Anda di halaman 1dari 7

Hikayat Negeri Lasem

Jawa, abad ke-14. Di kawasan pesisir utara, terdapatlah sebuah negeri yang gemah ripah loh
jinawi. Menghadap lautan, berpunggung pegunungan, dan dibelah sebuah sungai sumber
kehidupan utama penghuni seluruh negeri. Hutan jati tumbuh berjajar, sawah ladang luas
membentang. Di kejauhan, tampak pegunungan Argopuro yang hijau lebat, penuh dengan
pepohonan rimbun beraneka rupa tempat tinggal berbagai macam satwasehingga di setiap
pagi akan terdengar simfoni alam yang harmonis dari suara ayam hutan, merak, juga ocehan
burung-burung yang bertengger di pucuk pohon beringin, duwet, serta trenggulun
memakani buahnya yang bergelayut matang.

Pagi Merekah Dari Balik Pegunungan Argopuro


Di kota, pemandangan tidak kalah asrinya. Di sepanjang jalan utama, ditanam pohon-pohon
sawo kecik peneduh jalan, dan di setiap sudut perempatan dan pertigaan jalan ditanami pohon
beringin nan rindang. Di tiap pelataran rumah ditanam pohon kelapa gading sepasang, juga
pohon sawo manila, mangga golek, jambu lumut, juga pohon pinang di sisi kiri dan kanan. Di
pedesaan, vegetasi yang nampak lebih beraneka warna lagi. Di berbagai penjuru desa
tertanam pohon nangka, belimbing, kelapa dan lain sebagainya. Kebun-kebun ditanami
pohon siwalan penghasil legen, buah siwalan, dan lontar. Lontar dipakai untuk menulis serta
mencatat cerita ataupun syair kakawin, sedangkan legen diolah menjadi gula. Di sela-sela
pohon aren ditanami pohon kapuk randu yang dirambati oleh tanaman sirih yang berguna
sebagai jamu sakit perut.
Negeri di pesisir pantai itu dipimpin oleh seorang pemimpin bernama Duhitendu Dewi, atau
lebih dikenal sebagai Dewi Indu, adik dari Prabu Hayam Wuruk penguasa Wilwatikta alias
Majapahit. (Ngara Krtgama, Pupuh 5). Para penduduk negeri menggambarkan Dewi Indu
seperti Srikandi yang cantik jelita bagai bulan purnama, sehingga mereka sering
menjulukinya Dewi Purnama Wulan. Tak hanya itu, mereka bahkan menganggapnya sebagai
perwujudan dari Bodhisattva Avalokitevara yang selalu memberi pengayoman dan
membawa kemakmuran bagi segenap rakyatnya. Konon Dewi Indu berkuasa dengan penuh
wibawa, mengatur seluruh negeri dengan adil dan bijaksana sehingga selalu dipuja, dipatuhi,
dan dicintai rakyat hingga akhir hayatnya.

Ada adinda Baginda Raja di Wilwatikta; Yang Bermukim di Lasem sangat terkenal
kecantikannya; Putri Baginda Raja Daha tersohor kejelitaannya; Bernama Indu Dewi amat
jelita Putri Sri Rajasa (Ngara Krtgama)
Itulah sekilas gambaran Lasem di masa lampau yang dikisahkan oleh R. Panji Kamzah dalam
naskah Carita Lasem. Kini, Lasem hanyalah sebuah kota kecil di bawah wilayah
administratif Kabupaten Rembang di pesisir utara Jawa Tengah yang dilalui oleh
Grotepostweg atau lebih populer dengan nama Jalan Raya Daendels yang menghubungkan
Anyer-Panarukan. Jarang ada yang tahu bahwa sejak abad ke-7 Lasem telah dikenal sebagai
kota pelabuhan dan merupakan kota besar di sepanjang pantai utara Jawa. Sebagai kota
maritim, di masa lampau Lasem populer sebagai produsen kapal yang tangguh, baik kapal
perang maupun kapal dagang sejak jaman Majapahit hingga masa VOC. Kapal-kapal ini
dibuat pada galangan-galangan kapal, salah satunya yang terletak di pinggir sungai Lasem
yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat Lasem. Sayangnya, kedigdayaan galangan
kapal Lasem di masa lampau itu kini hanya menyisakan fondasi-fondasi yang tidak bisa
banyak berbicara akibat politik bumi hangus tentara Indonesia yang mengincar saranaprasarana penting kaum penjajah.

Galangan kapal yang pernah ada di Dasun, Lasem. (foto: http://www.kitlv.nl)


Lasem sering dijuluki Le Petit Chinois alias Tiongkok Kecil. Julukan ini berawal ketika pada
abad ke-15 orang-orang dari China berdatangan ke pelabuhan Lasem. Saat itu, Bi Nang
Un,seorang anggota rombongan ekspedisi Laksamana Cheng Ho mendarat di Lasem dan

menetap di kota ini, kemudian disusul oleh orang-orang Hokkian penganut Kong Hu Cu
(Konfusianisme). Sejak saat itu karena merasa nyaman dan ditambah lagi telah banyak
pendahulu mereka yang telah menetap, semakin banyak orang-orang China yang datang,
turut menetap, menjalankan roda perdagangan, berbaur, menularkan budayanya dan
mempelajari budaya setempat, menikah dengan penduduk pribumi, beranak-pinak, dan
menghasilkan generasi-generasi baru yang tampak dalam perwujudan warga keturunan etnis
Tionghoa di Lasem sekarang.

Tembok Kusam & Pintu Gerbang Masuk Ke Rumah Tionghoa


Saat ini, jejak-jejak peninggalan kebudayaan Cina tersebut masih dapat dijumpai di Lasem.
Apabila anda sempat mengunjungi kota ini, anda akan banyak melihat rumah di pusat kota
dengan atap berbentuk lengkung khas Tiongkok yang dikelilingi tembok-tembok kusam
tinggi dan tebal, serta pintu gerbang kayu yang diwarnai ornamen-ornamen serta tulisan Cina.
Jika anda masuk lebih dalam lagi, pemandangan ini akan makin terlihat. Koridor-koridor
suram diantara tembok rumah tua, makam tionghoa, ditambah lagi dengan keberadaan tiga
buah kelenteng pusat kegiatan peribadatan etnis Tionghoa disini, semakin menguatkan kesan
kota ini sebagai Little China.

Kelenteng Cu An Kiong, Dasun, Lasem


Saya masih ingat, pada masa kecil saya dulu kawan-kawan SD saya sebagian besar adalah
etnis keturunan China. Dulu saya sering main ke rumah kawan karib saya pada waktu itu dan
terheran-heran melihat segala interior rumahnya yang benar-benar bergaya Tiongkok klasik,
dengan lantai kayu, cermin-cermin besar, dan lebih banyak lagi ornamen-ornamen yang tidak
dapat saya ingat secara detail.

Koridor di antara tembok-tembok kusam


Kehidupan seni dan budaya yang dibawa oleh orang-orang Tiongkok sejak berabad-abad
silam lambat laun ikut membaur dalam kehidupan masyarakat pribumi dan memberi warna
pada kehidupan sosial masyarakat Lasem hingga sekarang. Salah satu wujud nyata perpaduan
seni dan budaya tersebut kini masih tampak dalam selembar kain: Batik Lasem. Dalam
selembar kain ini terpapar secara gamblang adanya silang budaya yang terlihat dari motifnya.
Sebut saja burung hong, liong (naga), seruni, magnolia, juga peoni yang merupakan motif

khas dari Tiongkok berpadu dengan motif parang, lereng, kawung dan udan liris yang
merupakan motif khas dari Jawa.

Batik Lasem
Dari segi warna, batik Lasem dominan dengan warna merah, biru, soga, hijau, ungu, hitam,
krem dan putih. Merah adalah pengaruh Tiongkok, Soga adalah pengaruh budaya Jawa, Biru
berasal dari Eropa, dan hijau pengaruh budaya Islam. Kombinasi warna inilah yang kemudian
menghasilkan sebuah masterpiece dalam dunia perbatikan di Lasem: Batik Tiga Negeri. Batik
Tiga Negeri adalah batik yang mempunyai tiga warna khas, dan dibuat di tiga tempat. Warna
soga diproduksi di Solo, biru diproduksi di Pekalongan, dan merah diproduksi di Lasem. Ada
yang menarik tentang warna merah batik Lasem ini. Konon katanya warna merah Lasem ini
benar-benar khas Lasem dan tidak bisa ditiru di daerah lain. Dikenal sebagai abang getih pitik
alias merah darah ayam, warna merah ini menjadi khas karena campuran pewarnanya
menggunakan air di Lasem yang mengandung senyawa tertentu yang tidak dimiliki oleh
daerah lain. Kandungan senyawa apa yang dimaksud, Wallahu alam. Batik Lasem yang
bernilai seni tinggi ini sempat merajai Nusantara pada abad ke 19 dan dihargai cukup mahal
dan cukup berperan dalam menyokong denyut nadi perekonomian masyarakat Lasem.

Lasem Kini
Kini, masa kejayaan Lasem memang telah lewat. Tiada lagi galangan kapal yang membuat
kapal-kapal tangguh pengarung samudera. Tidak ada lagi geliat perdagangan yang gemilang
seperti di masa lampau. Kini yang tersisa di Lasem hanyalah rumah-rumah tiongkok yang
telah kusam dengan tembok menghitam dimakan zamansebagian sudah ditinggalkan
pemiliknya untuk mencari peruntungan di kota lain. Mungkin hanya Batik Lasem yang
sekarang tertatih-tatih bangkit seiring dengan euforia kebangkitan batik nasional bisa sedikit
mengangkat kembali nama Lasem, walau itupun belum bisa berperan banyak. Sebagai orang
yang pernah dibesarkan di Lasem, saya hanya bisa bermimpi Lasem di masa depan bisa
bangkit kembali. Mungkin otoritas setempat bisa mengembangkan Lasem sebagai sebuah
kawasan wisata cagar budaya dengan merevitalisasi kembali kawasan kota tua Lasem seperti
di Semarang dan Jakarta, atau mendorong Batik Lasem menjadi komoditas unggulan.
Terlebih lagi,

Masjid Jami Lasem merupakan salah satu landmark kota Lasem, didirikan pada tahun 1585
oleh Adipati Lasem Tejokusumo I. Masjid ini pernah menjadi saksi heroisme rakyat Lasem
dalam perlawanan atas imperialisme Belanda di masa lampau.
Lasem masih punya potensi yang lain: potensi kelautan, wisata religi1, Lontong Tuyuhan2,
Kopi Lelet3, sampai mangga gadung4. Apabila potensi-potensi ini dapat dioptimalkan secara
sinergi, bukan tidak mungkin Lasem kelak bisa berkibar kembali seperti di masa lampau.

Walau terkenal sebagai Little China, Lasem juga dikenal sebagai Kota Santri. Tak kurang
ada 14 pesantren di Lasem (http://id.wikipedia.org/wiki/Lasem,_Rembang) Ini tak lepas dari
peran Walisongo yang turut menyebarkan Islam hingga ke kota ini. Peninggalan pesantrenpesantren tua di kota ini dapat kita rekam jejaknya hingga sekarang. Demikian pula banyak
ulama-ulama karismatik yang wafat di sini. Makam ulama kharismatik serta jejak sejarah
para wali inilah yang menjadi tujuan para peziarah datang berkunjung.

Makanan khas dari desa Tuyuhan dekat Lasem. Seperti lontong opor ayam dengan kuah
santan kental dan rasa kemiri yang menonjol. Baca
http://nasional.kompas.com/read/2008/05/25/08040310/lontong.tuyuhan.gurih.dan.pedas
3

Sejenis coffeeshop tradisional yang banyak terdapat di kabupaten Rembang. Kopi yang
digunakan dalam kopi lelet bukan produk kopi kemasan dari pabrik melainkan kopi olahan
sendiri yang ditumbuk halus melalui beberapa kali penyaringan. Istilah lelet merupakan
kegiatan sampingan dari minum kopi yaitu meleletkan air ampas kopi ke rokok yang akan
dihisap. Tetapi ngopi tanpa merokok disini juga tidak dilarang. Artikel menarik tentang Kopi
Lelet: http://www.wiratama.net/1/post/2011/01/cerita-lasem-kopi-enak.html
4

Lasem merupakan salah satu sentra penghasil mangga top di pantai utara Jawa. Buah
mangganya yang terkenal manis setara dengan mangga Probolinggo atau mangga Indramayu

Anda mungkin juga menyukai