Read This Later
Read This Later
Kita semua suka menunda-nunda pekerjaan dengan cara kita masing-masing. 1Ellis &
Knaus (1977) berkata bahwa ada sekitar 95% mahasiswa yang melakukan tindakan ini.
Termasuk Dimas, dia memilih untuk berselancar di halaman 9Gag daripada belajar, walaupun dia
tahu bahwa ini tidak akan berakhir baik bagi studinya. Sambil tertawa-tawa melihat posting-an
9Gag yang lucu nan jenaka, Dimas berkata dalam hati tenang, belajarnya besok aja, hari ini
santai kayak di pantai dulu broo!! Pun jika besok datang, Dimas masih punya lusa dan dia akan
menunda belajarnya lagi.
Perilaku menunda-nunda atau dalam Bahasa Inggris procrastination adalah hal yang
sangat familiar bagi kita semua. Tetapi, apa sebenarnya yang menjadi latar belakang dari
tindakan ini? Banyak sekali penjelasan yang bisa diterima. Misalnya, penelitian dari University
of Colorado Boulder yang menemukan bahwa secara genetis, beberapa orang cenderung untuk
meninggalkan aktivitas untuk dikerjakan di lain waktu. Agar lebih meyakinkan, uji statistik
dilakukan dan hasilnya kedua hal tersebut memiliki korelasi. Selain itu, secara biologis,
procrastination terjadi akibat kurangnya kesadaran dan perhatian kita akan aktivitas yang kita
lakukan. Akibatnya Limbic System (struktur otak yang mendukung emosi dan perilaku) mulai
mengambil alih diri kita. Hasilnya adalah kita melakukan aktivitas yang memicu
keluarnya dopamine (hormon dalam otak yang mengontrol perasaan puas dan nikmat) yang
biasanya datang saat kita melakukan procrastination.
Procrastination, terutama dalam aktivitas yang memiliki tenggat waktu (deadline) adalah
sebuah perilaku tidak rasional manusia yang menyebabkan kondisi maximum utility tidak
terpenuhi. Kondisi tersebut terjadi akibat adanya kekeliruan dalam pengambilan keputusan
akibat bias atas keadaan sekarang. Simpangan (bias) tersebut adalah significant psychological
lump sum cost yang dimiliki oleh procrastinator. Lump sum cost ini muncul
apabila procrastinator memutuskan untuk melakukan pekerjaannya sekarang daripada
menundanya. Cost yang signifikan menyebabkan ia mengambil keputusan untuk melakukan
pekerjaannya di lain waktu.
Akan tetapi, pada saat waktu lain tersebut tiba, keputusan yang sudah diambil telah
menjadi masa lalu dan proses pengambilan keputusan ditentukan lagi oleh keadaan sekarang,
oleh diri sekerang. Akibatnya adalah terjadi inkonsistensi dalam pengambilan keputusan. Setiap
hari, procrastinator tersebut akan memutuskan untuk mengerjakan kewajibannya besok. Ia tidak
memiliki rational expectations sebab Ia tidak tahu bahwa pada saat besok atau lain waktu
datang, ia akan terus menunda kewajibannya.
1 Ellis, A., and Knaus, W. J. (1977). Overcoming procrastination. New York: Signet Books
Referensi: