Kisah Abu Bakar
Kisah Abu Bakar
Abu Bakar As Siddiq ayah dari Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. Namanya yang
sebenarnya adalah Abdul Ka'bah (artinya 'hamba Ka'bah'), yang kemudian diubah oleh
Rasulullah Saw menjadi Abdullah (artinya 'hamba Allah'). Abu Bakar As Siddiq atau
Abdullah bin Abi Quhafah (Usman) bin Amir bin Amru bin Kaab bin Saad bin Taim bin
Murrah bin Kaab bin Luai bin Ghalib bin Fihr al-Quraisy at-Taimi. Bertemu nasabnya
dengan Nabi saw kakeknya Murrah bin Kaab bin Luai, kakek yang keenam. Dan ibunya,
Ummul-Khair, sebenarnya bernama Salma binti Sakhr bin Amir bin Kaab bin Saad bin
Taim. Nabi Muhammad Saw juga memberinya gelar As Siddiq (artinya 'yang berkata benar'),
sehingga ia lebih dikenal dengan nama Abu Bakar as-Siddiq.
Abu Bakar As Siddiq tumbuh dan besar di Mekah dan tidak pernah keluar dari Mekah kecuali
untuk tujuan dagang dan bisnis. Beliau memiliki harta kekayaan yang sangat banyak dan
kepribadian yang sangat menarik, memiliki kebaikan yang sangat banyak, dan sering
melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu
Dughunnah, sesungguhnya engkau selalu menyambung tali kasih dan keluarga, bicaramu
selalu benar, dan kau menanggung banyak kesulitan, kau bantu orang-orang yang menderita
dan kau hormati tamu.
An-Nawawi berkata: Abu Bakar As Siddiq termasuk tokoh Quraisy dimasa Jahiliyah, orang
yang selalu dimintai nasehat dan pertimbangannya, sangat dicintai dikalangan mereka, sangat
mengetahui kode etik dikalangan mereka. Tatkala, Islam datang Abu Bakar As Siddiq
mengedepankan Islam atas yang lain, dan beliau masuk Islam dengan sempurna.
Zubair bin Bakkar bin Ibnu Asakir meriwayatkan dari Maruf bin Kharbudz dia berkata:
Sesungguhnya Abu Bakar As Siddiq adalah salah satu dari 10 orang Quraisy yang
kejayaannya dimasa Jahiliyah bersambung hingga zaman Islam. Abu Bakar As Siddiq
mendapat tugas untuk melaksanakan diyat (tebusan atas darah kematian) dan penarikan
hutang. Ini terjadi karena orang-orang Quraisy tidak memiliki raja dimana mereka bisa
mengembalikan semua perkara itu kepada raja. Pada setiap kabilah dikalangan Quraisy saat
itu, ada satu kekuasaan umum yang memiliki kepala suku dan kabilah sendiri.
Istri-istri dan anak Abu Bakar.
Abu Bakar pernah menikahi Qutailah binti Abdul Uzza bin Abd bin Asad pada masa
jahiliyyah dan dari pernikahan tersebut lahirlah Abdullah dan Asma.
Beliau juga menikah dengan Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Zuhal bin Dahman
dari Kinanah, dari pernikahan tersebut lahirlah Abdurrahman dan Aisyah.
Beliau juga menikah dengan Asma binti Umais bin maadd bin Taim al-Khattsamiyyah, dan
sebelumnya Asma diperistri oleh Jafar bin Abi Thalib. Dari hasil pernikahannya ini lahirlah
bin Abu Bakar, dan kelahiran tersebut terjadi pada waktu haji Wada di Dzul Hulaifah.
Beliau juga menikah dengan Habibah binti Kharijah bin Zaid bin Zuhair dari Bani al-Haris
bin al-Khazraj.
Abu Bakar pernah singgah di rumah Kharijah ketika beliau datang ke Madinah dan kemudian
mempersunting putrinya, dan beliau masih terus berdiam dengannya di suatu tempat yang
disebut dengan as-Sunuh hingga Rasullullah saw wafat dan beliau kemudian diangkat
menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Dari pernikahan tersebut lahirlah Ummu
Khultsum.
dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan
Nabi Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.
Menjadi Khalifah
Selama masa sakit Rasulullah SAW saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu Bakar As
Siddiq ditunjuk untuk menjadi imam shalat menggantikannya, banyak yang menganggap ini
sebagai indikasi bahwa Abu Bakar As Siddiq akan menggantikan posisinya. Segera setelah
kematiannya (632), dilakukan musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan
Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar As Siddiq sebagai
pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam.
Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu
Bakar As Siddiq sebagai khalifah adalah subyek yang sangat kontroversial dan menjadi
sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni
dan Syi'ah. Di satu sisi kaum Syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu
nabi Muhammad), yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah
SAW sendiri sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah SAW menolak untuk
menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa Rasulullah mengedepankan
musyawarah untuk penunjukan pemimpin. Sementara muslim syi'ah berpendapat kalau
Rasulullah saw dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dll,
tidak pernah meninggalkan umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah
kepemimpinan umat terahir, dan juga banyak hadits di Sunni maupun Syi'ah tentang siapa
khalifah sepeninggal Rasulullah saw, serta jumlah pemimpin islam yang dua belas. Terlepas
dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali bin Abu Thalib
sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai'at) kepada Abu Bakar As Siddiq dan
dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni
menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali bin Abu Thalib
menjadi pendukung setia Abu Bakar As Siddiq dan Umar bin Khattab. Sementara kaum syi'ah
menggambarkan bahwa Ali bin Abu Thalib melakukan baiat tersebut secara "pro forma,"
mengingat beliau berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istri beliau yang berbulan bulan
lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.
Perang Ridda
Segera setelah menjabat Abu Bakar As Siddiq, beberapa masalah yang mengancam persatuan
dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa suku Arab yang berasal
dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa
diantaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh.
Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan
berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi
Muhammad SAW dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal
ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Ridda.
Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi "Ibnu Habib al-Hanafi" yang
lebih dikenal dengan nama Musailamah Al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang
mengklaim dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad SAW. Musailamah
kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid.
Al Quran
Abu Bakar As Siddiq juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Quran. Dikatakan
bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah dalam perang Ridda,
banyak penghafal Al Qur'an yang ikut tewas dalam pertempuran. Abu Bakar As Siddiq lantas
meminta Umar bin Khattab untuk mengumpulkan koleksi dari Al Qur'an. Setelah lengkap
koleksi ini, yang dikumpulkan dari para penghafal Al-Quran dan tulisan-tulisan yang terdapat
pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya, oleh sebuah tim yang diketuai oleh
sahabat Zaid bin Tsabit, kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar bin Khattab dan
juga istri dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada masa pemerintahan Ustman bin Affan
koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al Qur'an hingga yang dikenal hingga saat ini.
Abu Bakar As Siddiq meninggal pada tanggal 23 Agustus 634/ 8 Jumadil Awwal 13 H di
Madinah pada usia 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti
Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah. Umar
mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah) . Sedangkan yang
turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman (bin Abi
Bakar), Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Thalhah bin Ubaidillah.