KASUS V
KONSELING FARMASI KEPADA PEDIATRI
Disusun Oleh :
Kelas B
Kelompok 3 Gelombang II
Sausa Monica
G1F012062
G1F012070
G1F012072
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015
KASUS V
PEDIATRI
1. JUDUL
KASUS PEDIATRI
2. TUJUAN
1. Mampu melakukan konseling kepada pasien pediatri.
2. Mampu berkomunikasi secara efektif dan etis dengan pasien untuk membangun
hubungan dan kepercayaan pasien dengan apoteker.
3. IDENTIFIKASI MASALAH
Kepatuhan pasien berpengaruh terhadap keberhasilan suatu pengobatan. Hasil terapi
tidak akan mencapai tingkat optimal tanpa adanya kesadaran dari pasien itu sendiri,
bahkan dapat menyebabkan kegagalan terapi, serta dapat pula menimbulkan komplikasi
yang sangat merugikan dan pada akhirnya akan berakibat fatal (Hussar, 1995). Salah satu
upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatannya saat ini dengan
melakukan konseling pasien. Konseling dapat mengubah pengetahuan dan kepatuhan
pasien. Hal ini farmasis harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya
dengan komunikasi yang efektif untuk memberikan pengertian ataupun pengetahuan
tentang obat dan penyakit. Pengetahuan yang dimilikinya diharapkan dapat menjadi titik
tolak perubahan sikap dan gaya hidup pasien yang pada akhirnya akan merubah
perilakunya serta dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang
dijalaninya.
Komunikasi antara farmasisdengan pasien disebut konseling, dan ini merupakan salah
satu bentuk implementasi dari Pharmaceutical Care (Schnipper, 2006). Konseling
ditujukan untuk meningkatkan hasil terapi dengan memaksimalkan penggunaan obatobatan yang tepat (Jepson, 1990, Rantucci,2007). Salah satu manfaat dari konseling adalah
meningkatkan kepatuhan pasiendalam penggunaan obat, sehingga angka kematian dan
kerugian (baik biayamaupun hilangnya produktivitas) dapat ditekan (Schnipper, et al.,
2006). Selainitu pasien memperoleh informasi tambahan mengenai penyakitnya yang
tidakdiperolehnya dari dokter karena tidak sempat bertanya, malu bertanya, atau
tidakdapat mengungkapkan apa yang ingin ditanyakan (Rantucci, 2007).
Proses konseling bisa dilakukan mulai dari anak-anak, remaja, dewasadini, sampai
dewasa lanjut. Memberikan konseling pada anak tidak bisa disamakan seperti memberikan
konseling pada orang dewasa. Orangdewasa mudah untuk diajak duduk bersama
ditanyakan.
Mengalihkan aktivitas, pasien anak yang terkadang hiperaktif lebih
6.
atau medis.
Jarak interaksi, diharapkan dapat mempertahankan jarak yang
aman saat berinteraksi dengan pasien anak.
Kontak mata, diharapkan dapat mengurangi kontak mata saat
mendapat respon dari pasien anak yang kurang baik, dan kembali melakukan
kontak mata saat kira-kira pasien anak sudah dapat mengontrol perilakunya.
Sentuhan, jangan pernah menyentuh anak tanpa izin dari si anak.
2. Bagaimana memberikan KIE keluarga pasien, yaitu orang tua pasien yang buta huruf?
Memberikan KIE kepada orang tua pasien yang buta huruf dengan menggunakan
bahasa yang mudah dimengerti orang tua pasien, volume suara yang cukup jelas dan
penjelasan tidak terlalu cepat. Setelah pemberian KIE orang tua pasien diminta untuk
mengulangi kembali informasi dan petunjuk yang diberikan oleh apoteker sebagai
konfirmasi.
6. PEMECAHAN MASALAH
Pada kasus kali ini seorang bapakbernama Bokirdatang ke apotek membawa
anaknya bernama Mimin. Bapak Bokir membawa sebuah resep dan bermaksud untuk
menebus resep untuk anaknya. Bapak Bokir seorang pemulung yang buta huruf. Resep
yang diberikan adalah:
Amoxsan syr fl 1
S 3dd cth 1
Pro
: Mince
Pada saat role play, apoteker kurang berperan aktif melibatkan anak dalam
konseling. Apoteker lebih fokus memberikan informasi tentang obat kepada orangtua
pasien. Antara apoteker dan anak juga tidak terbentuk hubungan yang ekslusif sehingga
anak bisa saja kurang percaya kepada apoteker
informasi kepada pasien baik anak maupun orangtuanya. Menurut Geldard and Geldard
(2012) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus ada dalam hubungan antara
apoteker dan anak dalam menjalankan proses konseling, yaitu:
a. Hubungan yang eksklusif. Apoteker hendaknya membangun dan menjaga
hubungan baik dengan anak-anak untuk membentuk kepercayaan diri anak pada
apoteker.
b. Hubungan yang aman. Apoteker berusaha membuat lingkungan kondusif bagi
anak sehingga anak dapat mengekspresikan emosi dan perasaan mereka dengan
bebas. Perasaan aman dan bebas akan menimbulkan rasa percaya kepada
apoteker.
c. Hubungan autentik. Hubungan yang dibangun adalah hubungan yang dilandasi
dengan sikap jujur, terbuka, spontan dan alamiah. Sikap pura-pura dapat
menghambat proses konseling. Misalnya, jika obat yang akan diberikan rasanya
agat pahit katakan secara jujur kepada anak, jangan berbohong bahwa rasanya
manis agar jika anak mengonsumsinya dan rasanya tidak sama dengan yang
dikatakan apoteker, anak akan cenderung tidak percaya kepada apoteker.
d. Hubungan non-intrusif. Apoteker tidak boleh menginterupsi apa yang dikatakan
dan dilakukan anak, sehingga anak bisa terganggu. Hindari penggunaan kata
JANGAN dalam melarang atau menasihati anak karena akan mengganggu pola
pikir anak. Buatlah suasana nyaman. Hindaari pertanyaan yang terlalu banyak
sehingga bisa menimbulkan perasaan curiga pada diri anak sehingga
menimbulkan perasaan takut berbagi.
e. Hubungan yang bertujuan. Setiap hal yang dilakukan apoteker hendaknya
bertujuan jelas. Harus disadari bahwa beberapa anak memerlukan waktu lama
untuk bisa bekerja sama dengan apoteker dan terkadang diiringi dengan perasaan
cemas. Bermain atau mengajak berbicara dengan menggunakan analogi kartun
merupakan sarana yang baik untuk memberikan informasi tentang penyakit dan
obat kepada anak.
2. Bagaimana memberikan KIE keluarga pasien, yaitu orang tua pasien yang buta huruf?
Pemberian KIE keluarga pasien yaitu bapak Bokir selaku orangtua pasien yang
buta huruf dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti orang tua pasien,
volume suara yang cukup jelas dan penjelasan tidak terlalu cepat. Obat yang diberikan
dalam berbeda bentuk yaitu puyer dan sirup sehingga mempermudah pasien dalam
mengingat. Adanya penekanan intonasi dan pengulangan pada informasi yang penting,
seperti cara penggunaan obat 3x sehari setiap 8 jam (pagi jam 6, siang jam 2, malam
jam 10), penggunaan amoxicillin sirup sebagai antibiotik yang harus dihabiskan,
penyimpanan antibiotik amoxicillin sirup ditempat yang kering dan penggunaan hanya
7 hari setelah 7 hari obat tidak dapat digunakan lagi. Hal ini dapat menjadi cara untuk
mengingatkan pasien untuk patuh dalam meminum obat. Serta setelah pemberian KIE,
orangtua pasien diminta untuk mengulangi kembali informasi dan petunjuk yang
diberikan oleh apoteker sebagai konfirmasi.
Feedback yang diberikan dosen dan praktikan lain serta hal-hal yang masih bisa
dikembangkan untuk memperbaiki konseling yang telah dilakukan saat role play adalah
1. Dalam penyampaian informasi apoteker kurang mengeraskan suara sehingga
dosen dan praktikan lain tidak bisa fokus dalam mendengarkan konseling serta
dalam penyampaian informasi harus diperhatikan lagi penekanan atau intonasi
pada informasi yang penting seperti cara penggunaan dan penyimpanan obat.
2. Lebih di kembangkan lagi dalam penggalian informasi kepada pasien seperti
pasien mengalami jenis batuk apa karena akan berpengaruh pada pemilihan obat,
sudah sakit berapa hari? dan sebagainya.
3. Ada konten yang lupa diberikan kepada pasien seperti makanan/minuman yang
harus dihindari ketika pasien batuk, menanyakan alamat pasien, cara penggunaan
obat sirup yang harus di kocok dahulu.
4. Apoteker juga bisa memberikan informasi cara minum obat kepada pasien
pediatri dengan menggunakan analogi kartun sehingga anak bisa ikut berperan
aktif dalam konseling.
5. Penyampaian rasa obat ke anak kecil harus jujur. Apoteker bisa mencoba terlebih
dahulu rasa setiap obat dan sampaikan rasa yang sebenarnya kepada anak agar
kepercayaan anak tidak luntur.
DAFTAR PUSTAKA
David dan Kathryn Geldard, 2011, Konseling Anak-anak, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta.
Geldard,K. dan Geldard,D, 2012, Konseling Anak:Sebuah Pengantar Praktis edisi ketiga, PT
Indeks, Jakarta.
Hussar, D.A., 1995, Patient Compliance, in Remington : The Science and Practice of
Pharmacy (1796-1807), Volume II, The Philadelphia Collage of Pharmacy
andScience, USA.
Jepson, M.H, 1990,Patient Compliance and Counselling, Diana M., Aulton, ME.(Editor),
London: Pharmaceutical Practice, Churscill Livingstone.
Mintarsih, Widayat, 2013, Peran Terapi Keluarga Eksperiensial Dalam Konseling Anak
Untuk Mengelola Emosi, SAWWA Volume 8, Nomor 2.
Powers, W.D., 2003, Health Notes: Drug Therapy Considerations in Older Adults,California
State Board of Pharmacy, California.
Rantucci, M.J., 2007, Komunikasi Apoteker-Pasien (Edisi 2), Penerjemah : A. N.
Sani.Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Schnipper, JL. et al, 2006, Role of Pharmacist Counseling in Preventing Adverse Drug
Events After Hospitalization, Vol 166.565-571, Archives Internal Medicine, USA.