Anda di halaman 1dari 5

PENGARUH MUKA AIR LAUT DALAM PEMBENTUKAN

KALISIWUNGU DAERAH RINDAM, SEMARANG, JAWA


TENGAH
Irham Bani M
Irham.mardiyosa.gmail.com
Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Jl, Prof. Suedharto S. H, Tembalang Semarang, Jawa Tengah
ABSTRACT
Banyak dapat ditemukan fosil maupun track pada daerah kali siwungu dimana dari
fosil tersebut dapat menceritakanevents yang ada ini dapat dijadikan suatu cirri atau penanda
bagaimana proses geologi yang terjadi dari organisme itu hidup sampai organisme tersebut
mati. Pada daerah ini, keterdapatan fosil cangkang organisme yang cukup mendominasi
adalah organisme dari Filum Mollusc akelas Pelecypoda dan Gastropoda. Kedua jenis fosil
organisme ini menjadi penyusun batuan-batuan yang tersingkap pada daerah pengamatan ini.
Studi yang dilakukan untuk mendeterminasi pola arsitektur daerah pengamatan ini yaitu
dengan menggunakan analisis tafonomi. Analisis tafonomi ini digunakan untuk mengkaitkan
suatu pola system track yang terbentuk dengan dominansi organisme yang ada. Dengan
mengamati dominansi organisme ini, kita dapat mengetahui batas-batas suatu sekuen
stratigrafi yang juga berkaitan dengan fasies stratigrafi tempat terendapkannya fosil
organisme yang ada.
Keywords :Jawa Tengah, Kalisiwungu, fosil, tafonomi
PENDAHULUAN

Pada hari Minggu tanggal 24


November 2013 dilakukan observasi
lapangan makropaleontologi dengan
acara invertebrata yang bertempat di
daerah Sungai Pengkol, Tembalang,
Jawa Tengah .
Berdasarkan asal katanya, fosil
berasal dari bahasa latin yaitu fossa
yang berarti galian, adalah sisa-sisa atau
bekas-bekas makhluk hidup yang menjadi
batu atau mineral. Untuk menjadi fosil,
sisa -sisa hewan atau tanaman ini harus
segera tertutup sedimen. Oleh para pakar
dibedakan
beberapa
macam
fosil.

Berdasarkan dari definisi fosil, maka fosil


harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut: 1. Sisa-sisa organisme. 2.
Terawetkan secara alamiah. 3. Pada
umumnya padat /kompak/keras. 4.
Berumur lebih dari 11.000 tahun. Istilah
fosil hidup adalah istilah yang
digunakan suatu spesies hidup yang
menyerupai sebuah spesies yang hanya
diketahui dari fosil. Beberapa fosil hidup
antara lain ikan coelacanth dan pohon
ginkgo. Fosil hidup juga dapat mengacu
kepada sebuah spesies hidup yang tidak
memiliki spesies dekat lainnya atau
sebuah kelompok kecil spesies dekat yang
tidak memiliki spesies dekat lainnya.
Fosil-fosil yang bermacam jenis ini sering

digunakan oleh para ahli biostratigrafi


untuk dikorelasikan dengan suatu batas
sekuen yang terpisah menjadi beberapa
bagian
system
track.
Untuk
mempelajarinya,
dibutuhkan
sebuah
analisis
yang
digunakan
untuk
mempelajari proses-proses geologi yang
terjadi dari organisme tersebut hidup
sampai mati. Studi ini dinamakan dengan
analisis tafonomi. Analisis tafonomi
adalah studi yang mempelajari prosesproses geologi yang terjadi setelah
organisme mati sampai menjadi fosil.
Studi tafonomi yang dihubungkan dengan
ciri-ciri
sedimentologinya
dapat
diaplikasikan untuk interpretasi dari
hubungan tiap lapisan yang dilakukan
secara berurut sehingga diketahui sejarah
geologinya menurut pandangan sekuen
startigrafi, yaitu perubahan relatif dari
permukaan air laut yakni dalam
pengistilahan system tracts (Trangressive
Systems Tract/TST, Lowstand Systems
Tract/LST dan Highstand Systems
Tract/HST). Tafonomi yang digunakan
untuk penentuan system track ini adalah
tafonomi moluska.
Moluska
digunakan
untuk
penentuan system track ini karena
moluska telah menyebar pada setiap
perairan dan telah hidup hingga ke darat,
dan merupakan jenis yang paling sukses
hidup dari phylum lainnya sepanjang
waktu geologi (daya adaptasi cukup
tinggi) serta dipercaya sebagai penentu
untuk fosil indeks. Moluska muncul sejak
zaman Kambrium hingga sekarang.

GEOLOGI REGIONAL
Posisi
geografi
Kota
Semarang
sebagai
ibukota
Propinsi Jawa Tengah, terletak di
pantai
Utara
Jawa
Tengah
tepatnya pada garis 6, 5' - 7,
10' Lintang Selatan dan 110, 35'
Bujur Timur. Sedang luas wilayah
mencapai 37.366.838 Ha atau
373,7 Km. Letak geografi Kota
Semarang
dalam
koridor
pembangunan
Jawa
Tengah
merupakan simpul-simpul empat
pintu gerbang, yaitu koridor utara
dimana posisi geografi Kota
Semarang
sebagai
ibukota
Propinsi Jawa Tengah terletak di
pantai Utara Jawa, koridor Selatan
ke arah kota-kota dinamis seperti
Kabupaten Magelang, Surakarta
yang dikenal dengan koridor
Merapi Merbabu, koridor Timur
ke
arah
Kabupaten
Demak/Grobogan
dan
Barat
menuju Kabupaten Kendal.
Wilayah Kotamadya Semarang
sebagaimana daerah lainnya di Indonesia
beriklim tropis, terdiri dari musim
kemarau dan musim hujan yang silih
berganti sepanjang tahun. Besar rata-rata
jumlah curah hujan tahunan wilayah
Semarang utara adalah 2000 - 2500
mm/tahun dan Semarang bagian selatan
antara 2500 - 3000 mm/tahun. Sedangkan
curah hujan rata-rata per bulan
berdasarkan data dari tahun 1994 - 1998
berkisar antara 58 - 338 mm/bulan, curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober
sampai bulan April dengan curah hujan
antara 176-338 mm/bulan, sedangkan
curah hujan terendah terjadi pada bulan
Mei sampai bulan September dengan
curah hujan antara 58 - 131 mm/bulan.
Temperatur udara berkisar antara 240 C
sampai dengan 330 C dengan kelembaban

udara rata rata bervariasi antara 62%


sampai dengan 84%.
Secara administrasi, Kota Semarang
terdiri dari 16 Kecamatan dan 177
Kelurahan. Letak kota Semarang hampir
berada di tengah tengah bentangan
panjang kepulauan Indonesia dari arah
Barat ke Timur.
Susunan stratigrafi kota Semarang
adalah sebagai berikut :
1. Aluvium
Merupakan endapan aluvium
pantai, sungai dan danau. Endapan pantai
litologinya terdiri dari lempung, lanau dan
pasir dan campuran diantaranya mencapai
ketebalan 50 m atau lebih. Endapan sungai
dan danau terdiri dari kerikil, kerakal,
pasir dan lanau dengan tebal 1 - 3 m.
Bongkah tersusun andesit, batu lempung
dan sedikit batu pasir.
2. Formasi Kalibeng
Batuannya terdiri dari napal,
batupasir tufaan dan batu gamping. Napal
berwarna abu-abu kehijauan hingga
kehitaman, komposisi terdiri dari mineral
lempung dan semen karbonat, porositas
rendah hingga kedap air, agak keras dalam
keadaan kering dan mudah hancur dalam
keadaan basah. Pada napal ini setempat
mengandung karbon (bahan organik).
Batupasir tufaan kuning kehitaman, halus
- kasar, porositas sedang, agak keras, Batu
gamping merupakan lensa dalam napal,
berwarna putih kelabu, keras dan kompak.
3. Formasi Kerek
Perselingan
batu
lempung,
napal, batu pasir tufaan, konglomerat,
breksi volkanik dan batu gamping. Batu
lempung kelabu muda - tua, gampingan,
sebagian bersisipan dengan batu lanau
atau batu pasir, mengandung fosil foram,
moluska dan koral-koral koloni. Lapisan
tipis konglomerat terdapat dalam batu
lempung di K. Kripik dan di dalam
batupasir.

METODOLOGI
Dalam pembuatan paper ini,
metodologi yang digunakan oleh penulis
yaitu dengan metode lapangan dan metode
intepretasi data. Metode lapangan
dilakukan dengan melakukan pengamatan
langsung di lapangan. Metode ini
dilakukan dengan melakukan pengamatan
terhadap dominansi keterdapatan fosil
cangkang organism. Metode selanjutnya
yaitu metode intepretasi data yang telah
didapat dari pengamatan lapangan. Dari
data yang ada, kemudian di intepretasi
pola sekuen stratigrafi yang terjadi pada
masa lampau dengan menggunakan
analisis tafonomi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Paper ini disusun dengan metode
praktikal, dan studi pustaka. Metode
praktikal digunakan dalam mendapatkan
data di lapangan makropaleontologi.

Gambar 1. Biosturbasi

Dari hasil analisis tafonomi


berdasarkan data yang didapat di
lapangan, didapat beberapa intepretasi
mengenai pola system track yang terjadi
selama organism tersebut hidup sampai
organism tersebut mati atau menjadi fosil.
Naik tutunnya muka air laut ini
berhubungan dengan suplai sedimen yang
terjadi. Berdasarkan data di lapangan,
terlihat banyak sekali cangkang-cangkang

organisme yang tertanama dalam suatu


masa batuan. Cangkang Pelecypoda dan
Gastropoda yang terlihat di lapangan
menunjukkan fosil yang sudah tidak utuh
lagi yang diperkirakan telah mengalami
proses sedimentasi yang cukup intensif
sehingga dominansi arus cukup kuat untuk
mengerosi setiap bagian tubuh dari fosil
ini. Diperkirakan daerah ini pada awalnya
terjadi pada saat early Highstand Systems
Tract (HST) dimana suplai sedimen mulai
banyak dan terjadi kenaikan muka air laut
atau biasa disebut dengan Transgresi
( pegerakan shore line menuju kea rah
darat ). Namun, kenaikan yang terjadi
tidak secepat pada saat kondisi TST dan
ada saat tidak terjadi peningkatan muka
air laut. Pada fasa awal HST biasanya
ditemukan individual shell, juvenile shell,
dan mixed position. Kemudian pada fasa
HST terjadi pengendapan perselingan
antara batu lempung dan batupasir dengan
tafonomi moluska yang tersebar secara
setempat-setempat, cangkang moluska
terpisah-pisah dan tidak ditemukan yang
setangkup, ada yang masih muda dan ada
yang dewasa dengan posisi acak dan tidak
beraturan, juga dijumpai adanya struktur
sedimen burrowing. Hal ini mendukung
terhadap fakta yang ditemukan di
lapangan bahwa cangkang organisme yang
ada umumnya sudah tidak mempunyai
bodi utuh dan litologi yang mendominasi
daerah ini umumnya berupa batulempung
dan batupasir sedang. Selain itu, pada STA
3 juga ditemukan semacam iknofosil yang
berupa burrowing sehingga menguatkan
bahwa daerah ini pada awalnya terbentuk
pada fase early HST.
Fase berikutnya yang terjadi pada
daerah ini yaitu pada fase Lowstand
Systems Tract (LST), permukaan laut
mengalami penurunan secara cepat, erosi
kuat, arus kuat yang menyebabkan air
keruh, dan biasanya yang diendapan

klastik kasar. Pada fasa ini biasanya fosil


moluska yang ditemukan pecah-pecah
atau sudah tidak utuh lagi. Hal ini
disebabkan karena arus pada fasa ini
cukup kuat sehingga merusak cangkang
moluska. Hal ini terlihat jelas dari
cangkang-cangkang mollusca yang udah
rusak akibat adanya gerusan air laut yang
cukup kuat ketika terjadi penurunan muka
air laut sehingga mengerosi cangkang
organisme tersebut.

KESIMPULAN
Dari hasil analisis data serta
pembahasan yang telah dibuat, maka dapat
diintepretasi bahwa sungai di daerah
Rindam ini merupakan bagian dari pola
system track HST dengan pengaruh muka
air laut yang naik dan gradasi batuannya
yang cederung coarsening upward serta
LST yang didukung dengan keadaan
cangkang orgnisme yang sudah tidak utuh
lagi
dan
keterdapatan
iknofosil
berdasarkan pengaruh erosi dari arus air
laut sebagai hasil dari penurunan muka air
laut.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Allah SWT,
kedua orang tua saya, para
asisten yang sudah membagi
ilmunya kepada saya dan temanteman yang sangat baik yang
selalu ada untuk saya.
REFERENSI
Bemmelen, R.W., van, 1949, The Geology
of Indonesia, Vol. I-A, Gov. Printed
Office, The Hague, De Genevraye ,P. ,
Samuel , Luki . 1972. Geology of the
Kendeng Zone (Central and East Java) .
Indonesian Petroleum Association
http://theotherofmyself.wordpress.com/20
12/05/04/struktur-geologi-kekar-fractures/

http://noviantogeophysicist.blogspot.com/
2012/01/geologi-regional-zonakendeng.html

Gambar 2. Nodule

LAMPIRAN

Gambar 3. Biostrurbasi

Anda mungkin juga menyukai