Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS

Para 1 Abortus 1, 29 Tahun, Post Curetase Pertama,


Atas Indikasi Mola Hidatidosa dengan Tirotoksikosis

Pembimbing :
dr. Aditiyono, Sp.OG

disusun oleh:
Rikawanto Prima P.

(G1A212022)

Amma F. Muiza

(G1A212023)

SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
PURWOKERTO
2012

LEMBAR PENGESAHAN
Para 1 Abortus 1, 29 Tahun, Post Curetase Pertama,
Atas Indikasi Mola Hidatidosa dengan Tirotoksikosis

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan
Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR.Margono Soekarjo
Telah disetujui dan dipresentasikan pada
Desember 2012

Disusun oleh:
Rikawanto Prima P

(G1A212022)

Amma F. Muiza

(G1A212023)

Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan


Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto,

Desember 2012

Dosen Pembimbing,

dr. Aditiyono, Sp.OGKATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus ini. Presentasi kasus
ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagi CoAss Universitas
Jenderal Soedirman yang sedang menjalani program kepaniteraan klinik di SMF
Ilmu Kandungan dan Kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono
Soekarjo.
Dengan bekal pengetahuan, pengarahan, serta bimbingan yang diperoleh
sebelum dan sesudah menjalani kepaniteraan ini, penulis mencoba membahas
mengenai kasus yang berjudul Para 1 Abortus 0, Usia 29, Tahun Post Curetase
Pertama, Atas Indikasi Mola Hidatidosa dengan Tirotoksikosis.
Pada kesempatan ini, penulis juga berkeinginan untuk mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Aditiyono, Sp.OG selaku
pembimbing kami yang telah banyak memberikan arahan dan masukan yang
berarti, serta terima kasih bagi teman-teman atas kerjasama yang baik.
Kami menyadari bahwa presentasi kasus ini masih jauh dari sempurna dan
memiliki banyak keterbatasan. Oleh sebab itu, penulis menerima dengan senang
hati segala kritik dan saran yang membangun demi kebaikan penulis. Akhir kata
semoga pembahasan kasus ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca
sekalian.
Purwokerto, Desember 2012

Penyusun

DAFTAR ISI

i
ii
LEMBAR PENGESAHAN

iii

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ...

BAB I. PENDAHULUAN .

Latar Belakang ...


Tujuan Penulisan ...
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .
Definisi Mola Hidatidosa..
Etiologi Mola Hidatidosa..
Faktor Risiko Mola Hidatidosa.
Mola Hidatidosa Komplit (MHK).
Mola Hidatidosa Parsial (MHP)
BAB III. PRESENTASI KASUS.
Identitas.....
Anamnesa..
Pemeriksaan Fisik..
Pemeriksaan Penunjang.
Diagnosis..
Penatalaksanaan IGD
Prognosis...
BAB IV. PEMBAHASAN ...
Diagnosis ..
Penatalaksanaan ...
Prognosis ......

3
3
3
3
5
13
17
17
17
18
20
21
21
22
30
30

BAB V. KESIMPULAN ..

33

DAFTAR PUSTAKA ..

34
35
36

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mola hidatidosa merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
adanya proliferasi jaringan trofoblas abnormal, dan diklasifikasikan menjadi
mola hidatidosa komplit, parsial, dan invasif (Gangopadhyay, Arghya, Sailes,
et al., 2011). Mola hidatidosa adalah salah satu jenis dari Penyakit Trofoblas
Gestasional (PTG) secara historis berhubungan dengan mortalitas dan
morbiditas yang cukup signifikan. Mola hidatidosa sering diikuti dengan
perdarahan serius serta komplikasi lain yang timbul sehingga tidak hanya
mempengaruhi kehamilan saja, tetapi juga keadaan ibu secara sistemik
(Lurain, 2010).
Mola hidatidosa biasanya diikuti dengan beberapa penyulit yang dapat
mengancam kondisi ibu, seperti preeklampsia dalam onset yang sangat dini,
tirotoksikosis, hingga emboli paru (Kanter, Marshall, Eileen, et al., 2010).
Insidensi dan faktor etiologi yang berkontribusi pada perkembangan mola
hidatidosa cukup sulit untuk diidentifikasi. Studi epidemiologi telah
melaporkan adanya variasi regional dalam insidensi mola hidatidosa. Estimasi
berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika bagian Utara, Australia,
New Zealand, dan Eropa menunjukkan insidensi mola hidatidosa dalam
rentang 0.57-1.1 per 1000 kehamilan. Sedangkan penelitian yang dilakukan di
Asia Tenggara dan Jepang menunjukkan insidensi yang lebih tinggi, yaitu 2.0
per 1000 kehamilan (Lurein, 2010).
Di negara-negara yang sudah maju pengelolaan mola hidatidosa bukan
merupakan masalah karena sebagian besar telah terdiagnosis pada stadiumstadium dini, sebaliknya di negara-negara yang sedang berkembang karena
pada umumnya diagnosis terlambat maka penyulit-penyulit seperti perdarahan
dan tirotoksikosis masih menjadi salah satu penyebab kematian ibu (Matsui,
2000).

B. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah presentasi kasus ini adalah untuk


mengetahui faktor risiko, pathogenesis, tanda, gejala, komplikasi, hingga
penatalaksanaan pada kasus mola hidatidosa.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa (MH) adalah suatu kehamilan abnormal yang
sebagian atau seluruh stroma vili korialisnya langka akan vaskularisasi,
edematous, dan mengalami degenerasi hidropik berupa gelembung yang
menyerupai anggur (Martaadisoebrata, 2005; Prawirohardjo, 2005).
Kehamilan mola merupakan komplikasi kehamilan yang tidak biasa,
yang ditandai dengan proliferasi trofoblas abnormal dan diklasifikasikan
menjadi mola hidatidosa parsial dan mola hidatidosa komplit (Berkowitz
dan Goldstein, 2009).
B. Etiologi Mola Hidatidosa
Hingga saat ini, belum diketahui penyebab kejadian mola hidatidosa.
Beberapa faktor risiko telah teridentifikasi berpengaruh terhadap
patogenesis

mola

hidatidosa.

Faktor-faktor

tersebut

menghasilkan

proliferasi tak terkontrol pada trofoblas (Vorvick, 2010; Martaadisoebrata,


2005).
C. Faktor Risiko Mola Hidatidosa
1. Usia reproduksi
Mola hidatidosa (MH) dapat terjadi pada semua wanita dalam masa
reproduksi. Kehamilan pada usia di bawah 20 tahun dan di atas 35
tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami MH (Martaadisoebrata,
2005).
2. Status gizi
Status gizi dianggap berpengaruh terhadap kejadian MH. MH sebagai
suatu kehamilan abnormal yang berasal dari ovum patologis. Keadaan
tersebut disebabkan oleh adanya defisiensi protein berkualitas tinggi
(highclass protein). Beberapa peneliti mengaitkan hal ini dengan
kenyataan bahwa di Asia banyak kejadian MH pada penduduk yang
termasuk golongan sosioekonomi rendah dengan tingkat konsumsi
protein yang minim. Secara empiris, teori tersebut didukung dengan
tingginya angka kejadian MH pada beberapa daerah dengan pola
konsumsi rendah protein, seperti di Indonesia dan Filipina. Meski
demikian, teori tersebut belum menjawab kenyataan bahwa terdapat

daerah-daerah dengan angka kejadian MH tinggi pada penduduk yang


mengonsumsi protein tinggi, seperti seperti di Alaska dan Hawai.
Defisiensi asam folat dan histidine pada wanita hamil juga dianggap
sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian MH. Pada
wanita dengan defisiensi asam folat dan histidine, terutama pada hari
ke-13 dan 21 kehamilan, akan mengalami gangguan pembentukan
thymidine, yang merupakan bagian penting dari DNA. Akibat
kekurangan gizi ini akan menyebabkan kematian embrio dan gangguan
angiogenesis, yang pada gilirannya akan menimbulkan perubahan
hidropik. Teori gizi sebagai faktor risiko yang banyak dianut saat ini
adalah teori yang diajukan oleh Parazzini & Berkowitz, yaitu bahwa
berdasarkan studi kasus kontrol, MH banyak terjadi pada wanita
dengan defisiensi

-Carotene/vitamin A. Hal ini pula yang dapat

menerangkan mengapa terjadi variasi dalam insidensi secara regional


(Martaadisoebrata, 2005).
3. Riwayat Obstetri
Menurut WHO, riwayat obstetrik juga mempengaruhi kejadian MH.
Hal ini disebabkan pada wanita dengan riwayat MH sebelumnya
berisiko mengalami MH pada kehamilan selanjutnya. Begitu pula pada
wanita dengan riwayat melahirkan gemelli. Namun, multiparitas bukan
merupakan faktor risiko MH.
4. Suku bangsa dan Ras
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insidensi pada wanita kulit
hitam lebih rendah dibandingkan yang lain. Insidensi MH pada wanita
Euroasian dua kali lebih tinggi dari wanita Cina, Melayu, dan India.
5. Genetik
Hasil penelitian sitogenetik menunjukkan bahwa pada kasus MH lebih
banyak ditemukan kelainan balance translocation dibandingkan
dengan populasi normal. Pada wanita dengan kelainan sitogenik
tersebut

lebih

banyak

mengalami

gangguan

meiosis

berupa

nondisjunction sehingga lebih banyak ovum kosong atau ovum dengan


inti inaktif (Martaadisoebrata, 2005).

D. Mola Hodatidosa Komplit (MHK)


1. Patogenesis Mola Hidatidosa Komplit
Di antara teori yang digunakan untuk menjelaskan patogenesis
MHK adalah teori yang dikemukakan oleh Hertig, et al., Park, et al.,
dan teori sitogenik.
a) Teori Hertig, et al.
Hertig, et al, menganggap bahwa pada MHK terjadi
insufisiensi peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu
ke 3-5 (missed abortion), sehingga terjadi penimbunan cairan
dalam jaringan mesenkim vili dan terbentuk kista-kista kecil yang
makin lama makin besar, hingga kemudian terbentuk gelembung
mola. Sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari
tekanan vili yang edematous tersebut.
b) Teori Park, et al.
Berbeda dengan teori Hertig, et al, Park menyatakan bahwa
faktor primer pada kejadian MHK adalah adanya jaringan trofoblas
yang abnormal, baik berupa hiperplasi, dysplasia, maupun
neoplasia. Bentuk abnormal ini disertai pula dengan fungsi
abnormal, dimana terjadi absorpsi cairan berlebihan ke dalam vili.
Keadaan ini menekan pembuluh darah yang pada akhirnya
menyebabkan kematian embrio.
c) Teori Sitogenik
Teori ini merupakan teori yang banyak digunakan saat ini.
Teori ini menerangkan bahwa kehamilan MH terjadi karena sebuah
ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak aktif,
dibuahi oleh sperma haploid (23x). Hasil konsepsi tersebut
kemudian mengadakan penggandaan sendiri (endoreduplikasi)
menjadi 46xx. Sehingga dua unsur x pada kromosom MHK berasal
dari sperma (unsur ayah), tidak ada unsur ovum di dalamnya.
Dengan kata lain, teori ini disebut juga Diploid Androgenetic
(Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012).
Pada kehamilan yang sempurna, harus terdapat kromosom
baik dari sperma maupun ovum. Unsur ovum akan membentuk
bagian embrional (janin) dan unsur sperma diperlukan untuk
pembentukan bagian ekstraembrional, seperti plasenta, amnion,

dan lain-lain, secara seimbang. Ketiadaan unsur ovum pada MHK


menjadikan tidak adanya bagian embrional, hanya akan terbentuk
bagian ektraembrional yang patologis berupa vili korialis yang
mengalami degenerasi hidropik. Abnormalitas ovum dapat terjadi
karena

gangguan

pada

proses

meiosis

berupa

kejadian

nondisjunction. Gangguan proses meiosis ini antara lain terjadi


pada kelainan strukstural kromosom yaitu balanced translocation
(Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012).
MHK dapat pula terjadi akibat pembuahan ovum kosong oleh
2 sperma sekaligus (dispermi). Pembuahan tersebut dapat terjadi
dengan dua sperma haploid 23x atau satu sperma haploid x dan
haploid y. Akibatnya dapat terbentuk hasil konsepsi 46xx atau
46xy.

Pada

pembuahan

dengan

dispermi

tidak

terjadi

endoreduplikasi. Kromosom 46xx hasil endoreduplikasi dan 46xx


hasil pembuahan dengan dispermi, walaupun tampaknya sama,
namun berbeda genotip. Sebagian menganggap bahwa 46xx
heterozigot, yang berasal dari pembuahan dengan dispermi
meniliki potensi keganasan yang lebih besar. Pembuahan dispermi
dengan dua haploid 23y (46yy) dianggap tidak pernah bisa
terjadi/nonviable (Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li,
et al., 2012).
2. Gambaran Klinis Mola Hidatidosa Komplit
MHK adalah suatu kehamilan patologis, sehingga pada bulanbulan pertama, tanda-tandanya tidak berbeda dengan kehamilan biasa,
seperti diawali dengan amenore, mual, dan muntah. Terdapat beberapa
laporan yang menyatakan bahwa pada MHK lebih sering terjadi
hyperemesis, dan keluhan kehamilan lebih berat daripada kehamilan
normal. Pada kehamilan normal, pembesaran uterus terjadi melalui dua
fase, yaitu fase aktif sebagai pengaruh hormonal, dan fase pasif
sebagai akibat hasil perbesaran hasil kehamilan, seperti janin, plasenta,
dan air ketuban. Pada MHK, vili korialis yang mengalami degenerasi
hidropik berkembang dengan cepat mengisi seluruh cavum uteri,

sehingga uterus membesar lebih cepat dengan ukuran yang lebih besar
dari usia kehamilan atau lamanya amenore (Martaadisoebrata, 2005).
Pada kehamilan normal, segmen bawah rahim (SBR) baru
terbentuk pada trimester tiga kehamilan. Sedangkan pada MHK,
dengan pengisian cavum uteri yang terlalu cepat, maka pembentukan
SBR dapat terjadi pada usia kehamilan yang lebih muda, sekitar usia
24 minggu. SBR ini terbentuk bentukan berupa penonjolan yang
disebut dengan ballooning, dan merupakan ciri khas dari MHK.
Ballooning dapat diraba pada pemeriksaan dalam sebagai penonjolan
SBR ke arah depan, dengan konsistensi yang lunak (Martaadisoebrata,
2005.

Gambar 2.1. Balloning pada SBR (Martaadisoebrata, 2005)


Perdarahan pervaginam terjadi oleh karena tubuh berusaha
mengeluarkan hasil konsepsi pada kehamilan abnormal ini. Perbedaan
dengan abortus adalah pada besarnya uterus. Perbesaran uterus sesuai

dengan usia kehamilan atau lamanya amenore pada abortus.


Perdarahan yang timbul pada MHK dapat berupa bercak sedikitsedikit, intermiten, atau perdarahan massif sehingga dapat terjadi syok
hipovolemik. Perdarahan dapat disertai dengan keluarnya gelembung
mola, sehingga mempermudah diagnosis (Martaadisoebrata, 2005).
Selain perbesaran uterus yang lebih menonjol, pada MHK
ditemukan pula dua hal lain yang berbeda dengan kehamilan normal,
yaitu kadar hCG dan kista lutein. Kadar hCG pada kehamilan normal
kadarnya akan meningkat hingga usia kehamilan 60-80 hari, kemudian
akan turun pada usia kehamilan lebih dari 85 hari, dengan kadar
puncak hCG berkisar 600.000 mIU/ml. Sedangkan pada MHK tidak
ada penurunan kadar hCG. Selama ada pertumbuhan sel trofoblas dan
selama gelembung mola belum dikeluarkan dari uterus maka kadar
hCG akan terus meningkat hingga dapat mencapai kadar di atas
5.000.000 mIU/ml. Hormon hCG terdiri dari dua subunit dan .
Subunit mengadakan reaksi silang dengan gonadotropin yang berasal
dari hipofisis, yaitu LH, FSH, dan TSH. Oleh karena itu dalam
pengukuran selanjutnya yang digunakan adalah -hCG (Lurein, 2010).
Kelainan lain yang menyertai MHK adalah adanya kista lutein,
sebagai akibat dari rangsangan berlebihan terhadap ovaruim oleh hCG
yang sangat tinggi. Kista yang timbul dapat unilateral maupun bilateral
dengan besar yang bervariasi. Umumnya kista ini akan mengecil
kembali setelah jaringan mola dievakuasi. Dengan demikian, kista
tidak perlu diangkat kecuali jika ditemukan komplikasi berupa torsio
atau ruptur, bila memberikan keluhan mekanis dapat dilakukan
dekompresi atau aspirasi (Martaadisoebrata, 2005).
Seperti pada kehamilan normal, pada MHK juga dapat terjadi
komplikasi kehamilan. Bentuk komplikasi kehamilan yang dapat
terjadi

pada

MHK

antara

lain,

preeklampsia,

tirotoksikosis

(hipertiroidism) dan emboli paru. Preeklampsia pada MHK tidak


berbeda dengan kehamilan biasa, dengan derajat yang bervariasi,
ringan, berat, bahkan eklampsia. Hanya saja pada MHK kejadiannya
dapat lebih dini. Jika preeklampsia ditemukan pada usia kehamilan 24

minggu dapat dicurigai adanya MHK. Preeklampsia pada kehamilan


mola timbul akibat sirkulasi faktor anti angiogenik yang berlebihan.
Penanganan

preeklampsia

pada

MHK

tidak

berbeda

dengan

preeklampsia pada kehamilan normal, selain evakuasi jaringan mola


(Kanter, Marshall, Eileen, et al., 2010).
Perubahan pada kelenjar tiroid ditemukan sebagai komplikasi
pada MHK. Perubahan tersebut dapat berupa anatomis maupun
fungsional. Kelainan dapat berupa hipertiroidisme biokimia saja,
dengan kadar hormon tiroksin (T3) dan triiodotironin (T4), sedangkan
TSH menurun, atau disertai dengan gejala klinis tirotoksikosis. Pada
MHK, perkembangan perubahan tiroid dapat berlangsung sangat cepat,
dari status eutiroid sampai krisis tiroid, dapat berlangsung beberapa
jam saja dan dapat menyebabkan kematian (Vorvick, 2010).
Pada kehamilan normal, dapat terjadi migrasi sel-sel trofoblas ke
dalam peredaran darah menuju ke paru ibu. Hal ini dimulai pada usia
kehamilan 18 minggu, pada akhirnya akan direabsorpsi oleh tubuh,
dan merupakan gejala normal pada kehamilan. Namun, pada MHK
fenomena ini terjadi dengan jumlah sel trofoblas yang sangat banyak
sehingga menyebabkan tanda emboli paru akut dan menyebabkan
kematian. Kasus ini jarang terjadi. Diagnosis MHK dapat ditegakkan
pada kehamilan sedini mungkin sehingga penyulit kehamilan dapat
dipantau sejak awal (Martaadisoebrata, 2005).
3. Penegakan Diagnosis Mola Hidatidosa Komplit.
a) Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan berupa keterlambatan
haid (amenore), perdarahan pervaginam, perut terasa lebih besar
dari lamanya amenore, tidak merasa gerakan janin seiring
terjadinya perbesaran rahim.
b) Pemeriksaan Klinis Ginekologi
Pada pemeriksaan ditemukan uterus yang lebih besar dari usia
kehamilan dan tidak ditemukan tanda pasti kehamilan seperti
denyut jantung janin, ballotemen, atau gerakan janin.
c) Laboratorium
Pada hasil laboratorium dapat ditemukan kadar -hCG yang lebih
tinggi dari normal
d) USG

Pada pemeriksaan tampak gambaran vesikuler di kavum uteri.


Diagnosis pasti ditentukan oleh hasil permeriksaan patologi
anatomi (PA). Secara mikroskopis akan tampak gambaran stroma
vili yang edematous, tidak mengandung pembuluh darah
(avaskuler), disertai hyperplasia sel sito dan sel sinsitiotrofoblas.
Berdasarkan hasil PA dapat pula diprediksi prognosis MHK, akan
mengalami transformasi keganasan atau tidak, dengan melihat pada
proliferasi

sel-sel

trofoblas.

Proliferasi

yang

berlebihan

memungkinkan transformasi ke arah keganasan lebih besar


(Martaadisoebrata, 2005).
4. Terapi Mola Hidatidosa Komplit
a) Perbaikan Keadaan Umum
Sebelum melakukan evakuasi jaringan mola, keadaan umum ibu
diperbaiki sesuai dengan penyulit yang menyertai. Transfusi darah
untuk mengatasi anemia berat dan syok hipovolemik, penanganan
preeklampsia, serta pemberian obat antitiroid. Tindakan yang
dilakukan sebelum penderita stabil dapat merangsang terjadinya
syok ireversibel, eklampsia, atau krisis tiroid, yang dapat berakibat
pada kematian. Penanganan emboli paru hanya berupa penanganan
suportif berupa pemberian antikoagulan dan oksigenasi hingga
gejala akutnya berkurang (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010;
Vorvick, 2010).
b) Evakuasi jaringan
MHK merupakan kehamilan patologis yang sering disertai dengan
penyulit sehingga pada prinsipnya jaringan mola harus dievakuasi
secapat mungkin. Terdapat dua cara evakuasi, meliputi kuret
vakum (suction curretage) dan histerektomi total. Kuret vakum
merupakan metode pilihan bagi wanita yang masih harus
mempertahankan

fertilitasnya,

sedangkan

histerektomi

total

dilakukan pada wanita dengan usia > 35 tahun dengan jumlah anak
cukup, sebagai tindakan profilaksis terhadap terjadinya keganasan
di uterus (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010).
c) Profilaksis

Tindakan profilaksis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu


histerektomi total dan kemoterapi. Kemoterapi dapat diberikan
pada golongan risiko tinggi yang menolak atau tidak dapat
dilakukan histerektomi total, atau pada wanita dengan hasil PA
yang mencurigakan. Pemberian kemoterapi dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
1) Metrotreksat 20 mg/hari, intramuskular, Asam Folat 10 mg
(3x1), sebagai antidote dan Cursil 35 mg (2x1) sebagai
hepatoprotektor, selama 5 hari berturut-turut.
2) Actinomycin D 1 flakon sehari, selama 5 hari berturut-turut,
tidak

memerlukan

antidote

maupun

hepatoprotektor

(Martaadisoebrata, 2005).
d) Follow up
Sebanyak 15%-20% dari penderita pasca-MHK dapat mengalami
transformasi keganasan menjadi Tumor Trofoblas Gestasional
(TTG). Masa laten terjadinya keganasan sangat bervariasi.
Keganasan dapat terjadi dalam kurun waktu satu minggu hingga
tiga tahun pascaevakuasi. Tujuan dari follow up adalah untuk
melihat proses involusi berjalan normal baik anatomis, laboratoris
maupun fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar -hCG,
dan kembalinya fungsi haid. Selain itu, untuk menentukan adanya
transformasi keganasan, terutama pada tingkat yang sangat dini.
Pada umumnya, para pakar sepakat bahwa lama follow up
berlangsung selama satu tahun. Dalam tiga bulan pertama
pascaevakuasi, penderita datang untuk kontrol setiap dua minggu.
Kemudian dalam tiga bulan berikutnya, penderita datang setiap
satu bulan. Selanjutnya dalam enam bulan terakhir, penderita
datang tiap dua bulan.
Selama follow up, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1) Keluhan, berupa perdarahan, batuk, atau sesak nafas
2) Pemeriksaan ginekologis, terutama adanya tanda-tanda
subinvolusi
3) Kadar -hCG, terutama bila ditemukan terdapat tanda-tanda
distorsi dari kurva regresi normal.

Bila dalam tiga kali pemeriksaan berturut-turut, ditemukan slah


satu dari tiga tanda tersebut, penderita harus dirawat untuk
pemeriksaan yang lebih intensif meliputi USG, foto thorak, dan
lain-lain (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010).
Follow up dihentikan apabila sebelum satu tahun wanita sudah
mengalami kehamilan normal, atau bila setelah satu tahun tidak
ada keluhan, uterus, fungsi haid, dan kadar -hCG dalam batas
normal. Selama masa follow up, wanita dianjurkan untuk tidak
hamil

terlebih

dahulu,

karena

dapat

menimbulkan

salah

interpretasi. Jadwal follow up harus ditepati karena kemungkinan


terjadinya transformasi keganasan lebih besar pada MHK pertama
(Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010).
5. Prognosis Mola Hidatidosa Komplit
Setelah dilakukan evakuasi jaringan mola secara lengkap, sebagian
besar penderita MHK akan sehat kembali. Keganasan menjadi TTG
dapat dialami sekitar 15%-20% wanita dengan riwayat MHK
sebelumnya. Umumnya yang berkembang menjadi ganas adalah
mereka yang termasuk golongan risiko tinggi dengan kriteria meliputi
usia > 35 tahun, kadar -hCG di atas 105 mIU/ml, serta gambaran PA
yang mencurigakan. Saat ini dapat dikatakan hampir tidak ada
kematian akibat MHK (Garrett, 2008).
6. Kehamilan pasca- Mola Hidatidosa Komplit
Pada umumnya derajat fertilitas pasca-MHK tidak berubah, proses
kehamilan dan masa nifas akan sama seperti kehamilan normal lainnya
(Garrett, 2008; Lurain, 2010).
7. Mola Hidatidosa Berulang
Risiko rekurensi mola dapat dialami oleh wanita dengan riwayat
MHK. Rekurensi dapat terjadi berturut-turut atau diselangi oleh
kehamilan non-MHK. Mereka yang mengalami kehamilan pascaMHK harus segera memeriksakan diri untuk memastikan bahwa
kehamilan yang terjadi adalah kehamilan normal. Pada umumnya
rekurensi yang terjadi hanya satu atau dua kali (Martaadisoebrata,
2005).

E. Mola Hidatidosa Parsial (MHP)


Pembahasan Mola Hidatidosa Parsial (MHP) terpisah dengan MHK karena
antara keduanya terdapat perbedaan mendasar, baik dilihat dari segi
patogenesisnya (sitogenetik), klinis, prognosis, maupun gambaran PA-nya.
Tidak seluruh vili korialis mengalami degenerasi hidropik pada MHP.
1. Patogenesis Mola Hidatidosa Parsial
Secara sitogenetik MHP terjadi karena ovum normal, 23x, dibuahi
dengan dispermi. Dapat dibuahi oleh dua haploid 23x, satu haploid 23x
dan satu haploid 23y, atau dua haploid 23yy. Hasil konsepsi dapat
berupa 69xxx, 69 xxy, atau 69 xyy. Kromosom 69yyy tidak pernah
ditemukan (Bashabsheh, 2011 dan Murphy, 2011). Sehingga pada
MHP disebut sebagai Diandro Triploid. Unsur embrional dapat
terbentuk karena pada MHP terdapat unsur ovum. Namun, komposisi
unsur ovum dengan sperma tidak seimbang. Unsur sperma yang tidak
normal tersebut yang menyebabkan terbentuknya plasenta abnormal,
yang merupakan gabungan dari vili korialis yang normal dan yang
mengalami degeneras hidropik. Oleh karena itu, fungsi plasenta dalam
hal ini pun tidak dapat mempertahankan janin hingga viable. Biasanya
terjadi kematian janin/ Intrauterin Fetal Death (IUFD) yang sangat dini
(Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012).
2. Gejala klinis Mola Hidatidosa Parsial
Berbeda dengan MHK, pada MHP sama sekali tidak ditemukan gejala
maupun tanda-tanda yang khas. Keluhan yang muncul sama dengan
kehamilan normal. Jarang sekali ditemukan MHP dengan besar uterus
melebihi ukuran usia kehamilan atau lamanya amenore. Biasanya sama
atau bahkan lebih kecil, disebut dengan dying mole.
Gambaran USG tidak selalu khas. Namun diagnosis dapat ditegakkan
apabila tampak gambaran yang menyerupai kista-kista kecil pada
plasenta disertai peningkatan diameter transversa dari kantong janin.
Pada kasus-kasus dengan janin yang besar, gambaran USG tampak
lebih jelas (Martaadisoebrata, 2005).

Gambar 2.2. Gambaran USG Penderita Mola Hidatidosa Parsial (Zhou,


Chen, Li, et al., 2011)
Kadar -hCG juga mengalami peningkatan, tetapi tidak setinggi pada
MHK. Hal ini kemungkinan karena pada MHP masih ditemukan vili
korialis yang normal. Kadar yang tidak terlalu tinggi ini tidak
menyebabkan rangsangan pada ovarium, sehingga pada MHP jarang
ditemukan kista lutein. Selain itu, MHP jarang sekali disertai dengan
komplikasi seperti preeklampsia, tirotoksikosis, atau emboli paru
(Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012).
3. Penegakan Diagnosa Mola Hidatidosa Parsial
Dengan tidak ditemukannya tanda-tanda yang khas, maka lebih sulit
untuk membuat diagnosa MHP. Biasanya diagnosis dibuat secara tidak

sengaja setelah dilakukan tindakan dan diperkuat dengan hasil PA, di


mana ditemukan gambaran khas sebagai berikut:
a) Vili korialis dari berbagai ukuran dengan degenerasi hidropik,
kavitasi, dan hiperplasia trofoblas.
b) Scalloping yang berlebihan pada vili korialis
c) Inklusi stroma trofoblas yang menonjol
d) Ditemukan jaringan embrionik

4. Terapi Mola Hidatidosa Parsial


Pada umumnya diagnosis MHP ditemukan setelah kuret, sehingga
biasanya evakuasi dilakukan dengan kuret biasa. Selanjutnya tidak
dilakukan tindakan apapun. Histerektomi dan upaya profilaksis tidak
dianjurkan (Martaadisoebrata, 2005).
5. Prognosis Mola Hidatidosa Parsial
Prognosis MHP lebih baik daripada MHK. Hal ini disebabkan oleh
tidak adanya penyulit dan derajat keganasannya rendah (4%). Meski
demikian, terdapat laporan kasus MHP yang disertai metastasis ke
tempat lain. Sehingga penderita pasca-MHP juga harus melakukan
follow up seperti pada MHK.
Seperti juga pada MHK, fertilitas dan proses persalinan pasca MHP
tidak berbeda dengan kehamilan biasa (Garrett, 2008).
Tabel 2.1. Perbedaan Mola Hidatidosa Komplit dengan Mola Hidatidosa
Parsial (Martaadisoebrata, 2005)
Jenis
MHK

Gambaran Klinik
Janin Uterus Penyulit

Proses

Transformasi

Prognosis

Tidak

Lebih

Sitogenik
PA
Keganasan
Sering AndroVili normalTinggi (15%-Dubia

ada

besar

terjadi

dari usia

genetik
diploid

Ada

n
Sama
dengan
usia
kehamila
n/lebih

(-)
Hiperlasi

20 %)

bonam

trofoblas (++

kehamila
MHP

Gambaran

+)
Jarang Diandro-

Vili normalRendah

terjadi genetik

(+)

triploid

Bonam

et

kecil

BAB III
PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS
Nama

: Ny. S

No. CM

: 78-20-32

Umur

: 29 tahun

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan

: SD

Alamat

: Bogowanti Lor Rt.02/Rw.04, Borobudur, Magelang.

Masuk VK IGD

: 31 Oktober 2012 / pukul 12.15 WIB

Masuk Teratai

: 31 Oktober 2012 / pukul 12.45 WIB

B. ANAMNESA
Autoanamnesa Tanggal 31 Oktober 2012
1. Keluhan utama
09.00 WIB

: Keluar darah dari jalan lahir sejak pukul

2. Keluhan Tambahan
berlebihan.

: Dada berdebar, sering pusing, keringat

3. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien baru datang ke VK IGD RSMS dengan membawa surat
rujukan RS Panti Nugroho yang menyatakan bahwa pasien didiagnosis
Mola Hidatidosa. Berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien adalah
pasien mengeluhkan keluar darah dari jalan lahir sejak pukul 09.00 WIB
(31-10-2012), perdarahan banyak, darah berwarna merah kecoklatan, tidak
disertai nyeri perut. Pasien juga mengeluhkan Dada berdebar, sering
pusing, keringat berlebihan. Pasien belum merasa kenceng-kenceng,

belum ada pengeluaran air, gerakan janin masih aktif. Riwayat Obstetri :
G2P1A0. Riwayat Persalinan pasien tersebut adalah An I : Perempuan/ 25
tahun/ Rumah Sakit/ Vakum Ekstraksi/ 3700gram. An II : Hamil ini.
HPHT: 09-07-2012 HPL :16-04-2012. Usia kehamilan: 16 minggu 3 hari.
Keadaan umum pasien baik dan tidak ada tanda-tanda gangguan
hemodinamik. Tidak terdapat mual dan muntah, serta gangguan pada BAK
dan BAB. Di VK IGD RSMS dilakukan pemeriksaan fisik secara general
maupun lokal untuk mengetahui keadaan pasien.
a. Riwayat Menstruasi
Pasien mengalami menstruasi pertama saat berusia 13 tahun.
Menstruasi terjadi 1 bulan sekali, selama 7 hari, ganti pembalut 2-3
kali per hari.
b. Riwayat Menikah
Pasien menikah 1x selama 4 tahun.
c. Riwayat Obstetri
Gravida 2 Para 1 Abortus 0..
d. Riwayat Persalinan
Anak I : Perempuan/ 25 tahun/ Rumah Sakit/ Vakum Ekstraksi/
3700gram. Anak II : Hamil ini.
e. Riwayat ANC (Antenatal Care)
Pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan.
f. Riwayat KB
Pasien pernah menggunakan KB suntik selama 3 bulan.
g. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal
2. Riwayat penyakit kencing manis disangkal
3. Riwayat penyakit asma tidak disangkal
4. Riwayat alergi disangkal
Pasien memiliki riwayat penyakit asma.
h. Riwayat Penyakit Keluarga
1.

Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal

2.

Riwayat penyakit kencing manis disangkal

3.

Riwayat penyakit asma disangkal

4.

Riwayat alergi disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Fisik Umum tanggal 31 Oktober 2012
Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Compos mentis

Vital Sign

TD : 120/80 mmHg

R : 20 x/menit

N : 88 x/menit

S : 36,7 C

Mata

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thorax:
Paru

: Inspeksi

: dinding dada simetris, tidak ada

ketinggalan gerak, sela iga tidak melebar


Palpasi

: vocal fremitus apex : dextra = sinistra


vocal fremitus basal : dextra = sinistra

Perkusi

: sonor pada semua lapang paru

Auskultasi

: apex : dextra
sinistra
basal : dextra

: SD vesikuler +
: SD vesikuler +
: SD vesikuler +,
RBH -

sinistra

: SD vesikuler +,
RBH -

RBK parahiler -, Whz parahiler -.


Jantung

: Inspeksi
Palpasi

: tidak ada retraksi dada


: ictus cordis teraba di SIC 2 jari medial
LMCS

Perkusi

: kanan atas

: SIC II MSD

kiri atas

: SIC II MSS

kanan bawah : SIC IV LPSD


kiri bawah
Auskultasi
Extremitas

: SIC V 2 jari medial LMCS

: S1 > S2, reguler, murmur (-), gallop (-)

Superior

: Edema (-/-), akral hangat (+/+)

Inferior

: Edema (-/-), akral hangat (+/+)

2. Pemeriksaan Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi

: Cembung gravid

Auskultasi

: Bising Usus (+) Normal

Perkusi

: Timpani

Palpasi

: TFU : 1 jari dibawah pusat, Nyeri tekan (-) balotement (+)

Regio Genitalia
Inspeksi

: Rambut pubis tersebar merata


Edema vulva tidak ada
Benjolan tidak ada
Varises tidak ada
Fluor tidak ada
Fluxus ada

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 31 Oktober 2012
Darah Lengkap
Hb

: 11,2 gr/dl (L)

Normal: 12-16 gr/dl

Leukosit

: 12.480/l (H) Normal: 4.800-10.800/l

Hematokrit

: 33 % (L)

Eritrosit

: 4,1 juta/l (L) Normal: 4,2-5,4 juta/l

Trombosit

: 364.000/l

Normal: 150.000-450.000/l

MCV

: 80,8 fL

Normal: 79-99 fL

MCH

: 27,2 pg

Normal: 27-31 pg

MCHC

: 33,6 gr/dl

Normal: 33-37gr/dl

Eosinofil

: 0,1 % (L)

Normal: 2-4 %

Basofil

: 0,1 %

Normal: 0-1 %

Batang

: 0.0 % (L)

Normal: 2-5 %

Segmen

: 79,3 % (H)

Normal: 40-70%

Limfosit

: 18,4 % (L)

Normal: 25-40%

Normal: 37%-47%

Hitung Jenis

Monosit

: 9,1 % (H)

Normal: 2-8 %

PT

: 11,6 detik

Normal : 11,5-15,5 detik

APTT

: 26,7 detik

Normal : 25-35 detik

SGOT

: 25 U/L

Normal : 15-37 U/L

SGPT

: 39 U/L

Normal : 30-65 U/L

Ureum Darah

: 30,7 mg/dL

Normal : 14,98-38,52 mg/dL

Kreatinin Darah

: 1,16 mg/dL (H)

Normal : 0,60-1,00 mg/Dl

Natrium

: 133 mmol/L (L)

Normal : 136-145 mmol/L

Kalium

: 3,9 mmol/L

Normal : 3,5-5,1 mmol/L

Klorida

: 99 mmol/L

Normal : 98-107 mmol/L

Kalsium

: 8,8 mg/dL

Normal : 8,4-10,2 mg/Dl

T3

: 2,52 ug/mL (H)

Normal : 0,8-2,0 ug/mL

T4

: > 24,66 ug/dL (H)

Normal : 5,1-14,1 ug/Dl

TSH

: 0,006 uIU/mL (L)

Normal : 0,270-4,20 uIU/Ml

Kimia Klinik

Elektrolit

Sero Imunologi

E. DIAGNOSIS
Gravida 2, Para 1, Abortus 0, Usia 29 Tahun, Hamil 16 Minggu 3 Hari, dengan
Mola Hidatidosa dan Tiroktosikosis.
F. PENATALAKSANAAN IGD
Sikap: Konservatif dan Observatif
1. Tirah baring
2. Cek DL, PT, APTT, Elektrolit, Kimia klinik, T3, T4, TSH
Sikap: Pasien dirawat di Bangsal Teratai dan direncanakan curetase.
1. Konsul dokter Sp.OG
2. Apabila hasil T3, T4, TSH tidak normal konsul dokter Sp.PD

G. PROGNOSIS
Ad vitam

: ad bonam

Ad sanam

: ad bonam

Ad functionam

: ad bonam

Tabel 3.2 Catatan Perkembangan Pasien di Teratai


Tanggal
S
O
01-11-2012 Nyeri kepala,KU: Baik/CM

A
P
Gravida 2 Para 1 Pro curetase

Perawatan dada

Abortus 0 29

H+1

seringTD: 110/80mmHg

berdebar

Konsul Sp.PD

N: 88x/menit

Tahun Hamil 16 Konsul Sp.An

RR: 22x/menit

Minggu 3 Hari

S: 36,5oC

dengan Mola

Mata: CA-/-, SI -/-

Hidatidosa dan

Thorak:

Cor

danTirotoksikosis

Pulmo dbn
Abdomen:
I: cembung gravid
A: BU (+) normal
Per: timpani
Pal: TFU 1 jari
dibawah

pusat,

balotemen (+)
Genitalia

externa:

PPV (+), FA (-)


Vegetatif

BAB

(+),BAK (+), Flt


(+)
02-11-2012 Nyeri kepala,KU: Baik/CM

Gravida 2 Para 1 Menunda

Perawatan dada

Abortus 0 29

H+2

gemetar

seringTD: 110/80mmHg

Curetase sampai

N: 112x/menit

Tahun Hamil 16 T3, T4, dan TSH

RR: 24x/menit

minggu 3 Hari

normal.

S: 36,8oC

dengan Mola

Propiltiourasil

Mata: CA-/-, SI -/-

Hidatidosa dan

(PTU) 3 x 100mg

Thorak:

Cor

danTirotoksikosis

Pulmo dbn
Abdomen:
I: cembung gravid
A: BU (+) normal
Per: timpani
Pal: TFU 1 jari
dibawah

pusat,

balotemen (+)
Genitalia

externa:

PPV (+), FA (-)


Vegetatif

BAB

(-),BAK (+), Flt


(+)
03-11-2012 Nyeri kepala,KU: Baik/CM

Gravida 2 Para 1 Cek ulang T3,

Perawatan dada

Abortus 0 29

H+3

gemetar

seringTD: 120/80mmHg

T4, dan TSH

N: 86x/menit

Tahun Hamil 16 Propiltiourasil

RR: 20x/menit

Minggu 3 Hari

(PTU) 3 x 100

S: 36,7oC

dengan Mola

mg

Mata: CA-/-, SI -/-

Hidatidosa dan

Thorak:

Cor

danTirotoksikosis

Pulmo dbn
Abdomen:
I: cembung gravid
A: BU (+) normal
Per: timpani
Pal: TFU 1 jari
dibawah

pusat,

balotemen (+)
Genitalia

externa:

PPV (+), FA (-)


Vegetatif

BAB

(+),BAK (+), Flt

(+)
04-11-2012 Nyeri kepala,KU: Baik/CM

Gravida 2 Para 1 Cek ulang T3,

Perawatan dada

Abortus 0 29

H+4

seringTD: 120/80mmHg

gemetar

T4, dan TSH

N: 82x/menit

Tahun Hamil 16 Propiltiourasil

RR: 22x/menit

Minggu 3 Hari

(PTU) 3 x 100

S: 36,9oC

dengan Mola

mg

Mata: CA-/-, SI -/-

Hidatidosa dan

Thorak:

Cor

danTirotoksikosis

Pulmo dbn
Abdomen:
I: cembung gravid
A: BU (+) normal
Per: timpani
Pal: TFU 1 jari
dibawah

pusat,

balotemen (+)
Genitalia

externa:

PPV (+), FA (-)


Vegetatif

BAB

(+),BAK (+), Flt


(+)
05-11-2012 Nyeri kepala,KU: Baik/CM

Gravida 2 Para 1 Menunda

Perawatan dada

Abortus 0 29

H+5

seringTD: 120/80mmHg

Curetase sampai

gemetar, leherN: 80x/menit

Tahun Hamil 16 T3, T4, dan TSH

kenceng

RR: 20x/menit

Minggu 3 Hari

normal.

S: 36,7oC

dengan Mola

Konsul Sp.PD

Mata: CA-/-, SI -/-

Hidatidosa dan Propiltiourasil

Thorak:

Cor

danTirotoksikosis

Pulmo dbn
Abdomen:
I: cembung gravid
A: BU (+) normal
Per: timpani

Pro Curetase

(PTU) 3 x 100
mg

Pal: TFU 1 jari


dibawah

pusat,

balotemen (+)
Genitalia

externa:

PPV (+), FA (-)


Vegetatif

BAB

(+),BAK (+), Flt


(+)
Px. Penunjang :
T3 : 0,74 ug/mL (L)
T4 : 15,93 ug/dL (H)
TSH

<

0,005

uIU/mL
06-11-2012 Nyeri kepala,KU: Baik/CM

Gravida 2 Para 1 Propiltiourasil

Perawatan keringat

TD: 100/60mmHg

Abortus 0 29

H+6

N: 82x/menit

Tahun Hamil 16 mg

RR: 20x/menit

minggu 3 Hari

S: 36,5oC

dengan Mola

Mata: CA-/-, SI -/-

Hidatidosa dan

berlebihan

Thorak:

Cor

danTirotoksikosis

Pulmo dbn
Abdomen:
I: cembung gravid
A: BU (+) normal
Per: timpani
Pal: TFU 1 jari
dibawah

pusat,

balotemen (+)
Genitalia

externa:

PPV (+), FA (-)


Vegetatif

BAB

(-),BAK (+), Flt

(PTU) 3 x 100

(+)
07-11-2012 Nyeri kepala,KU: Baik/CM

Gravida 2 Para 1 Konsul Sp.An

Perawatan keringat

TD: 110/80mmHg

Abortus 0 29

H+7

N: 84x/menit

Tahun Hamil 16 (PTU) 3 x 100

RR: 22x/menit

Minggu 3 Hari

S: 36,7oC

dengan Mola

Mata: CA-/-, SI -/-

Hidatidosa dan

berlebihan

Thorak:

Cor

Propiltiourasil
mg

danTirotoksikosis

Pulmo dbn

Pro Curetase

Abdomen:
I: cembung gravid
A: BU (+) normal
Per: timpani
Pal: TFU 1 jari
dibawah

pusat,

balotemen (+)
Genitalia

externa:

PPV (+), FA (-)


Vegetatif

BAB

(+),BAK (+), Flt


(+)
08-11-2012 Nyeri kepala,KU: Baik/CM

Gravida 2 Para 1 Curetase di IBS

Perawatan keringat

TD: 110/70mmHg

Abortus 0 29

H+8

N: 64x/menit

Tahun Hamil 16

RR: 22x/menit

Minggu 3 Hari

S: 36,7oC

dengan Mola

Mata: CA-/-, SI -/-

Hidatidosa dan

berlebihan

Thorak:

Cor

danTirotoksikosis

Pulmo dbn
Abdomen:
I: cembung gravid
A: BU (+) normal
Per: timpani

Pro Curetase

Pal: TFU 1 jari


dibawah

pusat,

balotemen (+)
Genitalia

externa:

PPV (+), FA (-)


Vegetatif

BAB

(-),BAK (+), Flt


09-11-2012 Tidak

(+)
adaKU: Baik/CM

Para 1 Abortus 1 Amoxicilin

Perawatan keluhan

TD: 110/80mmHg

29 tahun post

H+9

N: 88x/menit

curetase pertama Asam

RR: 22x/menit

Atas Indikasi

S: 36,5oC

Mola Hidatidosa 500 mg 3 x 1

Mata: CA-/-, SI -/-

dengan

Thorak:

Cor

500 mg 3 x 1
Mefenamat

danTiroktosikosis

Pulmo dbn
Abdomen:
I: cembung gravid
A: BU (+) normal
Per: timpani
Pal: TFU 1 jari
dibawah

pusat,

balotemen (+)
Genitalia

externa:

PPV (+), FA (-)


Vegetatif

tab

BAB

(+),BAK (+), Flt


(+)
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 5 November 2012
Hb

: 8,5 gr/dl (L)

Normal: 12-16 gr/dl

Leukosit

: 9.600/l

Normal: 4.800-10.800/l

Hematokrit

: 25 % (L)

Normal: 37%-47%

tab

Eritrosit

: 3,1 juta/l (L) Normal: 4,2-5,4 juta/l

Trombosit

: 217.000/l

Normal: 150.000- 450.000/l

MCV

: 81,6 fL

Normal: 79-99 fL

MCH

: 27,4 pg

Normal: 27-31 pg

MCHC

: 33, 6 gr/dl

Normal: 33-37gr/dl

RDW

: 13,2 gr/dl

Normal : 11,5 -14,5gr/dl

MPV

: 10,6 fL

Normal : 7,2 11,1 fL

Eosinofil

: 0,5 % (L)

Normal: 2-4 %

Basofil

: 0,1 %

Normal: 0-1 %

Batang

: 0 % (L)

Normal: 2-5 %

Segmen

: 73,8 % (H)

Normal: 40-70%

Limfosit

: 13,2 % (L)

Normal: 25-40%

Monosit

: 12,4 % (H)

Normal: 2-8 %

PT

: 12,4 detik

Normal : 11,5-15,5 detik

APTT

: 28,6 detik

Normal : 25-35 detik

T3

: 0,74 ug/mL (L)

Normal : 0,8-2,0 ug/mL

T4

: 15,93 ug/dL (H)

Normal : 5,1-14,1 ug/dL

TSH

: < 0,005 uIU/mL

Normal : 0,270-4,20 uIU/mL

Hitung Jenis

Sero Imunologi

BAB IV
PEMBAHASAN
A. Diagnosis
Diagnosis awal pasien adalah Gravida 2, Para 1, Abortus 0, Usia 29
Tahun, Hamil 16 Minggu 3 Hari, dengan Mola Hidatidosa. Diagnosis tersebut
didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan.
Diagnosis tersebut menjadi Gravida 2, Para 1, Abortus 0, Usia 29 Tahun,
Hamil 16 Minggu 3 Hari, dengan Mola Hidatidosa dan Tirotoksikosis setelah
diketahui kadar hormon T3, T4 yang tinggi didalam darah. Diagnosis mola
hidatidosa ditegakkan pada pasien karena terdapat perdarahan melalui vagina,
gejala tanda kehamilan (amenorea, gravindex +), USG gambaran badai salju
dengan diagnosis mola hidatidosa, dan uterus lebih besar dari usia kehamilan.
Pada mola hidatidosa terdapat perdarahan pervaginam dari bercak sampai
perdarahan berat. Merupakan gejala utama dari mola hidatidosa, sifat
perdarahan bisa intermiten selama berapa minggu sampai beberapa bulan
sehingga dapat menyebabkan anemia defisiensi besi (Pereira, 2008 dan Sebire
2008).
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan abdomen untuk mengetahui
perkiraan usia kehamilan berdasarkan tinggi fundus uteri (TFU). TFU pada
pasien adalah 1 jari dibawah pusat, yang artinya menurut Rumus Bartholinen
bahwa usia kehamilan pasien adalah 20 minggu sedangkan pada kenyataanya
usia kehamilan pasien baru 16 minggu. Hal tersebut menegaskan bahwa uterus
lebih besar dari usia kehamilan. Pada pasien tersebut juga terdapat gejala dan
tanda tirotoksikosis i pemeriksaan penunjang kadar hormon T3-T4 juga tinggi,
hal tersebut juga semakin mendukung diagnosis mola hidatidosa yang
biasanya disertai hipertiroid. Diagnosis mola hidatidosa didukung melalui
pemeriksaan USG. Pada pemeriksaan USG ditemukan gambaran badai salju

(snow flake pattern). Gambaran tersebut sesuai dengan gambaran diagnosis


mola hidatidosa.
Pada pasien dilakukan tindakan curetase untuk mengambil jaringan
mola yang ada di dalam uterus, tetapi sempat tertunda karena dalam beberapa
hari kadar hormon T3 dan T4 pasien tinggi yang dikawatirkan akan terjadi
krisis tiroid apabila tetap dilakukan tindakan curetase. Pasien dikonsulkan
kepada dokter spesialis penyakit dalam dan spesialis anestesi untuk
tatalaksana lebih lanjut. Pada hari ke-8 pasien perawatan, pasien dilakukan
tindakan curetase di ruang Instalasi Bedah Sentral (IBS). Diagnosis akhir pada
pasien terebut adalah Para 1 Abortus 1 29 Tahun Post Curetase Pertama Atas
Indikasi Mola Hidatidosa dengan Tiroktosikosis.

Ny. S/29 tahun


VK IGD RSMS
31 Oktober 2012
Anamnesis:
Perdarahan pada usia kehamilan 16 minggu.
Perdarahan berwarna merah kecoklatan.
Tidak ada nyeri perut.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan
USGSero Imunologi terdapat peningkatan kadar Hormon T3 dan T4
Pemeriksaan
Abdomen:
Gambaran badai salju (snow flake pattern) dengan diagnosis mola hidatidosa
I
: Cembung gravid
A
: BU + Normal
Pe
: Timpani
Pa
: TFU 1 jari dibawah pusat cm, balotemen +
Genitalia: Fluksus/PPV (+)
Diagnosis Awal
Gravida 2 Para 1 Abortus 0, 29 Tahun, Hamil 16 Minggu 3 Hari, dengan Mola Hidatidosa dan Tirotoksikosis

Diagnosis pro curetase :


Gravida 2 Para 1 Abortus 0, 29 Tahun, Hamil 16 Minggu 3 Hari, dengan Mola Hidatidosa dan Tirotoksikosis Pro Curet
Diagnosis post curetase :
Para 1 Abortus 1, 29 Tahun, Post Curetase Pertama, Atas Indikasi Mola Hidatidosa dengan Tiroktosikosis.
Diagnosis Akhir
Para 1 Abortus 1, 29 Tahun, Post Curetase Pertama, Atas Indikasi Mola Hidatidosa dengan Tiroktosikosis.
Gambar 4.1 Alur Penegakkan Diagnosis

B. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada kemilan mola terdiri dari dua fase yaitu evakuasi
mola segera dan tindak lanjut untuk mendeteksi proliferasi trofoblas persisten
atau perubahan keganasan. Pada pasien ini mola harus dikeluarkan
seluruhnya/ dievakuasi dari dalam rahim yang biasanya dilakukan melalui
tindakan dilatasi dan kuretase atau lebih dikenal sebagai kuret (Syafii et al.,
2006). Sebagai alternatif dapat digunakan oksitosin atau prostaglandin untuk
membuat rahim berkontraksi dan mengeluarkan isinyaC (Ehlen et al., 2002).
Setelah itu tindakan kuretase tetap harus dilakukan untuk memastikan rahim
sudah bersih, namun sebelumnya harus diperbaiki terlebih keadaan umum
pasien yakni kondisi anemia sedang dengan sedang Hb 8,5 gr/dl. Tindakan
pengambilan jaringan mola tetap harus dilakukan untuk pemeriksaan
histopatologi untuk mendeteksi proliferasi trofoblas persisten atau perubahan
kea rah keganasan (Cunningham et al., 2006).
Pada pasien ini diberikan Propiltiourasil (PTU), karena pada pasien ini
disertai dengan tirotoksikosis. Obat tersebut memiliki efek menghambat reaksi
autoimun pada proses pembentukan hormon tiroid dan mencegah sintesis
hormon tiroid sehingga dapat menurunkan kadar hormon T3 dan T4.
Pemberian obat Propiltiourasil (PTU) pada wanita hamil dalam dosis 3 x 50100 mg per hari. Penelitian yang dilakukan oleh Adam (2011) menyatakan
bahwa pada 13 wanita hamil dengan hipertiroid selama kehamilan tidak
menemukan kelainan pada bayi yang dilahirkan setelah pemberian
Propiltiourasil

(PTU)

dalam

dosis

50-100

mg

per

hari

(Djokomuljanto, 2006). Apabila Propiltiourasil (PTU) diberikan pada dosis


yang melebihi 3 x 50-100 mg per hari akan memiliki efek samping yaitu
kerusakan pada organ ginjal, organ hati (Olson, 2003 dan Gunawan GS,
2007).
Pada pasien ini diberikan antibiotik yaitu amoxicilin, pemberian
amoxicillin pasca kuretase adalah sebagai profilaksis terjadinya infeksi pasca
kuretase. Penggunaan antibiotika untuk profilaksis diperlukan apabila sebelum
dan selama kuretase sudah terjadi gejala-gejala infeksi. Gejala-gejala tersebut
meliputi kenaikan suhu, biasanya disertai leukositosis, takikardia, dan denyut

jantung janin yang tinggi. Pada pasien terdapat leukositosis, sehingga


profilaksis diperlukan untuk pasien ini (Norwitz, 2007). Pemberian sulfas
ferosus pasca kuretase adalah untuk mengatasi anemia yang terjadi pada
pasien. Pada pemeriksaan laboratorium pasien didapatkan penurunan Hb yang
menyebabkan anemia sedang. Pasien belum membutuhkan transfusi darah,
oleh karena itu diberikan sulfas ferosus untuk mengatasi anemia sedang
tersebut (Setiawan dan Baraba, 2008).
C. Prognosis
Mortalitas akibat mola saat ini dapat berkurang dengan diagnosis dini
dan terapi yang tepat. Pada kehamilan mola tahap lanjut, wanita yang
bersangkutan biasanya anemis dan mengalami perdarahan akut. Apabila
kehamilan mola disertai dengan infeksi dan sepsis maka dapat menyebabkan
morbiditas yang serius. Pada kehamilan mola sebesar 20% dari mola
sempurna

akan

berkembang

menjadi

tumor

(Cunningham et al., 2006 dan Aguilera et al., 2012).

BAB V

trofoblastik

gestasional

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Pada kasus ini diagnosis akhir pasien adalah Para 1 Abortus 1, 29 tahun Post
Curetase Pertama, Atas Indikasi Mola Hidatidosa dengan Tiroktosikosis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan dan
mencegah komplikasi maka segera dilakukan evakuasi jaringan mola dengan
kuretase dan pengambilan jaringan untuk pemeriksaan Histopatologis setelah
kadar hormon T3, T4 dan TSH normal. Pasien menjalani perawatan di RSMS
selama 9 hari dan pulang dengan keadaan yang membaik.
B. Saran
Pengenalan secara cepat sumber perdarahan dan terapi yang tepat dapat
menyelamatkan ibu pada kehamilan dengan Mola Hidatidosa. Evakuasi
jaringan mola dan pemeriksaan histopatologis dapat dilakukan untuk
mendeteksi proliferasi trofoblas persisten atau perubahan menjadi keganasan.

DAFTAR PUSTAKA

Adam MJ. 2011. Penatalaksanaan Penderita Hipertiroid Dengan Kehamilan dan


Laktasi. Artikel Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam. Divisi Endokrin-Metabolik,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makasar.
Aguilera M, Rauk P, Ghebre R, Ramin K. 2012. Complete
HydatidiformMole Presenting as a Placenta Accreta in a Twin
Pregnancy with a Coexisting Normal Fetus: Case Report.
Case Reports in Obstetrics and Gynecology. (2012) : 1 4.
Bashabsheh AM. 2012. Clinico Pathological Study of Hydatidiform Moles in a
Sample from Department of Obstetrics & Gynecology at Damascus
University. European Journal of Scientific Research. Pathological Study of
Hydatidiform Moles in a Sample from Department of Obstetrics &
Gynecology at Damascus University. (55) 4 : 517 520.
Berkowitz, R. S., Goldstein, D. P. 2009. Molar Pregnancy. N Engl J Med 2009;
360:1639-164.
Cunningham GF, Gant FN, Leveno JK, Gilstrap CL, Hauth JC, Wenestrom DK.
2006. Mola Hidatidosa (Kehamilan Mola). Obstetri Williams Volume 2.
Edisi 21. Jakarta : EGC, 931-938 hal.
Djokomuljanto. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroid. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : FK
UI, 1933-1944 hal.
Ehlen GT, Vancouver BCP, Bessette , Sherbrooke QC, Gerulath AH, Toronto
ONL, Jolicoeur, RN, Ottawa ONR, Savoin, Moncton NB. 2002. Gestational.
Errol Norwitz, John Schorge. 2007. Infeksi Dalam Kehamilan. Obstetrics and
Gynaecology at a Glance. Second Edition. Erlangga Medical Series. EMS :
84-87 hal.

Gunawan GS. 2007. Propiltiourasil (PTU). Farmakologi dan Terapi. Edisi V.


Departemen Farmakologi dan Teurapetik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 441-442 hal.
Gangopadhyay, M, Arghya Bandyopadhyay, Sailes Ray, et al.. 2011. Ruptured
Complete Hydatidiform Mole in the Fallopian Tube. Iranian Journal of
Pathology 6 (4), 216 218.
Garrett, Leslie, Elizabeth Garner, Colleen Feltmate, et al.. 2008. Subsequent
pregnancy outcomes in patients with molar pregnancy and persistent
gestational trophoblastic neoplasia. Obstetrical & Gynecological Survey:
November 2008 - Volume 63 - Issue 11 - pp 704-705.
Kanter, David, Marshall D. L, Eileen Wang, et al. 2010
Kanter, Marshall, Eileen, et al., 2010. Angiogenic dysfunction in molar
pregnancy. Am J Obstet Gynecol. 2010 February; 202(2): 184.E1184.E5.
Lurain, J. R. 2010. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology,
clinical presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease, and
management of hydatidiform mole. Am J Obstet Gynecol:531-539.
Martaadisoebrata, D. 2005. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas
Gestasional. Jakarta: EGC.
Matsui H, Suzuka K, Itsuka Y, Seki K, Sekiya S. 2000. Combination
chemotherapy with methotrexate, etoposide, and actinomycin-D for high
risk gestational trophoblastic tumors. Gynecol Oncol 2000, 78; 28-31 .
Murphy MK, Ronnett MB. 2011. Diagnosis of Hydatidiform Moles: Morphology
and Ancillary Techniques. The Johns Hopkins University School of
Medicine. 1 25.
Olson J. 2003. Propiltiourasil (PTU). Farmakologi. Jakarta : Mc Graw Hill
Education, 190-192 hal.
Pereira CDG. 2008. Mola Hidatidosa. Penelitian. SMF Obstetri dan Ginekologi
RSUD.Dr. Muhammad Saleh Probolinggo.
Prawirohardjo, S. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Sebire NJ, Seckl JM. 2008. Gestational Trophoblastic Disease : Current


Management of Hydatidiform Mole. Clinical Review Biomedical Journal.
(337) : 453-458.
Setiawan D. dan Baraba H.A. 2008. Pola Penggunaan Antibiotika Profilaksis
Pada Pasien Bedah Obstetri di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga
Tahun 2007.
Syafii, Aprianti S, Hardjoeno. 2006. Kadar B-HCG Penderita Mola Hidatidosa
Sebelum dan Sesudah Kuretase. Penelitian. (13) : 1-3.
Trophoblastic Disease. SGOC Clinical Practice Guidelines. (114) : 1-6.
Vorvick,

L.

J.

2010.

Hydatidiform

Mole.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001907/.

Available
Accessed

at
on

22nd November 2012.


Zhou, Xi, Yongli Chen, Yongmei Li, et al.. 2012. Partial hydatidiform mole
progression into invasive mole with lung metastasis following in vitro
fertilization. Oncology Letters Vol. 3 Num. 3: 659-661.

Anda mungkin juga menyukai