A.
JUDUL
EVALUASI REKONSTITUSI ANTIBIOTIK GOLONGAN
SEFALOSPORIN DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSUP. DR. M.
DJAMIL PADANG
B. LATAR BELAKANG
Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia
terkait dengan banyaknya kejadian infeksi bakteri. Lebih dari seperempat anggaran
rumah sakit dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotik (WHO, 2006). Penyakit
infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting
khususnya di Negara berkembang (Kemenkes, 2011). Hasil studi di Indonesia,
Pakistan dan India menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien diresepkan antibiotik.
Dan hampir 90% pasien mendapatkan suntikan antibiotik (Febiana, 2012). Prinsip
umum penggunaan antibiotik sama seperti semua produk obat lainnya yaitu dapat
memenuhi kriteria sebagai berikut, sesuai dengan indikasi penyakit, diberikan dengan
dosis yang tepat, cara pemberian dengan interval waktu yang tepat, lama pemberian
yang tepat, obat yang diberikan harus efektif, mutu terjamin dan aman, tersedia setiap
saat dengan harga terjangkau (WHO, 1987).
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai
permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi
bakteri terhadap antibiotik (Kemenkes, 2011). Hasil penelitian tentang penggunaan
antibiotik yang dilakukan oleh Lestari dkk (2011) di Bangsal Penyakit Dalam RSUP
Dr. M.Djamil Padang, memberitahukan bahwa jenis antibiotik yang digunakan di
urutan tertinggi adalah seftriakson yaitu sebanyak 31,43% yang meningkat menjadi
65,94% pada tahun 2012 (Allan, 2012). Menurut Alginda (2012), di RSUD Dr. M.
Zein Painan penggunaan antibiotik tertinggi juga seftriakson (77,19%) dan
sefotaksim (29,82%). Kemudian berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh
penulis, antibiotik golongan sefalosporin merupakan antibiotik yang paling banyak
dekstrosa 5% untuk memperoleh larutan yang mengandung 10-20 atau 20-40 mg/ mL
(AHFS, 2011).
Proses rekonstitusi sediaan antibiotik yang tidak sesuai GPP (Good
Preparation Practices) dapat memicu ketidakefektifan terapi, bila berlangsung terus
menerus dan masiv dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya resistensi bakteri
terhadap antibiotik tertentu (Lucida, 2014). Penelitian-penelitian sebelumnya yang
dilakukan di beberapa rumah sakit di sumatera barat menyatakan bahwa ditemukan
ketidaktepatan prosedur rekonstitusi injeksi antibiotik seperti jenis pelarut yang
digunakan, volume pelarut, teknis aseptis, teknik pencampuran dan ruangan
rekonstitusi serta penyimpanan setelah direkonstitusi.
Proses rekonstitusi dan pencampuran sediaan intravena di rumah sakit biasanya
dilakukan oleh perawat. Proses ini perlu diawasi oleh farmasis sesuai Standar
Kompetensi Apoteker Indonesia untuk memastikan bahwa pencampuran sediaan
steril di rumah sakit sesuai dengan Praktek Penyiapan Obat yang Baik (Good
Preparation Practices, GPP) sehingga terjamin sterilitas, kelarutan dan kestabilannya
(Lucida, 2014). Mengingat tingginya penggunaan antibiotik golongan sefalosporin
perlu pengawasan yang ketat dalam penyiapan injeksi sefalosporin di rumah sakit.
Penelitian ini belum pernah dilakukan di RSUP. Dr. M. Djamil Padang. Oleh karena
itu, berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk mengevaluasi cara
penyiapan dan penyimpanan injeksi antibiotik sefalosporin pada pasien rawat inap
Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang.
C. PERUMUSAN MASALAH
1.
2.
literatur?
Apakah sudah ada SOP (Standar Operasional Prosedur) tentang rekonstitusi
sediaan injeksi antibiotik seftriakson dan sefotaksim di RSUP Dr. M. Djamil
3.
Padang?
Apakah regimen dosis dan cara pemberian seftriakson dan sefotaksim sudah
sesuai standar terapi?
D. TUJUAN
Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran penggunaan
injeksi antibiotik seftriakson dan Sefotaksim untuk terapi infeksi di Bangsal Penyakit
Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang terkait cara penyiapan dan penyimpanan injeksi
antibiotik seftriakson dan sefotaksim sebelum diberikan pada pasien.
E. LUARAN YANG DIHARAPKAN
1.
2.
3.
golongan sepalosporin.
Sebagai salah satu sumber informasi bagi Rumah Sakit dan Fakultas Farmasi
Universitas Andalas tentang cara pencegahan terjadinya resistensi penggunaan
injeksi antibiotik seftriakson dan sefotaksim di RSUP Dr. M. Djamil Padang.
F. KEGUNAAN
Penggunaan
anbiobiotik
ditentukan
berdasarkan
indikasi
dengan
tubuh berhasil menyingkirkan mikroba dan zat toksik yang dihasilkan mikroba maka
tidak perlu diberikan antibiotik (Setiabudy, 2007).
Gejala demam yang merupakan salah satu gejala sistemik dari infeksi paling
umum tetapi tidak dapat dijadikan indikator utama dalam pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berdasarkan adanya demam tidak bijaksana karena:
1.
Demam dapat disebabkan oleh infeksi virus pemberian antibiotik untuk proses
penyembuahan tidak lazim.
2.
Demam dapat juga terjadi sendirinya tanpa infeksi jadi pemberian antibiotik
tidak tepat dalam hal ini.
3.
Pemberian antibiotik yang tidak pada tempatnya dapat merugikan pasien dan
dapat menimbulkan resistensi (Setiabudy, 2007).
Informasi tentang spectrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman
terhadap antibiotik.
b.
c.
d.
Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman.
(Kemenkes, 2011).
Untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antibiotik secara pasti perlu
pertama digunakan tepat serta gejala klinik jelas membaik dapat dilanjutkan terus
dengan menggunakan antibiotik tersebut. Apabila hasil uji sensitivitas menunjukkan
ada antibiotik yang lebih efektif, sedangkan dengan antibiotik yang digunakan
pertama gejala klinik penyakit menunjukkan perbaikan-perbaikan yang meyakinkan,
antibiotik yang digunakan pertama sebaiknya dilanjutkan. Tetapi bila hasil perbaikan
klinik kurang memuaskan, antibiotik yang diberikan semula seharusnya diganti
dengan yang lebih tepat, sesuai dengan hasil uji sensitivitas (Setiabudy, 2007).
Kondisi tubuh hospes juga perlu dipertimbangkan untuk memilih antibiotik
yang tepat, untuk pasien yang terinfeksi tetapi juga mengalami penyakit pada ginjal
maka dipilih antibiotik yang paling aman tetapi efek antibiotik yang maksimal.
kemudian dalam menilai ongkos tidsk cukup hanya memperhitungkan harga satuan
obat tetapi harus pula memperhatikan lama terapi yang diberikan .
Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antibiotik sementara hasil
pemeriksaan mikrobiologik belum diperoleh. Pemilihan ini harus didasarkan pada
pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling
mungkin serta antibiotik terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotik yang
didasarkan pada luas spektrum kerjanya, tidak dibenarkan karena hasil terapi tidak
lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotik berspektrum sempit, sedangkan
superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotik berspektrum luas. Kecuali pada
pasien sepsis, antibiotik spektrum luas perlu diberikan sampai hasil culture and
sensitivity test keluar. Penyebab kegagalan terapi selain kepekaan mikroba terhadap
antibiotik adalah akibat dosis yang kurang, lama terapi yang tidak sesuai, kesalahan
dalam menetapkan etiologi, faktor farmakokinetik, pilihan antibiotik yang kurang
tepat dan faktor pasien (Setiabudy, 2007).
G.1.4 Posologi antimikroba
Efek terapi yang optimal sangat diepengaruhi oleh tercapainya kadar
antimikroba pada tempat infeks, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam
menentukan dosis adalh umur,berat badan, fungsi ginjal,fungsi hati dan lain-lain.
Penyerapan obat juga mempengaruhi sampainya obat pada tempat terapi, penyerapan
dapat dipengaruhi dengan adanya zat lain misanya absorpi tetrasiklin dapat terhambat
bila diberikan bersamaan dengan preparat besi. Sebaiknya antibiotik diberikan secara
oral karena aman dan tidak invasif, untuk infeksi berat maka diberikan secara
parenteral. Cara pmberian secara topikal sering kali tidak memberikan efek terapi
yang memuaskan, bahkan dapat menimbulkan masalah sensitisasi dan maslah
resistensi (Setiabudy, 2007).
G.1.5 Konsep farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik
Keberhasilan pengobatan dengan natibiotik ditentukan oleh bnyak faktor,
namun ada dua faktor yang sangat menentukan yaitu faktor farmakokinetik dan
farmakodinamik terhadap daya hambat atau daya bunuh mikroba penyebab infeksi.
Ada dua pola daya hambat atau daya bunuh mikroba yaitu:
1. Concentration dependent killing
pada pola ini antimikroba menghasilkan daya bunuh maksimal terhadap
mikroba bila kadarnya relatif tinggi dalam darah, tetapi tidak perlu
mempertahan kadar tinggi selam mungkin. Antibiotik yang termasuk pada
pola ini adalah aminoglikosida, fluorokuinolon, dan ketolid. Untuk
mendapatkan efektivitas ini obat diberikan dengan dosis yang besar dan
biasanya diberikan dengan rute bolus/infus selama sampai 1 jam.
2. Time dependent killing
pada pola ini antimikroba akan menghasilkan daya bunuh maksimal pada
konsentrasi dipertahankan cukup lama diatas kadar hambat minimal mikroba
dalam darah. Yang termasuk dalam pola ini adalah antibiotik golongan
penisilin, sepalosporin, linezoid dan eritromisin. Untuk mendapatkan
efektivitas klinis yang maksimal obat ini diberikan secara infus continou atau
dapat juga diberikan dengan infus berkala (intermittent infusion) tetapi dibagi
dalam beberapa kali pemberian perhari.
G.1.6 Penggolongan antibiotik
Berdasarkan struktur kimia, antibiotik digolongkan sebagai berikut :
1. Golongan makrolida, contohnya eritromisin, dll.
2. Golongan aminoglikosida, contohnya amikasin, gentamisin, dll.
G.2. Seftriakson
Seftriakson merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga. Sefalosporin
tergolong terdalam antibiotika beta laktam karena memiliki cincin beta laktam pada
strukturnya, seperti terlihat pada gambar 1 (BNF, 2009).
coli,
Haemophilus
influenzae,
H.
parainfluenzae,
Klebsiella
dan
Serratia
marcescens.
Seftriakson
juga
aktif
terhadap
10
Indikasi
Otitis media akut (AOM), infeksi tulang dan sendi, endokarditis, infeksi intra
abdominal, infeksi CNS lain dan meningitis, infeksi saluran pernafasan, septicemia,
infeksi kulit dan struktur kulit, infeksi saluran urin (UTIs), aktinomikosis, infeksi
bartonella, capnocytophaga, chancroid, gonore, leptospirosis, penyakit lyme, neisseria
meningitis, nocardiosis, penyakit inflamasi pelvis, infeksi pseudomonas aeruginosa,
demam relaps, infeksi shigella, syphilis, demam typoid dan infeksi salmonella lain
nya, penyakit whipple, terapi empiris pasien febrile neutropenik, propilaksis
perioperatif, propilaksis pada korban kekerasan seksual, propilaksis luka gigitan
(AHFS, 2011). Penelitian terbaru menunjukan bahwa seftriakson memiliki manfaat
sebagai neuronprotektor. Hal ini mengarah pada pengobatan Parkinson, amyotrophic
lateral sclerosis (ALS) dan Alzheimer dengan mekanisme pengurangan stres
oksidatif dan apoptosis (T. C. H. Leung, 2012).
Kontraindikasi
Jangan gunakan pada neonatus yang hiperbilirubinemia, terutama yang
prematur (karena partikular dapat mengganti bilirubin dari ikatan albumin). Neonatus
usia 28 hari menerima (atau diperkirakan membutuhkan) pengobatan dengan
larutan yang mengandung kalsium. Karena dapat terbentuk kristal pada paru, ginjal
dan garis infus. Tidak ada laporan yang sama sampai saat ini pada pasien selain
neonatus yang diobati dengan seftriakson dan larutan yang mengandung kalsium.
Dan tidak ada laporan sampai saat ini mengenai interaksi antara seftriakson dengan
produk oral yang mengandung kalsium, atau IM seftriakson dengan produk oral yang
mengandung kalsium (AHFS, 2011; Association Pharmacist American, 2010).
Peringatan
Penggunaan pada pasien dengan riwayat alergi penisilin, pasien anafilaksis,
urtikaria, abnormal kantong empedu, pasien dengan riwayat penyakit GI
(colitis/radang usus), penggunaan jangka panjang pada pasien gangguan fungsi
11
ginjal/hati. Secara umum tidak ada penyesuaian dosis pada pasien penurunan fungsi
ginjal sedang/penurunan fungsi hati, tapi penurunan fungsi ginjal yang berbarengan
dengan gangguan fungsi hati jangan berikan lebih dari 2 g/hari tanpa monitoring
konsentrasi serum (AHFS, 2011; Association Pharmacist American, 2010).
Kejang dilaporkan pada beberapa sefalosporin, terutama pada pasien dengan
gangguan ginjal yang tidak menerima penyesuaian dosis. Injeksi harus digunakan
secara hati-hati pada pasien diabetes mellitus. Sefriakson yang telah dilarutkan untuk
penggunaan IM dengan air bakteriostatik untuk injeksi yang mengandung benzil
alkohol tidak boleh digunakan pada neonates. Meskipun hubungan kausal belum
ditetapkan, administrasi suntikan dengan benzil alkohol telah dikaitkan dengan
toksisitas pada neonatus. Toksisitas tampaknya telah dihasilkan dari pemberian dalam
jumlah besar (yaitu, sekitar 100-400 mg / kg sehari) dari benzil alkohol pada
neonatus. Farmakokinetik hanya sedikit berubah pada pasien geriatrik dibandingkan
dengan yang lebih muda. Penyesuaian dosis berdasarkan usia tidak diperlukan pada
mereka yang menerima dosis hingga 2 g sehari (AHFS, 2011; Association Pharmacist
American, 2010).
Efek samping
Reaksi lokal (kehangatan, sesak, radang urat darah), efek hematologpati
(eosinofilia, trombositosis, leukopenia), dan reaksi hipersensitif.
Interaksi obat
Hindari penggunaan bersama dengan garam kalsium (iv), injeksi larutan
ringer, agen urikosurik (probenesid dengan dosis 1 atau 2 g/hari) karena dapat
menyebabkan peningkatan efek/toksik dari seftriakson. Pemberian bersamaan
probenesid oral (500 mg sehari) tampaknya tidak mempengaruhi farmakokinetik
seftriakson, mungkin karena seftriakson diekskresikan terutama oleh filtrasi
glomerular. Dosis yang lebih tinggi dari probenesid oral (1 atau 2 gram sehari) secara
12
dilaporkan
dengan
penggunaan
bersama
dengan
mengandung kalsium dan tidak boleh diberikan bersamaan dengan larutan IV yang
mengandung kalsium, termasuk infus seperti nutrisi parenteral, bahkan melalui jalur
infus yang berbeda pada waktu yang berbeda dalam setiap pasien (neonatus umur
28 hari).
IV Infus
Konsentrasi yang direkomendasikan untuk IV infus adalah 10-40 mg
seftriakson / mL; konsentrasi yang lebih rendah dapat digunakan jika diinginkan.
Jangan gunakan Pengencer yang mengandung kalsium (misalnya: larutan Ringer/
ringer laktat, larutan Hartmann) untuk merekonstitusi seftriakson karena dapat
terbentuk endapan.
Rekonstitusi dan Pengenceran
13
Rekonstitusi
larutan IV
14
15
Orang dewasa dengan fungsi ginjal dan hati normal: distribusi paruh 0,12-0,7
jam, dan eliminasi paruh 5,4-10,9 jam. Neonatus: 16,2 jam pada pasien usia 1-4 hari
dan 9,2 jam pada pasien usia 9-30 hari. Anak-anak 2-42 bulan: Distribusi paruh 0,25
jam dan eliminasi paruh jam.
Populasi khusus
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal moderat: eliminasi paruh rata-rata 1016 jam, Paruh eliminasi rata-rata 12,2-18,2 jam pada pasien dengan jarak kreatinin <5
mL/min (AHFS, 2011).
Stabilitas
Serbuk untuk injeksi di simpan pada suhu 25 C (biasanya 20-25 C),
terlindung dari cahaya langsung. Larutan IV yang mengandung 10-40 mg / mL
direkonstitusi dengan menggunakan air steril, natrium klorida 0,9%, atau 5 atau
dextrose 10% stabil selama 3 hari pada 25 C atau 10 hari pada suhu 4 C. Larutan
yang mengandung 10-40 mg / mL direkonstitusi dengan menggunakan dekstrosa 5%
dan 0,45 atau 0,9% natrium klorida stabil selama 3 hari pada 25 C. Larutan IM yang
mengandung 100 mg / mL direkontitusi dengan menggunakan air steril, natrium
klorida 0,9%, atau dekstrose 5% stabil selama 3 hari pada suhu kamar (25 C) atau
10 hari didinginkan pada suhu 4 C, dan larutan yang mengandung 250 atau 350 mg
/ mL stabil selama 24 jam pada 25 C atau 3 hari pada suhu 4 C.
Larutan IM yang mengandung 100 mg / mL direkonstitusi dengan
menggunakan hidroklorida 1% lidokain (tanpa epinefrin) atau air bakteriostatik
(mengandung alkohol benzil 0,9%) stabil selama 24 jam pada 25 C atau 10 hari
pada suhu 4 C. Larutan mengandung 250 atau 350 mg / mL stabil selama 24 jam
pada 25 C atau 3 hari pada suhu 4 C.
Ketika
menetapkan
tanggal
penggunaan,
tenaga
kesehatan
harus
16
G.3. Sefotaksim
Sefotaksim adalah golongan sefalosporin generasi ketiga. Sefotaksim
tergolong terdalam antibiotika beta laktam karena memiliki cincin beta laktam pada
strukturnya, seperti terlihat pada gambar 2 (BNF, 2011)
17
18
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap sefotaksim, komponen lain dalam sediaan dan
sefalosporin lainnya (BNF, 2009).
Efek samping
Kemerahan, pruritu Saluran cerna, kolitis, diare, mual dan muntah, sakit pada
tempat suntikan, Anafilaksis dan aritmia (setelah pemberian injeksi I.V kateter pusat),
peningkatan
BUN,
kanidiasis,kreatinin
meningkat,
eusinophilila,
erythema
colitis,
sindrom
Stevens-Johnson,
trombositopenia,
19
Peringatan / Kewaspadaan
Peringatan
Superinfeksi Clostridium difficile terkait diare dan kolitis. Kemungkinan
munculnya pertumbuhan berlebih dari organisme nonsusceptible, khususnya
Enterobacter, Pseudomonas, enterococci, atau Candida. Pengamatan intensif
terhadap pasien sangat dibutuhkan. Aritmia dilaporkan dengan injeksi cepat (<1
menit) melalui vena sentral. Kemungkinan reaksi hipersensitivitas, termasuk ruam
(makulopapular eritematosa atau), pruritus, demam, eosinofilia, urtikaria, anafilaksis,
eritema multiforme, sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolysis. Jika terjadi reaksi
hipersensitivitas, hentikan terapi dan penanganan yang tepat sesuai indikasi
(misalnya, epinefrin, kortikosteroid, dan pemeliharaan jalan napas yang memadai
(AHFS, 2011: Association Pharmacist American, 2010).
Dosis dan cara pemberian
Pemberian: pemberian melalui suntikan atau IV infus atau injeksi IM .
Rute IV rentan diberikan pada pasien yang keracunan darah, bakteremia, meningitis
peritonitis,, atau infeksi berat atau yang mengancam jiwa atau pada pasien dengan
resistensi rendah akibat kondisi buruk (misalnya, kekurangan gizi, trauma, operasi,
diabetes, dan gagal jantung).
dalam
tabung
dari
IV
kompatibel
dengan
larutan
mengalir
bebas.
20
Jangan menyuntikkan IV selama <3 menit, injeksi cepat (<1 menit) pada vena sentral
berpotensi menyebabkan kematian karena aritmia.
IV Infus
Rekonstitusi dan Pengenceran
Rekonstitusi vial yang mengandung 1 atau 2 g sefotaksim dengan 50-100 mL
natrium klorida 0,9% atau injeksi dekstrosa 5% untuk memperoleh larutan yang
mengandung 10-20 mg atau 20-40 mg/ mL. Bisa diencerkan lebih lanjut dalam 50
mL untuk 1 L larutan IV kompatibel. Rekonstitusi 10-g serbuk sesuai dengan
petunjuk dari produsen dan kemudian encerkan lebih lanjut dalam larutan IV
kompatibel.
Laju Pemberian
Untuk IV infus, diinfuskan selama 20-30 menit Selama infus, hentikan larutan
IV lain mengalir melalui pipa administrasi, kecuali larutan diketahui meliliki
kesaamaan sifat dengan larutan obat.
Injeksi Intra Muskular (IM)
Injeksikan dengan dalam ke dalam otot tepatnya pada kuadran luar atas
hindari injeksi masuk ke pembuluh darah. dosis 2 g IM harus dibagi dan diberikan
pada 2 injeksi yang berbeda.
Rekonstitusi
Rekonstitusi vial yang mengandung 500 mg, 1 g, dan 2 g sefotaksim masingmasing dengan 2, 3, atau 5 mL, air steril untuk injeksi, untuk memperoleh larutan
230, 300, dan 330 mg/mL.
Dosis Pediatrik
IV
21
Dewasa
Dosis Umum Dewasa
22
Dosis infeksi spesifik: disesuaikan dengan usia dan jenis penyakit (Association
Pharmacist American, 2010).
Populasi khusus
Gangguan fungsi hati
Tidak ada penyesuaian dosis.
Gangguan fungsi ginjal
Pasien dengan Clcr <20 mL/minute per 1.73 m2 harus mendapatkan
penyesuaian dosis 50% dari dosis yang biasa diberikan pada interval biasa
(diturunkan 50%). Pasien hemodialysis harus menerima 0.5-2 g dosis tunggal sehari
dengan sebuah dosis tambahan setiap setelah periode dialisis.
Farmakokinetik
Absorpsi
Penyerapan pada saluran pencernaan tidak baik, sehingga harus diberikan
secara parenteral. Setelah pemberian IM, konsentrasi serum puncak dicapai dalam
waktu 30 menit.
Distribusi
Didistribusikan ke jaringan dan cairan tubuh secara luas termasuk aqueous
humor, sekresi bronkial, dahak, efusi telinga tengah, tulang, empedu, pleura, dan
prostat. Didistribusikan ke CSF, konsentrasi tertinggi dicapai pada mereka dengan
meninges. Didistribusikan ke plasenta dan ASI. Terikat protein Plasma 13-38%.
Metabolisme
Sebagian dimetabolisme dalam hati dalam bentuk desacetylcefotaxime, yang
memiliki aktivitas antibakteri. Desacetylcefotaxime selanjutnya dimetabolisme
menjadi metabolit aktif dalam hati. Sefotaksim dan metabolitnya diekskresikan
terutama di urin. Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal, 40-60% dari dosis
diekskresikan sebagai obat tidak berubah, 24% diekskresikan sebagai metabolit aktif.
23
24
25
a. Ruangan
Tata letak
Jenis ruanagn
Pencampuran sediaan steril memerlukan ruangan khusus dan terkontrol.
Ruangan ini terdiri dari:
1. Ruangan persiapan
Ruangan yang digunakan untuk administrasi dab penyiapan alat
kesehatan dan bahan obat (etiket, pelabelan, pehitungan dosis, volume
pelarut)
2. Ruangan cuci tangan dan ruangan ganti
Pakaian sebelum masuk ke ruangan antara, petugas harus mencuci
tangan dan ruang ganti pakaian kerja serta memakai alat perlindungan
diri.
3.
4. Ruangan steril
b. Peralatan
Peralatan yang harus dimiliki untuk melakukan pencampuran sediaan steril
meliputi:
Alat pelindung diri (APD) meliputi:
Baju terbuat dari bahan yang impermeable, lengan panjang, bermanset dan
tidak tertutup dibagian depan seta menggunakan sarung tangan.
Laminar air flow (LAF)
Mempunyai sistem penyaringan ganda yang memiliki sfisiensi tingkat
tinggi, sehingga dapt berfungsi sebagai:
Penyaringan bakteri dan bahan-bahan eksogen di udara, menjaga aliran
udara yang konstan di luar lingkungan.
G.4.1.3 Langkah- langkah pencampuran aseptis, adalah:
1. Petugas harus memcuci tangan sesuai SOP
26
27
28
29
I.
JADWAL KEGIATAN
No
Bulan ke
Kegiatan
1
Persiapan
Pelaksanaan
Penelitian
2
Pengolahan Data
Penulisan Skripsi/makalah
Seminar
Ujian Akhir
DAFTAR PUSTAKA
Alginda, Lahvem. 2012. Analisis Regimen Dosis Dan Cara Penyiapan Injeksi
Antibiotik Sepalosporin Generasi Ketiga Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal
Penyakit Dalam Rsud Dr.M.Zein Painan. Padang: Universitas Andalas.
American Society of Health-System Pharmacists Customer Service Department.2011.
AHFS Drug Information Essentials. American Society of Health-System
Pharmacists Customer Service Department, inc. 7272 Wisconsin Avenue
Bethesda.
Association Pharmacist American. 2010. Drug Information Handbook 18th edition.
USA: Lexi-Comp.
30
BNF. 2009. British National Formulary. BMJ Group and Rps Publishing Volume 57.
Dipiro. 2008. Pharmacotherapy Handbook ed.7th. USA : McGrawHill.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Dasar Dispending Sediaan Steril.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Farmasi dan Alat
Kesehatan. Deparetemen Kesehatan RI.
Febiana, Tia. 2012. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Di Bangsal Anak
RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode Agustus-Desember 2011. Diponegoro:
Uiversitas Diponegoro
KEMENKES RI. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik.
Jakarta: KEMENKES RI.
Lestari, Wulan. 2010. Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Sistem ATC/DDD
dan Kriteria Gyysens di Bangsal Penyakit Dalam RSUP DR.M.Djamil Padang.
Padang : Universitas Andalas.
Lucida, heny. 2014. Kajian Kompatibilitas Sediaan Rekonstitusi Parenteral dan
Pencampuran Sediaan Intravena Pada Tiga Rumah Sakit Pemerintah di
Sumatera Barat. Padang :Universitas Andalas.
McEvoy & Gerald. 2008. AHFS Drugs Information. USA: American Society of
health system pharmacists.
Michael
T,
Madigan.
2000.
-lactam
Antibiotiks.
Brock
Biology
of
Microorganism13th Edition.
Muhammad, AAW. 2014. Antibiotics 4th class. University of technology Applied
Science Departement Biotechnology Division. New Zealand.
Rao, TV. MD. 2011. Learning Resources for Medical Microbiologist in
Developing World. Diagnostic Microbiology Laboratory
31
32