarang, antibody heterophilic penting untuk dipahami
dan untuk dikenali karena hasil yang terus menerus positif palsu mungkin dapat
disalah artikan sebagai bukti adanya kehamilan ektopik atau penyakit trofoblas
gestasional sehingga menyebabkan evaluasi dan terapi yang kurang sesuai dan
memiliki potensi konsekuensi yang fatal. Hasil positif palsu akan tetap berada
dalam level yang sama dari waktu ke waktu, tidak meningkat ataupun menurun.
Saat presentasi klinis tidak pasti atau tidak konsisten dengan hasil pemeriksaan
laboratorium (khususnya bila tidak terdapat jaringan trofoblas), maka hasil positif
hCG dapat dikonfirmasi dengan beberapa prosedur:
1. Mendapatkan hasil yang sama dengan metode pemeriksaan yang
berbeda
2. Adanya hCG dalam urine
3. Adanya hasil yang sama antara dilusi serial standar hCG dan sampel

serum pasien
4.
Kehamilan Normal
212

Konsentrasi I2-hCG dalam serum meningkat secara eksponensial selama


minggu-minggu pertama kehamilan intrauterine normal. Secara umum,
levelnya akan meningkat dua kali lipat setiap 2-3 hari dan memuncak antara
50.000-100.000 IU/l pada 8-10 minggu usia gestasi. Peningkatan akan
melambat secara bertahap seiring pertambahan usia gestasi dan konsentrasi
I2-hCG akan tetap meningkat, namun pada sebuah interval singkat (dari 2
hingga 4 minggu setelah ovulasi) yang paling penting dalam diagnosis
kehamilan ektopik, polanya hampir linier. Pada proses awal kehamilan normal
intrauterine, level I2-hCG meningkat sekurangnya 66% setiap 48 jam dengan
konsentrasi di bawah 10.000 IU/l. Hanya sedikit dari kehamilan normal yang
memiliki pola peningkatan abnormal (3-10%) dan sebagian besar hanya
bersifat sementara.

Kehamilan Abnormal
Berkebalikan dengan kehamilan normal, pada kehamilan intrauterine yang
gagal atau pada kehamilan ektopik, konsentrasi I2-hCG relatif rendah bila
dibandingkan dengan usia gestasinya (bila dapat ditentukan dengan akurat)
atau hanya meningkat dengan kecepatan yang lebih lambat dibandingkan
kecepatan normal. Sayangnya, level I2-hCG juga dapat meningkat sesuai nilai
normal, setidaknya pada awalnya. Penentuan konsentrasi serum I2-hCG saja
tidak dapat membedakan kehamilan ektopik dengan kehamilan intrauterine
abnormal atau bahkan kehamilan uterine normal. Saat level hCG tidak
meningkat secara normal, atau bahkan turun, kehamilan hampir pasti tidak
viable (tidak dapat hidup), baik intrauterine maupun ektopik. Secara umum,
konsentrasi I2-hCG menurun secara lebih lambat pada kehamilan ektopik bila
dibandingkan dengan aborsi spontan. Probabilitas kehamilan ektopik menjadi
rendah (<10%) bila konsentrasinya menurun dengan cepat (separuh atau
lebih dalam 1-2 hari) dan menjadi tinggi (hampir 90%) saat konsentrasinya
menurun dengan sangat lambat (kurang dari separuh dalam waktu lebih dari 7
hari). Di antara kedua probabilitas tersebut, probabilitas kehamilan ektopik
tetap signifikan (30%). Konsentrasi I2-hCG yang meningkat sesuai nilai normal
memberikan kemungkinan yang kecil untuk kehamilan ektopik, namun tidak
menghilangkan kemungkinan kehamilan ektopik.

Kehamilan Ganda
Saat resiko terjadinya gestasi multiple relatif tinggi, contohnya pada
kehamilan yang dihasilkan dari stimulasi ovarium atau IVF, konsentrasi serum

213

I2-hCG serial lebih sulit untuk diinterpretasi karena standar normal pada
kehamilan normal tunggal mungkin tidak dapat digunakan. Pada sebagian
besar kasus kehamilan ganda, level I2-hCG lebih tinggi daripada normal, yang
merefleksikan kombinasi dari keseluruhan gestasi, namun peningkatannya
sesuai dengan pola normal. Meski demikian, reduksi kehamilan spontan
sering terjadi pada kehamilan ganda dan kehamilan heterotopik juga tidak
jarang terjadi pada kasus kehamilan dengan stimulasi ovarium. Satu atau
lebih gestasi intrauterine yang berkembang normal dapat memproduksi level
hCG yang tinggi atau normal, namun hal tersebut tidak terjadi bila kehamilan
disertai kehamilan intrauterine yang gagal atau gestasi ektopik. Level I2-hCG
pada satu waktu akan merefleksikan produksi hCG gabungan dari seluruh
gestasi, baik normal atau abnormal dan intrauterine ataupun ektopik. Produksi
hCG normal dari gestasi intrauterine yang viable dapat dengan mudah
menutupi kontribusi kecil dari dari gestasi intrauterine yang abnormal.
Alternatifnya, penurunan level produksi hCG dari sebuah kegagalan
kehamilan intrauterine atau gestasi ektopik akan lebih lambat daripada waktu
yang diharapkan meskipun terdapat gestasi intrauterine yang menyertai.
Untuk

meningkatkan

kewaspadaan

terhadap

semua

kemungkinan,

konsentrasi serum I2-hCG harus diinterpretasi secara hati-hati.


Ultrasonography Transvaginal
Pada banyak kasus, USG transvaginal saja dapat menegakkan diagnosis
definitif pada wanita dengan dugaan kehamilan ektopik dengan menunjukkan
gambaran sebuah gestational sac intrauterine atau extrauterine. Pada ruang
gawat darurat atau pada kondisi gawat lainnya, USG dapat mendiagnosis 80%
lebih wanita dengan dugaan kehamilan ektopik. Bila tidak terdapat gestational
sac intrauterine maupun ekstrauterine, maka interpretasi bergantung pada
pemeriksaan konsentrasi serum I2-hCG.

Kehamilan Normal
Sebuah gestational sac merupakan penanda utama USG pada kehamilan
intrauterine fase awal. Sac tersebut terdiri dari sebuah pusat yang bersifat
sonolucent (hitam) dengan cincin echogenic yang tebal, yang dibentuk oleh
reaksi desidua di sekitarnya. Gestational sac khususnya dapat diobservasi
dalam 30-35 hari setelah onset menstruasi pada siklus konsepsi. Transduser
modern dengan frekuensi tinggi (>5 MHz) dapat mendeteksi gestational sac

214

pada waktu yang lebih awal dibandingkan probe dengan frekuensi yang lebih
rendah. Ketiadaan gestational sac intrauterine 38 hari atau lebih setelah onset
menstruasi atau 24 hari setelah konsepsi merupakan bukti kuat untuk dugaan
adanya kehamilan ektopik. Kriteria tersebut berguna bila riwayat menstruasi
tercatat dengan baik atau konsepsi terjadi dengan pengawasan ketat, namun
hanya memiliki nilai praktis yang rendah bila diaplikasikan secara luas,
kemungkinan

karena

perdarahan

ireguler

seringkali

terjadi

sehingga

menyulitkan penentuan usia gestasi.


Konsep zona diskriminasi, yakni konsentrasi minimum I2-hCG dalam
serum di mana gestational sac pasti selalu terdeteksi pada kehamilan
intrauterine normal, telah merevolusi pendekatan diagnostik pada wanita
dengan dugaan kehamilan ektopik. Saat konsep tersebut pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1981, USG transabdominal menjadi standar
pemeriksaan dan zona diskriminasi adalah 6.000-6.500 IU/l. Dengan
pengembangan transduser endovagina berfrekuensi tinggi, zona diskriminasi
menurun secara progresif dan saat ini 1.000-2.000 IU/l. Pada situasi apapun,
zona diskriminasi atau nilainya akan tergantung pada pengalaman pemeriksa
dan tipe peralatan yang digunakan. Terkadang, obesitas, bentuk uterus, atau
myoma, akan mempersulit proses interpretasi.

Kehamilan Abnormal
USG memiliki nilai diagnostik lebih dari hanya sekedar mengenali ada atau
tidaknya

gestational

sac

intrauterine.

Bila

tidak

terdapat

kehamilan

intrauterine, maka pemeriksaan yang teliti terhadap regio adnexa dan cavum
Douglasi dapat memberikan tambahan informasi yang berguna. Bukti adanya
gestasi ekstrauterine dapat teridentifikasi hingga 80-90% dari seluruh
kehamilan ektopik. Hasil observasi berupa gestational sac dengan yolk sac,
embryo, atau aktivitas cardiac di luar uterus, menegakkan diagnosis
kehamilan ektopik dan dapat menjadi dasar bagi terapi segera. Sebuah
kompleks massa di adnexal (bukan sebuah kista sederhana) atau cairan di
Cavum Douglasi, meningkatkan kemungkinan dugaan kehamilan ektopik,
namun tidak dapat menjadi dasar terapi. Hasil-hasil lainnya bahkan tidak
memberikan kesimpulan apapun. Beberapa pakar mengatakan bahwa
pengukuran

ketebalan

endometrium

memiliki

nilai

prediktif

karena

endometrium pada wanita dengan kehamilan ektopik lebih tipis daripada


wanita dengan kehamilan intrauterine baik viable maupun non-viable. Meski
demikian,

peneliti

lain

telah

menemukan
215

banyak

variasi

ketebalan

endometrium di antara wanita dengan dugaan kehamilan ektopik atau


perbedaan yang terlalu kecil untuk digunakan secara klinis.
Bila tersedia, USG Color Doppler dan Pulsed Doppler dapat meningkatkan
akurasi diagnosis. Sebuah gestational sac intrauterine yang kecil terkadang
sulit untuk dibedakan dari sebuah pseudosac (darah di cavum uteri) yang
sering ditemui pada sekitar 10% dari wanita dengan kehamil ektopik.
Perubahan vaskuler lokal yang terkait dengan sebuah gestational sac yang
sebenarnya dapat juga digunakan untuk membedakan keduanya. Denyut
vaskuler dan kecepatan aliran darah arteri meningkat pada masa awal
kehamilan intrauterine. Luasnya aliran arteri di sekitar trofoblas berkaitan
dengan ukuran gestational sac dan konsentrasi serum I2-hCG. Mirip dengan
hal tersebut, massa adnexa dapat dibedakan dengan karakteristik aliran darah
di sekitarnya. Meski demikian, metode ini memiliki beberapa kegagalan dalam
proses diagnosis dan memerlukan dokter yang ahli untuk melakukannya.
Evaluasi Awal
Tidak peduli seberapapun konsentrasi serum I2-hCG, adanya gestational
sac intrauterine secara efektif mengeksklusi diagnosis kehamilan ektopik, kecuali
bila terdapat kehamilan heterotopik. Dengan konsentrasi hCG di atas zona
diskriminasi, maka ketiadaan gestational sac merupakan bukti kuat adanya
kehamilan ektopik, namun kemungkinan lain tetap harus dipertimbangkan
sebelum memulai terapi. Pada aborsi inkomplit, gestational sac intrauterine
mungkin tidak ada atau akan sulit dideteksi. Pada aborsi komplit yang baru
terjadi, serum I2-hCG mungkin akan menurun dengan cepat namun masih lebih
tinggi dari normal. Bahkan, sebuah kehamilan intrauterine yang viable tetap tidak
dapat dieksklusi secara penuh bila terdapat kecurigaan adanya gestasi multipel.
Konsentrasi serum I2-hCG lebih tinggi pada gestasi multipel bila dibandingkan
pada kehamilan tunggal pada usia gestasi yang sama. Berdasarkan hal tersebut,
zona diskriminasi menjadi sedikit lebih tinggi dan gestational sac mungkin masih
belum tampak. Bila konsentrasi hCG di bawah zona diskriminasi, ketiadaan
gestational saci tidak intrauterine tidak memberikan kesimpulan apapun sehingga
tanda klinis (instabilitas hemodinamik), gejala (nyeri), dan temuan USG lainnya
(gestational sac ekstrauterine, massa di kompleks adnexa, cairan di cavum
Douglasi) harus dijadikan petunjuk dalam manajemen klinis. Pada beberapa
wanita, kondisi klinis yang dialami memerlukan diagnosis definitif operatif yang
harus segera dilakukan. Sedangkan beberapa wanita lain memerlukan follow up

216

ketat dan evaluasi tambahan hingga kemungkinan kehamilan ektopik (sekitar


20%) dapat benar-benar dieksklusi.
Evaluasi Lanjutan
Setelah pengukuran awal, penilaian terhadap kecenderungan konsentrasi
serum I2-hCG akan memberikan lebih banyak informasi daripada pengukuran
konsentrasi absolut I2-hCG. Bila tidak terdapat perubahan signifikan dari status
klinis, maka penurunan level I2-hCG dengan cepat, hanya perlu ditindaklanjuti
dengan observasi lanjutan karena kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik
sangat rendah. Penurunan yang lambat atau peningkatan yang abnormal dari
level I2-hCG menandakan adanya kehamilan non-viable yang mungkin dapat
bersifat ektopik ataupun intrauterine, namun secara virtual mengeksklusi
kemungkinan kehamilan intrauterine yang viable. Hal yang sama juga dapat
disimpulkan bila level I2-hCG mengalami kenaikan normal hingga di atas nilai
zona diskriminasi dan hasil USG tidak memberikan kesimpulan pasti (tidak
terdapat gestational sac intrauterine ataupun ekstrauterine). Pada kedua kasus
tersebut, dapat diberikan terapi medis dengan aman, namun diagnosis
kehamilan ektopik sebelumnya menjadi tidak akurat dan terapi menjadi tidak
sesuai hingga pada 40% wanita. Sehingga, pengambilan sampel uterus atau
curettage direkomendasikan untuk membedakan kedua kemungkinan tersebut
(didiskusikan selanjutnya). Bila konsentrasi hCG di bawah zona diskriminasi,
peningkatan normal dari konsentrasi I2-hCG harus ditindaklanjuti dengan
observasi dan pengawasan lanjutan, kecuali hasil USG menunjukkan sebuah
gestational sac ekstrauterine. Terkadang, sebuah abnormalitas adnexa yang baru
(kompleks massa) atau peningkatan gejala akan memerlukan diagnosis definitif
berupa operasi bila kemungkinan kehamilan intrauterine yang viable tidak dapat
dieksklusi penuh.

217

KONSENTRASI PROGESTERONE
Konsentrasi serum progesterone secara umum pada kehamilan ektopik
lebih rendah dibandingkan pada kehamilan intrauterine Konsentrasi serum
progesterone secara umum pada kehamilan ektopik lebih rendah dibandingkan
pada kehamilan intrauterine yang viable. Penjelasan yang paling mungkin adalah
218

karena produksi hCG yang lebih rendah pada kehamilan ektopik. hCG yang
disekresi oleh gestasi ektopik secara kimia dan biologi sama dengan hCG yang
disekresi oleh kehamilan intrauterine, namun tingkat produksinya lebih lambat,
terutama karena trofoblas ektopik berproliferasi lebih lambat dan kurang aktif
secara biologis. Produksi progesterone oleh corpus luteum di awal kehamilan
diregulasi terutama oleh tingkat perubahan konsentrasi hCG. Pada kondisi
normal, peningkatan level hCG secara eksponensial menyebabkan reseptor
LH/hCG terikat secara maksimal sehingga memberikan stimulasi maturasi
corpus luteum dan terjadi peningkatan jumlah reseptor yang tersedia.
Sebaliknya, hanya sedikit kehamilan ektopik yang memiliki tingkat produksi hCG
normal untuk jangka panjang. Konsekuensinya, sekresi progesterone mungkin
akan meningkat secara normal di awal kehamilan namun sangat lambat,
sehingga konsentrasinya dalam serum lebih rendah. Belum ada bukti yang
mendukung hipotesis alternatif bahwa fungsi luteal yang buruk pada kehamilan
ektopik disebabkan karena penurunan atau tidak adanya produksi faktor-faktor
feto-placental trophic lainnya, yang berbeda dari hCG.
Level progesterone dalam serum yang terkait dengan kehamilan
intrauterine fase awal baik normal maupun abnormal serta dengan kehamilan
ektopik, memiliki variasi yang luas dan terkadang tumpang tindih. Meski
demikian, konsentrasi progesterone dalam serum dapat memberikan informasi
prognostik tambahan yang mungkin berguna dalam evaluasi pada beberapa
wanita dengan dugaan kehamilan ektopik. Probabilitas kehamilan intrauterine
yang viable meningkat sesuai konsentrasi progesterone dalam serum. Level
konsentrasi >20 ng/mL hampir selalu mengindikasikan kehamilan intrauterine
normal. Sebaliknya, konsentrasi <5 ng/mL hampir selalu mengindikasikan
kehamilan non-viable baik ektopik maupun intrauterine. Sayangnya, 50% dari
kehamilan ektopik, hampir 20% dari aborsi spontan, dan hampir 70% dari
kehamilan intrauterine yang viable memiliki level progesterone dalam serum
antara 5 hingga 20 ng/mL. Selain itu, karena pengecualian terhadap apa yang
ada dapat terjadi, maka tidak satupun dari kedua nilai tersebut yang sangat
bergantung pada individu. Hanya sekitar 0.3% wanita dengan kehamilan
intrauterine yang viable memiliki konsentrasi progesterone serum <5 ng/mL,
namun

sekitar

3%

dari

kehamilan

ektopik

yang

memiliki

konsentrasi

progesterone di atas 20 ng/mL. Penggunaan pengukuran serum progesterone


dalam proses evaluasi terhadap wanita dengan dugaan kehamilan ektopik juga

219

terhambat bila konsepsi merupakan hasil dari stimulasi ovarium. Pada kasus
tersebut, sering ditemukan level progesterone yang lebih tinggi karena stimulasi
biasanya menghasilkan lebih dari satu corpus luteum.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa level progesterone <5 ng/mL dapat
mengindentifikasi wanita yang dapat menjalani curettage dengan aman untuk
mencari villi chorionic untuk membedakan secara akurat kehamilan ektopik
dengan aborsi spontan. Kemungkinan dilakukannya intervensi yang tidak sesuai
terhadap kehamilan intrauterine normal dengan menggunakan pendekatan ini
memang sangat rendah (hanya sekitar 0.3%), namun bahkan resiko sekecil
itupun dianggap sangat tinggi.
Curettage Uterine
Bila USG tidak memberikan kesimpulan pasti dan konsentrasi I2-hCG
berada di atas zona diskriminasi, meningkat abnormal, atau bahkan menurun,
maka kemungkinan adanya kehamilan intrauterine yang viable telah secara
efektif tereksklusi, kecuali pada fase awal kehamilan ganda, dan hanya bila level
I2-hCG mengalami peningkatan.
Kemungkinan lainnya, seperti kehamilan ektopik dan kehamilan intrauterine
yang non-viable, dapat dibedakan dengan curettage uterus. Bila didapatkan villi
chorionic, maka mengeksklusi kehamilan ektopik, namun tidak mengeksklusi
kehamilan heterotopic. Ketiadaan villi meningkatkan kemungkinan kehamilan
ektopik, meskipun hal tersebut bisa didapatkan aborsi komplit yang baru saja
terjadi ataupun kegagalan teknik pengambilan atau pengenalan villi. Bila
dianggap terjadi kehamilan ektopik, tanpa dilakukan uterine curettage, maka
kesalahan diagnosis yang dapat menyebabkan ketidaktepatan terapi, dapat
terjadi

pada

hampir

40%

wanita.

Konsekuensinya,

uterine

curettage

direkomendasikan sebelum diagnosis dan terapi kehamilan ektopik bila


kehamilan intrauterine yang viable tidak dapat dieksklusi dengan pasti. Bila ada,
maka inspeksi kasar terhadap hasil curettage dalam larutan saline akan
mendapatkan villi chorionic yang jelas pada sekitar 50% kasus. Frozen section
dan pemeriksaan histologis dapat mendeteksi villi dalam 80% hingga 90%
specimen yang didapatkan pada wanita dengan abortus spontan dan bila ada,
maka direkomendasikan untuk tidak menunda diagnosis definitif. Di samping itu,
bisa dilakukan pemeriksaan serum I2-hCG post operasi. Penurunan cepat
konsentrasi

I2-hCG

dalam

12-24

jam

220

setelah

curettage

memperkuat

kemungkinan abortus komplit dan dapat dilakukan manajemen konservatif


hingga tersedia laporan patologi.
Uterine curettage mahal, memerlukan ruang operasi dan anestesi (pada
beberapa institusi), dan memiliki resiko komplikasi yang kecil namun pasti. Bila
dibandingkan, aspirasi uterine dengan menggunakan suction catheter lebih
sederhana untuk dapat dilakukan tanpa harus rawat inap dan sifatnya minimal
invasive. Hasil dari aspirasi uterine dan curettage secara umum berkaitan erat
bila dilakukan karena dugaan adanya kondisi patologis di endometrium
(hiperplasi atau carcinoma). Sayangnya, biopsy kateter tidak efektif untuk
menggantikan curettage dalam evaluasi dugaan kehamilan ektopik. Sensitivitas
pipelle biopsy (aspirasi) dalam mendeteksi villi chorionic sangatlah buruk, hanya
berkisar antara 30% hingga 60%. Bila terapi didasarkan pada hasil biopsy
aspirasi kateter, maka 1 dari 3 wanita dengan aborsi mungkin akan menerima
terapi medis atau operatif yang tidak perlu atau tidak sesuai. Sebaliknya,
sensitivitas yang tinggi dari curettage dan pemeriksaan histologi frozen section
(80-90%) membuat kesalahan diagnosis dari kehamilan ektopik tidak lebih dari 2
dari 10 wanita dengan aborsi spontan. Meskipun jarang, penting untuk diingat
bahwa villi chorionic terkadang dapat ditemukan pada hasil curettage wanita
dengan kehamilan ektopik.
Culdocentesis
Secara tradisional, culdocentesis yang dilakukan untuk menentukan ada
atau tidaknya darah yang tidak menggumpal (unclotted) di cavum peritoneal,
merupakan bagian integral dari evaluasi diagnostik pada wanita dengan dugaan
kehamilan ektopik, namun saat ini tidak lagi. USG merupakan metode yang lebih
tidak invasif dan dapat memberikan informasi yang sama dengan rasa sakit yang
lebih kecil bila dibandingkan dengan culdocentesis. Pada wanita asimtomatik
atau simtomatik ringan dengan hemodinamik stabil, adanya darah di cavum
Douglasi tidak dapat digunakan untuk membedakan kehamilan ektopik yang
rupture dan tidak rupture dan tidak memprediksikan kegagalan atau kesuksesan
terapi. Wanita dengan nyeri hebat atau hemodinamik tidak stabil khususnya
memerlukan evaluasi operatif, tidak peduli apakah terdapat cairan atau tidak di
cavum Douglasi. Sehingga, culdocentesis tidak memberikan informasi tambahan
yang berguna.

221

SKRINING UNTUK KEHAMILAN EKTOPIK


USG transvaginal dan pemeriksaan serum I2-hCG terbukti memiliki nilai
diagnostik dalam proses evaluasi wanita simtomatik dengan dugaan kehamilan
ektopik. Tidak mengagetkan bahwa beberapa pusat studi mengaplikasikan kedua
metode

diagnosis

tersebut

dalam

melakukan

skrining

terhadap

wanita

asimtomatik dengan resiko tinggi kehamilan ektopik. Pada prakteknya, wanita


dengan resiko tinggi mungkin akan disarankan untuk menghubungi dokter
segera setelah diduga terjadi kehamilan, dan bila benar, maka wanita tersebut
akan menjalani pemantauan dengan teliti dengan menjalani pemeriksaan I 2-hCG
serial dan beberapa kali USG. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah
melakukan evaluasi hanya pada wanita dengan gejala klinis berupa nyeri atau
perdarahan vagina. Pertimbangan yang dilakukan dalam melakukan skrining
untuk wanita resiko tinggi adalah bahwa diagnosis dini terhadap kehamilan
ektopik dapat memungkinkan penanganan awal dan terapi non invasive yang
dapat meminimalkan kerusakan tuba dan menekan biaya. Meski demikian,
skrining luas terhadap wanita tanpa gejala, sangat mahal dan meningkatkan
kemungkinan diagnosis positif palsu dari kehamilan ektopik yang mungkin
mengakibatkan pemberian terapi medis atau operatif yang tidak perlu atau tidak
sesuai.
Baik dari perspektif klinis maupun ekonomi, efektifitas biaya dalam
melakukan skrining tergantung dari prevalensi atau resiko kehamilan ektopik
dalam populasi yang dipilih untuk melakukan skrining. Bila resikonya rendah,
maka sangat sedikit kehamilan ektopik terganggu yang akan dicegah, dan biaya
yang dihabiskan untuk skrining sangat melebihi keuntungan dan tabungan yang
didapatkan (dari diagnosis dini dan terapi medis, namun bukan terapi operatif).
Bila dilakukan uterine curettage untuk semua kehamilan non-viable yang
didapatkan melalui skrining, biaya yang diperlukan bahkan jauh lebih besar
karena mayoritas merupakan abortus spontan yang dapat dilakukan manajemen
konservatif. Bila resikonya tinggi, keuntungan dan tabungan yang didapatkan dari
pencegahan kehamilan ektopik terganggu akan lebih besar dan lebih baik dari
biaya yang diperlukan untuk skrining.
Hasil dari analisis keputusan menunjukkan bahwa skrining mungkin dapat
dilakukan bila resiko kehamilan ektopik adalah sekitar 8% atau lebih. Pada
tingkat resiko tersebut, skrining diharapkan dapat mencegah 1-2 kehamilan
ektopik terganggu dan bisa didapatkan <1 hasil diagnosis positif palsu untuk

222

setiap 100 wanita yang menjalani skrining. Dengan melihat sekitar 2% latar
belakang terjadinya kehamilan ektopik dan mempertimbangkan peningkatan
insiden terkait dengan faktor resiko tertentu, skrining dapat dilakukan untuk
wanita dengan operasi tuba sebelumnya, riwayat kehamilan ektopik, atau wanita
dengan eksposure DES dalam rahim, dan wanita dengan kelainan tuba atau
mengalami kehamilan dengan IUD masih terpasang. Skrining kurang dapat
diterima bila dilakukan pada wanita dengan faktor resiko hanya berupa riwayat
infertilitas atau infeksi pelvis.
MANAJEMEN MENUNGGU (EXPECTANT)UNTUK KEHAMILAN EKTOPIK
Tidak semua dugaan kehamilan ektopik atau bahkan yang telah terbukti,
memerlukan terapi. Pada beberapa wanita, manajemen dengan menunggu
merupakan pilihan yang tepat dengan kemungkinan sukses yang tinggi. Pada
konteks ini, manajemen menunggu tidak sama dengan observasi sederhana
saja. Manajemen menunggu meliputi pengawasan hati-hati terhadap gejala
klinis, konsentrasi serum I2-hCG, dan USG transvagina. Intinya, manajemen
menunggu identik dengan manajemen yang direkomendasikan untuk wanita
dengan dugaan kehamilan ektopik namun dengan USG yang tidak dapat
disimpulkan dan level I2-hCG di bawah zona diskriminasi.
Bila tidak terjadi perubahan signifikan pada status klinis, wanita dengan
kehamilan ektopik (dugaan atau terbukti) dapat diobservasi selama level I2-hCG
menurun dengan teratur. Secara umum, sekitar 25% dari kehamilan ektopik
mengalami penurunan konsentrasi I2-hCG dan sekitar 70%-nya (sekitar 18% dari
seluruh kehamilan ektopik) akan mengalami resorbsi spontan tanpa terapi medis
atau operatif. Kemungkinan kesuksesan manajemen menunggu ini tinggi bila
tidak terdapat gestational sac dari USG dan level I 2-hCG relatif rendah. Bila
konsentrasi dasar I2-hCG kurang dari 1.000 IU/l dan terus menurun, maka hampir
90% dari kehamilan ektopik akan teregresi tanpa terapi. Manajemen menunggu
dapat sukses pada 60% wanita dengan penurunan konsentrasi I 2-hCG di bawah
2.000 IU/l, namun gagal pada lebih dari 90% konsentrasi >2.000 IU/l. Yang paling
penting, hasil jangka panjang (kehamilan intrauterine dan ektopik selanjutny)
setelah manajemen menunggu yang sukses, dapat diperbandingkan dengan
yang dicapai dengan terapi medis dan operatif.
TERAPI MEDIS UNTUK KEHAMILAN EKTOPIK

223

Methotrexate, kalium klorida, glukosa hyperosmolar, actinomycin-D, dan


prostaglandin, telah digunakan sebagai terapi medis kehamilan ektopik dengan
sukses. Injeksi lokal langsung ke gestational sac ekstopik dengan guiding USG
atau laparoskopik telah berulang kali dilakukan namun saat ini terbatas pada
terapi kehamilan ektopik di tempat-tempat yang tidak biasa (abdominal, cervical,
interstitial) atau kondisi tidak biasa (kehamilan heterotopik). Terapi methotrexate
sistemik lebih sederhana dan lebih tidak invasif. Methotrexate telah dipelajari
dengan ekstensif, dan saat ini ditetapkan sebagai terapi medis lini pertama yang
efektif sebagai alternatif terapi operatif untuk kehamilan ektopik. Manajemen
medis dapat menghindarkan morbiditas anestesi dan operasi serta menurunkan
biaya. Tingkat kesuksesan dan kemampuan reproduktif di masa depan, setara
dengan manajemen operatif.
Methotrexate merupakan antagonis asam folat yang menginaktivasi enzim
dihydrofolate

reductase,

sehingga

menurunkan

konsentrasi

simpanan

tetrahydrofolate, sebuah kofaktor penting untuk sintesis DNA dan RNA selama
multiplikasi sel. Jaringan dengan proliferasi cepat seperti trofoblas, sangat rentan
terhadap aksi agen tersebut.
Dengan pertimbangan bahwa methotrexate telah lama digunakan dengan
sukses untuk terapi penyakit trofoblas gestasional, maka obat ini merupakan
pilihan logis untuk terapi kehamilan ektopik. Bahkan pada wanita dengan fase
awal kehamilan intrauterine yang tidak diinginkan, terapi methotrexate dapat
menurunkan tingkat kenaikan level serum I2-hCG, sehingga hasilnya, konsentrasi
progesterone dan 17-hydroxyprogesterone juga menurun.
Indikator Prognosis
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menentukan karakteristik USG
dan biokimia yang mungkin dapat memprediksikan kesuksesan atau kegagalan
terapi medis untuk kehamilan ektopik. Ukuran gestational sac ekstrauterine, ada
atau tidaknya aktivitas jantung embryo, atau cairan di cavum Douglasi, dan
konsentrasi dasar serum I2-hCG dan progesterone, semuanya telah diperiksa
sebagai indikator prognosis yang potensial.

Karakteristik USG
Sebuah gestational sac ektopik atau massa berukuran lebih dari 3-4 cm
secara umum dianggap sebagai kontraindikasi relatif untuk terapi medis
dengan methotrexate. Hanya sedikit data untuk mendukung rekomendasi
224

tersebut, terutama karena semua penelitian telah membatasi terapi untuk


wanita dengan kehamilan ektopik dengan ukuran <3.5-4 cm. Pada satu studi
terhadap 44 wanita yang diterapi dengan injeksi methotrexate intratuba,
kehamilan ektopik berukuran 2 cm atau kurang, akan lebih banyak mengalami
regresi (76%) dari pada massa yang berukuran besar (52%). Meski demikian,
penelitian-penelitian yang lebih besar yang melibatkan terapi methotrexate
sistemik, tidak melihat adanya korelasi antara ukuran gestational sac dengan
kesuksesan terapi, mungkin karena kehamilan ektopik tidak selalu dapat
dibedakan dengan gumpalan darah di sekitarnya atau karena ukuran tidak
dapat secara akurat menjadi prediktor untuk viabilitas. Nyatanya, perbedaan
ini tidak terlalu penting, karena hanya sedikit kehamilan ektopik yang diperiksa
dengan USG, memiliki ukuran >4 cm.
Adanya aktivitas jantung embryonik dan cairan di cavum Douglasi,
dianggap sebagai kontraindikasi relatif terhadap terapi medis. Terapi medis
mengalami kegagalan signifikan (lebih sering) bila terdapat aktivitas jantung,
namun juga seringkali sukses. Cairan bebas di peritoneum, yang diduga
darah, telah dipandang sebagai bukti yang menandakan adanya rupture tuba
dan perdarahan intra-abdomen. Pada penelitian lebih lampau, 70-80% dari
kehamilan ektopik, terkait dengan hasil culdocentesis yang positif (hasil
berupa darah yang tidak menggumpal), meskipun hanya 40-50% yang
mengalami rupture. Studi-studi yang lebih baru yang melibatkan USG,
menunjukkan bahwa cairan bebas peritoneum dapat ditemukan pada hampir
40% wanita dengan kehamilan ektopik fase awal tanpa rupture, dan ada atau
tidaknya cairan bebas ini tidak secara akurat memprediksikan kesuksesan
atau kegagalan terapi medis. Sehingga, cairan di cavum Douglasi, hanya
memiliki nilai prognostik yang relatif kecil.

Karakteristik Biokimia
Bila observasi USG memiliki nilai prognostik yang terbatas, maka
konsentrasi serum I2-hCG justru cukup berguna. Kemungkinan kegagalan
terapi medis terkait langsung dengan konsentrasi awal serum I 2-hCG, makin
tinggi level I2-hCG makin rendah kemungkinan sukses.
Korelasi antara serum I2-hCG dan kesuksesan terapi, dapat dimengerti.
Serum I2-hCG yang tinggi menandakan kehamilan ektopik fase lanjut yang
masih viable dan terus tumbuh. Sebaliknya konsentrasi I 2-hCG yang rendah
dan ketiadaan aktivitas jantung embryo terkait dengan kehamilan ektopik fase

225

sangat awal atau kehamilan ektopik yang gagal, sehingga sangat sensitif
terhadap methotrexate. Tidak mengagetkan, prevalensi aktivitas jantung
embryo meningkat sesuai peningkatan konsentrasi I2-hCG. Aktivitas jantung
hanya terdapat pada 5% kehamilan ektopik yang memiliki level I 2-hCG <5.000
IU/l, namun terdapat pada 27% kehamilan ektopik dengan konsentrasi I2-hCG
antara 5.000 hingga 10.000 IU/l, dan 41% pada konsentrasi I2-hCG antara
10.000 dan 15.000 IU/l, serta 50% pada konsentrasi I 2-hCG >15.000 IU/l.
Korelasi antara konsentrasi I2-hCG dan aktivitas jantung embryo menjelaskan
mengapa terapi medis seringkali gagal bila terdapat aktivitas jantung.
Konsentrasi I2-hCG
<1.000 IU/l
1.000-1.999 IU/l
2.000-4.999 IU/l
5.000-9.999 IU/l
10.000-14.999 IU/l
>15.000 IU/l

Tingkat Kesuksesan Terapi


98% (CI=96-100)
93% (CI=85-100)
92% (CI= 86-97)
87% (CI=79-98)
82% (CI=65-98)
68% (CI=49-88)

Secara umum, dapat diharapkan secara logis bahwa konsentrasi serum


progesterone berkorelasi dekat dengan level I2-hCG. Sehingga, penghitungan
level serum progesterone tidak memiliki nilai prediksi tambahan yang
signifikan.

Regimen Terapi Methotrexate Sistemik


Dapat dimengerti bahwa percobaan awal terapi methotrexate untuk
kehamilan ektopik mulai dilaksanakan setelah regimen ini digunakan luas dalam
terapi penyakit trofoblas gestasional. Konsekuensinya, regimen terapi yang
pertama kali diberikan berupa dosis harian multiple yang berselang-seling antara
methotrexate dan asam folat (juga dikenal sebagai leukovorin atau citrovorum).

Hari 1

Regimen Dosis-Multipel
Pemeriksaan I -hCG, CBC, hitung platelet, tes
2

fungsi ginjal, tes fungsi liver


Hari 2
Hari 3
Hari 4

Methotrexate
Leukovorin
Methotrexate
Leukovorin

1.0 mg/kg i.m


0.1 mg/kg i.m
1.0 mg/kg i.m
0.1 mg/kg i.m

Pemeriksaan I2-hCG
226

Hari 5

Methotrexate

1.0 mg/kg i.m

Hari 6

Pemeriksaan I2-hCG
Leukovorin

0.1 mg/kg i.m

Hari 7

Pemeriksaan I -hCG
Methotrexate

1.0 mg/kg i.m

Hari 8

Pemeriksaan I -hCG
Leukovorin

0.1 mg/kg i.m

Pemeriksaan I -hCG, CBC, hitung platelet, tes


Mingguan

fungsi ginjal, tes fungsi liver


Pemeriksaan I2-hCG (hingga negatif)

Methotrexate dan leukovorin diberikan secara bergantian setiap hari,


hingga maksimal 4 dosis, sampai level serum I 2-hCG menurun 15% dari nilai
sebelumnya. Setelahnya, dilakukan pemeriksaan konsentrasi I2-hCG setiap
minggu hingga I2-hCG tidak terdeteksi. Paket terapi tambahan dapat diberikan
dengan regimen yang sama, bila diperlukan.
Seiring perkembangan terapi medis, mulai diperkenalkan regimen dengan
dosis tunggal untuk menyederhanakan terapi, meningkatkan ketaatan terapi, dan
menurunkan efek samping serta biaya. Karena tujuan-tujuan tersebut akhirnya
tercapai, maka di tahun-tahun terakhir ini, regimen dosis tunggal telah
menggantikan regimen dosis multipel.

Hari 1

Regimen Dosis Tunggal


Pemeriksaan I -hCG, CBC, hitung platelet, tes
2

fungsi ginjal, tes fungsi hati


Hari 4
Hari 7

Methotrexate
Pemeriksaan I2-hCG
Pemeriksaan I2-hCG, CBC, hitung platelet, tes

Mingguan

fungsi ginjal, tes fungsi hati


Pemeriksaan I2-hCG (hingga negatif)

50 mg/m2 i.m

Methotrexate diberikan dalam dosis tunggal bila serum I 2-hCG menurun


15% atau lebih antara hari 4 dan 7. Setelahnya, konsentrasi I 2-hCG diperiksa
setiap minggu hingga tidak terdeteksi. Pada sebagian besar wanita (85%),
konsentrasi serum I2-hCG meningkat antara hari 1 dan 4. Observasi ini normal
dan tidak mengindikasikan kegagalan terapi. Meski demikian, peningkatan lebih

227

lanjut dari level I2-hCG mengindikasikan untuk pemberian dosis kedua atau dosis
selanjutnya dengan protokol terapi dan follow up yang sama.
Hasil Terapi Methotrexate
Terapi methotrexate sistemik dengan dosis tunggal dan multiple, belum
pernah diperbandingkan secara langsung pada penelitian, namun keduanya
mencapai tingkat kesuksesan yang tinggi (75-95%) pada sejumlah serial kasus
independen. Sebuah penelitian meta-analisis yang membandingkan terapi dosis
tunggal dengan dosis multipel, mengkombinasikan data dari 26 penelitian
terpisah yang melibatkan 1.327 kasus kehamilan ektopik yang diterapi dengan
methotrexate sistemik (regimen dosis tunggal: 1.067 wanita; regimen dosis
multiple: 260 wanita). Meskipun tidak sepenuhnya definitif dan terbebas dari bias,
penelitian ini setidaknya mendapatkan dua hasil observasi yang berguna.
Pertama adalah, hasil dari terapi baik dosis tunggal (kesuksesan 88.1%)
dan dosis multiple (kesuksesan 92.7%) cukup bagus. Meski demikian, bila dilihat
dari perspektif sebaliknya, tingkat kegagalan untuk terapi dosis tunggal (127 dari
1.067=11.9%) lebih tinggi secara signifikan (Odds ratio 1.71, CI=1.04-2.82) dari
pada dosis multiple (19 dari 260=7.3%). Setelah dilakukan penyesuaian untuk
indikator-indikator prognostik lainnya (konsentrasi serum I2-hCG dan aktivitas
jantung embryonal), peningkatan resiko kegagalan terapi dosis tunggal bahkan
lebih mencengangkan (Odds ratio 4.74, CI=1.77-12.62).Perbedaan kasar pada
tingkat kesuksesan antara kedua regimen terapi tersebut (sekitar 5%), dapat
dibandingkan dengan observasi pada penelitian-penelitian lain dan menunjukkan
bahwa untuk setiap 20 wanita yang diterapi dengan terapi dosis multiple,
setidaknya dapat dihindarkan satu prosedur operatif tambahan. Kedua adalah,
terapi dosis tunggal seringkali melibatkan lebih dari satu dosis methotrexate
(15%) dan regimen dosis multiple seringkali memerlukan kurang dari 4 dosis
(50%). Tingkat kesuksesan lebih tinggi didapatkan pada wanita yang diberikan
terapi dosis tunggal kedua dan lebih rendah pada wanita memerlukan lebih dari 4
dosis terapi dosis multiple. Observasi ini menunjukkan bahwa regimen terapi
medis

yang

optimal

masih

belum

didapatkan,

namun

mungkin

dapat

menggunakan 2 hingga 4 dosis methotrexate.


Tingkat patensi tuba ipsilateral setelah pemberian terapi medis yang
sukses untuk kehamilan ektopik, setara dengan hasil yang didapatkan setelah
terapi konservatif operasi laparoskopik (salpingostomi linier) dan berkisar antara

228

60-85%. Di antara pasien-pasien yang masih ingin hamil lagi, kemampuan


reproduktif serta outcome kehamilannya juga mirip dengan terapi laparoskopik.
Secara umum, 50-80% wanita yang diberikan terapi methotrexate, selanjutnya
bisa mendapatkan kehamilan intrauterine dan 10-20% mengalami rekurensi
kehamilan ektopik.Wanita dengan kehamilan ektopik terkait IUD, biasanya
memiliki prognosis yang lebih baik, karena mungkin kondisi kehamilan ektopik
yang terjadi bukan disebabkan karena kondisi patologis tuba. Sebagaimana
diprediksikan, wanita dengan usia lebih tua, wanita dengan riwayat infertilitas,
dan wanita dengan riwayat kehamilan ektopik atau kerusakan tuba sebelumnya,
memiliki prognosis yang lebih buruk. Intinya, fertilitas setelah kehamilan ektopik
lebih bergantung pada karakteristik pasien daripada metode terapi.
Indikasi dan Kontraindikasi Methotrexate
Secara logika, kandidat terbaik untuk terapi medis kehamilan ektopik,
adalah pasien dengan kemungkinan kesuksesan terapi yang besar, meskipun
terdapat beberapa pertimbangan praktis penting lainnya. Kandidat ideal memiliki
karakteristik sebagai berikut:

Kriteria absolut
o Hemodinamik stabil
o Tidak ada bukti perdarahan intra-abdomen akut
o Komitmen untuk mengikuti perawatan follow up
o Tidak ada kontraindikasi untuk terapi methotrexate
Kriteria relatif
o Gejala minimal atau tidak ada (nyeri)
o Konsentrasi serum I2-hCG <10.000 IU/l
o Tidak ada aktivitas jantung embryonal
o Massa gestasi ektopik berdiameter <4 cm
4 kriteria yang pertama adalah yang paling penting. Di antara 4 kriteria
yang kedua, kriteria nomer 1 merupakan pertimbangan praktis, di mana sangat
sulit untuk memberikan terapi medis pada wanita dengan nyeri hebat atau terus
menerus.

kriteria

selanjutnya

memprediksikan

tingginya

probabilitas

kesuksesa. Terapi medis tidak dikontraindikasikan untuk kehamilan ektopik


dengan konsentrasi serum I2-hCG >10.000 IU/l atau terdapat aktivitas jantung
embryonal, namun kemungkinan kegagalan dan resiko terjadinya rupture tuba
meningkat secara substansial. Kriteria terakhir sesuai dengan kesepakatan di
mana belum ada data yang menunjukkan keamanan prosedur terapi medis untuk
wanita dengan ukuran kehamilan ektopik yang lebih besar. Wanita yang tidak

229

sesuai dengan kriteria absolut di atas atau memiliki kontraindikasi terhadap terapi
methotrexate, bukan merupakan kandidat untuk diberikan terapi medis.
Kontraindikasi untuk terapi methotrexate adalah:

Menyusui
Kondisi imunodefisiensi
Alkoholisme atau ada bukti penyakit liver kronis (peningkatan transaminase)
Penyakit ginjal (peningkatan serum creatinine)
Abnormalitas hematologis (anemia berat, leukopenia, thrombocytopenia)
Hipersensitivitas terhadap methotrexate
Penyakit paru aktif
Ulkus peptikum

Komplikasi Terapi Methotrexate Sistemik


Meskipun terapi medis dapat menjadi pilihan terapi awal untuk sebagian
besar wanita dengan kehamilan ektopik tak terganggu, terapi ini tidak selalu
menjadi pilihan terbaik untuk semua wanita. Terapi medis dapat menghindarkan
anestesi

dan

operasi

invasif,

namun

juga

memiliki

kekurangan.

Bila

dikomunikasikan dengan bagus dan diberikan hak untuk memilih, beberapa


wanita lebih memilih operasi daripada terapi medis.
Bila operasi biasanya merupakan terapi definitif dan diikuti oleh kembalinya
fungsi ke normal kembali, maka terapi medis terkadang dapat membosankan
dan memberikan rasa tidak nyaman. Hasil dari terapi medis dan terapi operatif
konservatif harus dimonitor dengan pengukuran serum I2-hCG secara serial
untuk memastikan bahwa terapi telah berhasil, namun biasanya konsentrasi I2hCG akan turun dua kali lebih cepat dengan operasi. Saat terapi medis tidak
berhasil, maka waktu penyembuhan (konsentrasi serum I2-hCG tidak terdeteksi)
secara umum terkait dengan konsentrasi awal I2-hCG; di mana waktu rata-rata
untuk mencapai penyembuhan sempurna sekitar 5 minggu. Sayangnya,
beberapa wanita mungkin memerlukan waktu monitoring hingga 3 bulan atau
lebih sebelum I2-hCG benar-benar tidak terdeteksi.
Gejala nyeri seringkali timbul atau meningkat dalam beberapa hari setelah
pemberian terapi methotrexate. Penyebabnya tidak diketahui, tapi paling
mungkin karena terjadi abortus tuba (ekspulsi melalui fimbria) atau ketegangan
peritoneum akibat hematoma. Keluhan sering kali memerlukan evaluasi ulang,
namun bukan merupakan indikasi untuk operasi segera. Meskipun nyeri yang

230

terjadi kemungkinan adalah nyeri akibat separasi, namun juga terdapat


kemungkinan rupture tuba. Sebagian besar wanita dapat diyakinkan kembali dan
melanjutkan manajemen rawat jalan. Beberapa wanita memerlukan rawat inap
untuk menjalani observasi yang lebih ketat. Meskipun sebagian besar wanita
dengan

nyeri

hebat

atau

tidak

tertahankan

setelah

pemberian

terapi

methotrexate dapat ditangani dengan pemberian analgesik dan pemeriksaan


hematocrit serial selama kondisi hemodinamiknya stabil, namun ketaatan
terhadap terapi medis sangat sulit diketahui pada wanita dengan nyeri hebat.
Efek samping dari methotrexate juga relatif sering terjadi, namun biasanya
minor dan hanya sementara; prevalensinya lebih tinggi pada terapi dosis multiple
dibandingkan dosis tunggal. Peningkatan transaminase hepar merupakan efek
samping yang paling sering terjadi. Mual, muntah, dan diare mungkin terjadi
akibat gastritis atau enteritis akibat methotrexate. Efek samping yang lebih jarang
antara lain stomatitis, alopecia sementara, dan pneumonitis. Efek samping yang
serius jarang terjadi, di antaranya supresi berat terhadap sum-sum tulang dan
hepatotoksisitas. Bila perlu, diberikan terapi leukovorin yang dapat membantu
keparahan efek samping dan mempercepat kesembuhan.
Setelah pemberian terapi methotrexate, separuh dari kehamilan ektopik
yang dimonitor dengan USG serial mengalami peningkatan ukuran, yang paling
mungkin disebabkan oleh pembentukan hematoma. Meski begitu, sebagian
besar wanita tetap asimtomatik. Terkadang, massa gestasi tetap ada selama
beberapa minggu, bahkan setelah konsentrasi I2-hCG tidak terdeteksi lagi.
Tampaknya bijaksana untuk menunda upaya kehamilan berikutnya hingga massa
tersebut hilang sempurna, namun apakah penundaan ini perlu dilakukan atau
dapat menurunkan resiko rekurensi kehamilan ektopik, masih belum diketahui.
Bila dibandingkan dengan wanita yang menjalani terapi operatif, wanita
yang menjalani terapi medis lebih sering mengalami perdarahan vagina
berkepanjangan dan lebih banyak mengalami depresi serta keterbatasan dalam
fungsi fisik dan sosial. Rupture tuba yang memerlukan operasi emergensi dapat
terjadi selama terapi medis, bahkan saat level serum I2-hCG menurun sesuai
normal; rupture tuba dapat terjadi dalam 6 minggu setelah dimulainya terapi
medis. Bukti yang didapatkan dari penelitian randomized yang membandingkan
terapi methotrexate sistemik dengan terapi operasi konservatif menunjukkan
bahwa 15% dari wanita yang awalnya diterapi medis pada akhirnya memerlukan
operasi, dan separuhnya karena terjadi rupture tuba. Kehamilan ektopik di

231

isthmus tuba memiliki resiko rupture yang lebih tinggi, namun tidak dapat secara
akurat dengan implantasi ampulla tanpa melakukan laparoskopi. Untungnya,
rupture tuba tampaknya tidak menyebabkan efek samping secara independen
terhadap fertilitas atau kehamilan selanjutnya.
Terapi Medis Lokal dengan Injeksi Langsung
Methotrexate juga dapat diberikan dengan injeksi lokal langsung (1 mg/kg)
ke gestational sac ektopik dengan guiding laparoskopi atau USG. Metode ini
memberikan methotrexate dengan konsentrasi tinggi ke tempat implantasi dan
methotrexate akan mencapai konsentrasi dalam sirkulasi yang setara dengan
terapi sistemik. Banyak pengalaman dengan injeksi lokal langsung methotrexate
telah dikumpulkan, terutama di Eropa. Secara umum, hasilnya tampak tidak
konsisten, namun dapat disetarakan dengan hasil yang dicapai oleh terapi
sistemik. Injeksi lokal langsung juga lebih invasive, lebih mahal, dan memerlukan
skill teknik yang lebih tinggi. Dengan kerugian tersebut, dan tidak ada
keuntungan yang lebih besar, terapi methotrexate sistemik lebih dipilih.
Pengalaman dengan injeksi lokal langsung dengan medikasi lain (kalium
klorida,

glukosa

hyperosmolar)

masih

terbatas.

Secara

umum,

efikasi,

keamanan, dan efek jangka panjangnya terhadap fertilitas masih belum


diketahui. Meski demikian, injeksi kalium klorida atau glukosa hyperosmolar intra
tuba memiliki satu peran penting. Pada kehamilan heterotopic, metode ini dapat
menghilangkan implantasi ektopik tanpa mengganggu kehamilan intrauterine
tanpa harus melakukan operasi.
Profilaksis Rh Immune Globulin
Meskipun

terapi

dengan

Rh

(D)

immunoglobulin

umumnya

direkomendasikan untuk semua wanita Rh(-) dengan kehamilan ektopik atau


abortus spontan, namun bukti yang mendukung rekomendasi ini lemah. Secara
umum, kemungkinan terjadi sensitisasi Rh setelah kehamilan ektopik sangatlah
kecil karena hanya sedikit kehamilan ektopik yang memiliki cukup darah untuk
menyebabkan sensitisasi tersebut. Dimungkinkan bahwa terapi hanya diperlukan
untuk kehamilan ektopik yang mencapai usia gestasi sekurangnya 8 minggu.
Meski demikian, rekomendasi saat ini adalah dengan memberikan sekurangnya
50 mg Rh immunoglobulin ke semua wanita Rh(-) non sensitisasi dengan
kehamilan ektopik atau abortus spontan (proteksi terhadap perdarahan feto-

232

maternal hingga 2.5 ml). Karena efek samping dan komplikasi dari terapi ini yang
jarang terjadi, secara keseluruhan keuntungan terapi lebih tinggi daripada resiko
yang mungkin terjadi.
TERAPI OPERASI UNTUK KEHAMILAN EKTOPIK
Hingga akhir-akhir ini, sebagian besar kehamilan ektopik ditangani secara
operatif dan salpingectomy merupakan operasi yang paling sering dilakukan.
Karena metode diagnosis dini terhadap kehamilan ektopik tak terganggu telah
muncul dan digunakan secara luas, terapi operasi secara bertahap bergeser ke
prosedur yang lebih konservatif seperti salpingostomy dan reseksi segmental.
Bahkan, sebagian besar operasi masih dilakukan melalui laparotomy. Tidak lama
setelahnya, operasi laparoskopik menjadi terapi standar untuk kehamilan ektopik
tak terganggu. Dengan instrumentasi yang tersedia saat ini, bahkan sebagian
besar dari kehamilan ektopik terganggu dapat ditangani dengan sukses melalui
laparoskopi.
Untuk penanganan kehamilan ektopik, laparoskopi memiliki beberapa
manfaat dibandingkan laparotomy: kehilangan darah lebih sedikit, adhesi lebih
sedikit, waktu operasi lebih singkat, waktu rawat inap lebih singkat (biasanya <24
jam),

penurunan

kebutuhan

pemberian

analgesik

post

operasi,

dan

penyembuhan yang lebih cepat, sehingga semua itu menurunkan biaya


perawatan.
Teknik Operasi
Prosedur operasi yang direkomendasikan untuk kehamilan ektopik pada
ampulla adalah salpingostomy linier. Teknik yang digunakan akan dijelaskan
lebih lanjut. Sebuah insisi longitudinal dibuat di permukaan antimesenterik tuba
fallopi secara langsung di atas massa dengan menggunakan electrosurgical
needle atau gunting, atau laser, dan produk konsepsi diambil dengan hati-hati
menggunakan forceps atau irigasi. Injeksi pre-eliminer dengan larutan dilusi
berupa aqueous vasopressin (1 unit/ml) atau oksitosin (20 unit) ke mesosalphinx
di sekitarnya, dapat membantu meminimalisir jumlah elektrokauter yang
diperlukan untuk hemostasis. Insisi dapat ditutup kembali, namun biasanya
ditinggalkan agar sembuh sendiri; outcome reproduktif jangka panjang sama
untuk kedua teknik tersebut. Karena massa ektopik biasanya hanya terletak di
bawah serosa, maka mukosa endosalphing seringkali tidak terganggu.

233

Salpingostomi dapat dilakukan dengan sukses pada sekitar 80% wanita, dan
sisanya terjadi perdarahan persisten yang memerlukan salpingectomy. Prosedur
salpingostomy yang gagal biasanya terkait dengan konsentrasi I2-hCG yang
tinggi, mungkin karena hal tersebut menandakan kehamilan ektopik fase lanjut
yang memiliki neovaskularisasi tinggi.
Ekspresi (pendorongan keluar) melalui fimbria pada kehamilan ektopik
beresiko menyebabkan kerusakan yang lebih besar pada tuba dan paling baik
dilakukan hanya untuk kehamilan ektopik yang telah terprotrusi melalui
fimbriae.Adanya propagasi (perjalanan) subserosasl khusus pada kehamilan
ektopik di ampulla menjelaskan mengapa pendorongan ke fimbria (untuk ektopik
yang terletak di proksimal) tidak direkomendasikan. Kehamilan ektopik di isthmus
paling baik ditangani dengan eksisi segmental, diikuti dengan re-anastomosis
microsurgical tubo-tubal (segera atau nanti). Lumen dari segmen isthmus tuba
fallopi jauh lebih sempit daripada ampulla, sehingga lebih mungkin mengalami
kerusakan akibat salpingostomy, dan rentan mengalami obstruksi post operasi.
Segmen yang terkena hanya perlu dieksisi kemudian dipastikan perdarahan
berhenti.
Terapi operasi konservatif tidak selalu menjadi pilihan yang terbaik atau
paling sesuai. Pada kondisi tertentu, salpingectomy menjadi pilihan yang lebih
tepat. Pada semua kasus, setiap usaha harus dilakukan untuk menjaga kondisi
ovarium. Indikasi satu-satunya untuk dilakukan salpingo-oophorectomy (yang
jarang terjadi) adalah perdarahan yang tidak dapat dikontrol dengan cara
konservatif apapun.
Indikasi salpingectomy:

Sudah melewati usia reproduksi


Kehamilan ektopik rekuren di tuba fallopi yang sama
Perdarahan tak terkontrol
Kerusakan tuba ekstensif

Hasil Terapi Operatif


Secara umum, tingkat kehamilan intrauterine kumulatif, lebih tinggi secara
signifikan setelah dilakukan terapi operasi konservatif daripada setelah dilakukan
salpingectomy; insiden kehamilan ektopik rekuren juga sama. Wanita yang
menikah cenderung untuk hamil lagi dibandingkan wanita yang tidak menikah.
Wanita dengan tuba kontralateral yang normal memiliki probabilitas yang lebih
tinggi untuk mendapatkan kehamilan intrauterine dan resiko rekurensi kehamilan

234

ektopik yang lebih rendah daripada wanita dengan kondisi patologis pada tuba
kontralateralnya.
Terapi operasi konservatif berhasil (tidak memerlukan terapi tambahan)
dilakukan pada sekitar 90% wanita dengan kehamilan ektopik tak terganggu.
Kombinasi hasil dari 3 penelitian random menunjukkan bahwa operasi
konservatif sedikit kurang sukses bila dikerjakan dengan laparoskopi bila
dibandingkan laparotomy (RR 0.90, CI=0.83-0.97), karena insiden dari trofoblas
persisten lebih tinggi. Untuk wanita yang menginginkan untuk tetap fertil di masa
selanjutnya, tingkat patensi tuba (80-90%), kehamilan intrauterine (55-75%), dan
rekurensi kehamilan ektopik (10-15%) sama untuk laparoskopi maupun
laparotomy.
Kehamilan Ektopik Persisten
Kehamilan ektopik persisten merupakan komplikasi paling sering pada
terapi operasi konservatif untuk kehamilan ektopik. Fenomena ini pertama kali
diketahui pada tahun 1979. Insiden mengenai kehamilan ektopik persisten yang
dilaporkan sangat bervariasi mulai dari 3% hingga hampir 30%, sebagian karena
adanya perbedaan definisi (peningkatan serum I2-hCG post operasi vs
pertumbuhan berkelanjutan yang memerlukan terapi tambahan). Para dokter
harus selalu waspada akan kemungkinan tersebut karena kehamilan ektopik
yang tidak terdeteksi sering kali rupture selama periode post operasi.
Faktor resiko terjadinya kehamilan ektopik persisten masih belum diketahui
pasti. Insiden kehamilan ektopik persisten tampaknya tinggi pada terapi operasi
laparoskopik dibandingkan laparotomy. Resiko kehamilan ektopik persisten
mungkin meningkat bila operasi dilakukan pada fase awal (sebelum usia gestasi
6 minggu) dan dilakukan pada kehamilan ektopik yang kecil (diameter <2 cm)
yang mungkin lebih sulit untuk diidentifikasi dan dieksisi dengan sempurna.
Peneliti lain mengatakan bahwa resiko kehamilan ektopik persisten terkait
langsung dengan konsentrasi awal I2-hCG, namun belum diketahui hubungan
yang konsisten antara kedua hal tersebut.
Cara paling efektif untuk mengidentifikasi kehamilan ektopik persisten
adalah dengan monitor level serum I2-hCG pada masa post operasi.
Rekomendasi yang ada bervariasi mulai dari setiap 3 hari hingga 2 minggu. Hari
pertama post operasi, konsentrasi serum I2-hCG memiliki nilai prediktif yang
signifikan; makin tinggi penurunannya dari nilai sebelum operasi, maka makin

235

kecil insiden kehamilan ektopik persisten. Penurunan 50% merupakan nilai


ambang dengan sensitifitas sebesar 42% dan spesifisitas 88%. Wanita dengan
penurunan konsentrasi I2-hCG <50% 3 kali lebih mungkin mengalami kehamilan
ektopik persisten (RR 3.51, CI=1.25-6.68), namun resiko ini menjadi sangat
rendah bila konsentrasi I2-hCG turun hingga 80% atau lebih. Berdasarkan
observasi ini, paling baik untuk melakukan pengukuran serum I2-hCG pada hari 1
post operasi dan setiap 3-7 hari setelahnya, tergantung dari tingkat penurunan,
hingga tidak terdeteksi lagi. Pada pasien dengan bukti adanya kehamilan ektopik
persisten (peningkatan atau penurunan lambat konsentrasi I2-hCG post operasi),
maka pemberian regimen methotrexate dosis tunggal sangat efektif.
Hasil-hasil yang didapat dari penelitian random menunjukkan bahwa terapi
medis post operasi sebagai profilaksis dapat digunakan untuk meminimalisir
resiko terjadinya kehamilan ektopik persisten. Wanita yang menerima terapi
methotrexate profilaksis (1 mg/kg i.m) dalam 24 jam setelah operasi konservatif,
memiliki resiko yang jauh lebih rendah untuk mengalami kehamilan ektopik
persisten (1/54, 1.9%) dari wanita yang hanya diobservasi saja (9/62, 14.5%).
Terapi dapat dilakukan dengan rutin atau hanya diberikan pada wanita yang tidak
mengalami penurunan konsentrasi I2-hCG hingga 50% pada hari 1 post operasi.
Apakah terapi profilaksis diberikan atau tidak, level I2-hCG tetap harus dimonitor
hingga negatif.
TIPE-TIPE KEHAMILAN EKTOPIK YANG TIDAK BIASA
Kehamilan heterotopic dan kehamilan ektopik abdominal, ovarium,
interstitial, serta cervical, memberikan tantangan tersendiri dan seringkali
memerlukan terapi yang sesuai individu masing-masing.
Kehamilan Heterotopik
Kehamilan heterotopik melibatkan gestasi intrauterine dan ekstrauterine
yang ada secara bersamaan. Seringkali dikatakan insiden kehamilan heterotopic
sekitar 1/30.000 kehamilan yang berasal dari penghitungan lebih dari 50 tahun
lalu, berdasarkan observasi terhadap insiden kehamilan ektopik (0.37%) dan
kembar dizigotik (0.8%) pada waktu itu. Hari ini, kalkulasi yang sama
memberikan angka estimasi insiden sebesar 1/4.000 dan 1/7.000 kehamilan.
Pada lebih dari 90% kehamilan heterotopic, implantasi ektopik berada di tuba
fallopi.

236

Kehamilan heterotopic seeringkali tidak terdeteksi pada fase awal karena


baik konsentrasi serum I2-hCG maupun USG dapat memberikan hasil yang
salah. Peningkatan level I2-hCG normal yang berasal dari perkembangan
kehamilan intrauterine, biasanya dapat menghalangi pola abnormal yang sering
didapatkan dari kehamilan ektopik, dan saat USG melihat adanya kehamilan
intrauterine, maka kemungkinan adanya kehamilan ektopik akan tereksklusi.
Konsekuensinya, diagnosis menjadi terlambat dan hampir separuh dari
kehamilan heterotopic hanya dikenali setelah terjadi rupture tuba. Tanda dan
gejala kehamilan heterotopic mirip dengan gejala kehamilan ektopik namun
sayangnya, seringkali tidak didapatkan.
Terapi kehamilan heterotopic dipersulit

dengan adanya kehamilan

intrauterine. Manajemen menunggu tidak sesuai untuk dilakukan karena baik


level serum I2-hCG maupun USG tidak dapat dengan akurat menentukan proses
perjalanan kehamilan ektopik yang ada serta kemungkinan resiko rupture. Terapi
methotrexate sistemik merupakan kontraindikasi bila terdapat kehamilan
intrauterine yang viable dan memang diinginkan. Bahkan injeksi methotrexate
lokalpun kurang bijaksana dilakukan karena methotrexate dapat mencapai
sirkulasi sistemik. Terapi operasi dengan salpingostomy atau salpingectomy lebih
efektif. Reduksi embryo secara selektif dengan pemberian injeksi kalium klorida
atau glukosa hyperosmolar lokal ke gestational sac ektopik merupakan terapi lain
yang tersedia yang telah terbukti sukses.
Kehamilan Abdominal
Kehamilan ektopik abdominal jarang terjadi, dengan estimasi insiden
sekitar 1/10.000 kehamilan dan 1/100 kehamilan ektopik. Mortalitas maternal
terkait dengan kehamilan ektopik abdominal (setidaknya 5/1.000 kasus)
merupakan yang paling tinggi di antara semua tipe kehamilan ektopik. Kehamilan
abdominal mungkin merupakan kehamilan primer (tempat asli lokasi implantasi)
atau sekunder (akibat implantasi ulang dari aborsi tuba parsial atau
perpanjangan interligamen dari kehamilan tuba yang rupture).
Gejala yang paling sering ditemui adalah nyeri abdomen, mual dan
muntah, malaise umum (seluruh tubuh), dan gerak fetal yang sangat
menyakitkan, dan temuan pemeriksaan fisik yang paling sering adalah nyeri
tekan abdomen, letak fetus abnormal, dan pergeseran cervix uterus. USG
merupakan metode paling akurat untuk diagnosis, namun kurang dari separuh

237

dari seluruh kehamilan abdomen yang dapat dikenali sebelum terjadi perdarahan
intraabdomen. Operasi emergensi merupakan terapi pilihan, kecuali pada kasus
jarang di mana kehamilan abdominal telah mencapai fase lanjut dengan janin
yang viable. Bila secara teknik dapat dilakukan, maka plasenta harus diambil,
karena komplikasi (perdarahan, abses, sepsis, obstruksi usus, kista cairan
amnion, hipofibrinogenemia) sangat sering terjadi. Saat pengambilan placenta
tidak dapat dilakukan secara teknis, maka terapi methotrexate diberikan untuk
mempercepat degenerasi plasenta, namun efikasinya masih belum terbukti.
Kehamilan Ovarium
Kehamilan ovarium terjadi pada kurang dari 3% dari seluruh kehamilan
ektopik. Tanda dan gejala sama dengan kehamilan ektopik tuba. Faktanya,
karena kehamilan ektopik ovarium seringkali tertutup dengan corpus luteum yang
mengalami perdarahan saat operasi, diagnosis seringkali dibuat oleh ahli
patologi setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi terhadap specimen yang
dieksisi selama operasi. Meskipun, bersifat sangat akademis, diagnosis
kehamilan ovarium memiliki kriteria spesifik: (1) tuba ipsilateral intak, terpisah
jelas dari ovarium; (2) sebuah gestational sac menutupi posisi ovarium; (3)
sebuah gestational sac terhubung ke uterus melalui ligament ovarium; dan (4)
jaringan ovarium di dinding gestational sac. Terapi untuk semua kehamilan
ektopik ovarium adalah operasi, karena alasannya sudah jelas, namun mungkin
sejumlah kehamilan ektopik yang saat ini diterapi secara medis merupakan
implantasi ovarium.
Kehamilan Interstitial
Tidak lebih dari 2% kehamilan ektopik tuba berimplantasi di segmen
interstitial, yang terletak di dalam dinding uterus dan berukuran panjang 1-2 cm.
Menariknya, sejumlah wanita dengan kehamilan ektopik interstitial memiliki
riwayat kehamilan ektopik ipsilateral atau salpingectomy sebelumnya. Kehamilan
hasil dari IVF juga memiliki resiko yang tinggi untuk terjadinya kehamilan ektopik
interstitial. Pada sebuah penelitian serial terhadap 32 kehamilan interstitial yang
dikumpulkan oleh Society for Reproductive Surgeons, 13 di antaranya
merupakan kehamilan ektopik rekuren, 12 dari kehamilan ektopik rekuren
tersebut

merupakan

wanita

dengan

riwayat

salpingectomy

sebelumnya, dan 11 lainnya adalah wanita yang hamil melalui IVF.

238

ipsilateral

Berdasarkan kearifan ginekologis konvensional, kehamilan interstitial


jarang mengalami rupture sebelum mencapai usia 12 minggu gestasi karena
myometrium di sekitar segmen tuba interstitial sifatnya lebih distensible (mudah
teregang) daripada lapisan muscularis di bagian tuba fallopi yang lebih distal.
Meski demikian, pada penelitian kasus tersebut di atas, 14 dari 32 (44%) kasus
mengalami rupture sebelum ditegakkan diagnosis dan semuanya terjadi sebelum
usia 12 minggu (rata-rata 6.9 minggu; rentang 5-12 minggu).
Sebagian besar kasus kehamilan interstitial terdiagnosis setelah gejala
khas kehamilan ektopik mulai muncul. Lokasi yang tidak biasa dari kehamilan
interstitial membuat diagnosis menjadi sulit, namun karakteristik yang didapatkan
dari USG juga unik. Seorang pemeriksa yang teliti dan berpengalaman dapat
mengobservasi adanya gestational sac atau massa heterogen eksentrik,
penipisan lapisan myometrium yang abnormal, atau sebuah segmen tuba
interstitial yang prominent (linea interstitialis), di mana kriteria terakhir tersebut
memiliki sensitifitas (80%) dan spesifisitas (98%) diagnosis yang paling besar.
Bila

terjadi

keraguan,

dapat

dilakukan

laparoskopi

untuk

benar-benar

membedakan kehamilan interstitial sebenarnya dengan kehamilan intrauterine


normal namun berbentuk eksentrik atau angular.
Sejak

dulu,

terapi

tradisional

untuk

kehamilan

interstitial

adalah

histerektomi atau reseksi cornual dengan laparotomy, terutama karena sebagian


besar kehamilan interstitial tidak terdeteksi sebelum terjadi rupture dan seringkali
menyebabkan perdarahan masif. Meskipun diagnosis dini kehamilan interstitial
dapat

memberikan

kemungkinan

diberikannya

terapi

medis

dengan

methotrexate, namun pengalaman klinis yang terbatas menunjukkan bahwa


insiden kegagalan terapi mungkin lebih tinggi dari yang diperkirakan. Terapi
medis terhadap kehamilan interstitial pada wanita dengan hemodinamik tidak
dikontraindikasikan. Meski demikian, dengan mempertimbangkan resiko yang
tinggi dan potensi kegagalan terapi serta bukti terkini bahwa kehamilan interstitial
dapat

mengalami

rupture

sewaktu-waktu,

maka

terapi

operasi

primer

(laparotomy, laparoskopi, histeroskopi) dapat dilakukan. Injeksi lokal kalium


klorida secara langsung merupakan pilihan terapi lain dan mungkin dapat
digunakan untuk terapi bagi kehamilan interstitial heterotopik.
Kehamilan Cervical

239

Kehamilan ektopik cervical sangat jarang terjadi, dengan insiden antara


1/2.500 hingga 1/10.000 kehamilan. Riwayat dilatasi dan curettage sebelumnya
terbukti menjadi salah satu faktor predisposisi kehamilan cervical; lebih dari 2/3
wanita dengan kehamilan cervical memiliki riwayat curettage sebelumnya. IVF
dan riwayat seksio caesaria sebelumnya juga meningkatkan resiko kehamilan
cervical.
Perdarahan vagina tanpa nyeri merupakan gejala klasik kehamilan cervical.
Cervix biasanya membesar atau terdistensi dan tampak hiperemik atau sianotik.
Seringkali, diagnosis didapatkan tidak sengaja saat dilakukan USG rutin atau
curettage karena dugaan adanya abortus inkomplit. Diagnosis awal dapat
didasarkan pada hasil observasi USG berupa gestational sac di endocervical
yang terkait dengan ivasi trofoblas di bawah os cervical internal yang tertutup.
Pada wanita dengan kehamilan cervical dengan hemodinamik stabil, maka
terapi konservatif ditujukan untuk menjaga uterus dan menurunkan resiko
perdarahan masif. Sebuah strategi manajemen yang sangat bervariasi telah
dilakukan dengan sukses. Terapi lokal/sistemik dengan methotrexate telah
sukses dilakukan pada lebih dari 80% wanita dengan kehamilan cervical. Strategi
terapi lain termasuk embolisasi arteri uterine dan injeksi kalium klorida lokal.
Intracervical balloon tamponade, dengan atau tanpa cervical cerclage, dapat
membantu mencegah atau mengontrol episode perdarahan yang dapat terjadi
setelah

terapi

medis

konservatif.

Histerektomi

direkomendasikan

untuk

kehamilan cervical fase lanjut pada trimester kedua atau trimester ketiga dan
untuk manajemen terhadap perdarahan tak terkontrol.

240

Anda mungkin juga menyukai