Disusun Oleh :
BAB I
PENDAHULUAN
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.1 Sedangkan Bank
Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran.2 Bank telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat kita sehari hari. Mulai dari sekedar menjadi tempat menabung, bertransaksi
bisnis, hingga mencari pinjaman/utang. Bank juga memberikan berbagai macam
produk/jasa yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebut saja deposito berjangka,
pembiayaan seperti kredit perumahan rakyat, giro, dan lain lain. Sejalan dengan tujuan dari
didirikannya bank berdasarkan pengertian di atas, maka dibuatlah bank perkreditan rakyat.
Bank perkreditan rakyat (BPR) dibentuk dengan tujuan agar manfaat dari keberadaan bank
dapat dirasakan oleh masyarakat di pedesaan atau tempat tempat terpencil. Jenis BPR
sendiri mencakup Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih
Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan
(LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD) dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
Jenis usaha yang boleh dan tidak boleh dijalankan oleh BPR adalah sebagai berikut:
1. Usaha yang Boleh Dilakukan BPR
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito
berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu.
Memberikan kredit.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
2
Ibid.
ke waktu.
Berdasarkan data terakhir yang diperoleh dari Bank Indonesia, jumlah total BPR sampai
bulan Juni tahun 2015 adalah sebanyak 1.644 buah. Sebagian besar BPR berada di Jawa
Timur (289), Jawa Barat (233), Jawa Tengah (189), dan Bali (134).
Semakin banyak bank yang ada tentu berbanding lurus dengan banyaknya jumlah
simpanan nasabah yang harus ditanggung oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS akan
menanggung simpanan nasabah sampai dengan Rp 2 Milyar di setiap bank. Hal ini tidak
lepas dari fungsi LPS itu sendiri yaitu:
1. Menjamin simpanan nasabah penyimpan.
2. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan
kewenangannnya.
Adapun wewenang LPS adalah:
1. Menetapkan dan memungut premi penjaminan.
2. Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi
peserta.
2
BAB II
DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Terhadap UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
3. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/PLPS/2012 Tentang Perubahan
Terhadap Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/PLPS/2011 Tentang
Likuidasi Bank
4. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/PLPS/2014 Tentang Saham Bank
Gagal yang Diselamatkan
5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.3/2014 Tentang Bank Perkreditan
Rakyat
6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK.3/2015 Tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat
BAB III
PERMASALAHAN
Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu usaha utama yang dilakukan oleh BPR
adalah memberikan kredit untuk kemudian menerima imbal balik berupa pembayaran
pokok piutang dan bunga. Dalam memberikan atau menyalurkan kredit kepada masyarakat,
BPR haruslah berhati hati. Jika pemberian kredit tidak dilakukan dengan seksama, maka
bisa jadi debitur tidak sanggup melunasi utang utangnya/ gagal bayar. Jika demikian
adanya, tentu likuiditas BPR akan terganggu sehingga mengancam kelangsungan usaha dari
BPR tersebut. Apabila BPR tersebut tidak dapat disehatkan lagi oleh LPS, maka bank
tersebut dapat dikategorikan sebagai bank gagal.
Bank gagal (failing bank) adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan
membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh
LPS sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.3 Bank gagal dapat terjadi jika bank kesulitan di
dalam menjalankan usahanya baik dalam penyaluran kredit, pengumpulan dana nasabah,
dan lain lain. Ibarat orang berjualan, terkadang bisa laris namun tidak jarang pula tidak laku.
Jika manajemen sudah menjalankan kepengurusan dengan baik, memenuhi semua
kewajibannya, dan telah dilakukan tindakan penyehatan oleh LPS namun bank tersebut
tidak dapat diselamatkan, maka akan diambil tindakan likuidasi oleh LPS.
Berdasarkan data yang diambil dari website LPS, tercatat sebanyak 43 bank yang
telah selesai proses likuidasinya. Kesemua bank tersebut adalah BPR. Sedangkan bank yang
masih dalam proses likuidasi sebanyak 17 bank. Dari 17 bank tersebut, hanya 1 bank yang
berbentuk bank umum, 16 sisanya merupakan BPR. Bank yang baru dicabut izin usahanya
terdapat 15 bank. Lagi lagi kesemuanya adalah BPR. Berikut data yang diperoleh dari
website LPS.
3 Pasal 1 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/Plps/2012 Tentang Perubahan Terhadap Peraturan
Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/Plps/2011 Tentang Likuidasi Bank
Tabel III.I
Bank yang Baru Dicabut Izin Usahanya
No
1
Wilayah
08-Dec-2014
20-Jun-2014
16-Apr-2014
Tangerang, Banten
07-Feb-2014
Serpong - Tangerang
29-Jan-2014
23-Dec-2013
06-Dec-2013
9
10
Sawahlunto Sumatera
Barat
Cilegon, Banten
11
12
20-Nov2013
14-Nov2013
06-Nov2013
24-Sep-2013
13
DKI Jakarta
29-Apr-2013
14
05-Apr-2013
15
23-Jan-2013
Tanggal CIU
14-Jul-2015
Posisi
Proses
Likuisasi
Proses
Likuisasi
Proses
Likuisasi
Proses
Likuidasi
Proses
Likuisasi
Proses
Likuidasi
Proses
Likuidasi
Proses
Likuidasi
Proses
Likuidasi
Proses
Likuidasi
Proses
Likuidasi
Proses
Likuidasi
Proses
Likuidasi
Proses
Likuidasi
Proses
Likuidasi
Tabel III.II
Bank yang Sedang Dalam Proses Likuidasi
No
Nama Bank Dalam Likuidasi
1
PT BPR Arthasraya Sejahtera (DL)
Wilayah
Pondok Gede - Bekasi
Tangerang, Banten
Serpong - Tangerang
6
Tanggal CIU
20-Jun-2014
Posisi
Proses
Likuisasi
16-Apr-2014 Proses
Likuidasi
07-Feb-2014 Proses
Likuisasi
29-Jan-2014 Proses
7
8
Sawahlunto Sumatera
Barat
Cilegon, Banten
10
11
DKI Jakarta
12
13
14
15
16
17
Likuidasi
23-DecProses
2013
Likuidasi
06-DecProses
2013
Likuidasi
20-NovProses
2013
Likuidasi
14-NovProses
2013
Likuidasi
06-NovProses
2013
Likuidasi
24-Sep-2013 Proses
Likuidasi
29-Apr-2013 Proses
Likuidasi
05-Apr-2013 Proses
Likuidasi
23-Jan-2013 Proses
Likuidasi
01-Jun-2012 Proses
Likuidasi
15-DecProses
2011
Likuidasi
18-Jul-2011 Proses
Likuidasi
17-Apr-2009 Proses
Likuidasi
Tabel III.III
Bank yang Telah Selesai Proses Likuidasinya
No
Nama Bank Dalam Likuidasi
1
PD. BPR LPK Bojongpicung (DL)
Wilayah
Cianjur, Jawa Barat
Muna, Sulawesi
Tangerang, Jabodetabek
Pondok Gede,
Jabodetabek
Bekasi, Jabodetabek
7
Tanggal CIU
04-Oct-2011
Posisi
Selesai
Likuidasi
07-Sep-2011 Selesai
Likuidasi
15-AugSelesai
2011
Likuidasi
11-AugSelesai
2011
Likuidasi
29-Jul-2011 Selesai
Likudasi
24-MaySelesai
2011
Likuidasi
11-MaySelesai
2011
Likuidasi
26-Apr-2011 completed
10
11
12
13
14
15
16
Bekasi, Jabodetabek
17
18
Badung, Bali
19
Mengwi, Bali
20
Masamba , Sulawesi
21
22
23
24
Jimbaran, Bali
25
Depok, Jabodetabek
26
Tabanan, Bali
27
28
Lampung , Lampung
29
Masamba , Sulawesi
30
31
32
33
34
Lampung, Lampung
20-Apr-2011
Completed
07-Feb-2011 Selesai
Likuidasi
07-Feb-2011 Completed
24-Jan-2011 Selesai
Likuidasi
24-Jan-2011 Selesai
Likuidasi
27-DecSelesai
2010
Likuidasi
15-NovSelesai
2010
Likuidasi
04-Oct-2010 Selesai
Likuidasi
04-AugSelesai
2010
Likuidasi
18-MaySelesai
2010
Likuidasi
18-MaySelesai
2010
Likuidasi
27-Apr-2010 Selesai
Likuidasi
23-MarSelesai
2010
Likuidasi
09-MarSelesai
2010
Likuidasi
17-Feb-2010 Selesai
Likuidasi
18-NovSelesai
2009
Likuidasi
16-Jun-2009 Selesai
Likuidasi
13-MaySelesai
2009
Likuidasi
01-MaySelesai
2009
Likuidasi
24-MarSelesai
2009
Likuidasi
18-DecSelesai
2008
Likuidasi
23-Apr-2008 Selesai
Likuidasi
13-MarSelesai
2008
Likuidasi
14-Feb-2008 Selesai
Likuidasi
13-DecSelesai
2007
Likuidasi
20-NovSelesai
35
36
37
38
39
40
41
42
43
2007
06-Jun-2007
Likuidasi
Bandung , Jawa Barat
Selesai
Likuidasi
Cibinong , Jabodetabek
16-MarSelesai
2007
Likuidasi
Bekasi , Jabodetabek
24-Jan-2007 Selesai
Likuidasi
Gunung Halu , Jawa Barat 11-Oct-2006 Selesai
Likuidasi
Sukabumi , Jawa Barat
27-Sep-2006 Selesai
Likuidasi
Demak , Jawa Tengah
22-AugSelesai
2006
Likuidasi
Banjaran , Jawa Barat
07-Feb-2006 Selesai
Likuidasi
Cimahi , Jawa Barat
26-Jan-2006 Selesai
Likuidasi
Yogyakarta , DI
19-Jan-2006 Selesai
Yogyakarta
Likuidasi
Dari sini tentu kita bertanya tanya kenapa sebagian besar bahkan hampir
seluruhnya bank yang dinyatakan gagal oleh LPS adalah BPR. Apakah BPR kesulitan di dalam
menyalurkan kredit ke masyarakat sehingga harus menanggung beban bunga dan
operasional yang tinggi atau hal ini disebabkan karena pengelolaan BPR yang kurang
profesional oleh para pengurusnya.
BAB IV
ANALISA
Data untuk analisa yang penulis lakukan diambil dari website milik LPS yaitu yang
beralamat di http://lps.go.id. Data yang digunakan adalah data bank yang telah selesai
proses likuidasinya, karena untuk bank yang masih dalam proses likuidasi maupun bank
yang baru dicabut izin usahanya belum diketahui secara pasti apa penyebabnya. Jika ditilik
satu persatu akan didapat keterangan penyebab banyaknya BPR yang dilikuidasi. Mulai dari
tingkat kredit yang disalurkan sangat rendah sampai buruknya GCG (Good Corporate
Governance) sehingga memunculkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengurus
maupun pemilik BPR. Berikut disajikan data mengenai penyebab likuidasi dari BPR yang
telah selesai dilikuidasi oleh LPS.
Tabel IV.I
BPR yang Telah Selesai Dilikuidasi dan Penyebabnya
No
1
10
11
12
13
14
15
16
17
Penyebab Likuidasi
10
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
Dari data di atas dapat dilihat jika sebagian besar penyebab likuidasi adalah karena
tindak pidana perbankan. Tindak pidana perbankan bentuknya bermacam macam. Kasus
yang paling banyak muncul adalah pemberian kredit fiktif. Kedua, dana nasabah dicairkan
oleh bank, depositonya ditarik oleh pengurus bank. Ketiga, setoran nasabah yang tidak
dicatat.
Dalam kasus pemberian kredit fiktif, data nasabah dibuat secara pura pura atau
dipalsukan menggunakan nama orang lain. Hal ini dapat dilakukan oleh masyarakat bahkan
oleh pengurus BPR itu sendiri. Karena sifatnya fiktif, pada akhirnya kredit yang diberikan pun
macet dan terjadi gagal bayar atas kredit tersebut.
11
Dalam kasus kedua, dana yang dimiliki oleh nasabah dicairkan oleh pengurus bank
tanpa seizin dan sepengetahuan dari nasabah pemilik deposito tersebut. Selanjutnya di
dalam buku bank sudah tidak tercatat adanya deposito atas nama nasabah tersebut.
Sedangkan dalam kasus yang terakhir, nasabah yang melakukan setoran ke dalam
rekening tidak dicatat di dalam pembukuan bank. Dana yang telah disetorkan tersebut
akhirnya digunakan oeh pengurus untuk kepentingan pribadinya.
Jika menilik ke dalam peraturan mengenai permodalan BPR, sebenarnya potensi
pelanggaran semacam ini memang sangat mungkin terjadi. Berdasarkan aturan lama, modal
disetor minimum yang harus disediakan dalam pendirian BPR adalah sebesar Rp 500juta
Rp 2Milyar saja. Dari jumlah ini minimum 50% harus digunakan sebagai modal kerja. Jika
melihat besaran ini, agaknya terlalu riskan jika suatu lembaga penyedia utang seperti BPR
hanya memiliki jumlah modal kerja yang sangat kecil. Hal ini akan menyebabkan bank
kesulitan di dalam memberikan imbal balik kepada nasabah berupa bunga sekaligus
memberikan kredit. Apalagi dengan semakin banyaknya bank umum yang masuk ke
pedesaan bahkan sampai ke pelosok pelosok. Dikhawatirkan nasabah di pedesaan lebih
tertarik untuk mencari pinjaman melalui bank umum.
Namun agaknya pemerintah sudah memahami hal ini. Hal itu terlihat dari
ditetapkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/OJK/2015 yang mengatur
tentang kewajiban penyediaan modal minimum bagi BPR dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 20/OJK/2014 tentang BPR. Berdasarkan peraturan yang baru tersebut,
modal disetor yang dipersyaratkan di dalam pendirian BPR adalah sebesar Rp 4 Milyar Rp
16 Milyar tergantung dari lokasi BPR didirikan. Karena BPR memiliki peran penting dalam
perekonomian terutama dalam skala lokal, BPR harus beroperasi dalam skala ekonomis
tertentu dan memiliki kemampuan yang memadai dalam menyerap risiko. Dengan
beroperasi dalam skala ekonomis, BPR akan mampu bersaing dengan lembaga jasa
keuangan lain dalam rangka melayani masyarakat. Agar dapat mencapai skala ekonomis,
BPR wajib memiliki modal dalam jumlah tertentu. Modal disetor yang wajib dipenuhi
oleh BPR pada saat pendirian tidak selamanya mencukupi untuk mencapai skala
ekonomis dimaksud apabila BPR mengalami rugi sehingga perlu ditetapkan modal inti
minimum bagi BPR.
12
Modal inti minimum mencakup modal inti utama dan modal inti tambahan. Modal
inti utama berasal dari modal disetor dan cadangan tambahan modal. Sedangkan modal inti
tambahan berasal dari setoran selain modal inti utama yang memenuhi persyaratan:
a. tidak dijamin oleh BPR yang bersangkutan dan telah disetor penuh;
b. mempunyai kedudukan yang sama dengan modal disetor dalam hal
jumlah kerugian
BPR
melebihi
laba
tahun-tahun
lalu
dan
rasio modal
tidak
memenuhi
ketentuan
Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase
tertentu dari baki debet berdasarkan penggolongan Kualitas Aset Produktif sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai kualitas aset dan pembentukan penyisihan penghapusan aset.
5
Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) adalah jumlah aset neraca BPR yang diberikan bobot sesuai
dengan kadar risiko yang melekat pada setiap pos aset sesuai ketentuan.
13
yang dihitung dengan menggunakan rasio KPMM6 paling rendah sebesar 12% (dua belas
perseratus) dari ATMR dan menyediakan modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf a paling rendah sebesar 8% (delapan perseratus) dari ATMR. Dengan
ditetapkannya peraturan baru mengenai BPR ini, diharapkan jumlah bank yang dilikuidasi
oleh LPS akan semakin berkurang yang akhirnya akan meningkatkan kepercayaan
masyarakat untuk menyimpan dananya di bank khususnya BPR.
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) adalah rasio modal terhadap ATMR yang wajib disediakan
oleh BPR
14
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan analisa pada bagian sebelumnya, dapat diambil
kesimpulan yaitu:
1) Penyebab utama dari banyaknya BPR yang dilikuidasi adalah karena tindak pidana
perbankan yang dilakukan oleh pengurus BPR.
2) Jumlah minimum modal yang ditentukan sebelum diberlakukannya Peraturan OJK
Nomor 5/OJK/2015 dan Nomor 20/OJK/2014 dirasa masih kurang untuk menjamin
ketersediaan dana bagi BPR di dalam menjalankan usahanya.
3) Peran LPS dan OJK di dalam menindak kecurangan kecurangan yang dilakukan oleh
BPR dan dalam melakukan pengawasan perbankan dapat dikatakan cukup baik
mengingat banyaknya jumlah BPR yang ada. Hal ini terlihat dari jumlah BPR
dilikuidasi dibandingkan dengan jumlah BPR secara keseluruhan hanya berkisar 2%.
SARAN
1) Pemerintah sebaiknya menetapkan regulasi tambahan bagi keberadaan bank umum.
Yaitu dengan membatasi keberadaan bank umum di daerah daerah terutama di
pelosok sehingga keberadaan bank tersebut tidak mengancam kelangsungan BPR
yang telah lebih dulu ada.
2) BPR sebaiknya diberikan pendampingan oleh LPS dan OJK dalam 1 tahun pertama
operasionalnya. Dengan pendampingan ini diharapkan pengurus BPR dapat bekerja
dengan jujur dan lebih terampil di dalam menjalankan usahanya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Terhadap
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/PLPS/2012 Tentang Perubahan
Terhadap Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/PLPS/2011
Tentang Likuidasi Bank
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/PLPS/2014 Tentang Saham Bank
Gagal yang Diselamatkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.3/2014 Tentang Bank
Perkreditan Rakyat
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK.3/2015 Tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat
16