Anda di halaman 1dari 32

1

A.

JUDUL
EVALUASI REKONSTITUSI ANTIBIOTIK GOLONGAN
SEFALOSPORIN DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSUP. DR. M.
DJAMIL PADANG

B. LATAR BELAKANG
Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia
terkait dengan banyaknya kejadian infeksi bakteri. Lebih dari seperempat anggaran
rumah sakit dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotik (WHO, 2006). Penyakit
infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting
khususnya di Negara berkembang (Kemenkes, 2011). Hasil studi di Indonesia,
Pakistan dan India menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien diresepkan antibiotik.
Dan hampir 90% pasien mendapatkan suntikan antibiotik (Febiana, 2012). Prinsip
umum penggunaan antibiotik sama seperti semua produk obat lainnya yaitu dapat
memenuhi kriteria sebagai berikut, sesuai dengan indikasi penyakit, diberikan dengan
dosis yang tepat, cara pemberian dengan interval waktu yang tepat, lama pemberian
yang tepat, obat yang diberikan harus efektif, mutu terjamin dan aman, tersedia setiap
saat dengan harga terjangkau (WHO, 1987).
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai
permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi
bakteri terhadap antibiotik (Kemenkes, 2011). Hasil penelitian tentang penggunaan
antibiotik yang dilakukan oleh Lestari dkk (2011) di Bangsal Penyakit Dalam RSUP
Dr. M.Djamil Padang, memberitahukan bahwa jenis antibiotik yang digunakan di
urutan tertinggi adalah seftriakson yaitu sebanyak 31,43% yang meningkat menjadi
65,94% pada tahun 2012 (Allan, 2012). Menurut Alginda (2012), di RSUD Dr. M.
Zein Painan penggunaan antibiotik tertinggi juga seftriakson (77,19%) dan
sefotaksim (29,82%). Kemudian berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh
penulis, antibiotik golongan sefalosporin merupakan antibiotik yang paling banyak

diresepkan dokter di bangsal penyakit dalam RSUP. DR. M. Djamil Padang,


diantaranya seftriakson dan sefotaksim.
Di rumah sakit, injeksi antibiotik direkonstitusi segera sebelum diberikan
kepada pasien (Lucida, 2014). Rekonstitusi seftriakson botol yang mengandung 250
mg, 500 mg, 1 g, atau 2 g seftriakson masing-masing dengan 2,4; 4,8; 9,6; atau 19,2
mL larutan IV kompatibel untuk memberikan larutan yang mengandung sekitar 100
mg/mL (AHFS, 2011). Sedangkan sefotaksim rekonstitusi vial yang mengandung 1
dan 2 g sefotaksim dengan

50 dan 100 mL natrium klorida 0,9% atau injeksi

dekstrosa 5% untuk memperoleh larutan yang mengandung 10-20 atau 20-40 mg/ mL
(AHFS, 2011).
Proses rekonstitusi sediaan antibiotik yang tidak sesuai GPP (Good
Preparation Practices) dapat memicu ketidakefektifan terapi, bila berlangsung terus
menerus dan masiv dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya resistensi bakteri
terhadap antibiotik tertentu (Lucida, 2014). Penelitian-penelitian sebelumnya yang
dilakukan di beberapa rumah sakit di sumatera barat menyatakan bahwa ditemukan
ketidaktepatan prosedur rekonstitusi injeksi antibiotik seperti jenis pelarut yang
digunakan, volume pelarut, teknis aseptis, teknik pencampuran dan ruangan
rekonstitusi serta penyimpanan setelah direkonstitusi.
Proses rekonstitusi dan pencampuran sediaan intravena di rumah sakit biasanya
dilakukan oleh perawat. Proses ini perlu diawasi oleh farmasis sesuai Standar
Kompetensi Apoteker Indonesia untuk memastikan bahwa pencampuran sediaan
steril di rumah sakit sesuai dengan Praktek Penyiapan Obat yang Baik (Good
Preparation Practices, GPP) sehingga terjamin sterilitas, kelarutan dan kestabilannya
(Lucida, 2014). Mengingat tingginya penggunaan antibiotik golongan sefalosporin
perlu pengawasan yang ketat dalam penyiapan injeksi sefalosporin di rumah sakit.
Penelitian ini belum pernah dilakukan di RSUP. Dr. M. Djamil Padang. Oleh karena
itu, berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk mengevaluasi cara

penyiapan dan penyimpanan injeksi antibiotik sefalosporin pada pasien rawat inap
Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang.
C. PERUMUSAN MASALAH

1.

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan:


Apakah cara penyiapan dan penyimpanan antibiotik seftriakson dan sefotaksim
di Bangsal Penyakit Dalam RSUP. Dr. M. Djamil Padang telah sesuai dengan

2.

literatur?
Apakah sudah ada SOP (Standar Operasional Prosedur) tentang rekonstitusi
sediaan injeksi antibiotik seftriakson dan sefotaksim di RSUP Dr. M. Djamil

3.

Padang?
Apakah regimen dosis dan cara pemberian seftriakson dan sefotaksim sudah
sesuai standar terapi?

D. TUJUAN
Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran penggunaan
injeksi antibiotik seftriakson dan Sefotaksim untuk terapi infeksi di Bangsal Penyakit
Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang terkait cara penyiapan dan penyimpanan injeksi
antibiotik seftriakson dan sefotaksim sebelum diberikan pada pasien.
E. LUARAN YANG DIHARAPKAN
1.

Untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada


Fakultas Farmasi Andalas

2.

Tersedianya SOP (Standar Operasional Prosedur) tentang rekonsitusi antibiotik

3.

golongan sepalosporin.
Sebagai salah satu sumber informasi bagi Rumah Sakit dan Fakultas Farmasi
Universitas Andalas tentang cara pencegahan terjadinya resistensi penggunaan
injeksi antibiotik seftriakson dan sefotaksim di RSUP Dr. M. Djamil Padang.

F. KEGUNAAN

1. Memberikan informasi penggunaan antibiotik yang baik untuk mencegah


terjadinya resistensi bakteri.
2. Sebagai acuan pembuatan SOP (Standar Operasional Prosedur) cara rekonstitusi
sediaan injeksi antibiotik sefalosporin.
3. Sebagai sarana penambah ilmu pengetahuan bagi peneliti.
4. Memberikan informasi kepada pihak Rumah Sakit dan pihak Fakultas Farmasi
Universitas Andalas tentang salah satu cara pencegahan terjadinya resistensi
penggunaan antibiotik injeksi di RSUP Dr. M. Djamil Padang.
G. TINJAUAN PUSTAKA
G.1 Antibiotik
G.1.1 Definisi antibiotik
Antibiotik adalah senyawa atau bahan yang dapat membunuh bakteri atau
menghambat pertumbuhannya. Antibiotik merupakan senyawa antimikroba yang luas
digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme termasuk
jamur dan protozoa (Arieq, 2013).
G.1.2 Penggunaan antibiotik di klinik
Penggunaan antibiotik di klinik bertujuan untuk membasmi mikroba penyebab
infeksi.

Penggunaan

anbiobiotik

ditentukan

berdasarkan

indikasi

dengan

mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut: gambaran klinik penyakit infeksi,


yakni efek yang ditimbulkan dengan adanya mikroba dalam tubuh hospes, kemudian
efek terapi antimikroba pada penyakit infeksi diperoleh hanya sebagai akibat kerja
antimikroba terhadap biomekanisme mikroba, serta antimikroba dapat dikatakan
bukan merupakan obat penyembuh penyakit infeksi tetapi antimikroba hanyalah
menyingkatkan waktu yang diperlukan tubuh hospes untuk sembuh dari infeksi
(Setiabudy, 2007).
Gejala klinik infeksi terjadi akibat gangguan langsung oleh mikroba maupun
oleh berbagai zat toksik yang dihasilkan oleh mikroba. Bila mekanisme pertahanan

tubuh berhasil menyingkirkan mikroba dan zat toksik yang dihasilkan mikroba maka
tidak perlu diberikan antibiotik (Setiabudy, 2007).
Gejala demam yang merupakan salah satu gejala sistemik dari infeksi paling
umum tetapi tidak dapat dijadikan indikator utama dalam pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berdasarkan adanya demam tidak bijaksana karena:
1.

Demam dapat disebabkan oleh infeksi virus pemberian antibiotik untuk proses
penyembuahan tidak lazim.

2.

Demam dapat juga terjadi sendirinya tanpa infeksi jadi pemberian antibiotik
tidak tepat dalam hal ini.

3.

Pemberian antibiotik yang tidak pada tempatnya dapat merugikan pasien dan
dapat menimbulkan resistensi (Setiabudy, 2007).

G.1.3 Pimilihan antibiotik


Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:
a.

Informasi tentang spectrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman
terhadap antibiotik.

b.

Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.

c.

Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.

d.

Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman.
(Kemenkes, 2011).
Untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antibiotik secara pasti perlu

dilakukan pembiakan mikroorganisme penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji


kepekaan. Bahan biologik dari hospes untuk pembiakan, diambil sebelum pemberian
antibiotik. Setelah pengambilan bahan tersebut, terutama dalam keadaan penyakit
infeksi berat, terapi dengan antibiotik dapat dimulai dengan memilih antibiotik yang
tepat berdasarkan gambaran klinik pasien. Dalam praktik sehari-hari tidak
memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan biakan pada setiap terapi penyakit
infeksi. Bila dapat diperkirakan kuman penyebab dan pola kepekaannya, dapat dipilih
antibiotik yang tepat. Bila dari hasil uji kepekaan ternyata pilihan antibiotik yang

pertama digunakan tepat serta gejala klinik jelas membaik dapat dilanjutkan terus
dengan menggunakan antibiotik tersebut. Apabila hasil uji sensitivitas menunjukkan
ada antibiotik yang lebih efektif, sedangkan dengan antibiotik yang digunakan
pertama gejala klinik penyakit menunjukkan perbaikan-perbaikan yang meyakinkan,
antibiotik yang digunakan pertama sebaiknya dilanjutkan. Tetapi bila hasil perbaikan
klinik kurang memuaskan, antibiotik yang diberikan semula seharusnya diganti
dengan yang lebih tepat, sesuai dengan hasil uji sensitivitas (Setiabudy, 2007).
Kondisi tubuh hospes juga perlu dipertimbangkan untuk memilih antibiotik
yang tepat, untuk pasien yang terinfeksi tetapi juga mengalami penyakit pada ginjal
maka dipilih antibiotik yang paling aman tetapi efek antibiotik yang maksimal.
kemudian dalam menilai ongkos tidsk cukup hanya memperhitungkan harga satuan
obat tetapi harus pula memperhatikan lama terapi yang diberikan .
Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antibiotik sementara hasil
pemeriksaan mikrobiologik belum diperoleh. Pemilihan ini harus didasarkan pada
pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling
mungkin serta antibiotik terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotik yang
didasarkan pada luas spektrum kerjanya, tidak dibenarkan karena hasil terapi tidak
lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotik berspektrum sempit, sedangkan
superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotik berspektrum luas. Kecuali pada
pasien sepsis, antibiotik spektrum luas perlu diberikan sampai hasil culture and
sensitivity test keluar. Penyebab kegagalan terapi selain kepekaan mikroba terhadap
antibiotik adalah akibat dosis yang kurang, lama terapi yang tidak sesuai, kesalahan
dalam menetapkan etiologi, faktor farmakokinetik, pilihan antibiotik yang kurang
tepat dan faktor pasien (Setiabudy, 2007).
G.1.4 Posologi antimikroba
Efek terapi yang optimal sangat diepengaruhi oleh tercapainya kadar
antimikroba pada tempat infeks, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam
menentukan dosis adalh umur,berat badan, fungsi ginjal,fungsi hati dan lain-lain.
Penyerapan obat juga mempengaruhi sampainya obat pada tempat terapi, penyerapan

dapat dipengaruhi dengan adanya zat lain misanya absorpi tetrasiklin dapat terhambat
bila diberikan bersamaan dengan preparat besi. Sebaiknya antibiotik diberikan secara
oral karena aman dan tidak invasif, untuk infeksi berat maka diberikan secara
parenteral. Cara pmberian secara topikal sering kali tidak memberikan efek terapi
yang memuaskan, bahkan dapat menimbulkan masalah sensitisasi dan maslah
resistensi (Setiabudy, 2007).
G.1.5 Konsep farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik
Keberhasilan pengobatan dengan natibiotik ditentukan oleh bnyak faktor,
namun ada dua faktor yang sangat menentukan yaitu faktor farmakokinetik dan
farmakodinamik terhadap daya hambat atau daya bunuh mikroba penyebab infeksi.
Ada dua pola daya hambat atau daya bunuh mikroba yaitu:
1. Concentration dependent killing
pada pola ini antimikroba menghasilkan daya bunuh maksimal terhadap
mikroba bila kadarnya relatif tinggi dalam darah, tetapi tidak perlu
mempertahan kadar tinggi selam mungkin. Antibiotik yang termasuk pada
pola ini adalah aminoglikosida, fluorokuinolon, dan ketolid. Untuk
mendapatkan efektivitas ini obat diberikan dengan dosis yang besar dan
biasanya diberikan dengan rute bolus/infus selama sampai 1 jam.
2. Time dependent killing
pada pola ini antimikroba akan menghasilkan daya bunuh maksimal pada
konsentrasi dipertahankan cukup lama diatas kadar hambat minimal mikroba
dalam darah. Yang termasuk dalam pola ini adalah antibiotik golongan
penisilin, sepalosporin, linezoid dan eritromisin. Untuk mendapatkan
efektivitas klinis yang maksimal obat ini diberikan secara infus continou atau
dapat juga diberikan dengan infus berkala (intermittent infusion) tetapi dibagi
dalam beberapa kali pemberian perhari.
G.1.6 Penggolongan antibiotik
Berdasarkan struktur kimia, antibiotik digolongkan sebagai berikut :
1. Golongan makrolida, contohnya eritromisin, dll.
2. Golongan aminoglikosida, contohnya amikasin, gentamisin, dll.

3. Golongan florokinolon, contohnya vankomisin, kloramfenikol, doksisiklin,


ciprofloksasin, dll.
4. Golongan beta laktam, contohnya amoksisilin, ampisilin, seftriakson,
sefotaksim, imipenem, meropenem, dll (Di Piro, 2008).
G.1.7 Golongan betalaktam
Antibiotik ini dibagi menjadi empat kelompok yaitu kelompok penisilin,
sefalosporin, karbapenem dan monobaktam.
Kelompok sefalosporin
Sefalosporin adalah isolasi antibiotik -laktam dari Cephalosporium spp (T.V.
Rao, 2011). Antibiotik -laktam adalah golongan antibiotik yang memiliki kesamaan
komponen struktur berupa adanya cincin -laktam dan umum nya digunakan untuk
mengatasi infeksi bakteri (Michael, 2000).
Antibiotik sepalosporin terbagi menjadi 4 generasi, yang pertama adalah
sefazolin, sefadroksil, sepaleksin, sepalotin, sepapirin, dan sepadin. Generasi kedua
(antara lain: sefaklor, sefamandol, sefoksitin, sefuroksin dll), generasi ketiga (antara
lain: sefotaksim, moksalaktam, seftizoksim, seftriakson sefoperazon, seftazidim dll),
generasi keempat diantaranya sefepim dan sefpirom (Setiabudy, 2007).

G.2. Seftriakson
Seftriakson merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga. Sefalosporin
tergolong terdalam antibiotika beta laktam karena memiliki cincin beta laktam pada
strukturnya, seperti terlihat pada gambar 1 (BNF, 2009).

Gambar 1. Struktur seftriakson Na (British Pharmacopoeia, 2009).


Seftriakson memiliki aktivitas terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram
negatif aerobik, serta beberapa bakteri anaerob. Seftriakson tidak aktif terhadap
Chlamydia, jamur, dan virus. Gram-positif aerob seperti: Streptococcus pneumoniae,
S. pyogenes (grup A -hemolytic streptococci), Staphylococcus aureus (termasuk
strain penghasil penisilinase-), S. epidermidis, dan viridans streptococci. Seftriakson
juga aktif terhadap S. agalactiae, (kelompok B streptokokus) Methicillin-resistant
(resisten oksasilin) dan sebagian enterococci (misalnya, Enterococcus faecalis).
Seftriakson aktif terhadap beberapa jenis Nocardia, termasuk beberapa strain N.
Asteroids dan N. brasiliensis. Seftriakson resisten terhadap beberapa isolat
lingkungan N. asteroides dan isolat klinis N. farcinica. Gram-negatif aerob seperti:
Acinetobacter calcoaceticus, Enterobacter (termasuk aerogenes E, E. cloacae),
Escherichia

coli,

Haemophilus

influenzae,

H.

parainfluenzae,

Klebsiella

pneumoniae, K. oxytoca, Moraxella catarrhalis, Morganella morganii, Neisseria


gonorrhoeae, N. meningitidis, Proteus mirabilis, P. vulgaris, Pseudomonas
aeruginosa,

dan

Serratia

marcescens.

Seftriakson

juga

aktif

terhadap

Capnocytophaga, Citrobacter, Providencia, Salmonella, dan Shigella (AHFS, 2011).


Selanjutnya bakteri anaerob seperti: Bacteroides fragilis, Clostridium (kecuali
C. difficile), dan Peptostreptococcus. Juga aktif terhadap Prevotella bivius dan
Porphyromonas melaninogenicus. Memiliki kerja melawan Treponema pallidum,
Aktif terhadap Borrelia burgdorferi, yang merupakan agen penyebab Lyme disease.
Aktif terhadap Leptospira, termasuk L. interrogans dan L. Weilii (AHFS, 2011; The
Medical Letter, 2005).

10

Indikasi
Otitis media akut (AOM), infeksi tulang dan sendi, endokarditis, infeksi intra
abdominal, infeksi CNS lain dan meningitis, infeksi saluran pernafasan, septicemia,
infeksi kulit dan struktur kulit, infeksi saluran urin (UTIs), aktinomikosis, infeksi
bartonella, capnocytophaga, chancroid, gonore, leptospirosis, penyakit lyme, neisseria
meningitis, nocardiosis, penyakit inflamasi pelvis, infeksi pseudomonas aeruginosa,
demam relaps, infeksi shigella, syphilis, demam typoid dan infeksi salmonella lain
nya, penyakit whipple, terapi empiris pasien febrile neutropenik, propilaksis
perioperatif, propilaksis pada korban kekerasan seksual, propilaksis luka gigitan
(AHFS, 2011). Penelitian terbaru menunjukan bahwa seftriakson memiliki manfaat
sebagai neuronprotektor. Hal ini mengarah pada pengobatan Parkinson, amyotrophic
lateral sclerosis (ALS) dan Alzheimer dengan mekanisme pengurangan stres
oksidatif dan apoptosis (T. C. H. Leung, 2012).
Kontraindikasi
Jangan gunakan pada neonatus yang hiperbilirubinemia, terutama yang
prematur (karena partikular dapat mengganti bilirubin dari ikatan albumin). Neonatus
usia 28 hari menerima (atau diperkirakan membutuhkan) pengobatan dengan
larutan yang mengandung kalsium. Karena dapat terbentuk kristal pada paru, ginjal
dan garis infus. Tidak ada laporan yang sama sampai saat ini pada pasien selain
neonatus yang diobati dengan seftriakson dan larutan yang mengandung kalsium.
Dan tidak ada laporan sampai saat ini mengenai interaksi antara seftriakson dengan
produk oral yang mengandung kalsium, atau IM seftriakson dengan produk oral yang
mengandung kalsium (AHFS, 2011; Association Pharmacist American, 2010).
Peringatan
Penggunaan pada pasien dengan riwayat alergi penisilin, pasien anafilaksis,
urtikaria, abnormal kantong empedu, pasien dengan riwayat penyakit GI
(colitis/radang usus), penggunaan jangka panjang pada pasien gangguan fungsi

11

ginjal/hati. Secara umum tidak ada penyesuaian dosis pada pasien penurunan fungsi
ginjal sedang/penurunan fungsi hati, tapi penurunan fungsi ginjal yang berbarengan
dengan gangguan fungsi hati jangan berikan lebih dari 2 g/hari tanpa monitoring
konsentrasi serum (AHFS, 2011; Association Pharmacist American, 2010).
Kejang dilaporkan pada beberapa sefalosporin, terutama pada pasien dengan
gangguan ginjal yang tidak menerima penyesuaian dosis. Injeksi harus digunakan
secara hati-hati pada pasien diabetes mellitus. Sefriakson yang telah dilarutkan untuk
penggunaan IM dengan air bakteriostatik untuk injeksi yang mengandung benzil
alkohol tidak boleh digunakan pada neonates. Meskipun hubungan kausal belum
ditetapkan, administrasi suntikan dengan benzil alkohol telah dikaitkan dengan
toksisitas pada neonatus. Toksisitas tampaknya telah dihasilkan dari pemberian dalam
jumlah besar (yaitu, sekitar 100-400 mg / kg sehari) dari benzil alkohol pada
neonatus. Farmakokinetik hanya sedikit berubah pada pasien geriatrik dibandingkan
dengan yang lebih muda. Penyesuaian dosis berdasarkan usia tidak diperlukan pada
mereka yang menerima dosis hingga 2 g sehari (AHFS, 2011; Association Pharmacist
American, 2010).
Efek samping
Reaksi lokal (kehangatan, sesak, radang urat darah), efek hematologpati
(eosinofilia, trombositosis, leukopenia), dan reaksi hipersensitif.

Interaksi obat
Hindari penggunaan bersama dengan garam kalsium (iv), injeksi larutan
ringer, agen urikosurik (probenesid dengan dosis 1 atau 2 g/hari) karena dapat
menyebabkan peningkatan efek/toksik dari seftriakson. Pemberian bersamaan
probenesid oral (500 mg sehari) tampaknya tidak mempengaruhi farmakokinetik
seftriakson, mungkin karena seftriakson diekskresikan terutama oleh filtrasi
glomerular. Dosis yang lebih tinggi dari probenesid oral (1 atau 2 gram sehari) secara

12

parsial dapat menghalangi sekresi empedu seftriakson. Peningkatan efek/toksik


antikoagulan golongan antagonis vitamin K. Penurunan efek kloramfenikol dan
vaksin tifoid (Association Pharmacist American, 2010).
Nefrotoksisitas

dilaporkan

dengan

penggunaan

bersama

dengan

aminoglikosida. Sinergis aktivitas antibakteri terhadap beberapa Enterobacteriaceae


dan Pseudomonas aeruginosa. Peningkatan nefrotoksik pada penggunaan bersama
dengan furosemid (AHFS, 2011; Association Pharmacist American, 2010).
Dosis dan Pemberian
Pemberian (AHFS, 2011).
Pemberian secara IV infus atau injeksi IM, Jangan gunakan Pengencer yang
mengandung kalsium (misalnya; larutan Ringer/ Ringer laktat) untuk merekonstitusi
seftriakson karena dapat terbentuk endapan. Karena pengendapan seftriakson-kalsium
dapat terjadi,maka seftriakson

tidak boleh dicampur dengan larutan yang

mengandung kalsium dan tidak boleh diberikan bersamaan dengan larutan IV yang
mengandung kalsium, termasuk infus seperti nutrisi parenteral, bahkan melalui jalur
infus yang berbeda pada waktu yang berbeda dalam setiap pasien (neonatus umur
28 hari).

IV Infus
Konsentrasi yang direkomendasikan untuk IV infus adalah 10-40 mg
seftriakson / mL; konsentrasi yang lebih rendah dapat digunakan jika diinginkan.
Jangan gunakan Pengencer yang mengandung kalsium (misalnya: larutan Ringer/
ringer laktat, larutan Hartmann) untuk merekonstitusi seftriakson karena dapat
terbentuk endapan.
Rekonstitusi dan Pengenceran

13

Rekonstitusi

botol yang mengandung 250 mg, 500 mg, 1 g, atau 2 g

seftriaksone masing-masing dengan 2,4, 4,8, 9,6, atau 19,2 mL,

larutan IV

kompatibel untuk memberikan larutan yang mengandung sekitar 100 mg/mL,


Kemudian, diencerkan dalam larutan IV yang kompatibel. Rekonstitusi 10-g serbuk
dengan menambahkan 95 mL larutan IV kompatibel untuk memberikan larutan yang
mengandung sekitar 100 mg / mL dan kemudian encerkan dengan larutan iv
kompatibel (AHFS, 2011; Trissel, 2009).
Laju Pemberian
Dalam studi klinis, dosis diinfuskan selama 15-30 menit pada dewasa, 10-30
menit pada neonatus atau anak.
Pemberian Intra Muskular (IM)
Pada injeksi im pastikan jarum tidak dalam pembuluh darah. larutan IM
direkontitusi dengan menggunakan air bakteriostatik mengandung benzil alkohol dan
tidak boleh digunakan pada neonatus.
Rekonstitusi
Rekonstitusi dengan cara menambahkan 0,9, 1,8, 3,6, atau 7,2 mL air steril
untuk injeksi, injeksi natrium klorida 0,9%, injeksi dekstrosa 5%, air bakteriostatik
untuk injeksi yang mengandung benzil alkohol 0,9%, atau 1% lidokain hidroklorida
(tanpa epinefrin) ke botol berisi 250 mg, 500 mg, 1 g, atau 2 g seftriakson, untuk
memberikan larutan yang mengandung sekitar 250 mg / mL. Atau dengan
menambahkan masing-masing 1, 2,1, atau 4,2 mL dari salah satu pelarut ke botol
berisi 500 mg, 1 g, atau 2 g seftriakson, untuk memberikan larutan yang mengandung
sekitar 350 mg/mL. Vial yang mengandung 250 mg tidak boleh dilarutkan sampai
konsentrasi 350 mg / mL karena akan mustahil untuk menarik seluruh isi vial (AHFS,
2011; Trissel, 2009)
Dosis

14

Rentang dosis biasa


Bayi dan anak: i.m, i.v: 50-100 mg/kg/hari, dalam 1-2 dosis terbagi (maks 4
g/hari (meningitis), 2 g/hari (infeksi non meningitis). Dewasa: i.m, i.v: 1-2 g setiap
12-24 jam, maksimal: 4 g/hari.
Dosis infeksi spesifik
Disesuaikan dengan usia dan jenis penyakit (AHFS, 2011; Association
Pharmacist American, 2010).
Farmakokinetik
Absorpsi
Absorpsi pada saluran pencernaan tidak bagus sehingga harus diberikan
secara parenteral. Pemberian secara IM pada orang dewasa yang sehat, akan
mencapai konsentrasi serum puncak setelah 1,5-4 jam.
Distribusi
Setelah diberikan secara IM atau IV akan didistribusikan secara luas ke
jaringan tubuh dan cairan termasuk kandung empedu, paru-paru, tulang, jantung,
jaringan adenoma prostat, jaringan rahim, embel atrium, dahak, air mata , cairan di
telinga tengah, dan pleura, peritoneal, sinovial, asites, dan cairan blister. Terikat pada
protein plasma 93%-96%.
Metabolisme
Dimetabolisme sebagian kecil di usus setelah eliminasi empedu, 33-67 %
dieliminasi dalam urin oleh filtrasi glomerulus sebagai obat tidak berubah, sisanya
dieliminasi dalam feses melalui empedu sebagai obat tidak berubah dan metabolit
aktif. Seftriakson diekskresikan terutama melalui ginjal 33-67% dan sisanya
dimetabolisme di hati dan dikeluarkan bersama feses (McEvoy, 2008).
Waktu paruh eliminasi

15

Orang dewasa dengan fungsi ginjal dan hati normal: distribusi paruh 0,12-0,7
jam, dan eliminasi paruh 5,4-10,9 jam. Neonatus: 16,2 jam pada pasien usia 1-4 hari
dan 9,2 jam pada pasien usia 9-30 hari. Anak-anak 2-42 bulan: Distribusi paruh 0,25
jam dan eliminasi paruh jam.
Populasi khusus
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal moderat: eliminasi paruh rata-rata 1016 jam, Paruh eliminasi rata-rata 12,2-18,2 jam pada pasien dengan jarak kreatinin <5
mL/min (AHFS, 2011).
Stabilitas
Serbuk untuk injeksi di simpan pada suhu 25 C (biasanya 20-25 C),
terlindung dari cahaya langsung. Larutan IV yang mengandung 10-40 mg / mL
direkonstitusi dengan menggunakan air steril, natrium klorida 0,9%, atau 5 atau
dextrose 10% stabil selama 3 hari pada 25 C atau 10 hari pada suhu 4 C. Larutan
yang mengandung 10-40 mg / mL direkonstitusi dengan menggunakan dekstrosa 5%
dan 0,45 atau 0,9% natrium klorida stabil selama 3 hari pada 25 C. Larutan IM yang
mengandung 100 mg / mL direkontitusi dengan menggunakan air steril, natrium
klorida 0,9%, atau dekstrose 5% stabil selama 3 hari pada suhu kamar (25 C) atau
10 hari didinginkan pada suhu 4 C, dan larutan yang mengandung 250 atau 350 mg
/ mL stabil selama 24 jam pada 25 C atau 3 hari pada suhu 4 C.
Larutan IM yang mengandung 100 mg / mL direkonstitusi dengan
menggunakan hidroklorida 1% lidokain (tanpa epinefrin) atau air bakteriostatik
(mengandung alkohol benzil 0,9%) stabil selama 24 jam pada 25 C atau 10 hari
pada suhu 4 C. Larutan mengandung 250 atau 350 mg / mL stabil selama 24 jam
pada 25 C atau 3 hari pada suhu 4 C.
Ketika

menetapkan

tanggal

penggunaan,

tenaga

kesehatan

harus

mempertimbangkan informasi stabilitas dari sumber terpercaya. Produsen obat juga

16

bisa menjadi sumber informasi stabilitas, khususnya informasi umum tentang


stabilitas dari obat (Trissel, 2009).
Kompatibilitas
Parenteral
Jangan gunakan pengencer yang mengandung kalsium untuk merekonstitusi
atau mengencerkan seftriakson karena dapat terbentuk endapan.
Larutan yang kompatibel dengan seftriakson
Dekstrosa 3,4%, natrium klorida 0,3% HID, Dextrose 5% dengan kalium
klorida 10 mEq / LHID, Dextrose 5% dalam natrium klorida 0,2% dengan kalium
klorida 20 mEq / LHID, Dextrose 5% natrium klorida HID 0,45%, Dekstrosa 5 atau
10% di waterHID NaCl 0,9% HID.
Larutan yang tidak kompatibel dengan seftriakson
Larutan Hartmann, larutan Ringer, larutan Ringer lactatedHID.

G.3. Sefotaksim
Sefotaksim adalah golongan sefalosporin generasi ketiga. Sefotaksim
tergolong terdalam antibiotika beta laktam karena memiliki cincin beta laktam pada
strukturnya, seperti terlihat pada gambar 2 (BNF, 2011)

17

Gambar 2. Struktur sefotaksim Na (British Pharmacopoeia, 2009).


Spektrum kerja
Biasanya kurang aktif secara in vitro terhadap stafilokokus yang resisten
terhadap sefalosporin generasi pertama. Memiliki spektrum diperluas sesuai
aktivitasnya terhadap bakteri gram negatif dibandingkan dengan generasi pertama dan
kedua. Aktivitas berupa penghambatan sintesis dinding sel bakteri. Spektrum kerja
mencakup banyak bakteri gram positif aerobik, beberap bakteri gram negatif aerobik,
dan beberapa bakteri anaerob, tidak aktif terhadap Chlamydia, jamur, dan virus.
Gram-positif aerob: S. pneumoniae, S. pyogenes (grup A -hemolytic streptococci), S.
agalactiae (grup B streptokokus), S. aureus (termasuk -laktamase- penghasil warna),
dan beberapa enterococci (misalnya, Enterococcus faecalis). Juga aktif terhadap
beberapa viridans streptococci. Gram-negatif aerob: Acinetobacter, Citrobacter,
Enterobacter, E. coli, H. Influenzae, H. parainfluenzae, Klebsiella, M. morganii, N.
gonorrhoeae, N meningitidis,. P. mirabilis, P. vulgaris, P. rettgeri, P. stuartii, dan
Serratia. Juga aktif terhadap Campylobacter.Salmonella, Shigella, dan Vibrio
vulnifikus (AHFS, 2011; Association Pharmacist American, 2010).
Indikasi
Infeksi tulang dan sendi, infeksi saluran dalam urin, infeksi ginekologik
(termasuk pembengkakan pelvis (PID)) endometritis, selulitis pelvis, infeksi intra
abdominal, meningitis dan infeksi CNS lain, infeksi saluran nafas, septicemia, infeksi
kulit dan struktur kulit, infeksi capnocytophaga, gonorrhea, lyme disease, lyme
carditis, demam typoid dan infeksi salmonella lain, infeksi vibrio, dan profilaksis
perioperatif (AHFS, 2011).

18

Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap sefotaksim, komponen lain dalam sediaan dan
sefalosporin lainnya (BNF, 2009).
Efek samping
Kemerahan, pruritu Saluran cerna, kolitis, diare, mual dan muntah, sakit pada
tempat suntikan, Anafilaksis dan aritmia (setelah pemberian injeksi I.V kateter pusat),
peningkatan

BUN,

kanidiasis,kreatinin

meningkat,

eusinophilila,

erythema

multiforme, demam, sakit kepala, interstitial nephritis, neutropenia, phlebitis,


pseudomembranous

colitis,

sindrom

Stevens-Johnson,

trombositopenia,

transaminases meningkat, toksik epidermal necrolysis, urtikaria, vaginitis. Dilaporkan


juga adanya reaksi ESO dari sefalosporin lainnya: Agranulositosis, anemia hemolitik,
pendarahan, pancytopenia, disfungsi ginjal, pusing, superinfeksi, toksik neftopati
(AHFS, 2001) dan (BNF, 2009).
Interaksi obat
Penggunaan bersama dengan garam kalsium (iv), larutan ringer, dan agen
urikosurik dapat menyebabkan peningkatan efek/toksik. Agen urikosurik (probenesid,
sulfinpirazon) dapat menurunkan ekskresi sefalosporin, sehingga dapat meningkatkan
efek/toksik. Pemberian bersamaan probenesid oral (500 mg sehari) tampaknya tidak
mempengaruhi farmakokinetik sefotaksim, mungkin karena sefotaksim diekskresikan
terutama oleh filtrasi glomerular. Dosis yang lebih tinggi dari probenesid oral (1 atau
2 gram sehari) secara parsial dapat menghalangi sekresi empedu sefotaksim.
Menyebabkan peningkatan efek antikoagulan dari derivat kumarin (dikumarol dan
warfarin). Penurunan efek vaksin tifoid dan kloramfenikol. Nefrotoksisitas dilaporkan
pada penggunaan aminoglikosida bersama sepalosporin, dan menghasilkan efek
sinergis, khususnya pada infeksi yang disebabkan oleh p. aeruginosa dan
streptococcus faecalis. Nefrotoksik juga dapat terjadi pada penggunaan bersamaan
dengan diuretik kuat seperti furosemid (AHFS, 2011; Association Pharmacist
American, 2010; DEPKES RI, 2009).

19

Peringatan / Kewaspadaan
Peringatan
Superinfeksi Clostridium difficile terkait diare dan kolitis. Kemungkinan
munculnya pertumbuhan berlebih dari organisme nonsusceptible, khususnya
Enterobacter, Pseudomonas, enterococci, atau Candida. Pengamatan intensif
terhadap pasien sangat dibutuhkan. Aritmia dilaporkan dengan injeksi cepat (<1
menit) melalui vena sentral. Kemungkinan reaksi hipersensitivitas, termasuk ruam
(makulopapular eritematosa atau), pruritus, demam, eosinofilia, urtikaria, anafilaksis,
eritema multiforme, sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolysis. Jika terjadi reaksi
hipersensitivitas, hentikan terapi dan penanganan yang tepat sesuai indikasi
(misalnya, epinefrin, kortikosteroid, dan pemeliharaan jalan napas yang memadai
(AHFS, 2011: Association Pharmacist American, 2010).
Dosis dan cara pemberian
Pemberian: pemberian melalui suntikan atau IV infus atau injeksi IM .
Rute IV rentan diberikan pada pasien yang keracunan darah, bakteremia, meningitis
peritonitis,, atau infeksi berat atau yang mengancam jiwa atau pada pasien dengan
resistensi rendah akibat kondisi buruk (misalnya, kekurangan gizi, trauma, operasi,
diabetes, dan gagal jantung).

Injeksi Intra Vena (IV)


Rekonstitusi: rekonstitusi pada botol yang mengandung 500 mg, 1 g, atau 2 g
sefotaksim dengan 10 ml air steril untuk injeksi untuk memperoleh larutan yang
mengandung sekitar 50, 95, atau 180 mg / mL.
Laju pemberian
Injeksikan langsung ke pembuluh darah selama 3-5 menit atau perlahan-lahan
ke

dalam

tabung

dari

IV

kompatibel

dengan

larutan

mengalir

bebas.

20

Jangan menyuntikkan IV selama <3 menit, injeksi cepat (<1 menit) pada vena sentral
berpotensi menyebabkan kematian karena aritmia.
IV Infus
Rekonstitusi dan Pengenceran
Rekonstitusi vial yang mengandung 1 atau 2 g sefotaksim dengan 50-100 mL
natrium klorida 0,9% atau injeksi dekstrosa 5% untuk memperoleh larutan yang
mengandung 10-20 mg atau 20-40 mg/ mL. Bisa diencerkan lebih lanjut dalam 50
mL untuk 1 L larutan IV kompatibel. Rekonstitusi 10-g serbuk sesuai dengan
petunjuk dari produsen dan kemudian encerkan lebih lanjut dalam larutan IV
kompatibel.
Laju Pemberian
Untuk IV infus, diinfuskan selama 20-30 menit Selama infus, hentikan larutan
IV lain mengalir melalui pipa administrasi, kecuali larutan diketahui meliliki
kesaamaan sifat dengan larutan obat.
Injeksi Intra Muskular (IM)
Injeksikan dengan dalam ke dalam otot tepatnya pada kuadran luar atas
hindari injeksi masuk ke pembuluh darah. dosis 2 g IM harus dibagi dan diberikan
pada 2 injeksi yang berbeda.
Rekonstitusi
Rekonstitusi vial yang mengandung 500 mg, 1 g, dan 2 g sefotaksim masingmasing dengan 2, 3, atau 5 mL, air steril untuk injeksi, untuk memperoleh larutan
230, 300, dan 330 mg/mL.
Dosis Pediatrik
IV

21

50 mg / kg setiap 12 jam untuk neonatus prematur <1 minggu, yang


direkomendasikan oleh produsen.
IV atau IM
Direkomendasikan 50 mg / kg setiap 12 jam untuk neonatus <1 minggu untuk
berat 2 kg dan 50 mg / kg setiap 8 atau 12 jam bagi mereka dengan berat> 2 kg.
Dosis Umum untuk Neonatus usia 1-4 Minggu
IV
50 mg / kg setiap 8 jam, yang direkomendasikan oleh produsen
IV atau IM
50 mg / kg setiap 12 jam untuk neonatus 1-4 minggu dengan berat <1,2 kg, 50
mg / kg setiap 8 jam bagi mereka dengan berat 1,2-2 kg, dan 50 mg / kg setiap jam 6
atau 8 untuk berat > 2 kg.
Dosis umum pada anak usia 1 bulan sampai 12 tahun.
75-100 mg / kg sehari diberikan dalam 3 atau 4 dosis terbagi untuk ringan
sampai sedang, dan 150-200 mg / kg 50-180 mg / kg pemberian harian dalam 4-6
dosis terbagi pada mereka dengan berat <50 kg. Dosis yang lebih tinggi harus
digunakan untuk infeksi yg lebih parah atau serius , AAP merekomendasikan sehari
diberikan dalam 3 atau 4 dosis terbagi untuk infeksi parah. Anak dengan berat
badan> 50 kg harus menerima dosis lazim orang dewasa.

Dewasa
Dosis Umum Dewasa

Infeksi tanpa komplikasi , IV atau IM: 1 g setiap 12 jam

Infeksi sedang sampai parah, IV atau IM: 1-2 g setiap 8 jam.

Infeksi Parah, IV: 2 g setiap 6-8 jam

Infeksi yang mengancam jiwa: 2 g setiap 4 jam.

22

Dosis infeksi spesifik: disesuaikan dengan usia dan jenis penyakit (Association
Pharmacist American, 2010).
Populasi khusus
Gangguan fungsi hati
Tidak ada penyesuaian dosis.
Gangguan fungsi ginjal
Pasien dengan Clcr <20 mL/minute per 1.73 m2 harus mendapatkan
penyesuaian dosis 50% dari dosis yang biasa diberikan pada interval biasa
(diturunkan 50%). Pasien hemodialysis harus menerima 0.5-2 g dosis tunggal sehari
dengan sebuah dosis tambahan setiap setelah periode dialisis.
Farmakokinetik
Absorpsi
Penyerapan pada saluran pencernaan tidak baik, sehingga harus diberikan
secara parenteral. Setelah pemberian IM, konsentrasi serum puncak dicapai dalam
waktu 30 menit.
Distribusi
Didistribusikan ke jaringan dan cairan tubuh secara luas termasuk aqueous
humor, sekresi bronkial, dahak, efusi telinga tengah, tulang, empedu, pleura, dan
prostat. Didistribusikan ke CSF, konsentrasi tertinggi dicapai pada mereka dengan
meninges. Didistribusikan ke plasenta dan ASI. Terikat protein Plasma 13-38%.
Metabolisme
Sebagian dimetabolisme dalam hati dalam bentuk desacetylcefotaxime, yang
memiliki aktivitas antibakteri. Desacetylcefotaxime selanjutnya dimetabolisme
menjadi metabolit aktif dalam hati. Sefotaksim dan metabolitnya diekskresikan
terutama di urin. Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal, 40-60% dari dosis
diekskresikan sebagai obat tidak berubah, 24% diekskresikan sebagai metabolit aktif.

23

Waktu paruh eliminasi


Rentang waktu paruh sefotaksim dan desacetylcefotaxime masing-masingnya
adalah 0,9-1,7 dan 1,4-1,9 jam. Pada populasi Khusus, rentang waktu paruh
sefotaksim dan desacetylcefotaxime dapat diperpanjang. Misalnya, pada pasien
dengan penurunan fungsi hati. Dan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal
dengan dengan Clcr 10 menit mL / per 1,73 m2, waktu paruhnya masing-masing
1,4-11,5 dan 8.2- 56,8 jam (AHFS, 2011).
Stabilitas
Simpan serbuk untuk injeksi pada suhu 15-30 C dan terlindung dari cahaya
langsung. Serbuk untuk injeksi dan larutan mungkin akan berwarna gelap setelah
direkonstitusi. Larutan IV yang dilarutkan dengan natrium klorida 0,9% atau
dekstrosa 5% dan diencerkan dalam larutan IV kompatibel, akan stabil selama 24 jam
pada suhu kamar 25 C atau setidaknya 5 hari didinginkan pada 5 C. Larutan IM
yang mengandung 230-330 mg / mL yang direkonstitusi dengan air steril atau
bakteriostatik untuk injeksi stabil dalam wadah aslinya selama 24 jam pada suhu
kamar 25 C atau 10 hari didinginkan pada suhu 5 C.
Kompatibilitas
Sefotaksim stabil pada pH 5-7 dan harus diencerkan dalam larutan IV yang
mempunyai pH > 7,5.
Larutan yang kompatibel dengan sefotaksim
Dekstrosa 5 atau 10% dalam air, dekstrosa 5% dalam NaCL 0,2 ; 0,45 ; atau
0,9%, gula invert 10%, ringer laktat, NaCL 0,9%, dan Na laktat.
Obat-obat yang kompatibel pada saat pencampuran
Klindamisin fosfat, metronidazol, metronidazol HCl, dan Verapamil HCl.
G.4. Teknik aseptis (Departemen Kesehatan RI, 2009).

24

Aseptis berarti bebas mikroorganisme. Teknis aseptis didefenisikan sebagai


prosedur kerja yang meminimalisir kontaminan mikroorganisme dan dapat
menngurangi paparan terhadap petugas kontaminan kemungkinan terbawa kedaerah
aseptis dari alat kesehatan, sediaan obat atau petugas jadi penting untuk mengontrol
factor- factor ini selama proses pengerjaan produk aseptis.
Pencampuran sediaan steril harus dilakukan secara terpusat di instalasi
farmasi rumah sakit untuk menghindari infeksi nosokomial dan terjadinya kesalahan
pemberian obat. Pencampuran sediaan steril merupakan rangkaian perubahan bentuk
obat dari kondisi semula menjadi produk baru dengan proses pelarutan dan
penambahan bahan lain yang dilakukan secara aseptis oleh apoteker disarana
pelayanan kesehatan.
G.4.1. Syarat Umum
G.4.1.1 Sumbaer Daya Manusia
a. Apoteker
Setiap apoteker yang melaukukan persiapan / peracikan sediaan steril harus
meenuhi persyaratan sebagai berikut:

Memliki pengetahuan dan keterampilan tentang penyiapan dan


pengelolaan sediaan steril termasuk prinsip teknis aseptis.

Memiliki kemampuan membuat prosedur tetap setiap tahapan


pencampuran sediaan steril.

b. Tenaga kefarmasian (asisten apoteker)


Tenaga kefarmasian membantu apoteker dalam melakukan pencampuran
sediaan steril.
G.4.1.2. Ruangan dan Peralatan
Dalam melakukan pencampuran sediaan steril diperlukan ruangan dan peralatan
yang khusus untuk menjaga sterilitas produk yang dihasilkan dan menjamin
keselamatan petugas dan lingkungan.

25

a. Ruangan

Tata letak

Jenis ruanagn
Pencampuran sediaan steril memerlukan ruangan khusus dan terkontrol.
Ruangan ini terdiri dari:
1. Ruangan persiapan
Ruangan yang digunakan untuk administrasi dab penyiapan alat
kesehatan dan bahan obat (etiket, pelabelan, pehitungan dosis, volume
pelarut)
2. Ruangan cuci tangan dan ruangan ganti
Pakaian sebelum masuk ke ruangan antara, petugas harus mencuci
tangan dan ruang ganti pakaian kerja serta memakai alat perlindungan
diri.
3.

Ruangan antara (ante room)


Ruangan sebelum masuk ke ruangan steril melalui satu ruangan antara

4. Ruangan steril
b. Peralatan
Peralatan yang harus dimiliki untuk melakukan pencampuran sediaan steril
meliputi:
Alat pelindung diri (APD) meliputi:
Baju terbuat dari bahan yang impermeable, lengan panjang, bermanset dan
tidak tertutup dibagian depan seta menggunakan sarung tangan.
Laminar air flow (LAF)
Mempunyai sistem penyaringan ganda yang memiliki sfisiensi tingkat
tinggi, sehingga dapt berfungsi sebagai:
Penyaringan bakteri dan bahan-bahan eksogen di udara, menjaga aliran
udara yang konstan di luar lingkungan.
G.4.1.3 Langkah- langkah pencampuran aseptis, adalah:
1. Petugas harus memcuci tangan sesuai SOP

26

2. Menggunakan alat pelindungan diri (APD)


3. Memasukan semua bahan melalui pass box.
4. Proses pencampuran dilakukan di dalam LAF-BSC
5. Petugas melepas APD setelah selesai melakukan pencampuran
Kondisi khusus jika tidak ada fasilitas LAF BSC untuk sediaan steril maka perlu
diperhatikan hal hal sebagai berikut:
a. Ruangan yang bersih untuk pencampuran sdiaan steril.
b. Seluruh pintu dan jendela harus tertutup.
c. Tidak ada rak atau papan tulis yang permanen.
d. Lantai didesinfektan setiap hari dengan menggunakan hypoclorite 100 ppm.
e. Dinding mudah dibersihkan.
f. Meja harus jauh dari pintu.
G.4.1.4. Penyimpanan
Penyimpanan sediaan steril setelah dilakukan pencampuran tergantung pada
stabilitas masing masing obat, kondisi khusus penyimpanan:
a. Terlindung dari sinar cahaya langsung dengan menggunakan kertas karbon /
kantong plastik warna hitam atau alumunium foil.
b. Suhu penyimpanan 2-8 0C.
c. Disimpan dalam lemari pendingin (bukan freezer).
H. METODE PELAKSANAAN
H.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini akan dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan di Bangsal
Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang (Februari- April).
H.2. Prosedur Penelitian
H.2.1. Penetapan Kriteria Penderita

27

Penderita yang dipilih adalah pasien yang menerima injeksi antibiotik


sepalosporin generasi ketiga, di Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M.
Djamil Padang.
H.2.2. Penetapan Sampel yang Akan Dievaluasi
Sampel yang dipilih adalah rekam medik pasien yang menerima terapi
injeksi antibiotik sepalosporin generasi ketiga, di Bangsal Penyakit Dalam
RSUP Dr. Djamil Padang.
H.2.3. Pengambilan Data
A. Data yang diambil adalah data rekam medik pasien, data laboratorium
pendukung catatan dokter/perawat di bangsal, serta pengamatan terhadap
respon klinis pasien di Bangsal Penyakit Dalam RSUP. Dr. Djamil
Padang.
Data rekam medik:
a. Nama, umur, jenis kelamin, berat.
b. Keluhan pasien
c. Jenis obat dan dosis yang diterima pasien
d. Diagnosis riwayat penyakit pasien.
e. Waktu pemberian obat
Data laboratorium pendukung diantaranya adalah:
a. Suhu tubuh
b. Jumlah sel darah putih (leukosit)
c. Nilai serum kreatinin.
B. Mengamati perawat merekonstitusi injeksi kering, seperti:
a. pelarut yang digunakan
b. cara melarutkan
c. cara pemberian
d. cara penyimpanan injeksi yang sudah direkonstitusi

28

e. ruangan tempat merekonstitusi


f. waktu pemberian
C. Mengamati respon klinis pasien terhadap pengobatan yang diterima.
a. efektif atau tidaknya terapi, dapat dilihat dari gfafik suhu tubuh.
b. gejala efek samping obat,seperti:
Reaksi lokal sepeti panas dan reaksi hipersensitif.
c. gejala lain terkait adverse drug reaction yang dikeluhkan pasien,seperti:
reaksi alergi,reaksi toksik dan timbulnya super infeksi.
H.2.4. Penetapan Kriteria Obat
Obat yang dievaluasi adalah antibiotik injeksi seftriakson dan sefotaksim
(sepalosporin generasi ketiga) yang diberikan kepada pasien di Bangsal Penyakit
Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang.
H.2.5. Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan
H.2.5.1. Analisis Data
Data yang dikumpulkan diolah menggunakan statistik deskriptif. Data
disajikan dalam bentuk tabel dan diagram kemudian dianalisa.
Kemudian hasil yang diperoleh dibandingkan dengan standar yang
telah ditetapkan terlebih dahulu. Hasil perbandingan akan menunjukan
keberhasilan dan kerasionalan penggunaan obat yang ditinjau dari :
a. Kesesuaian pemilihan antibiotik dan regimen dosis yang diberikan
kepada pasien.
b.

Kesesuaian pelarut yang digunakan.

c. Cara penyiapan dan pemberian obat yang tepat terhadap pasien.


d. Ruangan tempat melarutkan.
H.2.5.2. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan berdasarkan analisa regimen dosis terhadap
status penyakit pasien dan respon klinis pada pasien di bangsal
penyakit dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang serta cara penyiapan
antibiotik injeksi yang digunakan dibandingkan dengan literatur.

29

I.

JADWAL KEGIATAN
No

Bulan ke
Kegiatan
1

Persiapan

Pelaksanaan

Penelitian
2

Pengolahan Data

Penulisan Skripsi/makalah
Seminar

Persiapan Seminar Hasil

Penyempurnaan Skripsi dan


Persiapan Ujian Akhir

Ujian Akhir

DAFTAR PUSTAKA
Alginda, Lahvem. 2012. Analisis Regimen Dosis Dan Cara Penyiapan Injeksi
Antibiotik Sepalosporin Generasi Ketiga Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal
Penyakit Dalam Rsud Dr.M.Zein Painan. Padang: Universitas Andalas.
American Society of Health-System Pharmacists Customer Service Department.2011.
AHFS Drug Information Essentials. American Society of Health-System
Pharmacists Customer Service Department, inc. 7272 Wisconsin Avenue
Bethesda.
Association Pharmacist American. 2010. Drug Information Handbook 18th edition.
USA: Lexi-Comp.

30

BNF. 2009. British National Formulary. BMJ Group and Rps Publishing Volume 57.
Dipiro. 2008. Pharmacotherapy Handbook ed.7th. USA : McGrawHill.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Dasar Dispending Sediaan Steril.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Farmasi dan Alat
Kesehatan. Deparetemen Kesehatan RI.
Febiana, Tia. 2012. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Di Bangsal Anak
RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode Agustus-Desember 2011. Diponegoro:
Uiversitas Diponegoro
KEMENKES RI. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik.
Jakarta: KEMENKES RI.
Lestari, Wulan. 2010. Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Sistem ATC/DDD
dan Kriteria Gyysens di Bangsal Penyakit Dalam RSUP DR.M.Djamil Padang.
Padang : Universitas Andalas.
Lucida, heny. 2014. Kajian Kompatibilitas Sediaan Rekonstitusi Parenteral dan
Pencampuran Sediaan Intravena Pada Tiga Rumah Sakit Pemerintah di
Sumatera Barat. Padang :Universitas Andalas.
McEvoy & Gerald. 2008. AHFS Drugs Information. USA: American Society of
health system pharmacists.
Michael

T,

Madigan.

2000.

-lactam

Antibiotiks.

Brock

Biology

of

Microorganism13th Edition.
Muhammad, AAW. 2014. Antibiotics 4th class. University of technology Applied
Science Departement Biotechnology Division. New Zealand.
Rao, TV. MD. 2011. Learning Resources for Medical Microbiologist in
Developing World. Diagnostic Microbiology Laboratory

31

Regional Health Forum WHO South-East Asia, Antibiotiks, Volume 2, number 2.


Available from : http://www.searo.who.int/EN Update September 4th 2006,
Accassed January 30th 2009.
Selected Articles From Treatment Guidelines With Updates from The Medical Letter,
2005. Handbook of Antimicrobial Therapy 17th Edition. New York: The Medical
Letter, inc.1000 main street New Rochelle 10801-7537.
Setiabudy, Rianto. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
T.C.H. Leung, C.N.P. Lui, L.W.Chen, W.H. Yung, Y.S.Chan, K.K.I. Yung. 2012.
Ceftriaxone Ameliorates Motor Deficit and Protects Dopaminergic Neurons In
6-Hydroxy Dopamine-Lesioned Rats. ACS Chem Neurosci.
The Department of Health. 2009. British pharmacopoeia. London: The Department
Of Health, Social Services And Public Safety.
Trissel, Lawrence A. 2009. Handbook On Injectable Drugs ed 15th. American Society
Of Health System Pharmacists.
World Health Organization. The Rational Use Drugs. World Health Organization,
1987: 1-5.
Yufi, Allan Bara. 2012. Analisis Regimen Dosis dan Cara Penyiapan Meropenem
Pada Pasien Rawat Inap di Irna Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Padang : Universitas Andalas.

32

Anda mungkin juga menyukai