Anda di halaman 1dari 6

Budaya Eksploitasi Hutan

Fakta hutan di Indonesia yang dieksploitasi menjadi objek usaha dan bisnis secara
besar-besaran oleh pemerintah dan masyarakat semakin terasa dampaknya. Cuaca ekstrim,
longsor, banjir, sulitnya air bersih, hingga ketidakstabilan musim untuk bercocok tanam
merupakan akibat dari ekploitasi hutan tersebut. Mengeksploitasi hutan bagi setiap lapisan
masyarakat dan pemerintah merupakan hal yang lumrah, bahkan menjadi budaya yang turun
temurun dalam beberapa kelompok masyarakat.
Berdasarkan Policy Brief yang disusun oleh Kelompok Kerja Tata Kelola Kehutanan
terdiri dari : Dewan Kehutanan Nasional, Puspijak, FWI, ICEL, TII, UNDP, JARI-Kalteng,
Gema Alam NTB(1/12/2014) bahwa pada tahun 2013 terdapat 272 perusahaan yang bergerak
dibidang pengelolaan hasil kayu hutan. Luas pengalihan fungsi lahan hutan menjadi
perkebunan mencapai 9,4 Juta hektar. Selain itu izin pertambangan yang dikeluarkan
pemerintah mencapai 10.643 per 24 Desember 2014. Ini menunjukkan bahwa budaya
eksploitasi hutan itu masih tinggi bagi masyarakat bahkan pemerintah.
Opini saudari Myrna A Safitri(Kompas, 10/03/2015) yang berjudul Mencari Perusak
Hutan perlu ditambahkan. Karena pada dasarnya kerusakan hutan bukanlah sepenuhnya
karena aturan atau undang-undang serta pelaksanaannya, tetapi perusak hutan sangat erat
kaitannya dengan pola pikir dalam meningkatkan kemapanan ekonomi dalam masyarakat
Indonesia. Namun Myrna A Safitri menuliskan bahwa ke depannya perlu dilakukan
penyempurnaan yaitu: (1) Hukum untuk verifikasi masyarakat hukum adat; (2) pengukuhan
perubahan kawasan pada hutan negara; serta (3) penetapan hutan hak, termasuk hutan adat.
Memang pendapat tersebut sudah benar dari sudut pandang penanggungjawab penuh atas
pembagian wilayah hutan. Namun perlu ditambahkan, bahwa pola pikir pemerintah dan
masyarakat yang menjadikan hutan sebagai objek usaha dan bisnis harus di ubah. Jika
masyarakat dan setiap orang masih memiliki budaya mencari kemapanan ekonomi dengan
cara mengekploitasi hutan, maka pastilah semakin meningkatkan kerusakan hutan.
Penting diketahui jika saat ini hutan menjadi satu-satunya harapan semua makhluk
hidup untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem bumi. Karena hutan menjadi sumber
oksigen yang bersih, hutan menjadi sumber air yang bersih, hutan menjadi penyerap air yang
baik, hutan juga menjadi tempat hidup berbagai makhluk hidup yang membantu
keseimbangan ekosistem.

Budaya yang Keliru


Berdasarkan rilisan majalah forbes (3/3/2015) bahwa daftar orang terkaya di dunia
masih ditempati oleh Bill Gates. Bill Gates mempertahankan kekayaannya dengan menjalani
bisnis dibidang IT sebagai pendiri Microsoft. Bill Gates memantapkan diri dengan
kemapanan ekonominya tanpa sedikitpun melakukan ekploitasi hutan. Begitu juga dengan
orang terkaya ke dua yaitu Carlos Slim Helu pengusaha bisnis telekomunikasi asal meksiko,
beliau juga memantapkan kemapanan ekonominya tanpa mengeksploitasi hutan. Hampir
seluruh dari 10 orang terkaya di dunia tidak mengekpolitasi hutan untuk meningkatkan
kemapanan ekonominya.
10 Orang terkaya di dunia membuktikan bahwa mereka mampu memantapkan
ekonomi mereka tanpa mengganggu hutan. Bagaimana dengan orang terkaya di Indonesia?
Ada beberapa dari daftar 10 orang terkaya di Indonesia yang memantapkan kemapanan
ekonominya dengan bisnis perkebunan. Sinar Mas Group, Asian Agri Group, serta Peter
Sondakh dan Martua Sitorus merupakan pengusaha perkebunan yang sukses. Mereka
memang tidak menjual hasil kayu hutan, atau rotan atau tambang, tetapi mereka mengalih
fungsikan hutan menjadi perkebunan secara besar-besaran. Sekalipun mereka menanam
tanaman atau pohon kembali pada hutan yang telah ditebang tersebut, pastilah ekosistem
yang sebelumnya telah dirusak, dan tidak akan kembali lagi seperti sedia kala. Selain mereka,
masih banyak pengalih-pengalih fungsi lahan hutan lainnya, yang menjadikan hutan sebagai
lahan perkebunan, dan mereka tidak terdata secara baik oleh pemerintah.
Dari jumlah pengusaha pengelola hasil hutan dan tambang yang terdata oleh
pemerintah, itu hanya sebahagian saja. Masih banyak yang belum terdata, karena terbukti
oleh banyaknya masyarakat yang tidak memiliki izin perkebunan, banyak tambang yang tidak
terdaftar pada pemerintah. Seperti di Riau, khususnya kabupaten Rokan Hilir, banyak
masyarakat pendatang khususnya dari daerah Sumatera Utara membuka lahan perkebunan di
wilayah tersebut dengan luas lahan rata-rata 10 50 hektar. Bahkan data terakhir Februari
2015, yang termasuk hutan kategori paru-paru bumi juga telah dijadikan perkebunan sawit
secara swadaya oleh masyarakat. Ini baru salah satu wilayah yang teramati, sejak 13 tahun
terakhir pengamatan pada daerah ini, terdapat sekitar 40% hutan yang telah alih fungsi dari
seluruh wilayah hutan di kabupaten Rokan Hilir. Sekarang hutan hujan tropis yang dahulu,
kini menjadi kebun sawit milik perorangan dan juga perusaan resmi.

Semakin merusak lagi, cara pembukaan lahan baru yang cukup ekstrim, yaitu dengan
membakar hutan saat musim kemarau. Dengan cara ini biaya pembukaan lahan hemat biaya
sebesar 3-5 juta per pancang (2 hektar). Sehingga Rokan Hilir salah satu kabupaten
penyumbang asap saat kabut terjadi sejak tahun 2012-2014 yang lalu. Bahkan pemerintah
setempat ikut ambil bagian dalam menyemarakkan pengalihfungsian hutan ini, dengan cara
memberikan izin kepada siapa saja yang dapat membayar dengan harga tertentu maka akan
diberikan izin berupa pemberian surat tanah. Hal itulah yang menyebabkan Gubernur Riau
Anas Maamun menjadi tersangka oleh KPK pada tahun 2014 lalu. Untuk wilayah Rokan
Hilir, karena Anas Maamun merupakan mantan bupati Rokan Hilir sebelum menjabat
sebagai Gubernur Riau non aktif saat ini, Rokan Hilir menjadi wilayah empuk bagi pembuka
lahan baru menjadi perkebunan.
Menurut Dr. Tjut Sugandawaty Djohan yang ditulis pada situs www.mongabay.co.id
oleh Tommy Apriando(3/1/2015) bahwa saat ini hutan hujan tropis yang tersisa hanya 43 juta
hektar dari keseluruhan 130 juta hektar. Menurut beliau, rata-rata pertahun munculnya kebun
sawit baru mencapai 500.000 hektar. Sehingga tidak dapat disangkal lagi ini disebabkan oleh
budaya pemerintah dan masyarakat yang masih menganggap bahwa hidup oleh hasil
pembukaan lahan baru untuk memantapkan perekonomian sangat tinggi. Jika demikian terus
dipertahankan maka setiap tahunnya Indonesia harus kehilangan hutannya sebesar 500.000
hektar pertahun.
Presiden Joko Widodo sendiri mengungkapkan bahwa untuk ketahanan pangan
nasional dengan lebih pemanfaatan lahan yang tidak produktif menjadi lahan perkebunan
baik kebun jati digabung dengan jagung,dan juga sawit dengan jagung(Kompas, 8/3/2015).
Jadi sekalipun masyarakat harus memanfaatkan lahan untuk perkebunan hendaklah tidak
membuka lahan baru, melainkan menggunakan lahan yang tidak produktif.
Memang sejak era sebelum kemerdekaan hingga saat ini, istilah TUAN TANAH di
Indonesia masih terlihat menarik. Bandingkan dengan negara maju lainnya seperti Amerika
Serikat, yang sudah meninggalkan era ke emasan TUAN TANAH. Di Indonesia predikat
TUAN TANAH sangat dihormati. Untuk masalah ini bukanlah faktor pendidikan
masyarakat Indonesia, tetapi faktor mengikuti budaya leluhur dengan mengeksploitasi hutan
untuk kekayaan telah mendarah daging. Seperti dahulu daya tarik Indonesia bagi negara
Eropa untuk datang ke Indonesia adalah hasil rempah-rempah yang begitu berlimpah. Dengan
pengaruh budaya memperjualkan rempah-rempah untuk menjadi orang terpandang di

masyarakat terbawa hingga hari ini. Padahal mereka tidak sadar bahwa hutan itu tidak akan
pernah bertambah, sekali dijadikan kebun, maka tidak akan pernah kembali jadi hutan seperti
sedia kala, sekalipun ditanami pepohonan atau dilakukan penghijauan kembali.
Budaya konsumtif masyarakat dan didikan pemerintah sangat berpengaruh terhadap
budaya eksploitasi hutan. Kebiasaan masyarakat yang tidak mau pusing untuk mencarikan
alternatif untuk pemantapan ekonomi menjadi hasil dari budaya konsumtif. Ditambah lagi
pemerintah kurang tegas dalam melakukan pengawasan pengelolaan hasil hutan. Jika dikaji
secara undang-undang pokok agraria Indonesia, sebenarnya pemerintah telah membuat aturan
yang begitu baik, baik bagi pelaku agraria itu sendiri juga bagi penjagaan hutan yang ada.
Sehingga semakin komplekslah budaya yang salah itu dan semakin mendarah daging bagi
masyarakat.
Seperti yang dikemukakan Myrna A Safitri bahwa pemerintah memberikan legalitas
terhadap pengelolaan hutan kepada masyarakat secara penuh, ini memang berdampak baik
jika masyarakat mampu menjaga amanat tersebut dengan bimbingan dan pengawasan
pemerintah. Namun jika pemerintah masih memberikan pendidikan ganda, satu sisi
memberikan didikan bahwa hutan merupakan komponen utama dalam kelangsungan
ekosistem bumi, dan di sisi lain pemerintah memberikan legalitas kepada pengusaha dan
kelompok masyarakat tertentu untuk mengkonversi hutan dengan bertanggung jawab. Artinya
pemerintah telah melagalkan pengerusakan hutan secara terstruktur.
Seharusnya pemerintah menyemarakkan pembentukan budaya industri kreatif yang
ramah lingkungan. Pemerintah menyemarakkan pemanfaatan lahan yang sudah digarap
sebelumnya yang tidak produktif, jadi tidak membuka garapan hutan yang baru. Selain itu
budaya yang harus diterapkan adalah dengan memanfaatkan teknologi yang tidak merusak
hutan untuk meningkatkan kemapanan secara ekonomi. Pemerintah mendorong dan
membuka kesempatan besar bagi masyarakat berusaha dan bisnis dibidang pemanfaatan
teknologi atau produksi teknologi. Supaya semakin terkikis pola pikir bahwa TUAN
TANAH itu hebat.
Animo masyarakat memiliki lahan yang luas dan dikonversi menjadi sesuai keinginan
pemilik sangat tinggi, bahkan pejabatpun banyak melakukan hal ini, bahkan para pejabat
banyak yang memiliki satu buah pulau dan dieksploitasi secara bebas oleh mereka sesuai
kehendak mereka. Selain pejabat, para pegawai yang akan pensiun menjadikan lahan
perkebunan menjadi penopang dikala pensiun datang, sebelum mereka pensiun mereka

banyak yang mengkonversi hutan menjadi perkebunan baik sawit, karet, dan tanaman lainnya
sebagai bekal saat pensiun. Selain sebagai bekal pensiun, keinginan masyarakat untuk
mempersiapkan harta berupa kebun luas untuk bekal keturunan mereka kelak juga sangat
tinggi. Sekalipun mereka telah memfasilitasi keturunan mereka dengan pendidikan tinggi,
mereka masih memfasilitasi keturunan mereka dengan sebidang kebun yang menjadi bekal
keturunannya. Sehingga budaya ini akan turun-temurun hingga punahnya hutan menjadi
lahan perkebunan serta lahan tambang.
Hakekat Kebutuhan Hutan
Secanggih apapun teknologi yang dapat diciptakan untuk mengembalikan hutan
kembali seperti sedia kala, itu tidak akan pernah tercapai. Hutan bukan hanya untuk
kebutuhan oleh satu organisasi makhluk dibumi, tetapi hutan merupakan kebutuhan jutaan
organisasi makhluk. Semua organisasi itu saling mendukung dalam pembentukan ekosistem
bumi yang harmonis. Manusia sering egois dengan keinginannya tanpa mempedulikan
organisasi makhluk yang lain, padahal mereka yakin organisasi makhluk yang lain tersebut
akan bertingkahlaku tidak wajar saat sudah terusik kebutuhan mereka. Jadi dengan
menyemarakkan penanaman pohon memang solusi untuk mengembalikan udara segar
dibumi, tapi tidak mengembalikan organisasi makhluk lain yang telah punah, karena konversi
hutan secara besar-besaran dilakukan. Sehingga akan semakin banyak makhluk yang menjadi
tinggal nama dan sejarah, padahal makhluk tersebut sangat dibutuhkan dalam kelangsungan
ekosistem itu sendiri.
Budaya eksploitasi hutan untuk kemapanan ekonomi merupakan budaya manusia
purba, namun saat itu manusia purba tidak memusnahkan hutan seutuhnya, masih
memberikan porsi pada makhluk lain untuk melanjutkan hidupnya, hingga tetap ada
kesinambungan sekalipun berpindah ke hutan yang lain. Jika manusia modern sekarang
masih berpikir seperti manusia purba dalam mengeksploitasi hutan untuk kelangsungan
hidupnya, artinya manusia saat ini telah mengalami kemunduran dalam berpikir untuk
kelangsungan hidupnya.
SABAM PARJUANGAN
Dosen Program Studi Teknik Komputer, AMIK Teknokrat.
Peneliti dan Pemerhati Kerusakan Hutan.

Anda mungkin juga menyukai